utang

advertisement
Utang, Krisis, dan Politik Uang
KOMPAS, Kamis, 27 Mei 2010 | 04:53 WIB
A Prasetyantoko
Pelantikan Menteri Keuangan baru, Agus Martowardojo, diikuti dengan tujuh amanat
Presiden mengenai pengelolaan anggaran. Persoalan utang pemerintah menjadi salah satu
isu yang mengemuka.
Anggaran yang pada tahun-tahun ini mencapai lebih dari Rp 1.000 triliun harus digunakan
untuk mendorong pertumbuhan, subsidi, dan membayar utang pemerintah. Menkeu baru
harus mampu ”meracik” anggaran sehingga mencapai kesinambungan fiskal.
Mengapa isu utang penting? Mungkin sebuah kebetulan, pelantikan Menkeu baru
bersamaan dengan menguatnya kekhawatiran terhadap krisis sistemik kawasan Eropa.
Setelah tarik- menarik panjang tentang penyelamatan defisit budget Yunani sebesar 1
triliun dollar AS disepakati, kini giliran Spanyol yang mulai goyah, ditandai dengan fase
bail out sektor perbankan. Dikhawatirkan, krisis akan menyebabkan kolapsnya sistem
perbankan di kawasan Eropa.
Bukankah situasi Indonesia sama sekali lain? Benar, apa yang dialami Yunani saat ini telah
dialami Indonesia sepuluh tahun silam, pada krisis Asia 1997/1998. Dan kini,
perekonomian Indonesia telah berubah menjadi salah satu kekuatan ekonomi terbesar
ketiga setelah China dan India.
Meski demikian, kita bukan berarti benar-benar aman dari ancaman krisis. Tak satu pun
negara di dunia ini yang benar- benar bebas dari ancaman krisis. Kebijakan utang
merupakan salah satu pintu masuk yang berpotensi menjerat perekonomian memasuki
krisis.
Ancaman krisis
Bulan lalu, Nouriel Roubini bersama dengan Stephen Mihm menerbitkan buku berjudul
Crisis Economics (2010). Pandangannya yang suram tentang masa depan perekonomian
membuat Roubini sering dijuluki sebagai D. Doom. Meski nuansanya pesimistis, ada
banyak hal yang relevan dan patut diperhatikan.
Pertama, tentang asal muasal krisis, tak pernah ada jawaban yang pasti. Ada pendapat yang
mengatakan karena pemerintah terlalu banyak campur tangan, tetapi sebaliknya ada yang
mengatakan justru karena pemerintah kurang campur tangan. Kedua, tentang evolusi krisis,
biasanya bermuara pada pergeseran sikap (kebijakan) yang tadinya berhati-hati, mulai
berspekulasi dan akhirnya tak mampu membayar.
Semua krisis di hampir semua level, baik personal, perusahaan (firm-level) termasuk
perbankan maupun pemerintah, ditandai dengan kondisi ketidakmampuan melunasi
kewajibannya. Ide ini berbasis pada pemikiran Hyman Minsky tentang skema hedge
(berhati-hati), spekulatif, dan ponzi (tak mampu bayar). Ide ini sangat relevan untuk
meneropong kebijakan utang pemerintah.
Pemerintah kita memang dinilai sukses menurunkan rasio utang terhadap produk domestik
bruto (PDB) dari sekitar 150 persen pada waktu krisis 1997/1998 menjadi kurang dari 30
persen pada 2010 ini. Namun, persoalannya bukan itu. Pemerintah makin gencar
menerbitkan surat utang yang proporsinya makin besar dibandingkan dengan utang pada
lembaga donor asing. Hingga Mei 2010, utang pemerintah diperkirakan berjumlah lebih
dari Rp 1.700 triliun.
Jadi, meskipun rasio utang mengalami penurunan, tetapi secara nominal terjadi kenaikan.
Belum lagi suku bunga yang ditawarkan relatif tinggi (10-13 persen) dibandingkan dengan
negara-negara di kawasan Asia. Bahkan, lebih tinggi dari penerbitan surat utang korporasi
yang risikonya lebih tinggi.
Potensi ponzi
Utang selalu punya dua dimensi. Pertama, besarannya dan dari mana asalnya. Kedua,
efektivitas penggunaannya. Terkait hal pertama, penerbitan surat utang pemerintah harus
dibayar dengan semakin tergantungnya perekonomian pada sektor finansial. Salah satu
alasan mengapa suku bunga bank tidak bisa diturunkan mengikuti suku bunga Bank
Indonesia (BI rate) sebesar 6,5 persen adalah karena tingginya suku bunga di pasar surat
utang.
Dari sisi penggunaannya, sebenarnya jika utang digunakan untuk meningkatkan kapasitas
ekonomi (investasi), bukanlah soal. Karena dengan begitu penambahan utang akan diiringi
peningkatan kemampuan membayar. Dengan begitu, potensi terjadinya gagal bayar (ponzi)
kecil. Di atas kertas, kemampuan kita membayar cenderung meningkat, ditunjukkan dengan
rasio utang terhadap PDB.
Pertanyaannya, perekonomian seperti apa yang dihasilkan dari stimulus berupa pinjaman?
Dengan kualitas pertumbuhan yang makin menurun, jangan-jangan angka-angka rasio
tersebut sebenarnya bubble (gelembung)? Ukuran yang lebih solid untuk menguji dampak
positif penggunaan utang adalah indikator yang lebih bersifat jangka panjang, seperti
penyerapan tenaga kerja serta pengurangan kemiskinan. Peningkatan rasio pembayar pajak
(tax ratio) juga menjadi indikator penting.
Di hari ini, potensi kita menjadi ponzi masih kecil. Namun, dengan tingkat pengungkit yang
terbatas pada perekonomian, instrumen utang sangat mungkin menjadi bumerang. Terkait
dengan hal tersebut, paling tidak ada dua tugas pokok Menkeu baru. Pertama, memecahkan
kebuntuan sektor finansial-riil yang, salah satunya, diakibatkan oleh kebijakan utang
pemerintah yang membelenggu suku bunga bank. Pengalaman Agus Martowardojo sebagai
bankir tentu sangat membantu dalam hal ini.
Kedua, peningkatan efesiensi dan efektivitas penggunaan utang peningkatan kualitas
perekonomian jangka panjang. Wacana untuk mengaitkan output pembangunan dengan
indikator indeks pembangunan manusia (IPM) semakin kuat. Prinsipnya, jika utang bisa
dijamin penggunaannya dalam kerangka peningkatan kualitas hidup manusia dalam jangka
panjang, risiko jangka pendeknya bisa dimoderasi. Menjadi bahaya jika utang digunakan
untuk proyek politik terkait Pemilu 2014, dengan berbagai bungkus, seperti bantuan
langsung tunai (BLT), Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM), dan
sebagainya.
Sejarah politik uang sama halnya dengan sejarah krisis, selalu datang seiring zaman.
Terhadap dua hal itu, benar kata Roubini, memahami konteks sejarah yang dinamis sering
kali jauh lebih penting ketimbang modelisasi ekonomi yang rumit dan penuh dengan rumus
matematika.
A Prasetyantoko Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM), Unika
Atma Jaya, Jakarta
Download