BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Kebijakan moneter merupakan kebijakan pengendalian besaran moneter untuk bank sentral dalam bentuk mencapai perkembangan kegiatan perekonomian yang diinginkan yaitu kesempatan kerja yang tinggi, laju inflasi stabil, keseimbangan neraca pembayaran dan tingkat pertumbuhan ekonomi yang mantap. (Pohan,2008). Penerapan kebijakan moneter tidak dapat dilakukan terpisah dengan kebijakan ekonomi makro lainnya. Hal ini terutama mengingat interdependensi atau keterkaitan antara kebijakan moneter dan bagian kebijakan ekonomi makro lain yang sangat erat. Pemahaman tentang interdependensi antara instrumen moneter dan indikator makro dirasa sangat perlu bagi pengambil kebijakan agar tidak terjadi penyimpangan-penyimpangan atau distorsi ekonomi. Gambaran tentang adanya interdependensi antara instrumen moneter dan indikator ekonomi makro sudah sejak lama dijelaskan. Berikutnya akan diuraikan teori-teori yang menjelaskan interdependensi instrumen moneter dan indikator makro dalam menentukan kegiatan perekonomian Dalam teori Keynes dijelaskan bahwa kebijakan fiskal merupakan faktor penting dalam menentukan permintaan agregat, sedangkan kebijakan moneter atau perubahan jumlah uang beredar (money supply) berpengaruh lemah terhadap permintaan agregat dan bahkan pada situasi tertentu dikatakan tidak bepengaruh. Jumlah uang beredar memerlukan instrumen lain agar bisa mempengaruhi permintaan agregat, melalui efeknya atas investasi dan bersifat tidak langsung yaitu melalui tingkat suku bunga, dimana pengaruh tingkat suku bunga terhadap investasi relatif sangat lemah atau permintaan investasi swasta relatif sensitif terhadap tingkat suku bunga selama resesi (Ahuja, 2002). Golongan monetaris mengkritik pandangan Keynes, golongan ini dipelopori oleh Milton Friedman. Friedman meyakini sistem pasar bebas mampu menciptakan kesempatan kerja penuh dan penawaran uang sangat penting artinya dalam mempengaruhi kegiatan ekonomi dan tingkat harga. Mengenai bentuk kebijakan pemerintah, jika diperlukan kebijakan moneter lebih berperan dalam mempengaruhi kegitan perekonomian dibandingkan dengan kebijakan fiskal seperti yang diuraikan golongan Keynes. (Sukirno, 2004). Menurut Mundell-Fleming, efektif tidaknya kebijakan fiskal dan moneter dalam mempengaruhi pendapatan agregat bergantung pada regim nilai tukar yang berlaku. Pada kurs tukar mengambang atau fleksibel (floating or flexible exchange rate), kebijakan moneter efektif mempengaruhi pendapatan nasional. Sebaliknya untuk negara yang menganut nilai tukar tetap, hanya kebijakan fiskal yang efektif mempengaruhi pendapatan nasional. (Mankiw, 2000) Bercermin dari krisis pada tahun 1997 yang telah menimbulkan banyak permasalahan Krisis yang berawal contagion effect regional di Thailand, mengakibatkan berkurangnya kepercayaan masyarakat internasional kepada negara-negara Asia termasuk Indonesia akhirnya nilai tukar rupiah merosot tajam. Kondisi ini diperparah dengan masalah perbankan yang harus segera diatasi, sehingga dilakukan likuidasi 16 bank bermasalah untuk menekan biaya produksi. Kegiatan ini ternyata menimbulkan rush, dan capital flight.Untuk mengatasi masalah ini Bank Indonesia memberikan bantuan pencairan dana likuiditas. Tak ada asap kalau tidak ada api, ternyata bantuan yang diharapkan bisa mengatasi masalah malah mengakibatkan bleeding besar-besaran sehingga mendorong laju inflasi semakin meningkat.Hal ini disebabkan oleh meningkatnya jumlah uang beredar yang tidak dibarengi dengan peningkatan produksi, naiknya biaya produksi akibat kurs overshooting, disribusi yang tidak lancar karena kondisi politik dan keamanan, dan seterusnya. Krisis moneter ini terjadi karena pembangunan nasional yang dilaksanakan sebelum krisis mengandung banyak kelemahan struktur dan penyimpangan atau distorsi ekonomi sehingga akhirnya menimbulkan permasalahan yang cukup kompleks. Kondisi yang digambarkan pada saat krisis moneter itu adalah bukti yang menjelaskan bahwa terdapat hubungan interdependensi antara instrumen moneter dan indikator ekonomi makro dalam menjalankan tugasnya masing-masing. Perubahan pada suatu instrumen moneter dapat berakibat pada perubahan seluruh instrumen moneter lain dan indikator ekonomi makro. Selain itu, pemahaman akan interdependensi instrumen moneter dan indikator makro ini akan mengoptimalkan koordinasi kebijakan moneter dan kebijakan lainnya dalam melaksanakan tugas masing-masing. Mengerti tentang kapan waktu yang tepat untuk melaksanakan suatu kebijakan dan apa efek nya terhadap instrumen dan indikator lainnya, merupakan modal bagi pelaku kebijakan untuk merumuskan suatu kebijakan agar kegiatan perekonomian yang diinginkan dapat tercapai. Gambaran tentang interdependensi perkembangan instrumen moneter dan indikator makro dapat juga dijelaskan dari trend perkembangan indikator makro pasca krisis ekonomi tahun 1997 yang dapat dilihat dari gambar-gambar dibawah ini Gambar 1.1 (a) Trend RSBI (%) Gambar 1.1 (b) Trend Suku Bunga Domestik (%) Gambar 1.2 (a) Trend Jumlah Uang Beredar Gambar 1.2 (b) Trend Giro Wajib Minimum Gambar 1.3 (a) Trend Pinjaman Investasi oleh Gambar 1.3 (b) Trend Nilai Ekspor Barang dan Jasa Bank Umum (Milyar Rupiah) Gambar 1.4 (a) Trend Tingkat Pengangguran Gambar 1.4 (b) Trend Pertumbuhan Ekonomi Terbuka Gambar 1.5 (a) Trend Inflasi Gambar 1.5 (b) Trend Nilai Tukar Rupiah terhadap US Dollar Bila kita lihat trend pergerakan RSBI satu dekade belakangan ini Gambar 1.1(a), SBI menunjukkan trend yang menurun. Kondisi ini diikuti oleh penurunan tingkat suku bunga domestik dan peningkatan jumlah uang beredar (Gambar 1.2(a). Dalam waktu yang bersamaan, BI cenderung meningkatkan GWM. Secara parsial, kenaikan GWM akan berdampak pada pengurangan jumlah uang beredar (Pohan, 2008) dan jumlah kredit yang disalurkan. Namun dari Gambar 1.2(b) dan Gambar 1.3(a) tidak demikian halnya. Trend jumlah uang beredar justru meningkat, demikian juga dengan jumlah kredit pinjaman investasi yang disalurkan. Sedikit berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Julaihah (2004), bahwa pada dekade yang diteliti, kenaikan JUB bukan disalurkan kepada masyarakat, tetapi justru terserap oleh kenaikan GWM, akibatnya peningkatan JUB tidak menyebabkan pertumbuhan dalam sektor riil. Penurunan tingkat suku bunga domestik, secara teori akan direspon oleh dunia kerja dengan meningkatnya investasi, peningkatan lapangan kerja (penurunan tingkat pengangguran) dan naiknya pertumbuhan ekonomi. Demikian juga halnya yang terjadi di Indonesia seperti diperlihatkan pada Gambar 1.3 dan Gambar 1.4. Jumlah pinjaman investasi baik dalam bentuk rupiah maupun valas yang diberikan oleh Bank Umum selama periode 2002-2011 mengalami peningkatan. Seperti terlihat pada Gambar 1.1 (a), 1.2(a), penurunan tingkat suku bunga diikuti oleh penambahan JUB. Namun bila kita lihat Gambar 1.5(a), tingkat inflasi memiliki trend yang cenderung menurun. Ini mengindikasikan bahwa peningkatan JUB tidak signifikan mampu menyebabkan tingkat inflasi menaik. Hal ini sejalan dengan temuan Julaihah (2004), bahwa peningkatan jumlah uang beredar menyebabkan tingkat inflasi menunjukkan trend menurun. Kondisi ini tentu saja tidak sesuai dengan teori kuantitas uang yang disampaikan oleh kaum monetaris, bahwa kenaikan jumlah uang beredar akan menyebabkan kenaikan secara proporsional terhadap inflasi (Mankiw, 2007). Secara teori, tingkat suku bunga, inflasi dan nilai tukar akan berpengaruh terhadap ekspor, dan selanjutnya berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi. Sesuai dengan teori Mundell-Fleming (Mankiw, 2000), bahwa suatu negara yang memiliki perekonomian terbuka kecil dengan tingkat mobilitas modal yang tinggi, penurunan tingkat suku bunga dalam negeri akan memicu capital out flow. Akibatnya nilai tukar dapat turun sehingga harga barang domestik relatif lebih murah dibanding dengan harga barang di negara lain. Kondisi ini akan memicu kenaikan ekspor. Dari Gambar 1.3(b) terlihat bahwa trend ekspor meningkat, namun pada Gambar 1.5(b) terlihat bahwa trend nilai tukar relatif stabil. Ini menandakan bahwa penurunan tingkat suku bunga domestik (Gambar 1.1(b) dalam jangka panjang tidak berpengaruh terhadap trend nilai tukar yang relatif stabil dan peningkatan eskpor juga tidak dipengaruhi oleh nilai tukar (ceteris paribus). Di satu sisi tingkat suku bunga cenderung menurun, namun nilai tukar relatif stabil. Demikian juga hubungan nilai tukar dengan ekspor. Ketika nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing (katakan US dollar) rendah, ini berarti bahwa secara relatif harga barang Indonesia lebih murah dibanding dengan barang asing. Kondisi ini akan memicu meningkatnya volume ekspor.Dari gambar 1.3 (b) dan Gambar 1.5 (b) tidak terlihat adanya hubungan jangka panjang antara nilai tukar dengan ekspor. Di satu sisi nilai tukar relatif stabil sementara di sisi lain ekspor terus meningkat. Hubungan nilai tukar dengan inflasi, dari data yang ada menunjukkan bahwa trend nilai tukar stabil mengakibatkan trend inflasi menjadi turun, tidak seperti penelitian yang dilakukan oleh (Achsani dan Nababan), yang menyimpulkan bahwa terdepresiasinya nilai tukar akan meningkatkan inflasi khususnya pada kelompok transportasi dan komunikasi, hal ini terjadi karena masih banyaknya barang domestik yang mengandung unsur impor. Secar ringkas gambaran beberapa instrumen moneter dan indikator makro dapat dilihat pada Tabel 1.1 Tabel 1.1. Instrumen Moneter dan Indikator makro periode 2000-2010 Tahun GWM JUB RDOM EXC INF GROW (Milyar) (Milyar) (%) (Rupiah) (%) (%) 16,55 215.710,40 2.743.523,7 2000 8534,418 4.85 4.90 17,11 242.856,56 3.146.987,3 2001 10265,67 12.075 3.34 18,03 262.361,76 3.397.604,3 2002 9261,17 11.425 3.43 17,04 480.175,20 3.615.833,0 2003 8571,165 6.25 3.88 14,67 756.629,76 3.875.299,0 2004 8985,418 6.15 5.13 14,20 761.995,92 4.377.772,7 2005 9750,585 10.7 5.53 15,73 965.287,84 5.054.577,7 2006 9141,248 12.275 5.35 13,93 1.196.515,12 5.860.192,3 2007 9163,665 6.475 6.32 13,06 6.819.287,3 2008 1.512.056,24 9756,748 10.6 6.00 13,65 7.902.730,9 2009 1.660.822,64 10356,17 4.295 4.50 12,62 8.866.562,3 2010 1.742.763,84 9078,25 5.2775 6.15 Sumber : SEKI, Bank Indonesia Interdependensi dari masing-masing indikator dapat jelas terlihat dari Tabel 1.1, Walaupun beberapa fenomena terlihat berbeda dengan teori (theory gap). Peningkatan jumlah giro wajib minimum pada tahun 2001 sebesar 12,58%, ternyata tidak mampu menahan peningkatan jumlah uang beredar uang beredar sebesar 40,35 %, walapun Bank Indonesia mencoba untuk mengurangi efeknya dengan melakukan tight money policy , meningkatkan suku bunga sebesar 17,11% akibatnya inflasi meningkat tajam sebesar 12,08% dari 4,85%. Peningkatan inflasi yang sangat tinggi ini juga dipicu oleh peningkatan dari sisi penawaran, yaitu peningkatan biaya produksi bagi industri-industri yang berbasis bahan baku impor. Kondisi ini mengakibatkan nilai tukar rupiah terdepresiasi sebesar 20,28% dari nilai tahun 2000. Akumulasi dari interdependensi seluruh instrumen moneter dan indikator makro ini mengakibatkan pertumbuhan ekonomi turun menjadi 3,34% pada tahun 2000. Kebijakan tight money policy yang dilakukan pada tahun 2001, dengan menaikkan tingkat suku bunga diharapkan dapat menurunkan jumlah uang beredar (Dornbusch 2008), tetapi ternyata kebijakan ini tidak cukup ampuh untuk menarik jumlah uang beredar dimasyarakat, ditambah nilai rupiah yang terus merosot karena capital flight masih terus terjadi. Hal ini disebabkan karena berkurangnya kepercayaan masyarakat terhadap sektor moneter dan pemerintah. Bank Indonesia harus berhati-hati dalam penerapan kebijakan moneter, hal ini disebabkan karena pengaruh suatu variabel lain terhadap variabel lainnya dimungkinkan setelah adanya aksi (policy action) dilakukan. Sehingga perumusan kebijakan harus mengakomodasi efek tunda (time lag) yang akan menunjukkan pengaruh kebijakan setelah terlewatinya beberapa waktu tetentu. Ada unsur ketidakpastian dalam menyusun policy action akibat informasi berupa pengetahuan untuk perumusan kebijakan tidak sepenuhnya tercukupi. 1.2. Pernyataan Masalah Interdependensi variabel-variabel moneter dan makro merupakan suatu yang harus terjadi untuk pencapaian tujuan perekonomian secara umum. Ada beberapa kondisi yang menjadi fenomena dalam penelitian ini yang menjelaskan keterkaitan diantara instrumen moneter dan indikator ekonomi makro. Secara agregat berdasarkan trend perkembangan indikator ekonomi makro ada beberapa kondisi menarik yang menjadi fenomena dari Gambar di atas, yaitu ketika trend GWM naik ternyata trend JUB juga naik. Selanjutnya jika dihubungkan antara trend JUB dengan trend tingkat inflasi, dari kondisi yang ada menujukkan bahwa ketika terjadi peningkatan trend JUB, trend inflasi menunjukkan angka yang menurun. Hal ini tentu saja tidak sesuai dengan teori kuantitatif yang menjelaskan bahwa kenaikan jumlah uang beredar akan menyebabkan kenaikan harga secara proporsional. Fenomena berikutnya adalah jika dihubungkan antara trend RSBI dan tingkat suku bunga domestik yang turun, diikuti oleh peningkatan trend investasi, peningkatan ekspor dan peningkatan pertumbuhan ekonomi tetapi trend nilai tukar rupiah stabil, kondisi ini sebenarnya tidak sesuai dengan teori yang dinyatakan Mundell-Fleming (1960), menyatakan bahwa ketika bank sentral melakukan kebijakan ekspansif dengan menambah JUB, akan menurunkan tingkat suku bunga domestik. Penurunan tingkat suku bunga domestik dibawah tingkat suku bunga internasional akan mendorong arus keluar (capital outflow), banyaknya arus modal keluar mengakibatkan terdepresiasinya nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing dan depresiasi ini akan memicu kenaikan ekspor. Tetapi kondisi yang ada bahwa nilai mata uang rupiah menunjukkan trend yang relatif tetap (datar). Jika dianalisis secara parsial berdasarkan Tabel 1.1 , data pada tahun 2001 dibandingkan dengan tahun 2000, ketika trend giro wajib minimum selanjutnya disebut GWM naik sebesar 12,58% ternyata jumlah uang beredar (JUB) juga naik sebesar 40,35% , usaha untuk mengatasi bleeding liquiditas terus dilakukan dnegan menaikkan tingkat bunga menjadi 17,11% dari sebelumnya 16,55% . Kebijakan tight money policy ini ternyata tidak berhasil mengatasi meningkatnya laju inflasi yang signifikan dari 4,58% menjadi 12,65% pada tahun 2011. Akibatnya nilai rupiah pun menjadi terdepresiasi 20,28% dari kondisi sebelumnya. Beranjak pada tahun 2002, kenaikan GWM sebesar 0,08%, sama sekali tidak membawa pengaruh terhadap JUB. Nilai JUB terus meningkat sebesar 25,06%, selanjutnya bank menaikkan suku bunga menjadi 18, 32% untuk mengatasi jumlah uang beredar yang melimpah dimasyarakat, ternyata jalan ini cukup ampuh karena telah berhasil menaikkan nilai tukar rupiah terhadap dollar sebesar 10,05%.Apresiasi nilai tukar telah menurunkan inflasi dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi periode 2000-2011, data tertera pada tabel 1.1. 1.3 Perumusan Masalah Dari fenomena ini muncul beberapa pertanyaan, seperti; apakah ada keterkaitan antara instrumen moneter terhadap indikator ekonomi makro ? Apakah instrumen moneter berperan signifikan dalam mempengaruhi kinerja indikator makro ? Pada periode yang akan datang, variabel manakah yang akan memberi kontribusi terbesar terhadap indikator ekonomi makro ? Secara umum permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana interdependensi instrumen kebijakan moneter terhadap indikator ekonomi makro di Indonesia. Secara khusus permasalahan yang akan dianalisis adalah sebagai berikut: 1. Apakah ada interdependensi instrumen kebijakan moneter yang terdiri dari Operasi Pasar Terbuka (OPT), Giro Wajib Minimum (GWM ) dan Tingkat Bunga Fasilitas Diskonto (rDiskonto) melalui Jumlah Uang Beredar (JUB), Tingkat Bunga Domestik (rDOM), Nilai Tukar Rupiah Terhadap Dolar US (EXC), Jumlah Ekspor (EXPOR), Jumlah Impor (IMP), Jumlah Investasi (INV) terhadap Tingkat Pengangguran (UNEMP) pada tahun 2000-2011 di Indonesia. 2. Apakah ada interdependensi instrumen kebijakan moneter yang terdiri dari Operasi Pasar Terbuka (OPT), Giro Wajib Minimum (GWM ) dan Tingkat Bunga Fasilitas Diskonto (rDiskonto) melalui Jumlah Uang Beredar (JUB), Tingkat Bunga Domestik (rDOM), Nilai Tukar Rupiah Terhadap Dolar US (EXC), Jumlah Ekspor (EXPOR), Jumlah Impor (IMP), Jumlah Investasi (INV) terhadap Keseimbangan Neraca Pembayaran (BOP) pada tahun 20002011 di Indonesia. 3. Apakah ada interdependensi instrumen kebijakan moneter yang terdiri dari Operasi Pasar Terbuka (OPT), Giro Wajib Minimum (GWM ) dan Tingkat Bunga Fasilitas Diskonto (rDiskonto) melalui Jumlah Uang Beredar (JUB), Tingkat Bunga Domestik (rDOM), Nilai Tukar Rupiah Terhadap Dolar US (EXC), Jumlah Ekspor (EXPOR), Jumlah Impor (IMP), Jumlah Investasi (INV) terhadap Tingkat Inflasi (INF) pada tahun 2000-2011 di Indonesia. 4. Apakah ada interdependensi instrumen kebijakan moneter yang terdiri dari Operasi Pasar Terbuka (OPT), Giro Wajib Minimum (GWM ) dan Tingkat Bunga Fasilitas Diskonto (rDiskonto) melalui Jumlah Uang Beredar (JUB), Tingkat Bunga Domestik (rDOM), Nilai Tukar Rupiah Terhadap Dolar US (EXC), Jumlah Ekspor (EXPOR), Jumlah Impor (IMP), Jumlah Investasi (INV) terhadap Tingkat Pertumbuhan (GROW) pada tahun 2000-2011 di Indonesia. 5. Bagaimana dampak simulasi shock instrumen kebijakan moneter terhadap shock indikator ekonomi makro yang terdiri dari shock pengangguran (UNEMP), shock neraca pembayaran (BOP), shock inflasi (INF), dan shock pertumbuhan ekonomi (GROW). 6. Bagaimana dampak simulasi kenaikan 5% (lima persen) shock instrumen Operasi Pasar Terbuka (OPT) padatahun 2010 terhadap indikator ekonomi makro yang terdiri dari shock pengangguran (UNEMP), shock neraca pembayaran (BOP), shock inflasi (INF), dan shock pertumbuhan ekonomi (GROW) 1.4. Tujuan Studi Selain untuk memenuhi persyaratan guna memperoleh gelar doktor dalam Ilmu Ekonomi pada Program Doktor Ilmu Ekonomi Universitas Sumatera Utara, studi ini juga bertujuan secara umum untuk menganalisis interdependensi instrumen kebijakan moneter dan indikator ekonomi makro dan dampak shock instrumen kebijakan moneter terhadap indikator ekonomi makro periode 2000-2011 di Indonesia. Sedangkan secara khusus dirumuskan sebagai berikut: 1. Untuk menganalisis interdependensi instrumen kebijakan moneter terhadap indikator makro yaitu tingkat pengangguran pada tahun 20002011 di Indonesia. 2. Untuk menganalisis interdependensi instrumen kebijakan moneter antara terhadap indikator makro yaitu kestabilan neraca pembayaran (BOP) pada tahun 2000-2011 di Indonesia. 3. Untuk menganalisis interdependensi instrumen kebijakan moneter terhadap indikator makro yaitu tingkat inflasi (INF) pada tahun 20002011 di Indonesia. 4. Untuk menganalisis interdependensi instrumen kebijakan moneter terhadap indikator makro yaitu tingkat pertumbuhan pada tahun 20002011 di Indonesia. 5. Untuk menganalisis simulasi shock instrumen kebijakan moneter terhadap shock indikator ekonomi makro yang terdiri dari shock pengangguran (UNEMP), shock neraca pembayaran (BOP), shock inflasi (INF), dan shock pertumbuhan ekonomi (GROW). 6. Untuk menganalisis simulasi shock 5% (lima persen) shock instrumen Operasi Pasar Terbuka (OPT) padatahun 2010 terhadap indikator ekonomi makro yang terdiri dari shock pengangguran (UNEMP), shock neraca pembayaran (BOP), shock inflasi (INF), dan shock pertumbuhan ekonomi (GROW) 1.5. Manfaat Studi Sesuai dengan rumusan masalah dan tujuan penelitian ini, maka manfaat penelitian ini diharapkan sebagai berikut: 1. Sebagai masukan bagi pengembangan ilmu ekonomi, khususnya Ilmu Ekonomi Moneter dan Ekonomi Makro. Secara lebih spesifik berupa pengembangan model-model dinamik seperti Structual Vector Auto Regression didalam mengkaji dan menganalisis dampak kebijakan moneter terhadap indikator ekonomi makro. 2. Beberapa hasil temuan ini dimungkinkan sebagai bahan informasi (referensi) untuk pendalaman penelitian selanjutnya, mencari dan menganalisis modelmodel kebijakan moneter serta model-model untuk stabilisasi ekonomi makro di Indonesia. 3. Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi bagi pengambil keputusan khususnya Bank Indonesia, mengenai indikator kebijakan moneter manakah yang paling berpengaruh terhadap indikator ekonomi makro di Indonesia. 4. Hasil kajian ini dapat memberikan informasi bagi pelaku ekonomi (investor, eksportir, importir dan produsen dalam negeri dalam merumuskan kebijakan moneter dan strategi ekonominya dalam mengantisipasi adanya perubahan kebijakan moneter.