ASPIRASI DAN EKSPLORASI SISWA TERHADAP PEKERJAAN KAITANNYA DENGAN MINAT SISWA MASUK PERGURUAN TINGGI (Studi Eksplanatif pada Siswa SMA Negeri 5 Surabaya) ARTIKEL Disusun oleh: Wahyu Nur Islamiati NIM: 071014069 PROGRAM STUDI SOSIOLOGI DEPARTEMEN SOSIOLOGI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS AIRLANGGA Semester Gasal / Tahun 2013/2014 Ringkasan Pendidikan memiliki peran yang sangat penting, salah satunya yaitu sebagai sarana sosialisasi norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. Karena pentingnya peran pendidikan tersebut, pemerintah dalam suatu negara termasuk Indonesia melakukan berbagai upaya agar seluruh masyarakatnya dapat mengenyam pendidikan. Upaya-upaya yang dilakukan oleh pemerintah tersebut, secara tidak langsung memunculkan kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan yang salah satunya terlihat dari banyaknya siswa yang berminat untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Banyaknya siswa yang ingin melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi ini, diduga karena adanya aspirasi dan eksplorasi siswa terhadap pekerjaan. Oleh karena itu penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara aspirasi dan eksplorasi siswa terhadap pekerjaan kaitannya dengan minat siswa masuk perguruan tinggi. Penelitian ini mengambil lokasi di SMA Negeri 5 Surabaya. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kuantitatif dengan tipe penelitian eksplanatif, serta menggunakan teknik pengambilan sampel berupa cluster random sampling. Sampel yang diambil sebanyak 44 responden. Adapun teori yang digunakan dalam penelitian ini yaitu teori fungsi teknis pendidikan dari Randall Collins, teori modal manusiawi dari Davis dan Moore, teori mobilitas sosial dari Philip Robinson, serta konsep eksplorasi dari Marcia. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini yaitu semakin tinggi aspirasi siswa terhadap pekerjaan, maka semakin dalam atau semakin luas eksplorasi terhadap pekerjaan yang dilakukan oleh siswa, sehingga hal tersebut membuat minat siswa untuk masuk perguruan tinggi menjadi semakin tinggi. Kata Kunci: Minat siswa masuk perguruan tinggi, aspirasi siswa terhadap pekerjaan, eksplorasi siswa terhadap pekerjaan 1 Summary Education has a very important role, one of them is as a means of socialization norms that prevailing in society. Because of the importance of the role of education, the government in a country, including Indonesia make efforts so that all people can get an education. The efforts undertaken by the government, indirectly raise public awareness of the importance of education, one of which can be seen from the number of students who wish to continue their education into college. The number of students who want to continue their education to the college, allegedly because of the student’s aspiration and exploration of job. Therefore, this study was conducted to determine the relationship between student’s aspiration and exploration of job to do with the interests of students to enter to the college. This study was conducted at SMA Negeri 5 Surabaya. The research method that used is quantitative research method, with the type of research is explanative research, as well as the use of sampling techniques such as cluster random sampling. The samples was taken as many as 44 respondents. The theory used in this study is technical functions of education theory from Randall Collins, human capital theory from Davis and Moore, social mobility theory from Philip Robinson, and the concept of exploration from Marcia. The results obtained from this research that the higher aspirations of the students towards job, then getting in or getting a broad exploration of the job done by the students, so it makes the interest of the students to enter to the college is intense. Keyword: the interests of students to enter the college, student’s aspiration of job, student’s exploration of job 2 Pendahuluan Pendidikan merupakan salah satu hal penting yang dibutuhkan oleh masyarakat. Pendidikan dikatakan penting karena, melalui pendidikan masyarakat dapat melakukan sosialisasi maupun mentransformasikan nilai-nilai dan normanorma sosial yang berlaku pada masyarakat dari generasi sebelumnya ke generasi berikutnya. Pentingnya peran pendidikan dalam kehidupan sosial, kemudian membuat pemerintah di dalam suatu negara termasuk Indonesia terus berupaya agar seluruh masyarakatnya dapat mengenyam pendidikan. Upaya yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia untuk menjamin pendidikan bagi setiap masyarakatnya salah satunya tertuang dalam pasal 31 ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan yang layak. Selain itu, untuk meningkatkan partisipasi pendidikan masyarakat, pemerintah juga merancang berbagai program yang salah satunya yaitu program wajib belajar enam tahun yang dilaksanakan sejak tahun 1984, dan program wajib belajar sembilan tahun yang dicanangkan pada tahun 1994 (Biro Pusat Statistik, 1997:39 dalam Budirahayu 1999:10). Program wajib belajar, selanjutnya juga berkembang menjadi program wajib belajar 12 tahun yang disebut juga sebagai program Pendidikan Menengah Universal (PMU) yang diresmikan oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) pada tahun 2013. Upaya-upaya yang dilakukan oleh pemerintah dengan mencetuskan peraturan yang tertuang dalam undang-undang dan melaksanakan programprogram pendidikan, secara tidak langsung tentunya dapat membuka kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan. Jika masyarakat sudah menyadari 3 pentingnya pendidikan, maka masyarakat akan turut berpartisipasi dalam menempuh pendidikan. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik, Angka Partisipasi Sekolah (APS) kasar Indonesia dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan. Pada jenjang SMP/MTs, Angka Partisipasi Sekolah kasar pada tahun 2010 sebesar 80,35%, pada tahun 2011 mengalami peningkatan menjadi 89,09%, dan tahun 2012 juga mengalami peningkatan menjadi 89,18%. Pada jenjang SMA/MA, Angka Partisipasi Sekolah kasar pada tahun 2010 yaitu sebesar 62,53%, dan terus meningkat pada tahun 2011 menjadi 63,86%, serta pada tahun 2012 sebesar 67,88%. Begitu pula pada jenjang perguruan tinggi, Angka Partisipasi Sekolah kasar juga terus mengalami peningkatan yaitu sebesar 16,35% pada tahun 2010, sebesar 17,28% pada tahun 2011, dan sebesar 18,53% pada tahun 2012. Meningkatnya Angka Partisipasi Sekolah kasar tersebut, merupakan salah satu bukti bahwa masyarakat Indonesia telah menyadari pentingnya pendidikan. Peran pendidikan memang dirasa cukup signifikan, terlebih pada era globalisasi seperti yang terjadi pada saat ini. Selain berperan sebagai pondasi kemajuan suatu bangsa, pendidikan penting untuk dilaksanakan agar masyarakat Indonesia dapat bersaing dengan masyarakat dari bangsa dan negara lainnya. Selain itu, Angka Partisipasi Sekolah kasar tersebut juga memperlihatkan bahwa masyarakat Indonesia tidak lagi hanya berpartisipasi dalam menempuh pendidikan hingga jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA) saja, akan tetapi sebagian masyarakat kini juga turut berpartisipasi dalam menempuh pendidikan hingga ke jenjang perguruan tinggi. 4 Partisipasi masyarakat dalam menempuh pendidikan hingga ke jenjang perguruan tinggi, salah satunya terlihat dari banyaknya siswa SMA yang berlomba-lomba untuk dapat masuk perguruan tinggi melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN). Banyaknya siswa SMA yang berlomba-lomba untuk dapat masuk ke perguruan tinggi tersebut, diduga dipengaruhi oleh adanya aspirasi dari para siswa tersebut terhadap pekerjaan. Aspirasi terhadap pekerjaan yang dimaksud dalam hal ini yaitu pandangan mengenai pekerjaan atau profesi yang diinginkan oleh seseorang dikemudian hari. Konsep aspirasi terhadap pekerjaan dalam penelitian ini mengadopsi konsep aspirasi pendidikan dalam sebuah tesis yang dikemukakan oleh Budirahayu (1999:12). Dalam tesis tersebut, Budirahayu mendefinisikan aspirasi pendidikan yaitu sebagai keinginan masyarakat untuk mencapai tingkat pendidikan yang setinggi-tingginya agar lebih mudah memperoleh pekerjaan. Adanya aspirasi terhadap pekerjaan ini, membuat siswa SMA yang tengah menginjak masa remaja harus mempersiapkaan diri untuk merealisasikan pekerjaan atau profesi yang diinginkannya. Hal ini sejalan dengan pernyataan Bosma yang mengemukakan bahwa “Mempersiapkan diri untuk suatu pekerjaan (occupation) merupakan salah satu tugas perkembangan remaja, karena pada saat memasuki masa dewasa awal, bekerja merupakan salah satu tugas perkembangan mereka” (Bosma (1985) dalam Havighurst (1953) dalam Alfikalia, 2009:24). Selain itu, pada saat ini banyak lapangan pekerjaan yang mensyaratkan para calon pekerjanya untuk memiliki tingkat pendidikan tertentu. Terkait adanya persyaratan dalam lapangan pekerjaan inilah yang kemudian diduga membuat 5 para siswa memiliki aspirasi terhadap pekerjaan dan kemudian mempengaruhi siswa untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi. Faktor lain yang juga diduga mempengaruhi siswa SMA untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi yaitu adanya eksplorasi siswa terhadap pekerjaan. Konsep mengenai eksplorasi ini diadopsi dari konsep yang dikemukakan oleh Marcia (1980, dalam Alfikalia, 2009:26) yang menjelaskan mengenai perkembangan identitas individu yang dapat dikelompokkan ke dalam empat tipologi, yaitu identity, achivement, foreclosure, moratorium, dan identity diffusion, dimana tipologi ini ditentukan oleh dua dimensi, yaitu eksplorasi dan komitmen. Menurut Marcia, eksplorasi mengacu pada ada tidaknya proses pengambilan keputusan sebelum individu menetapkan pilihannya. Sehingga dalam penelitian ini, eksplorasi terhadap pekerjaan didefinisikan sebagai ada tidaknya proses yang dilakukan siswa dalam mengidentifikasi pekerjaan tertentu yang diinginkannya sebelum ia menetapkan pilihan dan melakukan usaha untuk mencapai pilihan pekerjaannya tersebut. Eksplorasi terhadap pekerjaan diduga mempengaruhi minat siswa untuk masuk ke perguruan tinggi karena pada saat ini bidang-bidang pekerjaan di masyarakat adalah bidang-bidang pekerjaan yang sangat terspesialisasi sehingga memunculkan banyak sekali jenis pekerjaan atau profesi yang ada di masyarakat. Adanya spesialisasi pekerjaan di dalam masyarakat ini kemudian mengakibatkan para siswa harus melakukan eksplorasi terhadap pekerjaan yang sesuai dengan minat dan kemampuannya. Dengan dilakukannya eksplorasi terhadap pekerjaan oleh para siswa, maka para siswa yang semula hanya menempuh pendidikan yang bersifat umum di SMA menganggap bahwa mereka harus melanjutkan pendidikan 6 yang lebih terspesialisasi di perguruan tinggi. Hal ini senada dengan pernyataan yang diungkapkan oleh Alfikalia yang menyatakan bahwa: Bidang-bidang pekerjaan di masyarakat saat ini adalah bidangbidang pekerjaan yang sangat terspesialisasi. Artinya, setelah menempuh pendidikan di SMA yang bersifat umum, siswa harus menempuh pendidikan lanjutan di perguruan tinggi yang lebih terspesialisasi karena berhubungan dengan berbagai bidang pekerjaan yang ada di masyarakat (Alfikalia, 2009:24). Selain faktor aspirasi dan eksplorasi siswa terhadap pekerjaan, tentu saja masih ada faktor-faktor lain yang diduga dapat mempengaruhi minat siswa untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Faktor-faktor lain tersebut misalnya kondisi sosial dan ekonomi orang tua, latar belakang pendidikan orang tua, dan lain-lain. Namun, dari sekian banyak faktor yang dapat mempengaruhi minat siswa untuk masuk ke perguruan tinggi, penelitian ini hanya menggunakan dua faktor yaitu aspirasi siswa terhadap pekerjaan dan eksplorasi siswa terhadap pekerjaan. Oleh karena itu, penelitian ini hanya terbatas pada pengujian hubungan atau korelasi antara aspirasi dan eksplorasi siswa terhadap pekerjaan kaitannya dengan minat siswa masuk perguruan tinggi. Adapun permasalahan yang diteliti dalam penelitian ini antara lain, hubungan antara minat siswa SMA untuk masuk ke perguruan tinggi dengan aspirasi siswa terhadap pekerjaan, hubungan antara minat siswa SMA untuk masuk ke perguruan tinggi dengan eksplorasi siswa terhadap pekerjaan, serta pengaruh eksplorasi siswa terhadap pekerjaan dalam hubungan antara aspirasi siswa terhadap pekerjaan dengan minat siswa masuk perguruan tinggi. Penelitian mengenai aspirasi dan eksplorasi siswa terhadap pekerjaan kaitannya dengan minat siswa masuk perguruan tinggi ini, mengambil lokasi penelitian di SMA Negeri 5 Surabaya. Metode penelitian yang digunakan dalam 7 penelitian ini adalah metode penelitian kuantitatif, dengan tipe penelitian eksplanatif. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas XII pada tahun ajaran 2013/2014. Sementara, pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik pengambilan sampel berupa cluster random sampling. Kajian Teoritik Kerangka pemikiran yang digunakan dalam penelitian ini diambil dari beberapa teori yaitu teori fungsi teknis pendidikan yang dikemukakan oleh Randall Collins, teori modal manusiawi yang dikemukakan oleh Davis dan Moore, teori mobilitas sosial yang dikemukakan oleh Philip Robinson, dan konsep eksplorasi yang dikemukakan oleh Marcia. Secara lebih lanjut, teori-teori yang digunakan dalam penelitian ini akan dijelaskan satu per satu sebagai berikut. Penjelasan pertama yakni mengenai teori fungsi teknis pendidikan. Teori fungsi teknis pendidikan, pada awalnya menjelaskan tentang sifat pendidikan dan ekspansinya yang pernah terjadi di Amerika beberapa abad lalu. Ekspansi pendidikan yang terjadi di Amerika tersebut, disebabkan oleh persyaratan fungsional dalam suatu masyarakat industri, khususnya persyaratan yang diakibatkan oleh adanya perubahan teknologi dan ekonomi (Karabel dan Halsey, 1977:119). Teori fungsi teknis pendidikan dijelaskan oleh seorang ahli yang bernama Randall Collins. Prinsip-prinsip utama dalam teori fungsi teknis pendidikan diringkas sebagai berikut: 1. Persyaratan pendidikan dari pekerjaan-pekerjaan dalam masyarakat industri terus meningkat sebagai akibat 8 adanya perubahan teknologi. Dalam hal ini, terdapat dua aspek yaitu: a. Proporsi pekerjaan yang memerlukan keterampilan yang rendah berkurang, sementara proporsi yang memerlukan keterampilan tinggi bertambah. b. Pekerjaan-pekerjaan yang sama terus meningkat persyaratan keterampilannya. 2. Pendidikan formal memberi latihan yang diperlukan kepada orang-orang untuk mendapat pekerjaan yang berketerampilan lebih tinggi. 3. Sebagai akibat dari yang disebut di atas, persyaratan pendidikan untuk bekerja terus meningkat, dan semakin banyak orang yang dituntut untuk menghabiskan waktu yang lebih lama di sekolah (Collins, 1979, dalam Sanderson, 2003: 492). Penjelasan kedua yakni mengenai teori modal manusiawi (human capital theory) yang dikembangkan oleh Davis dan Moore. Teori ini masih dapat ditelusuri kembali dalam ilmu ekonomi sampai pada Adam Smith di abad ke delapan belas. Rumusan teori ini sering dihubungkan dengan karya Theodore Schultz (1961) dan Mark Blaug (1970) yang menjelaskan mengenai ekonomi pendidikan (Robinson, 1986:284). Pada penjelasan mengenai ekonomi pendidikan Theodore Schultz (1961) dan Mark Blaug (1970) menyatatakan bahwa, “Dalam sistem perekonomian, yang kita ketahui orang-orang yang lebih terdidik secara pukul rata akan menerima penghasilan lebih tinggi daripada orangorang yang kurang begitu terdidik” (Robinson, 1986:284). Pada intinya, teori ini menjelaskan bahwa baik individu maupun bangsabangsa akan menganggap dengan melakukan investasi dalam pendidikan mereka akan mendapatkan keuntungan. Hal ini karena investasi dalam pendidikan dianggap dapat meningkatkan keterampilan dan produktivitas yang pada akhirnya dapat menghasilkan kekayaan (Robinson, 1986:284). 9 Asumsi dibalik teori fungsionalis dan teori tentang modal manusiawi ini adalah terdapat suatu pasar bebas bagi tenaga kerja. Artinya, setiap masyarakat mempunyai seperangkat pekerjaan-pekerjaan yang memerlukan keterampilan tinggi yang dikaitkan dengan penghasilan yang tinggi, dan penyediaan untuk pekerjaan-pekerjaan itu diatur sedemikian rupa melalui sistem pendidikan sehingga mereka yang memiliki kemampuan paling besar akan memperoleh pekerjaan paling berat (Robinson, 1986:284). Penjelasan ketiga yakni mengenai konsep mobilitas sosial yang dikemukakan oleh Philip Robinson dalam sebuah penjelasan yang lebih menekankan perhatian pada hubungan antara pendidikan dan struktur pekerjaan (occupational structure). Dalam hal ini, Philip Robinson menganggap bahwa pendidikan dapat digunakan sebagai suatu sarana persiapan bagi struktur pekerjaan. Selain itu, pendidikan juga dianggap dapat memperbesar peluangpeluang individu untuk meningkatkan status pekerjaannya dibandingkan dengan status pekerjaan ayahnya. Menurut Philip Robinson, perbandingan status pekerjaan ayah dan anak dapat dilihat dari mobilitas antar-generasi, serta dapat pula dilihat dari sejauh mana anak mengikuti jejak ayah dalam hal pekerjaan. Selain itu, mobilitas juga dapat ditelaah dari segi intra-generasi (intra-generational movement), atau sejauh mana individu yang sama mengalami perubahan status dalam masa hidupnya sendiri (Robinson, 1986:286). Dalam melakukan mobilitas sosial yang perlu diperhatikan adalah tingkat keterbukaan masyarakat. Masyarakat dikatakan terbuka apabila hubungan antara pekerjaan ayah dan anak bersifat acak. Dengan kata lain, masyarakat yang terbuka 10 adalah sebuah masyarakat yang memperoleh status berdasarkan prestasi yang telah diraihnya (achievement), sehingga dalam hal ini dengan hanya mengetahui pekerjaan seorang ayah tidak akan dapat membantu kita untuk meramalkan pekerjaan anak-anaknya kelak. Sedangkan, masyarakat yang tertutup adalah masyarakat yang memperoleh status sejak lahir (ascribed). Sehingga dalam masyarakat yang tertutup ini, pekerjaan ayah dapat diturunkan kepada anak. Misalnya seorang penyapu jalan melahirkan (calon) penyapu jalan, juru rawat melahirkan (calon juru rawat), dan hakim melahirkan (calon) hakim (Robinson, 1986:286-287). Penjelasan keempat, yakni mengenai konsep eksplorasi yang dikemukakan oleh Marcia. Pada intinya konsep eksplorasi yang dikemukakan oleh Marcia ini menjelaskan mengenai pembentukan identitas diri individu. Dalam hal ini, Marcia (1993) menjelaskan bahwa pembentukan identitas diri dapat digambarkan melalui status identitas berdasarkan ada tidaknya eksplorasi (krisis) dan komitmen. Selanjutnya, Marcia mendefinisikan eksplorasi atau yang juga dikenal dengan istilah krisis sebagai suatu periode dimana adanya keinginan untuk berusaha mencari tahu, menyelidiki berbagai pilihan yang ada, dan aktif bertanya secara serius untuk mencapai sebuah keputusan tentang tujuan-tujuan yang akan dicapai, nilai-nilai, dan keyakinan-keyakinan (Diringkas dari Marcia, dalam http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/30842/3/Chapter%20II.pdf). Untuk mengetahui secara lebih lanjut mengenai tahapan eksplorasi yang dilakukan oleh seseorang, Marcia membagi eksplorasi menjadi beberapa dimensi. Dimensi eksplorasi (krisis) tersebut antara lain: 11 a. Sudah melalui eksplorasi (past crisis) Seseorang dikatakan berada pada tahap eksplorasi di masa lalu (past crisis) ketika periode dimana pemikiran aktif terhadap sejumlah variasi dari aspek-aspek identitas yang potensial sudah berlalu sekarang. Individu mampu menyelesaikan krisis dan memiliki pandangan yang pasti tentang masa depan atau tugas tersebut ditunda tanpa mencapai adanya sebuah kesimpulan yang bermakna. b. Sedang dalam eksplorasi (in crisis) Seseorang dikatakan sedang berada pada tahap eksplorasi ketika seseorang sedang berusaha untuk mencari tahu dan menjajagi pertanyaan-pertanyaan mengenai identitas dan sedang berjuang untuk membuat keputusan hidup yang penting. c. Tidak adanya eksplorasi (absence of crisis) Seseorang dikatakan tidak mengalami eksplorasi ketika seseorang tidak pernah merasa penting untuk melakukan eksplorasi pada berbagai alternatif identitas tentang tujuan yang ingin dicapai, nilai ataupun kepercayaan seseorang (Diringkas dari Marcia dalam http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/30842/3/Chapter% 20II.pdf). Selain dimensi eksplorasi, Marcia juga menjelaskan tentang kriteria eksplorasi yang berguna untuk menunjukkan ada atau tidaknya eksplorasi yang dilakukan oleh seseorang. Menurut Marcia, kriteria yang menunjukkan ada atau tidaknya eksplorasi yang dilakukan oleh seseorang antara lain: a. Pengetahuan (knowledgeability) b. Aktivitas untuk mengumpulkan informasi (activity directed toward the gathering of information) c. Mempertimbangkan alternatif identitas lain yang potensial (Evidence of considering alternative potential identity elements) d. Tingkatan emosi (Emotional tone) e. Keinginan untuk membuat keputusan secara dini (A desire to make an early decision) (Diringkas dari Marcia dalam http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/30842/3/Chapter% 20II.pdf). 12 Pembahasan Berdasarkan data yang didapat dari hasil penelitian, diketahui bahwa hampir seluruh siswa kelas XII di SMA Negeri 5 Surabaya dalam penelitian ini sudah memiliki aspirasi terhadap pekerjaan. Aspirasi terhadap pekerjaan tersebut muncul didasarkan atas kesadaran tentang tanggung jawab yang dimiliki oleh para siswa tersebut ketika telah menyelesaikan studi di bangku SMA. Para siswa dalam penelitian ini, menyadari bahwa bekerja merupakan tanggung jawab mereka setelah dewasa. Hal ini dikarenakan para siswa merasa bahwa dirinya harus menjadi pengganti orang tuanya untuk bekerja guna memenuhi kebutuhan hidup. Oleh karena itu, para siswa SMA tersebut telah memiliki gambaran tentang jenisjenis pekerjaan yang ingin ditekuninya. Pekerjaan yang ingin ditekuni oleh para siswa SMA pun bervariasi, di mana terdapat sebagian siswa yang menginginkan untuk bekerja di sektor pekerjaan formal seperti menjadi dokter, pegawai bank, notaris, dan berbagai profesi pekerjaan formal lainnya, serta ada pula sebagian siswa yang menginginkan untuk bekerja di sektor pekerjaan informal seperti menjadi freelancer. Untuk dapat mewujudkan cita-cita akan profesi atau pekerjaan yang mereka inginkan, para siswa tersebut kemudian mulai merencanakan untuk menempuh pendidikan minimal hingga Strata 1 (S1). Pendidikan hingga jenjang S1 dibutuhkan agar nantinya dapat menunjang para siswa SMA tersebut dalam mendapatkan pekerjaan. Para siswa SMA tersebut juga menyadari bahwa kebutuhan dalam dunia kerja pada saat ini telah berganti menjadi kebutuhan akan tenaga kerja yang semakin terspesialisasi, sehingga mendapatkan pekerjaan juga menjadi semakin berat. 13 persaingan untuk Semakin terspesialisasinya kebutuhan dari para calon pekerja tersebut, berarti menunjukkan bahwa para calon pekerja yang hendak memasuki lapangan pekerjaan harus memiliki keterampilan-keterampilan khusus ataupun tertentu di dalam satu bidang. Pekerjaan-pekerjaan yang dimaksud dalam hal ini dapat dicontohkan misalnya pekerjaan sebagai dokter, pengacara, notaris dan lain sebagainya yang tentunya harus memiliki sertifikat atau ijazah tertentu yang menyatakan bahwa seseorang dapat bekerja pada suatu sektor pekerjaan. Selain karena adanya bidang-bidang pekerjaan yang terspesialisasi tersebut, saat ini sektor-sektor pekerjaan khususnya pekerjaan di sektor formal juga mensyaratkan calon tenaga kerjanya untuk memiliki tingkat pendidikan minimal D3 atau S1. Adanya spesialisasi pekerjaan dan persyaratan kerja dalam sektor pekerjaan yang semakin meningkat tersebut, kemudian membuat para siswa yang semula hanya menempuh pendidikan yang bersifat umum di sekolah menengah merasa harus menempuh pendidikan yang lebih spesifik dan terspesialisasi di jenjang perguruan tinggi agar nantinya bisa mendapatkan ijazah atau surat ijin praktek yang dapat digunakan untuk bekerja. Hal tersebut sesuai dengan salah satu prinsip dalam teori fungsi teknis pendidikan yang menyatakan bahwa persyaratan pendidikan untuk bekerja terus meningkat, dan semakin banyak orang yang dituntut untuk menghabiskan waktu yang lebih lama di sekolah (Collins, 1979, dalam Sanderson, 2003: 492). Dari uraian penjelasan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat korelasi yang positif antara aspirasi siswa terhadap pekerjaan dengan minat siswa masuk perguruan tinggi. Artinya semakin tinggi aspirasi siswa terhadap pekerjaan, maka semakin tinggi pula minat mereka untuk melanjutkan pendidikan ke 14 perguruan tinggi. Sebaliknya, semakin rendah aspirasi siswa terhadap pekerjaan, maka semakin rendah pula minat mereka untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Para siswa SMA dalam penelitian ini menganggap bahwa apabila mereka melakukan investasi pendidikan, maka mereka akan lebih banyak mendapatkan keuntungan. Keuntungan yang bisa didapatkan menurut para siswa tersebut adalah kemudahan untuk mendapatkan pekerjaan, serta modal sosial seperti kemampuan untuk berpikir kritis (critical thinking) dalam menghadapi dan menyelesaikan berbagai macam permasalahan, serta mendapatkan keuntungan berupa modal sosial lainnya seperti semakin banyaknya link atau jaringan misalnya ikatan alumni yang juga akan membantu mempermudah mereka untuk mendapatkan pekerjaan yang diinginkan. Pemikiran para siswa yang sedemikian itu, dapat dikatakan sesuai dengan teori modal manusiawi (human capital theory) yang dikemukakan oleh Davis dan Moore yang pada intinya menjelaskan bahwa baik individu maupun bangsabangsa akan menganggap apabila melakukan investasi dalam pendidikan akan lebih menguntungkan karena investasi yang demikian akan meningkatkan keterampilan dan itu berarti produktivitas, yang pada gilirannya akan menghasilkan kekayaan (Davis dan Moore, dalam Robinson, 1986:284). Menempuh pendidikan hingga jenjang perguruan tinggi juga dianggap oleh para siswa dapat berguna untuk meningkatkan status sosial dan perekonomian mereka. Hal ini dikarenakan adanya anggapan dari para siswa bahwa apabila mereka menempuh pendidikan minimal hingga Strata 1 (S1), mereka akan memiliki peluang untuk mendapatkan pekerjaan yang baik dengan posisi yang stategis. Sehingga dari posisi strategis dalam pekerjaan yang ditekuninya tersebut, para siswa berharap akan dapat meningkatkan status 15 sosialnya, serta mendapat penghasilan yang tinggi untuk meningkatkan status perekonomiannya. Peningkatan status sosial dan ekonomi dalam hal ini disebut sebagai mobilitas sosial secara vertikal. Dengan menempuh pendidikan setidaknya hingga jenjang perguruan tinggi, para siswa menjadi merasa lebih memiliki peluang untuk melakukan mobilitas sosial. Hal ini sesuai dengan teori yang dijelaskan oleh Philip Robinson yang pada intinya menyatakan bahwa pendidikan dapat membantu seseorang untuk menaikkan status sosial dan perekonomiannya (Robinson, 1986:286-289). Oleh karena para siswa sudah memiliki aspirasi terhadap pekerjaan, maka para siswa tersebut kemudian melakukan eksplorasi terhadap pekerjaan. Eksplorasi terhadap pekerjaan didefinisikan sebagai ada tidaknya proses yang dilakukan siswa dalam mengidentifikasi pekerjaan tertentu yang diinginkannya sebelum ia menetapkan pilihan dan melakukan usaha untuk mencapai pilihan pekerjaannya tersebut. Berdasarkan ketiga dimensi eksplorasi yang dikemukakan oleh Marcia, siswa kelas XII di SMA Negeri 5 Surabaya tergolong sedang dalam eksplorasi (in crisis). Para siswa tersebut digolongkan sedang dalam eksplorasi karena berdasarkan hasil penelitian, mayoritas siswa kelas XII di SMA Negeri 5 Surabaya sudah mulai mencari informasi mengenai hal-hal yang berkaitan dengan pekerjaan. Para siswa menilai eksplorasi terhadap pekerjaan perlu untuk dilakukan karena ingin menyesuaikan jenis pekerjaan yang nantinya akan mereka tekuni dengan minat dan bakat yang mereka miliki. Para siswa juga merasa perlu untuk 16 melakukan eksplorasi terhadap pekerjaan karena para siswa tersebut ingin menyesuaikan dengan peluang pekerjaan yang ada di masyarakat. Selain itu, siswa-siswa kelas XII di SMA Negeri 5 Surabaya tergolong sedang dalam eksplorasi karena ada berbagai macam usaha yang dilakukan oleh mereka untuk mencari informasi mengenai hal-hal yang berkaitan dengan pekerjaan. Tidak jarang mereka juga melakukan eksplorasi tentang pekerjaan dengan melakukan diskusi baik itu dengan guru maupun dengan teman sebaya atau peer group mereka. Orang tua siswa pun ikut serta untuk mengarahkan para siswa dalam melakukan eksplorasi terhadap pekerjaan. Peran dari orang tua dalam membantu eksplorasi yang dilakukan oleh siswa dapat dikatakan cukup signifikan. Orang tua tidak hanya memberi saran, arahan kepada para siswa tetapi juga memberikan alternatif solusi apabila siswa gagal dalam mewujudkan aspirasi pekerjaannya. Dalam penelitian ini juga terlihat bahwa orang tua ikut berperan dalam membantu menuntun pola pemikiran para siswa tentang pekerjaan-pekerjaan yang ada di masyarakat yang masih belum diketahui dan dipahami oleh mereka. Dalam hubungan antara aspirasi siswa terhadap pekerjaan dengan minat siswa masuk perguruan tinggi, variabel eksplorasi terhadap pekerjaan memiliki pengaruh yang cukup signifikan. Eksplorasi terhadap pekerjaan dalam hal ini merupakan variabel yang memperkuat hubungan antara aspirasi siswa terhadap pekerjaan dengan minat siswa masuk perguruan tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa apabila aspirasi siswa terhadap pekerjaan tinggi, maka eksplorasi terhadap pekerjaan yang dilakukannya pun akan semakin dalam dan luas, hal tersebut kemudian akan semakin memperkuat minat siswa untuk masuk perguruan tinggi. 17 Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis yang telah diuraikan sebelumnya, penelitian mengenai aspirasi dan eksplorasi siswa terhadap pekerjaan kaitannya dengan minat siswa masuk perguruan tinggi menghasilkan beberapa kesimpulan antara lain sebagai berikut: 1. Siswa-siswa di SMA Negeri 5 Surabaya sudah mulai memiliki aspirasi terhadap pekerjaan. Sehingga, siswa tersebut memiliki minat yang tinggi untuk melanjutkan pendidikan hingga ke jenjang perguruan tinggi agar dapat merealisasikan pekerjaan atau profesi yang diinginkannya. 2. Siswa-siswa di SMA Negeri 5 Surabaya sudah mulai melakukan eksplorasi terhadap pekerjaan. Hal tersebut terlihat dari adanya aktivitas untuk mencari informasi tentang pekerjaan yang dilakukan oleh para siswa baik melalui diskusi dengan orang tua, guru, maupun teman-temannya. 3. Semakin tinggi aspirasi siswa terhadap pekerjaan, maka semakin dalam atau semakin luas eksplorasi terhadap pekerjaan yang dilakukan, sehingga hal tersebut membuat minat siswa untuk masuk perguruan tinggi menjadi semakin tinggi, dan sebaliknya. 18 Daftar Pustaka Alfikalia. Eksplorasi dan Komitmen dalam Memilih Jurusan di Perguruan Tinggi, Jurnal Universitas Paramadina Volume 6 No.1, April 2009. Budirahayu, Tuti. Aspirasi Siswa SMU dan Orang tuanya pada Pendidikan dan Pekerjaan Kaitannya dengan Rencana Siswa untuk Melanjutkan Pendidikan ke Perguruan Tinggi, Jurnal Masyarakat Kebudayaan dan Politik Th XII No.3, Juli 1999. Karabel, Jerome dan Halsey, A.H. Power and Ideology in Education (New York: Oxford University Press, 1977) Sanderson, Stephen K. Sosiologi Makro: Sebuah Pendekatan Terhadap Realitas Sosial (Edisi Kedua) dengan Kata Pengantar Hotman Siahaan (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003) Robinson, Philip. Beberapa Perspektif Sosiologi Pendidikan (Jakarta: Rajawali, 1986) http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/30842/3/Chapter%20II.pdf (Diakses 6 Oktober 2013 pukul 09.32 WIB) 19