R ESENSI B UKU Judul Buku Pengarang Penerbit Tahun Halaman : : : : : Figli nel Figlio. Una teologia morale fondamentale Réal Tremblay e Stefano Zamboni (a cura di) EDB, Bologna 2008 429 Judul buku di atas langsung memperlihatkan kepada kita arah pemikiran yang mau dibangun oleh para penulis. Buku ini adalah buku teologi moral dasar yang ditulis secara “keroyokan” oleh para teolog moral yang umumnya berkarya di Italia. Tulisan “keroyokan” ini sebetulnya adalah hasil diskusi dan refleksi dari kelompok diskusi Hypsosis. Kelompok ini adalah kumpulan teolog moral yang sering berkumpul untuk berdiskusi tentang masalah-masalah moral aktual yang muncul di dalam Gereja atau di dalam masyarakat. Seperti nampak pada judul di atas, buku ini ingin membangun moralitas kristiani dalam terang “keanakan” atau lebih tegas lagi harus disebutkan bahwa moralitas kristiani harus berakar dalam Ke-Anak-an Yesus Kristus sebagai Sakramen Bapa. Dasar pemikirannya adalah: Yesus Kristus sebagai tanda kehadiran Allah di dunia ini membawa keselamatan kepada manusia dan bertindak dalam ketaatan dan kesetiaan mutlak seorang Anak kepada Bapa. Yesus menjalankan tugas-tugasNya di dunia ini dalam ketaatan dan kesetiaan seorang Anak kepada Bapa. Bila kita bicara tentang “keanakan” maka unsur ketaatan dan kesetiaan adalah unsur yang dominan muncul dalam konsep itu. Apa itu ketaatan dan kesetiaan? Sering kali ketaatan dihubungkan dengan hukum. Taat berarti orang menjalankan hukum dan setia pada hukum itu. Buku ini ingin memperlihatkan sisi lain dari ketaatan itu. Ketaatan adalah sikap menyerahkan diri dan bersedia dibimbing oleh Allah. Orang bersedia berserah diri karena yakin bahwa Allah itu tidak pernah bohong. Allah itu adalah Allah yang senantiasa memberikan yang terbaik kepada anak-anak-Nya dan Ia tidak pernah mengingkari diri-Nya bahwa Ia baik. Sementara kesetiaan berarti kerelaan untuk menjalankan tugas-tugas tanpa pamrih. Orang yang setia dalam pengertian buku ini adalah orang yang mengikat diri pada komitmen untuk tidak mengecewakan dan melukai hati Allah. Bahkan ia rela berkorban demi memberikan yang terbaik bagi Allah. Dalam terang “keanakan” seperti konsep di atas itulah, buku ini ditulis dalam empat bagian. Bagian pertama berisikan empat bab. Bab pertama berbicara tentang moralitas di dalam Kitab Suci Perjanjian Lama. Pemilihan bangsa Israel sebagai bangsa khusus adalah pengangkatan mereka sebagai anak-anak Allah. Sebagai Resensi Buku — 201 anak-anak Allah, mereka harus menyucikan diri demi kemuliaan Allah. Artinya hidup mereka harus dipersembahkan dan bersedia dibimbing oleh Allah. Bab kedua ini dari buku ini berbicara mengenai moralitas di dalam Perjanjian Baru. Moralitas keputeraan Perjanjian Baru mempunyai tiga ciri: ketaatan seorang anak kepada Bapa, motivasi untuk bertindak adalah demi kemuliaan Bapa dan mengikuti Kristus. Tindakan harus dibangun di dalam ketiga ciri ini. Bab ketiga dan keempat lebih merupakan kajian historis akan keanakan itu dalam sejarah teologi moral dengan mengambil Konsili Vatikan II sebagai titik pembedanya. Nuansa yang sangat kuat yang dibangun di dalam kajian ini adalah: keanakan Kristus menjadi dasar dari martabat manusia. Di dalam Kristus, manusia mempunyai dimensi ilahi dan insani yang membawanya kepada kesempurnaan hidup. Kesempurnaan hidup manusia terjadi tatkala di dalam Kristus manusia berjumpa dengan Allah dan sesamanya. Bagian kedua dari buku ini terdiri dari empat bab. Sub judul dari bagian kedua ini adalah Radicati nel Figlio. Dari sub judul ini bisa langsung terasa bahwa moralitas kristiani harus berakar di dalam Yesus Kristus sebagai Anak Allah. Karena itu, bab kelima berbicara tentang arti Salib bagi manusia. Salib adalah tanda cinta Allah dalam Yesus Kristus bagi manusia supaya manusia memperoleh martabat sebagai anakanak Allah. Bab keenam mengupas soal kedudukan Kristus sebagai Anak dalam Allah Tritunggal. Kristus sebagai Anak dalam Allah Tritunggal adalah Allah yang mendamaikan manusia dengan Allah. Masih tentang Salib, bab ketujuh mengulas tentang kehadiran Kristus sebagai Anak Allah yang merupakan pemberian Allah bagi dunia ini dan sekaligus Ia menjadi rangkuman dari seluruh ciptaan. Kristus hidup dalam Ekaristi untuk membagi diri kepoada manusia. Maka Salib sebetulnya adalah simbol paling kelihatan yang menggambarkan perjumpaan dan sekaligus pemberian diri seorang Anak kepada Bapa. Bab kedelapan menulis tentang kemampuan manusia, sebagai anak, untuk mencari Allah. Manusia mempunyai capax Dei, yakni kemampuan yang dianugerahi oleh Allah untuk ikut di dalam proses “peranakan”. Dalam kesatuan dengan Kristus sebagai Anak Kesayangan Allah, manusia diangkat sebagai anak kesayangan Allah juga. Bagian ketiga dari buku ini lebih berisikan konsekuensi-konsekuensi etis dari antroplogi keanakan. Bagian ini terdiri dari tujuh bab. Bab kesembilan berbicara tentang tindakan moral sebagai anak-anak Allah. Tindakan moral kita manusia mengikuti tindakan moral Anak Allah yang berinkarnasi dalam kehidupan manusia. Artinya bahwa kita pun sebagai anak-anak harus masuk ke dalam dunia dan melaksanakan cintakasih sebagai tindakan moral. Namun manusia bebas untuk melakukannya (bab ke sepuluh). Manusia diberi kemampuan untuk hidup dalam kebebasan anak-anak Allah dan hidup menurut suara hati (bab kesebelas). Suara hati adalah tempat kehadiran Kristus yang mengaktifkan manusia untuk bertindak moral. Namun tidak hanya suara hati yang dimiliki manusia untuk menjumpai Allah. Allahpun senantiasa merahmati manusia dengan Roh Kudus (bab kedua belas). Dengan Roh Kudus itu, manusia mempunyai muatan ilahi sebagai anak- 202 — ORIENTASI BARU, VOL. 19, NO. 2, OKTOBER 2010 anak Allah untuk senantiasa “takut” akan Allah dan tetap menjaga kesucian diri. Untuk itu, manusia juga perlu memiliki keutamaan, yakni kecenderungan diri kepada Allah (bab ketiga belas) dan bertahan untuk menjalankan hukum kodrat manusia, yakni menjalankan yang baik dan menghindari yang jahat (bab keempat belas). Namun harus pula diakui bahwa idealisme untuk hidup sebagai anak-anak Allah tidak selalu berjalan mulus. Manusia sering melarikan diri dari Allah, seperti anak yang hilang dalam cerita Injil Luk 15:11-32 (bab kelima belas). Namun Allah senantiasa menunggu anakNya kembali kepangkuanNya karena Ia adalah Bapa yang hatinya baik. Bagian terakhir dari buku ini yakni bagian keempat diberi judul hidup sebagai seorang anak. Bagian ini lebih berbicara mengenai hidup sakramental sebagai seorang anak di hadapan Bapanya. Pembicaraan itu dimulai dengan Sakramen Baptis (bab keenam belas). Sakramen Baptis adalah sakramen yang menghantar manusia untuk “berjalan dalam hidup yang baru” (hlmn 336). Perjalanan itu terus dikuatkan dengan Sakramen Ekaristi (bab ketujuh belas). Ekaristi adalah peristiwa di mana Allah Putera memberikan diriNya kepada manusia dan Ekaristi merupakan perjamuan surgawi yang antisipatif. Perziarahan manusia menjadi lengkap tatkala ia membangun hidupnya dalam kebersamaan dengan anak-anak Allah yang lainnya yang terrangkum dalam paguyuban gerejawi (Bab kedelapan belas) dan sekaligus hidup sebagai anggota Gereja (bab kesembilan belas) yakni menjalankan pelayanan sebagai seorang anak. Bagian ini ditutup dengan dinamika sebagai seorang anak (bab kedua puluh) yang senantiasa memperbaharui dirinya. Yang baru yang ditawarkan buku ini adalah sebuah bangunan moralitas yang didasarkan pada keanakan kita manusia di hadapan Allah. Pola hubungan Bapaanak yang ditawarkan oleh buku ini dalam membangun moralitas akan mendorong manusia untuk mempunyai motivasi yang jujur dan bebas di dalam melakukan suatu tindakan moral. Relasi itu akan menghantar orang untuk menjadi taat dan setia sebagai seorang anak kepada bapanya. Orang yakin bahwa bapanya tidak pernah akan berbohong. Ia percaya bahwa bapanya baik hati. Penulis buku ini adalah A.M. Jerumanis, M. Doldi, A. Chendi, R. Tremblay, P. Laird, F. Maceri, A.M.Z. Igirukwayo, S. Zamboni, C. Cannizzaro, J. Mimeault dan kata pengantar dari L. Lorenzetti. Nama-nama ini memberi garansi kepada kita tentang bobot dari buku ini. Mereka sudah malang melintang sebagai dosen teologi moral di berbagai universitas di Italia. Buku ini didedikasikan khusus kepada Paus Benediktus XVI karena sebagian besar dari diskusi kelompok Hypsosis mempunyai kedekatan dengan Paus Benediktus, terlebih saat beliau belum menjadi Paus. Bahkan beliau kadang-kadang hadir dalam diskusi-diskusi dari kelompok ini. Buku sangat berbobot untuk dibaca. Memang buku ini cukup berat untuk dibaca karena pemikiran-pemikiran dogmatis sangat terasa di dalamnya. Bisa dimengerti karena para penulis di atas Resensi Buku — 203 mempunyai background studi teologi dogmatis. Namun buku ini cukup memberi pemahaman yang mendalam tentang moralitas dari perspektif dogmatis. Moralitas itu adalah kesetiaan seorang anak untuk melakukan “perintah” bapanya karena ia taat pada bapanya. Ia taat karena ia mencintai bapanya. Sebagai anak, manusia di hadapan Allah sebagai Bapanya, bertindak yang sama: setia melakukan perintah Allah karena mencintai Allah. Itulah yang dimaksudkan oleh buku ini sebagai morale filiale. (Mateus Mali). Judul Buku : Pengarang Penerbit Tahun Halaman : : : : Al-Quran, Sebagai Sabda Allah, Studi Kristiani Mengenai Doktrin Islam tentang Pewahyuan Y. B. Prasetyantha, MSF Kanisius, Yogyakarta 2010 106 Umat kristiani telah bertemu dan berinteraksi dengan umat Islam selama berabad-abad. Di dalam pertemuan dan interaksi itu sering terjadi kesalahpahaman yang menimbulkan konflik yang berujung kepada kekerasan. Banyak suka dan duka dialami oleh keduanya. Hal ini mendorong Gereja Katolik untuk berdialog dengan Islam. Gereja berusaha memahami Islam supaya kesalahpahaman yang menyebabkan konflik serta kekerasan dapat diminimalisasi. Oleh sebab itu, Y. B. Prasetyantha, MSF mencoba meneropong dasar iman Umat Islam, Al-Quran, dan sedapat mungkin mengomparasikannya dengan dasar iman kristiani. Buku yang terdiri dari 3 bab ini berdasarkan disertasi Y. B. Prasetyantha, MSF pada Universitas Kepausan Gregoriana, Roma, Italia (2005) yang berjudul The Incarnate Word of God: Christian and Islamic Doctrine on Revelation, A Study in Comparative Theology, khususnya bab III: “Islamic Doctrine on Revelation: Qur’an as Revelation.” Pada bab I pengarang mencoba menelusuri jejak kelahiran Al-Quran. AlQuran diyakini sebagai pewahyuan-pewahyuan yang diberikan oleh Allah melalui Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad. Pewahyuan-pewahyuan ini mengubah Muhammad dari warga Mekkah biasa menjadi seorang pelihat religius yang kemudian tidak hanya menjadi pemimpin dari bangsanya, tetapi menjadi pribadi yang paling berpengaruh di dalam seluruh sejarah manusia. Pewahyuanpewahyuan yang pertama terjadi di sebuah gua di Gunung Hira. Asal-usul ilahi AlQuran merupakan fundamen doktrin pewahyuan Islam. Umat Muslim memandang Al-Quran, baik isi maupun bentuk sebagai ilahi, dan Muhammad sebagai alat yang dipilih sendiri oleh Allah. Umat Muslim berkeyakinan bahwa Al-Quran, walaupun memiliki pertalian dan kontinuitas dengan Kitab Taurat Musa dan Kitab Injil Yesus (Isa), telah menggantikan dan membatalkan kitab-kitab itu karena kitab-kitab tersebut telah mengalami distorsi dan penyelewengan oleh umatnya. Satu-satunya 204 — ORIENTASI BARU, VOL. 19, NO. 2, OKTOBER 2010 kitab yang benar hanyalah Al-Quran sehingga satu-satunya jalan keselamatan adalah Islam. Al-Quran diyakini disalin dari sebuah Kitab Suci induk yang ada di surga. Meskipun demikian, pewahyuan Al-Quran turun secara bertahap per bagian sepanjang hidup Muhammad. Para pengikut Muhammad mencatat dan mengumpulkan pewahyuan ini. Pada proses kanonisasi awalnya terdapat banyak versi Al-Quran seperti versi Uthman, versi Ubbay bin Ka’b, versi Abd Allah bin Mas’ud, versi Ali bin Abi Talib, versi Abu Musa al-Ash’ari, dan versi Aisha (salah satu istri Muhammad). Bagaimanapun, umat Muslim menganggap bahwa salinan Al-Quran yang mereka miliki merupakan salinan yang sama, tanpa perubahan, atau variasi apapun dari kanon uthmanik dan menganggap versi-versi lain hanya sebagai salinan personal dari para individu yang bernilai untuk mendapatkan nilai eksegetisnya. Versi-versi ekstrakanonikal (nonuthmanik) itu tidak memperoleh persetujuan umum umat Muslim. Kanon uthmanik menjadi standar otoritatif AlQuran yang tertulis dari sejarah Islam. Pada bab II pengarang mencoba menyelami isi pokok Al-Quran. Al-Quran terdiri dari 114 bab (sura) dan masing-masing dibagikan ke dalam sejumlah ayat. AlQuran berisi bermacam-macam kisah, ketetapan-ketetapan, dan larangan-larangan dari sebuah hakikat yang quasi-legal. Al-Quran tidak disusun secara sistematis ataupun kronologis, tetapi disusun mulai dari sura yang paling panjang hingga sura yang paling pendek. Tema pokok di dalam Al-Quran adalah hubungan Allahmanusia. Al-Quran membukakan jalan bagi manusia untuk memahami kekuasaan Allah dan mengundang mereka untuk berserah diri (islam) kepada kehendak-Nya. Doktrin fundamental di dalam Al-Quran adalah “tiada Tuhan selain Allah”. Allah menurut Islam bukanlah “yang absolut abstrak”, melainkan Allah ada dan adalah satu; Allah adalah ada yang tertinggi yang kepada-Nya semua orang Muslim menyapa dan memohonkan dengan nama ‘Allah’. Al-Quran memakai kata ‘Allah’ sekitar 2.500 kali untuk menunjuk kepada Yang Transenden itu. “Sembahlah Allah, dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun” (Q 4:36) merupakan inti pesan Al-Quran kepada manusia. Hakikat manusia berada di dalam posisi yang sangat berseberangan dengan Allah. Manusia ciptaan sedangkan Allah adalah pencipta. Allah adalah Tuhan yang Mahakuasa (Rabb), sedangkan manusia hanyalah hamba-Nya (‘abd) dengan segala pengabdian dan kebergantungannya. Maka, manusia harus rendah hati, patuh, dan menyerahkan diri dengan sikap merendah. Manusia adalah milik Allah dan akan kembali kepadaNya dengan kematian. Kepulangan kepada Allah di dunia akhirat itu membutuhkan suatu perjuangan persiapan yang konstan (jihad) sampai hari akhir. Pada bab III pengarang mencoba membedah peran sentral Al-Quran di dalam kehidupan umat Muslim. Menurut Islam Sunni, khususnya Mazab Hanbaliah, AlQuran adalah kekal dan tak tercipta. Al-Quran adalah sabda transenden dan absolut Resensi Buku — 205 dari Allah. Dalam perkembangan teologi Sunni, Al-Quran adalah Sabda Ilahi (kalam Allah). Sabda adalah salah satu atribut/sifat esensial dari Allah. Allah kekal, maka Sabda pun kekal. Sabda bukanlah makhluk, maka tak tercipta. Sabda ini bukan dimengerti sebagai surat atau suara. Allah mewahyukan diri, berbicara, memerintah, melarang, dan bercerita dengan atribut-Nya ini. Al-Quran adalah petunjuk Allah yang dinamis, eksplisit, dan komplit. Dalam Al-Quran, umat Islam mengalami kehadiran Allah. Dengan mendaraskannya, umat Islam berhadap-hadapan dan berdialog dengan Allah. Maka, Al-Quran adalah manifestasi kehadiran Allah secara personal kepada umat Islam. Al-Quran kekal sekaligus ajaib (i’jaz). Sudah sejak masa Sang Nabi kontroversi atas Al-Quran terbentuk di kalangan mereka yang mendengarnya, khususnya di kalangan kaum Quraisy di Mekkah, dengan menunjukkan bahwa pendarasan ayatayatnya mempunyai efek pada mereka yang mendengarnya. Ayat-ayat i’jaz adalah ayat-ayat tantangan kepada mereka yang skeptis untuk membuat sesuatu yang seperti Al-Quran. Ayat-ayat ini menjadi jaminan teologis bahwa Al-Quran adalah suatu mu’jiz(a). I’jaz Al-Qur’an lainnya adalah ramalan peristiwa-peristiwa di masa depan dan penyingkapan pengetahuan yang tak diketahui sebelumnya. Orang Islam percaya bahwa Al-Quran adalah Sabda Ilahi yang murni. AlQuran adalah hukum moral bagi umat Islam. Moralitas dalam Al-Quran berasal dari Allah; manusia tidak dapat membuat hukum moral (yang serupa itu). Manusia harus menyerahkan diri (islam) kepada hukum itu. Konsekuensi dari islam adalah ‘ibada, “mengabdi kepada Allah”. Hukum moral dan nilai-nilai religius (dalam AlQuran) adalah Perintah Allah, dan kendatipun hukum dan nilai-nilai religius itu tidak identik dengan Allah secara keseluruhan, mereka merupakan bagian dariNya. Maka, Al-Quran secara murni adalah ilahi. Pewahyuan Allah dalam Al-Quran lebih memaksudkan ketaatan dari pada informasi. Al-Quran adalah tanggapan Ilahi, melalui pikiran Muhammad, terhadap situasi moral dan sosial Arab pada zaman Muhammad, khususnya persoalan-persoalan dari masyarakat Mekkah yang komersial pada masanya. Al-Quran adalah kitab suci yang unik oleh karena karakter linguistik dan estetiknya. Al-Quran harus selalu dengan Bahasa Arab dan, jikapun ditulis, harus dengan Huruf Arab (Kaligrafi). Ketika diterjemahkan, Bahasa dan Huruf Arab itu harus tetap disertakan karena revelasi Al-Quran diturunkan Allah dengan Bahasa Arab. Bahasa Arab itu sajalah ipsissima verba Allah. Al-Quran sebenarnya lebih merupakan teks oral dari pada tertulis. Revelasi quranik yang pertama kepada Muhammad dimulai dengan “bacalah (iqra’) atas nama Tuhanmu yang menciptakan”. Revelasi-revelasi quranik pada hakikatnya untuk didaraskan, dinyatakan, dan diperdengarkan terus-menerus. Salat, doa serta devosi pribadi seorang Muslim tidak sah bila tidak melafalkan sekurang-kurangnya sejumlah ayat tertentu dari Al-Quran dalam Bahasa Arab. Maka, setidaknya seorang muslim harus mengetahui dan hafal tujuh ayat singkat quranik dari Fatihah. 206 — ORIENTASI BARU, VOL. 19, NO. 2, OKTOBER 2010 Revelasi quranik itu pada akhirnya ditulis. Selama tiga abad pertama Islam, kaligrafi berkembang dengan pesat. Kaligrafi menjadi ekspresi seni nomor wahid dalam Islam. Kaligrafi menjadi hiasan dalam buku, gedung bangunan, kuburan, rumah, dan juga masjid. Selain sebagai perwujudan seni, kaligrafi juga edukatif karena diambil dari ayat-ayat yang mengingatkan umat Islam pada kebenarankebenaran iman Islam. Bagi umat Islam seni kaligrafi adalah suci. Sabda yang suci dari Allah ditulis sedemikian rupa dengan indahnya. Para seniman kaligrafi dan umat beriman yang membacanya dipersatukan dalam pencarian mereka akan yang tak terperikan. Y. B. Prasetyantha, MSF dengan baik telah menyelami fundamen iman umat Islam, Al-Quran, di dalam buku kecilnya tersebut. Dengan bahasa yang mengalir dan padat penulis berhasil menbedah asal-usul Al-Quran, proses kanonisasinya, dan peran sentralnya di tengah-tengah kehidupan Umat Islam. Namun, pengarang hanya meneropong Al-Quran dari perspektif mainstream Islam (orthodox) yang adalah Islam Sunni. Pengarang tidak memaparkan keanekaragaman aliran di dalam Islam yang tentu seandainya diulas, akan mendapatkan perspektif lain yang unik dan memperkaya mengenai Al-Quran. (Y. Padmo Adi Nugroho) Resensi Buku — 207