BAB II - Digital Library UWP

advertisement
7
BAB II
TELAAH PUSTAKA
2.1 Landasan Teori
2.1.1 Pajak
Pajak merupakan sumber pendapatan kas negara yang digunakan untuk
pembelanjaan dan pembangunan negara dengan tujuan akhir kesejahteraan
dan kemakmuran rakyat. Definisi menurut pasal 1 nomor 1 Undang-undang
nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
menjelaskan:
Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang
pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan UndangUndang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan
digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat.
Pengertian pajak menurut beberapa ahli adalah sebagai berikut:
1. Menurut Ray et. al yang dikutip oleh Zain (2010:11) mendefinisikan :
Pajak adalah suatu pengalihan sumber dari sektor swasta ke sektor
pemerintah, bukan akibat pelanggaran hukum, namun wajib
dilaksanakan, berdasarkan ketentuan yang ditetapkan lebih dahulu,
tanpa mendapat imbalan yang langsung dan proporsional, agar
pemerintah dapat melaksanakan tugas-tugasnya untuk menjalankan
pemerintahan.
2. Definisi pajak yang dikemukakan Soemitro yang dikutip oleh Mardiasmo
(2011:1):
Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undangundang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal
(kontra prestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan
untuk membayar pengeluaran umum.
8
3. Definisi pajak yang dikemukakan Adriani dikutip oleh Waluyo (2011:2):
Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang
terhutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan,
dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung dapat
ditunjuk, dan gunanya adalah untuk membiayai pengeluaranpengeluaran umum berhubung dengan tugas negara untuk
menyelenggarakan pemerintahan.
Dari ketiga definisi diatas terdapat persamaan pandangan atau prinsip
mengenai pajak. Perbedaan mengenai kedua definisi tersebut hanya pada
penggunaan bahasa atau kalimat yang digunakan saja. Ketiga pendapat
tersebut mempunyai unsur-unsur sebagai berikut :
1. Iuran dari rakyat kepada negara
Yang berhak memungut pajak hanyalah Negara. Iuran tersebut berupa
uang (bukan barang).
2. Berdasarkan undang-undang
Pajak dipungut berdasarkan atau dengan kekuatan undang-undang serta
aturan pelaksanaannya.
3. Tanpa jasa timbal balik atau kontraprestasi dari negara yang secara
langsung dapat ditunjuk. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan
adanya kontraprestasi individual oleh pemerintah.
4. Digunakan untuk membiayai rumah tangga negara, yakni pengeluaranpengeluaran yang bermanfaat bagi masyarakat luas
Dari definisi-definisi tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa pajak
dipungut oleh negara (baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah)
berdasarkan ketentuan undang-undang serta aturan pelaksanaannya. Tanpa
9
jasa timbal atau kontraprestasi dari negara yang secara langsung dapat
ditunjuk. Dalam pembayaran tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi
individual oleh pemerintah. Digunakan untuk membiayai rumah tangga
negara, yakni pengeluaran-pengeluaran yang bermanfaat bagi masyarakat luas.
Pajak memiliki peranan penting dalam tata kelola negara, khususnya
membiayai
semua
pengeluaran
termasuk
pengeluaran
pembangunan.
Berdasarkan hal diatas maka pajak mempunyai beberapa fungsi seperti yang
dikemukakan oleh Waluyo (2011:6), yaitu:
1. Fungsi anggaran (budgetair)
Pajak
sebagai
sumber
dana
bagi
pemerintah
untuk
membiayai
pengeluaran-pengeluarannya guna pembiayaan pembangunan.
2. Fungsi mengatur (regulerend)
Suatu fungsi dimana pajak dipergunakan oleh pemerintah sebagai alat
untuk mengatur atau melaksanakan kebijaksanaan pemerintah untuk
mencapai tujuan tertentu. Misalnya dalam rangka melindungi produksi
dalam negeri, pemerintah menetapkan bea masuk yang tinggi untuk
produk luar negeri.
3. Fungsi stabilitas
Dengan adanya pajak, pemerintah memiliki dana untuk menjalankan
kebijakan yang berhubungan dengan stabilitas harga sehingga inflasi dapat
dikendalikan, Hal ini bisa dilakukan antara lain dengan jalan mengatur
10
peredaran uang di masyarakat, pemungutan pajak, penggunaan pajak yang
efektif dan efisien.
4. Fungsi redistribusi pendapatan
Pajak yang sudah dipungut oleh negara akan digunakan untuk membiayai
semua kepentingan umum, termasuk untuk membiayai pembangunan.
Pengelompokkan pajak menurut Mardiasmo (2009:5) dikelompokkan
dalam tiga tinjauan, yaitu :
a. Menurut golongannya :
1. Pajak Langsung, yaitu pajak yang harus dipikul sendiri oleh wajib
pajak dan tidak dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain.
Contoh : Pajak Penghasilan
2. Pajak tidak langsung, yaitu pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan
atau dilimpahkan kepada orang lain.
Contoh : Pajak Pertambahan Nilai
b. Menurut sifatnya :
1. Pajak Subjektif, yaitu pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada
subjeknya, dalam arti memperhatikan keadaan diri wajib pajak.
Contoh : Pajak Penghasilan
2. Pajak Objektif, yaitu pajak yang berpangkal pada objeknya, tanpa
memperhatikan keadaan diri wajib pajak.
11
Contoh : Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas barang
mewah.
c. Menurut lembaga pemungutnya :
1. Pajak Pusat, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan
digunakan untuk membiayai rumah tangga negara.
Contoh : Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah, Pajak Bumi dan Bangunan,dan Bea
Meterai.
2. Pajak Daerah, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dan
digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah.
Pajak Daerah terdiri atas :
1) Pajak Propinsi
contoh : Pajak Kendaraan Bermotor dan Pajak Bahan Bakar
kendaraan Bermotor.
2) Pajak Kabupaten/Kota
contoh : Pajak Hotel, Pajak Restoran, dan Pajak Hiburan.
Menurut Waluyo (2011:13) untuk mencapai tujuan pemungutan pajak
perlu memegang teguh asas-asas pemungutan dalam memilih alternatif
pemungutannya, sehingga terdapat keserasian pemungutan pajak dengan
12
tujuan dan asas yang masih diperlukan lagi yaitu pemahaman atas perlakuan
pajak tertentu.
Menurut Adam Smith dalam buku An Inquiri into the Nature and Cause of
the Wealth of Nations menyatakan bahwa pemungutan pajak hendaknya
didasarkan pada asas-asas berikut:
a. Equality
Pemungutan pajak harus bersifat adil dan merata, yaitu pajak dikenakan
kepada orang pribadi yang harus sebanding dengan kemampuan
membayar pajak (ability to pay) dan sesuai dengan manfaat yang diterima.
b. Certainty
Penetapan pajak itu tidak ditentukan sewenang-wenang. Oleh karena itu,
Wajib Pajak harus mengetahui secara jelas dan pasti besarnya pajak yang
terutang, kapan harus dibayar, serta batas waktu pembayaran.
c. Convenience
Kapan Wajib Pajak itu harus membayar pajak sebaiknya sesuai dengan
saat yang tidak menyulitkan Wajib Pajak
d. Economy
Secara ekonomi bahwa biaya pemungutan dan biaya pemenuhan
kewajiban pajak bagi Wajib Pajak diharapkan seminimum mungkin,
demikian pula beban yang ditanggung Wajib Pajak.
Cara pemungutan pajak seperti yang dikemukakan Waluyo (2011:16)
adalah sebagai berikut:
13
Cara pemungutan pajak dilakukan berdasarkan 3 (tiga) stelsel, adalah
sebagai berikut:
a.
Stelsel nyata (riil stelsel)
Pengenaan pajak didasarkan objek (penghasilan) yang nyata,
sehingga pemungutannya baru dapat dilakukan pada akhir tahun
pajak, yakni setelah penghasilan yang sesungguhnya telah dapat
diketahui. Kelebihan stelsel ini adalah pajak yang dikenakan lebih
realistis. Kelemahannya adalah pajak dikenakan pada akhir periode
(setelah penghasilan riil diketahui).
b.
Stelsel anggapan (fictive stelsel)
Pengenaan pajak didasarkan pada suatu anggapan yang diatur oleh
undang-undang, sebagai contoh; penghasilan suatu tahun dianggap
sama dengan tahun sebelumnya sehingga pada awal tahun pajak
telah dapat ditetapkan besarnya pajak yang terutang untuk tahun
pajak berjalan. Kelebihan stelsel ini adalah pajak dapat dibayar
selama tahun berjalan, tanpa harus menunggu pada akhir tahun.
Kelemahannya adalah pajak yang dibayar tidak berdasarkan pada
kenyataan yang sesungguhnya.
c.
Stelsel campuran
Stelsel ini merupakan kombinasi antara stelsel nyata dan stelsel
anggapan. Pada awal tahun, besarnya pajak dihitung berdasarkan
suatu anggapan, kemudian pada akhir tahun besarnya pajak
14
disesuaikan dengan keadaaan yang sebenarnya. Apabila besarnya
pajak menurut kenyataan lebih besar daripada pajak menurut
anggapan, maka Wajib Pajak harus menambah kekurangannya.
Demikian pula sebaliknya, apabila lebih kecil, maka kelebihannya
dapat diminta kembali.
Menurut
Mardiasmo
(2011:7),
menyatakan
ada
beberapa
sistem
pemungutan pajak yang terdiri sebagai berikut:
a.
Official Assessment System
Adalah suatu sistem pemungutan yang memberi wewenang kepada
pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang
oleh Wajib Pajak. Ciri-ciri official assessment system adalah sebagai
berikut: Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada
pada fiskus, Wajib Pajak bersifat pasif, utang yang timbul setelah
dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh fiskus.
b.
Self Assessment System
Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang
kepada Wajib Pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang
terutang. Ciri-cirinya adalah sebagai berikut: Wewenang untuk
menentukan besarnya pajak terutang ada pada Wajib Pajak sendiri,
Wajib Pajak aktif, mulai dari menghitung, menyetor, dan melaporkan
sendiri pajak yang terutang, Fiskus tidak ikut campur dan hanya
mengawasi.
15
c.
With Holding System
Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang wajib memberi
wewenang kepada pihak ketiga (bukan fiskus dan bukan Wajib Pajak
yang bersangkutan) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang
oleh Wajib Pajak. Ciri-cirinya: wewenang menentukan besarnya pajak
yang terutang ada pada pihak ketiga, pihak selain fiskus dan Wajib
Pajak.
Dari 3 sistem pemungutan pajak di atas, Indonesia merupakan negara
yang menganut self asessment system dimana Wajib Pajak diminta aktif dalam
menghitung, menyetor, dan melaporkan sendiri pajak yang terutang. Hal ini
membuat Wajib Pajak jadi lebih mandiri dalam menjalankan kewajibannya
dan Dirjen Pajak atau fiskus hanya tinggal mengawasinya saja.
2.1.2 Pajak Penghasilan
Pajak Penghasilan merupakan pajak langsung yang dipungut pemerintah
pusat. Undang-undang tentang pajak penghasilan telah beberapa kali
mengalami perubahan dan terakhir kali diubah dengan Undang-undang No. 36
tahun 2008. Sebagai pajak langsung, maka beban pajak tersebut menjadi
tanggungan Wajib Pajak yang bersangkutan, dalam arti bahwa beban pajak
tidak boleh dilimpahkan kepada pihak lain. Beban pajak tersebut muncul
sebagai akibat dari sejumlah penghasilan yang diperoleh dari kegiatan Wajib
Pajak.
16
Definisi pajak penghasilan menurut ketentuan umum yang ada adalah
sebagai berikut:
Menurut Undang-undang PPh No. 36 Tahun 2008: “Pajak Penghasilan
adalah pajak yang dikenakan terhadap subjek pajak atas penghasilan yang
diterima atau diperolehnya dalam suatu tahun pajak.”
Sedangkan menurut Prinsip Standar Akuntansi No. 46 (Revisi 2010) yang
dikutip dari buku Ikatan Akuntan Indonesia (2010:464): “Pajak Penghasilan
adalah pajak yang dihitung berdasarkan peraturan perpajakan dan pajak ini
dikenakan atas laba kena pajak entitas.”
Yang dimaksud Wajib Pajak di sini sebagaimana telah diatur pada
Undang-Undang No. 28 Tahun 2007 pasal 1 ayat 1 adalah orang pribadi atau
badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang
mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-perundangan perpajakan.
Menurut Barata ( 2011:22 ) yang menjadi objek pajak penghasilan :
a. Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang
diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium,
komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk
lainnya.
b. Hadiah dari undian, atau pekerjaan, atau kegiatan, dan penghargaan.
c. Laba usaha
17
d. Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta.
e. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan
pengembalian utang.
f. Dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari
perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil
usaha koperasi.
g. Royalti atau imbalan atas penggunaan hak.
h. Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva.
i. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta.
j. Keuntungan selisih kurs mata uang asing.
k. Premi asuransi
l. Surplus Bank Indonesia
m. Penghasilan dari usaha berbasis syariah.
Mardiasmo (2009:137) menjelaskan bahwa untuk menghitung PPh terlebih
dulu harus diketahui dasar pengenaan pajaknya. Untuk Wajib Pajak dalam
negeri dan Bentuk Usaha Tetap (BUT) yang menjadi dasar pengenaan pajak
adalah Penghasilan Kena Pajak. Dalam UU PPh Pasal 17 ayat (2a) dijelaskan
bahwa tarif Pajak Penghasilan Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk
usaha tetap mulai tahun 2010 adalah 25% (dua puluh lima persen) dari
18
penghasilan kena pajak. Jika Penghasilan Kena Pajak besarnya Rp
1.200.000.000, maka pajak penghasilan yang terutang adalah 25% x Rp
1.200.000.000 = Rp. 300.000.000.
Sedangkan bagi Wajib Pajak Badan dalam negeri dengan peredaran bruto
sampai dengan Rp 50.000.000.000 (lima puluh miliar rupiah) tercantum dalam
UU PPh Pasal 31E yakni; mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar
50% dari tarif yang dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2a) dan yang dikenakan
atas penghasilan kena pajak dari bagian peredaran bruto sampai dengan Rp
4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) , model perhitungan
sebagai berikut: 50% x tarif x PKP-nya.
2.1.3 Akuntansi Pajak
Akuntansi pajak, menurut Niswonger dan Fees yang dikutip Gunadi
(1997:7) dirumuskan sebagai: “Bagian dari akuntansi yang menekankan pada
penyusunan surat pemberitahuan pajak (tax return) dan pertimbangan
konsekuensi perpajakan terhadap transaksi atau kegiatan perusahaan”.
Akuntansi pajak secara khusus menyajikan laporan keuangan dan
informasi lain kepada administrasi pajak. Tujuan utama dari laporan akuntansi
pajak adalah untuk menyajikan informasi sebagai bahan menghitung besarnya
pendapatan kena pajak.
Akuntansi pajak memiliki kerangka dasar, yang
diantaranya ialah sebagai berikut:
1. Laporan keuangan disusun dan disajikan kepada otoritas pajak untuk
kepentingan pajak.
19
2. Laporan keuangan meliputi neraca dan laba rugi, ditambah informasi lain
yang diwajibkan UU perpajakan.
3. Laporan utama ialah laporan laba rugi fiskal.
4. Tanggung jawab menyusun laporan keuangan fiskal terletak pada Wajib
Pajak atau pengurus atau kuasanya.
5. Posisi keuangan tergambar pada neraca, penting untuk mengetahui potensi
pajak jangka panjang.
Laporan
keuangan
bertujuan
untuk
menyediakan
informasi
yang
menyangkut posisi keuangan, kinerja, serta perubahan posisi keuangan suatu
perusahaan yang bermanfaat bagi sejumlah besar pemakai dalam pengambilan
keputusan ekonomi.
Pengertian laporan keuangan menurut Standar Akuntansi Keuangan
(2004:2):
Laporan keuangan merupakan bagian dari proses pelaporan keuangan.
Laporan keuangan yang lengkap biasanya meliputi neraca, laporan
laba rugi, laporan perubahan posisi keuangan (yang disajikan dalam
berbagai cara, misalnya sebagai laporan arus kas, atau laporan arus
dana), catatan dan laporan lain serta materi penjelasan yang merupakan
bagian integral dari laporan keuangan.
Selanjutnya di dalam Standar Akuntansi Keuangan tersebut disebutkan
bahwa tujuan disusunnya laporan keuangan adalah memberikan informasi
tentang posisi keuangan, kinerja, dan arus kas perusahaan yang bermanfaat
bagi sebagian besar kalangan pengguna laporan dalam rangka membuat
keputusan – keputusan ekonomi serta menunjukkan pertanggungjawaban
20
(stewardships) manajemen atas penggunaan sumber – sumber daya yang
dipercayakan kepada mereka.
Laporan keuangan komersial adalah laporan keuangan yang dibuat
berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan (SAK). Laporan keuangan
komersial dibuat oleh perusahaan untuk kepentingan eksternal maupun
internal. Fungsi dari laporan keungan komersial ini adalah memberikan
gambaran pada perusahaan sebagai pertimbangan dalam membuat atau
mengambil keputusan ekonomi. Peran laporan keuangan komersial sangat
penting bagi perusahaan, maka dari itu laporan keuangan harus disusun
sedemikian rupa berdasarkan prinsip – prinsip akuntansi sehingga dapat
memberikan informasi yang dapat dipercaya.
Laporan keuangan komersial berbeda dengan laporan keuangan fiskal.
Laporan keuangan komersial menghasilkan laba bersih sebelum dikenakan
pajak. Sedangkan laporan keuangan fiskal digunakan untuk menghitung pajak
penghasilan terutang Wajib Pajak. Oleh sebab itu, terdapat perbedaan dalam
pengakuan pendapatan dan beban menurut laporan keuangan komersial dan
laporan keuangan fiskal.
Laporan keuangan fiskal adalah laporan keuangan yang dibuat
berdasarkan undang – undang pajak penghasilan no.7 tahun 1983 sebagaimana
telah diubah menjadi undang – undang pajak penghasilan no.17 tahun 2000.
21
Laporan keuangan fiskal dibuat hanya untuk menghitung penghasilan kena
pajak (profit after tax) dan pajak penghasilan terutang.
Dari segi pengakuan penghasilan dan beban antara laporan keuangan
komersial dengan laporan keuangan fiskal, terdapat perbedaan perlakuan pajak
dan akuntansi yang signifikan. Oleh sebab itu, maka dibutuhkan rekonsiliasi
fiskal dalam rangka penyusunan SPT Tahunan Pajak Penghasilan sehingga
dapat diperoleh penghitungan pajak penghasilan terutang wajib pajak.
Rekonsiliasi fiskal bertujuan untuk menyesuaikan laba akuntansi yang ada
pada laporan keuangan komersial dengan ketentuan undang – undang pajak
penghasilan no.17 tahun 2000 sehingga dihasilkan laba fiskal dalam
pembuatan laporan keuangan fiskal. Koreksi fiskal dibedakan menjadi koreksi
fiskal positif (menambah laba fiskal) dan koreksi fiskal negative (mengurangi
laba fiskal).
Koreksi fiskal adalah koreksi atau penyesuaian yang harus dilakukan oleh
wajib pajak sebelum menghitung Pajak Penghasilan (PPh) bagi wajib pajak
badan dan wajib pajak orang pribadi (yang menggunakan pembukuan dalam
menghitung penghasilan kena pajak).
Koreksi fiskal terjadi karena adanya perbedaan perlakuan atau pengakuan
penghasilan maupun biaya antara akuntansi komersial dengan akuntansi pajak.
Secara umum terdapat dua perbedaan pengakuan baik penghasilan maupun
biaya
antara
akuntansi
komersial
dengan
menyebabkan terjadinya koreksi fiskal, yaitu:
perpajakan
(fiskal)
yang
22
1.
Beda Tetap (Permanent Different)
Beda tetap merupakan perbedaan pengakuan baik penghasilan maupun
biaya antara akuntansi komersial dengan ketentuan Undang-undang PPh yang
sifatnya permanen artinya koreksi fiskal yang dilakukan tidak akan
diperhitungkan dengan laba kena pajak tahun pajak berikutnya.
Dalam hal pengakuan penghasilan koreksi karena beda tetap terjadi karena :

Menurut akuntansi komersial merupakan penghasilan, sedangkan menurut
Undang-undang PPh bukan merupakan penghasilan, contohnya dividen
atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai
wajib pajak dalam negeri, koperasi, Badan Usaha Milik Negara, atau
Badan Usaha Milik Daerah, dari penyertaan modal pada badan usaha yang
didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat dividen
berasal dari cadangan laba yang ditahan serta kepemilikan saham pada
badan yang memberikan dividen paling rendah 25% (Pasal 4 ayat 3 UU
PPh)

Menurut akuntansi komersial merupakan penghasilan, sedangkan menurut
Undang-undang PPh telah dikenakan PPh Final, contohnya:
o
Bunga Deposito dan Tabungan lainnya
o
Penghasilan berupa hadiah undian
o
Penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/ atau
bangunan,
o
Penghasilan dari usaha jasa konstruksi dan
o
Penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan
23
o
dan sebagainya (Pasal 4 ayat 2 UU PPh)
Dalam hal pengakuan biaya atau beban koreksi karena beda tetap terjadi
karena menurut akuntansi komersial merupakan biaya, sedangkan menurut
Undang-undang PPh bukan merupakan biaya yang dapat mengurangi
penghasilan bruto, misalnya:

biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan ;
o
yang bukan objek pajak;
o
yang pengenaan pajaknya bersifat final;
o
yang
dikenakan
pajak
berdasarkan
norma
penghitungan
penghasilan

penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang
diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan

Pajak Penghasilan

sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana
berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan perundang-undangan di
bidang perpajakan.

biaya-biaya lainnya yang menurut Undang-undang PPh tidak dapat
dibebankan (Pasal 9 ayat 1 UU PPh)
Koreksi atas beda tetap penghasilan akan menyebabkan koreksi negatif
artinya penghasilan yang diakuai oleh akuntansi komersial namun secara
fiskal harus dikoreksi baik itu karena bukan merupakan objek pajak maupun
24
karena telah dikenakan PPh final, akan menyebabkan laba kena pajak akan
berkurang yang akhirnya akan menyebabkan PPh terutang akan lebih kecil.
Koreksi atas beda tetap biaya akan menyebabkan koreksi positif artinya
biaya yang diakuai oleh akuntansi komersial namun secara fiskal harus
dikoreksi, akan menyebabkan laba kena pajak akan bertambah yang akhirnya
akan menyebabkan PPh terutang akan lebih besar.
2.
Beda Waktu (Time Different)
Beda waktu merupakan perbedaan pengakuan baik penghasilan maupun
biaya antara akuntansi komersial dengan ketentuan Undang-undang PPh yang
sifatnya sementara artinya koreksi fiskal yang dilakukan akan diperhitungkan
dengan laba kena pajak tahun-tahun pajak berikutnya.
Dalam hal pengakuan penghasilan koreksi karena beda waktu terjadi karena :

Penerimaan penghasilan cash basis untuk lebih dari satu tahun. Secara
akuntansi komersial penghasilan tersebut harus dialokasi sesuai dengan
masa perolehannya sesuai dengan prinsip matching cost with revenue.
Sedangkan menurut Undang-undang PPh, penghasilan tersebut harus
diakui sekaligus pada saat diterima.
Dalam hal pengakuan biaya koreksi karena beda waktu terjadi karena :

Perbedaan metode penyusutan, dimana menurut Undang-undang PPh
metode penyusutan yang diperbolehkan hanya metode garis lurus dan
saldo menurun
25

Perbedaan metode penilaian persediaan, dimana menurut Undang-undang
PPh metode penilaian persediaan yang diperbolehkan hanya metode ratarata dan FIFO

Penyisihan piutang tak tertagih, dimana menurut Undang-undang
Penyisihan piutang tak tertagih tidak diperkenankan kecuali untuk usahausaha tertentu
Koreksi atas beda waktu penghasilan akan menyebabkan koreksi positif
pada saat penghasilan diterima dan akan menyebabkan koreksi negatif pada
tahun-tahun berikutnya. Koreksi positif ini akan menyebabkan laba kena pajak
akan bertambah, sedangkan koreksi negatif tahun-tahun berikutnya akan
menyebabkan laba kena pajak akan berkurang.
Koreksi atas beda waktu biaya dapat menyebabkan koreksi positif maupun
koreksi negatif tergantung dari metode yang digunakan.
Koreksi fiscal ini sendiri terbagi menjadi dua, yaitu:
1.
Koreksi Fiskal Positif
Koreksi
Fiskal Positif yaitu koreksi fiskal
yang menyebabkan
penambahan penghasilan kena pajak dan PPh terutang.
Jenis Koreksi Fiskal Positif antara lain :

Pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun seperti
dividen, termasuk dividen yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi
kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi

Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi
pemegang saham, sekutu, atau anggota
26

Pembentukan atau pemupukan dana cadangan kecuali :
1) Cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan badan
usaha lain yang menyalurkan kredit, sewa guna usaha dengan hak
opsi, perusahaan pembiayaan konsumen, dan perusahaan anjak
piutang
2) Cadangan untuk usaha asuransi termasuk cadangan bantuan
sosial yang dibentuk oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
3) Cadangan penjaminan untuk Lembaga Penjamin Simpanan
4) Cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan
5) Cadangan biaya penanaman kembali untuk usaha kehutanan

Cadangan biaya penutupan dan pemeliharaan tempat pembuangan limbah
industri untuk usaha pengolahan limbah industry

Premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi
dwiguna, dan asuransi bea siswa, yang dibayar oleh Wajib Pajak orang
pribadi, kecuali jika dibayar oleh pemberi kerja dan premi tersebut
dihitung sebagai penghasilan bagi Wajib Pajak yang bersangkutan

Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang
diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan, kecuali penyediaan
makanan dan minuman bagi seluruh pegawai serta penggantian atau
imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan di daerah tertentu dan yang
berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan yang diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan
27

Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang
saham atau kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai
imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan

Harta
yang dihibahkan, bantuan
atau sumbangan, dan
warisan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b, kecuali
sumbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf i sampai
dengan huruf m serta zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau
lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah atau
sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang
diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk
atau disahkan oleh pemerintah, yang ketentuannya diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Pemerintah

Pajak Penghasilan

Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi Wajib
Pajak atau orang yang menjadi tanggungannya

Gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma, atau perseroan
komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham

Sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana
berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan perundang-undangan di
bidang perpajakan

Persediaan yang jumlahnya melebihi jumlah berdasarkan metode
penghitungan yang sudah ditetapkan dalam Pasal 10 UU Nomor 36 Tahun
2008
28

Penyusutan yang jumlahnya melebihi jumlah berdasarkan metode
penghitungan yang sudah ditetapkan dalam Pasal 10 UU Nomor 36 Tahun
2008

Biaya yang ditangguhkan pengakuannya.
2.
Koreksi Fiskal Negatif
Yaitu koreksi yang menyebabkan pengurangan penghasilan kena pajak
dan PPh terutang.
Jenis Koreksi Fiskal Negatif antara lain :
1) Penghasilan yang telah dikenakan PPh Final antara lain :
 Penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi
dan surat utang negara, dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh
koperasi kepada anggota koperasi orang pribadi
 Penghasilan berupa hadiah undian
 Penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi derivatif
yang diperdagangkan di bursa, dan transaksi penjualan saham atau
pengalihan penyertaan modal pada perusahaan pasangannya yang diterima
oleh perusahaan modal ventura
 Penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau
bangunan, usaha jasa konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah
dan atau bangunan
2) Penghasilan yang bukan merupakan objek pajak antara lain :
 Bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil
zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh
29
pemerintah dan yang diterima oleh penerima zakat yang berhak atau
sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang
diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk
atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima
sumbangan yang berhak, yang ketentuannya diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Pemerintah sepanjang tidak ada hubungan dengan
usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak
yang bersangkutan
 Harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan
lurus satu derajat, badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial
termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha
mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha,
pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang
bersangkutan
 Warisan
 Harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagai pengganti
saham atau sebagai pengganti penyertaan modal
 Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang
diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dari
Wajib Pajak atau Pemerintah, kecuali yang diberikan oleh bukan Wajib
Pajak, Wajib Pajak yang dikenakan pajak secara final atau Wajib Pajak
yang menggunakan norma penghitungan khusus (deemed profit)
30
 Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan
dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi
dwiguna, dan asuransi bea siswa
 Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas
sebagai Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, badan usaha milik negara,
atau badan usaha milik daerah, dari penyertaan modal pada badan usaha
yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat :
i.
Dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan
ii. Bagi perseroan terbatas, badan usaha milik negara dan badan
usaha milik daerah yang menerima dividen, kepemilikan saham pada
badan yang memberikan dividen paling rendah 25% (dua puluh lima
persen) dari jumlah modal yang disetor
 Iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah
disahkan Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja
maupun pegawai
 Penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun sebagaimana
dimaksud pada poin ke-8, dalam bidang-bidang tertentu yang ditetapkan
dengan Keputusan Menteri Keuangan
 Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan
komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan,
perkumpulan, firma, dan kongsi, termasuk pemegang unit penyertaan
kontrak investasi kolektif
 Penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura
berupa bagian laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan
menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia, dengan syarat badan
pasangan usaha tersebut :
i. Merupakan perusahaan mikro, kecil, menengah, atau yang
menjalankan kegiatan dalam sektor-sektor usaha yang diatur
dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan
ii. Sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia.
31
 Beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu yang ketentuannya diatur
lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan
 Sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang
bergerak dalam bidang pendidikan dan/atau bidang penelitian dan
pengembangan, yang telah terdaftar pada instansi yang membidanginya,
yang ditanamkan kembali dalam bentuk sarana dan prasarana kegiatan
pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan, dalam jangka waktu
paling lama 4 (empat) tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut, yang
ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan

Bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial kepada Wajib Pajak tertentu, yang ketentuannya diatur
lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan

Persediaan
yang
jumlahnya
kurang
jumlah
berdasarkan
metode
penghitungan yang sudah ditetapkan dalam Pasal 10 UU Nomor 36 Tahun
2008

Penyusutan
yang jumlahnya kurang jumlah berdasarkan metode
penghitungan yang sudah ditetapkan dalam Pasal 10 UU Nomor 36 Tahun
2008.
2.1.4 Aset Tetap
Aset tetap pada istilah PSAK 1 Revisi 1998 adalah aktiva, kemudian
dilakukan revisi menjadi “aset tetap” pada PSAK 1 Revisi 2009. Aset tetap
merupakan aset yang dimiliki oleh perusahaan yang diperoleh untuk kegiatan
operasional perusahaan yang memiliki manfaat lebih dari satu periode
akuntansi dan tidak ditujukan untuk dijual kembali. Aset tetap menurut para
ahli memiliki definisi atau pengertian yang berbeda-beda, namun secara
32
pemahaman pada dasarnya sama yaitu aset tidak lancar. Berikut definisi
menurut beberapa ahli diantaranya:
1. Menurut Murhadi (2013:21) : “Aset tetap (Fixed Asset) Long Term Asset
atau Property, Plant, and Equipment (PPE) merupakan aset tetap yang
dimiliki perusahaan dan memberikan manfaat lebih dari satu periode.”
2. Menurut Dunia (2013:209) :
Aset tetap (Plant assets atau Fixed assets atau Property Plant and
equipment) adalah aset yang diperoleh untuk digunakan dalam
kegiatan perusahaan untuk jangka waktu yang lebih dari satu tahun,
tidak dimaksudkan untuk dijual kembali dalam kegiatan normal
perusahaan, dan merupakan pengeluaran yang nilainya besar atau
material.
3. Menurut IAI melalui PSAK No.16 (2011:16.2) :
Aset tetap adalah aset berwujud yang dimiliki untuk digunakan dalam
produksi atau penyediaan barang atau jasa untuk direntalkan kepada
pihak lain, atau untuk tujuan administratif; dan diharapkan untuk
digunakan selama lebih dari satu periode.
4. Menurut Martani (2012:271) :
Aset tetap adalah aset berwujud yang dimiliki untuk digunakan dalam
produksi atau penyediaan barang atau jasa, untuk direntalkan kepada
pihak lain, atau untuk tujuan administratif; dan diharapkan untuk
digunakan selama lebih dari satu periode.
Dari definisi-definisi diatas aset tetap dimiliki untuk digunakan dalam
produksi atau penyediaan barang atau jasa, untuk direntalkan kepada pihak
lain atau untuk tujuan administrative dan diharapkan untuk digunakan selama
lebih dari satu periode.
33
Perusahaan harus segera mengakui setiap aset yang dimiliki dan
mengelompokkannya sebagai aset tetap, apabila aset yang dimaksud
memenuhi pengertian dan memiliki sifat sebagai aset tetap. Mengenai
pengakuan aset tetap ini, Ikatan Akuntansi Indonesia memberikan pernyataan
dalam PSAK Nomor 16 paragraf 06 yaitu:
Suatu
benda
berwujud
harus
diakui
sebagai
sebuah
aset
dan
dikelompokkan sebagai aset tetap apabila:

Besar kemungkinan bahwa manfaat keekonomisan di
masa yang akan datang yang berkaitan dengan aset
tersebut akan mengalir dalam perusahaan, untuk dapat
menilainya perusahaan harus menilai tingkat kepastian
terjadinya
aliran
manfaaat
keekonomisan,
dimana
perusahaan akan menerima imbalan dan menerima resiko
tersebut

Biaya perolehan aset dapat diukur secara handal,
sedangkan kedua kreteria mengarah kepada bukti-bukti
yang diperlukan untuk mendukungnya
Dalam kerangka dasar penyusutan dan penyajian laporan keuangan
ditekankan pula masalah pengendalian manfaat yang diharapkan dari suatu aset
yang digunakan dapat memberi manfaat yang optimal pada perusahaan.
Nilai wajar (fair value) adalah jumlah yang dipakai untuk mempertukarkan
suatu aset antara pihak-pihak yang berkeinginan dan memiliki pengetahuan
34
memadai dalam suatu transaksi dengan wajar (arm’s length transaction).
Standar akuntansi yang menggunakan penerapan nilai wajar (fair value) dalam
pengukuran dan penilaian elemen laporan keuangan yaitu PSAK No. 13
properti investasi, PSAK No. 16 aset tetap, PSAK No. 19 aset tak berwujud,
serta PSAK No. 50 & 55 instrumen keuangan. Penyajian laporan keuangan
berbasis nilai wajar dianggap dapat memberikan informasi yang relevan dan
andal bagi investor.
Peraturan perpajakan belum mengadopsi konsep nilai wajar. Di dalam UU
PPh No. 36 Tahun 2008 Pasal 10 menjelaskan tentang cara penilaian aset yang
diperoleh dari transaksi sebagai berikut ini :
Ayat (1)
Dalam transaksi jual beli aset, harga perolehan aset bagi pihak pembeli adalah
harga yang sesungguhnya dibayarkan dan harga penjualan bagi pihak penjual
adalah harga yang sesungguhnya diterima. Termasuk dalam harga perolehan
adalah harga beli dan biaya yang dikeluarkan dalam rangka memperoleh aset
tersebut, seperti bea masuk, biaya pengangkutan, dan biaya pemasangan
Ayat (2)
Aset yang diperoleh berdasarkan transaksi tukar menukar dengan aset lain,
maka nilai perolehan atau nilai penjualannya adalah jumlah yang seharusnya
dikeluarkan atau diterima berdasarkan harga pasar.
Ayat (3)
Nilai perolehan atau pengalihan harta yang dialihkan dalam rangka likuidasi,
penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, atau pengambilalihan
usaha adalah jumlah yang seharusnya dikeluarkan atau diterima berdasarkan
harga pasar, kecuali ditetapkan lain oleh Menteri Keuangan.
Ayat (4)
Dalam hal penyerahan aset karena
- hibah yang diterima oleh keluarga sedarah garis keturunan lurus satu
derajat, badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial
35
- bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh lembaga amil
zakat yang disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima zakat
yang berhak atau sumbangan keagamaan yang diterima oleh lembaga
keagamaan yang disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima
sumbangan yang berhak.
Maka nilai perolehan bagi pihak yang menerima harta adalah nilai sisa buku
harta dari pihak yang melakukan penyerahan. Sedangkan penyerahan harta
karena hibah, bantuan, sumbangan selain yang disebutkan di atas, maka nilai
perolehan bagi pihak yang menerima harta adalah harga pasar.
Ayat (5)
Penilaian aset yang diserahkan sebagai pengganti saham atau penyertaan
modal yaitu berdasarkan nilai pasar dari harta yang dialihkan tersebut.
Ayat (6)
Penilaian persediaan barang hanya boleh menggunakan harga perolehan.
Sedangkan penilaian pemakaian persediaan untuk penghitungan harga pokok
hanya boleh dilakukan dengan cara rata-rata atau dengan cara mendahulukan
persediaan yang didapat pertama (first-in first-out).
Aset tetap dikelompokkan karena memiliki sifat yang berbeda dengan aset
lainnya. Pengelompokan itu tergantung pada kebijaksanaan akuntansi
perusahaan karena umumnya semakin banyak aset tetap yang dimiliki
perusahaan maka semakin banyak pula pengelompokannya.
Dari macam-macam aset tetap untuk tujuan akuntansi dilakukan
penggolongan sebagai berikut:

Aset tetap yang umumnya tidak terbatas seperti tanah untuk letak
perusahaan, pertanian, dan peternakan

Aset tetap yang umumnya terbatas dan apabila sudah habis masa
penggunaanya dapat diganti dengan aset yang sejenis, miasalnya
bangunan, mesin, alat-alat, mebel, dan lain-lain
36

Aset tetap yang umumnya terbatas dan apabila sudah habis masa
penggunaanya tidak dapat diganti dengan aset yang sejenis,
misalnya sumber-sumber alam seperti hasil tambang dan lain-lain
Menurut Safri (1999 : 22) aset tetap dapat dikelompokkan dalam berbagai
sudut pandang, antara lain:
a. Sudut Substansi, aset tetap dapat dibagi:
1. Aset berwujud seperti; lahan, mesin, gudang,
peralatan
2. Aset tidak berwujud seperti; goodwill, patent,
copyright, hak cipta, franchise, dan lain-lain
b. Sudut disusutkan atau tidak :
1. Aset
yang
disusutkan
seperti;
bangunan,
peralatan, mesin, inventaris, jalan, dan lain-lain
2. Aset yang tidak dapat disusutkan seperti; tanah
c. Berdasarkan jenis aset tetap dapat dibagai sebagai berikut :
1. Lahan-lahan merupakan bidang tanah yang
terhampar
baik
yang
merupakan
tempat
bangunan maupun yang masih kosong. Dalam
akuntansi apabila
bangunan
ada lahan yang didirikan
diatasnya
harus
dipisahkan
pencatatannya dari lahan itu sendiri
2. Bangunan Gedung merupakan bangunan yang
terdiri atas bumi ini baik diatas lahan atau air.
37
Pencatatannya harus terpisah dari lahan yang
menjadi lokasi gedung
3. Mesin-mesin termasuk peralatan-peralatan yang
menjadi bagian dari mesin yang bersangkutan
4. Kendaraan yang dimaksudkan di sini adalah
semua jenis kendaraan seperti alat pengangkut,
truk, grader, traktor, forklift, mobil, kendaraan
bermontor dan lain-lain
5. Perabot, dalam jenis ini termasuk perabot kantor,
perabot laboraturium, perabot pabrik yang
merupakan isi dari suatu bangunan
6. Inventaris adalah peralatan yang dianggap
merupakan alat-alat besar yang digunakan dalam
perusahaan seperti inventaris kantor, inventaris
pabrik,
inventaris
laboratorium,
inventaris
gudang, dan lain-lain
7. Prasarana, prasarana merupakan kebiasaan bahwa
perusahaan membuat klasifikasi khusus prasarana
seperti; jalan, jembatan, roil, pagar, dan lain-lain
Menurut Hendriksen yang diterjemahkan oleh Widjadjanto (2002
: 339), karakteristik dari aset tetap adalah :
a.
Aset tetap merupakan barang fisik yang dimiliki untuk
38
memperlancar atau mempermudah produksi barang-barang lain
dalam kegiatan normal perusahaan.
b.
Semua aset tetap mempunyai umur terbatas dan pada akhir
umurnya harus dibuang atau diganti. Umur ini dapat merupakan
estimasi jumlah tahun yang didasarkan pada pemakaian dan
keausan yang ditimbulkan oleh unsur – unsurnya atau dapat
bersifat variabel tergantung pada jumlah penggunaan dan
pemeliharaannya.
c.
Nilai
aset
tetap
berasal
dari
kemampuannya
untuk
mengesampingkan pihak lain dalam mendapatkan hak-hak
yang sah atas penggunaannya dan bukan dari pemaksaan suatu
kontrak.
d.
Aset tetap seluruhnya bersifat non moneter, manfaatnya
diterima dari penjualan jasa-jasa dan bukan dari pengubahannya
menjadi sejumlah uang tertentu.
e.
Pada umumnya jasa yang diterima dari aset tetap ini meliputi
suatu periode yang lebih panjang dari satu tahun atau satu siklus
operasi perusahaan.
Adanya klasifikasi aset yang baru yang diatur dalam PSAK 13 (revisi
2011) yaitu properti investasi. Properti investasi adalah tanah atau bangunan
atau bagian dari bangunan atau keduanya yang dikuasai (oleh pemilik atau
39
lessee melalui sewa pembiayaan) untuk menghasilkan rental atau kenaikan
nilai, atau kedua-duanya, dan tidak untuk :
-
Digunakan dalam produksi atau penyediaan barang atau jasa atau untuk tujuan
administratif
-
Dijual dalam kegiatan usaha sehari-hari
Pengakuan setelah pengakuan awal atas aset yang diklasifikasikan sebagai
properti investasi dapat dilakukan dengan model nilai wajar (fair value) atau
model biaya. Untuk model nilai wajar, tidak ada penyusutan atas nilai
properti. Laba rugi yang timbul dari perubahan nilai wajar diakui dalam
laporan laba rugi pada periode terjadinya.
Berdasarkan UU PPh No. 36 Tahun 2008 Pasal 11, penyusutan aset
berdasarkan kelompok aset. Semua aset (kecuali tanah) yang memiliki masa
manfaat lebih dari satu tahun disusutkan sesuai dengan kelompoknya.
Tabel 2.1
Kelompok Aset Berwujud
Kelompok Harta
Masa Manfaat
Garis Lurus
Saldo Menurun
Berwujud
I.Bukan Bangunan
Kelompok 1
Kelompok 2
Kelompok 3
Kelompok 4
4 tahun
8 tahun
16 tahun
20 tahun
25%
12,5%
6,25%
5%
II. Bangunan
Permanen
Tidak Permanen
20 tahun
10 tahun
5%
10%
Sumber: UU PPh No. 36 Tahun 2008
50%
25%
12,5%
10%
40
2.1.5 Penyusutan
Pengertian penyusutan berdasarkan Pernyataan Standart Akuntansi
Keuangan (PSAK) (2011:16:3) paragraf 6 yaitu: “ Penyusutan adalah alokasi
sistematika jumlah yang dapat disusutkan dari suatu aset selama umur
manfaatnya.”
Penyusutan menurut Surya (2012:173), yaitu:
Penyusutan adalah alokasi jumlah yang dapat disusutkan dari suatu
aset sepanjang masa manfaat yang estimasi. Jumlah yang dapat
disusutkan dari suatu aset adalah biaya yang dikeluarkan untuk
memperoleh aset tersebut dikurangi dengan estimasi nilai sisa (salvage
value) aset tersebut pada “akhir masa manfaatnya”.
Sedangkan menurut Martani (2012:313), menerangkan pendapatnya
bahwa: “ Penyusutan adalah metode pengalokasian biaya aset tetap untuk
menyusutkan nilai aset secara sistematis selama periode manfaat dari aset
tersebut.”
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa penyusutan adalah suatu
metode pengalokasian harga perolehan aset tetap setelah dikurangi nilai sisa
yang dialokasikan ke periode – periode yang menerima manfaat dari aset tetap
tersebut. Jumlah penyusutan menunjukkan bahwa penyusutan bukan
merupakan suatu proses pencadangan, melainkan proses pengolakasian harga
perolehanan aset tersebut.
41
Ada faktor yang menyebabkan kenapa aset tetap harus disusutkan yaitu:
a. Faktor Fisik
Penyusutan dilakukan karena keaadaan fisik aset tetap yang
semakin menurun dari waktu ke waktu. Hal tersebut tidak
dapat dihindari meskipun perawatannya dilakukan dengan
baik. Faktor fisik dapan menyebabkan aset tetap menjadi
aus karena pemakaiannya, bertambahnya umur serta adanya
kerusakan – kerusakan yang timbul.
b. Faktor Fungsional
Faktor fungsional menyebabkan fungsi aset tetap tidak sesuai
dengan kebutuhan, misalnya ketidak mampuan aset dalam
mempenuhi produksi dibanding dengan aset sejenis lainnya dalam
keadaan yang sama.
Terdapat tiga faktor yang dipertimbangkan dalam menentukan jumlah
beban penyusutan tahunan yang tepat menurut Skousen et. al (2005:105),
yaitu:
1. Harga Perolehan Aset Tetap
Menurut Ikatan Akuntansi Indonesia (2011:16.6) paragraf 16 dan
17 dalam Standar Akuntansi Keuangan, bahwa:
“Biaya perolehan aset tetap meliputi:
(a) Harga perolehannya, termasuk bea import dan pajak
pembalian yang tidak boleh dikreditkan setelah dikurangi
diskon pembelian dan potongan – potongan lain
42
(b) Biaya – biaya yang dapat diatribusikan secara langsung
untuk membawa aset ke lokasi dan kondisi yang diinginkan
agar aset siap digunakan sesuai dengan intense manajemen
(c) Estimasi awal biaya pembongkaran dan pemindahan aset
tetap dan restorasi lokasi aset. Kewajiban atas biaya
tersebut timbul ketika aset tersebut diperoleh atau karena
entitas menggunakan aset tersebut selama periode tertentu
untuk tujuan selain untuk menghasilkan persediaan.
Harga perolehan suatu aset meliputi semua pengeluaran yang berhubungan
dengan perolehan dan persiapan penggunaan aset tersebut.
2. Nilai Residu atau Nilai Sisa
Menurut Ikatan Akuntasi Indonesia (2011:16.3) paragraf 6 dalam
Standar Akuntansi Keuangan, bahwa:
Nilai residu aset adalah jumlah estimasian yang dapat diperoleh entitas
saat ini dari pelepasan aset, setelah dikurangi estimasi biaya pelepasan,
jika aset telah mencapai umur dan kondisi yang diharapkan pada akhir
umur manfaatnya.
Nilai sisa (residu) suatu aset adalah perkiraan harga penjualan aset pada
saat aset tersebut dijual setelah dihentikan pemakaiannya. Nilai sisa
tergantung pada kebijaksanaan penghentian aset tersebut digunakan dalam
perusahaan serta keadaan pasar.
3. Umur Ekonomis atau Masa Manfaat
Berdasarkan pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (2011:16.4)
paragraf 6, adalah:
“Umur manfaat adalah:
(a) Periode suatu aset yang diharapkan dapat digunakan oleh
entitas, atau
(b) Jumlah produksi atau unit serupa yang diharapkan akan
diperoleh dari suatu aset oleh entitas.”
43
Aset operasi tidak lancar selain tanah memiliki masa manfaat yang
terbatas sebagai akibat dari faktor fisik dan fungsional. Faktor fisik yang
membatasi masa manfaat suatu aset adalah: kerusakan, keausan, kehancuran.
Kerusakan pada penggunaan aset tetap seperti mobil, gedung, atau furnitur
yang menyebabkan aset tetap tersebut tidak dapat digunakan kembali. Aset
berwujud baik dipake atau tidak , kadang kala hancur karena usia,. Terakhir
kebakaran, banjir, gempa, dan kecelakaan dapat menghentikan masa manfaat
dari suatu aser tersebut.
Faktor fungsional utama yang membatasi masa manfaat aset adalah
keusangan. Suatu aset dapat kehilangan kegunaannya sebagai akibat dari
perubahan dalam kebutuhan dunia usaha atau kemajuan teknologi, sehingga
tidak dapat menghasilkan pendapatan yang mencukupi untuk dijadikan alasan
dari pengguna aset tersebut. Meskipun aset tersebut secara fisik masih dapat
digunakan, ketidak mampuannya menghasilkan pendapatan yang memadai
telah memperpendek masa manfaatnya.
Berdasarkan pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (2011:16.18)
paragraf 63, dijelaskan bahwa “ Berbagai metode penyusutan dapat digunakan
untuk mengalokasikan jumlah tersusutkan dari aset secara sistematis selama
umur manfaatnya.”
Sedangkan menurut Surya (2012:174) menjelaskan bahwa penyusutan
dapat dilakukan dengan berbagai metode yang dapat dikelompokkan menurut
kriteria berikut:
44
1. Berdasarkan waktu
(i) Metode gadis lurus (staight line method)
(ii) Metode pembebanaan menurun (decreasing charge method)
-
Metode saldo menurun (declining balance method)
-
Metode jumlah angka tahun (sum of the year digit method)
2. Berdasarkan penggunaan
(i) Methode jam jasa (service hours method)
(ii) Metode jumlah unit (productive output method)
Dari berbagai macam metode di atas, berikut pengertian dan contoh
perhitungan metode penyusutan menurut peraturan perpajakan sesuai dengan
pasal 11 Undang-Undang nomor 7 tahun 2000:
a. Metode garis lurus (straight line method)
Metode ini mengalokasikan jumlah yang dapat disusutkan dari suatu aset
dalam jumlah yang sama besar selama estimasi masa manfaatnya. Beban
penyusutan setiap tahun dapat dihitung dengan mangalikan tarif penyusutan
dengan dasar penyusutan. Dasar penyusutan yang digunakan adalah biaya
perolehan aset dikurangi dengan nilai sisanya. Secara matematis beban
penyusutan dapat dihitung sebagai berikut:
Rumus:
Penyusutan = Harga perolehan - nilai residu
--------------------------------------umur ekonomis
45
Dapat juga dicari dengan cara lain:

Menghitung tarif penyusutan tiap tahun
Tarif penyusutan =

100 %
----------------umur ekonomis
Menghitung beban penyusutan tiap tahun
Beban penyusutan = tarif penyusutan x (harga perolehan – nilai residu)

Menghitung nilai buku aset tetap
Harga buku aset tetap = harga perolehan – akumulasi penyusutan
Contoh perhitungan:
Suatu perusahaan membeli kendaraan tetap senilai Rp.12.500.000 ( sudah
termasuk biaya balik nama dan lain-lain). Nilai sisa diperkirakan sebesar
Rp.1.550.000. Umur manfaatnya diestimasi 4 tahun.
Penyusutan tiap tahunnya dihitung sebagai berikut:
Penyusutan per tahun = Rp.12.500.000 - Rp.1.550.000
---------------------------------------4
= Rp. 2.737.500,Harga perolehan, beban penyusutan per tahun, akumulasi penyusutan dan nilai
buku kendaraan tersebut selama 4 tahun tampak dalam tabel berikut:
46
Tabel 2.2
Beban Penyusutan per Tahun Kendaraan
Metode Garis Lurus ( Straight Line Method)
Tahun
Harga
Perolehan
Beban
Penyusutan
Akumulasi
Penyusutan
Nilai Buku
Akhir Tahun
1
12.500.000
2.737.500
2.737.500
9.762.500
2
12.500.000
2.737.500
5.475.000
7.025.000
3
12.500.000
2.737.500
8.212.500
4.287.500
4
12.500.000
2.737.500
10.950.000
1.550.000
Sumber: https://www.google.com
b. Metode Menurun Ganda
Istilah lain dari metode ini adalah Double Declining Balance Methode. Di
dalam metode ini, penyusutan aset tetap dapat ditentukan melalui persentase
tertentu yang dicari dari harga buku pada tahun bersangkutan. Untuk
menghitung persentase penyusutan dapat diperoleh dengan mengalikan
persentase penyusutan yang diperoleh dengan metode garis lurus dikalikan
angka 2. Jadi besarnya persentase penyusutan 2 kali dari persentase atau tarif
penyusutan metode garis lurus.
Rumus:
Penyusutan = [2 x (100% : umur ekonomis)] x harga buku aktiva tetap.
Contoh perhitungan:
Harga perolehan Rp.500.000, dengan taksiran nilai sisa Rp.31.250. Umur
ekonomis 4 tahun dan tarif pajak 50%
Beban penyusutan tahun pertama = [2 x (100% : 4)] x Rp.500.000
= Rp.250.000,-
47
Beban penyusutan tahun ke dua = 50% x (Rp.500.000-Rp.250.000)
= Rp.125.000,Jika disusun dalam bentuk tabel, maka perhitungannya sebagai berikut:
Tabel 2.3
Beban Penyusutan per Tahun
Metode Menurun Ganda (Double Declining Balance Methode)
Nilai
Beban
Akumulasi
Penyusutan
Penyusutan
Nilai
Buku
Akhir
Tahun
Tahun
Buku
Tarif
Saldo
Menurun
1
500.000
50%
250.000
250.000
250.000
2
250.000
50%
125.000
375.000
125.000
3
125.000
50%
62.500
437.500
62.500
4
62.500
50%
31.250
468.750
31.250
Sumber: https://www.google.com
Berikut adalah penjelasan metode – metode lainnya, namun sering juga
digunakan perusahaan dalam perhitungan penyusutan aset tetapnya:
a. Metode Jumlah Angka Tahun
Istilah dari metode ini adalah sum of the years digit method, besarnya
penyusutan aset tetap berdasarkan metode jumlah angka tahun mengalami
penurunan jumlah tiap tahunnya.
Rumus:

Penyusutan = sisa umur penggunaan
-------------------------- x (harga perolehan - nilai residu)
jumlah angka tahun
Keterangan:
- Sisa umur penggunaan diperoleh = semisal umur ekonomisnya adalah 5
tahun, maka untuk tahun pertama sisa umur penggunaan berjumlah 5 (lima),
48
sedangkan tahun kedua berjumlah 4 (empat), dan begitu seterusnya.
- Jumlah angka tahun diperoleh = semisal umur ekonomisnya adalah 5 tahun,
maka
perhitungan
jumlah
angka
tahunnya
1+2+3+4+5=15
- Harga buku aktiva = harga perolehan dikurangi nilai residu
b.
Metode Satuan Jam Kerja
Istilah lainnya adalah Service Hours Method, penetapan beban penyusutan
aset tetap dalam metode ini di dasarkan pada jam kerja yang bisa dicapai
dalam periode yang bersangkutan.
Rumus:

Beban penyusutan per tahun = jam kerja yang dapat dicapai x tarif
penyusutan tiap jam

Tarif penyusutan per jam = (harga perolehan - nilai residu) / jumlah
total jam kerja penggunaan aktiva
c. Metode Satuan Hasil Produksi
Istilah lainnya adalah Productive Output Method. Di dalam metode ini
penetapan beban penyusutan aktiva tetap didasarkan pada jumlah satuan
produk yang dihasilkan pada periode yang bersangkutan.
Rumus:

Beban penyusutan per tahun= jumlah satuan produk yang dihasilkan x
tarif penyusutan per produk

Tarif penyusutan per satuan produk = (harga perolehan – nilai residu) /
jumlah total produk yang dihasilkan.
49
Apapun metode dan jenis aset yang digunakan, yang paling penting adalah:
a. Terapkanlah dengan konsisten apapun metode yang digunakan
b. Apabila perusahaan menganggap perlu adanya perubahan atas metode
penyusutan yang dipakai, ada baiknya mencantumkan di dalam penjelasan
mengenai sistem akuntansi yang dipakai dalam laporan keuangan dan
disertai dengan alasannya.
50
2.2 Penelitian Terdahulu
Penelitian ini juga didukung dengan data-data dari penelitian terdahulu
diantaranya:
1. Wiwin Krisnawati (2013) dengan judul “ Tinjauan Atas Perolehan dan
Penyusutan Aset Tetap pada PT. Jamsostek (Persero) Cabang Bandung 1”
Persamaan yang ada dari penelitian ini dengan penelitian yang
dilakukan Wiwin Krisnawati (2013) adalah variabel terikat yang diangkat
dalam penelitian ini yakni penyusutan aset tetap.
Perbedaan yang ada dari penelitian ini dengan penelitian yang
dilakukan oleh Wiwin Krisnawati (2013) adalah tujuan dan data
penelitian. Dalam penelitian Wiwin Krisnawati (2013) bertujuan untuk
meninjau metode yang digunakan dalam perhitungan penyusutan aset tetap
sudah sesuai dengan Standart Akuntansi Keuangan atau belum, dengan
hanya menggunakan daftar aset tetap sebagai datanya. Dalam penelitian
ini penulis menganalisa metode penyusutan yang digunakan dalam
penyusunan laporan keuangan fiskal dalam rangka perhitunga PPh badan
yang harus dibayar perusahaan, dengan menggunakan daftar penyusutan
aset tetap, neraca, laporan laba rugi komersial sebagai data yang dianalisa.
Penelitian Wiwin Krisnawati (2013)
menunjukkan bahwa
perusahaan yang diteliti perhitungan penyusutan aset tetapnya sudah benar
dan menggunakan metode yang sudah sesuai dengan Standart Akuntasi
Keuangan yakni metode garis lurus dengan cara dari harga perolehan yang
51
didapat,
perusahaan
melakukan
perhitungan
penyusutan
dengan
mengestimasi umur aset tetap dikurangi nilai residu.
2. Mohammad Yusril (2011) dengan judul “ Praktek Koreksi Fiskal Dalam
Rangka Pelaporan Pajak Penghasilan Terutang Pada PT. Orisa Tour”
Persamaan yang ada dari penelitian ini dengan penelitian yang
dilakukan Mohammad Yusril (2011) adalah variabel terikat yang diangkat
dalam penelitian yakni koreksi fiskal.
Perbedaan yang ada dari penelitian ini dengan penelitian yang
dilakukan oleh Mohammad Yusril (2011) adalah variabel bebas yang
diangkat Mohammad Yusril (2011) meneliti dengan menganalisa semua
aspek yang dapat menimbulkan koreksi
positif dan negatif yang
berkenaan dengan beda waktu dan beda tepat. Untuk penulis dalam
penelitian ini lebih berfokus pada perhitungan penyusutan aset tetap yang
digunakan perusahaan dan koreksi fiskal yang terjadi serta pengaruhnya
pada perhitungan PPh badan yang harus dibayar perusahaan.
Penelitian Mohammad Yusril (2011) menunjukkan bahwa laporan
keuangan komersial yang telah disusun oleh perusahaan sudah sesuai
dengan Standar Akuntansi Keuangan, namun penyusunannya belum sesuai
dengan peraturan perpajakan sehingga perlu dilakukan koreksi fiskal pada
beberapa biaya yang diakui seperti contoh biaya pengobatan dan biaya
konsumsi yang seharusnya tidak boleh diakui sebagai biaya dalam
penyusunan laporan akuntansi fiskalnya.
52
2.3 Kerangka Konseptual
Gambar 2.1
Kerangka Konseptual
CV. Aria Duta Panel
Laporan Laba Rugi
(Standart Akuntansi Keuangan)
Ketentuan Pembukuan PPh
(Undang-undang PPh 2008)
Penyusutan
Aset Tetap
Beda Waktu
Rekonsiliasi Fiskal
Laporan Laba Rugi Fiskal
PPh Badan
(terutang yang harus dibayar)
Sumber:Data Diolah
Download