bab ii tinjauan pustaka

advertisement
17
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teori
2.1.1. Penawaran Umum Perdana (Initial Public Offering)
Initial Public Offering (IPO) merupakan kegiatan yang dilakukan perusahaan
dalam rangka penawaran umum penjualan saham perdana (Ang, 1997). Undangundang nomor 8 tahun 1995 tentang pasar modal menjelaskan bahwa Penawaran
Umum sebagai sebagai kegiatan penawaran Efek kepada masyarakat berdasarkan tata
cara yang diatur dalam Undang-undang dan peraturan pelaksanaannya. Sedangkan
pengertian Efek adalah surat berharga, yaitu surat pengakuan utang, surat berharga
komersial, saham, obligasi, tanda bukti hutang, Unit Penyertaan Kontrak Investasi
Kolektif, kontrak berjangka atas Efek, dan setiap derivatif dari Efek. Perusahaan yang
akan melakukan IPO atau Penawaran Umum Perdana harus mengajukan Pernyataan
Pendaftaran kepada Bapepam-LK untuk memperoleh Pernyataan Efektif.
Persyaratan utama bagi perusahaan yang pertama kali mencatatkan sahamnya
di Bursa Efek Indonesia adalah melakukan Penawaran Umum Perdana. Kegiatan IPO
merupakan keputusan yang tidak tanpa perhitungan karena perusahaan akan
dihadapkan dengan benefit (keuntungan) maupun cost (kerugian). Sebelum IPO
perusahaan akan menerbitkan prospektus yaitu berupa informasi mendetail
perusahaan yang diumumkan kepada publik. Prospektus berfungsi untuk memberikan
17
18
informasi mengenai kondisi perusahaan kepada calon investor sehingga dengan
adanya informasi maka investor bisa mengetahui prospek perusahaan dimasa
mendatang, dan selanjutnya tertarik untuk membeli sekuritas yang diterbitkan emiten
(Tandelilin, 2001).
Dorongan atas kebutuhan modal merupakan salah satu sebab perusahaan
melakukan aksi go public. Pada umumnya perusahaan yang go public sedang berada
dalam pertumbuhan yang pesat sehingga membutuhkan modal untuk ekspansi usaha
dan keperluan investasi baru. Perusahaan dapat memperoleh keuntungan baik
finansial maupun non finansial. Menurut Sitompul (2000), hal menguntungkan yang
dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam melaksanakan penawaran umum antara
lain bahwa melalui go public, perusahaan akan mendapatkan dana segar yang dapat
digunakan sebagai modal untuk jangka panjang dan juga sangat berguna untuk
mengembangkan perusahaan, membayar hutang dan tujuan-tujuan lainnya. Dengan
melakukan go public, dapat pula meningkatkan nilai pasar dari perusahaan karena
umumnya perusahaan yang sudah menjadi perusahaan publik, likuiditasnya akan
lebih meningkat bila dibandingkan dengan perusahaan yang masih tertutup.
Perusahaan yang melakukan penawaran umum perdana sering juga dikenal
dengan go public. Jogiyanto (2007) menyebutkan, manfaat dari melakukan go public
diantaranya adalah:
1) Kemudahan meningkatkan modal di masa mendatang.
2) Meningkatkan likuiditas bagi pemegang saham.
3) Nilai pasar perusahaan diketahui.
19
Disamping manfaat yang diperoleh perusahaan melalui go public, terdapat
beberapa kerugian go public, diantaranya adalah:
1) Biaya laporan meningkat.
2) Pengungkapan (disclosure) informasi kepada publik maupun pesaing.
3) Ketakutan untuk diambil alih.
Initial Public Offering juga akan meningkatkan kekayaan bersih perusahaan
tanpa harus membayar kembali atau meminta tambahan pinjaman. Selain itu, citra
dan perkembangan perusahaan akan meningkat karena lebih mudah ketika melakukan
ekspansi dari taraf nasional ke taraf internasional. Dengan keuntungan yang diperoleh
perusahaan, terdapat pula tanggung jawab dan beban yang harus ditanggung sebagai
perusahaan publik dari transparansi informasi terhadap publik dan tugas manajemen
perusahaan yang bertanggung jawab tidak hanya pada beberapa pemegang saham
tetapi juga terhadap pemegang saham publik.
Dengan demikian, initial public offering adalah kegiatan penawaran saham
bagi perusahaan yang pertama kali mencatatkan sahamnya melalui serangkaian tata
cara dan peraturan tertentu yang ditetapkan oleh Bursa Efek.
2.1.2. Tahapan Penawaran Saham Perdana (Initial Public Offering)
Ketika perusahaan melakukan aksi go public, terdapat serangkaian prosedur
yang harus dilalui perusahaan. IPO merupakan kegiatan yang dilakukan perusahaan
dalam rangka penawaran umum penjualan saham perdana (Ang, 1997). Sedangkan
menurut Jogiyanto (2000), IPO merupakan penawaran saham untuk pertama kalinya.
20
Setelah saham ditawarkan kepada masyarakat, maka saham tersebut akan dicatatkan
di Bursa Efek untuk selanjutnya dapat ditransaksikan di Bursa tersebut. Transaksi
setelah pasar perdana ini disebut secondary market (pasar sekunder).
Dalam proses IPO, calon emiten harus melewati beberapa tahapan (Ang,
1997), yaitu sebagai berikut :
1. Tahap persiapan
Tahap persiapan merupakan tahapan yang paling panjang diantara tahapan
yang lain, kegiatan yang dilakukan tahapan ini merupakan persiapan sebelum
mendaftar ke Bapepam (Badan Pengawas Pasar Modal). Dalam tahapan ini, RUPS
(Rapat Umum Pemegang Saham) merupakan langkah awal untuk mendapatkan
persetujuan dari pemegang saham mengenai rencana go public. Anggaran dasar
perseroan juga harus diubah sesuai dengan anggaran dasar publik. Kegiatan lain
dalam tahap ini adalah penunjukan penjamin pelaksana emisi (lead underwriter) serta
lembaga dan profesi pasar modal, yaitu akuntan publik, konsultan hukum, penilai,
Biro Administrasi Efek (BAE), notaries, security printer serta prospektus printer.
2. Tahap Pemasaran
Pada tahap ini, Bapepam akan melakukan penelitian tentang keabsahan
dokumen, keterbukaan seluruh aspek legal, akuntansi, keuangan dan manajemen.
Langkah selanjutnya adalah pernyataan pendaftaran yang diajukan ke bapepam
sampai pernyataan pendaftaran yang efektif, maka langkah-langkah lain yang harus
dilakukan adalah :
a) Due Diligence Meeting
21
Due diligence meeting adalah pertemuan dengar pendapat antara calon
emiten dengan underwriter, baik lead underwriter maupun underwriter.
Dalam hal ini juga mengandung unsur pendidikan, yaitu mendidik emiten
untuk dapat menghadapi pertanyaan yang nantinya diajukan oleh calon
investor.
b) Public Expose dan Roadshow
Public expose merupakan tindakan pemasaran kepada masyarakat
pemodal dengan mengadakan pertemuan untuk mempresentasikan kinerja
perusahaan, prospek usaha, resiko, dan sebagainya sehingga timbul daya
tarik dari para pemodal untuk membeli saham yang ditawarkan.
Rangkaian public expose yang diadakan berkesinambungan dari satu
lokasi ke lokasi yang lain disebut roadshow, khususnya penawaran saham
kepada investor asing. Didalam public expose/roadshow ini calon emiten
dapat menyebarkan info memo dan prospektus awal
c) Book Building
Di dalam proses roadshow, para pemodal akan menyatakan minat mereka
atas
saham
yang
ditawarkan.
Didalam
roadshow/public
expose
dinyatakan suatu kisaran harga saham sehingga para pemodal akan
menyatakan kesediaan mereka untuk membelinya. Proses mengumpulkan
jumlah-jumlah saham yang diminati oleh pemodal inilah yang disebut
book building.
d) Penentuan Harga Perdana
22
Langkah terakhir yang harus dilakukan adalah penentuan harga final
harga perdana saham, yang dilakukan antara lead underwriter dan calon
emiten.
3. Tahap Penawaran umum
Pada tahap ini calon emiten menerbitkan prospektus ringkas di dua media
cetak yang berbahasa Indonesia, yang dilanjutkan dengan penyebaran prospektus
lengkap final, penyebaran FPPS (Formulir Pemesanan Pembeli Saham), menerima
pembayaran, melakukan penjatahan, refund dan akhirnya penyerahan Surat Kolektif
Saham (SKS) bagi yang mendapat jatahnya.
4. Tahap Perdagangan Sekunder
Tahap ini meliputi tahapan melakukan pendaftaran ke bursa efek untuk
mencatatkan sahamnya sesuai dengan kelanjutan perjanjian pendahuluan pencatatan
yang telah disetujui. Setelah tercatat maka saham dapat diperdagangkan dilantai
bursa.
2.1.3.
Pasar Perdana dan Pasar Sekunder
Ang (1997) memaparkan go public adalah menawarkan saham atau obligasi
untuk dijual kepada umum untuk pertama kalinya. Istilah go public hanya digunakan
pada waktu pertama kalinya perusahaan menjual saham atau obligasi kepada publik.
Transaksi IPO pertama kali terjadi di pasar perdana kemudian setelah saham tersebut
tercatat dibursa efek transaksi terjadi di pasar sekunder.
Terdapat dua jenis pasar yang terdapat di pasar modal (Darmadji, 2001):
23
1) Pasar Perdana (Primary Market)
Pasar perdana adalah jenis pasar pada pasar modal dimana saham dan
sekuritas lainnya dijual pertama kali pada masyarakat (penawaran umum)
sebelum saham dan sekuritas tersebut dicatatkan di bursa. Kegiatan ini disebut
penawaran umum perdana (Initial Public Offering). Harga saham di pasar
perdana ditentukan oleh emiten dan penjamin emisi (underwriter) berdasarkan
faktor-faktor fundamental dan faktor lain yang perlu diidentifikasi.
Underwriter selain menentukan harga saham bersama emiten, juga melakukan
proses penjualannya.
2) Pasar Sekunder (Secondary Market)
Pasar sekunder adalah pasar modal dimana saham dan sekuritas
lainnya diperjual belikan kepada umum setelah masa penjualan di pasar
perdana. Harga saham di pasar ini ditentukan oleh permintaaan dan
penawaran yang dipengaruhi berbagai faktor internal seperti earnings per
share (EPS) atau kebijakan deviden dan faktor eksternal seperti kebijakan
moneter dan inflasi.
2.1.4. Underpricing
Underpricing merupakan suatu keadaan dimana harga saham yang
diperdagangkan di pasar primer lebih rendah dibandingkan ketika diperdagangkan
dipasar sekunder (Sunaryah, 1997). Menurut Beatty (1989) Istilah underpricing
digunakan untuk menggambarkan perbedaan harga antara harga penawaran saham di
pasar primer dan harga saham di pasar sekunder pada hari pertama.
24
Beberapa studi yang telah dilakukan sehubungan dengan underpricing.
Penjamin emisi (underwriter) berpendapat bahwa harga saham perdana cenderung
menurun dan investor yang membeli di pasar perdana akan memperoleh keuntungan
jangka pendek dan jangka panjang yang relatif lebih tinggi dibandingan keuntungan
pasar sehingga membuktikan keuntungan awal yang berlebihan atau underpricing
adalah nyata. Menurut Hanafi (2004), underpricing merupakan fenomena yang sering
dijumpai dalam IPO. Terdapat kecenderungan bahwa harga penawaran dipasar
perdana selalu lebih rendah dibandingkan harga penutupan dihari pertama pada pasar
sekunder.
Caster dan Manaster (1990) menjelaskan bahwa underpricing adalah hasil
dari ketidakpastian harga saham pada pasar perdana. Penjelasan mengenai keadaan
underpricing karena adanya asimetri informasi. De Lorenzo dan Fabrizio (2001)
menyatakan hampir semua penelitian terdahulu menjelaskan terjadinya underpricing
sebagai akibat dari adanya asimetri dalam distribusi informasi antara pelaku IPO
yaitu perusahaan, underwriter, dan investor Asymetry information dikarenakan
adanya mispriced dipasar perdana sebagai akibat ketidakseimbangan informasi antara
pihak underwriter dengan pihak emiten.
Menurut Beatty (1989) asimetri informasi dapat terjadi antara perusahaan
emiten dengan underwriter (Model Baron 1982) atau antara informed investor dengan
uninformed investor (Model Rock 1986). Pada model Baron (1982) penjamin emisi
(underwriter) dianggap memiliki informasi tentang pasar yang lebih lengkap daripada
emiten sedangkan terhadap calon investor, penjamin emisi memiliki informasi yang
25
lebih lengkap tentang kondisi emiten. Semakin besar asimetri informasi yang terjadi
maka semakin besar risiko yang dihadapi oleh investor, dan semakin tinggi initial
return yang di harapkan dari harga saham.
Dari sisi perusahaan kondisi underpricing merugikan perusahaan karena tidak
memperoleh dana secara maksimal. Kim dan Shin (2001) menyatakan bahwa
kemungkinan terjadinya underpricing disebabkan karena kesengajaan underwriter
untuk menetapkan harga penawaran jauh dibawah harga pasar untuk meminimalkan
kerugian yang harus ditanggung atas saham yang tidak terjual. Kondisi asimetri
informasi inilah yang menyebabkan terjadinya underpricing dimana pihak penjamin
emisi merupakan pihak yang memiliki banyak informasi dan menggunakan
ketidaktahuan emiten untuk memperkecil resiko.
Adanya initial return atau underpricing merupakan return positif yang
diterima investor saat pasar perdana yang diperoleh dari selisih antara harga
penawaran pasar perdana dan harga saat penutupan hari pertama di pasar sekunder.
Hasil ketidakpastian harga saham pada pasar sekunder karena adanya kondisi asimetri
informasi dimana underwriter merupakan pihak yang memiliki kelebihan informasi
dan menggunakan ketidaktahuan emiten untuk memperkecil resiko (Widoatmojo,
2004).
Menurut Manurung (2013) penentuan underpricing dapat dilakukan dengan
dua pendekatan; pendekatan pertama yaitu pendekatan yang membandingkan harga
IPO dengan harga intrinsik dari saham yang bersangkutan dan pendekatan kedua
dikenal dengan pendekatan perbandingan harga IPO dengan harga penutupan pada
26
hari pertama saham diperdagangkan. Berikut gambar yang memperlihatkan
pendekatan underpricing (Manurung, 2013):
Harga Intrinsik
Harga IPO
Harga Penutupan hari pertama
Harga IPO
Gambar 2.1 Dua Pendekatan Underpricing
Sumber: Manurung, 2013
Underpricing dihitung sebagai perbandingan antara selisih harga saham pada
hari pertama penutupan pada pasar sekunder dengan harga penawaran di pasar
perdana dibagi dengan harga penawaran (perdana) dalam bentuk persentase. Menurut
Kunz dan Aggarwal (1994) rumus underpricing adalah sebagai berikut:
U
–
Rumus tersebut mendefinisikan perhitungan return positif yang diperoleh
investor di pasar perdana yang diperoleh dari selisih harga pada saat offering price
dengan harga penutupan hari pertama di pasar sekunder.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kondisi underpricing disebabkan
karena terjadinya asimetri informasi sehingga tercipta ketidakpastian harga dimana
harga dipasar primer lebih rendah dibandingkan harga yang terjadi dipasar sekunder.
27
2.1.5. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI UNDERPRICING
Ketika saham pertama kali diperdagangkan di pasar sekunder bagi perusahaan
yang melakukan Initial Public Offering (IPO) biasanya akan terjadi underpricing
terhadap harga sahamnya. Dari beberapa penelitian terdahulu terdapat beberapa
faktor keuangan dan non-keuangan serta informasi ekonomi makro yang
mempengaruhi underpricing yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu:
2.1.5.1 Informasi Ekonomi Makro
Samsul (2006) mengemukakan faktor ekonomi makro adalah faktor yang
berada di luar perusahaan, tetapi mempunyai pengaruh terhadap kenaikan atau
penurunan kinerja perusahaan baik secara langsung maupun tidak langsung. Lestari
(2005) menyatakan bahwa secara teori banyak terdapat indikator yang dapat
mengukur variabel makro, namun dari sekian banyak indikator yang cukup lazim
digunakan untuk memprediksi fluktuasi saham adalah variabel yang secara langsung
dikendalikan melalui kebijakan moneter dengan mekanisme transmisi melalui pasar
keuangan yaitu tingkat bunga, laju inflasi, dan kurs valuta asing. Perubahan faktor
ekonomi makro tidak akan dengan seketika mempengaruhi kinerja perusahaan, tetapi
secara perlahan dalam jangka panjang. Sebaliknya, harga saham akan terpengaruh
dengan seketika oleh perubahan faktor ekonomi makro karena investor lebih cepat
bereaksi. (Samsul, 2006).
Tiga informasi ekonomi makro yang digunakan dalam penelitian ini yaitu;
28
a.
Tingkat Suku Bunga BI
Tingkat suku bunga menjadi benchmark untuk para pemodal dalam
berinvestasi karena tingkat pengembalian harta (assets return) mempunyai
tingkat risiko yang mendekati nol atau tergolong harta bebas risiko (risk free
assets). Lazimnya tingkat suku bunga mempunyai korelasi negatif terhadap
pasar saham yang mana investor akan menjual sahamnya dan beralih pada
instrumen fixed income ketika pemerintah menaikkan tingkat suku bunga.
Tingkat bunga BI akan berpengaruh negatif dan positif, turunnya
tingkat bunga pinjaman atau tingkat bunga deposito akan berdampak pada
kenaikan harga saham dipasar dan laba bersih per saham. Penurunan bunga
deposito berpengaruh pada investor yang mengalihkan dananya dari
perbankan ke pasar modal.
Sedangkan kenaikan tingkat bunga pinjaman berdampak negatif bagi
perusahaan karena meningkatnya beban bunga kredit dan menurunnya laba
bersih yang akhirnya berpengaruh pada laba per saham dan turunnya harga
saham dipasar.
Besarnya suku bunga BI mewakili free risk return dan menciptakan
biaya peluang (opportunity cost) bagi investor yang membeli saham IPO.
Tingginya BI maka opportunity cost memegang saham IPO akan yang lebih
tinggi pula sehingga investor mengharapkan harga saham di pasar sekunder
tinggi dan berdampak pada meningkatnya underpricing.
29
b.
Inflasi
Inflasi dapat didefenisikan sebagai suatu proses kenaikan harga-harga
yang berlaku dalam sesuatu perekonomian dan terjadi penurunan nilai uang
(Sukirno, 2004). Laju inflasi yang tidak terantisipasi akan berdampak pada
naiknya barang dan jasa sehingga tingkat konsumsi akan menurun. Selain itu
akan berdampak pada kenaikan faktor produksi yang akan meningkatkan
biaya modal perusahaan sehingga laju inflasi yang tidak terkendali akan
menurunkan nilai dari perusahaan termasuk laba perusahaan.
Turunnya laba perusahaan akan menurunkan minat investor untuk
membeli saham pada saat IPO. Oleh karena itu kenaikan inflasi akan
menurunkan harga saham sehingga berpengaruh terhadap tingginya
underpricing (Samsul, 2006).
c.
Kurs Rupiah terhadap Dollar AS
Yolana dan Martiani (2005) mengemukakan bahwa dalam riset ilmiah
yang dilakukan IBAS Research – perusahaan riset swasta di Indonesia
menemukan bahwa kurs rupiah terhadap dollar AS, dan SBI merupakan
leading indicators harga saham. Koefisien korelasi pergerakan kurs dollar AS
terhadap rupiah dengan IHSG tergolong besar, yaitu 0.67 dengan arah negatif,
artinya pergerakan IHSG berbalik dengan pergerakan kurs (Yolana dan
Martiani, 2005).
30
Kurs menggambarkan keadaan pasar. Pergerakan kurs yang dinamis
dapat diperdagangkan dan dari kegiatan tersebut ada keuntungan yang
diperoleh sehingga kurs menjadi salah satu pertimbangan dalam berinvestasi.
Naik turunnya nilai Rupiah terhadap uang asing menyebabkan naik turunnya
permintaan saham di pasar modal oleh investor. Kenaikan US$ terhadap
rupiah berdampak pada perusahaan yang memiliki hutang dalam dollar
sehingga akan berdampak pula pada pergerakan harga saham yang pada
akhirnya akan mempengaruhi tingkat underpricing.
2.1.5.2 Informasi Keuangan Perusahaan
Informasi keuangan menjadi penting bagi investor dalam menilai perusahaan
yang akan go public. Informasi keuangan dalam laporan keuangan berisikan rasiorasio yang akan membantu investor dalam berinvestasi. Analisis rasio digunakan
dalam tiga komponen yaitu (1) manajer, penggunaan rasio pada manajer perusahaan
membantu untuk menganalisis dan memperbaiki operasi perusahaan (2) analisis
kredit, membantu untuk menganalisis rasio untuk membantu menentukan
kemampuan perusahaan membayar hutang (3) analisis saham, membantu dalam
efesiensi, resiko dan prospek pertumbuhan perusahaan (Brigham dan Houston, 2001).
Dalam penelitian ini dipilih tiga rasio keuangan perusahaan yaitu;
31
a.
Return On Assets (ROA)
ROA merupakan rasio profitabilitas yang digunakan sebagai tolak
ukur efektifitas perusahaan sehingga menghasilkan keuntungan atau laba bagi
perusahaan. ROA digunakan untuk mengukur efektifitas perusahaan dalam
menghasilkan keuntungan dengan cara memanfaatkan aktiva yang dimilikinya
(Ang, 1997). Hal serupa juga dinyatakan oleh Clara (2001) bahwa ROA
merupakan rasio profitabilitas yang menunjukkan seberapa efektifnya
perusahaan beroperasi sehingga menghasilkan keuntungan bagi perusahaan.
Profitabilitas perusahaan menunjukkan kemampuan perusahaan
menghasilkan laba di masa yang akan datang atau bagaimana perusahaan
menggunakan assetnya secara efisien dalam mengelola kegiatannya untuk
menghasilkan keuntungan (Tambunan, 2007). Besarnya nilai ROA akan
menunjukkan kemampuan perusahaan menghasilkan laba dimasa mendatang
dan laba merupakan informasi penting bagi investor.
Profitabilitas yang tinggi dari suatu perusahaan akan mengurangi
ketidakpastian bagi investor sehingga akan menurunkan tingkat underpricing
(Ghozali, 2002). Dalam hubungannya dengan IPO, profitabilitas perusahaan
yang tinggi akan mengurangi ketidakpastian IPO sehingga mengurangi tingkat
underpricing (Daljono, 2000). Kim, et.al. (1993) menyatakan profitabilitas
memberikan informasi kepada pihak luar perusahaan mengenai efektifitas
operasional perusahaan. Tingginya profitabilitas perusahaan menunjukkan
32
kemampuan perusahaan menghasilkan laba yang tingi. Laba merupakan salah
satu informasi penting bagi investor dalam mengambil keputusan.
Profitabilitas yang tinggi akan mengurangi ketidakpastian perusahaan
di masa yang akan datang, dan sekaligus mengurangi ketidakpastian pasar,
sehingga akan mengurangi underpricing (Kim, et. al., 1993). Pengukuran
profitabilitas perusahaan menggunakan Rate of Return On Assets (ROA)
(Kim, et.al., 1993; Trisnawati, 1998; Daljono, 2000; Sandhiaji, 2004;
Gerianta, 2008).
b.
Financial Leverage
Secara teoritis, financial leverage menunjukkan resiko suatu
perusahaan dan faktor ini menunjukkan kondisi ex-ante uncertainty (Kim,
et.al., 1993). Financial leverage menggambarkan kemampuan perusahaan
melunasi hutangnya dengan modal yang dimiliki.
Financial leverage sangat berkaitan erat dengan penciptaan suatu
struktur modal yang dapat mempengaruhi struktur kebijakan dimana
selanjutnya dapat mempengaruhi suatu kemampuan perusahaan untuk
membuat berbagai pilihan strategi (Jensen, 1986). Struktur modal yang tepat
merupakan keputusan kritis dalam organisasi bisnis karena adanya kebutuhan
memaksimumkan laba dan juga berdampak pada perusahaan dalam
lingkungan persaingan bisnis.
33
Financial leverage ini dapat diproksikan oleh DER (Panjaitan, 2001).
Perusahaan dengan tingkat financial leverage tinggi cenderung menggunakan
dana hasil IPO untuk membayar hutangnya. Menurut Daljono (2000) apabila
financial leverage, menunjukkan resiko suatu perusahaan yang tinggi pula.
Menurut Kim, et.al. (1993), secara teoritis, financial leverage
menunjukkan risiko suatu perusahaan dan kondisi ketidakpastian. Apabila
financial leverage tinggi, berarti risiko suatu perusahaan tinggi sehingga para
investor akan mempertimbangkan hal ini dalam melakukan keputusan
investasi (Trisnawati, 1998). Semakin besar financial leverage suatu
perusahaan, akan menimbulkan ketidakpastian harga saham perdana yang
besar pula, yang pada akhirnya akan mempengaruhi underpricing.
2.1.5.3 Informasi Non-Keuangan Perusahaan
Informasi non-keuangan perusahaan bisa diperoleh dari prospektus yang
merupakan dokumen berisikan informasi tentang perusahaan yang akan go public dan
informasi lainnya mengenai saham yang akan ditawarkan. Perusahaan akan
menerbitkan prospektus dimana setiap informasi tertulis berkaitan mengenai
penawaran umum. Dari prospektus tersebut diperoleh berbagai informasi nonkeuangan mengenai perusahaan. Dalam penelitian ini diambil empat informasi nonkeuangan yaitu;
a.
Reputasi Penjamin Emisi (Underwriter)
34
Penjamin Emisi atau Underwriter adalah perusahaan sekuritas baik
swasta atau BUMN yang melakukan penjaminan atas penawaran saham ke
publik. Proses penjaminan ini disebut dengan underwriting. Perusahaan ini
yang mempunyai kewajiban kepada regulator dan investor agar proses IPO
bisa berjalan dengan baik dan banyak investor yang membelinya (Manurung,
2013). Penjamin emisi melakukan negosiasi dengan emiten dalam penetapan
harga efek saat penawaran perdana sehingga harga yang terbentuk merupakan
kesepakatan antara underwriter dengan emiten.
Dalam penjaminan emisi, underwriter biasanya membentuk kelompok
yang terdiri dari lead underwriter (penjamin pelaksana emisi) dan anggota
underwriter (penjamin emisi). Menurut Ang (1997) terdapat empat jenis
kontrak penjaminan emisi berdasarkan tipe kesanggupan penjaminan yaitu:
1) Best Effort (Kesanggupan Terbaik)
Underwiter tidak bertanggung jawab atas sisa efek yang tidak terjual,
tetapi underwriter akan berusaha dengan sebaik-baiknya untuk menjual efek
emiten.
2) Full Commitment (Kesanggupan Penuh)
Underwriter bertanggung jawab penuh terhadap penjualan efek.
Dengan metode ini, underwriter membeli semua saham yang dijual oleh
emiten dengan harga yang lebih rendah dari harga penawaran dan
menanggung semua risiko atas saham yang tidak terjual.
3) Stand-by Commitment (Kesanggupan Siaga)
35
Tanggung jawab underwriter disini hampir sama dengan full
commitment, hanya saja bedanya underwriter bertanggung jawab mengambil
sisa saham yang tidak terserap di masyarakat pada harga lebih murah dibawah
harga pada penawaran perdana yang telah disepakati sebelumnya.
4) All or None Commitment (Kesanggupan Semua atau Tidak Sama
Sekali)
Apabila minat di masyarakat terhadap saham yang ditawarkan tidak
memenuhi target yang telah ditetapkan, maka underwriter tidak akan
melanjutkan proses emisi.
Selain menetapkan harga saham bersama dengan emiten, fungsi
underwriter juga menjamin terjualnya harga saham sesuai dengan tipe
penjaminan yang telah disepakati. Underwriter dengan reputasi yang baik
akan memiliki kepercayaan diri akan kesuksesan penawaran umum dipasar.
Logue, et.al. (2002) mengemukakan bahwa penjamin emisi mempunyai
peranan penting dalam IPO terutama reputasinya. Investor menjadikan
reputasi yang dimiliki penjamin emisi sebagai pertimbangan dalam
melakukan investasi. Reputasi sekuritas bertambah bila investor mendapatkan
keuntungan ketika membeli saham dari perusahaan sekuritas tersebut
(Manurung, 2013).
Sampai saat ini belum ada pengukuran yang baku untuk penilaian
reputasi underwriter. Dalam beberapa penelitian pengukuran reputasi
mungkin berbeda-beda salah satunya dengan penilaian melalui 50 most active
36
IDX members by frequency yang dirilis oleh fact book BEI dalam periode
tahun 2010-2014. Penelitian ini hanya menggunakan 20 data penjamin emisi
dari 50 daftar yang tersedia.
Reputasi ini dinilai dengan variabel dummy, nilai 1 untuk underwriter
yang termasuk dalam 20 most active IDX members by frequency dan nilai 0
untuk underwriter yang tidak termasuk dalam daftar tersebut. Hal ini juga
dilakukan pada penelitian oleh Yolana dan Martiani (2005), Irawati (2009)
dan Ratnasari dan Hudwinarsih (2013).
b.
Umur Perusahaan (Age of Firm)
Menurut Carter (1998) semakin muda umur perusahaan maka semakin
tinggi tingkat underpricing dari perusahaan tersebut. Umur perusahaan
merupakan salah satu hal yang dipertimbangkan investor dalam menanamkan
modalnya (Chisty, 1996). Umur suatu perusahaan akan menunjukkan
kemampuan bertahan perusahaan dan sebagai bukti daya saing perusahaan
serta dapat mengambil kesempatan bisnis dalam perekonomian.
Perusahaan yang belum lama berdiri, akan lebih sulit untuk
membentuk ramalan laba dibandingkan dengan perusahaan yang telah lama
berdiri (Sunaryah, 2002). Perusahan yang lebih lama berdiri mempunyai
kemungkinan memberikan informasi yang lebih banyak dan luas bila
dibandingkan perusahaan yang belum lama berdiri. Perusahaan yang
beroperasi lebih lama mempunyai kenaikan yang lebih besar untuk
37
menyediakan informasi perusahaan yang lebih banyak dan luas daripada yang
baru saja berdiri (Nurhidayati dan Indriantoro, 1998).
Dengan demikian akan mengurangi adanya asimetri informasi dan
memperkecil ketidakpastian pasar dan pada akhirnya akan mempengaruhi
underpricing saham (How,et.al.,1995). Sehingga pada umumnya, semakin tua
umur perusahaan maka masyarakat luas lebih mengenal dan menarik minat
dan kepercayaan investor, maka tingkat underpricing akan semakin rendah.
c.
Skala/Ukuran Perusahaan (Size of Firm)
Ukuran perusahaan dapat digunakan sebagai proksi ketidakpastian
terhadap keadaan perusahaan dimasa datang. Perusahaan dengan skala/ukuran
besar lebih dikenal publik sehingga informasi tentang prospek perusahaan
berskala besar lebih mudah diperoleh dibanding perusahaan berskala kecil.
Tingkat ketidakpastian yang akan dihadapi oleh calon investor mengenai masa
depan perusahaan
emiten dapat
diperkecil
apabila
informasi
yang
diperolehnya banyak (Minsen, 2004).
Terdapat beberapa kriteria untuk mengukur besar kecilnya perusahaan
misalnya jumlah omset penjualan, jumlah produk, modal perusahaan dan total
aktiva. Titman dan Wessels (1988) menyatakan logaritma natural dari total
aktiva dan logaritma natural dari total penjualan dapat digunakan sebagai
indikator ukuran perusahaan. Total aktiva dianggap mampu menunjukkan
ukuran perusahaan karena mewakili kekayaan perusahaan baik berupa aktiva
38
tetap maupun aktiva lancar (Carter dan Manaster, 1990). Ukuran perusahaan
dapat diketahui dari besarnya total aktiva perusahaan pada periode terakhir
sebelum perusahaan melaksanakan penawaran umum.
Ukuran perusahaan yang besar mengindikasikan bahwa perusahaan
dalam keadaan yang stabil (Dianingsih, 2003). Menurut Siregar dan Utama
(2006), semakin besar ukuran perusahaan, informasi yang tersedia untuk
investor dalam pengambilan keputusan sehubungan dengan investasi saham
semakin banyak. Sedangkan pada perusahaan berskala kecil tingkat
ketidakpastian di masa yang akan datang besar, sehingga tingkat resiko
investasinya lebih besar dalam jangka panjang (Nurhidayati dan Indriantoro,
1998).
Hal ini menunjukkan bahwa ukuran perusahaan dapat dijadikan proksi
ketidakpastian karena perusahaan besar pada umumnya lebih dikenal oleh
publik dan karena lebih dikenal maka informasi mengenai perusahaan lebih
banyak dan mudah diperoleh. Dengan demikian hal ini akan mengurangi
asimetri informasi perusahaan berskala besar sehingga akan menurunkan
tingkat underpricing
d.
Persentase Penawaran Saham kepada Masyarakat
Proporsi saham yang ditawarkan kepada masyarakat dapat digunakan
sebagai proksi terhadap faktor ketidakpastian yang akan diterima oleh
investor. Hal tersebut telah dikemukakan oleh Nurhidayati dan Indriantono
39
(1998). Proposi dari saham yang ditahan dari pemegang saham lama dapat
menunjukkan aliran informasi dari saham emiten ke calon investor. Besarnya
proporsi saham yang dipegang oleh pemegang saham lama maka semakin
banyak informasi privat yang dimiiki oleh pemegang saham lama. Investor
lama mengeluarkan biaya untuk mendapatkan informasi guna pengambilan
keputusan untuk membeli saham atau tidak. Sehingga kompensasinya adalah
biaya oleh investor sehingga investor mengharapkan mendapat tingkat initial
return yang tinggi.
Dengan demikan semakin besar persentase saham yang ditawarkan
kepada masyarakat maka tingkat ketidakpastiannya akan semakin kecil, yang
pada akhirnya akan menurunkan tingkat underpricing saham.
2.2 Penelitian Terdahulu
Dengan adanya penjelasan mengenai teori IPO, terdapat banyak penelitian
yang telah dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi
underpricing. Penelitian-penelitian tersebut dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor
apa saja yang mempengaruhi fenomena underpricing di Indonesia. Beberapa
penelitian mengenai terjadinya underpricing memberikan hasil yang berbeda-beda.
Perbedaan hasil penelitian kemungkinan terjadi karena kondisi pasar modal,
perbedaan konsep peneliti serta data yang digunakan.
40
Tabel 2. 1. Ringkasan Hasil Penelitian Sebelumnya terhadap Underpricing
No
Judul Penelitian
Variabel
Hasil Peneltian
1
Beatty
(1989)
Penelitian
Auditor Reputation and The
Pricing of IPO
Rep. Auditor, Rep.
Underwriter, age,
persentase saham
yang ditawarkan,
tipe kontrak
underwriter,
Indikator
perusahaan
minyak dan gas
Rep. Auditor, rep
underwriter, age, tipe
kontrak underwriter
berpengaruh (-)
sedangkan persentase
saham yang ditawarkan
dan indikator
perusahaan minyak dan
gas berpengaruh (+)
2
Kim et al.
(1993)
Motives for Going Public
and Underpricing: New
Findings from Korea
3
Sandhiaji
(2004)
Analisis Faktor-Faktor yang
Mempengaruhi Tingkat
Underpricing pada
Penawaran Umum Perdana
(IPO) Periode Tahun 19962002
Invesment,
Kualitas
underwriter, ROA,
Financial
Leverage, Gross
proceeds,
Ownership
retention
ROA, Size, Age,
Jumlah Saham
yang ditahan, Rep.
Underwriter, Rep.
Auditor
4
Yolana &
Martiani
(2005)
Variabel-Variabel Yang
Mempengaruhi Fenomena
Underpricing Pada
Penawaran Saham Perdana
Di BEJ Tahun 1994 – 2001
Size, Kurs, ROE,
Jenis Industri,
Rep. Penjamin
Emisi
5
Ariawati
(2005)
Analisis Faktor-Faktor Yang
Mempengaruhi Tingkat
Underpricing Pada
Penawaran Saham Perdana
(IPO) (Studi Pada
Perusahaan Go Public Yang
Terdaftar Di BEJ Tahun
1993-2003)
Size, Financial
Leverage, Rep.
Underwriter, Jk
waktu listing, ROI,
Kondisi Pasar
Investment, kualitas
underwriter, ROA,
gross proceeds
berpengaruh (-)
sedangkan financial
leverage dan ownership
retention berpengaruh
(+)
ROA, Size, Age, dan
Rep. Underwriter
berpengaruh signifikan
(-) , Jumlah Saham yang
ditahan berpengaruh
signifikan (+) dan Rep.
Auditor tidak memiliki
pengaruh signifikan
terhadap Underpricing
Size, Kurs, ROE, Jenis
Industri memiliki
pengaruh signifikan,
sedangkan Rep.
Penjamin Emisi tidak
memiliki pengaruh
terhadap Underpricing
Size dan Rep.
Underwriter memiliki
pengaruh (-) signifikan
terhadap underpricing,
Financial Leverage
memiliki pengaruh (+)
signifikan terhadap
underpricing, dan ROI,
Jk waktu listing serta
Kondisi Pasar tidak
memiliki pengaruh
41
No
Penelitian
Judul Penelitian
Variabel
6
Hardi
(2005)
Analisis dan Pengaruh
Variabel Ekonomi Makro
Terhadap Penetapan Harga
Saham Perdana Di Bursa
Efek Jakarta
suku bunga,
inflasi, nilai tukar
US$
7
Amelia &
Saftiana
(2007)
Analisis Faktor-Faktor Yang
Mempengaruhi
Underpricing Penawaran
Umum Perdana Di Bursa
Efek Jakarta
8
Handayani
(2008)
Analisis Faktor-Faktor Yang
Mempengaruhi
Underpricing Pada
PenawaranUmum Perdana
(Studi Kasus Pada
Perusahaan Keuangan Yang
Go Public diBursa Efek
Jakarta Tahun 2000-2006)
Size, Age,
Financial
Leverage,
Persentase
Kepemilikan
Saham yang
ditahan, ROE
ROA, Financial
Leverage, EPS,
Age, Size,
Prosentase
Penawaran Saham
9
Irawati
(2009)
Analisis Pengaruh Informasi
Akuntansi Dan Non
Akuntansi Terhadap Initial
Return Pada Perusahaan
Yang Melakukan Initial
Public Offering Di BEI
Size Firm, EPS,
Financial
Leverage, ROI,
Rep. Auditor, Rep.
Underwriter, Jenis
Industri
10
Isfatun &
Hatta (2010)
Analisis Informasi Penentu
Harga Saham Saat Initial
Public Offering
Financial
Leverage, Age,
ROE, Rep.
Underwriter, Rep.
Auditor
Age, Size,
persentase saham
yang ditawarkan,
jenis industri
11 Islam
,et.al.
(2010)
An Empirical Investigation
of the Underpricing of Initial
Public Offerings in the
Chittagong Stock Exchange
Hasil Peneltian
Pengaruh variabel Suku
Bunga, Inflasi dan US$
terhadap
penetapanharga saham
perdana tidak
signifikan, kecuali
penawaran saham
perdana tahun 1996.
Pada tahun 1996
kondisi ekonomi makro
Indonesia dalam
keadaan stabil dan
tumbuh cukup baik.
Tidak ditemukan
adanya pengaruh
terhadap undepricing
pada kelima variabel
tersebut
Hanya EPS yang
memiliki pengaruh
signifikan dan secara
simultan keenam
variabel tersebut tidak
berpengaruh signifikan
terhadap underpricing
Size Firm, EPS,
Financial Leverage,
ROI, Rep. Auditor, Rep.
Underwriter, Jenis
Industri berpengaruh
signifikan terhadap
underpricing
hanya Financial
Leverange yang
berpengaruh terhadap
underpricing
Age dan size
berpengaruh (+)
sedangkan persentase
saham yang ditawarkan
dan jenis industri
berpengaruh (-)
42
No
Penelitian
12
Wulandari
(2011)
13
Ratnasari &
Hudwinarsih
(2013)
14
Retnowati
(2013)
15
Kristiantari
(2013)
Judul Penelitian
Variabel
Hasil Peneltian
Analisis Faktor-Faktor Yang
Mempengaruhi
Underpricing Pada
Penawaran Umum Perdana
(Studi Kasus Pada
Perusahaan Go Public Yang
Terdaftar Di Bursa Efek
Indonesia Tahun 2006-2010)
Analisis Pengaruh Informasi
Keuangan, Non Keuangan
Serta Ekonomi Makro
Terhadap Underpricing Pada
Perusahaan Ketika IPO
ROA, Financial
Leverage, Age,
Size, Prosentase
Penawaran Saham
Financial Leverage dan
Prosentase Penawaran
Saham memiliki efek
(+) dan ROA, Age, Size
memiliki efek (-)
terhadap underpricing
Return on Equity,
financial leverage,
tingkat inflasi,
reputasi KAP,
reputasi
penanggung
Hanya return on equity,
reputasi KAP dan
reputasi penanggung
memiliki dampak yang
signifikan terhadap
underpricing
Penyebab Underpricing
Pada Penawaran Saham
Perdana Di Indonesia
ROA, Financial
Leverage, EPS,
Age, Size,
Prosentase
Penawaran Saham
Analisis Faktor-Faktor yang
Mempengaruhi
Underpricing Saham Pada
Penawaran Saham Perdana
di Bursa Efek Indonesia
Rep. Underwriter,
Rep. Auditor, Age,
Size, Tujuan
Penggunaan Dana
untuk Investasi,
ROA, Financial
Leverage, Jenis
Industri.
EPS, Size, Prosentase
Penawaran Saham,
berpengaruh secara
signifikan sedangkan
Financial Leverage,
ROA, dan Age tidak
berpengaruh terhadap
underpricing
Rep. underwriter, size
dan tujuan penggunaan
dana untuk investasi
berpengaruh signifikan
(-) sedangkan rep.
auditor, age, ROA,
financial leverage, dan
jenis industri tidak
memiliki pengaruh
terhadap underpricing
Sumber: Data diolah
2.3 Kerangka Pemikiran Teoritis
Kerangka pemikiran dibentuk dari tujuan perusahaan untuk memperoleh
profit maksimal dari kegiatan penawaran saham perdana. Diperlukan adanya
informasi yang akurat didukung dengan kondisi perekonomian yang baik sehingga
perusahaan mampu menarik investor dan memperoleh keuntungan yang diharapkan.
43
Untuk mencapai target tersebut perusahaan diharuskan memberikan informasi dan
performa yang baik didalam prospektus perusahaan.
Kondisi makro ekonomi yang baik langsung maupun tidak langsung dapat
mempengaruhi kegiatan go public suatu perusahaan. Informasi makro ekonomi pada
saat penawaran umum perdana akan berdampak pada pergerakan harga saham di
Bursa. Lazimnya faktor makro ekonomi seperti tingkat bunga BI, inflasi serta kurs
rupiah terhadap Dollar AS dimana pergerakannya dapat mempengaruhi pasar saham,
kondisi internal perusahaan, dan perilaku investor.
Selain itu, Informasi keuangan dan informasi non-keuangan yang terdapat
dalam prospektus merupakan ketentuan yang harus dimiliki setiap perusahaan yang
akan go public. Dengan adanya informasi dari prospektus diharapkan dapat
digunakan oleh investor dalam mempengaruhi pengambilan keputusan, sehingga
perusahaan sebagai emiten yang mencatatkan diri di Bursa Efek akan memperoleh
return yang optimal untuk peningkatan kinerja perusahaan.
Informasi keuangan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu return on asset
dan debt to equity ratio. Sedangkan informasi non-keuangan yang digunakan dalam
penelitan ini adalah reputasi underwriter, umur perusahaan, ukuran perusahaan,
persentase penawaran saham. Informasi keuangan dan non-keuangan tersebut
diperkirakan memiliki pengaruh tehadap underpricing.
Pemilihan faktor-faktor tersebut didasari dari beberapa penelitian sebelumnya
yang memberikan adanya korelasi antara faktor-faktor tersebut dengan fenomena
underpricing di Bursa Efek Indonesia. Rentang waktu penelitian ini adalah antara
44
tahun 2010 sampai 2014 perusahaan yang bukan termasuk dalam sektor keuangan
dan melakukan kegiatan penawaran umum serta mengalami underpricing pada hari
pertama listing di Bursa.
Dalam rentang waktu tersebut, diharapkan dapat diketahui apakah informasi
makro yang diproksikan oleh variabel tingkat bunga BI, Inflasi dan Kurs Rupiah
terhadap Dollar AS serta faktor internal perusahaan yaitu ROA dan Financial
Leverage dalam hal ini merupakan informasi keuangan dan Reputasi underwriter,
Umur Perusahaan, Skala Perusahaan dan Persentase penawaran Saham dalam hal ini
merupakan informasi non-keuangan mempengaruhi terjadinya underpricing di Bursa
efek Indonesia.
Berdasarkan hal tersebut dapat digambarkan bentuk kerangka pemikiran
sebagai berikut:
Informasi Makro Ekonomi:
-Tingkat Bunga BI
-Inflasi
-Kurs Rupiah terhadap Dollar AS
Informasi Keuangan:
-Return on Assets (ROA)
-Financial Leverage (DER)
Informasi Non-Keuangan:
-Reputasi underwriter
-Umur Perusahaan (Age)
-Ukuran Perusahaan (Size)
-Persentase Penawaran Saham
Underpricing pada Initial
Public Offering Perusahaan
sektor non-keuangan periode
2010-2014
45
Gambar 2.2. Bagan Kerangka Pemikiran Analisis Faktor-Faktor yang
Mempengaruhi Fenomena Underpricing di Bursa Efek Indonesia Tahun 20102014
Sumber : Hasil Pemikiran Penulis
2.4 Hipotesis Penelitian
Dari penelitian-penelitian yang dilakukan mengenai terjadinya underpricing
terdapat informasi ekonomi makro serta informasi internal berupa faktor keuangan
dan faktor non-keuangan yang umumnya digunakan dalam penelitian untuk
mengetahui korelasinya terhadap underpricing.
Dalam penelitian ini digunakan informasi ekonomi makro diproksikan oleh
variabel Tingkat Bunga BI, Inflasi dan Kurs Rupiah terhadap Dollar AS sedangkan
variabel ROA dan DER sebagai variabel keuangan dan Reputasi underwriter, umur
perusahaan, skala perusahaan, dan persentase penawaran saham sebagai variabel nonkeuangan. Adapun pengembangan hipotesis pada penelitian ini adalah sebagai
berikut:
Menurut Martiani (2003) tingkat bunga mewakili free risk return dimana
faktor ini mencerminkan opportunity cost dari investor yang membeli saham IPO.
Semakin tinggi tingkat bunga maka semakin tinggi pula opportunity cost memegang
saham IPO sehingga akan meningkatkan underpricing.
Hipotesis 1:
Tingkat Bunga BI berpengaruh positif terhadap besarnya tingkat
underpricing.
Samsul (2006) menyatakan bahwa kenaikan laju inflasi berpengaruh terhadap
tingginya underpricing. Tingginya laju inflasi akan berdampak pada harga barang dan
46
jasa yang mempengaruhi tingkat konsumsi. Selain itu naiknya harga akan
meningkatkan faktor produksi sehingga berdampak pada biaya produksi yang
akhirnya menurunkan nilai perusahaan termasuk laba. Turunnya laba perusahaan
akan menurunkan minat perusahaan membeli saham IPO. Semakin tinggi inflasi akan
menurunkan harga saham sehingga berpengaruh pada tingginya underpricing.
Hipotesis 2:
Inflasi berpengaruh positif terhadap besarnya tingkat underpricing.
Yolana dan Martiani (2005) menyatakan pergerakan IHSG berbalik dengan
pergerakan kurs. Kondisi rupiah yang melemah akan menurunkan minat investor
sehingga emiten cenderung memurahkan harga penawaran saham. Hal ini didukung
oleh hasil penelitian Yolana dan Martiani (2005) yang mengemukakan bahwa Kurs
Rupiah terhadap Dollar AS berpengaruh positif terhadap underpricing.
Hipotesis 3:
Kurs Rupiah terhadap Dollar AS berpengaruh positif terhadap
besarnya tingkat underpricing.
Tingginya profitabilitas suatu perusahaan akan mengurangi ketidakpastian
dimasa datang sekaligus ketidakpastian pasar sehingga mengurangi tingkat
underpricing. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Ghazali (2002) dan Sandhiaji
(2004) yang mengemukakan bahwa ROA berpengaruh signifikan negatif terhadap
underpricing.
Hipotesis 4:
Return On Asset (ROA) berpengaruh negatif terhadap besarnya tingkat
underpricing.
Semakin tinggi financial leverage (DER) akan semakin tinggi pula
ketidakpastian harga saham perdana suatu perusahaan yang nantinya akan
47
mempengaruhi underpricing. Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh
Ariawati (2005) dan Wulandari (2011) yang mengemukakan bahwa DER memiliki
pengaruh positif terhadap underpricing.
Hipotesis 5:
Debt to Equity Rasio (DER) berpengaruh positif terhadap besarnya
tingkat underpricing.
Reputasi Underwriter dapat digunakan sebagai sinyal untuk mengurangi
tingkat ketidakpastian yang tidak diungkapkan dalam prospektus serta informasi
mengenai prospek emiten dimasa datang. Semakin tinggi reputasi underwriter maka
akan menurunkan tingkat underpricing. Hal ini didukung oleh hasil penelitian
Ariawati (2005), Ratnasari & Hudwinarsih (2013) dan Kristiantari (2013) yang
mengemukakan bahwa Reputasi underwriter berpengaruh signifikan negatif terhadap
underpricing.
Hipotesis 6:
Reputasi underwriter berpengaruh negatif terhadap besarnya tingkat
underpricing.
Perusahaan yang beroperasi lebih lama dapat menunjukkan kemapuan
bersaing dan memberikan informasi yang lebih banyak dan luas bila dibandingkan
dengan perusahaan yang belum lama berdiri. Hal ini didukung oleh hasil penelitian
Sandhiaji (2004) yang mengemukakan bahwa Umur Perusahaan berpengaruh
signifikan negatif terhadap underpricing.
Hipotesis 7: Umur perusahaan berpengaruh negatif terhadap besarnya tingkat
underpricing.
48
Perusahaan berskala besar cenderung lebih dikenal masyarakat sehingga
informasi prospek perusahaan dengan skala besar lebih mudah diperoleh
dibandingkan dengan perusahaan berskala kecil. Hal ini didukung oleh hasil
penelitian Sandhiaji (2004), Ariawati (2005), dan Yolana dan Martiani (2005), dan
Kristiantari (2013) yang mengemukakan bahwa Ukuran Perusahaan berpengaruh
signifikan negatif terhadap underpricing.
Hipotesis 8:
Ukuran perusahaan berpengaruh negatif terhadap besarnya tingkat
underpricing.
Besarnya proposi saham yang dipegang oleh pemegang saham lama akan
semakin banyak pula informasi privat yang dimiliki oleh pemegang saham lama.
Penelitian Beatty (1989), Islam, et.al. (2010) dan Retnowati (2013) yang
menunjukkan adanya hubungan negatif antara saham yang ditawarkan dengan tingkat
underpricing.
Hipotesis 9:
Persentase penawaran saham berpengaruh negatif terhadap besarnya
tingkat underpricing.
Selain kesembilan hipotesis yang disebutkan diatas, maka pengembangan
hipotesis lainnya adalah Informasi Makro Ekonomi (Tingkat Bunga BI, Inflasi,
Kurs), Informasi Keuangan (ROA dan DER) serta Informasi non-keuangan (Umur,
Ukuran, dan Persentase Penawaran Saham) secara bersama-sama akan mempengaruhi
underpricing.
49
Hipotesis 10: Informasi Makro Ekonomi (Tingkat Bunga BI, Inflasi, Kurs),
Informasi Keuangan (ROA, DER, EPS) serta Informasi non-keuangan
(Umur, Ukuran, dan Persentase Penawaran Saham) secara bersamasama akan mempengaruhi underpricing.
Download