BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ginjal Ginjal terletak di belakang

advertisement
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Ginjal
Ginjal terletak di belakang peritoneum pada bagian belakang rongga
abdomen, mulai dari vertebra torakalis ke dua belas sampai vertebra lumbalis ke tiga.
Ginjal kanan lebih rendah daripada ginjal kiri karena adanya hati. Nefron merupakan
unit dasar ginjal. Setiap ginjal memiliki 400.000 – 800.000 nefron, jumlah ini
berkurang seiring usia. Karena jumlah nefron pada setiap ginjal melebihi jumlah yang
diperlukan untuk mempertahankan kehidupan, maka kerusakan ginjal secara
signifikan dapat terjadi tanpa gejala klinis yang jelas. Ginjal mempertahankan
kestabilan lingkungan ekstraseluler yang menunjang fungsi semua sel tubuh. Ginjal
mengontrol keseimbangan air dan ion dengan mengatur ekskresi air, natrium, kalium,
klorida, kalsium, magnesium, fosfat, dan zat-zat lain, serta mengatur status asambasa. (O’Callaghan, C.,2007)
2.1.1. Anatomi Ginjal
Ginjal adalah sepasang organ saluran kemih yang terletak di rongga
retroperitoneal bagian atas. Bentuknya menyerupai kacang dengan sisi cekungnya
menghadap medial. Ukuran ginjal rata-rata adalah 11,5 cm (panjang), 6 cm (lebar),
3,5 cm (tebal). Beratnya bervariasi sekitar 120-170 gram. Ginjal dibungkus oleh
jaringan fibrous tipis, berkilau yang disebut true capsule (kapsul fibrosa) ginjal dan
diluar kapsul ini terdapat jaringan lemak perirenal. (Cahyaningsih, Niken D, 2009)
Universitas Sumatera Utara
Ginjal terdiri atas tiga area yaitu korteks, medula dan pelvis.(Prasanto Heru, 2008)
a. Korteks, merupakan bagian paling luar ginjal, di bawah kapsula fibrosa sampai
dengan lapisan medula, tersusun atas nefron-nefron yang jumlahnya lebih dari 1
juta.
b. Medula, terdiri dari saluran-saluran atau duktus kolekting yang disebut pyramid
ginjal yang tersusun atas 8-18 buah.
c. Pelvis, merupakan area yang terdiri dari kalik minor yang kemudian bergabung
menjadi kalik mayor. Empat sampai lima kalik minor bergabung menjadi kalik
mayor dan dua sampai tiga kalik mayor bergabung menjadi pelvis ginjal yang
berhubungan dengan ureter bagian proksimal.
2.1.2. Fungsi Ginjal
Fungsi utama ginjal adalah menjaga keseimbangan internal dengan jalan
menjaga komposisi cairan ekstraseluler. Untuk melaksanakan hal itu, sejumlah besar
cairan difiltrasi di glomerulus dan kemudian direabsorpsi dan disekresi di sepanjang
nefron sehingga zat-zat yang berguna diserap kembali dan sisa-sisa metabolisme
dikeluarkan sebagai urin. Sedangkan air ditahan sesuai dengan kebutuhan tubuh kita.
Fungsi ginjal secara keseluruhan dibagi dalam 2 golongan yaitu :
a. Fungsi Ekskresi
1. Ekskresi sisa metabolisme protein
Sisa metabolisme protein yaitu ureum, kalium, fosfat, sulfat anorganik dan
asam urat dikeluarkan melalui ginjal.
2. Regulasi volume cairan tubuh
Universitas Sumatera Utara
Bila tubuh kelebihan cairan maka terdapat rangsangan melalui arteri karotis
interna ke osmoreseptor di hipotalamus anterior kemudian diteruskan ke
kelenjar hipofisis posterior sehingga produksi hormon anti-diuretik (ADH)
dikurangi dan akibatnya produksi urin menjadi banyak, demikian juga
sebaliknya.
3. Menjaga keseimbangan asam basa
Agar sel dapat berfungsi normal, perlu dipertahankan PH plasma 7,35 untuk
darah vena dan PH 7,45 untuk darah arteri. Keseimbangan asam dan basa
diatur oleh paru dan ginjal.
b. Fungsi Endokrin
1. Partisipasi dalam eritopioesis
Ginjal
menghasilkan
enzim
yang
disebut
faktor
eritropoetin
yang
mengaktifkan eritropoetin. Eritropoetin berfungsi menstimulasi sumsum
tulang untuk memproduksi sel darah merah.
2. Pengaturan tekanan darah
Modifikasi tonus vaskular oleh ginjal dapat mengatur tekanan darah. Hal ini
dilakukan oleh sistem renin-angiotensin aldosteron yang dikeluarkan dari
nefron.
3. Keseimbangan kalsium dan fosfor
Ginjal memiliki peran untuk mengatur proses metabolisme vitamin D menjadi
metabolit yang aktif yaitu 1,25-dihidrovitamin D3. Vitamin D molekul yang
Universitas Sumatera Utara
aktif bersama hormon paratiroid dapat meningkatkan absorpsi kalsium dan
fosfor dalam usus.
2.2. GGK
2.2.1. Pengertian GGK
Penyakit ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologis dengan etiologi yang
beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan umumnya
berakhir dengan gagal ginjal. Selanjutnya, gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis
yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang irreversibel, pada suatu derajat
yang memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis atau transplantasi
ginjal (Perhimpunan Nefrologi Indonesia, 2006). Menurut Nursalam (2006), gagal
ginjal kronis/ CRF (chronic renal failure) adalah kerusakan ginjal progresif yang
berakibat fatal dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme
keseimbangan cairan dan elektrolit, menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah
nitrogen lainnya dalam darah). Penyakit ginjal dapat tidak tampak secara klinis
sampai terjadi penurunan fungsi ginjal yang bermakna, karena alasan inilah penyakit
ginjal progresif yang berkembang lambat laun dapat bersifat asimtomatik pada
stadium awal. (O’Callaghan, C.,2007).
Penyakit Gagal Ginjal adalah suatu penyakit dimana fungsi organ ginjal
mengalami penurunan hingga akhirnya tidak lagi mampu bekerja sama sekali dalam
hal penyaringan pembuangan elektrolit tubuh, menjaga keseimbangan cairan dan zat
kimia tubuh seperti sodium dan kalium di dalam darah atau produksi urin. Semua
Universitas Sumatera Utara
proses penyakit yang mengakibatkan kehilangan nefron secara progresif dapat
menyebabkan gagal ginjal kronik.(O’Callaghan, C., 2007)
Gagal ginjal akut (GGA) maupun GGK meningkatkan kalium, ureum, dan
kreatinin plasma, serta menyebabkan asidosis metabolik. Pada GGK biasanya
terdapat komplikasi kronik yang meliputi anemia akibat eritropoetin yang tidak
adekuat serta penyakit tulang, (artinya hormon yang di hasilkan oleh ginjal salah
satunya adalah eritropoetin yang merangsang pembentukan sumsum tulang untuk
menghasilkan sel darah merah, pada GGK eritropoetin yang di hasilkan ginjal tidak
mencukupi) biasanya dengan kadar kalsium rendah, fosfat tinggi, dan hormon
paratiroid tinggi. Hasil temuan kunci pada GGK adalah ginjal yang kecil pada
ultrasonografi.
Ukuran
yang
berkurang
ini
disebabkan
oleh
atrofi
atau
fibrosis.(O’Callaghan, C., 2007)
Karena ureum dan kreatinin di ekskresi oleh ginjal maka keduanya
terakumulasi di darah jika fungsi ginjal terganggu. Kadar ureum meningkat akibat
asupan tinggi protein atau keadaan katabolisme dan menurun pada penyakit hati atau
overhidrasi. Ureum difiltrasi secara bebas namun juga di reabsorbsi sebagian oleh
tubulus, yang prosesnya meningkat (seiring dengan reabsorbsi natrium) pada
dehidrasi atau penurunan perfusi ginjal, menyebabkan peningkatkan ureum lebih
besar daripada kreatinin. Kreatinin difiltrasi secara bebas, namun di sekresi sebagian
oleh tubulus. Kreatinin diproduksi di otot dan individu dengan massa otot besar dapat
memiliki nilai yang lebih tinggi.
Universitas Sumatera Utara
Semua proses penyakit yang mengakibatkan kehilangan nefron secara
progresif dapat menyebabkan GGK. Seiring dengan berkurangnya jumlah nefron
yang berfungsi, nefron yang tersisa melakukan kompensasi dengan meningkatnya
filtrasi dan reabsorbsi zat terlarut. Penyakit ginjal stadium akhir terjadi jika pasien
membutuhkan terapi penggantian ginjal dengan dialysis atau transplantasi.
Komplikasi GGK disebabkan oleh akumulasi berbagai zat yang normalnya di
ekskresi oleh ginjal, serta produksi vitamin D dan eritropoetin yang tidak adekuat
oleh ginjal. Sindrom uremik mengacu pada komplikasi GGK seperti anemia,
kebingungan (confusion), koma, asteriksis, kejang, efusi, perikard, gatal, dan penyakit
tulang. Terapi penggantian ginjal memperbaiki masalah ini, namun pasien dengan
penyakit ginjal stadium akhir memiliki morbiditas dan mortalitas yang lebih tinggi
dari pada populasi lainnya.
Pengobatan konservatif terdiri dari tiga strategi. Pertama adalah usaha-usaha
untuk memperlambat laju penurunan fungsi ginjal. Kedua adalah mencegah
kerusakan ginjal lebih lanjut. Ketiga adalah pengelolaan berbagai masalah yang
terdapat pada pasien dengan GGK dan komplikasinya. Pengobatan konservatif GGK
lebih bermanfaat bila penurunan faal ginjal masih ringan.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.1 Klasifikasi Penyakit Gagal Ginjal Kronik Berdasarkan Derajat
Penyakit
Derajat
Deskripsi/ Penjelasan
1
Kerusakan ginjal dgn GFR
normal
Kerusakan ginjal dgn
penurunan GFR ringan
Kerusakan ginjal dgn
penurunan GFR sedang
Kerusakan ginjal dgn
penurunan GFR berat
Gagal ginjal
2
3
4
5
Nama lain
Risiko
GFR
(mL/mn/1.73m²)
≥ 90
CRI (Chronic
Renal Insufisiensi
CRI, Chronic
Renal Failure/ CRF
CRF
60 – 89
30 – 59
15 – 29
ESRD (End Stage
< 15 atau dialisis
Renal Disease)
Ket : GFR = Glomerulo Filtration Rate (Laju Filtrasi Glomerulus)
Sumber : Black & Hawks, 2009; Suwitra dalam Sudoyo, et al, 2006.
2.2.2. Penyebab Gagal Ginjal
Terjadinya gagal ginjal disebabkan oleh beberapa penyakit serius yang
diderita oleh tubuh yang mana secara perlahan-lahan berdampak pada kerusakan
organ ginjal. Penyebab tersering penyakit ginjal stadium akhir yang membutuhkan
terapi penggantian ginjal antara lain adalah : (O’Callaghan, C., 2007)
a.
Diabetes Melitus (DM)
Sebanyak 25 - 50% penyandang diabetes menderita nefropati. Diabetes
merupakan penyebab tunggal tersering dari penyakit ginjal stadium akhir dan
meliputi 30 - 40% kasus. (O’Callaghan, C., 2007)
b.
Hipertensi
Hipertensi di definisikan sebagai tekanan darah di atas 140/ 90 mmHg.
Tekanan darah ditentukan oleh curah jantung, resistensi vaskular sistemik, dan
Universitas Sumatera Utara
volume sirkulasi. Setiap penyakit ginjal dapat menyebabkan hipertensi. Gangguan
ginjal berat mengurangi ekskresi natrium serta menyebabkan hipervolemia dan
hipertensi yang bersifat sensitif terhadap garam karena hipertensi meningkat seiring
dengan asupan garam. (O’Callaghan, C., 2007)
Tabel 2.2. Klasifikasi Hipertensi Menurut WHO
Derajat
Sistolik (mmHg)
Diastolik (mmHg)
Optimal
Normal
Tingkat 1 (Hipertensi ringan)
<120
<130
140-159
<80
<85
90-99
Tingkat 1 (Hipertensi sedang)
160-179
100-109
Tingkat 1 (Hipertensi berat)
≥180
Sumber : Yogiantoro dalam Sudoyo, 2006.
≥110
c. Glomerulonefritis
Glomerulonefritis
merupakan
penyakit
peradangan
ginjal
bilateral.
Peradangan dimulai dalam glomerulus dan bermanifestasi sebagai proteinuria dan/
atau hematuria, meskipun lesi terutama ditemukan pada glomerulus, tetapi seluruh
nefron pada akhirnya akan mengalami kerusakan, sehingga terjadi GGK. (Price, S. A.
& Lorraine M, 2005)
Glomerulonefritis dibedakan atas dua yaitu :
1. Glomerulonefritis Akut
Kasus klasik glomerulonefritis akut terjadi setelah infeksi streptokokus pada
tenggorokan atau kadang-kadang pada kulit sesudah masa laten 1 sampai 2
minggu. Organisme penyebabnya yang lazim adalah streptokokus beta hemolitikus
grup A tipe 12 atau 4 dan 1. Streptokokus tidak menyebabkan kerusakan pada
Universitas Sumatera Utara
ginjal, melainkan terdapat suatu antibodi yang ditujukan terhadap antigen khusus
yang merupakan unsur membran plasma sterptokokal-spesifik. Terbentuk
kompleks antigen-antibodi dalam darah dan bersirkulasi ke dalam glomerulus dan
menghasilkan membran dasar yang menebal. Komplemen akan terfiksasi
mengakibatkan
lesi dan peradangan yang menarik leukosit polimerfonuklear
(PMN) dan trombosit menuju tempat lesi. Fagositosis dan pelepasan enzim
lisosom juga merusak endotel dan membran basalis glomerulus. (Price, S. A. &
Lorraine M., 2005)
2. Glomerulonefritis Kronik
Glomerulonefritis kronik ditandai dengan kerusakan glomerulus secara
progresif lambat akibat glomerulonefritis yang sudah berlangsung lama. Pada
glomerulonefritis kronik lanjut, ginjal tampak mengkerut, kadang beratnya hanya
tinggal 50 gram dan permukaannya bergranula. Perubahan ini terjadi akibat
berkurangnya jumlah nefron karena iskemia dan hilangnya nefron. (Price, S. A. &
Lorraine M., 2005)
d. Penyakit Ginjal Polikistik
Merupakan kelainan ginjal turunan yang paling sering terjadi Penyakit ginjal
polikistik ini mencakup 4-10% pasien dengan gagal ginjal yang membutuhkan
transplantasi atau dialisis ditandai dengan kista-kista multipel, bilateral dan
berekspansi yang lambat laun mengganggu dan menghancurkan parenkim ginjal
normal akibat penekanan. (O’Callaghan, C., 2007). Ginjal dapat membesar dan terisi
oleh kelompok kista-kista yang menyerupai anggur. Waktu perjalanan gagal ginjal
Universitas Sumatera Utara
kronik bervariasi, walaupun banyak anak yang dapat mempertahankan fungsi ginjal
yang adekuat selama bertahun-tahun. Pada anak dapat bertahan selama bulan pertama
kehidupan,78% bertahan hingga melebihi 15 tahun. (Price,S.A. & Lorraine M., 2005)
e. Pielonefritis Kronik
Pielonefritis adalah inflamasi infeksius yang mengenai parenkim dan pelvis
ginjal. Infeksi ini bermula dari infeksi saluran kemih (ISK) bawah, kemudian naik
sampai ginjal. Escherichia coli adalah organisme yang paling lazim menyebabkan
pielonefritis. Pielonefritis kronik dapat merusak jaringan ginjal secara permanen
karena inflamasi yang berulang dan terbentuknya jaringan parut yang meluas. Proses
berkembangnya GGK dari infeksi ginjal yang berulang berlangsung selama beberapa
tahun. Pada pielonefritis kronik, tanda yang terus menerus muncul adalah bakteriuria
sampai pada saat ketika jaringan ginjal sudah mengalami pemarutan (skar) yang berat
dan atrofi sehingga pasien mengalami insufisiensi ginjal yang ditandai dengan
hipertensi, BUN (Blood Urea Nitrogen) meningkat dan klirens kreatinin menurun.
(Price, S. A. & Lorraine M., 2005)
f. Nefropati Analgetik
Penyalahgunaan analgetik dalam waktu lama dapat menyebabkan cedera
ginjal. Beberapa obat menyebabkan gagal ginjal antara lain amonoglikosida, Obat
Anti-Inflamasi
nonsteroid
(OAINS),
siklosporin,
amfosterisin
B,
asiklovir,
siklosporin. (O’Callaghan, C., 2007). Penyakit lainnya yang juga dapat menyebabkan
kegagalan fungsi ginjal apabila tidak cepat ditangani antara lain adalah kehilangan
carian banyak yang mendadak (muntaber, perdarahan, luka bakar), serta penyakit
lainnya seperti penyakit Paru (TBC), Sifilis, Malaria, Hepatitis, Pre-eklampsia.
Universitas Sumatera Utara
Penyakit gagal ginjal berkembang secara perlahan kearah yang semakin buruk
dimana ginjal sama sekali tidak lagi mampu bekerja sebagaimana fungsinya, dalam
dunia kedokteran dikenal 2 macam jenis serangan gagal ginjal, akut dan kronik.
2.2.3. Tanda dan Gejala Penyakit Gagal Ginjal
Adapun tanda dan gejala terjadinya gagal ginjal yang dialami penderita secara
akut antara lain : bengkak mata, kaki, nyeri pinggang hebat (kolik), kencing sakit,
demam, kencing sedikit, kencing darah, sering kencing. Kelainan urin protein, darah /
eritrosit, sel darah putih / leukosit, bakteri. Sedangkan tanda dan gejala yang mungkin
timbul oleh adanya GGK antara lain: lemas, depresi, mual, muntah, bengkak, kencing
berkurang, gatal, kram otot, pucat/ anemi. Kelainan urin protein, eritrosit, leukosit.
Kelainan hasil pemeriksaan laboratorium lain creatinine darah naik, Hb turun, urin
protein selalu positif. (O’Callaghan, C., 2007)
Pada pasien GGK terdapat manifestasi klinis yang bervariasi dan pasien juga
memiliki beberapa keluhan berikut ini :
Tabel 2.3. Manifestasi Klinis pada Pasien GGK
Derajat
Manifestasi Klinis
GGK
Derajat I Pasien dengan tekanan darah normal, tanpa abnormalitas hasil tes
laboratorium dan tanpa manifestasi klinis
Derajat II Umumnya asimptomatik, berkembang menjadi hipertensi,
munculnya nilai laboratorium yang abnormal
Derajat III Asimptomatik nilai laboratorium menandakan adanya abnormalitas
pada beberapa sistem organ, terdapat hipertensi
Derajat IV Munculnya manifestasi klinis GGK berupa kelelahan dan
penurunan rangsangan
Derajat V Anemia, hipokalsemia, hiponatremia, peningkatan asam urat,
proteinuria, edema, hipertensi, peningkatan kreatinin, penurunan
sensasi rasa, asidosis metabolik, mudah mengalami perdarahan,
hiperkalemia
Sumber : Black & Hawks, 2009
Universitas Sumatera Utara
2.3. Faktor Risiko GGK
Sumber dari faktor-faktor risiko pada penyakit tidak menular dan penyakit
kronis adalah perilaku fisiologis/ genetik, lingkungan dan sosial. Faktor risiko adalah
pengalaman, perilaku, tindakan atau aspek-aspek pada gaya hidup yang dapat
memperbesar peluang terkena atau terbentuknya suatu penyakit, kondisi, cedera,
gangguan, ketidakmampuan atau kematian (Timmreck,T.C., 2004).
Australian Institute of Health and Welfare (AIHW) telah melakukan
sistematisasi faktor risiko kejadian penyakit ginjal kronik yang menjalani
hemodialisis (ESRD) di Australia. Faktor risiko ESRD di Australia dibagi menjadi
empat kelompok yaitu :
1) Faktor lingkungan-sosial yang meliputi status sosial ekonomi, lingkungan fisik
dan ketersediaan lembaga pelayanan kesehatan,
2) Faktor risiko biomedik, meliputi antara lain diabetes, hipertensi, obesitas,
sindroma metabolisma, infeksi saluran kencing, batu ginjal dan batu saluran
kencing, glomerulonefritis, infeksi streptokokus dan keracunan obat;
3) Faktor risiko perilaku, meliputi antara lain merokok atau pengguna tembakau,
kurang gerak dan olah raga serta kekurangan makanan
4) Faktor predisposisi, meliputi antara lain umur, jenis kelamin, ras atau etnis,
riwayat keluarga dan genetik.(AIHW). Dari penelitian yang lain juga melaporkan
bahwa faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian GGK antara lain adalah
jenis kelamin, umur, etnik, berat lahir rendah, berat badan, status sosial ekonomi,
merokok, tekanan darah, kadar kholesterol darah, minum alkohol dan obat
Universitas Sumatera Utara
terlarang lainnya, mengonsumsi obat analgetika dan OAINS, dan diabetes
mellitus.(Bakri, S., 2005).
2.3.1. Riwayat Penyakit
a. DM
DM adalah penyakit yang dapat menyebabkan komplikasi kronik baik mikro
dan macroangiophaty, dengan konsekuensi kegagalan organ internal. Salah satu
komplikasi kronik DM adalah dari nefropati diabetik dan progresif cronically jika
tidak ditangani atau dikendalikan dengan baik akan menjadi tahap akhir gagal ginjal.
Beberapa studi telah menunjukkan bahwa merokok berperan dalam pengembangan
dan perkembangan diabetes dan nondiabetes penyakit ginjal. Penelitian Arsono, Soni,
2005 faktor risiko yang dilakukan dalam nefropati diabetik progresif yang menjadi
tahap akhir gagal ginjal pada pasien DM bahwa hipertensi diastolik dan kadar
kolesterol total adalah faktor risiko tahap akhir gagal ginjal pada pasien DM dengan
hasil dari faktor risiko terbukti tahap akhir gagal ginjal pada penderita DM 2 jam pp
kadar glukosa darah OR: 3,52 (95% CI: 1,00-12,39). DM pasien hipertensi diastolik
> 90 mmHg dengan OR : 15,03 (95% CI: 2,25 - 100,43) dan kadar kolesterol total >
200 mg/d1 dengan OR: 11,61 (95% CI: 1,69 - 79,83).
b. Hipertensi
Hipertensi didefinikan sebagai tekanan darah di atas 140/ 90 mm
Hg.(O’Callaghan, C., 2007). Berdasarkan penelitian Herdiani Sialagan dapat dilihat
bahwa proporsi riwayat penyakit sebelumnya tercatat 69,2%. Penderita GGK
tertinggi adalah Hipertensi 30,2%, kemudian Diabetes Melitus 23,8%, Lebih dari satu
Universitas Sumatera Utara
Riwayat Penyakit Sebelumnya 23,8%, Tidak ada riwayat 15,1%, Batu Ginjal 5,0%,
Infeksi Saluran Kemih (ISK) 1,4% dan terendah penyakit ginjal polikistik. Penelitian
Sofyana Nurchayati, (2010) didapatkan bahwa pasien hipertensi dengan OR = 4,51,
disimpulkan bahwa hubungan antara anemia dengan kualitas hidup penderita
hipertensi memiliki risiko 4,6 kali hidupnya kurang berkualitas dibandingkan dengan
yang tidak mengalami hipertensi.
2.3.2. Kadar Ureum dan Kreatinin Darah
Kadar ureum darah adalah konsentrasi nitrogen urea darah setelah dilakukan
pemeriksaan laboratorium pada penderita GGK dan bukan GGK sesuai yang tercatat
pada rekam medis. Penelitian di RS Martha Friska Medan Tahun 2011 Proporsi kadar
ureum darah > 100 mg/100 mL sebesar 68,9% lebih tinggi dibandingkan≤ 100
mg/100 mL sebesar 31,1 %.
Kadar kreatinin darah adalah konsentrasi kreatinin dalam darah setelah
dilakukan pemeriksaan laboratorium pada penderita GGK dan bukan GGK sesuai
yang tercatat pada rekam medis. Penelitian di RS Martha Friska Medan Tahun 2011
Proporsi kadar kreatinin penderita GGK yang memiliki kadar kreatinin darah < 2
mg/100 mL sebesar 3,3%, 19,7% pada 2-4 mg/100 mL dan 77,0% pada > 4 mg/100
mL. (Sialagan, H., 2011 ).
2.3.3. Sosiodemografi
Semakin meningkatnya umur dan ditambah dengan penyakit kronis seperti
tekanan darah tinggi (hipertensi) atau diabetes, maka ginjal cenderung akan menjadi
Universitas Sumatera Utara
rusak dan tidak dapat dipulihkan kembali. Penelitian Hanifa (2010) di RSUP. Adam
Malik Medan, penderita GGK terbanyak pada kelompok umur 31-50 tahun.
Jenis kelamin merupakan salah satu faktor yang berhubungan dengan
perkembangan End-Stage Renal Disease. Secara keseluruhan, insidensi End-Stage
Renal Disease lebih besar pada laki-laki (56,3%) daripada perempuan (43,7%)
walaupun penyakit sistemik tertentu yang menyebabkan End-Stage Renal Disease
lebih sering terjadi pada perempuan. End-Stage Renal Disease yang disebabkan oleh
nefropati hipertensif 6,2 kali lebih sering terjadi pada orang Afrika-Amerika daripada
orang kaukasia.(Price, SA & Lorraine M, 2005).
Pekerjaan merupakan
salah satu faktor
yang berhubungan dengan
perkembangan End-Stage Renal Disease. Lingkungan dan agent toksik dapat
mempengaruhi GGK yang meliputi timah, kadmium, kromium dan merkuri. Di
perairan yang tercemar, merkuri dapat berubah bentuk menjadi senyawa metil
merkuri melalui mikroorganisme air dan mempunyai efek toksik tinggi. Dalam
bentuk metal merkuri senyawa ini dapat masuk ke dalam rantai makanan manusia.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan di tingkat global, Indonesia merupakan salah
satu negara yang memiliki kadar merkuri dalam ikan tuna yang melebihi batas yang
diizinkan yaitu 1.223 ppm.(Soeripto, M.,2008)
2.3.4. Gaya Hidup / Lifestyle
Sudut ketiga dari segitiga keadaan yang mempengaruhi kesehatan individu
adalah pola hidup. Pola hidup merupakan sekumpulan perilaku yang berhubungan
dengan kehidupan sehari-hari dimana di dalamnya termasuk nutrisi, istirahat, olah
Universitas Sumatera Utara
raga, rekreasi dan kerja. Perilaku tersebut dapat menjadi faktor yang secara signifikan
menyebabkan seseorang menjadi sakit atau terluka (Ayers, Bruno dan Langford,
1999). Pola hidup merupakan salah satu faktor internal yang mempengaruhi
kesehatan seseorang. Perilaku untuk meningkatkan kesehatan dapat dikontrol dan
dipilih. Pilihan seseorang terhadap sehat tidaknya aktivitas yang dilakukan
dipengaruhi oleh faktor sosiokultural karakteristik individu. Perilaku yang bersifat
negatif terhadap kesehatan dikenal dengan faktor risiko.
Potter dan Perry (2005) mengemukakan bahwa ada kegiatan dan perilaku
yang dapat memberikan efek terhadap kesehatan. Cara pelaksanaan kegiatan yang
berpotensi memberikan efek negatif antara lain makan berlebihan atau nutrisi yang
buruk, kurang tidur dan istirahat, dan kebersihan pribadi yang buruk. Kebiasaan lain
yang berisiko menyebabkan seseorang menderita penyakit yaitu kebiasaan merokok
atau minum-minuman beralkohol, penyalahgunaan obat, dan kegiatan berbahaya
seperti skydiving serta mendaki gunung. Lebih lanjut Potter dan Perry (2005)
mengemukakan berbagai stres akibat krisis kehidupan dan perubahan gaya hidup.
Stres emosional dapat menjadi faktor risiko bila bersifat berat, terjadi dalam waktu
yang lama atau jika seseorang yang mengalaminya tidak mempunyai koping yang
adekuat dapat meningkatkan peluang terjadinya sakit. Stres dapat terjadi karena
peristiwa kehidupan seperti perceraian, kehamilan dan pertengkaran. Area kehidupan
yang menyebabkan stres emosional jangka panjang menjadi faktor risiko seperti stres
yang berhubungan dengan pekerjaan dapat berdampak pada kelemahan kemampuan
kognitif serta kemampuan membuat keputusan yang menyebabkan kelebihan beban
Universitas Sumatera Utara
mental atau kematian. Ayers, Bruno dan Langford (1999) menyatakan bahwa pola
hidup merupakan wilayah yang paling dapat dikontrol oleh seseorang dan memiliki
beberapa aturan agar dapat memelihara dan meningkatkan kesehatan. Perilaku yang
termasuk dalam pola hidup sangat mungkin diubah.
2.3.5. Pola konsumsi
Masukan nutrisi yang adekuat akan menyediakan tenaga untuk menggerakkan
tubuh dan mempertahankan berat badan. Seseorang yang tidak memiliki komposisi
nutrisi yang baik sehingga mengalami kelebihan berat badan berisiko terhadap
penyakit seperti diabetes, gangguan kandung kemih, tekanan darah tinggi dan
penyakit pembuluh darah koroner.
Seseorang yang tidak memperhatikan komposisi nutrisi yang terkandung
dalam makanan sehari-hari, akan lebih mudah terserang penyakit dibandingkan yang
berhati-hati dalam mengkonsumsi makanan. Intake makanan yang mengandung kadar
karbohidrat tinggi namun minim serat seperti makanan cepat saji, mempercepat
penimbunan lemak di dalam tubuh yang memicu obesitas. Individu yang mengalami
obesitas rentan terhadap penyakit diabetes mellitus tipe 2 dan penyakit
kardiovaskular. Penumpukan lemak di daerah perut merupakan salah satu faktor
risiko yang memicu timbulnya DM. Peningkatan penderita diabetes akan
meningkatkan jumlah penderita penyakit ginjal akibat komplikasi dari diabetes yaitu
nefropati diabetes Pemeriksaan tersebut menemukan bahwa nutrisi yang berlebihan
menjadi salah satu faktor risiko yang mendukung timbulnya GGK. Konsumsi diet
yang berlebihan menyebabkan kenaikan berat badan yang tidak terkontrol dimana
Universitas Sumatera Utara
merupakan faktor risiko timbulnya berbagai penyakit. Studi di Jepang menunjukkan
bahwa kenaikan berat badan yang diukur dengan Body Mass Index (BMI) merupakan
parameter yang signifikan berhubungan dengan kejadian GGK. Hal ini disebabkan
setiap kenaikan dari BMI akan diikuti oleh kenaikan tekanan darah, lipid serum serta
kadar glukosa darah. Setiap peningkatan BMI akan diikuti dengan peningkatan risiko
mengalami GGK. Walaupun mekanisme yang mendasari hubungan peningkatan BMI
dengan GGK tidak begitu dimengerti namun diestimasi bahwa kejadian tersebut ada
kaitannya dengan aktivasi sistem renin angiotensin, peningkatan aktivitas nervus
simpatis, terjadi resistensi insulin atau hiperinsulinemia dan dislipidemia. Kerusakan
toleransi glukosa ini yang diduga berhubungan dengan kejadian gagal ginjal kronik
Peningkatan berat badan atau obesitas khususnya obesitas abdominal dapat
merupakan faktor risiko GGK karena dapat memicu peningkatan tekanan darah.
Selain itu penderita obesitas lebih resisten terhadap pengobatan untuk menurunkan
tekanan darah. Peningkatan berat badan yang berlebihan telah mendukung
peningkatan kadar leptin, volume ekspansi, sesak waktu tidur dan bila peningkatan
tekanan darah tidak dikontrol akan mempercepat ginjal kehilangan fungsinya.
Peningkatan risiko GGK pada individu obesitas terjadi melalui beberapa mekanisme.
Salah satu mekanisme yang berhubungan adalah peningkatan kadar leptin
menyebabkan kerusakan dari sistem kardiovaskuler ginjal yang merupakan kontribusi
signifikan dari patogenesis hipertensi dan diabetes karena obesitas. Individu yang
memiliki berat badan yang berlebihan atau overweight karena pola diet yang tidak
tepat ditemukan lebih banyak yang menjalani terapi hemodialisa karena GGK
Universitas Sumatera Utara
dibandingkan pasien yang memiliki berat badan normal atau kurang. Studi yang
dilakukan terhadap 1010 pasien memperlihatkan, bila dilihat dari berat badan maka
47,9% pasien mempunyai kelebihan berat badan, 40,2% memiliki berat badan normal
dan 11,9% memiliki berat badan di bawah standar untuk usia dan jenis kelaminnya.
2.3.6. Aktivitas Fisik/ Olah Raga
Manfaat yang dapat diperoleh dari aktivitas fisik yang dilakukan secara teratur
telah banyak dilaporkan. Aktivitas fisik yang dilakukan secara teratur selama 30
menit setiap hari minimal 3 kali dalam seminggu akan membantu memperpanjang
umur harapan hidup dan menurunkan angka kesakitan dan kematian karena penyakit.
Olah raga yang teratur akan membantu menjaga tubuh tetap sehat dan bugar karena
kalori terbakar setiap hari serta mengendurkan semua otot yang kaku. Olahraga dapat
membantu meningkatkan kekuatan tulang, kekebalan tubuh, menguatkan paru-paru,
menurunkan emosi negatif, mempercantik tubuh dan kulit, menambah tenaga,
mengurangi dampak proses penuaan, serta membantu tidur nyenyak. Dampak olah
raga tersebut akan dirasakan bila olah raga minimal aerobik dilakukan 3 - 5 kali
seminggu selama 30 menit dengan pemanasan terlebih dahulu. Sesuai dengan
pernyataan Ayers, Bruno dan Langford (1999) bahwa pola hidup yang cenderung
meningkatkan risiko menderita penyakit dilihat dari aktivitas fisik adalah individu
yang lebih banyak duduk, tidak berolah raga atau melakukan olah raga tidak teratur
atau frekuensi latihan fisik tidak mencapai 30 menit dengan aktivitas minimal 3 kali
dalam satu minggu. Individu yang memiliki aktivitas fisik rendah berisiko mengalami
beragam penyakit seperti diabetes, hiperlipidemia, hipertensi, dan obesitas yang
Universitas Sumatera Utara
merupakan faktor-faktor risiko terhadap penyakit kardiovaskuler, GGK dan GGA.
Hal ini diestimasi berdasarkan studi epidemiologi terhadap faktor risiko penyakit
tidak menular dan serangkaian pemeriksaan kesehatan terhadap individu yang
mengalami penyakit ginjal terkait dengan peningkatkan prevalensi penyakit GGK di
Jepang. Adanya hubungan antara GGK dan gaya hidup yang berisiko akan membantu
dalam meningkatkan upaya-upaya pencegahan penyakit GGK dan gagal ginjal
terminal (Iseki, 2005).
2.3.7. Penggunaan Zat
Penggunaan zat baik legal maupun ilegal, memiliki risiko serius terhadap
kesehatan. Salah satu perilaku yang tergolong penggunaan zat adalah merokok.
Beragam penyakit dapat menyerang perokok diantaranya yaitu GGK. Gangguan ini
pada perokok, berawal dari gangguan fungsi ginjal karena terjadinya nepfrosklerosis
dan glomerulonefritis yang disebabkan kandungan zat dalam rokok. Seorang perokok
diperkirakan berisiko mengalami kejadian tersebut 1,2 kali lebih tinggi dari individu
yang tidak merokok. Risiko ini lebih tinggi bila jumlah rokok yang dihisap lebih dari
20 batang perhari. Individu yang merokok > 20 batang rokok perhari diperkirakan 2,3
kali lebih mungkin mengalami GGK dibandingkan yang merokok 1-20 batang sehari.
Pernyataan Ayers, Bruno dan Langford (1999) bahwa pola hidup yang tidak baik
dilihat dari penggunaan zat adalah perilaku berisiko seperti merokok, menggunakan
obat-obatan tidak sesuai dengan aturan yang telah diberikan, penggunaan zat kimia
yang berbahaya bagi tubuh, dan sebagainya. Perilaku ini bila dilakukan oleh individu
Universitas Sumatera Utara
dalam jangka panjang dapat mengakibatkan gangguan kerja ginjal yang berakhir
dengan GGK.
Merokok juga dapat meningkatkan risiko penyakit ginjal. Di antara insulin dan
non-insulin-dependent pasien dengan diabetes, merokok tampaknya menjadi faktor
risiko independen untuk nefropati dan mempercepat laju perkembangan gagal ginjal.
Pada pasien hipertensi, merokok secara independen meningkatkan risiko albuminuria
dan dapat menyebabkan penurunan fungsi ginjal. Peran merokok pada penyakit ginjal
primer kurang dikenal, namun penelitian telah menunjukkan hubungan dengan
perkembangan proteinuria pada pasien dengan penyakit ginjal polikistik dan
penurunan fungsi ginjal pada pasien dengan lupus nefritis, penyakit ginjal polikistik,
dan glomerulonefritis. Mereka yang merokok selama lebih dari 40 tahun memiliki
peningkatan risiko 45%, OR, 1,45, dalam kaitannya dengan pernah-perokok.
Demikian pula, dosis kumulatif lebih dari 30 pack/ tahun menghasilkan 52%
peningkatan risiko OR, 1,52. (Ejerblad, E, et al, 2004)
Pendapat lain yang juga mengemukakan, individu yang merokok berisiko
menderita GGK 2,5 kali lebih tinggi dibandingkan individu yang tidak merokok.
Risiko menderita GGK ini tetap lebih tinggi pada perokok, meskipun kemudian
memutuskan untuk berhenti merokok. Namun masih lebih rendah bila dibandingkan
dengan individu yang memutuskan untuk tetap merokok. Perokok yang telah berhenti
berisiko 1,08 kali menderita GGK sedangkan yang memilih untuk tetap merokok 2,4
kali lebih mungkin mengalami GGK .
Universitas Sumatera Utara
Mekanisme seseorang mengalami GGK yang berlanjut menjadi gagal ginjal terminal
yang diinduksi oleh rokok, terjadi melalui tiga cara. Secara sederhana dapat
dideskripsikan bahwa zat-zat racun yang terkandung di dalam rokok telah
mengakibatkan terjadinya disfungsi endotelial. Nikotin menyebabkan sel manusia
mengalami proliferasi di samping meningkatkan fibronectin sampai 50%. Hal ini
menginduksi ginjal mengalami fibrosis yang pada akhirnya mengurangi kerja ginjal
dalam mengeksresikan urin. Zat lain yang turut merusak ginjal yaitu cadmium (Cd)
yang terkandung di dalam rokok dimana penumpukan zat ini di korteks ginjal
mengakibatkan kerusakan jaringan karena toksisitas zat tersebut yang akan
menimbulkan jaringan parut pada ginjal. Mekanisme selanjutnya yaitu terjadi secara
hemodinamik (Hemodynamic mechanisms as potential mediators of smoking-induced
renal damage). Zat-zat berbahaya di dalam rokok selain memicu perubahan secara
langsung pada organ ginjal, berisiko meningkatkan tekanan darah dan jantung.
Peningkatan tekanan darah merupakan faktor penting terhadap progresivitas penyakit
GGK. Mekanisme kerusakan ginjal terakhir dapat terlihat secara histopatologik
(Histopathologic
features
of
smoking-induced
renal
damage).
Gambaran
histopalotogik yang ditemukan memperlihatkan progressi kerusakan glomerulus
ginjal pada perokok yang berat, hiperplasia arteri intra renal, penebalan dinding arteri
yang memicu nefrosklerosis dan kerusakan-kerusakan lainnya (Orth dan Hallan,
2008).
Selain rokok, menurut studi terhadap pasien yang menderita GGK yang
kemudian mengalami gagal ginjal terminal, ditemukan zat-zat lain yang dapat
Universitas Sumatera Utara
mengakibatkan terjadinya kerusakan ginjal. Zat tersebut diantaranya yaitu obat anti
nyeri. Observasi yang dilakukan selama 2 tahun memperlihatkan pasien yang telah
mengkonsumsi obat anti nyeri secara tidak tepat (lebih dari satu pil dalam seminggu)
sepanjang kurun waktu 2 tahun atau lebih untuk menghilangkan rasa sakit berisiko
mengalami kerusakan ginjal. Pasien yang bekerja dalam waktu lama pada sektor
industri, lebih mungkin mengalami gagal ginjal dibandingkan sektor lain. Sektor
industri tertinggi frekuensi penderitanya automobil (51%), diikuti pekerja konstruksi
17%, pengecoran logam 9% dan pekerja rumah sakit (6%) (O’Callaghan, C., 2007).
2.4. Haemodialisa
2.4.1. Pengertian Haemodialisa
Penggantian ginjal modern menggunakan dialisi untuk mengeluarkan zat
terlarut yang tidak diinginkan melalui difusi dan hemofiltrasi untuk mengeluarkan air,
yang membawa serta zat terlarut yang tidak diinginkan (O’Callaghan, C., 2007).
Menurut Sudoyo (2009) dialisis adalah suatu tindakan terapi pada perawatan
penderita gagal ginjal kronik. Tindakan ini sering juga disebut sebagai terapi
pengganti karena berfungsi menggantikan sebagian fungsi ginjal. Terapi pengganti
yang sering dilakukan adalah hemodialisa dan peritonealdialisa.
2.4.2. Prosedur Haemodialisa
Menurut O’Callaghan 2007 hemodialisa bertujuan untuk mengoreksi kelainan
metabolisme dan elektrolit akibat dari kegagalan ginjal. Kelainan metabolisme utama
yakni tingginya uremia di dalam darah dan hiperkalemi. Terapi dialisa dimaksudkan
Universitas Sumatera Utara
sebagai usaha untuk memisahkan hasil-hasil metabolisme dari darah dengan bantuan
proses difusi lewat membran yang semipermeabel (yang dapat menembus bahanbahan sisa tapi tidak dapat ditembus oleh darah dan plasma). Membran yang
semipermeabel ini memisahkan dua kompartemen dialisat yakni cairan yang
menghisap hasil metabolisme (ureum). Proses ini merupakan proses difusi maka
selain dari pada hasil metabolik dapat pula diatasi hiperkalemi asal saja cairan
dialisatnya bebas kalium atau mengandung kalium yang rendah. Pemindahan
metabolik maupun cairan atas dasar perbedaan konsentrasi antara plasma dan dialisat
dengan cara filtrasi. Lamanya hemodialisa dapat diprediksi dari tekanan yang
diberikan oleh mesin dialisa disamping jumlah darah yang melalui membran dialisa
dalam waktu 1 menit.
2.4.3. Komplikasi Haemodialisa
Hemodialisa dapat memperpanjang usia meskipun tanpa batas yang jelas,
tindakan ini tidak akan mengubah perjalanan alami penyakit ginjal yang mendasari
dan juga tidak akan mengembalikan seluruh fungsi ginjal. Komplikasi yang dapat
terjadi pada pasien yang menjalani hemodialisa meliputi ketidakseimbangan cairan,
hipervolemia, hipovolemia, hipertensi, hipotensi, ketidak seimbangan elektrolit,
infeksi, perdarahan dan heparinisasi dan masalah-masalah peralatan yaitu aliran,
konsentrasi, suhu dialisat, aliran kebocoran darah dan udara dalam sikuit dialisa
(Hudak & Gallo, 1996).
Tindakan hemodialisa dapat menyebabkan timbulnya berbagai komplikasi
yang berasal dari pemasangan kateter di pembuluh darah, berhubungan dengan air
Universitas Sumatera Utara
yang digunakan, penggantian cairan, komposisi dialisis, membran hemodialisa, dosis
yang tidak adekuat, karena antikoagulopati yang diberikan, dan komplikasi dari
hemoperfusi. Komplikasi yang berasal dari selang yang dimasukkan ke pembuluh
darah untuk tindakan hemodialisa beragam seperti kemampuan mengalirkan darah
yang cukup berkurang, pneumotoraks, perdarahan, terbentuknya hematoma, robeknya
arteri, hemotorak, embolisme, hemomediastinum, kelumpuhan saraf laring,
trombosis, infeksi dan stenosis vena sentral, pseudoneurisma, iskhemia, dan
sebagainya. Komplikasi terkait dengan air dan cairan yang diberikan terdiri atas
adanya bakteri dan pirogen dalam air yang diberikan yang dapat memicu timbulnya
infeksi, hipotensi, kram otot, hemolisis (bila komposisi elektrolit yang diberikan
rendah sodium), haus dan sindrom kehilangan keseimbangan (bila sodium tinggi),
aritmia (rendah dan tinggi potasium), hipotensi ringan, hiperparatiroidisme, petekie
(rendah kalsium dan magnesium), osteomalais, nausea, pandangan kabur, kelemahan
otot, dan ataksia (tinggi magnesium). (O’Callaghan, C., 2007).
2.5. Landasan Teori
Black dan Hawks (2006) menyatakan bahwa semua jenis hipertensi
dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan. Faktor-faktor ini dapat
diklasifikasikan menjadi faktor yang dapat dimodifikasi dan faktor yang tidak dapat
dimodifikasi. Faktor yang tidak dapat dimodifikasi umur, jenis kelamin, pendidikan,
riwayat penyakit, Studi case control di Swedia yang melibatkan 926 kasus dan 998
kelompok kontrol yang diamati selama tahun 1996-1998 menemukan bahwa terdapat
Universitas Sumatera Utara
korelasi antara gaya hidup merokok, kelebihan berat badan, intake protein terhadap
gagal ginjal kronik. Kebiasaan merokok meningkatkan risiko mengalami gagal ginjal
kronik sampai 52% dibandingkan tidak merokok, meskipun tidak ada hubungan
antara banyaknya rokok yang dihisap setiap hari dan lama kebiasaan tersebut telah
dilakukan, demikian halnya dengan kelebihan berat badan pada dewasa awal dan
obesitas sangat berhubungan dengan meningkatnya risiko mengalami gagal ginjal
kronik, pada BMI (Body Mass Index) lebih dari 30 kg/ m² pada laki-laki dan 35 kg/m²
pada wanita meningkatkan risiko 3 sampai 4 kali mengalami kerusakan ginjal.
Sedangkan kebiasaan diet tinggi protein, menyebabkan seseorang mudah menderita
diabetes yang memicu terjadinya nefropati diabetes yang menyebabkan gagal ginjal
kronik (Ejerblad, E, 2004).
Menurut National Institut of Mental Health mengartikan depresi sebagai suatu
penyakit tubuh yang menyeluruh (whole-body), yang meliputi tubuh, suasana
perasaan (mood), dan pikiran. Berpengaruh terhadap cara makan dan tidur, cara
seseorang merasa mengenai dirinya sendiri dan cara orang berpikir mengenai sesuatu.
Penelitian Ejerblad Elisabeth, et al, 2004 terhadap 56 pasien yang memiliki
diagnosis klinis nephrosclerosis hipertensi, hanya 26 pasien dengan penyakit
nephrosclerosis hipertensi, 19 pasien memiliki penyakit pembuluh darah ateromatosa.
Proses aterosklerosis di ginjal ditingkatkan oleh faktor risiko kardiovaskular yang
umum termasuk merokok. Merokok menginduksi baik sistemik dan intrarenal
perubahan hemodinamik yang dapat menjadi signifikan bagi perkembangan penyakit
Universitas Sumatera Utara
ginjal. Merokok melukai ginjal dengan merusak microvasculature ginjal melalui stres
oksidatif, mengurangi generasi oksida nitrat, dan meningkatkan konsentrasi plasma
endotelin. Merokok-induced disfungsi sel tubular lanjut dapat menyebabkan cedera
tubulointerstitial dan perkembangan CRF (Ejerblad, et al, 2004).
2.6. Kerangka Teori
Kerangka teori adalah ringkasan dari teori dan konsep yang telah di paparkan
sebelumnya. Kerangka ini berhubungan dengan penelitian yang akan dilakukan.
Kerangka teori dapat membantu menjawab pertanyaan penelitian dan memberikan
arahan penelitian.
Kerangka teori dalam penelitian ini di susun berdasarkan rangkuman tinjauan
pustaka, khususnya hubungan antara faktor risiko dengan tingkat kejadian GGK.
Faktor yang berpengaruh pada angka kejadian GGK diklasifikasikan menjadi dua
yaitu : faktor yang tidak dapat dimodifikasi umur, jenis kelamin, pendidikan, riwayat
penyakit, dan faktor yang dapat dimodifikasi
pekerjaan stress, obesitas, nutrisi,
konsumsi zat berbahaya, aktivitas fisik, dan gaya hidup.
Universitas Sumatera Utara
Kerangka teori secara sistematis dapat dilihat pada skema di bawah ini :
Faktor yang
tidak dapat di
modifikasi




Umur
Jenis Kelamin
Pendidikan
Riwayat Penyakit
Kejadian GGK
dan tidak GGK
Gaya Hidup
Aktivitas Fisik
Pekerjaan
Faktor yang
dapat di
modifikasi
Stress
Obesitas
Nutrisi
Konsumsi zat berbahaya
Gambar 2.6 Kerangka Teori Penelitian
Universitas Sumatera Utara
2.7. Kerangka Konsep
Variabel Independen
Variabel Dependen
Faktor Risiko
Status Kesehatan
• Riwayat penyakit sebelumnya
• Obesitas
• Stress
Gaya Hidup
•
Penggunaan zat
•
Pola Konsumsi
•
Aktivitas Fisik
Gagal Ginjal
Kronis
Kerentanan
Sosiodemografi :
• Umur
• Jenis kelamin
• Pendidikan
• Pekerjaan
Gambar 2.7 Kerangka Konsep Penelitian
Universitas Sumatera Utara
Download