17 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1. Penawaran Umum Perdana (Initial Public Offering) Initial Public Offering (IPO) merupakan kegiatan yang dilakukan perusahaan dalam rangka penawaran umum penjualan saham perdana (Ang, 1997). Undangundang nomor 8 tahun 1995 tentang pasar modal menjelaskan bahwa Penawaran Umum sebagai sebagai kegiatan penawaran Efek kepada masyarakat berdasarkan tata cara yang diatur dalam Undang-undang dan peraturan pelaksanaannya. Sedangkan pengertian Efek adalah surat berharga, yaitu surat pengakuan utang, surat berharga komersial, saham, obligasi, tanda bukti hutang, Unit Penyertaan Kontrak Investasi Kolektif, kontrak berjangka atas Efek, dan setiap derivatif dari Efek. Perusahaan yang akan melakukan IPO atau Penawaran Umum Perdana harus mengajukan Pernyataan Pendaftaran kepada Bapepam-LK untuk memperoleh Pernyataan Efektif. Persyaratan utama bagi perusahaan yang pertama kali mencatatkan sahamnya di Bursa Efek Indonesia adalah melakukan Penawaran Umum Perdana. Kegiatan IPO merupakan keputusan yang tidak tanpa perhitungan karena perusahaan akan dihadapkan dengan benefit (keuntungan) maupun cost (kerugian). Sebelum IPO perusahaan akan menerbitkan prospektus yaitu berupa informasi mendetail perusahaan yang diumumkan kepada publik. Prospektus berfungsi untuk memberikan 17 18 informasi mengenai kondisi perusahaan kepada calon investor sehingga dengan adanya informasi maka investor bisa mengetahui prospek perusahaan dimasa mendatang, dan selanjutnya tertarik untuk membeli sekuritas yang diterbitkan emiten (Tandelilin, 2001). Dorongan atas kebutuhan modal merupakan salah satu sebab perusahaan melakukan aksi go public. Pada umumnya perusahaan yang go public sedang berada dalam pertumbuhan yang pesat sehingga membutuhkan modal untuk ekspansi usaha dan keperluan investasi baru. Perusahaan dapat memperoleh keuntungan baik finansial maupun non finansial. Menurut Sitompul (2000), hal menguntungkan yang dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam melaksanakan penawaran umum antara lain bahwa melalui go public, perusahaan akan mendapatkan dana segar yang dapat digunakan sebagai modal untuk jangka panjang dan juga sangat berguna untuk mengembangkan perusahaan, membayar hutang dan tujuan-tujuan lainnya. Dengan melakukan go public, dapat pula meningkatkan nilai pasar dari perusahaan karena umumnya perusahaan yang sudah menjadi perusahaan publik, likuiditasnya akan lebih meningkat bila dibandingkan dengan perusahaan yang masih tertutup. Perusahaan yang melakukan penawaran umum perdana sering juga dikenal dengan go public. Jogiyanto (2007) menyebutkan, manfaat dari melakukan go public diantaranya adalah: 1) Kemudahan meningkatkan modal di masa mendatang. 2) Meningkatkan likuiditas bagi pemegang saham. 3) Nilai pasar perusahaan diketahui. 19 Disamping manfaat yang diperoleh perusahaan melalui go public, terdapat beberapa kerugian go public, diantaranya adalah: 1) Biaya laporan meningkat. 2) Pengungkapan (disclosure) informasi kepada publik maupun pesaing. 3) Ketakutan untuk diambil alih. Initial Public Offering juga akan meningkatkan kekayaan bersih perusahaan tanpa harus membayar kembali atau meminta tambahan pinjaman. Selain itu, citra dan perkembangan perusahaan akan meningkat karena lebih mudah ketika melakukan ekspansi dari taraf nasional ke taraf internasional. Dengan keuntungan yang diperoleh perusahaan, terdapat pula tanggung jawab dan beban yang harus ditanggung sebagai perusahaan publik dari transparansi informasi terhadap publik dan tugas manajemen perusahaan yang bertanggung jawab tidak hanya pada beberapa pemegang saham tetapi juga terhadap pemegang saham publik. Dengan demikian, initial public offering adalah kegiatan penawaran saham bagi perusahaan yang pertama kali mencatatkan sahamnya melalui serangkaian tata cara dan peraturan tertentu yang ditetapkan oleh Bursa Efek. 2.1.2. Tahapan Penawaran Saham Perdana (Initial Public Offering) Ketika perusahaan melakukan aksi go public, terdapat serangkaian prosedur yang harus dilalui perusahaan. IPO merupakan kegiatan yang dilakukan perusahaan dalam rangka penawaran umum penjualan saham perdana (Ang, 1997). Sedangkan menurut Jogiyanto (2000), IPO merupakan penawaran saham untuk pertama kalinya. 20 Setelah saham ditawarkan kepada masyarakat, maka saham tersebut akan dicatatkan di Bursa Efek untuk selanjutnya dapat ditransaksikan di Bursa tersebut. Transaksi setelah pasar perdana ini disebut secondary market (pasar sekunder). Dalam proses IPO, calon emiten harus melewati beberapa tahapan (Ang, 1997), yaitu sebagai berikut : 1. Tahap persiapan Tahap persiapan merupakan tahapan yang paling panjang diantara tahapan yang lain, kegiatan yang dilakukan tahapan ini merupakan persiapan sebelum mendaftar ke Bapepam (Badan Pengawas Pasar Modal). Dalam tahapan ini, RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham) merupakan langkah awal untuk mendapatkan persetujuan dari pemegang saham mengenai rencana go public. Anggaran dasar perseroan juga harus diubah sesuai dengan anggaran dasar publik. Kegiatan lain dalam tahap ini adalah penunjukan penjamin pelaksana emisi (lead underwriter) serta lembaga dan profesi pasar modal, yaitu akuntan publik, konsultan hukum, penilai, Biro Administrasi Efek (BAE), notaries, security printer serta prospektus printer. 2. Tahap Pemasaran Pada tahap ini, Bapepam akan melakukan penelitian tentang keabsahan dokumen, keterbukaan seluruh aspek legal, akuntansi, keuangan dan manajemen. Langkah selanjutnya adalah pernyataan pendaftaran yang diajukan ke bapepam sampai pernyataan pendaftaran yang efektif, maka langkah-langkah lain yang harus dilakukan adalah : a) Due Diligence Meeting 21 Due diligence meeting adalah pertemuan dengar pendapat antara calon emiten dengan underwriter, baik lead underwriter maupun underwriter. Dalam hal ini juga mengandung unsur pendidikan, yaitu mendidik emiten untuk dapat menghadapi pertanyaan yang nantinya diajukan oleh calon investor. b) Public Expose dan Roadshow Public expose merupakan tindakan pemasaran kepada masyarakat pemodal dengan mengadakan pertemuan untuk mempresentasikan kinerja perusahaan, prospek usaha, resiko, dan sebagainya sehingga timbul daya tarik dari para pemodal untuk membeli saham yang ditawarkan. Rangkaian public expose yang diadakan berkesinambungan dari satu lokasi ke lokasi yang lain disebut roadshow, khususnya penawaran saham kepada investor asing. Didalam public expose/roadshow ini calon emiten dapat menyebarkan info memo dan prospektus awal c) Book Building Di dalam proses roadshow, para pemodal akan menyatakan minat mereka atas saham yang ditawarkan. Didalam roadshow/public expose dinyatakan suatu kisaran harga saham sehingga para pemodal akan menyatakan kesediaan mereka untuk membelinya. Proses mengumpulkan jumlah-jumlah saham yang diminati oleh pemodal inilah yang disebut book building. d) Penentuan Harga Perdana 22 Langkah terakhir yang harus dilakukan adalah penentuan harga final harga perdana saham, yang dilakukan antara lead underwriter dan calon emiten. 3. Tahap Penawaran umum Pada tahap ini calon emiten menerbitkan prospektus ringkas di dua media cetak yang berbahasa Indonesia, yang dilanjutkan dengan penyebaran prospektus lengkap final, penyebaran FPPS (Formulir Pemesanan Pembeli Saham), menerima pembayaran, melakukan penjatahan, refund dan akhirnya penyerahan Surat Kolektif Saham (SKS) bagi yang mendapat jatahnya. 4. Tahap Perdagangan Sekunder Tahap ini meliputi tahapan melakukan pendaftaran ke bursa efek untuk mencatatkan sahamnya sesuai dengan kelanjutan perjanjian pendahuluan pencatatan yang telah disetujui. Setelah tercatat maka saham dapat diperdagangkan dilantai bursa. 2.1.3. Pasar Perdana dan Pasar Sekunder Ang (1997) memaparkan go public adalah menawarkan saham atau obligasi untuk dijual kepada umum untuk pertama kalinya. Istilah go public hanya digunakan pada waktu pertama kalinya perusahaan menjual saham atau obligasi kepada publik. Transaksi IPO pertama kali terjadi di pasar perdana kemudian setelah saham tersebut tercatat dibursa efek transaksi terjadi di pasar sekunder. Terdapat dua jenis pasar yang terdapat di pasar modal (Darmadji, 2001): 23 1) Pasar Perdana (Primary Market) Pasar perdana adalah jenis pasar pada pasar modal dimana saham dan sekuritas lainnya dijual pertama kali pada masyarakat (penawaran umum) sebelum saham dan sekuritas tersebut dicatatkan di bursa. Kegiatan ini disebut penawaran umum perdana (Initial Public Offering). Harga saham di pasar perdana ditentukan oleh emiten dan penjamin emisi (underwriter) berdasarkan faktor-faktor fundamental dan faktor lain yang perlu diidentifikasi. Underwriter selain menentukan harga saham bersama emiten, juga melakukan proses penjualannya. 2) Pasar Sekunder (Secondary Market) Pasar sekunder adalah pasar modal dimana saham dan sekuritas lainnya diperjual belikan kepada umum setelah masa penjualan di pasar perdana. Harga saham di pasar ini ditentukan oleh permintaaan dan penawaran yang dipengaruhi berbagai faktor internal seperti earnings per share (EPS) atau kebijakan deviden dan faktor eksternal seperti kebijakan moneter dan inflasi. 2.1.4. Underpricing Underpricing merupakan suatu keadaan dimana harga saham yang diperdagangkan di pasar primer lebih rendah dibandingkan ketika diperdagangkan dipasar sekunder (Sunaryah, 1997). Menurut Beatty (1989) Istilah underpricing digunakan untuk menggambarkan perbedaan harga antara harga penawaran saham di pasar primer dan harga saham di pasar sekunder pada hari pertama. 24 Beberapa studi yang telah dilakukan sehubungan dengan underpricing. Penjamin emisi (underwriter) berpendapat bahwa harga saham perdana cenderung menurun dan investor yang membeli di pasar perdana akan memperoleh keuntungan jangka pendek dan jangka panjang yang relatif lebih tinggi dibandingan keuntungan pasar sehingga membuktikan keuntungan awal yang berlebihan atau underpricing adalah nyata. Menurut Hanafi (2004), underpricing merupakan fenomena yang sering dijumpai dalam IPO. Terdapat kecenderungan bahwa harga penawaran dipasar perdana selalu lebih rendah dibandingkan harga penutupan dihari pertama pada pasar sekunder. Caster dan Manaster (1990) menjelaskan bahwa underpricing adalah hasil dari ketidakpastian harga saham pada pasar perdana. Penjelasan mengenai keadaan underpricing karena adanya asimetri informasi. De Lorenzo dan Fabrizio (2001) menyatakan hampir semua penelitian terdahulu menjelaskan terjadinya underpricing sebagai akibat dari adanya asimetri dalam distribusi informasi antara pelaku IPO yaitu perusahaan, underwriter, dan investor Asymetry information dikarenakan adanya mispriced dipasar perdana sebagai akibat ketidakseimbangan informasi antara pihak underwriter dengan pihak emiten. Menurut Beatty (1989) asimetri informasi dapat terjadi antara perusahaan emiten dengan underwriter (Model Baron 1982) atau antara informed investor dengan uninformed investor (Model Rock 1986). Pada model Baron (1982) penjamin emisi (underwriter) dianggap memiliki informasi tentang pasar yang lebih lengkap daripada emiten sedangkan terhadap calon investor, penjamin emisi memiliki informasi yang 25 lebih lengkap tentang kondisi emiten. Semakin besar asimetri informasi yang terjadi maka semakin besar risiko yang dihadapi oleh investor, dan semakin tinggi initial return yang di harapkan dari harga saham. Dari sisi perusahaan kondisi underpricing merugikan perusahaan karena tidak memperoleh dana secara maksimal. Kim dan Shin (2001) menyatakan bahwa kemungkinan terjadinya underpricing disebabkan karena kesengajaan underwriter untuk menetapkan harga penawaran jauh dibawah harga pasar untuk meminimalkan kerugian yang harus ditanggung atas saham yang tidak terjual. Kondisi asimetri informasi inilah yang menyebabkan terjadinya underpricing dimana pihak penjamin emisi merupakan pihak yang memiliki banyak informasi dan menggunakan ketidaktahuan emiten untuk memperkecil resiko. Adanya initial return atau underpricing merupakan return positif yang diterima investor saat pasar perdana yang diperoleh dari selisih antara harga penawaran pasar perdana dan harga saat penutupan hari pertama di pasar sekunder. Hasil ketidakpastian harga saham pada pasar sekunder karena adanya kondisi asimetri informasi dimana underwriter merupakan pihak yang memiliki kelebihan informasi dan menggunakan ketidaktahuan emiten untuk memperkecil resiko (Widoatmojo, 2004). Menurut Manurung (2013) penentuan underpricing dapat dilakukan dengan dua pendekatan; pendekatan pertama yaitu pendekatan yang membandingkan harga IPO dengan harga intrinsik dari saham yang bersangkutan dan pendekatan kedua dikenal dengan pendekatan perbandingan harga IPO dengan harga penutupan pada 26 hari pertama saham diperdagangkan. Berikut gambar yang memperlihatkan pendekatan underpricing (Manurung, 2013): Harga Intrinsik Harga IPO Harga Penutupan hari pertama Harga IPO Gambar 2.1 Dua Pendekatan Underpricing Sumber: Manurung, 2013 Underpricing dihitung sebagai perbandingan antara selisih harga saham pada hari pertama penutupan pada pasar sekunder dengan harga penawaran di pasar perdana dibagi dengan harga penawaran (perdana) dalam bentuk persentase. Menurut Kunz dan Aggarwal (1994) rumus underpricing adalah sebagai berikut: U – Rumus tersebut mendefinisikan perhitungan return positif yang diperoleh investor di pasar perdana yang diperoleh dari selisih harga pada saat offering price dengan harga penutupan hari pertama di pasar sekunder. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kondisi underpricing disebabkan karena terjadinya asimetri informasi sehingga tercipta ketidakpastian harga dimana harga dipasar primer lebih rendah dibandingkan harga yang terjadi dipasar sekunder. 27 2.1.5. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI UNDERPRICING Ketika saham pertama kali diperdagangkan di pasar sekunder bagi perusahaan yang melakukan Initial Public Offering (IPO) biasanya akan terjadi underpricing terhadap harga sahamnya. Dari beberapa penelitian terdahulu terdapat beberapa faktor keuangan dan non-keuangan serta informasi ekonomi makro yang mempengaruhi underpricing yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu: 2.1.5.1 Informasi Ekonomi Makro Samsul (2006) mengemukakan faktor ekonomi makro adalah faktor yang berada di luar perusahaan, tetapi mempunyai pengaruh terhadap kenaikan atau penurunan kinerja perusahaan baik secara langsung maupun tidak langsung. Lestari (2005) menyatakan bahwa secara teori banyak terdapat indikator yang dapat mengukur variabel makro, namun dari sekian banyak indikator yang cukup lazim digunakan untuk memprediksi fluktuasi saham adalah variabel yang secara langsung dikendalikan melalui kebijakan moneter dengan mekanisme transmisi melalui pasar keuangan yaitu tingkat bunga, laju inflasi, dan kurs valuta asing. Perubahan faktor ekonomi makro tidak akan dengan seketika mempengaruhi kinerja perusahaan, tetapi secara perlahan dalam jangka panjang. Sebaliknya, harga saham akan terpengaruh dengan seketika oleh perubahan faktor ekonomi makro karena investor lebih cepat bereaksi. (Samsul, 2006). Tiga informasi ekonomi makro yang digunakan dalam penelitian ini yaitu; 28 a. Tingkat Suku Bunga BI Tingkat suku bunga menjadi benchmark untuk para pemodal dalam berinvestasi karena tingkat pengembalian harta (assets return) mempunyai tingkat risiko yang mendekati nol atau tergolong harta bebas risiko (risk free assets). Lazimnya tingkat suku bunga mempunyai korelasi negatif terhadap pasar saham yang mana investor akan menjual sahamnya dan beralih pada instrumen fixed income ketika pemerintah menaikkan tingkat suku bunga. Tingkat bunga BI akan berpengaruh negatif dan positif, turunnya tingkat bunga pinjaman atau tingkat bunga deposito akan berdampak pada kenaikan harga saham dipasar dan laba bersih per saham. Penurunan bunga deposito berpengaruh pada investor yang mengalihkan dananya dari perbankan ke pasar modal. Sedangkan kenaikan tingkat bunga pinjaman berdampak negatif bagi perusahaan karena meningkatnya beban bunga kredit dan menurunnya laba bersih yang akhirnya berpengaruh pada laba per saham dan turunnya harga saham dipasar. Besarnya suku bunga BI mewakili free risk return dan menciptakan biaya peluang (opportunity cost) bagi investor yang membeli saham IPO. Tingginya BI maka opportunity cost memegang saham IPO akan yang lebih tinggi pula sehingga investor mengharapkan harga saham di pasar sekunder tinggi dan berdampak pada meningkatnya underpricing. 29 b. Inflasi Inflasi dapat didefenisikan sebagai suatu proses kenaikan harga-harga yang berlaku dalam sesuatu perekonomian dan terjadi penurunan nilai uang (Sukirno, 2004). Laju inflasi yang tidak terantisipasi akan berdampak pada naiknya barang dan jasa sehingga tingkat konsumsi akan menurun. Selain itu akan berdampak pada kenaikan faktor produksi yang akan meningkatkan biaya modal perusahaan sehingga laju inflasi yang tidak terkendali akan menurunkan nilai dari perusahaan termasuk laba perusahaan. Turunnya laba perusahaan akan menurunkan minat investor untuk membeli saham pada saat IPO. Oleh karena itu kenaikan inflasi akan menurunkan harga saham sehingga berpengaruh terhadap tingginya underpricing (Samsul, 2006). c. Kurs Rupiah terhadap Dollar AS Yolana dan Martiani (2005) mengemukakan bahwa dalam riset ilmiah yang dilakukan IBAS Research – perusahaan riset swasta di Indonesia menemukan bahwa kurs rupiah terhadap dollar AS, dan SBI merupakan leading indicators harga saham. Koefisien korelasi pergerakan kurs dollar AS terhadap rupiah dengan IHSG tergolong besar, yaitu 0.67 dengan arah negatif, artinya pergerakan IHSG berbalik dengan pergerakan kurs (Yolana dan Martiani, 2005). 30 Kurs menggambarkan keadaan pasar. Pergerakan kurs yang dinamis dapat diperdagangkan dan dari kegiatan tersebut ada keuntungan yang diperoleh sehingga kurs menjadi salah satu pertimbangan dalam berinvestasi. Naik turunnya nilai Rupiah terhadap uang asing menyebabkan naik turunnya permintaan saham di pasar modal oleh investor. Kenaikan US$ terhadap rupiah berdampak pada perusahaan yang memiliki hutang dalam dollar sehingga akan berdampak pula pada pergerakan harga saham yang pada akhirnya akan mempengaruhi tingkat underpricing. 2.1.5.2 Informasi Keuangan Perusahaan Informasi keuangan menjadi penting bagi investor dalam menilai perusahaan yang akan go public. Informasi keuangan dalam laporan keuangan berisikan rasiorasio yang akan membantu investor dalam berinvestasi. Analisis rasio digunakan dalam tiga komponen yaitu (1) manajer, penggunaan rasio pada manajer perusahaan membantu untuk menganalisis dan memperbaiki operasi perusahaan (2) analisis kredit, membantu untuk menganalisis rasio untuk membantu menentukan kemampuan perusahaan membayar hutang (3) analisis saham, membantu dalam efesiensi, resiko dan prospek pertumbuhan perusahaan (Brigham dan Houston, 2001). Dalam penelitian ini dipilih tiga rasio keuangan perusahaan yaitu; 31 a. Return On Assets (ROA) ROA merupakan rasio profitabilitas yang digunakan sebagai tolak ukur efektifitas perusahaan sehingga menghasilkan keuntungan atau laba bagi perusahaan. ROA digunakan untuk mengukur efektifitas perusahaan dalam menghasilkan keuntungan dengan cara memanfaatkan aktiva yang dimilikinya (Ang, 1997). Hal serupa juga dinyatakan oleh Clara (2001) bahwa ROA merupakan rasio profitabilitas yang menunjukkan seberapa efektifnya perusahaan beroperasi sehingga menghasilkan keuntungan bagi perusahaan. Profitabilitas perusahaan menunjukkan kemampuan perusahaan menghasilkan laba di masa yang akan datang atau bagaimana perusahaan menggunakan assetnya secara efisien dalam mengelola kegiatannya untuk menghasilkan keuntungan (Tambunan, 2007). Besarnya nilai ROA akan menunjukkan kemampuan perusahaan menghasilkan laba dimasa mendatang dan laba merupakan informasi penting bagi investor. Profitabilitas yang tinggi dari suatu perusahaan akan mengurangi ketidakpastian bagi investor sehingga akan menurunkan tingkat underpricing (Ghozali, 2002). Dalam hubungannya dengan IPO, profitabilitas perusahaan yang tinggi akan mengurangi ketidakpastian IPO sehingga mengurangi tingkat underpricing (Daljono, 2000). Kim, et.al. (1993) menyatakan profitabilitas memberikan informasi kepada pihak luar perusahaan mengenai efektifitas operasional perusahaan. Tingginya profitabilitas perusahaan menunjukkan 32 kemampuan perusahaan menghasilkan laba yang tingi. Laba merupakan salah satu informasi penting bagi investor dalam mengambil keputusan. Profitabilitas yang tinggi akan mengurangi ketidakpastian perusahaan di masa yang akan datang, dan sekaligus mengurangi ketidakpastian pasar, sehingga akan mengurangi underpricing (Kim, et. al., 1993). Pengukuran profitabilitas perusahaan menggunakan Rate of Return On Assets (ROA) (Kim, et.al., 1993; Trisnawati, 1998; Daljono, 2000; Sandhiaji, 2004; Gerianta, 2008). b. Financial Leverage Secara teoritis, financial leverage menunjukkan resiko suatu perusahaan dan faktor ini menunjukkan kondisi ex-ante uncertainty (Kim, et.al., 1993). Financial leverage menggambarkan kemampuan perusahaan melunasi hutangnya dengan modal yang dimiliki. Financial leverage sangat berkaitan erat dengan penciptaan suatu struktur modal yang dapat mempengaruhi struktur kebijakan dimana selanjutnya dapat mempengaruhi suatu kemampuan perusahaan untuk membuat berbagai pilihan strategi (Jensen, 1986). Struktur modal yang tepat merupakan keputusan kritis dalam organisasi bisnis karena adanya kebutuhan memaksimumkan laba dan juga berdampak pada perusahaan dalam lingkungan persaingan bisnis. 33 Financial leverage ini dapat diproksikan oleh DER (Panjaitan, 2001). Perusahaan dengan tingkat financial leverage tinggi cenderung menggunakan dana hasil IPO untuk membayar hutangnya. Menurut Daljono (2000) apabila financial leverage, menunjukkan resiko suatu perusahaan yang tinggi pula. Menurut Kim, et.al. (1993), secara teoritis, financial leverage menunjukkan risiko suatu perusahaan dan kondisi ketidakpastian. Apabila financial leverage tinggi, berarti risiko suatu perusahaan tinggi sehingga para investor akan mempertimbangkan hal ini dalam melakukan keputusan investasi (Trisnawati, 1998). Semakin besar financial leverage suatu perusahaan, akan menimbulkan ketidakpastian harga saham perdana yang besar pula, yang pada akhirnya akan mempengaruhi underpricing. 2.1.5.3 Informasi Non-Keuangan Perusahaan Informasi non-keuangan perusahaan bisa diperoleh dari prospektus yang merupakan dokumen berisikan informasi tentang perusahaan yang akan go public dan informasi lainnya mengenai saham yang akan ditawarkan. Perusahaan akan menerbitkan prospektus dimana setiap informasi tertulis berkaitan mengenai penawaran umum. Dari prospektus tersebut diperoleh berbagai informasi nonkeuangan mengenai perusahaan. Dalam penelitian ini diambil empat informasi nonkeuangan yaitu; a. Reputasi Penjamin Emisi (Underwriter) 34 Penjamin Emisi atau Underwriter adalah perusahaan sekuritas baik swasta atau BUMN yang melakukan penjaminan atas penawaran saham ke publik. Proses penjaminan ini disebut dengan underwriting. Perusahaan ini yang mempunyai kewajiban kepada regulator dan investor agar proses IPO bisa berjalan dengan baik dan banyak investor yang membelinya (Manurung, 2013). Penjamin emisi melakukan negosiasi dengan emiten dalam penetapan harga efek saat penawaran perdana sehingga harga yang terbentuk merupakan kesepakatan antara underwriter dengan emiten. Dalam penjaminan emisi, underwriter biasanya membentuk kelompok yang terdiri dari lead underwriter (penjamin pelaksana emisi) dan anggota underwriter (penjamin emisi). Menurut Ang (1997) terdapat empat jenis kontrak penjaminan emisi berdasarkan tipe kesanggupan penjaminan yaitu: 1) Best Effort (Kesanggupan Terbaik) Underwiter tidak bertanggung jawab atas sisa efek yang tidak terjual, tetapi underwriter akan berusaha dengan sebaik-baiknya untuk menjual efek emiten. 2) Full Commitment (Kesanggupan Penuh) Underwriter bertanggung jawab penuh terhadap penjualan efek. Dengan metode ini, underwriter membeli semua saham yang dijual oleh emiten dengan harga yang lebih rendah dari harga penawaran dan menanggung semua risiko atas saham yang tidak terjual. 3) Stand-by Commitment (Kesanggupan Siaga) 35 Tanggung jawab underwriter disini hampir sama dengan full commitment, hanya saja bedanya underwriter bertanggung jawab mengambil sisa saham yang tidak terserap di masyarakat pada harga lebih murah dibawah harga pada penawaran perdana yang telah disepakati sebelumnya. 4) All or None Commitment (Kesanggupan Semua atau Tidak Sama Sekali) Apabila minat di masyarakat terhadap saham yang ditawarkan tidak memenuhi target yang telah ditetapkan, maka underwriter tidak akan melanjutkan proses emisi. Selain menetapkan harga saham bersama dengan emiten, fungsi underwriter juga menjamin terjualnya harga saham sesuai dengan tipe penjaminan yang telah disepakati. Underwriter dengan reputasi yang baik akan memiliki kepercayaan diri akan kesuksesan penawaran umum dipasar. Logue, et.al. (2002) mengemukakan bahwa penjamin emisi mempunyai peranan penting dalam IPO terutama reputasinya. Investor menjadikan reputasi yang dimiliki penjamin emisi sebagai pertimbangan dalam melakukan investasi. Reputasi sekuritas bertambah bila investor mendapatkan keuntungan ketika membeli saham dari perusahaan sekuritas tersebut (Manurung, 2013). Sampai saat ini belum ada pengukuran yang baku untuk penilaian reputasi underwriter. Dalam beberapa penelitian pengukuran reputasi mungkin berbeda-beda salah satunya dengan penilaian melalui 50 most active 36 IDX members by frequency yang dirilis oleh fact book BEI dalam periode tahun 2010-2014. Penelitian ini hanya menggunakan 20 data penjamin emisi dari 50 daftar yang tersedia. Reputasi ini dinilai dengan variabel dummy, nilai 1 untuk underwriter yang termasuk dalam 20 most active IDX members by frequency dan nilai 0 untuk underwriter yang tidak termasuk dalam daftar tersebut. Hal ini juga dilakukan pada penelitian oleh Yolana dan Martiani (2005), Irawati (2009) dan Ratnasari dan Hudwinarsih (2013). b. Umur Perusahaan (Age of Firm) Menurut Carter (1998) semakin muda umur perusahaan maka semakin tinggi tingkat underpricing dari perusahaan tersebut. Umur perusahaan merupakan salah satu hal yang dipertimbangkan investor dalam menanamkan modalnya (Chisty, 1996). Umur suatu perusahaan akan menunjukkan kemampuan bertahan perusahaan dan sebagai bukti daya saing perusahaan serta dapat mengambil kesempatan bisnis dalam perekonomian. Perusahaan yang belum lama berdiri, akan lebih sulit untuk membentuk ramalan laba dibandingkan dengan perusahaan yang telah lama berdiri (Sunaryah, 2002). Perusahan yang lebih lama berdiri mempunyai kemungkinan memberikan informasi yang lebih banyak dan luas bila dibandingkan perusahaan yang belum lama berdiri. Perusahaan yang beroperasi lebih lama mempunyai kenaikan yang lebih besar untuk 37 menyediakan informasi perusahaan yang lebih banyak dan luas daripada yang baru saja berdiri (Nurhidayati dan Indriantoro, 1998). Dengan demikian akan mengurangi adanya asimetri informasi dan memperkecil ketidakpastian pasar dan pada akhirnya akan mempengaruhi underpricing saham (How,et.al.,1995). Sehingga pada umumnya, semakin tua umur perusahaan maka masyarakat luas lebih mengenal dan menarik minat dan kepercayaan investor, maka tingkat underpricing akan semakin rendah. c. Skala/Ukuran Perusahaan (Size of Firm) Ukuran perusahaan dapat digunakan sebagai proksi ketidakpastian terhadap keadaan perusahaan dimasa datang. Perusahaan dengan skala/ukuran besar lebih dikenal publik sehingga informasi tentang prospek perusahaan berskala besar lebih mudah diperoleh dibanding perusahaan berskala kecil. Tingkat ketidakpastian yang akan dihadapi oleh calon investor mengenai masa depan perusahaan emiten dapat diperkecil apabila informasi yang diperolehnya banyak (Minsen, 2004). Terdapat beberapa kriteria untuk mengukur besar kecilnya perusahaan misalnya jumlah omset penjualan, jumlah produk, modal perusahaan dan total aktiva. Titman dan Wessels (1988) menyatakan logaritma natural dari total aktiva dan logaritma natural dari total penjualan dapat digunakan sebagai indikator ukuran perusahaan. Total aktiva dianggap mampu menunjukkan ukuran perusahaan karena mewakili kekayaan perusahaan baik berupa aktiva 38 tetap maupun aktiva lancar (Carter dan Manaster, 1990). Ukuran perusahaan dapat diketahui dari besarnya total aktiva perusahaan pada periode terakhir sebelum perusahaan melaksanakan penawaran umum. Ukuran perusahaan yang besar mengindikasikan bahwa perusahaan dalam keadaan yang stabil (Dianingsih, 2003). Menurut Siregar dan Utama (2006), semakin besar ukuran perusahaan, informasi yang tersedia untuk investor dalam pengambilan keputusan sehubungan dengan investasi saham semakin banyak. Sedangkan pada perusahaan berskala kecil tingkat ketidakpastian di masa yang akan datang besar, sehingga tingkat resiko investasinya lebih besar dalam jangka panjang (Nurhidayati dan Indriantoro, 1998). Hal ini menunjukkan bahwa ukuran perusahaan dapat dijadikan proksi ketidakpastian karena perusahaan besar pada umumnya lebih dikenal oleh publik dan karena lebih dikenal maka informasi mengenai perusahaan lebih banyak dan mudah diperoleh. Dengan demikian hal ini akan mengurangi asimetri informasi perusahaan berskala besar sehingga akan menurunkan tingkat underpricing d. Persentase Penawaran Saham kepada Masyarakat Proporsi saham yang ditawarkan kepada masyarakat dapat digunakan sebagai proksi terhadap faktor ketidakpastian yang akan diterima oleh investor. Hal tersebut telah dikemukakan oleh Nurhidayati dan Indriantono 39 (1998). Proposi dari saham yang ditahan dari pemegang saham lama dapat menunjukkan aliran informasi dari saham emiten ke calon investor. Besarnya proporsi saham yang dipegang oleh pemegang saham lama maka semakin banyak informasi privat yang dimiiki oleh pemegang saham lama. Investor lama mengeluarkan biaya untuk mendapatkan informasi guna pengambilan keputusan untuk membeli saham atau tidak. Sehingga kompensasinya adalah biaya oleh investor sehingga investor mengharapkan mendapat tingkat initial return yang tinggi. Dengan demikan semakin besar persentase saham yang ditawarkan kepada masyarakat maka tingkat ketidakpastiannya akan semakin kecil, yang pada akhirnya akan menurunkan tingkat underpricing saham. 2.2 Penelitian Terdahulu Dengan adanya penjelasan mengenai teori IPO, terdapat banyak penelitian yang telah dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi underpricing. Penelitian-penelitian tersebut dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi fenomena underpricing di Indonesia. Beberapa penelitian mengenai terjadinya underpricing memberikan hasil yang berbeda-beda. Perbedaan hasil penelitian kemungkinan terjadi karena kondisi pasar modal, perbedaan konsep peneliti serta data yang digunakan. 40 Tabel 2. 1. Ringkasan Hasil Penelitian Sebelumnya terhadap Underpricing No Judul Penelitian Variabel Hasil Peneltian 1 Beatty (1989) Penelitian Auditor Reputation and The Pricing of IPO Rep. Auditor, Rep. Underwriter, age, persentase saham yang ditawarkan, tipe kontrak underwriter, Indikator perusahaan minyak dan gas Rep. Auditor, rep underwriter, age, tipe kontrak underwriter berpengaruh (-) sedangkan persentase saham yang ditawarkan dan indikator perusahaan minyak dan gas berpengaruh (+) 2 Kim et al. (1993) Motives for Going Public and Underpricing: New Findings from Korea 3 Sandhiaji (2004) Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Underpricing pada Penawaran Umum Perdana (IPO) Periode Tahun 19962002 Invesment, Kualitas underwriter, ROA, Financial Leverage, Gross proceeds, Ownership retention ROA, Size, Age, Jumlah Saham yang ditahan, Rep. Underwriter, Rep. Auditor 4 Yolana & Martiani (2005) Variabel-Variabel Yang Mempengaruhi Fenomena Underpricing Pada Penawaran Saham Perdana Di BEJ Tahun 1994 – 2001 Size, Kurs, ROE, Jenis Industri, Rep. Penjamin Emisi 5 Ariawati (2005) Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Tingkat Underpricing Pada Penawaran Saham Perdana (IPO) (Studi Pada Perusahaan Go Public Yang Terdaftar Di BEJ Tahun 1993-2003) Size, Financial Leverage, Rep. Underwriter, Jk waktu listing, ROI, Kondisi Pasar Investment, kualitas underwriter, ROA, gross proceeds berpengaruh (-) sedangkan financial leverage dan ownership retention berpengaruh (+) ROA, Size, Age, dan Rep. Underwriter berpengaruh signifikan (-) , Jumlah Saham yang ditahan berpengaruh signifikan (+) dan Rep. Auditor tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap Underpricing Size, Kurs, ROE, Jenis Industri memiliki pengaruh signifikan, sedangkan Rep. Penjamin Emisi tidak memiliki pengaruh terhadap Underpricing Size dan Rep. Underwriter memiliki pengaruh (-) signifikan terhadap underpricing, Financial Leverage memiliki pengaruh (+) signifikan terhadap underpricing, dan ROI, Jk waktu listing serta Kondisi Pasar tidak memiliki pengaruh 41 No Penelitian Judul Penelitian Variabel 6 Hardi (2005) Analisis dan Pengaruh Variabel Ekonomi Makro Terhadap Penetapan Harga Saham Perdana Di Bursa Efek Jakarta suku bunga, inflasi, nilai tukar US$ 7 Amelia & Saftiana (2007) Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Underpricing Penawaran Umum Perdana Di Bursa Efek Jakarta 8 Handayani (2008) Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Underpricing Pada PenawaranUmum Perdana (Studi Kasus Pada Perusahaan Keuangan Yang Go Public diBursa Efek Jakarta Tahun 2000-2006) Size, Age, Financial Leverage, Persentase Kepemilikan Saham yang ditahan, ROE ROA, Financial Leverage, EPS, Age, Size, Prosentase Penawaran Saham 9 Irawati (2009) Analisis Pengaruh Informasi Akuntansi Dan Non Akuntansi Terhadap Initial Return Pada Perusahaan Yang Melakukan Initial Public Offering Di BEI Size Firm, EPS, Financial Leverage, ROI, Rep. Auditor, Rep. Underwriter, Jenis Industri 10 Isfatun & Hatta (2010) Analisis Informasi Penentu Harga Saham Saat Initial Public Offering Financial Leverage, Age, ROE, Rep. Underwriter, Rep. Auditor Age, Size, persentase saham yang ditawarkan, jenis industri 11 Islam ,et.al. (2010) An Empirical Investigation of the Underpricing of Initial Public Offerings in the Chittagong Stock Exchange Hasil Peneltian Pengaruh variabel Suku Bunga, Inflasi dan US$ terhadap penetapanharga saham perdana tidak signifikan, kecuali penawaran saham perdana tahun 1996. Pada tahun 1996 kondisi ekonomi makro Indonesia dalam keadaan stabil dan tumbuh cukup baik. Tidak ditemukan adanya pengaruh terhadap undepricing pada kelima variabel tersebut Hanya EPS yang memiliki pengaruh signifikan dan secara simultan keenam variabel tersebut tidak berpengaruh signifikan terhadap underpricing Size Firm, EPS, Financial Leverage, ROI, Rep. Auditor, Rep. Underwriter, Jenis Industri berpengaruh signifikan terhadap underpricing hanya Financial Leverange yang berpengaruh terhadap underpricing Age dan size berpengaruh (+) sedangkan persentase saham yang ditawarkan dan jenis industri berpengaruh (-) 42 No Penelitian 12 Wulandari (2011) 13 Ratnasari & Hudwinarsih (2013) 14 Retnowati (2013) 15 Kristiantari (2013) Judul Penelitian Variabel Hasil Peneltian Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Underpricing Pada Penawaran Umum Perdana (Studi Kasus Pada Perusahaan Go Public Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia Tahun 2006-2010) Analisis Pengaruh Informasi Keuangan, Non Keuangan Serta Ekonomi Makro Terhadap Underpricing Pada Perusahaan Ketika IPO ROA, Financial Leverage, Age, Size, Prosentase Penawaran Saham Financial Leverage dan Prosentase Penawaran Saham memiliki efek (+) dan ROA, Age, Size memiliki efek (-) terhadap underpricing Return on Equity, financial leverage, tingkat inflasi, reputasi KAP, reputasi penanggung Hanya return on equity, reputasi KAP dan reputasi penanggung memiliki dampak yang signifikan terhadap underpricing Penyebab Underpricing Pada Penawaran Saham Perdana Di Indonesia ROA, Financial Leverage, EPS, Age, Size, Prosentase Penawaran Saham Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Underpricing Saham Pada Penawaran Saham Perdana di Bursa Efek Indonesia Rep. Underwriter, Rep. Auditor, Age, Size, Tujuan Penggunaan Dana untuk Investasi, ROA, Financial Leverage, Jenis Industri. EPS, Size, Prosentase Penawaran Saham, berpengaruh secara signifikan sedangkan Financial Leverage, ROA, dan Age tidak berpengaruh terhadap underpricing Rep. underwriter, size dan tujuan penggunaan dana untuk investasi berpengaruh signifikan (-) sedangkan rep. auditor, age, ROA, financial leverage, dan jenis industri tidak memiliki pengaruh terhadap underpricing Sumber: Data diolah 2.3 Kerangka Pemikiran Teoritis Kerangka pemikiran dibentuk dari tujuan perusahaan untuk memperoleh profit maksimal dari kegiatan penawaran saham perdana. Diperlukan adanya informasi yang akurat didukung dengan kondisi perekonomian yang baik sehingga perusahaan mampu menarik investor dan memperoleh keuntungan yang diharapkan. 43 Untuk mencapai target tersebut perusahaan diharuskan memberikan informasi dan performa yang baik didalam prospektus perusahaan. Kondisi makro ekonomi yang baik langsung maupun tidak langsung dapat mempengaruhi kegiatan go public suatu perusahaan. Informasi makro ekonomi pada saat penawaran umum perdana akan berdampak pada pergerakan harga saham di Bursa. Lazimnya faktor makro ekonomi seperti tingkat bunga BI, inflasi serta kurs rupiah terhadap Dollar AS dimana pergerakannya dapat mempengaruhi pasar saham, kondisi internal perusahaan, dan perilaku investor. Selain itu, Informasi keuangan dan informasi non-keuangan yang terdapat dalam prospektus merupakan ketentuan yang harus dimiliki setiap perusahaan yang akan go public. Dengan adanya informasi dari prospektus diharapkan dapat digunakan oleh investor dalam mempengaruhi pengambilan keputusan, sehingga perusahaan sebagai emiten yang mencatatkan diri di Bursa Efek akan memperoleh return yang optimal untuk peningkatan kinerja perusahaan. Informasi keuangan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu return on asset dan debt to equity ratio. Sedangkan informasi non-keuangan yang digunakan dalam penelitan ini adalah reputasi underwriter, umur perusahaan, ukuran perusahaan, persentase penawaran saham. Informasi keuangan dan non-keuangan tersebut diperkirakan memiliki pengaruh tehadap underpricing. Pemilihan faktor-faktor tersebut didasari dari beberapa penelitian sebelumnya yang memberikan adanya korelasi antara faktor-faktor tersebut dengan fenomena underpricing di Bursa Efek Indonesia. Rentang waktu penelitian ini adalah antara 44 tahun 2010 sampai 2014 perusahaan yang bukan termasuk dalam sektor keuangan dan melakukan kegiatan penawaran umum serta mengalami underpricing pada hari pertama listing di Bursa. Dalam rentang waktu tersebut, diharapkan dapat diketahui apakah informasi makro yang diproksikan oleh variabel tingkat bunga BI, Inflasi dan Kurs Rupiah terhadap Dollar AS serta faktor internal perusahaan yaitu ROA dan Financial Leverage dalam hal ini merupakan informasi keuangan dan Reputasi underwriter, Umur Perusahaan, Skala Perusahaan dan Persentase penawaran Saham dalam hal ini merupakan informasi non-keuangan mempengaruhi terjadinya underpricing di Bursa efek Indonesia. Berdasarkan hal tersebut dapat digambarkan bentuk kerangka pemikiran sebagai berikut: Informasi Makro Ekonomi: -Tingkat Bunga BI -Inflasi -Kurs Rupiah terhadap Dollar AS Informasi Keuangan: -Return on Assets (ROA) -Financial Leverage (DER) Informasi Non-Keuangan: -Reputasi underwriter -Umur Perusahaan (Age) -Ukuran Perusahaan (Size) -Persentase Penawaran Saham Underpricing pada Initial Public Offering Perusahaan sektor non-keuangan periode 2010-2014 45 Gambar 2.2. Bagan Kerangka Pemikiran Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Fenomena Underpricing di Bursa Efek Indonesia Tahun 20102014 Sumber : Hasil Pemikiran Penulis 2.4 Hipotesis Penelitian Dari penelitian-penelitian yang dilakukan mengenai terjadinya underpricing terdapat informasi ekonomi makro serta informasi internal berupa faktor keuangan dan faktor non-keuangan yang umumnya digunakan dalam penelitian untuk mengetahui korelasinya terhadap underpricing. Dalam penelitian ini digunakan informasi ekonomi makro diproksikan oleh variabel Tingkat Bunga BI, Inflasi dan Kurs Rupiah terhadap Dollar AS sedangkan variabel ROA dan DER sebagai variabel keuangan dan Reputasi underwriter, umur perusahaan, skala perusahaan, dan persentase penawaran saham sebagai variabel nonkeuangan. Adapun pengembangan hipotesis pada penelitian ini adalah sebagai berikut: Menurut Martiani (2003) tingkat bunga mewakili free risk return dimana faktor ini mencerminkan opportunity cost dari investor yang membeli saham IPO. Semakin tinggi tingkat bunga maka semakin tinggi pula opportunity cost memegang saham IPO sehingga akan meningkatkan underpricing. Hipotesis 1: Tingkat Bunga BI berpengaruh positif terhadap besarnya tingkat underpricing. Samsul (2006) menyatakan bahwa kenaikan laju inflasi berpengaruh terhadap tingginya underpricing. Tingginya laju inflasi akan berdampak pada harga barang dan 46 jasa yang mempengaruhi tingkat konsumsi. Selain itu naiknya harga akan meningkatkan faktor produksi sehingga berdampak pada biaya produksi yang akhirnya menurunkan nilai perusahaan termasuk laba. Turunnya laba perusahaan akan menurunkan minat perusahaan membeli saham IPO. Semakin tinggi inflasi akan menurunkan harga saham sehingga berpengaruh pada tingginya underpricing. Hipotesis 2: Inflasi berpengaruh positif terhadap besarnya tingkat underpricing. Yolana dan Martiani (2005) menyatakan pergerakan IHSG berbalik dengan pergerakan kurs. Kondisi rupiah yang melemah akan menurunkan minat investor sehingga emiten cenderung memurahkan harga penawaran saham. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Yolana dan Martiani (2005) yang mengemukakan bahwa Kurs Rupiah terhadap Dollar AS berpengaruh positif terhadap underpricing. Hipotesis 3: Kurs Rupiah terhadap Dollar AS berpengaruh positif terhadap besarnya tingkat underpricing. Tingginya profitabilitas suatu perusahaan akan mengurangi ketidakpastian dimasa datang sekaligus ketidakpastian pasar sehingga mengurangi tingkat underpricing. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Ghazali (2002) dan Sandhiaji (2004) yang mengemukakan bahwa ROA berpengaruh signifikan negatif terhadap underpricing. Hipotesis 4: Return On Asset (ROA) berpengaruh negatif terhadap besarnya tingkat underpricing. Semakin tinggi financial leverage (DER) akan semakin tinggi pula ketidakpastian harga saham perdana suatu perusahaan yang nantinya akan 47 mempengaruhi underpricing. Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Ariawati (2005) dan Wulandari (2011) yang mengemukakan bahwa DER memiliki pengaruh positif terhadap underpricing. Hipotesis 5: Debt to Equity Rasio (DER) berpengaruh positif terhadap besarnya tingkat underpricing. Reputasi Underwriter dapat digunakan sebagai sinyal untuk mengurangi tingkat ketidakpastian yang tidak diungkapkan dalam prospektus serta informasi mengenai prospek emiten dimasa datang. Semakin tinggi reputasi underwriter maka akan menurunkan tingkat underpricing. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Ariawati (2005), Ratnasari & Hudwinarsih (2013) dan Kristiantari (2013) yang mengemukakan bahwa Reputasi underwriter berpengaruh signifikan negatif terhadap underpricing. Hipotesis 6: Reputasi underwriter berpengaruh negatif terhadap besarnya tingkat underpricing. Perusahaan yang beroperasi lebih lama dapat menunjukkan kemapuan bersaing dan memberikan informasi yang lebih banyak dan luas bila dibandingkan dengan perusahaan yang belum lama berdiri. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Sandhiaji (2004) yang mengemukakan bahwa Umur Perusahaan berpengaruh signifikan negatif terhadap underpricing. Hipotesis 7: Umur perusahaan berpengaruh negatif terhadap besarnya tingkat underpricing. 48 Perusahaan berskala besar cenderung lebih dikenal masyarakat sehingga informasi prospek perusahaan dengan skala besar lebih mudah diperoleh dibandingkan dengan perusahaan berskala kecil. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Sandhiaji (2004), Ariawati (2005), dan Yolana dan Martiani (2005), dan Kristiantari (2013) yang mengemukakan bahwa Ukuran Perusahaan berpengaruh signifikan negatif terhadap underpricing. Hipotesis 8: Ukuran perusahaan berpengaruh negatif terhadap besarnya tingkat underpricing. Besarnya proposi saham yang dipegang oleh pemegang saham lama akan semakin banyak pula informasi privat yang dimiliki oleh pemegang saham lama. Penelitian Beatty (1989), Islam, et.al. (2010) dan Retnowati (2013) yang menunjukkan adanya hubungan negatif antara saham yang ditawarkan dengan tingkat underpricing. Hipotesis 9: Persentase penawaran saham berpengaruh negatif terhadap besarnya tingkat underpricing. Selain kesembilan hipotesis yang disebutkan diatas, maka pengembangan hipotesis lainnya adalah Informasi Makro Ekonomi (Tingkat Bunga BI, Inflasi, Kurs), Informasi Keuangan (ROA dan DER) serta Informasi non-keuangan (Umur, Ukuran, dan Persentase Penawaran Saham) secara bersama-sama akan mempengaruhi underpricing. 49 Hipotesis 10: Informasi Makro Ekonomi (Tingkat Bunga BI, Inflasi, Kurs), Informasi Keuangan (ROA, DER, EPS) serta Informasi non-keuangan (Umur, Ukuran, dan Persentase Penawaran Saham) secara bersamasama akan mempengaruhi underpricing.