Pemberdayaan Puskesmas Berdasarkan

advertisement
TINJAUAN PUSTAKA
Esensi dan PentingnyaPelayanan Publik
Esensi dan pentingnya pelayanan publik dapat dipahami melalui konsep sektor
publik. Bapak ekonomi klasik Adam Smith (1776) melalui pekerjaan monumental dalam
bukunya yang sangat dikenal “The Wealth of Nations” mengetengahkan 3 (tiga) peran
dasar negara, yakni: Pertama, melindungi rakyat dari segala bentuk penjajahan dan
penindasan bangsa lain. Manifestasi tugas ini nampak pada kekuatan militer yang
diciptakan oleh negara.
Kedua, melindungi masyarakat dari aspek hukum dan ketidakadilan, wujud dari
tugas ini nampak pada diciptakannya berbagai peraturan dan perangkat lembaga
peradilan dan hukum untuk melindungi rakyat dari ketidakadilan.
Ketiga, menegakkan serta memelihara lembaga- lembaga publik untuk melakukan
tugas-tugas perlindungan terhadap rakyat. Bentuk aktivitasnya adalah berupa pelayanan
publik. (Aronson, 1985:14)
Tiga peran dasar Negara tersebut kemudian diasumsikan sebagai pembatas antara
apa yang har us dilakukan oleh negara dan pasar. Dikotomi tersebut diperkuat Smith
dengan mengandalkan apa yang disebut sebagai ‘the invisible hand’ (‘tangan yang tidak
terlihat’, atau mekanisme ‘pasar bebas’) yang diperkirakan mampu mengatur pemerataan
income dalam sistem perekonomian negara, sehingga negara tidak perlu turut campur
tangan di dalamnya. Paradigma ini banyak dianut oleh Negara-negara di Eropa barat
sekitar abad 18 an.
Sejarah kemudian mencatat, bahwa kemungkinan besar sektor publik tidak akan
berkembang sepesat seperti sekarang ini jika pasar berhasil menciptakan distribusi
income secara merata pada masyarakat, sebagaimana prediksi Smith sebelumnya.
Kenyataannya hingga abad 19-an, pasar bebas tidak bekerja sebagaimana diramalkan,
terjadi kegaga lan pasar atau market failure yang mencakup: Pertama, transaksi yang
dilakukan oleh sektor swasta pada kenyataannya gagal menyediakan sejumlah barangjasa yang diperlukan bagi hajat hidup masyarakat. Kedua, kegagalan dalam menciptakan
pemerataan penghasilan bagi sebagian besar masyarakat, karena sebagian masyakat tidak
35
memiliki sarana produksi, seperti modal, sumberdaya manusia, sumberdaya alam,
tehnologi, daya beli, dan berbagai sarana lainnya untuk akses ke pasar. Ketiga, bahwa
kedua kegagalan tersebut membawa implikasi kegagalan pasar dalam menciptakan
tingkat stabilitas pendapatan nasional dan lapangan kerja. (Aronson, 1985: 19 ).
Kondisi tersebut kemudian mengundang berbagai kritikan terhadap aliran
ekonomi klasik, dan memicu munculnya aliran baru yakni teori ekonomi neo-klasik yang
dipelopori oleh seorang ahli ekonomi Inggris, Keynes (1936) dengan anjurannya yang
bertolak belakang dengan teori ekonomi klasik, yakni agar negara berperan aktif dalam
mengontrol dan mengatur sistem perekonomian negara agar tercipta pemerataan
kesejahteraan bagi rakyat. Teori Neo-klasik mengajarkan konsep ‘social philanthropy’
yang kemudian dikembangkan sebagai bentuk perbaikan dan pertanggungjawaban peran
negara kepada warga negaranya serta untuk memecahkan masalah- masalah sosial yang
selama ini tidak mampu ditangani oleh sektor privat.
Sektor publik memiliki karakteristik dasar yang mudah ditandai yakni dengan
melihat institusi atau lembaga yang diciptakan dan didanai oleh negara baik melalui
pajak, subsidi, grant, loan, dan sebagainya yang pada dasarnya bertujuan untuk
memenuhi tuntutan dan kebutuhan rakyat. Apapun yang dilakukan oleh sektor publik
dapat dipastikan selalu berada pada domain atau proses politik.. Dalam hal ini , Chapman
dan Cowdell (1998:2 -3) mempertegas karakteristik tersebut sebagai berikut :
“These institutions are founded and funded by state, in the interest of state and,
through the state, in the interest of its citizens. Their aims are politically determined
by the state. Their budgets are sourced from taxation, both nationally and locally.
Funding is determined by allocation, rather than by use, and they are controlled, or
at least regulated, by state. The state is responsible for the legal obligation given to
such institutions and for the legal controls over what they do. Indeed it is one of
characteristics of public sector organizations that they are bounded by and operate
within extensive legislation which creates an often creaking bureaucracy, much of
which is concerned with the ‘proper’ use of public money”
Secara lebih jauh, ditinjau dari karakteristik kelembagaan, Chapman dan Cowdell
melihat sektor publik sebagai suatu organisasi yang memberikan manfaat pada
masyarakat luas dalam berbagai cara. Kebutuhan dan hajat hidup masyarakat luas
dipertemukan dengan konsep permintaan dan pelayanan barang – jasa oleh pemerintah
secara keseluruhan mela lui mekanisme politik. Karena orientasinya pada kemanfaatan
36
masyarakat luas tersebut, maka sifat sektor publik dikatakan altruistic dan tidak
berorientasi keuntungan.
“Public sector institutions are usually understood in the sense of the first
category. They are generally organizations, the purpose of which is to benefit
society in some way. They are concerned with satisfying social wants and needs –
that is, with meeting demands for services or support which benefit society as a
whole. They may therefore be said to be ‘altruistic’, with concern for others as a
guiding principle. As a result, they are generally non-profit-making
organizations”.
Sejalan dengan pemahaman Chapman dan Cowdell tersebut, Nutley dan Osborne
(1994:1) menambahkan bahwa sektor publik menggambarkan badan-badan pemerintah
yang memiliki kewenangan khusus yang diperoleh dari parlemen di mana mereka tunduk
dan bertanggung jawab padanya. Selain dari pada itu sebagian besar sektor publik walaupun tidak semuanya - didanai melalui pajak. Selanjutnya ditambahkannya pula
bahwa domain organisasi sektor publik mencakup pelayanan pemerintah pusat, daerah
dan industri-industri milik negara:
“ Public sector may have included some of the following : Central government
departments, agencies and services – such as defence, education, health and
social security. Local government departments and services – such as educations,
social services, and housing.Nationalized industries - such as British Rail, Post
Office”.
Untuk membedakan organisasi privat dan publik, Farnham dan Horton (1993:28 )
menyatakan bahwa:
“Private organizations are those created by individuals or groups for market or
welfare purposes. There are ultimately accountable to their owners or members.
Private organizations take the forms of unincorporated associations, companies,
partnerships, and voluntary bodies. Public Organizations are created by
government for primarily collectivistor political purposes. They ultimately
accountable to political representatives and the law. Their criteria for succsess
are less easy to define than are those of private organizations. Public
organizations cover a wide range of activities and encompass all those public
bodies which are involved in making, implementing and applying public policy.”
Di dalam prakteknya, garis pemisah antara dua sektor tersebut sangat kabur dan
sulit, demikian ditambahkan oleh Farnham dan Horton. Maksud nya adalah terkait dengan
37
wilayah atau domain kedua sektor yang semakin tidak jelas, pelayanan yang diciptakan
oleh organisasi sektor publik meluas dan semakin bervariasi serta tidak ditujukan sematamata pada misinya semula yakni social philanthropy, bahkan menyaingi bisnis swasta.
Terkait dengan masalah wilayah sektor publik, McKevitt (1998:1)mengemukakan
secara tegas, bahwa sesungguhnya domain utama sektor publik ada pada 4 (empat)
pelayanan inti yang terdiri dari, Health, Education, Welfare, dan Security (HEWS). Lebih
lanjut dijelaskan bahwa dalam Undang-Undang Negara manapun, ke empat pelayanan
inti tersebut menjadi tugas pelayanan pokok pemerintah pada warga negaranya.
Setidaknya pemerintah menjamin bahwa rakyatnya berhak memperoleh layanan inti
HEWS dan bebas dari permasalahan kegagalan pasar.
Lebih lanjut McKevitt juga memberikan alasan, mengapa hanya empat macam
pelayanan tersebut yang dikatakan menjadi inti dari pelayanan publik ? Dalam
penjelasannya, empat macam pelayanan tersebut digambarkan memiliki hubungan
interdependensi terhadap kesejahteraan rakyat secara umum. Artinya tingkat pendidikan
masyarakat akan mempengaruhi kesehatan, kesehatan akan mempengaruhi kesejahteraan
sosial-ekonomi, dan kesejateraan sosial-ekonomi akan mempengaruhi stabilitas
keamanan, begitu seterusnya membentuk suatu siklus yang saling berkaitan. Sehingga
dalam rangka menjalankan tugas pokoknya, negara minimal harus menjamin keempat
pelayanan inti tersebut berjalan secara baik, jika misi altruism negara ingin tetap terjaga
Secara filosofis, pelayanan publik memiliki makna yang besar bagi kehidupan
dalam suatu negara dan tidak dapat diukur melalui keuntungan atau apapun secara
individual, karena kemanfaatannya lebih dirasakan secara kolektif atau lebih tepat yakni
menyangkut hajat hidup orang banyak (baca:rakyat). Demikian pula dalam hal
pengelolaan dan pemeliharaannya, menjadi tanggung jawab kolektif dalam hal ini negara,
dan bukan orang perseorangan. Filosofi pelayanan publik ini secara jelas telah
diungkapkan oleh Adam Smith (1776) dalam “The Wealth of Nations” (dalam Chapman
and Cowdell, 1998: 2) sebagai berikut :
“…..those public institutions and those public works, which though they may be in
the highest degree advantageous to a great society, are, however, of such a nature
, that the profit could never repay the expense to any individual, or small number
of individuals, and which it, therefore, cannot be expected that any individual, or
small number of individuals, should erect or maintain”
38
Esensi pelayanan yang berorientasi pada kepentingan masyarakat secara luas
tersebut, sekaligus juga menggarisbawahi makna ‘publik’ pada istilah pelayanan publik
itu sendiri. Hal ini sebagaimana dibenarkan oleh Chapman dan Cowdell (ibid :114)
bahwa “The definition of the public calls it ‘the community as an aggregate’ , with
community meaning a body of people living in the same locally, and an aggregate
meaning of a collection unit, or people, ...” Kenyataannya, dalam pelayanan publik
secara spesifik istilah ‘publik’ lebih mengacu ‘as a collection of groups”. Misalnya
kelompok masyarakat pelanggan jasa kesehatan, kelompok pelanggan jasa pendidikan,
dan seterusnya.
Selain dari itu, makna pelayanan publik yang mengandung istilah kolektif antara
lain juga dapat ditandai pada model pembiayaannya yakni melalui pajak, dari pada
melalui penerimaan dari hasil penjualan secara private. Mengenai hal ini dapat dipahami
pada definisi pelayanan publik yang diketengahk an oleh Farnham dan Horton (1993)
berikut ini:
“The public services are broadly defined as those major public sector
organizations whose current and capital expenditures are funded primarily by
taxation, rather than by raising revenue through the sale of their services to
either individual or corporate consumers. The public services so defined,
include the civil service, local government, the National Health Service (NHS),
and the educational and police services.”
Badan atau agen penyelenggara pelayanan publik kemudian tidak terbatas pada
pemerintah pusat atau pemerintah daerah semata, namun juga mencakup perusahaanperusahaan negara yang diciptakan oleh pemerintah dalam rangka penyediaan pelayanan
secara langsung. Osborne dan Nutley (1994:1) mempertegas hal ini, yakni:(1) Pelayanan
publik yang diselenggarakan oleh Departemen Pemerintah Pusat, seperti pertahanan
keamanan, kesehatan, pendidikan, sosial, (2) Pelayanan publik yang diselenggarakan oleh
Pemerintah Daerah, seperti air bersih, sampah, kesehatan, serta (3) Pelayanan publik
yang diselenggarakan oleh Industri atau Perusahaan yang bersifat nasional , seperti
listrik, kereta api , kantor pos, telepon, dan sebagainya
Pelayanan publik di bidang kesehatan sebagaimana telah diketengahkan oleh
Mckevitt pada bahasan sebelumnya, merupakan pelayanan inti yang memiliki urgensi
39
tinggi terhadap sistem kesehatan penduduk baik secara regional maupun nasional. Secara
jelas WHO (World Health Organization) merumuskan sistem kesehatan sebagai suatu
kesatuan faktor- faktor kesehatan yang kompleks dan saling berhubungan dalam suatu
Negara yang diperlukan untuk memenuhi tuntutan kesehatan baik perorangan, keluarga,
kelompok, masyarakat, di suatu Negara (WHO,1984, dalam Azwar, 1996:14).
Selanjutnya sistem kesehatan mencakup hal yang amat luas, Azwar (1996:14)
menyatakan bahwa sistem kesehatan terdiri dari : (1) Sub sistem pelayanan kesehatan,
dan (2) Sub sistem pembiayaan kesehatan. Untuk menghasilkan suatu pelayanan
kesehatan yang baik, kedua sub sistem tersebut harus ditata dan dikelola dengan baik.
Dalam tinjauan pustaka ini selanjutnya akan disoroti tentang sub sistem pelayanan
kesehatan.
Sub sistem pelayanan kesehatan menurut Levy dan Loomba (1973, dalam Azwar,
1996:35), memiliki makna sebagai upaya yang diselenggarakan sendiri atau secara
bersama-sama dalam suatu organisasi untuk memelihara atau meningkatkan kesehatan,
mencegah dan menyembuhkan penyakit serta memulihkan kesehatan perseorangan,
keluarga, kelompok atau masyarakat. Berdasarkan pada batasan tersebut maka
karakteristik pelayanan kesehatan ditentukan oleh pengorganisasian pelayanan (apakah
dilaksanakan secara sendiri atau dalam organisasi formal), kemudian ditentukan oleh
ruang lingkup kegiatan (apakah mencakup salah satu atau keseluruhan dari pemeliharaan,
pencegahan, pengobatan, pemulihan kesehatan), dan ditentukan pula oleh sasaran
pelayanan kesehatan (apakah perorangan, keluarga, kelompok, atau masyarakat)
Hodgetts dan Cascio (1983, dalam Azwar, 1996:36-39) membedakan pelayanan
kesehatan dalam dua bentuk yakni : (1) Pelayanan kedokteran (medical services) yang
ditandai dengan cara pengorganisasian yang bersifat sendiri (solo practice) atau secara
bersama-sama dalam suatu lembaga kesehatan (institution). Tujuan utamanya adalah
untuk menyembuhkan penyakit, dan sasaran utamanya adalah perseorangan atau
keluarga. (2) Pelayanan Kesehatan Masyarakat (public health services), yang ditandai
dengan pengorganisasian yang dikelola oleh baik pemerintah (pusat dan atau daerah)
maupun swasta. Tujuannya adalah untuk memelihara, mencegah, dan menyembuhkan
penyakit. Sedangkan sasaran utamanya adalah kelompok atau masyarakat.
40
Pelayanan kesehatan sebagai suatu sistem pada umumnya dibagi dalam beberapa
strata. Somers dan Somers (1974,dalam Azwar, 1996:40) mengetengahkan stratifikasi
pelayanan kesehatan sebagai : (1) Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama (primary health
services) yakni pelayanan kesehatan yang bersifat pokok (basic), yang sangat dibutuhkan
oleh sebagian besar masyarakat dan mempunyai nilai strategis dalam meningkatkan
derajad kesehatan masyarakat. Pada umumnya pelayanan kesehatan tingkat pertama ini
berupa pelayanan rawat jalan (ambulatory/out patient services). (2) Pelayanan Kesehatan
Tingkat Kedua (secondary health services) yakni pelayanan kesehatan lebih lanjut, telah
bersifat rawat inap (in patient services) dan untuk menyelenggarakannya telah
dibutuhkan tersedianya tenaga-tenaga spesialis. (3) Pelayanan Kesehatan Tingkat Ketiga
(tertiary health services) yakni pelayanan kesehatan yang bersifat lebih kompleks dan
umumnya diselenggarakan oleh tenaga-tenaga spesialis.
Dalam konsep pelayanan kesehatan tersebut Puskesmas dapat digolongkan dalam
karakteristik public health services yang memberikan pelayanan kesehatan tingkat
pertama. Sebagaimana telah diungkapkan, bahwa urgensi pelayanan kesehatan seperti
Puskesmas adalah sangat penting dan mempunyai nilai strategis yang tinggi terhadap
derajad hidup masyarakat di suatu wilayah.
Tinjauan Konsep Perubahan
Dalam Kaitannya dengan Pemberdayaan Pelayanan Publik
Selanjutnya dalam tingkat urgensi yang demikian tinggi, pelayanan kesehatan yang
dikelola oleh pemerintah khususnya di negara-negara berkembang seperti halnya di
Indonesia menghadapi tantangan yang cukup berat. Lingkungan yang terus menerus
berubah menuntut pelayanan publik dapat beradaptasi dengan lingkungannya. Tinjauan
terhadap konsep perubahan dalam bagian ini antara lain bertujuan untuk memberikan
penekanan arti perubahan dalam pemberdayaan pe layanan publik bidang kesehatan,
sebagaimana diketengahkan oleh Jenkins bahwa ’empowerment means making changes’.
Pemberdayaan Pelayanan publik di bidang kesehatan (dalam hal ini Puskesmas),
dengan demikian dapat dipandang sebagai bagian dari upaya menciptakan perubahan dan
mengantisipasi perubahan lingkungan. Sementara perubahan itu sendiri merupakan
41
sesuatu yang mustahil untuk dihindari dalam era modernisasi dan globalisasi saat ini.
Kesadaran pelanggan akan nilai-nilai mutu pelayanan yang baik, kesadaran masyarakat
tentang hak-hak mereka dalam menerima pelayanan publik secara sepatutnya, dan
masalah nilai- nilai hak azasi manusia yang menjadi bagian pelayanan publik baik secara
filosofis maupun dalam praktiknya, secara keseluruhan membentuk sifat kritis pelanggan
masyarakat untuk tidak begitu saja menerima layanan yang cacat.
Berdasarkan pada tuntutan lingkungan tersebut, maka pemberdayaan pelayanan
publik akan lebih bermakna ketika perubahan-perubahan yang terjadi di dalamnya adalah
terkait dengan peningkatan kualitas pelayanan yang mengacu pada pemuasan kebutuhan
pelanggan atau masyarakat. Secara internal perubahan-perubahan tersebut seharusnya
juga memberikan kesempatan bagi individu- individu pelaksana pelayanan publik untuk
berubah.
Konsep perubahan yang diketengahkan Senge, et al (1999:33), mengetengahkan
bahwa organisasi adalah hasil dari cara-cara orang berpikir dan berinteraksi di dalamnya.
Karena itu setiap perubahan apapun yang ada di dalam organisasi, harus memberi
kesempatan bagi orang-orang di dalamnya untuk mengubah cara-cara berpikir dan
berinteraksi mereka. Perubahan orang-orang dalam organisasi tidak bisa hanya dilakukan
dengan peningkatan pelatihan semata- mata, atau dengan menggunakan pendekatan
kontrol, atau perubahan manajemen secara tangible, melainkan harus melibatkan
‘pemberian kesempatan’ dalam berbagai aktivitas baru pada orang-orang agar dapat
mengembangkan kapabilitasnya sedemikian rupa untuk perubahan.
Konsep perubaha n Senge et al tersebut memberikan arti, bahwa pemberdayaan
seharusnya tidak hanya sekedar mengubah, melainkan memberikan kesempatan untuk
berubah. Dalam hal ini tentunya organisasi harus memfasilitasi individu- individu dalam
proses perubahan tersebut. Sala h satu yang diketengahkan oleh Senge adalah kesempatan
untuk belajar. Memberikan kesempatan belajar berarti organisasi telah melakukan
investasi terhadap pengembangan ide-ide baru, bakat atau kapabilitas baru yang selama
ini tidak terdeteksi melalui pola interaksi yang terencana dan terarah. Secara kongkrit,
pendelegasian pemikiran, kesempatan dalam pengambilan keputusan, kewenangan, dan
metode bertindak, menjadi inti dari perubahan orang-orang di dalam organisasi.
42
Pemikiran-pemikiran yang terkait dengan perubahan organisasi kemudian
bermunculan dalam berbagai bentuk teori maupun konsep, antara lain adalah konsepkonsep perubahan dan pengembangan organisasi (Organization Development / OD) yang
mengkaitkan perubahan dengan perilaku manusia dan budaya organisasi (Beckhard,1969)
kemudian konsep pembelajaran organisasi (Learning Organization) yang memandang
perubahan organisasi sebagai cara untuk memberikan kesempatan pada orang-orang di
dalamnya untuk meningkatkan kapabilitasnya (Senge, 1999; Maycunich,2000).
Terdapat beberapa kekuatan yang menghubungkan perubahan-perubahan dalam
organisasi. Dalam konsep “administrative reform” yang diketengahkan oleh Caiden
(1969:4), dinyatakan bahwa perubahan dalam organisasi atau dalam masyarakat tidak
terjadi dengan sendirinya, setidaknya ada 4 (empat) kekuatan yang mendorong timbulnya
perubahan, yakni: (1) gerakan yang menghubungkan antara perubahan dengan
lingkungan, (2) gerakan yang menghubungkan antara perubahan dengan ide- ide baru atau
inovasi, (3), gerakan yang menghubungkan antara perubahan dengan penghapusan
masalah- masalah sosial, dan (4) gerakan yang menghubungkan perubahan dengan sifat
kecenderungan membandingkan dan mengevaluasi aktifitas-aktifitas sosial. Menurut
Caiden, semua bentuk reformasi dalam organisasi merupakan bagian dari perubahan
sosial. Perubahan sosial merupakan dinamika lingkungan yang sewaktu-waktu dapat
mempengaruhi organisasi. Caiden lebih memaknai perubahan dalam organisasi sebagai
suatu ‘reform’ yakni perubahan yang secara sengaja diciptakan, artificial atau buatan,
dapat dihindari jika tidak diperlukan, dan memiliki tujuan moral (moral purpose).
Sementara itu para pemerhati lingkungan organisasi mengaitkan perubahan
organisasi dengan perubahan lingkungannya . Era globalisasi dan perdagangan bebas yang
dikaitkan dengan kelangkaan sumber-sumber karena ketatnya persaingan dewasa ini
menjadi alasan bahwa perubahan organisasi diperlukan. Daft (1992:71) mendefinisikan
lingkungan sebagai : “The environment is infinite and includes everything outside the
organization”. Selanjutnya, dari definisi lingkungan tersebut, Daft memberikan definisi
lingkungan organisasi yakni : “As all elements that exist outside the boundary of the
organization and have the potential to affect all or part of the organization. Berdasarkan
konsep Daft tersebut maka stakeholders organisasi yang menjadi boundary pertama yang
43
harus diperhatikan dalam perubahan, adalah pelanggan, pegawai, manajemen, pemasok,
dan pesaing.
Dengan demikian apa yang dimaksud dengan perubahan organisasi itu ? Beckhard
(1969, dalam Tyson dan Jackson, 2000:209)) mendefinisikan perubahan organisasi
sebagai : ‘Usaha terencana, organisasi luas dan dikelola dari atas untuk meningkatkan
efektifitas dan kesehatan or ganisasi melalui intervensi terencana dalam proses-proses
organisasi yang menggunakan ilmu pengetahuan sosial”.
Sejalan dengan konsep pemberdayaan dalam organisasi pelayanan publik, maka
makna perubahan menjadi tema penting yang terkait dengan tujuan dari pemberdayaan
itu sendiri. Pemberdayaan mengacu pada definisi Beckhard tersebut adalah sebagai usaha
terencana untuk melakukan perubahan-perubahan dalam organisasi dan individu-individu
yang ada di dalamnya melalui berbagai intervensi terencana terhadap aktivitas yang
dilakukan oleh organisasi. Sebagai contoh, pemberdayaan kapabilitas dan kapasitas
pegawai misalnya, pasti akan mengikutsertakan sejumlah intervensi- intervensi organisasi
dalam berbagai bentuknya, apakah melalui perubahan peraturan, policy, metode, dan
bahkan intervensi dalam mengubah perilaku, melalui pendidikan pelatihan misalnya.
Dalam konsepnya tentang ‘Three categories of change’ (perubahan diawali
dengan kemampuan struktur kewenangan, teknologi, dan perilaku), Robbins dan Decenzo
lebih mengacu pada sequensial perubahan yang diawali oleh adaptasi organisasi terhadap
perubahan lingkungannya. Dalam organisasi yang adaptif perubahan tersebut direspon
oleh organisasi melalui hubungan kewenangan, mekanisme koordinasi, desain pekerjaan,
dan kontrol, Selanjutnya perubahan struktur ini akan diikuti oleh perubahan teknologi
kerja mencakup proses kerja, metode kerja, dan peralatan. Jika orang-orang dalam
organisasi belum memiliki kapasitas dan kapabilitas yang sesuai dengan perubahan yang
baru diadopsi, maka orang-orang ini harus diubah perilaku, sikap, harapan, maupun
persepsinya. Dapat dikatakan bahwa tingkat intervensi tertinggi dalam perubahan
organisasi adalah kewenangan dan policy, kemudian intervensi terhadap metode atau
cara, dan terakhir adalah perilaku para pelaksananya.
Dalam hubungannya dengan pemberdayaan yang mengindikasikan suatu
perubahan organisasi yang terencana dan dikelola dengan memanfaatkan intervensi,
muncul pertanyaan, sejauh mana perubaha n-perubahan tersebut dapat dikelola secara
44
baik dan berhasil atau bermanfaat bagi organisasi ? Linda Ackerman (1984, dalam Jick
dan Peiperl, 2003:2) memaknai perubahan sebagai sesuatu yang direncanakan dan
berbentuk respon atau kekuatan-kekuatan yang menekan organisasi. Dalam hal ini
Ackerman menyatakan, bahwa mengelola perubahan tergantung pada macam atau jenis
perubahan itu sendiri. Ackerman menyatakan sekurang-kurangnya ada 3 (tiga) macam
bentuk atau tipe perubahan, yakni : (1) Development change, yakni perubahan yang
berupa perbaikan ketrampilan, metode atau kondisi, guna mencapai harapan yang lebih
baik. Pengelolaan tidak begitu rumit dan dapat dilakukan secara linier dari A ke B. (2)
Transitional Change. Perubahan bentuk ini memerlukan step-step peruba han yang
bersifat bertahap dan pelan dimulai dari menata kembali organisasi, membuat proyek
contoh perubahan, dan baru mengoperasionalkannya secara penuh. Tugas manajemen
menjadi kompleks karena masa transisi dari yang lama ke yang baru.dan yang terakhir
adalah (3) Transformational Change. Tipe perubahan ini dikatakan sebagai tipe paling
radikal, karena secara total organisasi mengubah variabel- variabel tertentu, seperti
misalnya mengkonsepkan kembali visi- misi, budaya, tujuan, dan kepemimpinan
organisasi secara total. Pengelolaan perubahan jenis ini diakui sangat sulit, diperlukan
analisis total lingkungan organisasi, dan komitmen seluruh stakeholder-nya.
Jika perubahan organisasi dapat dikelola sesuai dengan jenis – jenis perubahan
sebagaimana diketengahkan oleh Ackerman tersebut, maka tidak demikian dengan
perubahan perilaku manusia dalam organisasi. Perubahan yang mengacu pada
peningkatan atau kontrol terhadap kinerja pegawai misalnya, sulit untuk dikelola apabila
tidak disertai dengan pengetahuan terhadap kesiapan orang-orang dalam organisasi untuk
berubah.
Terkait dengan hal tersebut, maka kesiapan orang untuk berubah terdapat pada 2
(dua) kekuatan yang ada dalam individu-individu itu sendiri. Kekuatan tersebut meliputi
pertama, pengetahuan dan ketrampilan dasar, kesadaran diri, dan toleransi terhadap
ambiguitas.Bahkan ada bukti yang menyatakan bahwa tingkat motivasi dan harga diri
berperan penting dalam kesiapan individu untuk berubah. Kekuatan kedua adalah
berkaitan dengan sistem yang meliputi budaya dan iklim organisasi, dan konsekuensi
yang dirasakan terhadap kegagalan atau keberhasilan organisasi. Gabungan faktor-faktor
tersebut memberikan diskripsi mengenai rasa aman (Tyson dan Jackson 2000:237).
45
Selanjutnya Carnall (dalam Tyson dan Jackson, 2000:237) mengetengahkan, jika
rasa aman tinggi atau rendah, maka respon terhadap perubahan akan banyak berupa
penolakan, penekanan, ataupun distorsi.
.
Robbins dan Decenzo (2001:236) menunjuk pada 3 (tiga) alasan mengapa orang
cenderung resisten terhadap perubahan. Pertama, orang-orang sering berasumsi negative
terlebih dahulu terhadap perubahan, sebelum menyimak dengan baik manfaatnya.
Perubahan diasumsikan sebagai yang tidak pasti (uncertainty), penuh keragu-raguan
terhadap sesuatu yang belum diketahuinya karena masih baru. Kedua, sebagian besar
orang-orang takut terhadap perubahan karena takut kehilangan sesuatu yang bernilai.
Sebut saja kedudukan, investasi, pertemanan, kelompok, dan hal-hal lain yang bernilai
bagi manusia. Ketiga, mempercayai perubahan sebagai hal yang tidak baik bagi
organisasi. Orang-orang dalam organisasi secara diam-diam akan menganalisis
perubahan-perubahan yang ada, dan memberikan penilaian. Hasil analisa mereka dapat
negative atau positif, artinya tergantung pada kesesuaian perubahan dengan manfaatnya
secara individual bagi mereka.
Dalam ilmu penyuluhan pembangunan, dikenal teknik untuk menurunkan
resistensi, misalnya dalam metode pembelajaran orang dewasa secara lateral, orang-orang
belajar tanpa harus ‘terpaksa’, karena pendidik menempatkan secara sejajar dirinya
dengan peserta didi, dengan demikian apa yang dikatakan dengan ‘kehilangan harga diri’
tidak akan terjadi.
Robbins dan Decenzo (2001:237) mengetengahkan teknik -teknik penurunan
resistensi sebagai berikut: (1) ketika resistensi terjadi karena kurangnya informasi
perubahan, maka teknik yang sesuai adalah melalui pendidikan dan komunikasi. (2)
Apabila orang-orang yang resisten memiliki keahlian untuk membuat kontribusi atau
sumbangan dalam perubahan, maka teknik yang digunakan adalah partisipasi atau
melibatkan orang-orang yang resisten tersebut dengan aktifitas perubahan. (3) Apabila
orang-orang merasa ketakutan atau merasa terasing pada perubahan, maka teknik yang
digunakan adalah memfasilitasi dan memberikan dukungan dan negosiasi bahkan
‘membeli’ komitmen mereka. (4) Apabila resistensi terjadi pada kelompok-kelompok
yang memiliki kekuatan/ kewenangan, maka teknik yang digunakan adalah cooptasi,
merger, atau mengajak mereka untuk bergabung atau berasosiasi. Dan yang terakhir (5)
46
ketika kelompok-kelompok yang memiliki kekuatan sulit untuk diajak kerjasama, maka
teknik ‘paksaan’ berupa sanksi yang tegas dapat digunakan.
Menurut Tyson dan Jackson (2000:243) , kerangka terbaik untuk mengatasi
perubahan adalah memperhatikan individu dan menganalisis situasi dan pengalaman
organisasi di masa lalu. Kadang-kadang perubahan besar tidak diperlukan, justru
perubahan yang memerlukan perbaikan sederhanalah yang baik, perubahan yang
membuat sesuatu yang sudah berjalan baik menjadi lebih baik. Jika perubahan-perubahan
sederhana ini dilakukan secara terus menerus, maka kebutuhan akan perubahan besar
dapat berkurang.. Greiner (dalam Tyson dan Jackson,2000) menyebut hal ini sebagai
‘struktur kebiasaan’. Namun kadang-kadang struktur kebiasaan menghambat penyesuaian
terhadap perubahan. Yang terpenting menurut Greiner adalah bagaimana organisasi dapat
menyiapkan umpan balik yang berguna bagi pegawai selama proses perubahan. Umpan
balik dapat dirancang dan bermacam- macam dan menyangkut perilaku manajerial, seperti
keamanan, dihargai ide- ide dan gagasan, kepemimpinan yang mendukung kreatifitas,
demokratis, dan lain- lainnya.
Dapat ditarik benang merah dari pembahasan konsep perubahan tersebut, pertama,
bahwa perubahan terkait dengan suatu upaya organisasi dalam mengantisipasi dan
menghadapi perubahan lingkungan. Kedua, perubahan terkait dengan pemberdayaan baik
organisasi maupun individu. Perubahan yang tidak memberdayakan adalah perubahan
yang tidak bermanfaat. Oleh karena itu orang-orang yang akan diubah sebaiknya
diberikan kesempatan dan fasilitas untuk dapat berubah. Ketiga, perubahan menuntut
kesiapan organisasi untuk berubah. Perubahan berarti memberikan kesempatan pada
siapapun untuk belajar berubah, sehingga perubahan adalah suatu proses. Keempat, tidak
mustahil bahwa didalam suatu perubahan akan terjadi penolakan atau resistensi.
Di dalam pelayanan publik sejak era defisit anggaran tahun 1980-an, terjadi
perubahan yang mendasar terhadap kuantitas dan kualitas pelayanan publik di berbagai
negara. Perubahan paradigma pelayanan publik selaras dengan perubahan lingkungan
dunia saat itu, di mana titik awal dan koreksi terhadap pelayanan publik dimulai.
Amerika Serikat dan Inggris adalah dua negara besar yang merasakan bahwa public
expenditures mereka membengkak karena besarnya subsidi pelayanan publik. Munculnya
gerakan privatisasi yang dipelopori oleh Presiden Amerika Serikat Rona ld Reagan dan
47
Perdana Menteri Inggris Margareth Thacher pada tahun 1979, membawa dua implikasi
perubahan sekaligus, yakni di satu sisi mengurangi beban negara dari pengeluarannya
yang berupa subsidi, di sisi lain mengandung makna perubahan besar terhadap ethic dan
manajerial sektor publik, antara lain munculnya perhatian terhadap pembenahan dan
pembaharuan pelayanan publik yang selama ini dinilai tidak efisien dan tidak efektif,
serta memiliki kinerja yang rendah.
Di negara-negara berkembang, kegagalan pasar disikapi oleh pemerintah dengan
peran sentral pemerintah yang dominan, segala sesuatunya ditetapkan secara ‘top-down
policy’ oleh pemerintah. Pelayanan publik lebih banyak dikelola dan disediakan oleh
pemerintah serta diatur dalam suatu mekanisme politik. Tangan-tangan politik dengan
berbagai kepentingannya sering berada di balik berbagai macam pelayanan masyarakat.
Indonesia pada jaman orde baru pernah menempatkan birokrasi pelayanan publik sebagai
mesin partai mayoritas pada saat itu. Masyarakat tidak memiliki pilihan dan harus
menerima kondisi monopoli pemerintah sebagai satu-satunya pemenuhan hajat hidup
mereka. Kondisi ini tentu saja membawa implikasi yakni semakin resistennya birokrasi
terhadap masukan dan kritikan masyarakat. Chapman dan Cowdell ( 1998:12)
memperjelas hal tersebut sebagai perilaku ‘we know best’ yang merupakan sindiran bagi
pemerintah yang merasa seolah paling mengetahui apa yang dibutuhkan masyarakat, dan
karenanya masyarakat tidak perlu protes atau komplain.
Perubahan yang dituntut masyarakat pada era tersebut seperti gayung bersambut
sejalan dengan perubahan era defisit dunia. Birokrasi dituntut untuk memberikan
pelayanan publik secara murni, dan harus terlepas dari kungkungan mesin politik.
Munculnya gerakan privatisasi selain mengindikasikan kembalinya pasar bebas,
juga merupakan kritik luas terhadap peran negara dalam pelayanan publik. Menurut para
ahli, pelayanan publik memerlukan paradigma baru yang mampu membawa pencerahan,
dan perubahan. Pe layanan publik diharapkan memposisikan dirinya pada lingkungan
politik dan birokrasi yang tidak rigid. Walaupun untuk terlepas sama sekali adalah suatu
kemustahilan, namun setidaknya ‘otonomi’ bagi sektor publik harus berjalan secara
rasional dan menekanka n pada prinsip-prinsip pelayanan yang mengacu pada pemenuhan
kebutuhan dan kepuasan masyarakat. Perbedaannya dengan sektor private adalah sesuatu
yang tidak perlu dibahas secara mendetail – perbedaan tersebut justru memberikan warna
48
dan karakteristik khas masing- masing pelayanan – konsentrasi dapat diarahkan pada
bagaimana mengadopsi ‘apa yang baik’ dari private.
Ide untuk mengadopsi apa yang baik dari private tersebut pernah dikemukakan
dalam bentuk pandangan yang mengarah pada ‘public-private-partnership’ dilontarkan
dalam upaya untuk memperbaiki kinerja sektor publik. Osborne dan Gaebler (1992)
dalam bukunya yang sangat terkenal yakni “Reinventing Government”, menawarkan
suatu perubahan yang mencakup policy level, design organisasi dan peraturan kerangka
kerja yang mengacu pada organisasi sektor publik yang responsive dan memberdayakan
masyarakat. Dalam paradigma ini ada beberapa credo yang mengubah budaya kerja
pemerintah, antara lain, pemerintahan katalis yang lebih mengarahkan katimbang
mengayuh, pemerintahan yang lebih desentralistis, pemerintahan yang kompetitif,
pemerintahan yang berorientasi pelanggan, pemerintahan yang digerakkan oleh misi,
pemerintahan yang wirausaha, pemerintahan yang antisipatif, pemerintahan yang dimiliki
oleh masyarakat, dan pemerintahan yang berorientasi pasar. Beberapa tahun kemudian
hingga saat ini, pandangan ini dengan cepat diadopsi oleh beberapa negara berkembang
termasuk Indonesia. Reinventing government dengan cepat digunakan sebagai conceptual
framework pada berbagai proposal proyek-proyek pembangunan pemerintah dan
menempati
silabi
beberapa
mata
kuliah
manajemen
publik
dan
administrasi
pembangunan
Pada aspek lain, perubahan juga nampak pada ditawarkannya suatu paradigma
yang mengacu pada prinsip -prinsip dari “New Public Sector Marketing” , Chapman dan
Cowdell (1998), Nutley dan Osborne (1994), adalah nama- nama spesialis yang
mengetengahkan pandangan baru yang mengubah pandangan tradisional pelayanan
publik terhadap pemasaran barang-jasa publik, terutama disesuaikan dengan tuntutan
pasar yakni demand dari masyarakat. Menurut para pakar tersebut, ke depan perubahan
marketing sektor publik akan mempengaruhi filosofi dan fungsi pelayanan publik, dan
selanjutnya akan mengembangkan suatu pemahaman yang jelas tentang kebutuhan,
keinginan, dan aspirasi para pemilih. Selama ini terdapat pandangan yang salah terhadap
pasar, dan lebih sering dihubungkan dengan dunia profit- making business – memang
pada kenyataannya hampir seluruh konsep marketing ditulis dan ditujukan bagi dunia
bisnis – sementara tidak disadari bahwa proses pertukaran yang dikontrol oleh supply dan
49
demand dalam pasar sesungguhnya juga mencakup sektor publik yang juga adalah
bagian dari ekonomi. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Chapman dan Cowdell
(1998:31) sebagai berikut:
“Used in this way, references to ‘the market’ have been mainly associated with
the world of profit-making business. Indeed, the bulk of available literature on
marketing has been written from the business, profit-making perspective.
However, the market defines the relationships between supply and demand in any
sector of the economy, and is therefore a key social institution. Society only
endorses those institutions which serve its needs, and the process of exchange is a
central one”.
Kegamangan terhadap marketing sangat dapat dimengerti mengingat konsep
marketing sendiri lebih melekat di sektor bisnis. Setidaknya diperlukan perubahan cara
pandang terhadap pemasaran. Secara filosofis, marketing akan lebih ‘mendekatkan’
provider – consumer (citizen), karena selama ini diketahui bahwa pandangan sektor
publik yang jauh dari masyarakat sesungguhnya sangat tidak menguntungkan sektor
publik sendiri, antara lain menjauhnya partisipasi dan kontrol masyarakat.
McKevitt (1998:38) menyinggung perihal pendekatan marketing dalam publik
sektor sebagai berikut :
“Service marketing has, in its strategic objectives, obvious resonance for the
management of public services – that is, the creation and maintenance of a valued
relationship with the citizen-client. For example, customer complaints in the
private sector are an important source of management data for the improvement
of service quality ; the traditional public sector attitude has been to ignore
complaints from service recipients, that is, citizens”.
Jelas sudah bahwa melalui pendekatan marketing juga diharapkan muncul suatu
nilai- nilai yang menghargai konsumen, dalam hal ini masyarakat sebagai warga negara.
Sebagaimana diketahui bahwa di dalam sektor publik, masyarakat sebagai warga negara
tidak memiliki ‘kedudukan’ yang sama dengan konsumen pada sektor private. Pada
faktanya masyarakat tidak memiliki pilihan dalam mengkonsumsi barang-jasa publik.
Preferensi masyarakat disalurkan mela lui haknya sebagai pemilih (voter), sedangkan
supplay dan demand terjadi dalam suatu proses politik. Demikian pula dalam mekanisme
harga, masyarakat tidak bersentuhan langsung sebagaimana dalam pasar private. Kondisi
tersebut menyebabkan sektor publik menjadi sangat dominan dalam perannya sebagai
50
public producer maupun provision. Dominasi sektor publik tersebut bahkan tercermin
pada resistensinya terhadap komplain dan kritikan masyarakat Perilaku ini sesungguhnya
tidak boleh terjadi bila sektor publik ingin menghindari sindiran ‘we know what is best
practice’, yang mengindikasikan seolah-olah pemerintah adalah satu-satunya pihak yang
paling mengetahui apa yang diharapkan dan dibutuhkan oleh masyarakat.
Perubahan radikal pada tahun 1980-an yang dipelopor i oleh Margaret Thatcher
(mantan Perdana Menteri Inggris) melalui privatisasi beberapa pelayanan publik,
bertujuan mendudukkan warga negara seperti ‘the customer is king’ atau ‘the customer
always right’.
Gebrakan lainnya yang meramaikan khasanah pelayanan publik adalah paradigma
kualitas layanan (service quality – sering disingkat servqual), adalah pengukuran kinerja
melalui kepuasan pelanggan. Level pelayanan yang menghadapkan secara langsung
antara pemberi layanan dengan masyarakat pengguna layanan (front line) kali ini menjadi
fokus utama dalam servqual yang diujikan pada sejumlah pelayanan private dan publik
di New Zealand dan Inggris. Keampuhan kualitas pelayanan terhadap kepuasan
pelanggan merupakan hasil penelitian Zeithaml, Berry, dan Parasurama n (1990) yang
membuktikan betapa kinerja aparat ujung tombak memegang peranan penting dalam
mengantarkan suatu pelayanan yang berkualitas. Kinerja aparat pemberi layanan juga
termasuk bagaimana mereka dapat memahami pelanggan, menangkap keinginan dan
harapan pelanggan, serta memberikan yang terbaik pada pelanggan. Kesenjangan antara
‘harapan’ dan ‘kenyataan’ yang dirasakan oleh pelanggan menjadi titik awal bagi
perbaikan suatu pelayanan . Setidaknya ada 5 (lima) gap dalam servqual, dimana gap ke
lima bermuara pada 5 (lima ) dimensi kualitas layanan, yakni tangible, realibility,
responsiveness, assurance dan empathy (Zaithaml, et al, 1990 hal 131).
Pelajaran yang dapat dipetik dari perkembangan paradigma pelayanan publik
tersebut adalah, pertama, setelah era defisit, konsep pelayanan publik mulai mengalami
perubahan terutama pada teknik manajerial dengan mengadopsi teknik manajerial
privat.(Osborne dan Gaebler,1998 ; Chapman dan Cowdell, 1998 ; Farnham dan Horton,
1993) Kedua, konsentrasi perubahan lebih cenderung pada peningkatan kualitas level
frontline.(Zeithaml et al,1990 ; Mckevitt, 1998 ; Lovelock,1990) Ketiga, gerakan
peningkatan kinerja birokrasi pelayanan publik nampak gencar dipromosikan (Savas,
51
1990 ; Osborne dan Gaebler, 1998, Moore, 1995, Walters, 1993 ).Keempat, nampak
perhatian terhadap partisipasi dan pemberdayaan masyarakat pengguna, namun belum
sepenuhnya memperoleh tekanan.yang berarti ( Moore,1995 ; McKevitt 1998).
Tinjauan Konsep Pemberdayaan
Turbulensi lingkungan yang semakin cepat menuntut pelayanan publik di bidang
kesehatan juga semakin cermat melakukan perubahan-perubahan. Proses perubahan yang
memberikan kesempatan untuk belajar dan memfasilitasi perubahan merupakan upaya
pemberdayaan. Apakah batasan sua tu pemberdayaan itu ?
Sebagian dari masalah memahami dan mengimplementasikan pemberdayaan
adalah kesulitan mendefinisikan secara tepat makna pemberdayaan itu sendiri. Definisi
tentang pemberdayaan hingga saat ini masih beragam, sebagian menganggap
pemberdayaan adalah suatu cara atau alat, dan sebagian lagi menganggap pemberdayaan
sebagai proses dan tujuan. (Clutterbuck dan Kernaghan, 2003:3).
Stewart dalam rangka menjelaskan arti empowerment, menyatakan bahwa ketika
orang membicarakan tentang pemberdayaan organisasi maupun para pegawai, yang
pertama dipikirkan adalah asumsi bahwa kondisi organisasi dan pegawai mereka saat ini
tidak atau kurang berdaya. Kata ‘berdaya’ erat kaitannya dengan kata ‘power’, artinya
orang yang memiliki ‘daya’ adalah orang yang memiliki ‘power ’. Sangat berbeda dengan
authority yang secara esensial diartikan sebagai suatu hak, power mengandung arti
‘kemampuan’ atau ‘kemampuan untuk melakukan sesuatu’. Para pimpinan organisasi
barangkali memiliki hak (authority) untuk memerintah bawahannya melakukan suatu
pekerjaan, akan tetapi tidak cukup hanya itu, diperlukan pula power atau kemampuan
agar perintahnya tersebut ditaati dan dilaksanakan dengan baik bahkan memperoleh hasil
sebagaimana yang diharapkan, misalnya dengan ancaman, sanksi atau penghargaan (role
power), dengan keahlian memerintah dan memimpin (expert power), dengan
menggunakan sarana atau sumber-sumber untuk mendukung pelaksanaan pekerjaan,
seperti materi, uang, alat-alat dan sebagainya (resource power). Empowerment dengan
demikian adalah sebagai suatu cara yang produktif dan praktis dalam mencapai yang
terbaik dari para pegawai dalam organisasi (Steward, 1994:6)
52
Whetten, et al (2000:405-407) menjelaskan bahwa pemberdayaan memiliki
sederetan makna yakni antara lain, bahwa pemberdayaan menolong orang lain untuk
mengembangkan harga diri mereka (to help people develop a sense of self-worth),
pemberdayaan juga berarti untuk mengatasi penyebab kehilangan kewenangan (to
overcome causes of powerlessness), pemberdayaan juga berarti memberikan energi pada
orang lain untuk melakukan aktifitas (to energies people to take action), pemberdayaan
juga berarti memobilisasi faktor-faktor rangsangan intringsik dalam pekerjaan (it means
to mobilize intrinsic excitement factors in work ), dan akhirnya pemberdayaan juga
berarti menyempurnakan suatu tugas.
Clutterbuck dan Kernaghan (2003:3) mendefinisikan pemberdayaan sebagai
upaya menemukan cara-cara baru untuk memusatkan kekuasaan di tangan orang-orang
yang paling membutuhkan untuk melaksanakan pekerjaannya. Pemberdayaan juga berarti
pendelegasian tanggung jawab atas pembuatan keputusan sampai sejauh mungkin di
bawah lini manajemen. Pemberdayaan juga berarti peralihan kekuasaan secara terkendali
dari manajemen ke karyawan untuk mencapai tujuan jangka panjang. Pemberdayaan juga
mengandung makna sebagai upaya menciptakan kondisi dan situasi di mana orang-orang
bisa menggunakan kualitas-kualitas dan kemmapuan-kemampuan mereka di tingkat
maksimum.
Ditinjau dari sejarah penggunaan dan pemahaman kata ‘empowerment’ , Whetten,
dan kawan-kawan menyatakan bahwa istilah pemberdayaan bukan istilah baru
sebagaimana dikenal secara populer pada gerakan pemberdayaan tahun ’80-an hingga
’90-an. Makna pemberdayaan dengan berbagai konteks ya ng melatarbelakanginya,
kadang-kadang menyebabkan artinya menjadi rancu dan membingungkan. Dengan
mengetahui maknanya dalam berbagai disiplin, maka diharapkan orang akan dapat
menggunakan
arti
pemberdayaan
secara
tepat.
Berikut
ini
sederetan
makna
pemberda yaan dalam evolusi dari beberapa disiplin, antara lain psikologi. Sosiologi, dan
theologi. Pertama, dalam disiplin psikologi, pemberdayaan diartikan sebagai ‘effectance
motivation’ , yakni suatu motivasi intrinsic yang membuat sesuatu terjadi (White, 1959,
dalam Whetten et al, 2000: 406). Selain itu juga berarti ‘psichological reactance’ yang
mengacu pada pencarian kebebasan dari hambatan-hambatan.
53
Kedua, dari disiplin ilmu sosiologi. Pemberdayaan mempunyai pengertian
mendasar sebagai ‘rights movement’, di mana orang-orang mengkampanyekan kebebasan
dan kontrol terhadap lingkungan mereka sendiri (Solomon, 1976, Bookman dan Morgan,
1988, dalam Whetten et al, 2000), atau masalah- masalah perubahan sosial yang pada
dasarnya dipusatkan pada pemberdayaan kelompok atau orang-orang (Marx, 1844,
Alinski, 1971, dalam Whetten, et al, 2000).
Ketiga, dari disiplin theologi, yang memperdebatkan pemberdayaan dengan
‘helplessness’, kemudian menekankan pemberdayaan terhadap penentuan nasib sendiri,
dan terlepas dari belenggu kontrol kekuatan yang lain yang lebih dominan ( Freire dan
Faundez, 1989, dalam Whetten et al, 2000).
Keempat, dari literatur manajemen, konsep pemberdayaan kemudian dikenal
melalui evolusi manajemen itu sendiri, misalnya pada tahun 1950-an aliran ‘human
relations’ memperkenalkan pemberdayaan sebagai penggambaran sebuah pendekatan
yang bersahabat antara kelompok manajer dengan para staf. Tahun 1960-an
pemberdayaan digambarkan sebagai keharusan para manajer untuk secara sensitif
merasakan kebutuhan dan motivasi terhadap pegawai, serta melibatkannya dalam
berbagai pelatihan yang terkait dengan hal tersebut. Pada tahun 1970-an, peta
pemberdayaan telah mengarah pada keinginan dan minat para pimpinan untuk lebih jauh
menolong para pegawai mereka khususnya dalam keterlibatan menentukan tujuan
organisasi. Tahun 1980-an , pemberdayaan dimaknai sebagai pemberdayaan team kerja
yang mengacu pada siklus kualitas dan kinerja. Tahun 1997 hingga saat ini , dengan
berbagai variasinya, pemberdayaan dimaknai sebagai kemampuan untuk memberdayakan
pegawai dan organisasi.
Ditinjau dari dimensi-dimensinya, Whetten dengan melengkapi pendapat
Spreitzer (1992) dan Mishra (1992) menyatakan bahwa pemberdayaan individu memiliki
6 (enam) dimensi, yakni, pertama, self – esteem, yakni bahwa orang-orang yang
diberdayakan memiliki harga diri, artinya pemberdayaan akan lebih meningkatkan bukan
malah menurunkan harga diri mereka. Kedua, self-efficacy, yakni bahwa ketika orangorang
diberdayakan, mereka sesungguhnya merasa memiliki kompetensi diri, jadi
pemberdayaan tidak hanya menambah atau meningkatkan kompetensi mereka, namun
juga meningkatkan kepercayaan diri mereka terhadap kompetensi yang dimilikinya.
54
Ketiga, self-determination, bahwa pemberdayaan harus meningkatkan kemampuan
orang-orang yang diberdayakan untuk mampu menentukan pilihan sendiri, dalam arti
menentukan inisiatif, dan berbagai aktifitas yang berhubungan dengan tugas-tugas
mereka. Keempat, personal control, bahwa pemberdayaan harus mempu meningkatkan
kemampuan orang-orang untuk mengontrol sendiri segala sesuatu yang merintangi atau
menghambat pekerjaan mereka. Kelima, meaning, yang berarti bahwa orang-orang yang
diberdayakan memiliki suatu perasaan bahwa dirinya memiliki arti dan memiliki nilainilai yang sejalan dengan tujuan organisasi, sehingga pemberdayaan berarti dukungan
melalui kesempatan, peluang dan arahan agar keberartian mereka semakin meningkat.
Keenam, ‘trust in other people’. Dimensi yang satu ini erat kaitannya dengan prinsipprinsip keadilan dan kejujuran. Pemberdayaan tidak boleh mengandung arti sebagai
‘pemanfaatan’ terhadap satu sama lain, melainkan memberikan makna keamanan dan
kenyamanan karena hak- hak satu sama lain saling dihargai melalui satu kata yakni
‘kepercayaan’
Apapun makna dibalik pemberdayaan, perlu digarisbawahi bahwa
pentingnya
pemberdayaan antara lain berkiblat pada, pertama, kecepatan perubahan yang semakin
tinggi, turbulensi lingkungan organisasi, cepatnya respon persaingan, akselerasi
permintaan-permintaan pelanggan yang menuntut kecepatan dan fleksibelitas tanggapan
yang tinggi.
Kedua, perubahan lingkungan membawa implikasi pada perubahan organisasi,
dimana organisasi harus membuat penyesuaian-penyesuaian agar tetap eksis. Metodemetode tradisional berupa koordinasi dan kontrol yang ketat dipandang sudah tidak
sesuai lagi. Upaya mencapai kinerja dalam kondisi yang baru menuntut seluruh
komponen organisasi menjadi berdaya.
Ketiga, dewasa ini hampir tidak ada organisasi yang bekerja tanpa tuntutan
bekerja secara lintas fungsi dan lintas sektoral. Kerjasama seperti itu hanya dapat
dilakukan melalui pemberdayaan yang tepat di semua lini organisasi (Obaldeston, dalam
Clutterbuck dan Kernaghan, 2003:15)
Sejalan dengan hal tersebut, Jenkins (1996:39) kemudian memberikan tekanan
bahwa kunci pemberdayaan adalah membuat suatu perubahan, yakni perubahan perilaku
55
organisasi maupun persepsi para anggota organisasi termasuk pimpinan. Pandangan
Jenkins tersebut tidak lain bertumpu pada konsep ‘human resources’ , dimana manusia
dalam organisasi dipandang sebagai ‘asset’ yang penting dan perlu secara terus menerus
diberdayakan dan diarahkan perilakunya agar tujuan organisasi tercapai secara optimal.
Dengan memiliki penekanan yang sama, perspektif penyuluhan pembangunan juga
memandang pemberdayaan sebagai bagian perubahan perilaku manusia atau masyarakat
sasaran, sebagaimana diketengahkan oleh Slamet (2003, hal. 45) : “Bagaimana membuat
masyarakat mampu membangun dirinya sendiri. Mampu, berdaya, tahu, mengerti,
paham, termotivasi, berkesempatan melihat peluang, dapat memanfaatkan peluang,
berenergi, mampu bekerja sama, tahu berbagai alternatif, mampu mengambil keputusan,
berani menghadapi resiko, mampu mencari dan menangkap informasi, dan mampu
bertindak sesuai situasi.”
Benang merah yang dapat ditarik dari berbagai konsep pemberdayaan tersebut
adalah ‘perubahan perilaku’, baik perilaku individu- individu dalam organisasi maupun
perilaku organisasi atau sistem. Apapun makna pemberdayaa n, jika berkaitan dengan
perubahan, pengembangan, atau perbaikan, maka dapat dipastikan akan diikuti dengan
perubahan perilaku individu maupun sistem. Cara atau upaya yang ditujukan untuk
mendorong sesuatu agar berubah tidak akan ada gunanya ketika tidak diikuti dengan
perubahan perilaku, bagaimanapun organisasi digerakan oleh manusia. Kegagalan untuk
mengenal respon individual terhadap pemberdayaan akan membuahkan kegagalan
pemberdayaan itu sendiri (Clutterbuck dan Kernaghan, 2003:163-7).
Mengacu pada konsep perubahan maupun konsep pemberdayaan yang telah
diuraikan tersebut, maka makna pemberdayaan dalam pelayanan publik khususnya di
bidang kesehatan adalah terkait erat dengan upaya-upaya organisasi dalam merespon
perubahan lingkungannya dan melakukan perubahan secara internal. Secara konseptual,
respon organisasi pelayanan publik terhadap perubahan lingkungannya tidak secepat
respon organisasi private bisnis.
Osborne dan Gaebler (1998:23) menyatakan, bahwa pemerintahan dan bisnis adalah
dua lembaga yang berbeda secara mendasar. Bisnis didorong untuk motif keuntungan,
sedangkan pemerintah untuk motif bisa dipilih kembali. Bisnis memperoleh sebagian
56
besar uang dari pelanggannya, sedang pemerintah dari pembayar pajak Bisnis berada
pada domain kompetisi, sedangkan pemerintah ada pada domain politik dan monopoli.
Berdasarkan karakteristik inilah maka organisasi pelayanan publik sulit untuk
berkembang, karena tidak terdapat motivasi yang mendorong perubahan.
Di sektor privat, masalah efisiensi, efektifitas, dan kualitas adalah suatu keharusan.
Hal tersebut karena tuntutan lingkungan, di mana pesaing, pelanggan dan stakeholder
dapat sewaktu-waktu mengancam hidup dan matinya bisnis mereka. Ketergantungan
yang
tinggi
terhadap
pelanggan,
menyebabkan
sektor
bisnis
memperlakukan
pelanggannya bak raja, dan menjaga kualitas service delivery mereka. Kinerja mereka
dihubungkan dengan kepuasan pelanggan, peningkatan produktifitas dan keuntungan.
Sementara nilai-nilai tradisional yang dihubungkan dengan pelayanan publik sering
menekankan pada stabilitas, segala sesuatunya seolah dapat diprediksikan, kontinuitas,
dan kepastian. Nilai- nilai tersebut mempengaruhi pelayanan publik yang digambarkan
tertutup dan sangat birokratik. Lingkungan politik juga ikut mempengaruhi pelayanan
publik, antara lain dalam pricing controls, di mana penetapan harga layanan ditentukan
melalui mekanisme politik (Eliassen dan Kooiman,1993 ; Farnham dan Horton,1995;
Leach-Steward dan Walsh,1994).
Sementara itu beberapa ahli menyoroti perihal ‘perilaku birokrasi’ pelayanan
publik. Munculnya budaya korupsi, kolusi dan nepotisme di tubuh organisasi pemerintah
semakin menambah beban berat terhadap citra pelayanan publik. Di negara-negara
miskin atau negara-negara berkembang, umumnya gaji pegawai negeri memang tidak
cukup untuk menyambung hidup. Hal ini karena pemerintah tidak mampu menggaji
pegawainya secara layak. Karena itu, gaji yang rendah sering dilihat sebagai penyebab
korupsi, setidak-tidaknya korupsi kec il-kecilan, jika tidak di seluruh sistem. Namun
jawaban untuk hal ini jauh lebih rumit dari pada sekedar menaikkan gaji. Demikian
diungkapkan oleh Pope (2003:18).
Selain masalah formula kompensasi yang kurang memadai, masalah juga muncul
pada pengukuran out put birokrasi yang sulit. Sementara itu masalah monopoli juga
menjadi penghalang bagi terciptanya sistem yang kompetetitif dan pada akhirnya akan
bermuara pada rendahnya mutu layanan.
57
Menjadi krusial kemudian untuk mempertanyakan dari mana tepatnya suatu
pemberdayaan harus dimulai ?. Karena pemberdayaan adalah suatu perubahan yang
artificial, dan terencana, maka memerlukan starting point untuk mengetahui dari mana
arah pemberdayaan akan dimulai. Pemberdayaan dapat dilakukan dengan efektif bila
terlebih dahulu diketahui tingkat kinerja dari organisasi yang akan diberdayakan. Artinya
bahwa hasil pengukuran kinerja dapat dijadikan sebagai pedoman untuk menentukan
model pemberdayaan yang tepat. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Clutterbuck dan
Kernaghan (2003:16), dan Berman et al (2001:334). Terkait dengan hal tersebut, maka
konsep kinerja perlu untuk diketengahkan pada bagian berikut ini.
Konsep dan Pengukuran Kinerja
Peningkatan dan perbaikan indikator kinerja pada pelayanan pub lik saat ini
menjadi tolak ukur bahwa kesulitan yang dihadapi pelayanan publik dalam pengukuran
kinerja tidak berarti mengendurnya upaya kearah peningkatan kinerja yang baik Hughes
(1994:207) mengungkapkan bahwa : “Performance indicators become a new movement
within the public services with the express aim of finding out how hard government
activity was to measure”.
Kinerja didefinisikan secara beragam. Para ahli manajemen kinerja menyatakan
bahwa konsep kinerja bersifat multidimensional, artinya memiliki berbagai macam
pengukuran dari berbagai dimensi kinerja yang ada. Begitu pula faktor-faktor yang
mempengaruhinya, juga penting untuk diperhatikan apakah tujuan pengukuran adalah
untuk menilai kinerja hasil atau perilaku hal tersebut sebagaimana diungkapkan Bates
dan Holton (1995, dalam Armstrong dan Baron,1998:15), bahwa: “Performance is a
multi-dimensional construct, the measurement of which varies, depending on a variety of
factors. They also state that it is important to determine whether the measurement
objectives is to assess performance outcomes or behaviour”.
Sejalan dengan pemikiran Bates dan Holton, Campbell (1990, dalam Armstrong
dan Baron, 1998:16), menyatakan bahwa kinerja adalah perilaku (behaviour) dan harus
dibedakan dengan hasil (outcomes), sebab hasil telah dipengaruhi oleh faktor-faktor
dalam sistem.
58
Rothwell, et al (2000: 1-2) menyatakan pada kalimat awal dibukunya, bahwa
kinerja dapat menjadi suatu konsep yang ‘elusive’ artinya sulit untuk dicari kesamaan
pemahamannya. Artinya, bahwa konsep atau pendefisinian kinerja sering digunakan
secara rancu dengan konsep ‘behaviour’, melalui cara yang sederhana, kinerja
dirumuskan sebagai hasil akhir, dan perilaku adalah alat untuk mencapai hasil akhir
tersebut. Menurut Rothwell dan kawa n-kawan, hal tersebut tidak sepenuhnya benar.
Seorang yang sangat rajin dan sangat loyal pada organisasi serta berpengalaman,
dapatkah dijamin bahwa kinerjanya akan lebih baik dari yang lain ? Fokus utama dalam
kinerja individual menurut Rothwell dan kawan-kawan adalah bagaimana mereka dapat
mencapai hasil terbaik (accomplishments), sedangkan perilaku menjadi penekanan kedua.
Benang merah dari ragam batasan kinerja yang dikemukakan para ahli tersebut
adalah, bahwa kinerja dapat diukur baik secara individual, yakni melalui hasil perilaku
individu dalam organisasi, maupun secara organisasional, yakni melalui hasil yang dapat
dicapai oleh organisasi. Dengan demikian juga dapat dikatakan bahwa kinerja individu
adalah bagian dari kinerja organisasi. Penekanan individual disini dimaksudkan mengacu
pada kinerja para pegawai, atau ‘the workers’ di dalam organisasi. Berdasarkan
pemahaman tersebut, maka kinerja pegawai sesungguhnya menjadi dasar atau fondasi
keberhasilan organisasi, hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Rosen (1993:42) yang
menggarisbawahi pentingnya kinerja pegawai sebab : “At the foundation of the
organizational triangle are the workers who actually produce and deliver public
services”
Rumusan kinerja organisasi akan semakin jelas jika menyimak konsep kinerja
Brumbrach (1988, dalam Armstrong dan Baron, 1998:16) berikut ini:
“Performance means both behaviours and results. Behaviour emanate from the
performer and transform performance from abstraction to action. Not just the
instruments for results, behaviours are also outcomes in their own right – the
product of mental and physical effort applied to task – and can be judged apart
from results” .
Rumusan Brumbrach tentang kinerja tersebut membawa pada pemahaman bahwa
kinerja mencakup baik perilaku dan hasil. Armstrong menyebut pandangan ini sebagai
‘mix-model’ dimana perilaku (behaviour) dipertimbangkan sebagai ‘input’ dan hasil
59
(results) sebagai ‘output’. Hal serupa juga diketengahkan oleh Swanson (1999, dalam
Gilley dan Maycunich, 2000:180)
Namun demikian, “Performance is not only about what is achieved but also
about how it is achieved”. Demikian pendapat Armstrong dan Baron (1998:8) , yang
berarti bahwa masalah kinerja harus ditangani secara profesional melalui manajemen
kinerja yang dapat mengarahkan berbagai konteks kinerja yang ada, apakah hal tersebut
berkaitan dengan penetapan indikator (indicator of performance), pengukurannya
(performance measurement), evaluasi (performance evaluation), maupun pengembangan
(performance development) dan perbaikan kinerja (performance improvement) .
Mengapa kinerja penting bagi pelayanan publik ? Dalam pelayanan publik kinerja
terkait dengan sistem akuntabilitas publik. Konsep akuntabilitas adalah pertanggung
jawaban sektor publik terhadap masyarakat yang dilayaninya (Wilson dan Hinton,
1993:123) Dalam sektor publik dikenal beberapa konsep akuntabilitas, antara lain adalah,
akuntabilitas
politik,
akuntabilitas
manajerial,
akuntabilitas
legal,
akuntabilitas
konsumen, dan akuntabilitas profesional (Lawton dan Rose, 1991, dalam Wilson dan
Hinton, 1993:126).
Akuntabilitas politik (political accountability) berkaitan dengan pertanggung
jawaban terhadap pemberi otoritas atau kewenangan secara terstruktur dalam politik.
Dalam hal ini misalnya seorang menteri bertanggung jawab terhadap presiden,
selanjutnya presiden bertanggung jawab terhadap parlemen. Akuntabilitas politik juga
mencakup berbagai issue yang terkait secara konstitutional, misalnya masalah
kesejahteraaan, keadilan, subsidi, dan sebagainya. Dalam hubungannya dengan pelayanan
publik, akuntabilitas politik berarti pertanggungjawaban terhadap mandat yang diterima
dari rakyat untuk menyelenggarakan pelayanan bagi rakyat (Day dan Klein,1987, dalam
Wilson dan Hinton, 1993:126).
Akuntabilitas manajerial berhubungan dengan manajemen kinerja atau penilaian
terhadap kinerja maupun audit terhadap pelaksanaan suatu kewenangan yang telah
didelegasikan dalam suatu tugas pelayanan publik yang mencakup akuntabilitas fiskal
secara rutin, akuntabilitas terhadap proses atau efisiensi, dan akuntabilitas terhadap
efektifitas program. Metcalfe dan Richard (1990) kemudian menyatakan bahwa
akuntabilitas manajerial banyak diaplikasikan dalam sektor publik. Di Inggris hal ini
60
cenderung kearah desentralisasi inisiatif manajemen keuangan yang diciptakan oleh
pemerintahan Thatcher pada tahun 1982.
Akuntabilitas legal dan administratif biasanya berhubungan dengan akuntabilitas
politik. Istilah legal disini melebihi ‘mandat’, karena kewenangan yang diterima adalah
berdasarkan hukum dan aturan yang ada. Sedangkan akuntabilitas administratif memiliki
arti yang lebih luas, Peters (1984:241) menekankan pada kontrol birokrasi, termasuk
diantaranya adalah tugas dan peran para pegawai pelayanan publik yang mengacu pada
tanggung jawab administratif.
Akuntabilitas konsumen adalah mengacu pada konteks pertanggungjawaban
terhadap para pengguna pelayanan publik termasuk dalam hal ini pelaksanaan dari pada
berbagai prosedur penggunaan komplain, praktik -praktik maladministration, dan
ombudsman. Dengan kata lain bahwa responsiveness dari pelayanan publik terhadap
masyarakat adalah menjadi ukuran akuntabilitas pelayanan publik. (Lawton dan Rose,
1991:21)
Tipe akuntabilitas yang terakhir adalah akuntabilitas profesional, yakni
pertanggungjawaban pelayanan publik secara profesional, mencakup profesionalisme
para pegawainya, profesionalisme pelayanan, dan penanganan klaim. Dalam arti bahwa
karakteristik profesionalisme dalam pelayanan publik harus terdapat didalam ukuran
kinerja akuntabilitas profesional. Karakteristik profesional tersebut oleh Metcalfe dan
Richard (1990 :124) mencakup antara lain, kepemilikan suatu ‘badan’ yang
mencerminkan
kekhususan
yang
terstandarisasi,
terlihat
pada
pelatihan
yang
bersertifikasi, otonomi dalam bidang keahlian, kontrol terhadap pengantaran pelayanan,
kode etik dan standard aturan yang jelas, dan menekankan pada kompetensi dan etik
perilaku
Ingraham dan Romzek (1994 : 269) memberikan karakteristik terhadap tipologi
akuntabilitas berdasarkan pada ‘sumber pengawasan’ dan ‘tingkatan pengawasan’.
Dimensi sumber pengawasan biasanya berhubungan dengan dari mana suatu pengawasan
berasal, misalnya apakah eksternal atau internal. Pengawasan internal biasanya ada di
dalam agen-agen pelayanan publik itu sendiri, sedangkan pengawasan eksternal berada
diluar agen pelayanan publik. Sedangkan tingkatan pengawasan berhubungan dengan
tinggi atau rendahnya suatu pengawasan. Kombinasi dua dimensi tersebut menghasilkan
61
4 (empat) model akuntabilitas yakni, pertama, akuntabilitas berdasarkan mekanisme
birokratik yang bercirikan sumber pengawasan internal karena lebih menekankan
efisiensi, dengan tingkat pengawasan tinggi yang menekankan pada aturan, prosedur, dan
standard operasional yang rigid. Kedua, Akuntabilitas legal, kombinasi dari sumber
pengawasan berasal dari eksternal (auditor, atau lembaga peradilan) dan tingkatan
pengawasan yang tinggi melalui monitoring secara berkala dan menekankan pada rule
and law. Ketiga, akuntabilitas profesional, yang dicirikan oleh tingkatan pengawasan
yang rendah dengan penekanan pada konsep keahlian, profesionalism yang telah diatur
dalam suatu kode etik, serta sumber pengawasan dari internal. Keempat, adalah
akuntabilitas politik, yakni bercirikan
sumber pengawasan eksternal (pemilih, voter,
constituent,) dan tingkatan pengawasan yang rendah karena lebih memberlakukan nilainilai responsiveness
Penilaian terhadap kinerja juga mencakup penilaian kinerja yang terfokus pada
sumber daya manusia atau kinerja individu. Khasanah manajemen kinerja yang berkaitan
dengan perbaikan kinerja sumber daya manusia, banyak dibahas dalam konteks ‘Human
Performance Improvement’ (HPI). American Society for Training and Development
(ASTD, 1992, dalam Rothwell, et al, 2000:10) yang memberikan batasan HPI “sebagai
suatu pendekatan yang sistemik untuk menganalisis, memperbaiki, dan mengelola kinerja
individual di tempat kerja melalui penggunaan intervensi yang bermacam-macam dan
sesuai”.
Hampir sama denga n ASTD, Harless (1992, ibid:10), mendefinisikan HPI sebagai
“proses analisis, desain, pengembangan, testing, implementasi, dan evaluasi dari
intervensi yang sesuai terhadap kinerja SDM yang sepantasnya”. Secara lebih lengkap
Rothwell (1996, ibid:10) mendefinisikan HPI “sebagai suatu proses yang sistematik dari
pengenalan dan penganalisisan kesenjangan-kesenjangan kinerja SDM yang penting,
perancangan dan pengembangan dengan pembiayaan yang effective dan intervensi secara
etik terhadap bagaimana caranya menutup kesenjangan-kesenjangan tersebut, kemudian
mengimplentasikan intervensi, dan mengevaluasi hasilnya baik secara finansial maupun
non- finansial”.
Rothwell, et al (2000:44-45) menyatakan kesenjangan atau gap kinerja merupakan
perbedaan antara tingkatan kinerja saat ini dengan tingkatan kinerja yang diinginkan
62
Rumusannya adalah : Desired Performance – Current Performance = Performance Gap
or Discrepancy
Dari beberapa definisi HPI nampak bahwa perbaikan kinerja SDM adalah amat
penting dalam organisasi. Gilley dan Maycunich (2000:182) menyatakan bahwa HPI
dapat menyediakan pendekatan-pendekatan untuk mengatasi permasalahan-permasalahan
kinerja melalui analisis permasalahan yang menyentuh keakarnya. Pendekatan system
yang digunakan memungkinkan menganalisis elemen-elemen yang saling terkait dengan
penyebab kesenjangan kinerja individual/ SDM. Rothwell (1996:32) menyatakan bahwa
pendekatan system memandang organisasi sebagai system yang terbuka yang dengan
demikian tergantung pada sukses tidaknya interaksi organisasi dengan lingkungannya.
Rothwell juga mengidentifikasikan bahwa setidaknya ada 4 (empat) macam lingkungan
yang menurutnya dapat membantu menemukan upaya-upaya perbaikan kinerja SDM.
Lingkungan tersebut yakni: (1) Lingkungan organisasional, yakni sinonim dengan
suprasistem atau segala sesuatu yang ada di lingkungan eksternal organisasi. (2)
Lingkungan kerja, yakni segala sesuatu yang ada didalam organisasi atau disebut
lingkungan internal organisasi. (3) Pekerjaan itu sendiri, dimana terjadi proses input
ditransformasikan menjadi output, dan yang terakhir adalah, (4) Pekerja atau individuindividu atau SDM yang akan dinilai hasil pencapaian kinerjanya.
Selain itu, Gilley dan Maycunich (2000:199) mengingatkan bahwa kegagalan HPI
selama ini dikarenakan terabaikannya beberapa prinsip-prinsip penting oleh para
pimpinan organisasi. Prinsip -prinsip tersebut adalah: (1) keterhubungan antara kinerja
dengan penghargaan/reward. Para pegawai gagal mewujudkan peningkatan kinerja
mereka sebab mereka merasa bahwa pimpinan tidak menghargai dan menghubungkan
pencapaian kinerja terbaik mereka dengan reward atau penghargaan. Para pimpinan
menunda-nunda, mengelak, bahkan mengambil waktu yang sangat panjang untuk urusan
reward ini, sehingga pegawai menjadi tidak percaya dan menganggap peningkatan
kinerja mereka tidak ada hubungannya sama sekali atau tidak ada implikasinya dengan
penghargaan
yang
seharusnya
diterima.
Pandangan
ini
disebut
sebagai
performance/reward disconnect. (2) Prinsip yang kedua adalah tidak menutupi hasil
kinerja pegawai dengan dalih apapun. Para pegawai perlu mengetahui seberapa jauh atau
seberapa banyak hasil kinerja mereka, agar mereka dapat menentukan prioritas langkah-
63
langkah apa yang harus diperbuatnya untuk meningkatkan atau memperbaiki kinerja
berikutnya. Dalam masalah ini bukan kinerja pegawai yang salah, melainkan
ketidakmampuan para pimpinan untuk mengkomunikasikan dengan para pegawai. Hal ini
sering disebut sebagai ‘performance whitewashing’ (menutup-nutupi pencapaian kinerja
pegawai). (3) Kegagalan kinerja SDM juga disebabkan karena inspection failure yakni
kelalaian para pimpinan organisasi untuk mengontrol pekerjaan pegawai. Pimpinan yang
hanya mengalokasikan sedikit waktu untuk mengontrol kinerja pegawainya akan
menemui kegagalan dalam pencapaian kinerja SDM yang diharapkannya.
Konsep kinerja yang multidimensional juga menggambarkan ragam faktor-faktor
yang diperkirakan mempengaruhi penilaian suatu kinerja. Tom Gilbert (dalam LaBonte,
2001:4), mengidentifikasikan 6 (enam) variable kunci yang menurutnya harus
dipertimbangkan dalam menilai kinerja organisasi, yakni pertama adalah variable
lingkungan yang terdiri dari informasi, resources, dan incentives, serta yang kedua adalah
variable individual yang terdiri dari knowledge, capacity, dan motives.
Rummler dan Brache (1988, dalam Rothwell, dkk 2000:5) mengetengahkan 6
(enam) variabel yang mempengaruhi kinerja individu dalam pekerjaannya, spesifikasi
pekerjaan, campur tangan terhadap pekerjaan mereka, konsekuensi-konsekuensi,
feedback , knowledge dan skill, serta kapasitas individual.
Tidak berbeda jauh dengan rumusan Rummler maupun Gilbert, Armstrong dan
Baron (1998:16) mengetengahkan 5 (lima) faktor yang mempengaruhi kinerja yakni,
faktor- faktor personal seperti skill, kompetensi, motivasi, dan komitmen. Kemudian yang
kedua adalah faktor- faktor leadership seperti kualitas dukungan, pemberian semangat,
dan team leader. Ketiga, yakni faktor team, antara lain kualitas dukungan yang
disediakan oleh kolega/teman/team work. Keempat, faktor sistem meliputi sistem kerja
dan fasilitas-fasilitas yang disediakan oleh organisasi. Dan yang kelima, adalah faktor
situasional atau kontekstual yang berupa tekanan dan perubahan lingkungan eksternal
maupun internal dimana individ u itu bekerja .
Masalah manajemen kinerja yang dihadapi oleh sektor publik, adalah masalah
pengukuran. Sektor publik pada umumnya tidak memiliki standard kinerja yang baku
sebagaimana dalam sektor private. Standard kinerja yang ada umumnya bersifat ad hoc
64
dan jauh dari sistematik. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Hughes (1994:205)
sebagai berikut :
“By any standard, performance management in the tradisional model of public
administration was inadequate, and this applies to either the performance of
individuals or organization. Measures which did exist were ad hoc and far from
systematic”.
Pengukuran Kinerja Balanced Scorecard
Pengukuran kinerja merupakan bagian dari manajemen kinerja yang dipandang
penting baik di organisasi private maupun publik. Keinginan organisasi untuk
mengetahui kinerjanya sering terhambat oleh masalah yang berkaitan dengan
pengukuran. Hughes (ibid:206) mengakui bahwa memang benar sangat sulit mengukur
kinerja di sektor publik sebab di sana tidak ada ide tentang apa yang diproduksi,
bagaimana memproduksinya, apakah pekerja bekerja dengan baik, bagaimana mengukur
produktifitas mereka, apakah pelanggan puas, jika tidak siapa yang harus menghadapi
keluhan pelanggan, dan seterusnya. Bahkan di banyak kasus, seorang administrator tidak
perlu bersusah payah memikirkan kinerja anak buahnya, menurut mereka pengukuran
kinerja hanya menimbulkan masalah.
Kendati demikian Niven (2003: x) mengingatkan bahwa
pembedaan antara
publik dan privat hendaknya tidak dipakai sebagai alasan untuk menghindari pengukuran
kinerja. Di era keterbukaan yang semakin tinggi organisasi sektor publik harus berani
menerima tantangan berupa akuntabilitas dan transparansi melalui penilaian terhadap
kinerja mereka. Informasi dan pelaporan kerangka kerja yang konsisten dari kinerja
sektor publik dipandang sebagai kemampuan untuk menyingkap kinerja dan hasil dari
pekerjaan mereka.
Reformasi manajemen kinerja sektor publik dipandang sangat penting, dan
menjadi bagian integral dari program-program yang ada di setiap organisasi pelayanan
publik. Organisasi pelayanan publik saat ini diharapkan dapat mengembangkan berbagai
65
indikator kinerja yang dapat diukur secara obyektif dan mengacu pada pencapaian tujuan
organisasi (Hughes, 1994; Wilson dan Hinton, 1993; Gilley, et al, 1999)
Salah satu pengukuran kinerja organisasional yang saat ini masih banyak
digunakan baik di organisasi privat maupun publik adalah Balanced Scorecard (BSC)
karya Kaplan dan Norton (1996). Inti dari konsep BSC sebagaimana telah diungkapkan
sebelumnya adalah mencakup pengukuran kinerja organisasi melalui 4 (empat) Perspektif
utama, yakni Keuangan, Proses Internal, Pembelajaran-Pertumbuhan, serta Pelanggan.
Sebelum BSC diperkenalkan pada tahun 1990 oleh Kaplan dan Norton,
kebanyakan pengukuran kinerja dilakukan terhadap aktifitas keuangan (yang juga
dianggap sebagai aktifitas yang telah berlalu / past-activity), sedangkan aktifitas-aktifitas
lainnya yang bersifat non-keuangan dan mendorong kesuksesan organisasi di masa depan
(proses internal, pembelajaran-pertumbuhan pegawai, dan pelanggan) jarang dilakukan.
Selanjutnya Kaplan dan Norton (ibid:8) juga mengetengahkan bahwa pengukuran
kinerja baik finansial maupun non-finansial tersebut harus menjadi bagian dari sistem
infor masi untuk para pekerja di semua tingkatan di perusahaan. Para pekerja lini depan
harus memahami konsekuensi finansial akibat dari tindakan dan keputusan-keputusan
mereka. Sedangkan pada pimpinan juga harus memahami berbagai faktor pendorong
keberhasilan finansial jangka panjang. Berikut ini pandangan Kaplan dan Norton
terhadap 4 (empat) perspektif BSC yang diketengahkannya tersebut.
Pertama, Perspektif Keuangan. Dalam organisasi keuangan dipandang sangat
penting karena memberikan suatu catatan konsekuensi tindakan ekonomis yang telah
diambil oleh organisasi di masa lalu. Pengukuran kinerja keuangan menunjukkan apakah
strategi, implementasi, dan pelaksanaan kebijakan keuangan memberikan kontribusi atau
tidak terhadap peningkatan keuntungan organisasi. Tujuan keuangan pada organisasi
bisnis biasanya berkaitan dengan profitabilitas, return on capital employed (ROCE), dan
economic value added. Di dalam organisasi publik tidak selalu demikian, Niven
(2003:33) menjelaskan bahwa dalam organisasi publik dan non-profit, tujuan ukuran
kinerja keuangan adalah beda, karena kedua organisasi tersebut tidak berorientasi pada
laba, sehingga penekanannya akan lebih mengacu pada bagaimana dana digunakan secara
efisien dan efektif, atau seberapa jauh pemborosan dapat ditekan, dan seberapa jauh
kemampuan pendanaan organisasi secara berkelanjutan kedepan. Pemasukan keuangan
66
pelayanan publik di daerah diperoleh melalui beberapa model, pertama, tergantung pada
dana bantuan dari pusat yang secara fundamental dasarnya adalah pajak daerah. Hal ini
sebagaimana diungkapkan oleh Wilson dan Hinton (1993:175) bahwa :“Local authority
net revenue funding was provided in the form of grants from central government. The
fundamental need for grants stems from the tax based of local government”. Grant dapat
berarti sebagai suatu subsidi, atau sebagai bantuan proyek (Considine, 1994:43). Kedua,
melalui pungutan pajak langsung atau charging yang dikenakan pada sejumlah jasa
publik maupun non publik, yang secara keseluruhan merupakan penerimaan asli daerah.
Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Considine (1994:43) sebagai berikut : “Indirect
taxes, taxes on specific goods and charges for the use of government services are also
valued tools”
Kedua, Perspektif Pelanggan. Perhatian terhadap pelanggan pada umumnya hanya
dikenal pada organisasi bisnis. Bisnis merasa perlu untuk mengidentifikasi pelanggan dan
segmen pasar dimana perusahaan akan bersaing. Ukuran utama kinerja dari aspek
pelanggan umumnya terdiri atas, kepuasan pelanggan, retensi pelanggan, akuisisi
pelanggan baru, profitabilitas pelanggan, dan pangsa pasar di segmen sasaran. Selain itu
perspektif pelanggan juga mencakup berbagai ukuran tertentu yang menunjukkan
proposisi nilai yang akan diberikan oleh perusahaan pada pelanggan. Proposisi nilai
pelanggan ini penting karena dapat menjadi faktor pendorong apakah pelanggan akan
tetap loyal, atau sebaliknya. Sebagai contoh misalnya pelanggan akan lebih menghargai
masalah tenggang waktu (lead times) yang singkat atau tepat waktu pada pengiriman
barang-jasa yang diinginkannya. Juga pelanggan akan lebih menyukai produk -jasa yang
inovatif, dan harga yang murah atau terjangkau. Harapan pelanggan terhadap jasa-barang
yang diinginkannya dipengaruhi oleh komunikasi dari mulut ke mulut, kebutuhan
personal, pengalaman masa lalu, komunikasi eksternal penyedia layanan pada calon
pelanggan, demikian hasil identifikasi dalam penelitian kepuasan pelanggan yang
dilakukan oleh Zeithaml, et al (1990:19)
Pada pelayanan publik, konsep pelanggan menjadi problema tersendiri. Kesulitan
utama untuk konsentrasi pada pelanggan adalah karena disana ada beberapa aktor yang
terlibat, seperti politisi, pembayar pajak, pemilih, yang secara keseluruhan berpengaruh
terhadap pelayanan publik, sehingga untuk secara esklusif hanya memperhatikan
67
pelanggan adalah tidak mungkin. (Flynn, 1988, dalam Eliassen dan Kooiman, 1993:130).
Hal ini juga diungkapkan oleh Chapman dan Cowdell (1998:145) bahwa “In the public
services, it can be quite difficult to understand the importance of client expectations ,
particularly in a situation where an organization is effectively a monopoly provider”
Hal tersebut kemudian dibantah oleh Farnham dan Horton (1993:170), bahwa :
“Local authority managers are producing mission statement and business plans, costing
services, drawing up contracts, establishing quality assurance system and developing
customer awareness. These are now central to management agenda”. Sejalan dengan hal
tersebut, penciptaan indikator- indikator kepuasan pelanggan pada pelayanan publik
bukan merupakan masalah lagi. Pada sebagian besar organisasi publik, selain mengetahui
kepuasan pelanggan, juga perlu diketahui bagaimana membangun dukungan komunitas
(build community support). Hal ini akan terwujud jika proses internal berhasil
mengembangkan inovasi dan sesuatu yang baru. (Niven, 2003 :37).
Ketiga, Perspektif Proses Internal. Dalam perspektif ini, identifikasi berbagai
proses internal adalah penting, sebab memungkinkan organisasi bisnis untuk,
memberikan proposisi nilai yang akan menarik perhatian pelanggan, serta memenuhi
harapan terhadap keuntungan finansial yang tinggi pada para shareholder. Di dalam
bisnis, pengukuran keunggulan proses internal dapat melalui beberapa indikator, antara
lain melalui ‘waktu siklus pengiriman’ (delivery cycle time) yakni jumlah waktu dari
pesanan diterima pelanggan sampai pada saat pesanan lengkap dikirimkan. Termasuk
dalam ukuran ini adalah waktu tunggu, waktu inspeksi, waktu gerak, dan waktu antri.
Ukuran lainnya adalah berkaitan dengan inovasi produk dan proses pengenalannya,
antara lain adalah prosentase penjualan produk baru, perkenalan produk baru dengan
benchmarking produk lainnya, waktu yang diciptakan untuk penciptaan produk dengan
generasi berikutnya (Tunggal, 2001:87).
Dalam organisasi publik, pengembangan proposisi nilai pelanggan juga
dipandang penting, karena dapat mempertahankan loyalitas pelanggan, serta mendorong
dukungan komunitas yang lebih tinggi lagi bagi penyediaan layanan jasa publik, bentuk
pengukurannya sebagaimana disarankan oleh (Niven, 2003:18) adalah mengidentifikasi
bagaimana menciptakan proses internal baru dari pada konsentrasi pada aktifitas-aktifitas
perbaikan. Termasuk dalam area ini antara lain adalah pengembangan layanan dan sistem
68
pengantaran , kemitraan dengan masyarakat yang dilayani, presentasi laporan- laporan
yang menunjukkan proses internal baru pada khalayak atau semacam promosi.
Keempat, Perspektif Pembelajaran dan Pertumbuhan. Perspektif keempat dari
BSC ini mengidentifikasikan pentingnya infrastruktur yang harus dibangun perusahaan
dalam menciptakan pertumbuhan dan peningkatan kinerja jangka panjang. Setidaknya
ada 3 (tiga) sumber utama infrastruktur dalam pembelajaran dan pertumbuhan yakni,
manusia, sistem dan prosedur perusahaan. Perusahaan perlu menutup kesenjangan antara
kondisi aktual manusia, sistem, dan prosedur dengan kondisi yang diharapkan. Untuk
menutup kesenjangan infrastruktur manusia, diperlukan faktor pendongkrak yakni,
peningkatan kapabilitas pegawai, antara lain dengan pelatihan dan pendidikan yang
berkaitan dengan kompetensi yang dibutuhkan dalam pekerjaannya, kepuasan pegawai
dan kapabilitas informasi.
Kapabilitas pegawai dari aspek kompetensi adalah suatu karakteristik dasar dari
seseorang yang memungkinkannya memberikan kinerja unggul dalam pekerjaan, peran,
atau situasi tertentu. Dalam model gunung es kompetensi terbagi tiga, pertama
kompetensi yang nampak di permukaan dapat diketahui bentuknya yakni, ketrampilan
dan pengetahuan. Tingkat kedalaman kedua yang semakin tidak terlihat tetapi
mengarahkan dan mengendalikan perilaku permukaan adalah, peran sosial dan citra diri,
watak, dan motif- motif yang lebih dekat dengan kepribadian seseorang. Ketrampilan
adalah hal- hal yang orang bisa lakukan dengan baik, misalnya programming, mengetik,
dan sebagainya, sedangkan pengetahuan adalah apa yang diketahui seseorang tentang
suatu topik, misalnya bahasa komputer. Peran sosial adalah citra yang ditunjukkan oleh
seseorang di depan publik. Peran sosial mewakili apa yang dianggap orang itu penting.
Peran sosial juga mencerminkan nilai-nilai seseorang. (Boulter, et al 2003:39)
Bramley (1996:73) menjelaskan knowledge, skill, dan attitude dari aspek
pengukuran. Pengertian tentang knowledge, dibedakan ke dalam 3 (tiga) tingkatan, yakni
(1) tingkatan paling dasar yang disebut sebagai declarative knowledge. Artinya yang akan
diukur adalah kemampuan dasar tentang fakta dan informasi tugas-tugas di seputar area
pekerjaan. Dalam hal ini berkaitan dengan informasi tentang ‘what’ Contoh, informasi
tentang di mana ruang periksa, di mana ruang UGD, atau bagaimana mengisi formulir
formulir pendaftaran, atau isian blangko apa saja yang harus diberikan pada pasien dalam
69
rangka rujukan , dan seterusnya. (2) Pengetahuan yang berkaitan dengan kemampuan
untuk merangkai potongan-potongan informasi secara baik sehingga dapat menjadi
penjelasan tentang ‘how’, misalnya bagaimana prosedurnya, bagaimana melakukan
sesuatu, bagaimana mengatur permintaan atau tindakan-tindakan, dan sebagainya.
Pengetahuan pada tingkat ini disebut procedural knowledge. (3) tingkat pengetahuan
yang tertinggi adalah ‘strategic knowledge’. Pada tingkat ini kemampuan yang diukur
mencakup informasi tentang ‘way’ dan ‘which’ yakni kemampuan menganalisis situasi
tertentu, membuat keputusan tentang apa yang baik dan apa yang tidak, menganalisis
masalah- masalah dalam organisasi, dan sebagainya.
Tentang skill atau ketrampilan, Bramley (1996:81) membagi kedalam 4 (empat)
tingkatan yakni, (1) tingkat skill yang paling dasar, disebutnya sebagai communication.
Contoh dalam hal ini misalnya kemampuan memberikan gambaran atau ciri, atau
identitas sesuatu. (2) tingkatan kedua adalah simple procedure, yakni kemampuan untuk
menunjukkan gambaran suatu prosedur sederhana, baik dengan instruksi, lisan atau
catatan. (3) tingkatan skill yang disebut skilled action atau skill automaticly. Ukurannya
adalah kemampuan mengoperasikan sesuatu (komputer, mobil, mesin ketik, dsb) secara
otomatis tanpa perlu diberikan contoh atau arahan terlebih dulu. (4) tingkatan tertinggi
dari skill adalah judging. Ukuran ketrampilan telah sampai pada taraf kualitas. Sebagai
contoh, misalnya seorang dokter memutuskan apakah obat yang diberikan tepat/manjur
atau sebaliknya, pertimbangannya adalah bukan karena secara otomatis obat diberikan
karena memang demikian seharusnya, akan tetapi lebih mempertimbangkan masa depan
kesehatan pasien yang juga kepuasan dirinya sebagai dokter.
Pada indikator kepuasan pegawai, unsur-unsur dalam kepuasan pegawai, antara
lain adalah keterlibata n dalam pengambilan keputusan, penghargaan, akses yang
memadai pada informasi yang digunakan untuk melakukan pekerjaan dengan baik,
dorongan aktif pimpinan, tingkat dukungan lingkungan kerja, dan sebagainya (Tunggal,
2001:89). Konsep ini juga dapat diaplikasikan dalam organisasi publik, dengan
menambahkan motivasi pegawai, design perbaikan sistem insentif mengingat para
pegawai publik bekerja pada kondisi keuangan yang terbatas. (Niven, 2003:35).
Selanjutnya pada kapabilitas informasi yang juga dipandang penting dalam
dimensi pembelajaran dan pertumbuhan, Niven (ibid:200-201) mengetengahkan bahwa
70
informasi adalah lebih dari pada kemampuan untuk sekedar menerapkan perangkat IT
(information technology), melainkan kemudahan akses informasi itu sendiri. Para
pegawai harus mampu mengakses informasi tentang pelanggan, dan stakeholder lainnya.
Dalam hal ini kapabilitas informasi dapat diukur melalui ketersediaan, kesesuaian dan
kemudahan akses informasi- informasi yang berhubungan dengan pekerjaan maupun
Pelanggan.
Penempatan Perspektif Keuangan pada posisi teratas dalam konsep BSC,
menggambarkan bahwa tujuan keuangan merupakan aspek utama dalam pengukuran
kinerja organisasi, yakni untuk memuaskan stakeholder perusahaan, antara lain
pemegang saham, konsumen, karyawan, dan lain- lainnya yang secara keseluruhan
tercermin dalam perspektif keuangan.
Karena pelayanan publik pada umumnya tidak berorientasi keuntungan finansial,
maka komposisi penempatan keempat perspektif BSC tersebut berbeda. Dalam hal ini
Niven (2003:17-19), menjelaskan bahwa konsep BSC dapat diterapkan dalam organisasi
publik dan nonprofit, dengan penyesuaian-penyesuaian dimensinya. Ditambahkannya,
bagi organisasi publik dan nonprofit, aspek nilai tambah ekonomis dan profitabilitas pada
kinerja keuangan bukan menjadi tujuan utama. Tujuan utama dalam organisasi publik
adalah ‘memberikan pelayanan’ sebaik mungkin dan seefisien mungkin pada masyarakat
pelanggan, sehingga prioritas utama dalam misi organisasi adalah ‘pelanggan’ dalam arti
‘siapakah pelanggan kita, dan bagaimana kita menciptakan nilai untuk pelanggan kita
tersebut’. Berdasarkan argumentasi tersebut maka model BSC disesuaikan dengan
menempatkan perspektif pelanggan pada posisi utama. Sebagaimana diketengahkannya
bahwa : “We put the customer perspective at the top. The message is that anything and
everything we do regarding financials, revenues, and so on is there to support our
customer” (ibid : 34)
Jika Niven menempatkan fokus kinerja atas pelanggan, maka tidak demikian
halnya dengan Olve, et al (1999:307), menurutnya penerapan BSC dalam organisasi
publik tetap harus menempatkan kinerja keuangan sebagai fokus utama sebagaimana
pada organisasi bisnis. Baik dalam sektor publik maupun private, hal yang paling sesuai
dalam pemanfaatan BSC adalah membagi setiap dimensi ke dalam kelompok ‘waktu’,
seperti misalnya, dimensi ‘keuangan’ adalah dikelompokkan ke dalam waktu ‘kemarin’
71
(yesterday), dimensi ‘pelanggan’ dan ‘Proses internal’ dikelompokkan ke dalam waktu
‘sekarang’ (today), dan dimensi ‘pembelajaran-pertumbuhan’ dikelompokkan ke dalam
waktu ‘besuk’ (tomorrow). Dengan pengelompokkan waktu secara demikian, maka fokus
BSC akan menjadi jelas, dalam hal ini, apa yang harus dilakukan sekarang dan apa yang
harus dilakukan besuk, keduanya tetap berdasar pada pengalaman ‘kemarin’, yakni
dimensi keuangan. Argumen ini merupakan alasan pertama Olve, dan kawan-kawan.
Sedangkan alasan kedua, adalah bahwa di dalam sektor publik, mengukur ‘kepuasan
pelanggan’ dan ‘loyalitas pelanggan’ adalah sulit, mengingat cakupan dari pelayanan
publik yang demikian luas. Arti kepuasan pelanggan sesungguhnya adalah mencakup
‘benefit to society’, yang menurut Olve, et al hal ini tidak mudah untuk mengukurnya.
Berdasarkan hal tersebut, maka pengukuran hanya mungkin dilakukan melalui
penghitungan atau konversi suatu hasil secara moneter .
Sejalan dengan konsep waktu-nya Olve, dan kawan-kawan, Andre de Waal
(2001: 88), menjelaskan bahwa kinerja keuangan adalah menunjukkan dimensi masa lalu,
dimana pengukurannya adalah untuk mengetahui ‘apa yang terjadi dimasa lalu’. Baik
Waal maupun Kaplan dan Norton menyebutnya sebagai ‘lag indicator’. Untuk
melengkapi indikator masa lalu, organisasi harus mengukur indikator pendorong atau
‘lead indicator’ yang akan meramalkan hasil masa depan. Menurut Waal, perspektif
indikator pendorong ini dapat berbeda dalam setiap organisasi yang berbeda-beda, seperti
misalnya organisasi publik berbeda dengan private. Ditambahkannya pula, bahwa suatu
pengukuran yang seimbang adalah mencerminkan hubungan ‘cause-and-effect’ oleh
mana nilai-nilai pelanggan diciptakan.
Dalam penjelasannya, Kaplan dan Norton menegaskan bahwa kinerja-kinerja
yang diukur dalam Perspektif BSC pada dasarnya harus terhubung satu dengan yang lain,
jika salah satu menjadi indikator hasil (lag indicator), maka harus ada indikator
pendorong (lead indicator). Dengan demikian kinerja-kinerja yang diukur bukan kinerja
parsial dan berdiri sendiri-sendiri, melainkan saling terhubung sebagai suatu sistem.
Gagasan Kaplan dan Norton terkait dengan hubungan kausalitas sistemik antara
keempat Perspektif Kinerja BSC tersebut sesungguhnya dilandasi oleh pendekatan
organisasi sebagai suatu sistem di mana setiap elemen dari kinerja organisasi
72
sesungguhnya saling interdependensi dan saling mempengaruhi satu dengan yang lain
dan membentuk suatu kesatuan kekuatan kinerja organisasi secara utuh.
Hanya sayang bahwa konsep BSC tidak dilengkapi dengan alat yang dapat
menjelaskan seberapa jauh hubungan sistemik yang terdapat dalam variable- variabel
kinerja dapat diukur secara kuantitatif. Sehingga untuk keperluan analisis hubungan
kinerja secara sistemik diperlukan suatu metode dan alat yang dapat menjembatani.
Sejalan dengan kebutuhan tersebut, maka dipandang perlu untuk menggunakan
konsep System Thinking (ST) dan metode System Dynamic (SD) yang mampu
menjabarkan pola hubungan dinamis kinerja BSC.
Perspektif Berpikir Sistem
Paradigma berpikir sistem atau ‘system thinking’ (selanjutnya ditulis ST)
memperoleh perhatian pada awal abad 20, di mana para ahli fisika (quantum) mulai
mempertanyakan persepsi ‘Newtonian’. Sanggahan terhadap ‘kebenaran’ teori Newton
muncul dalam bentuk formulasi tentang prinsip -prinsip ‘uncertainty’ atau ketidakpastian,
di tahun 1923. Kemudian pada tahun 1947, Weiner mengembangkan cybernetics, yakni
ilmu tentang hubungan manusia dengan mesin. Setelah itu Von Bertalanffy
mengembangkan teori system melalui bukunya yang berjudul ‘General System Theory’
dan dipub likasikan pada tahun 1954. Selanjutnya Forrester dari Massachusetts Institute of
Technology (MIT) memperkenalkan dan mendemonstrasikan simulasi model yang
kemudian dikenal dengan ‘system dynamic’. (Maani dan Cavana, 2000:6)
Ide yang terkandung dalam teori ST tersebut adalah melihat ‘dunia’ (organisasi)
sebagai suatu sistem, sebagaimana diketengahkan dalam 5 (lima) disiplin pembelajaran
organisasi oleh Senge yang menempatkan ST dalam disiplin yang ke lima. Untuk
memahami ST, maka secara berturut-turut akan diketengahkan tentang teori atau konsep
sistem, kemudian konsep berpikir sistemik, konsep dinamika sistem dan konsep model.
Dalam kehidupan sehari- hari setiap orang dihadapkan, dipengaruhi, bahkan
mempengaruhi sistem, apakah itu sistem biologi, sosial, ekonomi, politik, alam, dan
sebagainya. Demikian pula dalam kehidupan organisasi modern. pekerjaan manusia
hampir tidak dapat dipisahkan dengan sistem, seperti komputer, mobil, bangunan, sistem
73
kerja, sistem produksi, dan seterusnya. Senge, et al (1999:137), mendefinisikan sistem :
“System are defined by the fact that their elements have a common purpose and behave in
common ways, precisely because they are interrelated toward that purpose”.
Sementara itu Ruben (1988: 62) melengkapi definisi sistem sebagai suatu entitas
atau suatu keseluruhan yang terdiri dari bagian-bagian yang saling interdependensi.
Secara lengkap definisi tersebut adalah sebagai berikut : “A system is any entity or whole
that is composed of interdependent parts. System have characteristics and capabilities
that are distinct from those of separate parts”. Diketengahkannya pula bahwa sebagian
besar sistem memiliki kelengkapan fisik seperti, mobil, rumah, masyarakat, sistem
transportasi, sistem tubuh manusia, dan sebagainya.
Sejalan dengan definisi Ruben, Maani dan Cavana (2000:6) mendefinisikan
sistem sebagai berikut : “A system is a collection of parts that interact with one another
to function as a whole”. Meskipun demikian, sistem dikatakan lebih dari sekedar
kumpulan bagian-bagian, melainkan di sana terdapat produk dari ‘interaksi’ antar bagianbagian tersebut. Checkland (1999:24) menterjemahkan sistem sebagai ‘holon’ yakni
sistem aktifitas manusia.
Aminullah (2004:2) mempertegas pengertian sistem sebagai ‘keseluruhan saling
pengaruh antar unsur dari sebuah obyek dalam batas lingkungan tertentu yang bekerja
mencapai tujuan’. Tidak jauh berbeda dengan Aminullah, sistem juga didefinisikan
sebagai “keseluruhan interaksi antar unsur dari sebuah obyek dalam batas lingkungan
tertentu yang bekerja mencapai tujuan”. Pengertian ‘keseluruhan’ adalah lebih dari
sekedar penjumlahan atau susunan (aggregate), namun terletak pada kekuatan (power)
yang dihasilkan oleh keseluruhan itu jauh lebih besar dari suatu penjumlahan atau
susunan. (Muhammadi, dkk, 2001:3).
Selanjutnya menurut Muhammadi, dkk (ibid:4-8), definisi tersebut mengandung
beberapa pengertian, yakni : (1) Pengertian ‘interaksi’ adalah pengikat atau penghubung
antar unsur, yang memberi bentuk / struk tur kepada obyek, membedakan dengan obyek
lain, dan mempengaruhi perilaku dari obyek. Contoh misalnya struktur organisasi adalah
pengikat dari bagian produksi, pemasaran, keuangan, dan personalia yang memberi
bentuk dan membedakan antara suatu organisasi bisnis atau publik. Selanjutnya
perbedaan struktur ini akan mempengaruhi perilaku dan unjuk kerja organisasi-organisasi
74
yang bersangkutan. (2). Dalam system juga mengandung pengertian ‘unsur’ adalah
benda, baik kongkrit atau abstrak, yang menyusun obyek sistem. Unjuk kerja dari sistem
ditentukan oleh fungsi unsur ini. Gangguan salah satu fungsi unsur akan mempengaruhi
unsur lain, sehingga akan mempengaruhi pula fungsi kerja sistem secara keseluruhan.
Unsur juga disebut bagian atau sub-sistem. Contoh dalam organisasi publik, jika fungsi
keuangan terganggu, maka fungsi-fungsi lainnya seperti produksi, distribusi, dan
pelayanan pelanggan juga akan terganggu. (3). Pengertian ‘obyek’ adalah sistem yang
menjadi perhatian dalam suatu batas tertentu sehingga dapat dibedakan antara sistem
dengan lingkungan sistem. Artinya semua yang di luar sistem adalah lingkungan system.
Semakin luas batas perhatian semakin kabur batas sistem, sebaliknya jika semakin
spesifik batas obyek, maka semakin jelas batas sistem. Contoh. Perusahaan dalam bentuk
fisik sangat jelas batasnya dengan lingkungan wilayah, sedangkan perusahaan dalam
bentuk intangible seperti organisasi akan kabur batasnya dengan lingkungan pasar. (4 )
Selanjutnya adalah pengertian ‘batas’, antara system dengan lingkungan tersebut
memberikan dua jenis sistem yakni ‘sistem tertutup’ dan ‘sistem terbuka’. Sistem tertutup
adalah sebuah sistem dengan batas yang dianggap kedap (tidak tembus) terhadap
pengaruh lingkungan. Sistem tertutup itu hanya ada dalam anggapan (untuk kepentingan
analisis), karena pada kenyataannya sistem selalu berinteraksi dengan lingkungan atau
sebagai sebuah sistem terbuka. Contoh, organisasi apapun selain terdapat interaksi dari
bagian-bagian yang ada didalamnya, juga melakukan interaksi dengan lingk ungannya
misalnya pelanggan, pemasok, pesaing, pemerintah, dan sebagainya. (5). Yang terakhir
adalah pengertian ‘tujuan’ yakni unjuk kerja sistem yang teramati atau diinginkan. Unjuk
kerja yang teramati merupakan hasil yang telah dicapai oleh kerja sistem, yaitu
keseluruhan interaksi antar unsur dalam batas lingkungan tertentu.
Terkait dengan pemahaman dasar tentang konsep sistem tersebut, orang diajak
untuk memahami tentang kompleksitas suatu sistem di mana kehidupan terus berlanjut
dan tumbuh. Banyak masalah-masalah organisasi bermunculan sebagai akibat tidak
diantisipasinya efek samping dari tindakan-tindakan di masa lalu. Hal ini berakibat pada
gagalnya implementasi kebijakan untuk memecahkan masalah penting, dan tentunya
justru akan menciptakan masalah baru. Agar pembuatan keputusan efektif, diperlukan
cara berpikir yang memahami kompleksitas sistem itu sendiri.
75
Suatu paradigma dalam berpikir dan bertindak berdasarkan pada kompleksitas
sistem disebut sebagai ‘system thinking’ (ST). ST didefinisikan oleh Sterman (2000:4)
sebagai : ‘…the ability to see the world as a complex system, in which we understand that
‘you can’t just do one thing’ and that ‘everything is connected to everything else’.
Checkland (2000:21-23) menambahkan, bahwa ST adalah melihat dunia sebagai
suatu sistem sama artinya dengan memahami hubungan- hubungan yang ada di dalamnya.
Dalam melihat kompleksitas dunia tersebut, manusia dipenuhi ide- ide abstrak tentang
dunia menurut persepsinya. Gambaran dunia nyata akan diperoleh ketika ide-ide yang
dipersepsikan manusia tersebut diterjemahkan dengan metodologi penelitian.
Di dalam organisasi, berpikir sistemik tidak sekedar memandang struktur
organisasi sebagai bagan semata, atau melihat struktur organisasi sebagai desain dari alur
dan proses pekerjaan dalam organisasi, sebagaimana gambaran orang saat ini. Menurut
Senge (1994:90), dalam perpikir sistemik (ST), struktur organisasi adalah pola dari
interrelationship diantara berbagai komponen dalam sistem organisasi. Termasuk
didalamnya adalah alur dari hirarkhi dan proses, juga berbagai perilaku dan persepsi,
kualitas produk, cara-cara keputusan dibuat, dan ratusan faktor lainnya yang ada disana.
Berkaitan dengan pengambilan keputusan, Sterman (2000:3 -5) mengetengahkan
bahwa ST dapat dipahami ketika melihat orang-orang berpandangan holistik, di mana
mereka akan bertindak dan berpikiran jangka panjang dan melihat sistem secara
keseluruhan, mengidentifikasikan daya pengungkit yang tinggi pada sistem, dan
menghindarkan kebijakan yang resisten. ST merupakan tantangan dan sekaligus alat dan
proses yang menolong orang-orang dalam organisasi untuk memahami kompleksitas,
merancang dengan baik pelaksanaan kebijakan, dan menjadi panduan dalam mengikuti
perubahan dalam sistem.
Aminullah (2004:18) menyimpulkan bahwa “berpikir sistemik pada dasarnya
adalah alat bantu menyederhanakan kerumitan sehingga dapat ditangani. Membuat
penyederhanaan adalah membuat sketsa dari suatu benda yang rumit tanpa kehilangan
wujud keseluruhan dari gambar sesungguhnya. Sketsa dapat berfungsi sebagai alat
perekat bagi berbagai pihak dalam melihat rangkaian bagian dari keseluruhan secara
terpadu. Pembuatan sketsa peta sistemik adalah pintu masuk berpikir sistemik, yang perlu
diurai lebih rinci, tetapi masih bisa ditangani dengan analisis sistemik”
76
Tidak semua orang berpikir secara sistemik, Maani dan Cavana (2000: 12)
menjelaskan bahwa ada 4 (empat) tingkatan berpikir, yakni : (1) Tingkatan berpikir yang
dikatakan sebagai ‘event’ yakni tingkatan berpikir yang hanya mengandalkan informasi
atau kejadian-kejadian aktual yang hanya menyentuh permukaannya saja. Misalnya
informasi tentang apa yang terjadi, dimana, kapan, bagaimana, dan siapa yang terlibat.
Tingkatan berpikir demikian juga disebut ‘a snapshots view’ atau informa si yang masih
dangkal. (2). Tingkatan berpikir yang disebut ‘pattern’ yakni berpikir setingkat lebih
dalam dari event, di mana diperlukan gambaran secara lebih berpola terhadap
kecenderungan dari suatu kejadian. Cara berpikir demikian maksudnya untuk
memberikan pengayaan gambaran suatu kejadian secara realitis dan memberikan lebih
banyak lagi ‘sisi dalam’ dari suatu kejadian. (3). Tingkatan berpikir yang ketiga adalah
berpikir secara sistemik (systemic structures). Berpikir secara sistemik menunjukkan cara
berpikir yang mendalam tentang bagaimana hubungan antar variable di dalam kejadian
yang kita pikirkan. Tujuan dari berpikir sistemik adalah untuk mengetahui bagaimana
variable-variable tersebut saling berinteraksi. (4). Tingkatan berpikir yang paling dalam
adalah yang dinamakan ‘mental model’ yakni cara berpikir yang didasarkan pada nilainilai, kepercayaan, asumsi-asumsi yang dipegang, dan berbagai alasan yang diyakini
benar. Kedalaman berpikir demikian sering ditunjukkan dengan pertanyaan ‘mengapa’
sesuatu terjadi, mengapa harus dilakukan dan mengapa tidak ? Berpikir sistemik adalah
cara berpikir yang mengacu pada kedalaman tingkat berpikir yang tidak hanya melihat
kejadian dari permukaannya semata ( fenomena gunung es ) melainkan berpikir hingga
ke tingkatan mental model, yakni mencari tahu sedalam-dalamnya tentang ‘akar’ dari
suatu permasalahan sehingga dapat mengambil keputusan yang setepat-tepatnya.
Untuk keperluan operasional, ST dilengkapi dengan ‘System Dynamic’ ( SD)
yakni berupa metode untuk mempelajari sistem yang komplek. Pembelajaran SD
memerlukan lebih dari sekedar alat, melainkan diperlukan secara fundamental berbagai
disiplin ilmu. Selain dari pada itu, karena SD berhubungan dengan perilaku sistem yang
komplek, maka landasan SD bukan teori linier melainkan sebaliknya yaitu non- linier
dengan pengembangan matematik, fisika, dan tehnik. Namun demikian untuk
mengaplikasikan dalam perilaku manusia, SD dapat diturunkan atas pengetahuan sosial,
psikologi, ekonomi, dan ilmu sosial lainnya Tujuan ST dan SD adalah untuk
77
memperbaiki pemahaman terhadap kinerja organisasi serta kaitannya dengan struktur
internal, kebijakan operational, termasuk pelanggan, pesaing , dan stakeholder yang lain,
dan kemudian menggunakan hal tersebut untuk kebijakan menciptakan pengungkit yang
efektif bagi keberhasilan organisasi, serta menghindarkan resistensi kebijakan. (Sterman,
2000:4-5)
Forrester (1961, dalam Sterman, 2000:21-22) mempertegas bahwa penggambaran
dunia nyata adalah tidak sesederhana yang kita bayangkan. Sejak awal penekanan SD
adalah pada multiloop, multistate, and non-linear character of the feeedback system in
which we live. Kompleksitas dinamik muncul karena sistem memiliki sifat-sifat antara
lain adalah : (1) dinamis, sebagaimana dikatakan oleh Heraclitus, bahwa “all is change”
artinya bahwa apapun yang ada di dunia ini berubah, sistem tubuh manusia, organisasi,
dan lain- lainnya dapat dipastikan mengalami perubahan. (2) Berpasangan secara ketat.
Hal ini menggambarkan sifat sistem yang yang secara kuat berinterasi satu sama lain. (3)
Diarahkan oleh umpan balik. Sifat ini sebagai hasil interaksi yang kuat satu sama lain,
sehingga interaksi yang satu akan berdampak bagi yang lain. (4) Non- linier. Artinya
bahwa hubungan interaksi tersebut dapat menjadi hubungan sebab-akibat. (5).
Pengorganisasian diri. Artinya bahwa sistem secara spontan muncul dari struktur internal
sendiri. Pola-pola yang menunjukkan saling ketergantungan merupakan umpan balik
struktur. (6) Adatif, yakni kemampuan untuk menyesuaikan dengan perubahan, sepelan
apapun. Bentuknya bisa evolusi atau adaptasi melalui pembelajaran. (7) Counterintuitive,
artinya bahwa di dalam sistem yang kompleks hubungan sebab akibat adalah melalui
waktu dan ruang yang panjang, sementara orang cenderung melihat segala sesuatunya
pada jangka pendek, atau sesaat. (8) Resistensi kebijakan. Kompleksitas sistem seringkali
sulit untuk dipahami, hasilnya banyak pemecahan masalah yang membingungkan atau
membuat situasi menjadi lebih buruk, hal inilah yang kemudian membuat resistensi. (9)
Bercirikan ‘trade-offs’ artinya, adanya waktu tunda dalam umpan balik. Hal ini juga
berarti terdapat respon jangka panjang dari intervensi sistem berbeda dengan respon
jangka pendek. Kebijakan pengungkit tinggi justru memperburuk, sementara kebijakan
pengungkit rendah sering menimbulkan perbaikan yang tidak kekal sebelum maslah
tumbuh semakin buruk
78
Secara metodologi, ST menggunakan fungsi ‘model’ dalam menjelaskan berbagai
area yang akan diukurnya, seperti keuangan, SDM, pelanggan, dan lain sebagainya.
Adapun pengertian model menurut Maani dan Cavana (2000:20) adalah : “Model is
defined as being a representation of the real world”. Model dapat dibedakan dalam
berbagai bentuk, apakah fisik, analog, digital (computer), matematikal, dan seterusnya.
Dalam batasan tersebut oleh Maani dan Cavana, konsep model dapat dipahami tidak
hanya dalam bentuknya yang tradisional yang sering mengacu pada kuantitaif (hard
modelling), melainkan juga dapat dalam bentuk lebih soft modeling yang mengacu pada
pendekatan konseptual dan kontekstual yang cenderung lebih realistic, pluralistic, dan
holistic atau lebih kualitatif. Dalam ST biasanya digunakan pendekatan yang lebih soft
modeling sementara dalam system dynamic (SD) lebih mengacu pada hard modeling.
Menurut Sterman (2000:89) ‘every models is a representation of a system-a
group of functionally interrelated elements forming a complex whole’. Lebih lanjut
dijelaskannya bahwa suatu model dirancang untuk memahami misalnya bagaimana siklus
suatu bisnis dapat dibuat stabil, atau suatu model dari berbagai kebijakan, atau model
yang menggambarkan lingkungan ekonomi, dan seterusnya. Suatu model yang
komprehensif kompleksitasnya akan serupa dengan sistemnya sendiri. Untuk membatasi
bangunan model, diperlukan ‘seni’ untuk ‘cut-out’ memperjelas tujuan model secara
logika. Luasnya suatu sistem kadang-kadang tidak mungkin digambarkan dalam model
secara lengkap, apalagi jika data tidak lengkap, asumsi-asumsi tidak pernah diuji, dan
orang yang membangun model tidak memahami perilaku sistem
Untuk membangun model, biasanya seseorang memerlukan syarat awal yakni
membuat karakterisasi dari permasalahan melalui diskusi dengan klien, dibantu oleh para
peneliti, kemudian mengumpulkan data, wawancara, dan observasi langsung atau
partisipasi. Namun demikian di sana banyak cara atau metode yang dapat dipakai untuk
mengumpulkan informasi yang dibutuhkan untuk mendefinisikan dinamika masalah.
Perilaku dinamis dari suatu sistem dapat dikenali melalui ‘model’. Menurut
Muhammadi dan kawan-kawan (2001:52), model adalah suatu bentuk yang dibuat untuk
menirukan suatu gejala atau proses. Model dapat dikategorikan ke dalam model
kuantitatif, kualitatif, dan model ikonik. Model kuantitatif adalah model yang berbentuk
rumus-rumus matematik, statistik, atau computer. Model kualitatif adalah model yang
79
berbentuk gambar, diagram, atau matrik, yang menyatakan hubungan dalam unsur.
Dalam model kualitatif tidak digunakan rumus-rumus matematik, statistik, dan komputer.
Model ikonik adalah model yang memiliki bentuk fisik yang sama dengan barang yang
ditirukan, meskipun skalanya dapat diperbesar atau diperkecil.
Pentingnya model dalam SD antara lain adalah : (1) model dapat mewakili dunia
nyata, di mana proses pengambilan keputusan dapat dilakukan melalui simulasi model
tanpa harus melakukan percobaan secara langsung pada fenomena yang nyata. Dengan
simulasi model berarti akan lebih menghemat biaya, tenaga, dan waktu. (2) Melalui
simulasi model, para pengambil keputusan dapat melakukan penyegaran dalam mengasah
ketrampilan, dan memainkan perannya dalam pengambilan keputusan, tanpa perlu
merasa bersalah karena gagal. (3) Melalui simulasi model, sebuah laboratorium yang
murah dapat disediakan untuk pembelajaran dan pelatihan dalam memahami sistem
organisasi. (4). Dunia virtual yang juga merupakan model formal, menyediakan kualitas
yang tinggi akan tersedianya hasil umpan balik, sebab model dapat dikendalikan dan
dikontrol dalam tingkatan variasi random yang dikehendaki. ‘Kotak hitam’ dalam dunia
nyata, bersifat tertutup dan sulit dikendalikan atau dikontrol, namun dalam dunia model,
kotak hitam tersebut dapat dibuka, dimana seseorang dapat mensimulasikan asumsiasumsinya dan memodifikasinya berdasarkan pada pengetahuan yang dikuasainya.
(Sterman, 2000:35).
Selanjutnya Sterman juga mengetengahkan langkah- langkah membuat model (hal
ini akan dibahas dalam bab tentang metode penelitian ), hanya menurut Randers (1980,
dalam Sterman 2000 :87) menyatakan bahwa tidak ada resep yang manjur untuk
menjamin keberhasilan dalam membuat model. “There is no cookbook recipe for
successful modelling, no procedure you can follow to guarantee a useful model” .
Membuat model adalah tergantung dari kreatifitas dan gaya serta pendekatan yang
digunakan oleh pembuat model.
80
Download