BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Telinga 2.1.1. Telinga Luar Telinga luar terdiri dari daun telinga dan liang telinga sampai membran timpani. Daun telinga terdiri dari tulang rawan elastin dan kulit. Liang telinga berbentuk huruf S, dengan rangka tulang rawan pada sepertiga bagian luar, sedangkan dua pertiga bagian dalam rangkanya terdiri dari tulang. Panjangnya kira-kira 2 - 3 cm. Pada sepertiga bagian luar kulit telinga terdapat banyak kelenjar serumen (modifikasi kelenjar keringat) dan rambut (Soetirto et al,2007). 2.1.2. Telinga Tengah Telinga tengah berbentuk kubus dengan : - Batas luar : Membran timpani - Batas depan : Tuba Eustachius - Batas bawah : Vena jugularis (bulbus jugularis) - Batas belakang : Aditus ad antrum, kanalis fasialis pars ventrikalis - Batas atas : Segmen timpani (meningen / otak) - Batas dalam : Kanalis semisirkularis horizontal, kanalis fasialis, tingkap lonjong (oval window), tingkap bundar (round window) dan promontorium. Membran timpani berbentuk bundar dan cekung bila dilihat dari arah liang telinga dan terlihat oblik terhadap sumbu liang telinga. Bagian atas disebut pars flaksida (membran Shrapnell), sedangkan bagian bawah pars tensa (membran propria). Pars flaksida hanya berlapis dua, yaitu bagian luar ialah lanjutan epitel kulit liang telinga dan bagian dalam dilapisi oleh sel kubus bersilia, seperti epitel saluran nafas. Pars tensa mempunyai satu lapis lagi di tengah, yaitu lapisan yang Universitas Sumatera Utara terdiri dari serat kolagen dan sedikit serat elastin yang berjalan secara radier di bagian luar dan sirkular pada bagian dalam (Soetirto et al,2007). Bayangan penonjolan bagian bawah maleus pada membran timpani disebut sebagai umbo. Dari umbo bermula suatu refleks cahaya (cone of light) ke arah bawah yaitu pada pukul 7 untuk membran timpani kiri dan pukul 5 untuk membran timpani kanan. Terdapat dua macam serabut di membran timpani, sirkular dan radier. Serabut inilah yang menyebabkan timbulnya refleks cahaya yang berupa kerucut itu (Soetirto et al,2007). Di dalam telinga tengah terdapat tulang-tulang pendengaran yang tersusun dari luar ke dalam, yaitu maleus, inkus dan stapes. Tulang pendengaran di dalam telinga tengah saling berhubungan. Prosesus longus maleus melekat pada membran timpani, maleus melekat pada inkus, dan inkus melekat pada stapes. Stapes terletak pada tingkap lonjong yang berhubungan dengan koklea. Hubungan antara tulang-tulang pendengaran merupakan persendian (Soetirto et al,2007). Pada pars flaksida terdapat daerah yang disebut atik. Di tempat ini terdapat aditus ad antrum, yaitu lubang yang menghubungkan telinga tengah dengan mastoid. Tuba Eustachius termasuk dalam telinga tengah yang menghubungkan daerah nasofaring dengan telinga tengah (Soetirto et al,2007). 2.1.3. Telinga Dalam Telinga dalam terdiri dari koklea yang berupa dua setengah lingkaran dan vestibular yang terdiri dari 3 buah kanalis semisirkularis. Ujung atau puncak koklea disebut helikotrema, menghubungkan perilimfa skala timpani dengan skala vestibuli (Soetirto et al,2007). Kanalis semisirkularis saling berhubungan secara tidak lengkap dan membentuk lingkaran yang tidak lengkap. Pada irisan melintang koklea tampak skala vestibuli sebelah atas, skala timpani di sebelah bawah dan skala media (duktus koklearis). Skala vestibuli dan skala timpani berisi perilimfa, sedangkan skala media berisi endolimfa. Ion dan garam yang terdapat di perilimfa berbeda dengan endolimfa. Dasar skala vestibuli disebut sebagai membran vestibuli Universitas Sumatera Utara (Reissner’s membrane) sedangkan dasar skala media adalah membran basalis. Pada membran ini terletak organ Corti (Soetirto et al,2007). Pada skala media terdapat bagian yang berbentuk lidahyang disebut membran tektoria, dan pada membran basal melekat sel rambut yang terdiri dari sel rambut dalam, sel rambut luar dan kanalis Corti, yang membentuk organ Corti (Soetirto et al,2007). Gambar 2.1 Anatomi telinga dalam ( Dhingra PL ,2007) 2.2. Fisiologi Telinga 2.2.1. Fisiologi Pendengaran Proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh daun telinga dalam bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara atau tulang ke koklea. Getaran tersebut menggetarkan membran timpani diteruskan ke telinga tengah melalui rangkaian tulang pendengaran yang akan mengamplifikasi getaran melalui daya ungkit tulang pendengaran dan perkalian perbandingan luas membran timpani dan tingkap lonjong. Energi getar yang telah diamplifikasi ini akan diteruskan ke stapes yang menggetarkan tingkap lonjong sehingga perilimfa pada skala vestibule bergerak. Getaran diteruskan melalui membran Reissner yang Universitas Sumatera Utara mendorong endolimfa, sehingga akan menimbulkan gerak relatif antara membran basilaris dan membran tektoria. (Soetirto et al, 2007). Proses ini merupakan rangsang mekanik yang menyebabkan terjadinya defleksi stereosilia sel-sel rambut, sehingga kanal ion terbuka dan terjadi pelepasan ion bermuatan listrik dari badan sel Keadaan ini menimbulkan proses depolarisasi sel rambut, sehingga melepaskan neurotransmiter ke dalam sinapsis yang akan menimbulkan potensial aksi pada saraf auditorius, lalu dilanjutkan ke nukleus auditorius sampai ke korteks pendengaran (area 39 - 40) di lobus temporalis (Soetirto et al,2007). Gambar 2.2. Kohklea (Dhingra PL., 2007) 2.2.2. Gangguan Fisiologi Pendengaran Gangguan telinga luar dan telinga tengah dapat menyebabkan gangguan konduktif, sedangkan gangguan telinga dalam menyebabkan gangguan sensorineural, yang terbagi atas gangguan koklea dan gangguan retrokoklea. Universitas Sumatera Utara Sumbatan tuba Eustachius menyebabkan gangguan telinga tengah dan akan terdapat gangguan konduktif. Gangguan pada vena jugularis berupa aneurisma akan menyebabkan telinga berbunyi sesuai dengan denyut jantung. Antara inkus dan maleus berjalan cabang nervus facialis yang disebut korda timpani. Bila terdapat radang di telinga tengah atau trauma mungkin korda timpani terjepit, sehingga timbul gangguan pengecapan. Di dalam telinga dalam terdapat alat keseimbangan dan alat pendengaran. Obat-obat dapat merusak stria vaskularis, sehingga saraf pendengaran rusak, dan terjadi gangguan sensorineural. Setelah pemakaian obat ototoksik seperti streptomisin, akan terdapat gejala gangguan sensorineural dan gangguan keseimbangan (Soetirto et al, 2007). 2.3. Jenis Gangguan Pendengaran Menurut Soetirto et al (2007) tuli dibagi atas : - Tuli konduktif - Tuli sensorineural ( sensorineural deafness) - Tuli campur ( mixed deafness) Pada tuli konduktif terdapat gangguan hantaran suara,disebabkan oleh kelainan atau penyakit di telinga luar atau telinga tengah. Pada tuli sensori neural (perseptif) kelainan pada koklea, nervus vestibulocochlearis (VIII) atau di pusat pendengaran, sedangkan gangguan campuran disebabkan oleh kombinasi tuli konduktif dan tuli sensorineural. Tuli campuran dapat merupakan akibat suatu penyakit, misalnya radang telinga tengah dengan komplikasi ke telinga dalam atau merupakan dua penyakit yang berlainan, misalnya tumor nervus VIII (tuli sensorineural) dengan radang telinga tengah (tuli konduktif) (Soetirto et al, 2007). Universitas Sumatera Utara Tabel 2.1. Nilai dari gangguan pendengara Ambang pendengaran di Derajat telinga yang sehat penurunan (Rata-rata 500, 1000, Deskripsi penurunan 2000, 4000 Hz) 0 (Tidak Tidak ada atau sangat sedikit ada 0 - 25 penurunan) masalah pendengaran. Dapat mendengar bisikan. 1 (Penurunan Mampu mendengar dan mengulangi 26 - 40 kata-kata yang diucapkan dengan ringan) suara normal pada jarak 1 meter. 2 Mampu mendengar dan mengulangi (Penurunan 41 - 60 kata-kata yang diucapkan dengan sedang) suara meninggi pada jarak 1 meter. 3 Mampu mendengar beberapa kata (Penurunan 61 - 80 dengan suara berteriak ke telinga berat) yang sehat. 4 Tidak dapat mendengar dan (Penurunan 81 atau lebih besar mendalam mengerti bahkan dengan suara berteriak. termasuk tuli) Sumber : Dhingra, 2008 Universitas Sumatera Utara 2.4. Kebisingan Kebisingan diartikan sebagai suara atau bunyi yang tidak dikehendaki, misalnya yang merintangi terdengarnya suara-suara, musik dan sebagainya atau yang menyebabkan rasa sakit atau yang menghalangigaya hidup. Kebisingan yaitu bunyi yang tidak diinginkan dari usaha atau kegiatan dalam tingkat dan waktu tertentu yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan manusia dan kenyamanan lingkungan atau semua suara yang tidak dikehendaki yang bersumber dari alat-alat proses produksi dan atau alat-alat kerja pada tingkat tertentu dapat menimbulkan gangguan pendengaran. (KepMenLH No.48 ,1996). Bunyi adalah gelombang yang timbul dari getaran molekul-molekul benda yang saling beradu sama lain dan terkoordinasi. Gelombang tersebut akan meneruskan energi dan sebagian dipantulkan kembali. Dalam perambatannya bunyi memerlukan media. Media tempat gelombang bunyi merambat harus mempunyai massa dan elastisitas. Pada umumnya medianya adalah udara. Gelombang bunyi tidak di rambatkan di ruang hampa. Kecepatan rambatan bunyi melalui udara sebesar ±340 meter/detik. Pada medium yang berbeda, kecepatan bunyi dapat meningkat. Melalui air kecepatan bunyi dapat meningkat ±4 kali (Bashiruddin J, 2002). Tabel 2.2. Bunyi yang paling sering menyebabkan bising dan intensitasnya. Level Desibel Contoh 0 dB Tidak ada suara yang terdengar 30 dB Berbisik, di perpustakaan 60 dB Percakapan , mesin jahit, mesin ketik 90 dB 100 dB Mesin pemotong rumput,suara truk di lalu lintas; maksimal terpajan 8 jam per hari Gergaji, bor pneumatik; maksimal terpajan 2 jam per hari 115 dB Konser rock ; maksimal terpajan 15 menit per hari 140 dB mesin jet; bunyi dapat menyebabkan injury Sumber : American Hearing Research Foundation (2012) Universitas Sumatera Utara Kebisingan yang dapat diterima oleh tenaga kerja tanpa mengakibatkan penyakit atau gangguan kesehatan dalam pekerjaan sehari-hari untuk waktu tidak melebihi 8 jam sehari atau 40 jam seminggu yaitu 85 dB(A) (KepMenNaker No.51 Tahun 1999, KepMenKes No.1405 Tahun 2002). Tabel 2.3. Waktu pemajanan kebisingan per hari dan intensitasnya Waktu pemajanan per hari 8 4 2 1 Jam 30 15 7.5 3.75 1.88 0.94 Menit 28.12 Detik 14.06 7.03 3.52 1.76 0.88 0.44 0.22 0.11 Tidak boleh terpajan lebih sesaat Intensitas dB(A) 85 88 91 94 kebisingan 97 100 103 106 109 112 115 118 121 124 127 130 133 136 139 dari 140 dB(A) walaupun Sumber : KepMenNaker No.51 Tahun 1999, KepMenKes No.1405 Tahun 2002. Universitas Sumatera Utara 2.5. Pengaruh Kebisingan Terhadap Pendengaran Perubahan ambang dengar akibat paparan bising tergantung pada frekuensi bunyi, intensitas dan lama waktu paparan, dapat berupa : 2.5.1. Adaptasi Bila telinga terpapar oleh kebisingan mula-mula telinga akan merasa terganggu oleh kebisingan tersebut, tetapi lama-kelamaan telinga tidak merasa terganggu lagi karena suara terasa tidak begitu keras seperti pada awal pemaparan (Rambe, 2003). 2.5.2. Peningkatan ambang dengar sementara Terjadi kenaikan ambang pendengaran sementara yang secara perlahanlahan akan kembali seperti semula. Keadaan ini berlangsung beberapa menit sampai beberapa jam bahkan sampai beberapa minggu setelah pemaparan. Kenaikan ambang pendengaran sementara ini mula-mula terjadi pada frekwensi 4000 Hz, tetapi bila pemeparan berlangsung lama maka kenaikan nilai ambang pendengaran sementara akan menyebar pada frekwensi sekitarnya. Makin tinggi intensitas dan lama waktu pemaparan makin besar perubahan nilai ambang pendengarannya. Respon tiap individu terhadap kebisingan tidak sama tergantung dari sensitivitas masing-masing individu (Rambe, 2003). 2.5.3. Peningkatan ambang dengar menetap Kenaikan terjadi setelah seseorang cukup lama terpapar kebisingan, terutama terjadi pada frekwensi 4000 Hz. Gangguan ini paling banyak ditemukan dan bersifat permanen, tidak dapat disembuhkan . Kenaikan ambang pendengaran yang menetap dapat terjadi setelah 3,5 sampai 20 tahun terjadi pemaparan, ada yang mengatakan baru setelah 10-15 tahun setelah terjadi pemaparan. Penderita mungkin tidak menyadari bahwa pendengarannya telah berkurang dan baru diketahui setelah dilakukan pemeriksaan audiogram (Rambe, 2003). Universitas Sumatera Utara Hilangnya pendengaran sementara akibat pemaparan bising biasanya sembuh setelah istirahat beberapa jam ( 1 – 2 jam ). Bising dengan intensitas tinggi dalam waktu yang cukup lama ( 10 – 15 tahun ) akan menyebabkan robeknya sel-sel rambut organ Corti sampai terjadi destruksi total organ Corti. Proses ini belum jelas terjadinya, tetapi mungkin karena rangsangan bunyi yang berlebihan dalam waktu lama dapat mengakibatkan perubahan metabolisme dan vaskuler sehingga terjadi kerusakan degeneratif pada struktur sel-sel rambut organ Corti. Akibatnya terjadi kehilangan pendengaran yang permanen. Umumnya frekwensi pendengaran yang mengalami penurunan intensitas adalah antara 3000 – 6000 Hz dan kerusakan alat Corti untuk reseptor bunyi yang terberat terjadi pada frekwensi 4000 Hz (4 K notch) Ini merupakan proses yang lambat dan tersembunyi, sehingga pada tahap awal tidak disadari oleh para pekerja. Hal ini hanya dapat dibuktikan dengan pemeriksaan audiometri. Apabila bising dengan intensitas tinggi tersebut terus berlangsung dalam waktu yang cukup lama, akhirnya pengaruh penurunan pendengaran akan menyebar ke frekwensi percakapan ( 500 – 2000 Hz ). Pada saat itu pekerja mulai merasakan ketulian karena tidak dapat mendengar pembicaraan sekitarnya. (Rambe, 2003). 2.6. Gangguan Pendengaran Akibat Bising 2.6.1. Defenisi Gangguan pendengaran akibat bising ( noise induced hearing loss / NIHL) adalah tuli akibat terpapar oleh bising yang cukup keras dalam jangka waktu yang cukup lama dan biasanya diakibatkan oleh bising lingkungan kerja. Tuli akibat bising merupakan jenis ketulian sensorineural yang paling sering dijumpai setelah presbikusis (Rambe, 2003). Secara umum bising adalah bunyi yang tidak diinginkan. Bising yang intensitasnya 85 desibel ( dB ) atau lebih dapat menyebabkan kerusakan reseptor pendengaran Corti pada telinga dalam. Sifat ketuliannya adalah tuli saraf koklea dan biasanya terjadi pada kedua telinga. Hal yang mempermudah seseorang menjadi tuli akibat terpapar bising antara lain intensitas bising yang lebih tinggi, berfrekwensi tinggi, lebih lama terpapar bising, kepekaan ( Rambe, 2003 ). Universitas Sumatera Utara 2.6.2. Patogenesis Tuli akibat bising mempengaruhi organ Corti di koklea terutama sel-sel rambut. Daerah yang pertama terkena adalah sel-sel rambut luar yang menunjukkan adanya degenerasi yang meningkat sesuai dengan intensitas dan lama paparan. Stereosilia pada sel-sel rambut luar menjadi kurang kaku sehingga mengurangi respon terhadap stimulasi. Dengan bertambahnya intensitas dan durasi paparan akan dijumpai lebih banyak kerusakan seperti hilangnya stereosilia. Daerah yang pertama kali terkena adalah daerah basal. Dengan hilangnya stereosilia, sel-sel rambut mati dan digantikan oleh jaringan parut. Semakin tinggi intensitas paparan bunyi, sel-sel rambut dalam dan sel-sel penunjang juga rusak. Dengan semakin luasnya kerusakan pada sel-sel rambut, dapat timbul degenerasi pada saraf yang juga dapat dijumpai di nukleus pendengaran pada batang otak (Rambe, 2003). 2.6.3 Gambaran Klinis Tuli akibat bising dapat mempengaruhi diskriminasi dalam berbicara (speech discrimination) dan fungsi sosial. Gangguan pada frekwensi tinggi dapat menyebabkan kesulitan dalam menerima dan membedakan bunyi konsonan. Bunyi dengan nada tinggi, seperti suara bayi menangis atau deringan telepon dapat tidak didengar sama sekali. Ketulian biasanya bilateral. Selain itu tinnitus merupakan gejala yang sering dikeluhkan dan akhirnya dapat mengganggu ketajaman pendengaran dan konsentrasi. Secara umum gambaran ketulian pada tuli akibat bising ( noise induced hearing loss ) adalah : 1. Bersifat sensorineural 2. Hampir selalu bilateral 3. Jarang menyebabkan tuli derajat sangat berat (profound hearing loss) Derajat ketulian berkisar antara 40 s/d 75 dB. 4. Apabila paparan bising dihentikan, tidak dijumpai lagi penurunan pendengaran yang signifikan. Universitas Sumatera Utara 5. Kerusakan telinga dalam mula-mula terjadi pada frekwensi 3000, 4000 dan 6000 Hz, dimana kerusakan yang paling berat terjadi pada frekwensi 4000 Hz. 6. Dengan paparan bising yang konstan, ketulian pada frekwensi 3000, 4000 dan 6000 Hz mencapai tingkat yang maksimal dalam 10 – 15 tahun. Selain pengaruh terhadap pendengaran (auditory), bising yang berlebihan juga mempunyai pengaruh non auditory seperti pengaruh terhadap komunikasi wicara, gangguan konsentrasi, gangguan tidur sampai memicu stress akibat gangguan pendengaran yang terjadi (Rambe, 2003). 2.7. Audiometri Audiometri nada murni adalah suatu alat elektroik yang menghasilkan bunyi yang relatif bebas bising ataupun energi suara pada kelebihan nada, karenanya disebut nada murni (Lassman, 2012). Audiometri harus memenuhi 3 persyaratan untuk mendapatkan keabsahan pemeriksaan yaitu (1) audiometri yang telah dikalibrasi, (2) suasana/ruangan sekitar pemeriksa harus tenang, dan (3) pemeriksa yang terlatih. Komponen yang ada pada audiometri yaitu: 1. Oscilator: untuk menghasilkan bermacam nada murni 2. Amplifier: alat untuk menambah intensitas nada 3. Interuptor/pemutus : alat pemutus nada 4. Atteneurator: alat mengukurintensitas suara 5. Earphone: alat merubah sinyal listrik yang ditimbulkan audiometer menjadi sinyal suara yang dapat didengar 6. Masking noise generator: untuk penulian telinga yang tidak diperiksa Universitas Sumatera Utara Gambar 2.3 Screening Audiometri Cara pemeriksaan audiometri adalah headphone dipasang pada telinga untuk mengukur ambang nada melalui konduksi udara. Tempat pemeriksaan harus kedap udara. Pasien diberitahu supaya menekan tombol bila mendengar suara walaupun kecil. Suara diberi interval 2 detik, biasanya dimulai dengan frekwensi 1000 Hz sampai suara tidak terdengar. Kemudian dinaikkan 5 dB sampai suara terdengar. Ini dicatat sebagai audiometri nada murni (pure tone audiometry) (Keith, 1989). 2.7.1. Persiapan pasien 1. Pasien harus duduk sedemikian rupa sehingga ia tidak dapat melihat panel kontrol ataupun pemeriksanya. 2. Benda yang dapat mengganggu pemasangan earphone yang tepat atau dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan harus disingkirkan. Misalnya anting-anting, kaca mata, topi. Pemeriksa sebaiknya memeriksa apakah ada penyempitan liang telinga dengan cara mengamati gerakan dinding kanalis saat menekan pinna dan tragus. Perbedaan hantaran udara dan tulang hingga sebesar 15-30 dB telah dilaporkan sebagai akibat penyempitan liang telinga. Masalah ini dapat di atasi dengan memegang ear-phone di depan pinna sehingga rangsang pengujian terletak dalam Universitas Sumatera Utara suatu lapangan suara,sementara telinga satunya ditutup atau disamarkan menggunakan earphone bantal sirkimaural. Cara lain dengan memasukan suatu cetakan liang telinga ke dalam kanalis agar suatu jalan udara menuju membrana timpani dapat dipertahankan. 3. Instruksi harus jelas dan tepat. Pasien perlu mengetahui apa yang harus didengar dan apa yang harus di harapkan sebagai jawabannya. Pasien harus didorong untuk memberi jawaban terhadap bunyi terlemah yang dapat didengarnya. 4. Lubang earphone harus tepat menempel pada liang telinga. Biasanya jawaban yang diminta adalah mengancungkan tangan atau jari atau menekan tombol yang menghidupkan sinyal cahaya. Pasien diinstruksikan untuk terus memberi jawaban selama ia masih menagkap sinyal pengujian. Tindakan ini memungkinkan pemeriksa mengendalikan pola jawaban pasien, tidak hanya mengubah-ubah selang waktu antar rangsangan namun juga lamanya sinyal diberikan. Hal ini khususnya penting jika pasien memberikan banyak jawaban positif palsu. 2.7.2. Penentuan ambang pendengaran 1. Periksalah telinga yang baik terlebih dahulu dengan menggunakan rangkaian frekuensi berikut : 1000 Hz, 2000 Hz, 4000 Hz, 8000 Hz, 1000 Hz (diulang), 500 Hz, 250 Hz. Dengan pengkecualian ulangan frekuensi 1000Hz, rangkaian yang sama dapat digunakan telinga untuk telinga satunya. Jika terdapat perbedaan ambang sebesar 15 dB atau lebih untuk interval oktaf berapa pun,maka harus dilakukan pemeriksaan dengan frekuensi setengah oktaf. 2. Mulailah dengan intensitas pendengaran 0 dB, nada kemudian dinaikan dengan peningkatan 10dbB dengan durasi satu atau dua detik hingga pasien memberi jawaban. Tingkat pendengaran adalah intensitas dalam desibel yang diperlukan untuk mendapat jawaban dari pasien, dibandingkan dengan standar “nol” audiometer klinis. Universitas Sumatera Utara 3. Nada harus ditingkatkan 5dB dan bila pasien memberi jawaban, maka nada perlu diturunkan dengan penurunan masing-masing 10dB hingga tidak lagi terdengar. 4. Peningkatan berulang masing-masing 5dB dilanjutkan hingga dicapai suatu modus atau jawaban tipikal. Biasanya jarang melampaui tiga kali peningkatan. 5. Setelah menentukan ambang pendengaran untuk frekuensi pengujian awal,di cantumkan simbol-simbol uang sesuai pada audiogram. 6. Lanjutkan dengan frekuensi berikut dalam rangkaian. Mulailah nada tersebut pada tingkat yang lebih rendah 15-20 dB dari ambang frekuensi yang diuji sebelumnya. Misalnya jika ambang pendengaran untuk frekuensi 1000 Hz adalah 50 dB, maka mulailah frekuensi 2000 Hz pada intensitas 30 atau 35 dB. 7. Teknik ini dapat dipakai untuk menentukan ambang hantaran tulang maupun udara. Audiometri ambang hantaran tulang, biasanya tidak terdapat frekuensi 6000 dan 8000 Hz. 2.7.3. Interprestasi hasil 1. Bila ambang hantaran tulang lebih baik (lebih peka) dari ambang hantaran udara sebesar 10 dB atau lebih dan normal, maka tuli bersifat konduktif. 2. Bila ambang hantaran tulang sama dengan hantaran udara dan keduanya tidak normal, maka tuli bersifat sensorineural. 3. Bila ambang hantaran tulang berkurang namun masih lebih baik dari ambang hantaran udara sebesar 10 dB atau lebih, maka tuli bersifat campuran atau kombinasi. Universitas Sumatera Utara Gambar 2.4 Audiogram (American Speech Language Hearing Association, 2013) Gambar 2.5. Gambar Audiogram Tuli Sensorineural (OSHA, 2013) Universitas Sumatera Utara Gambar 2.6. Gambar Audiogram Tuli Konduktif (OSHA,2013) Gambar 2.7. Gambar Audiogram Tuli Campur (Department of Work and Pensions, 2013) Universitas Sumatera Utara