Broken Heart Syndrome

advertisement
TINJAUAN PUSTAKA
Broken Heart Syndrome
Dito Anurogo
Rumah Sakit Keluarga Sehat, Pati, Jawa Tengah, Indonesia
SINONIM
Stress cardiomyopathy, ampulla cardiomyopathy, Takotsubo cardiomyopathy, syndrome of
Tako-Tsubo cardiomyopathy (TTC), “ampulla”
cardiomyopathy, transient apical ballooning,
transient left ventricular, apical ballooning syndrome (ABS), “broken heart syndrome”, neurogenic myocardial stunning.1-3 Dalam uraian
berikut, digunakan istilah broken heart syndrome (BHS).
DEFINISI
Broken heart syndrome (BHS) ditandai de-ngan
nyeri dada akut, tanda iskemi yang terlihat
pada EKG; ketidaknormalan mirip-balon yang
bersifat sementara pada gerakan dinding jantung sebagian besar melibatkan apex ventrikel
kiri, elevasi marker jantung, transient akinesia
di ventrikel kiri dan mid-ventricle. Pada BHS
terjadi gangguan fungsi ventrikel yang berhubungan dengan ketidakcukupan aliran
darah melalui arteri koroner.4
SEJARAH
Istilah stress cardiomyopathy diperkenalkan
oleh Cebelin dan Hirsch pada tahun 1980.
Tahun 1986, di Massachusetts General Hospital dilaporkan satu kasus gagal jantung akibat stres emosional berat. Ini membuktikan
bahwa ada banyak faktor selain penyakit
jantung koroner yang dapat memengaruhi fungsi jantung. Tahun 1988, Pollick dkk
mendeskripsikan derajat myocardial dysfunction yang berhubungan dengan perdarahan
subarachnoid. Tahun 1989, Iga dkk menemukan bahwa konsentrasi catecholamine yang
tinggi dapat merusak otot jantung secara
langsung. Tahun 1990, Hikaru Sato dkk menamai kondisi ini sebagai “takotsubo-like left
ventricular dysfunction” untuk menunjukkan
bahwa bilik kiri jantung saat sistol berbentuk
takotsubo.5
Tahun 1997, istilah stress cardiomyopathy dihidupkan kembali oleh Pavin dkk. Tahun 1998,
gambaran ventrikulogram kiri di jurnal Circulation menarik perhatian banyak dokter karena
pengarang memberinya istilah “broken heart”.6
Mulai tahun 2000, terjadi peningkatan publikasi kasus broken heart syndrome. Tahun 2005,
mulai ditetapkan konsep resmi tentang stress
cardiomyopathy di bidang kardiologi dan penyakit dalam di negara-negara Barat. Tahun
2006, stress cardiomyopathy diklasifikasikan dalam kelompok acquired cardiomyopathies (kelainan otot jantung yang didapat).7 Kronologi
di atas diringkas dalam tabel 1.
EPIDEMIOLOGI
BHS dijumpai pada 86-100 % wanita berusia
sekitar 63-67 tahun. Sebagian besar kasus
BHS dialami wanita setelah masa menopause.
Sekitar 2% penderita STEMI akut mengalami
BHS. Insiden BHS pada mereka yang didiagnosis AMI (acute myocardial infarction) diperkirakan antara 1,5-2,2% ; 6–12% wanita penderita BHS memiliki gejala klinis suspek infark
miokardium di dinding anterior. Meskipun
demikian, BHS dapat mengenai siapapun dan
usia berapapun.8-10
Prevalensi internasional belum diketahui
pasti. Suatu studi retrospektif di Eropa mereview 17.000 kasus intermittent left ventricular apical ballooning dengan arteri koroner
normal menggunakan diagnostic coronary
angiography.11 Studi ini berhasil mengidentifikasi 32 penderita yang memenuhi kriteria BHS
(insiden 0,2%).12 Di Jepang, diperkirakan BHS
dialami sekitar 1-2% penderita nyeri dada dan
perubahan gambaran EKG berupa segmen-ST
dinamis akut yang dirawat di rumah sakit. Di
bagian kardiologi di Barmherzigen Schwestern Linz, Austria, selama 4 tahun (Mei 2004
sampai Desember 2008) ditemukan 31 pasien
(2,2%) pasien BHS di antara 448 pasien STEMI
(ST-segment elevation acute myocardial infarc-
Tabel 1 Sejarah (Timeline) BHS
Tahun
Kejadian
1980
Cebelin dan Hirsch menggunakan terminologi stress cardiomyopathy.
1986
Dilaporkan satu kasus gagal jantung akibat stres emosional berat di Massachusetts General
Hospital.
1988
Derajat myocardial dysfunction yang berhubungan dengan perdarahan subarachnoid dilaporkan
oleh Pollick dkk
1989
Peningkatan konsentrasi catecholamine dapat secara langsung merusak otot jantung.
1990
BHS disebut oleh Hikaru Sato, dkk sebagai “takotsubo-like left ventricular dysfunction” untuk
menunjukkan bahwa bilik kiri jantung saat sistol berbentuk takotsubo*.
1997
Istilah stress cardiomyopathy dihidupkan kembali oleh Pavin dkk.
1998
Gambaran ventrikulogram kiri di jurnal Circulation menarik perhatian banyak dokter karena
pengarang memberinya istilah “broken heart”.
Mulai tahun 2000
Terjadi peningkatan publikasi kasus broken heart syndrome.
2005
Mulai ditetapkan konsep resmi tentang stress cardiomyopathy di bidang kardiologi dan penyakit
dalam di negara-negara Barat
2006
Stress cardiomyopathy diklasifikasikan dalam kelompok acquired cardiomyopathies.
* Keterangan: Istilah ”takotsubo” mengacu ke octopus trap, yaitu: perangkap octopus (gurita, cumi-cumi), menggambarkan
apical ballooning (penggelembungan atau pembengkakan apeks jantung hingga mirip balon). Nama ini populer di kalangan
Gambar 1 Takotsubo2
256
CDK-192_vol39_no4_th2012 ok.indd 256
dokter Jepang (Lihat Gambar 1).2
CDK-192/ vol. 39 no. 4, th. 2012
4/10/2012 2:56:01 PM
TINJAUAN PUSTAKA
tion) akut dan 963 pasien non-STEMI. Faktor
pemicu dijumpai pada 24 pasien (77,4%); stres
emosional pada 9 pasien (29%); dan stres fisik
pada 15 pasien (48,4%).13 Di Amerika Serikat,
BHS dialami oleh 2-2,2% pasien dengan gambaran klinis STEMI atau unstable angina. Prevalensi lebih tinggi dilaporkan sebesar 4,78%.
Semua data ini belum tentu merepresentasikan kondisi sesungguhnya di masyarakat.14
PENYEBAB
Meskipun penyebab pasti BHS masih misteri,
ada beberapa hipotesis. Hipotesis ”microvascular dysfunction” menyatakan bahwa terdapat gangguan fungsi pembuluh darah arteri
koroner pada tingkat mikrovaskuler yang menyebabkan kelainan otot jantung (cardiomyopathy). Selain peningkatan kadar katekolamin
plasma, terjadi pula peningkatan densitas beta-adrenoreseptor di apex jantung; hal ini dapat menjelaskan peningkatan kerentanan apex
jantung terhadap efek toksik katekolamin.2,15
Penyebab lainnya diduga karena rangsangan
simpatik yang berlebihan (exaggerated sympathetic stimulation), catecholamine-mediated
myocardial stunning, epicardial coronary arterial spasm, diffuse microvascular coronary spasm
and dysfunction, stress-related neuropeptides,
ketidaknormalan bentuk anatomis arteri koroner berupa left anterior descending coronary
artery, dan transient vasospasm pembuluh
darah koroner, menyebabkan aliran darah
berkurang/menghilang sesaat.16
Fungsi adrenergik jantung berubah pada fase
akut, meskipun belum jelas apakah peningkatan aktivitas otonom simpatik langsung
atau peningkatan kemampuan reaksi adrenergik otot jantung (myocardial adrenergic
responsiveness) yang merupakan mekanisme
utama. Faktor mekanis juga berperan, seperti
gangguan bilik kiri jantung yang disebut ”transient dynamic obstruction of the left-ventricular
(LV) outflow tract” atau ”LV mid-cavity obstruction”. Pada BHS, dijumpai nekrosis jaringan
otot jantung (contraction-band necrosis in the
myocardial tissue) yang berpotensi menimbulkan kematian. Dijumpai peningkatan kadar
katekolamin sistemik. BHS juga dapat terjadi
setelah pemberian epinefrin atau dobutamin
intravena. Pria memiliki kadar katekolamin lebih tinggi, namun wanita memiliki respon berlebih sehingga kadar katekolamin meningkat.
Insiden BHS meningkat pada wanita disebabkan berkurangnya kadar estrogen yang bersifat kardioprotektif setelah menopause.17,18
CDK-192/ vol. 39 no. 4, th. 2012
CDK-192_vol39_no4_th2012 ok.indd 257
Stresor sebagai faktor pemicu broken heart
syndrome dikelompokkan menjadi stres
emosional dan stres fisik, dapat berupa halhal kecil hingga berat/traumatis. Setidaknya
satu macam stres terdeteksi pada 98% penderita. Stres emosional meliputi: kecelakaan,
kematian, cedera/luka, atau sakit berat yang
menimpa anggota keluarga, sahabat, atau hewan peliharaan; gempa bumi; krisis keuangan
hingga bangkrut (akibat bisnis, judi); keterlibatan dengan perkara hukum; pindah ke tempat tinggal baru; berbicara di depan umum
(public speaking); bernyanyi di depan umum;
menerima kabar buruk (diagnosis penyakit
utama setelah medical check-up, perceraian,
meninggalkan pasangan hidup [suami/
istri] untuk berperang); percekcokan hebat;
konflik keluarga; tekanan atau beban kerja
berlebihan; surat resmi (official letter); pesta
yang mengejutkan/mengagetkan, undangan
jamuan makan malam.7,19 Stres fisik meliputi:
upaya bunuh diri; penyalahgunaan kokain;
prosedur atau operasi selain jantung, seperti:
cholecystectomy, hysterectomy; ketergantungan opiat; pemulihan dari bius umum (general
anesthesia); penyakit berat (asma atau eksaserbasi akut penyakit saluran nafas obstruktif kronis, gangguan jaringan ikat, kholesistitis akut,
ensefalitis, perdarahan subarakhnoid, pseudomembranous colitis (infeksi usus besar sering
disebabkan oleh Clostridium difficile, sering disebut juga diare berkaitan dengan antibiotik
- antibiotic-associated diarrhea), pneumonia/
radang paru, bronkitis, kanker, keganasan endokrin; nyeri berat [akibat patah tulang, kolik
ginjal, pneumothorax, pulmonary embolism;
operasi/pembedahan; stress test (meliputi: dobutamine stress echocardiogram, latihan/gerak
badan); tirotoksikosis. BHS tidak disebabkan
oleh penyakit arteri koroner obstruktif.7,19
KLINIS
Kriteria BHS menurut Mayo Clinic (dimodifikasi
tahun 2008)20,21:
(a). Kondisi hypokinesis, akinesis, dyskinesis
sementara di segmen tengah bilik jantung kiri (left ventricular mid-segments)
dengan atau tanpa keterlibatan apex jantung; ketidaknormalan gerakan dinding
yang meluas melewati distribusi pembuluh darah di epicardium; adanya faktor pemicu (sering, namun tidak selalu)
berupa stres.
(b). Tidak ada penyakit arteri koroner obstruktif ataupun bukti angiografi yang
menunjukkan ruptur plak akut.
(c). Kelainan EKG berupa peningkatan segmen-ST dan/atau pembalikan gelombang-T yang baru. Kadar troponin jantung di serum meningkat sedang.
(d). Tidak disertai phaeochromocytoma atau
myocarditis.
Keempat kriteria ini harus ada atau dijumpai
pada penderita. BHS bisa kambuh, namun jarang.
Indikator penting BHS:
1. Nyeri dada
2. Perubahan EKG iskemi
3. Enzim jantung sedikit meningkat
4. Ketidaknormalan gerakan dinding jantung
Gangguan fungsi ventrikel kanan dilaporkan pada 26-30% kasus BHS. Gagal jantung
kongestif yang tiba-tiba, dyspnea, hipotensi
juga dijumpai pada beberapa kasus BHS. Pada
kondisi lebih jarang, ditandai dengan hiperkontraksi ventrikel kiri (hypercontracting left
ventricular apex) dan perlambatan gerakan
otot dasarnya (hypokinetic base). Keadaan ini
disebut sebagai kebalikan BHS (inverted takotsubo syndrome), dijumpai pada penderita
penyakit intrakranial berat atau pheochromocytoma crisis. Gejala klinis BHS memang hampir tidak dapat dibedakan dengan sindrom
koroner akut. Nyeri dada terkadang disertai
dengan dyspnea, palpitasi, berkeringat banyak (diaphoresis), mual, atau hilang kesadaran
sementara (syncope).7,22,23
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Berbagai pemeriksaan berikut9,10,12,16,23 dapat dilakukan sesuai indikasi dan bila fasilitas
tersedia.
A.
Pemeriksaan Laboratorium
1. Peningkatan minimal kadar CK-MB
serum.
2. Konsentrasi serum troponin I dan/
atau T, serta kadar peptida natriuretik plasma juga meningkat.
3. Kadar plasma katekolamin meningkat 2-3 kali; bisa juga tidak meningkat.
4. Penurunan kadar serum N-terminal
fragment of brain natriuretic peptide
(NT-proBNP) menandakan prognosis baik. Kadar NT-proBNP dapat
memperkirakan pemburukan dan
pemulihan keadaan otot jantung.
257
4/10/2012 2:56:02 PM
TINJAUAN PUSTAKA
B.
C.
D.
E.
F.
G.
H.
Elektrokardiografi: peningkatan (elevasi)
segmen-ST atau pembalikan (inversi)
gelombang T merupakan penemuan
penting.
Ekhokardiografi
untuk
mendeteksi
ketidaknormalan gerakan dinding jantung; teknik terkini ”speckle tracking
echocardiography” dua-dimensi.
Kateterisasi Jantung
Pemeriksaan ventrikulografi (radiografi
bilik jantung) kiri sangat bermanfaat.
Pencitraan nuklir (nuclear imaging) dapat memperkuat hasil pemeriksaan
coronary angiography dan Doppler
echocardiography. Digunakan untuk
mendeteksi insufisiensi mikrosirkulasi koroner; dapat menggunakan: 99mTechnetium, I-metaiodobenzylguanidine, fluorine
18-fluorodeoxyglucose positron-emission
tomography, atau nitrogen-13 ammonia
positron-emission tomography.
Magnetic Resonance Imaging (MRI) jantung digunakan untuk membedakan
broken heart syndrome dengan sindrom
koroner akut. MRI jantung dengan teknik
delayed enhancement sangat bermanfaat. Peningkatan mencolok di dalam isi
matriks ekstraseluler digunakan untuk
mendiagnosis keterlibatan bilik jantung
kanan pada BHS.
Pemeriksaan Histologis
Pada pemeriksaan jaringan, dijumpai tanda
khas, yaitu: perubahan fibrotik, nekrosis pitakontraksi (contraction-band necrosis), dan infiltrasi neutrofilik ringan. Biopsi tidak umum
dilakukan dan bersifat non-spesifik, meskipun
dapat dijumpai gambaran miositolisis fokal
dan infiltrasi monositik. Kultur jaringan tidak
melibatkan agen mikrobiologis.24
PENATALAKSANAAN
Yang utama adalah terapi suportif, sebab gangguan fungsi bilik jantung kiri biasanya kembali normal dalam beberapa minggu. Terapi
bertujuan mengurangi gejala, memperkuatmemperbaiki keadaan fisiologis-psikologis,
dan membantu memperbaiki kualitas hidup
penderita. Sebagai terapi rutin dapat diberi
obat golongan angiotensin-converting enzyme
inhibitor, angiotensin receptor blocker, dan/atau
beta-bloker.9-13 Pada kondisi klinis stabil, dapat
diberi golongan kardioprotektif dosis rendah.
K201 atau JTV519 atau [4-[3-(4-benzylpiperidin-1-yl)propionyl]-7-methoxy-2,3,4,5-tetrahydro-1,4-benzothiazepine monohydrochloride
258
CDK-192_vol39_no4_th2012 ok.indd 258
merupakan derivat 1,4-benzothiazepine yang
memiliki efek kardioprotektif kuat.25
Obat lain, seperti aspirin, nicorandil, prazosin, propranolol, verapamil, diltiazem, dan
golongan ACE inhibitor (misal: fasidotril), dapat direkomendasikan. Trimetazidine (TMZ,
ranolazine) juga bisa digunakan sebagai obat
tunggal (monoterapi) atau dikombinasikan
dengan obat antiangina, termasuk beta-blockers (propranolol, metoprolol) dan antagonis
kalsium (nifedipin, diltiazem). AMP 579 sebagai adenosine A1/A2 receptor agonist ([1S[1a,2b,3b,4a(S*)]]-4-[7-[[2-(3-chloro-2-thienyl)1-methylpropyl]amino]-3H-imidazo[4,5-b]
pyridyl-3-yl] cyclopentane carboxamide), merupakan kardioprotektif yang efektif. Sildenafil
oral 50 mg juga berefek protektif dengan mengurangi disfungsi endotel. Glycogen synthase
kinase 3 (GSK3) merupakan target molekuler
dari redox-active phytochemicals yang berefek
kardioprotektif dan neuroprotektif. Inhibitor
histon deasetilase (HDAC) juga merupakan
obat kardioprotektif dan neuroprotektif. Agen
kardioprotektif kuat lain adalah PD153035,
yang merupakan turunan 4-anilinoquinazoline
yang dikembangkan sebagai suatu EGF receptor tyrosine kinase inhibitor.26-29
Jika terjadi edema paru, perlu diberi diuretik
(furosemid, bumetanid, klorotiazid, atau metolazon). Terapi lain juga perlu dipersiapkan,
seperti: suplementasi oksigen, nitrat (nitrogliserin sublingual, nitroprusid sodium), analgesik (morfin sulfat), agen inotropik (dopamin,
dobutamin), dan human B-type natriuretic peptides (nesiritid).Penggunaan obat antikoagulan dan heparin pada penderita BHS masih
kontroversial.12,16
gat kondisi ini merupakan kumpulan gejala
klinis imbas katekolamin (catecholamine-induced clinical syndrome), beta-blocker harus
dipersiapkan dan angiotensin converting
enzyme inhibitor juga harus mulai diberikan
sampai fungsi jantung pulih. Diuretik cocok
diberikan bila terjadi gagal jantung kongestif.
Antikoagulasi harus dipertimbangkan pada
kasus gangguan fungsi sistolik yang berat
untuk mengurangi risiko tromboembolisme.
Jika penyebabnya kegagalan pompa jantung, diberi inotropik atau intra-aortic balloon
counterpulsation. Jika toksisitas katekolamin
bertanggung jawab langsung atas berkembangnya BHS, dopamin dan dobutamin dapat
memperburuk gangguan fungsi miokardium.
Golongan calcium-sensitizer (seperti levosimendan) merupakan terapi inotropik lini kedua
yang lebih tepat. Penderita BHS sebaiknya
segera dirujuk ke dokter ahli jantung untuk
mengikuti program rehabilitasi jantung; obat
yang dapat diberikan: simvastatin (20 mg/
hari), aspirin (325 mg /hari), karvedilol (6,25
mg 2x sehari), dan valsartan/hidroklorotiazid
(80/12,5 mg setiap hari).4,6,7,23,30
Tabel 2 Manajemen Broken Heart Syndrome 30
Obat
Indikasi
ACE* inhibitor
Disfungsi bilik kiri jantung (left
ventricular dysfunction); bila perlu.
Anxiolytic
Cemas (anxiety); bila perlu.
Aspirin
Antiplatelet agent/anticoagulant
Beta-bloker
Disfungsi bilik kiri jantung (left
ventricular dysfunction); bila perlu.
Keterangan:
* ACE = angiotensin-converting enzyme.
Terapi awal mirip terapi sindrom koroner akut, terutama
STEMI (ST-elevation myocardial infarction).
PENDEKATAN LAIN
Terapi optimal BHS awalnya ditujukan untuk
segera menangani iskemi miokard. Kateterisasi harus segera dilakukan jika diagnosis penyakit obstruksi koroner belum bisa disingkirkan.
PENCEGAHAN
Diperlukan sikap-paradigma berpikir yang
luas, arif-bijaksana, komprehensif, diiringi berbagai pendekatan. Berpola hidup seimbang,
teratur, dan tidak berlebihan, terutama di
dalam makan, berpikir, berbicara, dan berperilaku. 12-13
Jika penderita mengeluh nyeri dada, dijumpai
perubahan EKG, dan ada ketidaknormalan
pergerakan dinding bilik kiri jantung yang kemungkinan besar akibat infark miokard akut,
sebaiknya dipersiapkan tindakan angioplasti
primer. Untuk alasan yang sama, pemberian
aspirin, klopidogrel, nitrat, heparin intravena,
dan beta-blocker juga harus segera dimulai.
Setelah diagnosis BHS ditegakkan, agen antiplatelet dan nitrat harus dihentikan. Mengin-
KOMPLIKASI
Syok jantung (cardiogenic shock 6,5%), gagal
jantung kongestif (3,8%), takikardi ventrikuler
(1,6%), kematian (3,2% - 21%). Meskipun BHS
berpotensi menyebabkan kematian, pemulihan fungsi ventrikel kiri umumnya tercapai dalam waktu 2-4 minggu. Pada beberapa kasus,
dapat dijumpai hipotensi. Meskipun jarang,
dapat terjadi komplikasi serius lain, seperti
cacat/kerusakan sekat bilik jantung (ventricu-
CDK-192/ vol. 39 no. 4, th. 2012
4/10/2012 2:56:03 PM
TINJAUAN PUSTAKA
lar septal defect), robekan bilik jantung kiri (left
ventricular rupture), pembentukan trombus
(apical thrombus formation), dan stroke.2,20,31
PROGNOSIS
Kelainan-gangguan otot jantung (cardiomyopathy) pada BHS dapat membaik/pulih kembali pada lebih dari 90% penderita. Jarang
terjadi kekambuhan.23,32,33
CATATAN TAMBAHAN34
•
Kesatuan-gambaran klinis-elektrokardiografis BHS menyerupai keadaan sindrom
koroner akut (SKA), sehingga awalnya
sering didiagnosis sebagai SKA. Jadi sering dianggap sebagai kegawatdaruratan
jantung yang memerlukan kateterisasi
jantung segera.
•
BHS juga menyerupai infark miokard akut
dan gagal jantung kongestif.
•
STEMI (ST-segment elevation myocardial
infarction); yaitu tipe serangan jantung
berupa kematian jaringan otot jantung
dengan gambaran EKG elevasi segmenST. Serangan jantung tipe infark miokard
terjadi saat sebagian pembuluh arteri
koroner tiba-tiba tersumbat oleh bekuan
darah, menyebabkan kematian beberapa
otot jantung yang disuplai arteri tersebut. Pada STEMI, arteri koroner tersumbat
total, sehingga otot jantung yang disuplai arteri itu mulai mengalami kematian.
Serangan jantung ini dikenali melalui perubahan segmen ST pada EKG.
•
Miofibroblas berperan sebagai pelindung
(protective) dalam BHS dengan meminimalkan gangguan otot jantung (myocardial disarray). Miofibroblas merupakan fibroblas yang memiliki karakteristik sel-sel
otot (smooth muscle cells).
•
Catecholamine merupakan kelompok
amin biogenik dari tyramine/phenylalanine yang mengandung inti katekol;
tersusun dari molekul pyrocatechol dan
bagian aliphatic dari amine; diproduksi
oleh penggiatan (activation) sistem saraf
simpatik; berefek fisiologis penting sebagai neurotransmitter di sistem saraf pusat
dan tepi; juga bertindak sebagai hormon,
seperti: epinephrine (adrenaline), norepinephrine, dan L-dopa.
•
Pheochromocytoma merupakan tumor
jinak penghasil katekolamin; berasal dari
CDK-192/ vol. 39 no. 4, th. 2012
CDK-192_vol39_no4_th2012 ok.indd 259
•
•
•
•
•
•
sel-sel chromaffin di sistem saraf simpatis; dijumpai di tengah kelenjar adrenal,
jantung, dan sekitar kandung kemih, menyebabkan medula adrenal mensekresi
hormon epinephrine (adrenalin) terlalu
banyak (hypersecretion), sehingga tekanan darah naik. Dalam literatur medis,
diistilahkan dengan ”catecholaminesecreting tumor derived from chromaffin
cells”, ”vascular tumor of the adrenal gland”,
atau “tumor of neuroendocrine origin”.
Coronary angiography merupakan pemeriksaan pembuluh darah jantung dengan sinar-X.
Angioplasty merupakan prosedur pembedahan, digunakan untuk memperlebar pembuluh darah yang tersumbat
dan memulihkan aliran darah menjadi
normal.
Intra-aortic balloon (IAB) counterpulsation
merupakan bantuan sirkulasi dengan
balon yang dimasukkan ke pembuluh
darah aorta thoracic, digelembungkan
selama fase diastol dan dikempiskan selama fase sistol.
CK-MB: Singkatan dari Creatine Kinase
Myocardial Band atau isoenzim Creatine
Kinase dengan Muscle (otot) dan Brain
(otak) subunits. CK-MB dipertimbangkan sebagai petanda jantung standar
(benchmark) untuk cedera otot jantung
(myocardial injury). Pengukuran CK-MB
dilakukan melalui electrophoresis atau immunoassay.
MB: MB isoenzyme (disebut juga CK-2) terdiri dari 40% aktivitas CK (creatine kinase)
di otot jantung dan sekitar 2% aktivitas di
kelompok otot dan jaringan lainnya. Dalam klinis, MB merupakan petanda yang
sensitif dan spesifik untuk infark miokard.
MB biasanya abnormal 3-4 jam setelah
infark miokard, memuncak dalam 10–24
jam, dan kembali normal dalam 72 jam.
Peningkatan serum MB dapat terjadi
pada penderita gagal ginjal dan kerusakan otot skeletal yang berat (seperti pada
muscular dystrophy atau kecelakaan).
Troponin: Merupakan protein otot; saat
bergabung dengan ion kalsium (Ca2+),
memengaruhi tropomyosin untuk mulai berkontraksi. Protein yang berada di
ultrastruktur sel striated ini memodulasi
interaksi molekul actin dan myosin. Di-
•
percaya merupakan bagian ”calciumbinding complex” dari serabut otot (myofilaments) yang tipis. Troponin jantung
spesifik untuk otot jantung, mampu
mendeteksi cedera otot jantung. Troponin C, I, dan T merupakan protein
yang membentuk filamen tipis serabut
otot dan mengatur gerakan kontraktil protein di jaringan otot. Troponin I
merupakan subunit troponin di otot
dan tulang rawan yang menghalangi
pembentukan pembuluh darah dan sedang diteliti sebagai terapi kanker yang
potensial.
Peptida Natriuretik: Natriuretic peptides
seperti atrial natriuretic peptide (ANP),
N-terminal proANP (NT-proANP), B-type
natriuretic peptide (BNP), dan N-terminal
proBNP (NTproBNP) merupakan keluarga
peptides terstruktur yang muncul sebagai
biomarker (petunjuk) potensial dalam
mendiagnosis dan meramalkan perjalanan penderita gagal jantung kongestif (congestive heart failure, CHF). Sebagai
respon terhadap cardiac overload, ANP
disekresi dari atrium, sedangkan BNP
dikeluarkan dari ventrikel.
NILAI NORMAL
Creatinine kinase (CK) < 145 U/L; troponin T
< 0.1 ng/mL; troponin I < 0.3 ng/mL (bagian
Kardiologi Barmherzigen Schwestern Linz,
Austria).
Menurut American College of Cardiology dan
American Heart Association:
•
Total CK: 38–174 unit/L (pria) dan 96–140
units/L (wanita). Nilai mulai meningkat
dalam 4-6 jam dan mencapai puncak
dalam 24 jam. Kembali normal dalam 3-4
hari.
•
CK-MB: 10–13 units/L. Nilai mulai meningkat dalam 3-4 jam dan mencapai puncak
dalam 10-24 jam. Kembali normal dalam
2-4 hari.
•
Troponin T: kurang dari 0,1 ng/mL. Nilai
mulai meningkat dalam 2-4 jam dan
mencapai puncak dalam 10–24 jam.
Kembali normal dalam 5-14 hari.
•
Troponin I: kurang dari 1,5 ng/mL. Nilai
mulai meningkat dalam 2-4 jam dan
mencapai puncak dalam 10–24 jam.
Kembali normal dalam 5-10 hari.
259
4/10/2012 2:56:04 PM
TINJAUAN PUSTAKA
DAFTAR PUSTAKA
1.
Cebelin MS, Hirsch CS. Human stress cardiomyopathy. Myocardial lesions in victims of homicidal assaults without internal injuries. Hum. Pathol. 1980.;11:123-32.
2.
Koulouris S, Pastromas S, Sakellariou D, Kratimenos T, Piperopoulos P, Manolis AS. Takotsubo Cardiomyopathy: The “Broken Heart” Syndrome. Hellenic J Cardiol. 2010;51:451-457.
3.
Prasad A. Apical Ballooning Syndrome: An Important Differential Diagnosis of Acute Myocardial Infarction. Circulation 2007;115;e56-e59.
4.
Primetshofer D, Agladze R, Kratzer H, Reisinger J, Siostrzonek P. Tako-Tsubo syndrome: an important differential diagnosis in patients with acute chest pain. Wien Klin Wochenschr (The
Middle European Journal of Medicine). 2010;122:37-44.
5.
Sato H, Tateishi H, Uchida T, et al. Takotsubo type cardiomyopathy due to multivessel spasm. In: Kodama K, Haze K, Hon M, eds. Clinical aspect of myocardial injury: from ischaemia to heart
6.
Brandspiegel HZ, Marinchak RA, Rials SJ, et al. A broken heart. Circulation 1998;98:1349.
failure. Tokyo: Kagakuhyouronsya, 1990; 56-64.
7.
Akashi YJ, Nef HM, Möllmann H, Ueyama T. Stress Cardiomyopathy. Ann Rev Med. 2010. 61:271-86.
8.
Elian D, Osherov A, Matetzky S, et al. Left ventricular apical ballooning: not an uncommon variant of acute myocardial infarction in women. Clin Cardiol. 2006;29(1):9-12.
9.
Parodi G, Del Pace S, Carrabba N, et al. Incidence, clinical findings, and outcome of women with left ventricular apical ballooning syndrome. Am J Cardiol. 2007;99(2):182–5.
10. Sealove BA, Tiyyagura S, Fuster V. Takotsubo Cardiomyopathy. J Gen Intern Med 23(11):1904-8.
11. Buchholz S, Rudan G. Tako-tsubo syndrome on the rise: a review of the current literature. Postgrad Med J 2007;83:261-264.
12. Primetshofer D, Agladze R, Kratzer H, Reisinger J, Siostrzonek P. Tako-Tsubo syndrome: an important differential diagnosis in patients with acute chest pain. Wien Klin Wochenschr (The
Middle European Journal of Medicine). 2010;122:37–44.
13. Facciorusso A, Vigna C, Amico C, et al. Prevalence of Tako-Tsubo Syndrome among patients with suspicion of acute coronary syndrome referred to our centre. Int J Cardiol. 2009; 134:
255-9.
14. Elesber A, Lerman A, Bybee KA, et al. Myocardial perfusion in apical ballooning syndrome correlate of myocardial injury. Am Heart J. 2006; 152: 469.e9-13.
15. Pop L, Morel O, Ohlmann P, Faur A, Roul G, Bareiss P, et.al. The Tako-Tsubo cardiomyopathy or Broken Heart Syndrome. Clinical characteristics, demographics and prognosis of this entity
in Alsace, France. TMJ 2008;58(3-4):170-6.
16. Ibanez B, Novarro F, Cordoba M, M-Alberca P, Farre J. Tako-tsubo transient left ventricular apical ballooning: is intravascular ultrasound the key to resolve the enigma? Heart
2005;91:102-4.
17. Kuroswski V, Kaiser A, von Hof K, Killermann DP, Mayer B, Hartmann F, et al. Apical and midventricular transient left ventricular dysfunction syndrome (tako-tsubo cardiomyopathy): frequency, mechanism, and prognosis. Chest 2007;132:809-16.
18. Prasad A, Lerman A, Rihal CS. Apical ballooning syndrome (Tako-Tsubo or stress cardiomyopathy): a mimic of acute myocardial infarction. Am Heart J. 2008;155:408-17.
19. Bybee KA, Kara T, Prasad A, et al. Systematic review: transient left ventricular apical ballooning: a syndrome that mimics ST-segment elevation myocardial infarction. Ann Intern Med.
2004;141:858-65.
20. Prasad A, Lerman A, Rihal CS. Apical ballooning syndrome (Tako-Tsubo or stress cardiomyopathy): a mimic of acute myocardial infarction. Am Heart J. 2008;155:408–17.
21. Wittstein IS. Acute stress cardiomyopathy. Curr Heart Fail Rep. 2008;5:61-8.
22. Akashi YJ, Nakazawa K, Sakakibara M, Miyake F, Koike H, Sasaka K. The clinical features of takotsubo cardiomyopathy. QJM 2003;96:563-73.
23. Wahab A, Wahab S, Panwar R, Alvi S. Tako-tsubo Cardiomyopathy or Broken Heart Syndrome. Iranian Cardiovascular Res J. 2010;4(1):33-4.
24. Kaneko N, Matsuda R, Hata Y, Shimamoto K. Pharmacological characteristics and clinical applications of K201. Curr. Clin. Pharmacol. 2009;4(2):126-31.
25. Smits GJ, McVey M, Cox BF, Perrone MH, Clark KL. Cardioprotective effects of the novel adenosine A1/A2 receptor agonist AMP 579 in a porcine model of myocardial infarction. J Pharmacol
Exp Ther. 1998;286:611-8.
26. Venè R, Tosetti F. The role of glycogen synthase kinase-3 in the decision between cell survival and cell death. Emerging Signaling Pathways in Tumor Biology 2010: 95-116.
27. Banach M, Rysz J, Goch A, Mikhailidis DP, Rosano GMC. The Role of Trimetazidine After Acute Myocardial Infarction. Curr Vasc Pharmacol 2008;6(4):282-91.
28. Cavalheiro RA, Marin RM, Rocco SA, Cerqueira FM, Caldeira da Silva CC, et al. Potent Cardioprotective Effect of the 4-Anilinoquinazoline Derivative PD153035: Involvement of Mitochondrial
KATP Channel Activation. PLoS ONE 2010;5(5):1-8: e10666.
29. Nykamp D, Titak JA. Takotsubo Cardiomyopathy, or Broken-Heart Syndrome. Ann Pharmacother 2010;44:590-3.
30. Donohue D, Movahed M-R. Clinical characteristics, demographics and prognosis of transient left ventricular apical ballooning syndrome. Heart Fail Rev. 2005; 10: 311-6.
31. Nyui N, Yamanaka O, Nakayama R, Sawano M, Kawai S. Tako-Tsubo’ transient ventricular dysfunction: a case report. Jpn Circ J 2000;64:715-9.
32. Elesber AA, Prasad A, Lennon RJ, Wright RS, Lerman A, Rihal CS.Four-year recurrence rate and prognosis of the apical ballooning syndrome. J Am Coll Cardiol 2007;50:448-52.
33. Encyclopedia of Surgery. Cardiac marker tests. http://www.surgeryencyclopedia.com/A-Ce/Cardiac-Marker-Tests.html. Accessed on 2011 Feb 14.
260
CDK-192_vol39_no4_th2012 ok.indd 260
CDK-192/ vol. 39 no. 4, th. 2012
4/10/2012 2:56:05 PM
Download