TINJAUAN PUSTAKA Esensi dan PentingnyaPelayanan Publik Esensi dan pentingnya pelayanan publik dapat dipahami melalui konsep sektor publik. Bapak ekonomi klasik Adam Smith (1776) melalui pekerjaan monumental dalam bukunya yang sangat dikenal “The Wealth of Nations” mengetengahkan 3 (tiga) peran dasar negara, yakni: Pertama, melindungi rakyat dari segala bentuk penjajahan dan penindasan bangsa lain. Manifestasi tugas ini nampak pada kekuatan militer yang diciptakan oleh negara. Kedua, melindungi masyarakat dari aspek hukum dan ketidakadilan, wujud dari tugas ini nampak pada diciptakannya berbagai peraturan dan perangkat lembaga peradilan dan hukum untuk melindungi rakyat dari ketidakadilan. Ketiga, menegakkan serta memelihara lembaga- lembaga publik untuk melakukan tugas-tugas perlindungan terhadap rakyat. Bentuk aktivitasnya adalah berupa pelayanan publik. (Aronson, 1985:14) Tiga peran dasar Negara tersebut kemudian diasumsikan sebagai pembatas antara apa yang har us dilakukan oleh negara dan pasar. Dikotomi tersebut diperkuat Smith dengan mengandalkan apa yang disebut sebagai ‘the invisible hand’ (‘tangan yang tidak terlihat’, atau mekanisme ‘pasar bebas’) yang diperkirakan mampu mengatur pemerataan income dalam sistem perekonomian negara, sehingga negara tidak perlu turut campur tangan di dalamnya. Paradigma ini banyak dianut oleh Negara-negara di Eropa barat sekitar abad 18 an. Sejarah kemudian mencatat, bahwa kemungkinan besar sektor publik tidak akan berkembang sepesat seperti sekarang ini jika pasar berhasil menciptakan distribusi income secara merata pada masyarakat, sebagaimana prediksi Smith sebelumnya. Kenyataannya hingga abad 19-an, pasar bebas tidak bekerja sebagaimana diramalkan, terjadi kegaga lan pasar atau market failure yang mencakup: Pertama, transaksi yang dilakukan oleh sektor swasta pada kenyataannya gagal menyediakan sejumlah barangjasa yang diperlukan bagi hajat hidup masyarakat. Kedua, kegagalan dalam menciptakan pemerataan penghasilan bagi sebagian besar masyarakat, karena sebagian masyakat tidak 35 memiliki sarana produksi, seperti modal, sumberdaya manusia, sumberdaya alam, tehnologi, daya beli, dan berbagai sarana lainnya untuk akses ke pasar. Ketiga, bahwa kedua kegagalan tersebut membawa implikasi kegagalan pasar dalam menciptakan tingkat stabilitas pendapatan nasional dan lapangan kerja. (Aronson, 1985: 19 ). Kondisi tersebut kemudian mengundang berbagai kritikan terhadap aliran ekonomi klasik, dan memicu munculnya aliran baru yakni teori ekonomi neo-klasik yang dipelopori oleh seorang ahli ekonomi Inggris, Keynes (1936) dengan anjurannya yang bertolak belakang dengan teori ekonomi klasik, yakni agar negara berperan aktif dalam mengontrol dan mengatur sistem perekonomian negara agar tercipta pemerataan kesejahteraan bagi rakyat. Teori Neo-klasik mengajarkan konsep ‘social philanthropy’ yang kemudian dikembangkan sebagai bentuk perbaikan dan pertanggungjawaban peran negara kepada warga negaranya serta untuk memecahkan masalah- masalah sosial yang selama ini tidak mampu ditangani oleh sektor privat. Sektor publik memiliki karakteristik dasar yang mudah ditandai yakni dengan melihat institusi atau lembaga yang diciptakan dan didanai oleh negara baik melalui pajak, subsidi, grant, loan, dan sebagainya yang pada dasarnya bertujuan untuk memenuhi tuntutan dan kebutuhan rakyat. Apapun yang dilakukan oleh sektor publik dapat dipastikan selalu berada pada domain atau proses politik.. Dalam hal ini , Chapman dan Cowdell (1998:2 -3) mempertegas karakteristik tersebut sebagai berikut : “These institutions are founded and funded by state, in the interest of state and, through the state, in the interest of its citizens. Their aims are politically determined by the state. Their budgets are sourced from taxation, both nationally and locally. Funding is determined by allocation, rather than by use, and they are controlled, or at least regulated, by state. The state is responsible for the legal obligation given to such institutions and for the legal controls over what they do. Indeed it is one of characteristics of public sector organizations that they are bounded by and operate within extensive legislation which creates an often creaking bureaucracy, much of which is concerned with the ‘proper’ use of public money” Secara lebih jauh, ditinjau dari karakteristik kelembagaan, Chapman dan Cowdell melihat sektor publik sebagai suatu organisasi yang memberikan manfaat pada masyarakat luas dalam berbagai cara. Kebutuhan dan hajat hidup masyarakat luas dipertemukan dengan konsep permintaan dan pelayanan barang – jasa oleh pemerintah secara keseluruhan mela lui mekanisme politik. Karena orientasinya pada kemanfaatan 36 masyarakat luas tersebut, maka sifat sektor publik dikatakan altruistic dan tidak berorientasi keuntungan. “Public sector institutions are usually understood in the sense of the first category. They are generally organizations, the purpose of which is to benefit society in some way. They are concerned with satisfying social wants and needs – that is, with meeting demands for services or support which benefit society as a whole. They may therefore be said to be ‘altruistic’, with concern for others as a guiding principle. As a result, they are generally non-profit-making organizations”. Sejalan dengan pemahaman Chapman dan Cowdell tersebut, Nutley dan Osborne (1994:1) menambahkan bahwa sektor publik menggambarkan badan-badan pemerintah yang memiliki kewenangan khusus yang diperoleh dari parlemen di mana mereka tunduk dan bertanggung jawab padanya. Selain dari pada itu sebagian besar sektor publik walaupun tidak semuanya - didanai melalui pajak. Selanjutnya ditambahkannya pula bahwa domain organisasi sektor publik mencakup pelayanan pemerintah pusat, daerah dan industri-industri milik negara: “ Public sector may have included some of the following : Central government departments, agencies and services – such as defence, education, health and social security. Local government departments and services – such as educations, social services, and housing.Nationalized industries - such as British Rail, Post Office”. Untuk membedakan organisasi privat dan publik, Farnham dan Horton (1993:28 ) menyatakan bahwa: “Private organizations are those created by individuals or groups for market or welfare purposes. There are ultimately accountable to their owners or members. Private organizations take the forms of unincorporated associations, companies, partnerships, and voluntary bodies. Public Organizations are created by government for primarily collectivistor political purposes. They ultimately accountable to political representatives and the law. Their criteria for succsess are less easy to define than are those of private organizations. Public organizations cover a wide range of activities and encompass all those public bodies which are involved in making, implementing and applying public policy.” Di dalam prakteknya, garis pemisah antara dua sektor tersebut sangat kabur dan sulit, demikian ditambahkan oleh Farnham dan Horton. Maksud nya adalah terkait dengan 37 wilayah atau domain kedua sektor yang semakin tidak jelas, pelayanan yang diciptakan oleh organisasi sektor publik meluas dan semakin bervariasi serta tidak ditujukan sematamata pada misinya semula yakni social philanthropy, bahkan menyaingi bisnis swasta. Terkait dengan masalah wilayah sektor publik, McKevitt (1998:1)mengemukakan secara tegas, bahwa sesungguhnya domain utama sektor publik ada pada 4 (empat) pelayanan inti yang terdiri dari, Health, Education, Welfare, dan Security (HEWS). Lebih lanjut dijelaskan bahwa dalam Undang-Undang Negara manapun, ke empat pelayanan inti tersebut menjadi tugas pelayanan pokok pemerintah pada warga negaranya. Setidaknya pemerintah menjamin bahwa rakyatnya berhak memperoleh layanan inti HEWS dan bebas dari permasalahan kegagalan pasar. Lebih lanjut McKevitt juga memberikan alasan, mengapa hanya empat macam pelayanan tersebut yang dikatakan menjadi inti dari pelayanan publik ? Dalam penjelasannya, empat macam pelayanan tersebut digambarkan memiliki hubungan interdependensi terhadap kesejahteraan rakyat secara umum. Artinya tingkat pendidikan masyarakat akan mempengaruhi kesehatan, kesehatan akan mempengaruhi kesejahteraan sosial-ekonomi, dan kesejateraan sosial-ekonomi akan mempengaruhi stabilitas keamanan, begitu seterusnya membentuk suatu siklus yang saling berkaitan. Sehingga dalam rangka menjalankan tugas pokoknya, negara minimal harus menjamin keempat pelayanan inti tersebut berjalan secara baik, jika misi altruism negara ingin tetap terjaga Secara filosofis, pelayanan publik memiliki makna yang besar bagi kehidupan dalam suatu negara dan tidak dapat diukur melalui keuntungan atau apapun secara individual, karena kemanfaatannya lebih dirasakan secara kolektif atau lebih tepat yakni menyangkut hajat hidup orang banyak (baca:rakyat). Demikian pula dalam hal pengelolaan dan pemeliharaannya, menjadi tanggung jawab kolektif dalam hal ini negara, dan bukan orang perseorangan. Filosofi pelayanan publik ini secara jelas telah diungkapkan oleh Adam Smith (1776) dalam “The Wealth of Nations” (dalam Chapman and Cowdell, 1998: 2) sebagai berikut : “…..those public institutions and those public works, which though they may be in the highest degree advantageous to a great society, are, however, of such a nature , that the profit could never repay the expense to any individual, or small number of individuals, and which it, therefore, cannot be expected that any individual, or small number of individuals, should erect or maintain” 38 Esensi pelayanan yang berorientasi pada kepentingan masyarakat secara luas tersebut, sekaligus juga menggarisbawahi makna ‘publik’ pada istilah pelayanan publik itu sendiri. Hal ini sebagaimana dibenarkan oleh Chapman dan Cowdell (ibid :114) bahwa “The definition of the public calls it ‘the community as an aggregate’ , with community meaning a body of people living in the same locally, and an aggregate meaning of a collection unit, or people, ...” Kenyataannya, dalam pelayanan publik secara spesifik istilah ‘publik’ lebih mengacu ‘as a collection of groups”. Misalnya kelompok masyarakat pelanggan jasa kesehatan, kelompok pelanggan jasa pendidikan, dan seterusnya. Selain dari itu, makna pelayanan publik yang mengandung istilah kolektif antara lain juga dapat ditandai pada model pembiayaannya yakni melalui pajak, dari pada melalui penerimaan dari hasil penjualan secara private. Mengenai hal ini dapat dipahami pada definisi pelayanan publik yang diketengahk an oleh Farnham dan Horton (1993) berikut ini: “The public services are broadly defined as those major public sector organizations whose current and capital expenditures are funded primarily by taxation, rather than by raising revenue through the sale of their services to either individual or corporate consumers. The public services so defined, include the civil service, local government, the National Health Service (NHS), and the educational and police services.” Badan atau agen penyelenggara pelayanan publik kemudian tidak terbatas pada pemerintah pusat atau pemerintah daerah semata, namun juga mencakup perusahaanperusahaan negara yang diciptakan oleh pemerintah dalam rangka penyediaan pelayanan secara langsung. Osborne dan Nutley (1994:1) mempertegas hal ini, yakni:(1) Pelayanan publik yang diselenggarakan oleh Departemen Pemerintah Pusat, seperti pertahanan keamanan, kesehatan, pendidikan, sosial, (2) Pelayanan publik yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah, seperti air bersih, sampah, kesehatan, serta (3) Pelayanan publik yang diselenggarakan oleh Industri atau Perusahaan yang bersifat nasional , seperti listrik, kereta api , kantor pos, telepon, dan sebagainya Pelayanan publik di bidang kesehatan sebagaimana telah diketengahkan oleh Mckevitt pada bahasan sebelumnya, merupakan pelayanan inti yang memiliki urgensi 39 tinggi terhadap sistem kesehatan penduduk baik secara regional maupun nasional. Secara jelas WHO (World Health Organization) merumuskan sistem kesehatan sebagai suatu kesatuan faktor- faktor kesehatan yang kompleks dan saling berhubungan dalam suatu Negara yang diperlukan untuk memenuhi tuntutan kesehatan baik perorangan, keluarga, kelompok, masyarakat, di suatu Negara (WHO,1984, dalam Azwar, 1996:14). Selanjutnya sistem kesehatan mencakup hal yang amat luas, Azwar (1996:14) menyatakan bahwa sistem kesehatan terdiri dari : (1) Sub sistem pelayanan kesehatan, dan (2) Sub sistem pembiayaan kesehatan. Untuk menghasilkan suatu pelayanan kesehatan yang baik, kedua sub sistem tersebut harus ditata dan dikelola dengan baik. Dalam tinjauan pustaka ini selanjutnya akan disoroti tentang sub sistem pelayanan kesehatan. Sub sistem pelayanan kesehatan menurut Levy dan Loomba (1973, dalam Azwar, 1996:35), memiliki makna sebagai upaya yang diselenggarakan sendiri atau secara bersama-sama dalam suatu organisasi untuk memelihara atau meningkatkan kesehatan, mencegah dan menyembuhkan penyakit serta memulihkan kesehatan perseorangan, keluarga, kelompok atau masyarakat. Berdasarkan pada batasan tersebut maka karakteristik pelayanan kesehatan ditentukan oleh pengorganisasian pelayanan (apakah dilaksanakan secara sendiri atau dalam organisasi formal), kemudian ditentukan oleh ruang lingkup kegiatan (apakah mencakup salah satu atau keseluruhan dari pemeliharaan, pencegahan, pengobatan, pemulihan kesehatan), dan ditentukan pula oleh sasaran pelayanan kesehatan (apakah perorangan, keluarga, kelompok, atau masyarakat) Hodgetts dan Cascio (1983, dalam Azwar, 1996:36-39) membedakan pelayanan kesehatan dalam dua bentuk yakni : (1) Pelayanan kedokteran (medical services) yang ditandai dengan cara pengorganisasian yang bersifat sendiri (solo practice) atau secara bersama-sama dalam suatu lembaga kesehatan (institution). Tujuan utamanya adalah untuk menyembuhkan penyakit, dan sasaran utamanya adalah perseorangan atau keluarga. (2) Pelayanan Kesehatan Masyarakat (public health services), yang ditandai dengan pengorganisasian yang dikelola oleh baik pemerintah (pusat dan atau daerah) maupun swasta. Tujuannya adalah untuk memelihara, mencegah, dan menyembuhkan penyakit. Sedangkan sasaran utamanya adalah kelompok atau masyarakat. 40 Pelayanan kesehatan sebagai suatu sistem pada umumnya dibagi dalam beberapa strata. Somers dan Somers (1974,dalam Azwar, 1996:40) mengetengahkan stratifikasi pelayanan kesehatan sebagai : (1) Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama (primary health services) yakni pelayanan kesehatan yang bersifat pokok (basic), yang sangat dibutuhkan oleh sebagian besar masyarakat dan mempunyai nilai strategis dalam meningkatkan derajad kesehatan masyarakat. Pada umumnya pelayanan kesehatan tingkat pertama ini berupa pelayanan rawat jalan (ambulatory/out patient services). (2) Pelayanan Kesehatan Tingkat Kedua (secondary health services) yakni pelayanan kesehatan lebih lanjut, telah bersifat rawat inap (in patient services) dan untuk menyelenggarakannya telah dibutuhkan tersedianya tenaga-tenaga spesialis. (3) Pelayanan Kesehatan Tingkat Ketiga (tertiary health services) yakni pelayanan kesehatan yang bersifat lebih kompleks dan umumnya diselenggarakan oleh tenaga-tenaga spesialis. Dalam konsep pelayanan kesehatan tersebut Puskesmas dapat digolongkan dalam karakteristik public health services yang memberikan pelayanan kesehatan tingkat pertama. Sebagaimana telah diungkapkan, bahwa urgensi pelayanan kesehatan seperti Puskesmas adalah sangat penting dan mempunyai nilai strategis yang tinggi terhadap derajad hidup masyarakat di suatu wilayah. Tinjauan Konsep Perubahan Dalam Kaitannya dengan Pemberdayaan Pelayanan Publik Selanjutnya dalam tingkat urgensi yang demikian tinggi, pelayanan kesehatan yang dikelola oleh pemerintah khususnya di negara-negara berkembang seperti halnya di Indonesia menghadapi tantangan yang cukup berat. Lingkungan yang terus menerus berubah menuntut pelayanan publik dapat beradaptasi dengan lingkungannya. Tinjauan terhadap konsep perubahan dalam bagian ini antara lain bertujuan untuk memberikan penekanan arti perubahan dalam pemberdayaan pe layanan publik bidang kesehatan, sebagaimana diketengahkan oleh Jenkins bahwa ’empowerment means making changes’. Pemberdayaan Pelayanan publik di bidang kesehatan (dalam hal ini Puskesmas), dengan demikian dapat dipandang sebagai bagian dari upaya menciptakan perubahan dan mengantisipasi perubahan lingkungan. Sementara perubahan itu sendiri merupakan 41 sesuatu yang mustahil untuk dihindari dalam era modernisasi dan globalisasi saat ini. Kesadaran pelanggan akan nilai-nilai mutu pelayanan yang baik, kesadaran masyarakat tentang hak-hak mereka dalam menerima pelayanan publik secara sepatutnya, dan masalah nilai- nilai hak azasi manusia yang menjadi bagian pelayanan publik baik secara filosofis maupun dalam praktiknya, secara keseluruhan membentuk sifat kritis pelanggan masyarakat untuk tidak begitu saja menerima layanan yang cacat. Berdasarkan pada tuntutan lingkungan tersebut, maka pemberdayaan pelayanan publik akan lebih bermakna ketika perubahan-perubahan yang terjadi di dalamnya adalah terkait dengan peningkatan kualitas pelayanan yang mengacu pada pemuasan kebutuhan pelanggan atau masyarakat. Secara internal perubahan-perubahan tersebut seharusnya juga memberikan kesempatan bagi individu- individu pelaksana pelayanan publik untuk berubah. Konsep perubahan yang diketengahkan Senge, et al (1999:33), mengetengahkan bahwa organisasi adalah hasil dari cara-cara orang berpikir dan berinteraksi di dalamnya. Karena itu setiap perubahan apapun yang ada di dalam organisasi, harus memberi kesempatan bagi orang-orang di dalamnya untuk mengubah cara-cara berpikir dan berinteraksi mereka. Perubahan orang-orang dalam organisasi tidak bisa hanya dilakukan dengan peningkatan pelatihan semata- mata, atau dengan menggunakan pendekatan kontrol, atau perubahan manajemen secara tangible, melainkan harus melibatkan ‘pemberian kesempatan’ dalam berbagai aktivitas baru pada orang-orang agar dapat mengembangkan kapabilitasnya sedemikian rupa untuk perubahan. Konsep perubaha n Senge et al tersebut memberikan arti, bahwa pemberdayaan seharusnya tidak hanya sekedar mengubah, melainkan memberikan kesempatan untuk berubah. Dalam hal ini tentunya organisasi harus memfasilitasi individu- individu dalam proses perubahan tersebut. Sala h satu yang diketengahkan oleh Senge adalah kesempatan untuk belajar. Memberikan kesempatan belajar berarti organisasi telah melakukan investasi terhadap pengembangan ide-ide baru, bakat atau kapabilitas baru yang selama ini tidak terdeteksi melalui pola interaksi yang terencana dan terarah. Secara kongkrit, pendelegasian pemikiran, kesempatan dalam pengambilan keputusan, kewenangan, dan metode bertindak, menjadi inti dari perubahan orang-orang di dalam organisasi. 42 Pemikiran-pemikiran yang terkait dengan perubahan organisasi kemudian bermunculan dalam berbagai bentuk teori maupun konsep, antara lain adalah konsepkonsep perubahan dan pengembangan organisasi (Organization Development / OD) yang mengkaitkan perubahan dengan perilaku manusia dan budaya organisasi (Beckhard,1969) kemudian konsep pembelajaran organisasi (Learning Organization) yang memandang perubahan organisasi sebagai cara untuk memberikan kesempatan pada orang-orang di dalamnya untuk meningkatkan kapabilitasnya (Senge, 1999; Maycunich,2000). Terdapat beberapa kekuatan yang menghubungkan perubahan-perubahan dalam organisasi. Dalam konsep “administrative reform” yang diketengahkan oleh Caiden (1969:4), dinyatakan bahwa perubahan dalam organisasi atau dalam masyarakat tidak terjadi dengan sendirinya, setidaknya ada 4 (empat) kekuatan yang mendorong timbulnya perubahan, yakni: (1) gerakan yang menghubungkan antara perubahan dengan lingkungan, (2) gerakan yang menghubungkan antara perubahan dengan ide- ide baru atau inovasi, (3), gerakan yang menghubungkan antara perubahan dengan penghapusan masalah- masalah sosial, dan (4) gerakan yang menghubungkan perubahan dengan sifat kecenderungan membandingkan dan mengevaluasi aktifitas-aktifitas sosial. Menurut Caiden, semua bentuk reformasi dalam organisasi merupakan bagian dari perubahan sosial. Perubahan sosial merupakan dinamika lingkungan yang sewaktu-waktu dapat mempengaruhi organisasi. Caiden lebih memaknai perubahan dalam organisasi sebagai suatu ‘reform’ yakni perubahan yang secara sengaja diciptakan, artificial atau buatan, dapat dihindari jika tidak diperlukan, dan memiliki tujuan moral (moral purpose). Sementara itu para pemerhati lingkungan organisasi mengaitkan perubahan organisasi dengan perubahan lingkungannya . Era globalisasi dan perdagangan bebas yang dikaitkan dengan kelangkaan sumber-sumber karena ketatnya persaingan dewasa ini menjadi alasan bahwa perubahan organisasi diperlukan. Daft (1992:71) mendefinisikan lingkungan sebagai : “The environment is infinite and includes everything outside the organization”. Selanjutnya, dari definisi lingkungan tersebut, Daft memberikan definisi lingkungan organisasi yakni : “As all elements that exist outside the boundary of the organization and have the potential to affect all or part of the organization. Berdasarkan konsep Daft tersebut maka stakeholders organisasi yang menjadi boundary pertama yang 43 harus diperhatikan dalam perubahan, adalah pelanggan, pegawai, manajemen, pemasok, dan pesaing. Dengan demikian apa yang dimaksud dengan perubahan organisasi itu ? Beckhard (1969, dalam Tyson dan Jackson, 2000:209)) mendefinisikan perubahan organisasi sebagai : ‘Usaha terencana, organisasi luas dan dikelola dari atas untuk meningkatkan efektifitas dan kesehatan or ganisasi melalui intervensi terencana dalam proses-proses organisasi yang menggunakan ilmu pengetahuan sosial”. Sejalan dengan konsep pemberdayaan dalam organisasi pelayanan publik, maka makna perubahan menjadi tema penting yang terkait dengan tujuan dari pemberdayaan itu sendiri. Pemberdayaan mengacu pada definisi Beckhard tersebut adalah sebagai usaha terencana untuk melakukan perubahan-perubahan dalam organisasi dan individu-individu yang ada di dalamnya melalui berbagai intervensi terencana terhadap aktivitas yang dilakukan oleh organisasi. Sebagai contoh, pemberdayaan kapabilitas dan kapasitas pegawai misalnya, pasti akan mengikutsertakan sejumlah intervensi- intervensi organisasi dalam berbagai bentuknya, apakah melalui perubahan peraturan, policy, metode, dan bahkan intervensi dalam mengubah perilaku, melalui pendidikan pelatihan misalnya. Dalam konsepnya tentang ‘Three categories of change’ (perubahan diawali dengan kemampuan struktur kewenangan, teknologi, dan perilaku), Robbins dan Decenzo lebih mengacu pada sequensial perubahan yang diawali oleh adaptasi organisasi terhadap perubahan lingkungannya. Dalam organisasi yang adaptif perubahan tersebut direspon oleh organisasi melalui hubungan kewenangan, mekanisme koordinasi, desain pekerjaan, dan kontrol, Selanjutnya perubahan struktur ini akan diikuti oleh perubahan teknologi kerja mencakup proses kerja, metode kerja, dan peralatan. Jika orang-orang dalam organisasi belum memiliki kapasitas dan kapabilitas yang sesuai dengan perubahan yang baru diadopsi, maka orang-orang ini harus diubah perilaku, sikap, harapan, maupun persepsinya. Dapat dikatakan bahwa tingkat intervensi tertinggi dalam perubahan organisasi adalah kewenangan dan policy, kemudian intervensi terhadap metode atau cara, dan terakhir adalah perilaku para pelaksananya. Dalam hubungannya dengan pemberdayaan yang mengindikasikan suatu perubahan organisasi yang terencana dan dikelola dengan memanfaatkan intervensi, muncul pertanyaan, sejauh mana perubaha n-perubahan tersebut dapat dikelola secara 44 baik dan berhasil atau bermanfaat bagi organisasi ? Linda Ackerman (1984, dalam Jick dan Peiperl, 2003:2) memaknai perubahan sebagai sesuatu yang direncanakan dan berbentuk respon atau kekuatan-kekuatan yang menekan organisasi. Dalam hal ini Ackerman menyatakan, bahwa mengelola perubahan tergantung pada macam atau jenis perubahan itu sendiri. Ackerman menyatakan sekurang-kurangnya ada 3 (tiga) macam bentuk atau tipe perubahan, yakni : (1) Development change, yakni perubahan yang berupa perbaikan ketrampilan, metode atau kondisi, guna mencapai harapan yang lebih baik. Pengelolaan tidak begitu rumit dan dapat dilakukan secara linier dari A ke B. (2) Transitional Change. Perubahan bentuk ini memerlukan step-step peruba han yang bersifat bertahap dan pelan dimulai dari menata kembali organisasi, membuat proyek contoh perubahan, dan baru mengoperasionalkannya secara penuh. Tugas manajemen menjadi kompleks karena masa transisi dari yang lama ke yang baru.dan yang terakhir adalah (3) Transformational Change. Tipe perubahan ini dikatakan sebagai tipe paling radikal, karena secara total organisasi mengubah variabel- variabel tertentu, seperti misalnya mengkonsepkan kembali visi- misi, budaya, tujuan, dan kepemimpinan organisasi secara total. Pengelolaan perubahan jenis ini diakui sangat sulit, diperlukan analisis total lingkungan organisasi, dan komitmen seluruh stakeholder-nya. Jika perubahan organisasi dapat dikelola sesuai dengan jenis – jenis perubahan sebagaimana diketengahkan oleh Ackerman tersebut, maka tidak demikian dengan perubahan perilaku manusia dalam organisasi. Perubahan yang mengacu pada peningkatan atau kontrol terhadap kinerja pegawai misalnya, sulit untuk dikelola apabila tidak disertai dengan pengetahuan terhadap kesiapan orang-orang dalam organisasi untuk berubah. Terkait dengan hal tersebut, maka kesiapan orang untuk berubah terdapat pada 2 (dua) kekuatan yang ada dalam individu-individu itu sendiri. Kekuatan tersebut meliputi pertama, pengetahuan dan ketrampilan dasar, kesadaran diri, dan toleransi terhadap ambiguitas.Bahkan ada bukti yang menyatakan bahwa tingkat motivasi dan harga diri berperan penting dalam kesiapan individu untuk berubah. Kekuatan kedua adalah berkaitan dengan sistem yang meliputi budaya dan iklim organisasi, dan konsekuensi yang dirasakan terhadap kegagalan atau keberhasilan organisasi. Gabungan faktor-faktor tersebut memberikan diskripsi mengenai rasa aman (Tyson dan Jackson 2000:237). 45 Selanjutnya Carnall (dalam Tyson dan Jackson, 2000:237) mengetengahkan, jika rasa aman tinggi atau rendah, maka respon terhadap perubahan akan banyak berupa penolakan, penekanan, ataupun distorsi. . Robbins dan Decenzo (2001:236) menunjuk pada 3 (tiga) alasan mengapa orang cenderung resisten terhadap perubahan. Pertama, orang-orang sering berasumsi negative terlebih dahulu terhadap perubahan, sebelum menyimak dengan baik manfaatnya. Perubahan diasumsikan sebagai yang tidak pasti (uncertainty), penuh keragu-raguan terhadap sesuatu yang belum diketahuinya karena masih baru. Kedua, sebagian besar orang-orang takut terhadap perubahan karena takut kehilangan sesuatu yang bernilai. Sebut saja kedudukan, investasi, pertemanan, kelompok, dan hal-hal lain yang bernilai bagi manusia. Ketiga, mempercayai perubahan sebagai hal yang tidak baik bagi organisasi. Orang-orang dalam organisasi secara diam-diam akan menganalisis perubahan-perubahan yang ada, dan memberikan penilaian. Hasil analisa mereka dapat negative atau positif, artinya tergantung pada kesesuaian perubahan dengan manfaatnya secara individual bagi mereka. Dalam ilmu penyuluhan pembangunan, dikenal teknik untuk menurunkan resistensi, misalnya dalam metode pembelajaran orang dewasa secara lateral, orang-orang belajar tanpa harus ‘terpaksa’, karena pendidik menempatkan secara sejajar dirinya dengan peserta didi, dengan demikian apa yang dikatakan dengan ‘kehilangan harga diri’ tidak akan terjadi. Robbins dan Decenzo (2001:237) mengetengahkan teknik -teknik penurunan resistensi sebagai berikut: (1) ketika resistensi terjadi karena kurangnya informasi perubahan, maka teknik yang sesuai adalah melalui pendidikan dan komunikasi. (2) Apabila orang-orang yang resisten memiliki keahlian untuk membuat kontribusi atau sumbangan dalam perubahan, maka teknik yang digunakan adalah partisipasi atau melibatkan orang-orang yang resisten tersebut dengan aktifitas perubahan. (3) Apabila orang-orang merasa ketakutan atau merasa terasing pada perubahan, maka teknik yang digunakan adalah memfasilitasi dan memberikan dukungan dan negosiasi bahkan ‘membeli’ komitmen mereka. (4) Apabila resistensi terjadi pada kelompok-kelompok yang memiliki kekuatan/ kewenangan, maka teknik yang digunakan adalah cooptasi, merger, atau mengajak mereka untuk bergabung atau berasosiasi. Dan yang terakhir (5) 46 ketika kelompok-kelompok yang memiliki kekuatan sulit untuk diajak kerjasama, maka teknik ‘paksaan’ berupa sanksi yang tegas dapat digunakan. Menurut Tyson dan Jackson (2000:243) , kerangka terbaik untuk mengatasi perubahan adalah memperhatikan individu dan menganalisis situasi dan pengalaman organisasi di masa lalu. Kadang-kadang perubahan besar tidak diperlukan, justru perubahan yang memerlukan perbaikan sederhanalah yang baik, perubahan yang membuat sesuatu yang sudah berjalan baik menjadi lebih baik. Jika perubahan-perubahan sederhana ini dilakukan secara terus menerus, maka kebutuhan akan perubahan besar dapat berkurang.. Greiner (dalam Tyson dan Jackson,2000) menyebut hal ini sebagai ‘struktur kebiasaan’. Namun kadang-kadang struktur kebiasaan menghambat penyesuaian terhadap perubahan. Yang terpenting menurut Greiner adalah bagaimana organisasi dapat menyiapkan umpan balik yang berguna bagi pegawai selama proses perubahan. Umpan balik dapat dirancang dan bermacam- macam dan menyangkut perilaku manajerial, seperti keamanan, dihargai ide- ide dan gagasan, kepemimpinan yang mendukung kreatifitas, demokratis, dan lain- lainnya. Dapat ditarik benang merah dari pembahasan konsep perubahan tersebut, pertama, bahwa perubahan terkait dengan suatu upaya organisasi dalam mengantisipasi dan menghadapi perubahan lingkungan. Kedua, perubahan terkait dengan pemberdayaan baik organisasi maupun individu. Perubahan yang tidak memberdayakan adalah perubahan yang tidak bermanfaat. Oleh karena itu orang-orang yang akan diubah sebaiknya diberikan kesempatan dan fasilitas untuk dapat berubah. Ketiga, perubahan menuntut kesiapan organisasi untuk berubah. Perubahan berarti memberikan kesempatan pada siapapun untuk belajar berubah, sehingga perubahan adalah suatu proses. Keempat, tidak mustahil bahwa didalam suatu perubahan akan terjadi penolakan atau resistensi. Di dalam pelayanan publik sejak era defisit anggaran tahun 1980-an, terjadi perubahan yang mendasar terhadap kuantitas dan kualitas pelayanan publik di berbagai negara. Perubahan paradigma pelayanan publik selaras dengan perubahan lingkungan dunia saat itu, di mana titik awal dan koreksi terhadap pelayanan publik dimulai. Amerika Serikat dan Inggris adalah dua negara besar yang merasakan bahwa public expenditures mereka membengkak karena besarnya subsidi pelayanan publik. Munculnya gerakan privatisasi yang dipelopori oleh Presiden Amerika Serikat Rona ld Reagan dan 47 Perdana Menteri Inggris Margareth Thacher pada tahun 1979, membawa dua implikasi perubahan sekaligus, yakni di satu sisi mengurangi beban negara dari pengeluarannya yang berupa subsidi, di sisi lain mengandung makna perubahan besar terhadap ethic dan manajerial sektor publik, antara lain munculnya perhatian terhadap pembenahan dan pembaharuan pelayanan publik yang selama ini dinilai tidak efisien dan tidak efektif, serta memiliki kinerja yang rendah. Di negara-negara berkembang, kegagalan pasar disikapi oleh pemerintah dengan peran sentral pemerintah yang dominan, segala sesuatunya ditetapkan secara ‘top-down policy’ oleh pemerintah. Pelayanan publik lebih banyak dikelola dan disediakan oleh pemerintah serta diatur dalam suatu mekanisme politik. Tangan-tangan politik dengan berbagai kepentingannya sering berada di balik berbagai macam pelayanan masyarakat. Indonesia pada jaman orde baru pernah menempatkan birokrasi pelayanan publik sebagai mesin partai mayoritas pada saat itu. Masyarakat tidak memiliki pilihan dan harus menerima kondisi monopoli pemerintah sebagai satu-satunya pemenuhan hajat hidup mereka. Kondisi ini tentu saja membawa implikasi yakni semakin resistennya birokrasi terhadap masukan dan kritikan masyarakat. Chapman dan Cowdell ( 1998:12) memperjelas hal tersebut sebagai perilaku ‘we know best’ yang merupakan sindiran bagi pemerintah yang merasa seolah paling mengetahui apa yang dibutuhkan masyarakat, dan karenanya masyarakat tidak perlu protes atau komplain. Perubahan yang dituntut masyarakat pada era tersebut seperti gayung bersambut sejalan dengan perubahan era defisit dunia. Birokrasi dituntut untuk memberikan pelayanan publik secara murni, dan harus terlepas dari kungkungan mesin politik. Munculnya gerakan privatisasi selain mengindikasikan kembalinya pasar bebas, juga merupakan kritik luas terhadap peran negara dalam pelayanan publik. Menurut para ahli, pelayanan publik memerlukan paradigma baru yang mampu membawa pencerahan, dan perubahan. Pe layanan publik diharapkan memposisikan dirinya pada lingkungan politik dan birokrasi yang tidak rigid. Walaupun untuk terlepas sama sekali adalah suatu kemustahilan, namun setidaknya ‘otonomi’ bagi sektor publik harus berjalan secara rasional dan menekanka n pada prinsip-prinsip pelayanan yang mengacu pada pemenuhan kebutuhan dan kepuasan masyarakat. Perbedaannya dengan sektor private adalah sesuatu yang tidak perlu dibahas secara mendetail – perbedaan tersebut justru memberikan warna 48 dan karakteristik khas masing- masing pelayanan – konsentrasi dapat diarahkan pada bagaimana mengadopsi ‘apa yang baik’ dari private. Ide untuk mengadopsi apa yang baik dari private tersebut pernah dikemukakan dalam bentuk pandangan yang mengarah pada ‘public-private-partnership’ dilontarkan dalam upaya untuk memperbaiki kinerja sektor publik. Osborne dan Gaebler (1992) dalam bukunya yang sangat terkenal yakni “Reinventing Government”, menawarkan suatu perubahan yang mencakup policy level, design organisasi dan peraturan kerangka kerja yang mengacu pada organisasi sektor publik yang responsive dan memberdayakan masyarakat. Dalam paradigma ini ada beberapa credo yang mengubah budaya kerja pemerintah, antara lain, pemerintahan katalis yang lebih mengarahkan katimbang mengayuh, pemerintahan yang lebih desentralistis, pemerintahan yang kompetitif, pemerintahan yang berorientasi pelanggan, pemerintahan yang digerakkan oleh misi, pemerintahan yang wirausaha, pemerintahan yang antisipatif, pemerintahan yang dimiliki oleh masyarakat, dan pemerintahan yang berorientasi pasar. Beberapa tahun kemudian hingga saat ini, pandangan ini dengan cepat diadopsi oleh beberapa negara berkembang termasuk Indonesia. Reinventing government dengan cepat digunakan sebagai conceptual framework pada berbagai proposal proyek-proyek pembangunan pemerintah dan menempati silabi beberapa mata kuliah manajemen publik dan administrasi pembangunan Pada aspek lain, perubahan juga nampak pada ditawarkannya suatu paradigma yang mengacu pada prinsip -prinsip dari “New Public Sector Marketing” , Chapman dan Cowdell (1998), Nutley dan Osborne (1994), adalah nama- nama spesialis yang mengetengahkan pandangan baru yang mengubah pandangan tradisional pelayanan publik terhadap pemasaran barang-jasa publik, terutama disesuaikan dengan tuntutan pasar yakni demand dari masyarakat. Menurut para pakar tersebut, ke depan perubahan marketing sektor publik akan mempengaruhi filosofi dan fungsi pelayanan publik, dan selanjutnya akan mengembangkan suatu pemahaman yang jelas tentang kebutuhan, keinginan, dan aspirasi para pemilih. Selama ini terdapat pandangan yang salah terhadap pasar, dan lebih sering dihubungkan dengan dunia profit- making business – memang pada kenyataannya hampir seluruh konsep marketing ditulis dan ditujukan bagi dunia bisnis – sementara tidak disadari bahwa proses pertukaran yang dikontrol oleh supply dan 49 demand dalam pasar sesungguhnya juga mencakup sektor publik yang juga adalah bagian dari ekonomi. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Chapman dan Cowdell (1998:31) sebagai berikut: “Used in this way, references to ‘the market’ have been mainly associated with the world of profit-making business. Indeed, the bulk of available literature on marketing has been written from the business, profit-making perspective. However, the market defines the relationships between supply and demand in any sector of the economy, and is therefore a key social institution. Society only endorses those institutions which serve its needs, and the process of exchange is a central one”. Kegamangan terhadap marketing sangat dapat dimengerti mengingat konsep marketing sendiri lebih melekat di sektor bisnis. Setidaknya diperlukan perubahan cara pandang terhadap pemasaran. Secara filosofis, marketing akan lebih ‘mendekatkan’ provider – consumer (citizen), karena selama ini diketahui bahwa pandangan sektor publik yang jauh dari masyarakat sesungguhnya sangat tidak menguntungkan sektor publik sendiri, antara lain menjauhnya partisipasi dan kontrol masyarakat. McKevitt (1998:38) menyinggung perihal pendekatan marketing dalam publik sektor sebagai berikut : “Service marketing has, in its strategic objectives, obvious resonance for the management of public services – that is, the creation and maintenance of a valued relationship with the citizen-client. For example, customer complaints in the private sector are an important source of management data for the improvement of service quality ; the traditional public sector attitude has been to ignore complaints from service recipients, that is, citizens”. Jelas sudah bahwa melalui pendekatan marketing juga diharapkan muncul suatu nilai- nilai yang menghargai konsumen, dalam hal ini masyarakat sebagai warga negara. Sebagaimana diketahui bahwa di dalam sektor publik, masyarakat sebagai warga negara tidak memiliki ‘kedudukan’ yang sama dengan konsumen pada sektor private. Pada faktanya masyarakat tidak memiliki pilihan dalam mengkonsumsi barang-jasa publik. Preferensi masyarakat disalurkan mela lui haknya sebagai pemilih (voter), sedangkan supplay dan demand terjadi dalam suatu proses politik. Demikian pula dalam mekanisme harga, masyarakat tidak bersentuhan langsung sebagaimana dalam pasar private. Kondisi tersebut menyebabkan sektor publik menjadi sangat dominan dalam perannya sebagai 50 public producer maupun provision. Dominasi sektor publik tersebut bahkan tercermin pada resistensinya terhadap komplain dan kritikan masyarakat Perilaku ini sesungguhnya tidak boleh terjadi bila sektor publik ingin menghindari sindiran ‘we know what is best practice’, yang mengindikasikan seolah-olah pemerintah adalah satu-satunya pihak yang paling mengetahui apa yang diharapkan dan dibutuhkan oleh masyarakat. Perubahan radikal pada tahun 1980-an yang dipelopor i oleh Margaret Thatcher (mantan Perdana Menteri Inggris) melalui privatisasi beberapa pelayanan publik, bertujuan mendudukkan warga negara seperti ‘the customer is king’ atau ‘the customer always right’. Gebrakan lainnya yang meramaikan khasanah pelayanan publik adalah paradigma kualitas layanan (service quality – sering disingkat servqual), adalah pengukuran kinerja melalui kepuasan pelanggan. Level pelayanan yang menghadapkan secara langsung antara pemberi layanan dengan masyarakat pengguna layanan (front line) kali ini menjadi fokus utama dalam servqual yang diujikan pada sejumlah pelayanan private dan publik di New Zealand dan Inggris. Keampuhan kualitas pelayanan terhadap kepuasan pelanggan merupakan hasil penelitian Zeithaml, Berry, dan Parasurama n (1990) yang membuktikan betapa kinerja aparat ujung tombak memegang peranan penting dalam mengantarkan suatu pelayanan yang berkualitas. Kinerja aparat pemberi layanan juga termasuk bagaimana mereka dapat memahami pelanggan, menangkap keinginan dan harapan pelanggan, serta memberikan yang terbaik pada pelanggan. Kesenjangan antara ‘harapan’ dan ‘kenyataan’ yang dirasakan oleh pelanggan menjadi titik awal bagi perbaikan suatu pelayanan . Setidaknya ada 5 (lima) gap dalam servqual, dimana gap ke lima bermuara pada 5 (lima ) dimensi kualitas layanan, yakni tangible, realibility, responsiveness, assurance dan empathy (Zaithaml, et al, 1990 hal 131). Pelajaran yang dapat dipetik dari perkembangan paradigma pelayanan publik tersebut adalah, pertama, setelah era defisit, konsep pelayanan publik mulai mengalami perubahan terutama pada teknik manajerial dengan mengadopsi teknik manajerial privat.(Osborne dan Gaebler,1998 ; Chapman dan Cowdell, 1998 ; Farnham dan Horton, 1993) Kedua, konsentrasi perubahan lebih cenderung pada peningkatan kualitas level frontline.(Zeithaml et al,1990 ; Mckevitt, 1998 ; Lovelock,1990) Ketiga, gerakan peningkatan kinerja birokrasi pelayanan publik nampak gencar dipromosikan (Savas, 51 1990 ; Osborne dan Gaebler, 1998, Moore, 1995, Walters, 1993 ).Keempat, nampak perhatian terhadap partisipasi dan pemberdayaan masyarakat pengguna, namun belum sepenuhnya memperoleh tekanan.yang berarti ( Moore,1995 ; McKevitt 1998). Tinjauan Konsep Pemberdayaan Turbulensi lingkungan yang semakin cepat menuntut pelayanan publik di bidang kesehatan juga semakin cermat melakukan perubahan-perubahan. Proses perubahan yang memberikan kesempatan untuk belajar dan memfasilitasi perubahan merupakan upaya pemberdayaan. Apakah batasan sua tu pemberdayaan itu ? Sebagian dari masalah memahami dan mengimplementasikan pemberdayaan adalah kesulitan mendefinisikan secara tepat makna pemberdayaan itu sendiri. Definisi tentang pemberdayaan hingga saat ini masih beragam, sebagian menganggap pemberdayaan adalah suatu cara atau alat, dan sebagian lagi menganggap pemberdayaan sebagai proses dan tujuan. (Clutterbuck dan Kernaghan, 2003:3). Stewart dalam rangka menjelaskan arti empowerment, menyatakan bahwa ketika orang membicarakan tentang pemberdayaan organisasi maupun para pegawai, yang pertama dipikirkan adalah asumsi bahwa kondisi organisasi dan pegawai mereka saat ini tidak atau kurang berdaya. Kata ‘berdaya’ erat kaitannya dengan kata ‘power’, artinya orang yang memiliki ‘daya’ adalah orang yang memiliki ‘power ’. Sangat berbeda dengan authority yang secara esensial diartikan sebagai suatu hak, power mengandung arti ‘kemampuan’ atau ‘kemampuan untuk melakukan sesuatu’. Para pimpinan organisasi barangkali memiliki hak (authority) untuk memerintah bawahannya melakukan suatu pekerjaan, akan tetapi tidak cukup hanya itu, diperlukan pula power atau kemampuan agar perintahnya tersebut ditaati dan dilaksanakan dengan baik bahkan memperoleh hasil sebagaimana yang diharapkan, misalnya dengan ancaman, sanksi atau penghargaan (role power), dengan keahlian memerintah dan memimpin (expert power), dengan menggunakan sarana atau sumber-sumber untuk mendukung pelaksanaan pekerjaan, seperti materi, uang, alat-alat dan sebagainya (resource power). Empowerment dengan demikian adalah sebagai suatu cara yang produktif dan praktis dalam mencapai yang terbaik dari para pegawai dalam organisasi (Steward, 1994:6) 52 Whetten, et al (2000:405-407) menjelaskan bahwa pemberdayaan memiliki sederetan makna yakni antara lain, bahwa pemberdayaan menolong orang lain untuk mengembangkan harga diri mereka (to help people develop a sense of self-worth), pemberdayaan juga berarti untuk mengatasi penyebab kehilangan kewenangan (to overcome causes of powerlessness), pemberdayaan juga berarti memberikan energi pada orang lain untuk melakukan aktifitas (to energies people to take action), pemberdayaan juga berarti memobilisasi faktor-faktor rangsangan intringsik dalam pekerjaan (it means to mobilize intrinsic excitement factors in work ), dan akhirnya pemberdayaan juga berarti menyempurnakan suatu tugas. Clutterbuck dan Kernaghan (2003:3) mendefinisikan pemberdayaan sebagai upaya menemukan cara-cara baru untuk memusatkan kekuasaan di tangan orang-orang yang paling membutuhkan untuk melaksanakan pekerjaannya. Pemberdayaan juga berarti pendelegasian tanggung jawab atas pembuatan keputusan sampai sejauh mungkin di bawah lini manajemen. Pemberdayaan juga berarti peralihan kekuasaan secara terkendali dari manajemen ke karyawan untuk mencapai tujuan jangka panjang. Pemberdayaan juga mengandung makna sebagai upaya menciptakan kondisi dan situasi di mana orang-orang bisa menggunakan kualitas-kualitas dan kemmapuan-kemampuan mereka di tingkat maksimum. Ditinjau dari sejarah penggunaan dan pemahaman kata ‘empowerment’ , Whetten, dan kawan-kawan menyatakan bahwa istilah pemberdayaan bukan istilah baru sebagaimana dikenal secara populer pada gerakan pemberdayaan tahun ’80-an hingga ’90-an. Makna pemberdayaan dengan berbagai konteks ya ng melatarbelakanginya, kadang-kadang menyebabkan artinya menjadi rancu dan membingungkan. Dengan mengetahui maknanya dalam berbagai disiplin, maka diharapkan orang akan dapat menggunakan arti pemberdayaan secara tepat. Berikut ini sederetan makna pemberda yaan dalam evolusi dari beberapa disiplin, antara lain psikologi. Sosiologi, dan theologi. Pertama, dalam disiplin psikologi, pemberdayaan diartikan sebagai ‘effectance motivation’ , yakni suatu motivasi intrinsic yang membuat sesuatu terjadi (White, 1959, dalam Whetten et al, 2000: 406). Selain itu juga berarti ‘psichological reactance’ yang mengacu pada pencarian kebebasan dari hambatan-hambatan. 53 Kedua, dari disiplin ilmu sosiologi. Pemberdayaan mempunyai pengertian mendasar sebagai ‘rights movement’, di mana orang-orang mengkampanyekan kebebasan dan kontrol terhadap lingkungan mereka sendiri (Solomon, 1976, Bookman dan Morgan, 1988, dalam Whetten et al, 2000), atau masalah- masalah perubahan sosial yang pada dasarnya dipusatkan pada pemberdayaan kelompok atau orang-orang (Marx, 1844, Alinski, 1971, dalam Whetten, et al, 2000). Ketiga, dari disiplin theologi, yang memperdebatkan pemberdayaan dengan ‘helplessness’, kemudian menekankan pemberdayaan terhadap penentuan nasib sendiri, dan terlepas dari belenggu kontrol kekuatan yang lain yang lebih dominan ( Freire dan Faundez, 1989, dalam Whetten et al, 2000). Keempat, dari literatur manajemen, konsep pemberdayaan kemudian dikenal melalui evolusi manajemen itu sendiri, misalnya pada tahun 1950-an aliran ‘human relations’ memperkenalkan pemberdayaan sebagai penggambaran sebuah pendekatan yang bersahabat antara kelompok manajer dengan para staf. Tahun 1960-an pemberdayaan digambarkan sebagai keharusan para manajer untuk secara sensitif merasakan kebutuhan dan motivasi terhadap pegawai, serta melibatkannya dalam berbagai pelatihan yang terkait dengan hal tersebut. Pada tahun 1970-an, peta pemberdayaan telah mengarah pada keinginan dan minat para pimpinan untuk lebih jauh menolong para pegawai mereka khususnya dalam keterlibatan menentukan tujuan organisasi. Tahun 1980-an , pemberdayaan dimaknai sebagai pemberdayaan team kerja yang mengacu pada siklus kualitas dan kinerja. Tahun 1997 hingga saat ini , dengan berbagai variasinya, pemberdayaan dimaknai sebagai kemampuan untuk memberdayakan pegawai dan organisasi. Ditinjau dari dimensi-dimensinya, Whetten dengan melengkapi pendapat Spreitzer (1992) dan Mishra (1992) menyatakan bahwa pemberdayaan individu memiliki 6 (enam) dimensi, yakni, pertama, self – esteem, yakni bahwa orang-orang yang diberdayakan memiliki harga diri, artinya pemberdayaan akan lebih meningkatkan bukan malah menurunkan harga diri mereka. Kedua, self-efficacy, yakni bahwa ketika orangorang diberdayakan, mereka sesungguhnya merasa memiliki kompetensi diri, jadi pemberdayaan tidak hanya menambah atau meningkatkan kompetensi mereka, namun juga meningkatkan kepercayaan diri mereka terhadap kompetensi yang dimilikinya. 54 Ketiga, self-determination, bahwa pemberdayaan harus meningkatkan kemampuan orang-orang yang diberdayakan untuk mampu menentukan pilihan sendiri, dalam arti menentukan inisiatif, dan berbagai aktifitas yang berhubungan dengan tugas-tugas mereka. Keempat, personal control, bahwa pemberdayaan harus mempu meningkatkan kemampuan orang-orang untuk mengontrol sendiri segala sesuatu yang merintangi atau menghambat pekerjaan mereka. Kelima, meaning, yang berarti bahwa orang-orang yang diberdayakan memiliki suatu perasaan bahwa dirinya memiliki arti dan memiliki nilainilai yang sejalan dengan tujuan organisasi, sehingga pemberdayaan berarti dukungan melalui kesempatan, peluang dan arahan agar keberartian mereka semakin meningkat. Keenam, ‘trust in other people’. Dimensi yang satu ini erat kaitannya dengan prinsipprinsip keadilan dan kejujuran. Pemberdayaan tidak boleh mengandung arti sebagai ‘pemanfaatan’ terhadap satu sama lain, melainkan memberikan makna keamanan dan kenyamanan karena hak- hak satu sama lain saling dihargai melalui satu kata yakni ‘kepercayaan’ Apapun makna dibalik pemberdayaan, perlu digarisbawahi bahwa pentingnya pemberdayaan antara lain berkiblat pada, pertama, kecepatan perubahan yang semakin tinggi, turbulensi lingkungan organisasi, cepatnya respon persaingan, akselerasi permintaan-permintaan pelanggan yang menuntut kecepatan dan fleksibelitas tanggapan yang tinggi. Kedua, perubahan lingkungan membawa implikasi pada perubahan organisasi, dimana organisasi harus membuat penyesuaian-penyesuaian agar tetap eksis. Metodemetode tradisional berupa koordinasi dan kontrol yang ketat dipandang sudah tidak sesuai lagi. Upaya mencapai kinerja dalam kondisi yang baru menuntut seluruh komponen organisasi menjadi berdaya. Ketiga, dewasa ini hampir tidak ada organisasi yang bekerja tanpa tuntutan bekerja secara lintas fungsi dan lintas sektoral. Kerjasama seperti itu hanya dapat dilakukan melalui pemberdayaan yang tepat di semua lini organisasi (Obaldeston, dalam Clutterbuck dan Kernaghan, 2003:15) Sejalan dengan hal tersebut, Jenkins (1996:39) kemudian memberikan tekanan bahwa kunci pemberdayaan adalah membuat suatu perubahan, yakni perubahan perilaku 55 organisasi maupun persepsi para anggota organisasi termasuk pimpinan. Pandangan Jenkins tersebut tidak lain bertumpu pada konsep ‘human resources’ , dimana manusia dalam organisasi dipandang sebagai ‘asset’ yang penting dan perlu secara terus menerus diberdayakan dan diarahkan perilakunya agar tujuan organisasi tercapai secara optimal. Dengan memiliki penekanan yang sama, perspektif penyuluhan pembangunan juga memandang pemberdayaan sebagai bagian perubahan perilaku manusia atau masyarakat sasaran, sebagaimana diketengahkan oleh Slamet (2003, hal. 45) : “Bagaimana membuat masyarakat mampu membangun dirinya sendiri. Mampu, berdaya, tahu, mengerti, paham, termotivasi, berkesempatan melihat peluang, dapat memanfaatkan peluang, berenergi, mampu bekerja sama, tahu berbagai alternatif, mampu mengambil keputusan, berani menghadapi resiko, mampu mencari dan menangkap informasi, dan mampu bertindak sesuai situasi.” Benang merah yang dapat ditarik dari berbagai konsep pemberdayaan tersebut adalah ‘perubahan perilaku’, baik perilaku individu- individu dalam organisasi maupun perilaku organisasi atau sistem. Apapun makna pemberdayaa n, jika berkaitan dengan perubahan, pengembangan, atau perbaikan, maka dapat dipastikan akan diikuti dengan perubahan perilaku individu maupun sistem. Cara atau upaya yang ditujukan untuk mendorong sesuatu agar berubah tidak akan ada gunanya ketika tidak diikuti dengan perubahan perilaku, bagaimanapun organisasi digerakan oleh manusia. Kegagalan untuk mengenal respon individual terhadap pemberdayaan akan membuahkan kegagalan pemberdayaan itu sendiri (Clutterbuck dan Kernaghan, 2003:163-7). Mengacu pada konsep perubahan maupun konsep pemberdayaan yang telah diuraikan tersebut, maka makna pemberdayaan dalam pelayanan publik khususnya di bidang kesehatan adalah terkait erat dengan upaya-upaya organisasi dalam merespon perubahan lingkungannya dan melakukan perubahan secara internal. Secara konseptual, respon organisasi pelayanan publik terhadap perubahan lingkungannya tidak secepat respon organisasi private bisnis. Osborne dan Gaebler (1998:23) menyatakan, bahwa pemerintahan dan bisnis adalah dua lembaga yang berbeda secara mendasar. Bisnis didorong untuk motif keuntungan, sedangkan pemerintah untuk motif bisa dipilih kembali. Bisnis memperoleh sebagian 56 besar uang dari pelanggannya, sedang pemerintah dari pembayar pajak Bisnis berada pada domain kompetisi, sedangkan pemerintah ada pada domain politik dan monopoli. Berdasarkan karakteristik inilah maka organisasi pelayanan publik sulit untuk berkembang, karena tidak terdapat motivasi yang mendorong perubahan. Di sektor privat, masalah efisiensi, efektifitas, dan kualitas adalah suatu keharusan. Hal tersebut karena tuntutan lingkungan, di mana pesaing, pelanggan dan stakeholder dapat sewaktu-waktu mengancam hidup dan matinya bisnis mereka. Ketergantungan yang tinggi terhadap pelanggan, menyebabkan sektor bisnis memperlakukan pelanggannya bak raja, dan menjaga kualitas service delivery mereka. Kinerja mereka dihubungkan dengan kepuasan pelanggan, peningkatan produktifitas dan keuntungan. Sementara nilai-nilai tradisional yang dihubungkan dengan pelayanan publik sering menekankan pada stabilitas, segala sesuatunya seolah dapat diprediksikan, kontinuitas, dan kepastian. Nilai- nilai tersebut mempengaruhi pelayanan publik yang digambarkan tertutup dan sangat birokratik. Lingkungan politik juga ikut mempengaruhi pelayanan publik, antara lain dalam pricing controls, di mana penetapan harga layanan ditentukan melalui mekanisme politik (Eliassen dan Kooiman,1993 ; Farnham dan Horton,1995; Leach-Steward dan Walsh,1994). Sementara itu beberapa ahli menyoroti perihal ‘perilaku birokrasi’ pelayanan publik. Munculnya budaya korupsi, kolusi dan nepotisme di tubuh organisasi pemerintah semakin menambah beban berat terhadap citra pelayanan publik. Di negara-negara miskin atau negara-negara berkembang, umumnya gaji pegawai negeri memang tidak cukup untuk menyambung hidup. Hal ini karena pemerintah tidak mampu menggaji pegawainya secara layak. Karena itu, gaji yang rendah sering dilihat sebagai penyebab korupsi, setidak-tidaknya korupsi kec il-kecilan, jika tidak di seluruh sistem. Namun jawaban untuk hal ini jauh lebih rumit dari pada sekedar menaikkan gaji. Demikian diungkapkan oleh Pope (2003:18). Selain masalah formula kompensasi yang kurang memadai, masalah juga muncul pada pengukuran out put birokrasi yang sulit. Sementara itu masalah monopoli juga menjadi penghalang bagi terciptanya sistem yang kompetetitif dan pada akhirnya akan bermuara pada rendahnya mutu layanan. 57 Menjadi krusial kemudian untuk mempertanyakan dari mana tepatnya suatu pemberdayaan harus dimulai ?. Karena pemberdayaan adalah suatu perubahan yang artificial, dan terencana, maka memerlukan starting point untuk mengetahui dari mana arah pemberdayaan akan dimulai. Pemberdayaan dapat dilakukan dengan efektif bila terlebih dahulu diketahui tingkat kinerja dari organisasi yang akan diberdayakan. Artinya bahwa hasil pengukuran kinerja dapat dijadikan sebagai pedoman untuk menentukan model pemberdayaan yang tepat. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Clutterbuck dan Kernaghan (2003:16), dan Berman et al (2001:334). Terkait dengan hal tersebut, maka konsep kinerja perlu untuk diketengahkan pada bagian berikut ini. Konsep dan Pengukuran Kinerja Peningkatan dan perbaikan indikator kinerja pada pelayanan pub lik saat ini menjadi tolak ukur bahwa kesulitan yang dihadapi pelayanan publik dalam pengukuran kinerja tidak berarti mengendurnya upaya kearah peningkatan kinerja yang baik Hughes (1994:207) mengungkapkan bahwa : “Performance indicators become a new movement within the public services with the express aim of finding out how hard government activity was to measure”. Kinerja didefinisikan secara beragam. Para ahli manajemen kinerja menyatakan bahwa konsep kinerja bersifat multidimensional, artinya memiliki berbagai macam pengukuran dari berbagai dimensi kinerja yang ada. Begitu pula faktor-faktor yang mempengaruhinya, juga penting untuk diperhatikan apakah tujuan pengukuran adalah untuk menilai kinerja hasil atau perilaku hal tersebut sebagaimana diungkapkan Bates dan Holton (1995, dalam Armstrong dan Baron,1998:15), bahwa: “Performance is a multi-dimensional construct, the measurement of which varies, depending on a variety of factors. They also state that it is important to determine whether the measurement objectives is to assess performance outcomes or behaviour”. Sejalan dengan pemikiran Bates dan Holton, Campbell (1990, dalam Armstrong dan Baron, 1998:16), menyatakan bahwa kinerja adalah perilaku (behaviour) dan harus dibedakan dengan hasil (outcomes), sebab hasil telah dipengaruhi oleh faktor-faktor dalam sistem. 58 Rothwell, et al (2000: 1-2) menyatakan pada kalimat awal dibukunya, bahwa kinerja dapat menjadi suatu konsep yang ‘elusive’ artinya sulit untuk dicari kesamaan pemahamannya. Artinya, bahwa konsep atau pendefisinian kinerja sering digunakan secara rancu dengan konsep ‘behaviour’, melalui cara yang sederhana, kinerja dirumuskan sebagai hasil akhir, dan perilaku adalah alat untuk mencapai hasil akhir tersebut. Menurut Rothwell dan kawa n-kawan, hal tersebut tidak sepenuhnya benar. Seorang yang sangat rajin dan sangat loyal pada organisasi serta berpengalaman, dapatkah dijamin bahwa kinerjanya akan lebih baik dari yang lain ? Fokus utama dalam kinerja individual menurut Rothwell dan kawan-kawan adalah bagaimana mereka dapat mencapai hasil terbaik (accomplishments), sedangkan perilaku menjadi penekanan kedua. Benang merah dari ragam batasan kinerja yang dikemukakan para ahli tersebut adalah, bahwa kinerja dapat diukur baik secara individual, yakni melalui hasil perilaku individu dalam organisasi, maupun secara organisasional, yakni melalui hasil yang dapat dicapai oleh organisasi. Dengan demikian juga dapat dikatakan bahwa kinerja individu adalah bagian dari kinerja organisasi. Penekanan individual disini dimaksudkan mengacu pada kinerja para pegawai, atau ‘the workers’ di dalam organisasi. Berdasarkan pemahaman tersebut, maka kinerja pegawai sesungguhnya menjadi dasar atau fondasi keberhasilan organisasi, hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Rosen (1993:42) yang menggarisbawahi pentingnya kinerja pegawai sebab : “At the foundation of the organizational triangle are the workers who actually produce and deliver public services” Rumusan kinerja organisasi akan semakin jelas jika menyimak konsep kinerja Brumbrach (1988, dalam Armstrong dan Baron, 1998:16) berikut ini: “Performance means both behaviours and results. Behaviour emanate from the performer and transform performance from abstraction to action. Not just the instruments for results, behaviours are also outcomes in their own right – the product of mental and physical effort applied to task – and can be judged apart from results” . Rumusan Brumbrach tentang kinerja tersebut membawa pada pemahaman bahwa kinerja mencakup baik perilaku dan hasil. Armstrong menyebut pandangan ini sebagai ‘mix-model’ dimana perilaku (behaviour) dipertimbangkan sebagai ‘input’ dan hasil 59 (results) sebagai ‘output’. Hal serupa juga diketengahkan oleh Swanson (1999, dalam Gilley dan Maycunich, 2000:180) Namun demikian, “Performance is not only about what is achieved but also about how it is achieved”. Demikian pendapat Armstrong dan Baron (1998:8) , yang berarti bahwa masalah kinerja harus ditangani secara profesional melalui manajemen kinerja yang dapat mengarahkan berbagai konteks kinerja yang ada, apakah hal tersebut berkaitan dengan penetapan indikator (indicator of performance), pengukurannya (performance measurement), evaluasi (performance evaluation), maupun pengembangan (performance development) dan perbaikan kinerja (performance improvement) . Mengapa kinerja penting bagi pelayanan publik ? Dalam pelayanan publik kinerja terkait dengan sistem akuntabilitas publik. Konsep akuntabilitas adalah pertanggung jawaban sektor publik terhadap masyarakat yang dilayaninya (Wilson dan Hinton, 1993:123) Dalam sektor publik dikenal beberapa konsep akuntabilitas, antara lain adalah, akuntabilitas politik, akuntabilitas manajerial, akuntabilitas legal, akuntabilitas konsumen, dan akuntabilitas profesional (Lawton dan Rose, 1991, dalam Wilson dan Hinton, 1993:126). Akuntabilitas politik (political accountability) berkaitan dengan pertanggung jawaban terhadap pemberi otoritas atau kewenangan secara terstruktur dalam politik. Dalam hal ini misalnya seorang menteri bertanggung jawab terhadap presiden, selanjutnya presiden bertanggung jawab terhadap parlemen. Akuntabilitas politik juga mencakup berbagai issue yang terkait secara konstitutional, misalnya masalah kesejahteraaan, keadilan, subsidi, dan sebagainya. Dalam hubungannya dengan pelayanan publik, akuntabilitas politik berarti pertanggungjawaban terhadap mandat yang diterima dari rakyat untuk menyelenggarakan pelayanan bagi rakyat (Day dan Klein,1987, dalam Wilson dan Hinton, 1993:126). Akuntabilitas manajerial berhubungan dengan manajemen kinerja atau penilaian terhadap kinerja maupun audit terhadap pelaksanaan suatu kewenangan yang telah didelegasikan dalam suatu tugas pelayanan publik yang mencakup akuntabilitas fiskal secara rutin, akuntabilitas terhadap proses atau efisiensi, dan akuntabilitas terhadap efektifitas program. Metcalfe dan Richard (1990) kemudian menyatakan bahwa akuntabilitas manajerial banyak diaplikasikan dalam sektor publik. Di Inggris hal ini 60 cenderung kearah desentralisasi inisiatif manajemen keuangan yang diciptakan oleh pemerintahan Thatcher pada tahun 1982. Akuntabilitas legal dan administratif biasanya berhubungan dengan akuntabilitas politik. Istilah legal disini melebihi ‘mandat’, karena kewenangan yang diterima adalah berdasarkan hukum dan aturan yang ada. Sedangkan akuntabilitas administratif memiliki arti yang lebih luas, Peters (1984:241) menekankan pada kontrol birokrasi, termasuk diantaranya adalah tugas dan peran para pegawai pelayanan publik yang mengacu pada tanggung jawab administratif. Akuntabilitas konsumen adalah mengacu pada konteks pertanggungjawaban terhadap para pengguna pelayanan publik termasuk dalam hal ini pelaksanaan dari pada berbagai prosedur penggunaan komplain, praktik -praktik maladministration, dan ombudsman. Dengan kata lain bahwa responsiveness dari pelayanan publik terhadap masyarakat adalah menjadi ukuran akuntabilitas pelayanan publik. (Lawton dan Rose, 1991:21) Tipe akuntabilitas yang terakhir adalah akuntabilitas profesional, yakni pertanggungjawaban pelayanan publik secara profesional, mencakup profesionalisme para pegawainya, profesionalisme pelayanan, dan penanganan klaim. Dalam arti bahwa karakteristik profesionalisme dalam pelayanan publik harus terdapat didalam ukuran kinerja akuntabilitas profesional. Karakteristik profesional tersebut oleh Metcalfe dan Richard (1990 :124) mencakup antara lain, kepemilikan suatu ‘badan’ yang mencerminkan kekhususan yang terstandarisasi, terlihat pada pelatihan yang bersertifikasi, otonomi dalam bidang keahlian, kontrol terhadap pengantaran pelayanan, kode etik dan standard aturan yang jelas, dan menekankan pada kompetensi dan etik perilaku Ingraham dan Romzek (1994 : 269) memberikan karakteristik terhadap tipologi akuntabilitas berdasarkan pada ‘sumber pengawasan’ dan ‘tingkatan pengawasan’. Dimensi sumber pengawasan biasanya berhubungan dengan dari mana suatu pengawasan berasal, misalnya apakah eksternal atau internal. Pengawasan internal biasanya ada di dalam agen-agen pelayanan publik itu sendiri, sedangkan pengawasan eksternal berada diluar agen pelayanan publik. Sedangkan tingkatan pengawasan berhubungan dengan tinggi atau rendahnya suatu pengawasan. Kombinasi dua dimensi tersebut menghasilkan 61 4 (empat) model akuntabilitas yakni, pertama, akuntabilitas berdasarkan mekanisme birokratik yang bercirikan sumber pengawasan internal karena lebih menekankan efisiensi, dengan tingkat pengawasan tinggi yang menekankan pada aturan, prosedur, dan standard operasional yang rigid. Kedua, Akuntabilitas legal, kombinasi dari sumber pengawasan berasal dari eksternal (auditor, atau lembaga peradilan) dan tingkatan pengawasan yang tinggi melalui monitoring secara berkala dan menekankan pada rule and law. Ketiga, akuntabilitas profesional, yang dicirikan oleh tingkatan pengawasan yang rendah dengan penekanan pada konsep keahlian, profesionalism yang telah diatur dalam suatu kode etik, serta sumber pengawasan dari internal. Keempat, adalah akuntabilitas politik, yakni bercirikan sumber pengawasan eksternal (pemilih, voter, constituent,) dan tingkatan pengawasan yang rendah karena lebih memberlakukan nilainilai responsiveness Penilaian terhadap kinerja juga mencakup penilaian kinerja yang terfokus pada sumber daya manusia atau kinerja individu. Khasanah manajemen kinerja yang berkaitan dengan perbaikan kinerja sumber daya manusia, banyak dibahas dalam konteks ‘Human Performance Improvement’ (HPI). American Society for Training and Development (ASTD, 1992, dalam Rothwell, et al, 2000:10) yang memberikan batasan HPI “sebagai suatu pendekatan yang sistemik untuk menganalisis, memperbaiki, dan mengelola kinerja individual di tempat kerja melalui penggunaan intervensi yang bermacam-macam dan sesuai”. Hampir sama denga n ASTD, Harless (1992, ibid:10), mendefinisikan HPI sebagai “proses analisis, desain, pengembangan, testing, implementasi, dan evaluasi dari intervensi yang sesuai terhadap kinerja SDM yang sepantasnya”. Secara lebih lengkap Rothwell (1996, ibid:10) mendefinisikan HPI “sebagai suatu proses yang sistematik dari pengenalan dan penganalisisan kesenjangan-kesenjangan kinerja SDM yang penting, perancangan dan pengembangan dengan pembiayaan yang effective dan intervensi secara etik terhadap bagaimana caranya menutup kesenjangan-kesenjangan tersebut, kemudian mengimplentasikan intervensi, dan mengevaluasi hasilnya baik secara finansial maupun non- finansial”. Rothwell, et al (2000:44-45) menyatakan kesenjangan atau gap kinerja merupakan perbedaan antara tingkatan kinerja saat ini dengan tingkatan kinerja yang diinginkan 62 Rumusannya adalah : Desired Performance – Current Performance = Performance Gap or Discrepancy Dari beberapa definisi HPI nampak bahwa perbaikan kinerja SDM adalah amat penting dalam organisasi. Gilley dan Maycunich (2000:182) menyatakan bahwa HPI dapat menyediakan pendekatan-pendekatan untuk mengatasi permasalahan-permasalahan kinerja melalui analisis permasalahan yang menyentuh keakarnya. Pendekatan system yang digunakan memungkinkan menganalisis elemen-elemen yang saling terkait dengan penyebab kesenjangan kinerja individual/ SDM. Rothwell (1996:32) menyatakan bahwa pendekatan system memandang organisasi sebagai system yang terbuka yang dengan demikian tergantung pada sukses tidaknya interaksi organisasi dengan lingkungannya. Rothwell juga mengidentifikasikan bahwa setidaknya ada 4 (empat) macam lingkungan yang menurutnya dapat membantu menemukan upaya-upaya perbaikan kinerja SDM. Lingkungan tersebut yakni: (1) Lingkungan organisasional, yakni sinonim dengan suprasistem atau segala sesuatu yang ada di lingkungan eksternal organisasi. (2) Lingkungan kerja, yakni segala sesuatu yang ada didalam organisasi atau disebut lingkungan internal organisasi. (3) Pekerjaan itu sendiri, dimana terjadi proses input ditransformasikan menjadi output, dan yang terakhir adalah, (4) Pekerja atau individuindividu atau SDM yang akan dinilai hasil pencapaian kinerjanya. Selain itu, Gilley dan Maycunich (2000:199) mengingatkan bahwa kegagalan HPI selama ini dikarenakan terabaikannya beberapa prinsip-prinsip penting oleh para pimpinan organisasi. Prinsip -prinsip tersebut adalah: (1) keterhubungan antara kinerja dengan penghargaan/reward. Para pegawai gagal mewujudkan peningkatan kinerja mereka sebab mereka merasa bahwa pimpinan tidak menghargai dan menghubungkan pencapaian kinerja terbaik mereka dengan reward atau penghargaan. Para pimpinan menunda-nunda, mengelak, bahkan mengambil waktu yang sangat panjang untuk urusan reward ini, sehingga pegawai menjadi tidak percaya dan menganggap peningkatan kinerja mereka tidak ada hubungannya sama sekali atau tidak ada implikasinya dengan penghargaan yang seharusnya diterima. Pandangan ini disebut sebagai performance/reward disconnect. (2) Prinsip yang kedua adalah tidak menutupi hasil kinerja pegawai dengan dalih apapun. Para pegawai perlu mengetahui seberapa jauh atau seberapa banyak hasil kinerja mereka, agar mereka dapat menentukan prioritas langkah- 63 langkah apa yang harus diperbuatnya untuk meningkatkan atau memperbaiki kinerja berikutnya. Dalam masalah ini bukan kinerja pegawai yang salah, melainkan ketidakmampuan para pimpinan untuk mengkomunikasikan dengan para pegawai. Hal ini sering disebut sebagai ‘performance whitewashing’ (menutup-nutupi pencapaian kinerja pegawai). (3) Kegagalan kinerja SDM juga disebabkan karena inspection failure yakni kelalaian para pimpinan organisasi untuk mengontrol pekerjaan pegawai. Pimpinan yang hanya mengalokasikan sedikit waktu untuk mengontrol kinerja pegawainya akan menemui kegagalan dalam pencapaian kinerja SDM yang diharapkannya. Konsep kinerja yang multidimensional juga menggambarkan ragam faktor-faktor yang diperkirakan mempengaruhi penilaian suatu kinerja. Tom Gilbert (dalam LaBonte, 2001:4), mengidentifikasikan 6 (enam) variable kunci yang menurutnya harus dipertimbangkan dalam menilai kinerja organisasi, yakni pertama adalah variable lingkungan yang terdiri dari informasi, resources, dan incentives, serta yang kedua adalah variable individual yang terdiri dari knowledge, capacity, dan motives. Rummler dan Brache (1988, dalam Rothwell, dkk 2000:5) mengetengahkan 6 (enam) variabel yang mempengaruhi kinerja individu dalam pekerjaannya, spesifikasi pekerjaan, campur tangan terhadap pekerjaan mereka, konsekuensi-konsekuensi, feedback , knowledge dan skill, serta kapasitas individual. Tidak berbeda jauh dengan rumusan Rummler maupun Gilbert, Armstrong dan Baron (1998:16) mengetengahkan 5 (lima) faktor yang mempengaruhi kinerja yakni, faktor- faktor personal seperti skill, kompetensi, motivasi, dan komitmen. Kemudian yang kedua adalah faktor- faktor leadership seperti kualitas dukungan, pemberian semangat, dan team leader. Ketiga, yakni faktor team, antara lain kualitas dukungan yang disediakan oleh kolega/teman/team work. Keempat, faktor sistem meliputi sistem kerja dan fasilitas-fasilitas yang disediakan oleh organisasi. Dan yang kelima, adalah faktor situasional atau kontekstual yang berupa tekanan dan perubahan lingkungan eksternal maupun internal dimana individ u itu bekerja . Masalah manajemen kinerja yang dihadapi oleh sektor publik, adalah masalah pengukuran. Sektor publik pada umumnya tidak memiliki standard kinerja yang baku sebagaimana dalam sektor private. Standard kinerja yang ada umumnya bersifat ad hoc 64 dan jauh dari sistematik. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Hughes (1994:205) sebagai berikut : “By any standard, performance management in the tradisional model of public administration was inadequate, and this applies to either the performance of individuals or organization. Measures which did exist were ad hoc and far from systematic”. Pengukuran Kinerja Balanced Scorecard Pengukuran kinerja merupakan bagian dari manajemen kinerja yang dipandang penting baik di organisasi private maupun publik. Keinginan organisasi untuk mengetahui kinerjanya sering terhambat oleh masalah yang berkaitan dengan pengukuran. Hughes (ibid:206) mengakui bahwa memang benar sangat sulit mengukur kinerja di sektor publik sebab di sana tidak ada ide tentang apa yang diproduksi, bagaimana memproduksinya, apakah pekerja bekerja dengan baik, bagaimana mengukur produktifitas mereka, apakah pelanggan puas, jika tidak siapa yang harus menghadapi keluhan pelanggan, dan seterusnya. Bahkan di banyak kasus, seorang administrator tidak perlu bersusah payah memikirkan kinerja anak buahnya, menurut mereka pengukuran kinerja hanya menimbulkan masalah. Kendati demikian Niven (2003: x) mengingatkan bahwa pembedaan antara publik dan privat hendaknya tidak dipakai sebagai alasan untuk menghindari pengukuran kinerja. Di era keterbukaan yang semakin tinggi organisasi sektor publik harus berani menerima tantangan berupa akuntabilitas dan transparansi melalui penilaian terhadap kinerja mereka. Informasi dan pelaporan kerangka kerja yang konsisten dari kinerja sektor publik dipandang sebagai kemampuan untuk menyingkap kinerja dan hasil dari pekerjaan mereka. Reformasi manajemen kinerja sektor publik dipandang sangat penting, dan menjadi bagian integral dari program-program yang ada di setiap organisasi pelayanan publik. Organisasi pelayanan publik saat ini diharapkan dapat mengembangkan berbagai 65 indikator kinerja yang dapat diukur secara obyektif dan mengacu pada pencapaian tujuan organisasi (Hughes, 1994; Wilson dan Hinton, 1993; Gilley, et al, 1999) Salah satu pengukuran kinerja organisasional yang saat ini masih banyak digunakan baik di organisasi privat maupun publik adalah Balanced Scorecard (BSC) karya Kaplan dan Norton (1996). Inti dari konsep BSC sebagaimana telah diungkapkan sebelumnya adalah mencakup pengukuran kinerja organisasi melalui 4 (empat) Perspektif utama, yakni Keuangan, Proses Internal, Pembelajaran-Pertumbuhan, serta Pelanggan. Sebelum BSC diperkenalkan pada tahun 1990 oleh Kaplan dan Norton, kebanyakan pengukuran kinerja dilakukan terhadap aktifitas keuangan (yang juga dianggap sebagai aktifitas yang telah berlalu / past-activity), sedangkan aktifitas-aktifitas lainnya yang bersifat non-keuangan dan mendorong kesuksesan organisasi di masa depan (proses internal, pembelajaran-pertumbuhan pegawai, dan pelanggan) jarang dilakukan. Selanjutnya Kaplan dan Norton (ibid:8) juga mengetengahkan bahwa pengukuran kinerja baik finansial maupun non-finansial tersebut harus menjadi bagian dari sistem infor masi untuk para pekerja di semua tingkatan di perusahaan. Para pekerja lini depan harus memahami konsekuensi finansial akibat dari tindakan dan keputusan-keputusan mereka. Sedangkan pada pimpinan juga harus memahami berbagai faktor pendorong keberhasilan finansial jangka panjang. Berikut ini pandangan Kaplan dan Norton terhadap 4 (empat) perspektif BSC yang diketengahkannya tersebut. Pertama, Perspektif Keuangan. Dalam organisasi keuangan dipandang sangat penting karena memberikan suatu catatan konsekuensi tindakan ekonomis yang telah diambil oleh organisasi di masa lalu. Pengukuran kinerja keuangan menunjukkan apakah strategi, implementasi, dan pelaksanaan kebijakan keuangan memberikan kontribusi atau tidak terhadap peningkatan keuntungan organisasi. Tujuan keuangan pada organisasi bisnis biasanya berkaitan dengan profitabilitas, return on capital employed (ROCE), dan economic value added. Di dalam organisasi publik tidak selalu demikian, Niven (2003:33) menjelaskan bahwa dalam organisasi publik dan non-profit, tujuan ukuran kinerja keuangan adalah beda, karena kedua organisasi tersebut tidak berorientasi pada laba, sehingga penekanannya akan lebih mengacu pada bagaimana dana digunakan secara efisien dan efektif, atau seberapa jauh pemborosan dapat ditekan, dan seberapa jauh kemampuan pendanaan organisasi secara berkelanjutan kedepan. Pemasukan keuangan 66 pelayanan publik di daerah diperoleh melalui beberapa model, pertama, tergantung pada dana bantuan dari pusat yang secara fundamental dasarnya adalah pajak daerah. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Wilson dan Hinton (1993:175) bahwa :“Local authority net revenue funding was provided in the form of grants from central government. The fundamental need for grants stems from the tax based of local government”. Grant dapat berarti sebagai suatu subsidi, atau sebagai bantuan proyek (Considine, 1994:43). Kedua, melalui pungutan pajak langsung atau charging yang dikenakan pada sejumlah jasa publik maupun non publik, yang secara keseluruhan merupakan penerimaan asli daerah. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Considine (1994:43) sebagai berikut : “Indirect taxes, taxes on specific goods and charges for the use of government services are also valued tools” Kedua, Perspektif Pelanggan. Perhatian terhadap pelanggan pada umumnya hanya dikenal pada organisasi bisnis. Bisnis merasa perlu untuk mengidentifikasi pelanggan dan segmen pasar dimana perusahaan akan bersaing. Ukuran utama kinerja dari aspek pelanggan umumnya terdiri atas, kepuasan pelanggan, retensi pelanggan, akuisisi pelanggan baru, profitabilitas pelanggan, dan pangsa pasar di segmen sasaran. Selain itu perspektif pelanggan juga mencakup berbagai ukuran tertentu yang menunjukkan proposisi nilai yang akan diberikan oleh perusahaan pada pelanggan. Proposisi nilai pelanggan ini penting karena dapat menjadi faktor pendorong apakah pelanggan akan tetap loyal, atau sebaliknya. Sebagai contoh misalnya pelanggan akan lebih menghargai masalah tenggang waktu (lead times) yang singkat atau tepat waktu pada pengiriman barang-jasa yang diinginkannya. Juga pelanggan akan lebih menyukai produk -jasa yang inovatif, dan harga yang murah atau terjangkau. Harapan pelanggan terhadap jasa-barang yang diinginkannya dipengaruhi oleh komunikasi dari mulut ke mulut, kebutuhan personal, pengalaman masa lalu, komunikasi eksternal penyedia layanan pada calon pelanggan, demikian hasil identifikasi dalam penelitian kepuasan pelanggan yang dilakukan oleh Zeithaml, et al (1990:19) Pada pelayanan publik, konsep pelanggan menjadi problema tersendiri. Kesulitan utama untuk konsentrasi pada pelanggan adalah karena disana ada beberapa aktor yang terlibat, seperti politisi, pembayar pajak, pemilih, yang secara keseluruhan berpengaruh terhadap pelayanan publik, sehingga untuk secara esklusif hanya memperhatikan 67 pelanggan adalah tidak mungkin. (Flynn, 1988, dalam Eliassen dan Kooiman, 1993:130). Hal ini juga diungkapkan oleh Chapman dan Cowdell (1998:145) bahwa “In the public services, it can be quite difficult to understand the importance of client expectations , particularly in a situation where an organization is effectively a monopoly provider” Hal tersebut kemudian dibantah oleh Farnham dan Horton (1993:170), bahwa : “Local authority managers are producing mission statement and business plans, costing services, drawing up contracts, establishing quality assurance system and developing customer awareness. These are now central to management agenda”. Sejalan dengan hal tersebut, penciptaan indikator- indikator kepuasan pelanggan pada pelayanan publik bukan merupakan masalah lagi. Pada sebagian besar organisasi publik, selain mengetahui kepuasan pelanggan, juga perlu diketahui bagaimana membangun dukungan komunitas (build community support). Hal ini akan terwujud jika proses internal berhasil mengembangkan inovasi dan sesuatu yang baru. (Niven, 2003 :37). Ketiga, Perspektif Proses Internal. Dalam perspektif ini, identifikasi berbagai proses internal adalah penting, sebab memungkinkan organisasi bisnis untuk, memberikan proposisi nilai yang akan menarik perhatian pelanggan, serta memenuhi harapan terhadap keuntungan finansial yang tinggi pada para shareholder. Di dalam bisnis, pengukuran keunggulan proses internal dapat melalui beberapa indikator, antara lain melalui ‘waktu siklus pengiriman’ (delivery cycle time) yakni jumlah waktu dari pesanan diterima pelanggan sampai pada saat pesanan lengkap dikirimkan. Termasuk dalam ukuran ini adalah waktu tunggu, waktu inspeksi, waktu gerak, dan waktu antri. Ukuran lainnya adalah berkaitan dengan inovasi produk dan proses pengenalannya, antara lain adalah prosentase penjualan produk baru, perkenalan produk baru dengan benchmarking produk lainnya, waktu yang diciptakan untuk penciptaan produk dengan generasi berikutnya (Tunggal, 2001:87). Dalam organisasi publik, pengembangan proposisi nilai pelanggan juga dipandang penting, karena dapat mempertahankan loyalitas pelanggan, serta mendorong dukungan komunitas yang lebih tinggi lagi bagi penyediaan layanan jasa publik, bentuk pengukurannya sebagaimana disarankan oleh (Niven, 2003:18) adalah mengidentifikasi bagaimana menciptakan proses internal baru dari pada konsentrasi pada aktifitas-aktifitas perbaikan. Termasuk dalam area ini antara lain adalah pengembangan layanan dan sistem 68 pengantaran , kemitraan dengan masyarakat yang dilayani, presentasi laporan- laporan yang menunjukkan proses internal baru pada khalayak atau semacam promosi. Keempat, Perspektif Pembelajaran dan Pertumbuhan. Perspektif keempat dari BSC ini mengidentifikasikan pentingnya infrastruktur yang harus dibangun perusahaan dalam menciptakan pertumbuhan dan peningkatan kinerja jangka panjang. Setidaknya ada 3 (tiga) sumber utama infrastruktur dalam pembelajaran dan pertumbuhan yakni, manusia, sistem dan prosedur perusahaan. Perusahaan perlu menutup kesenjangan antara kondisi aktual manusia, sistem, dan prosedur dengan kondisi yang diharapkan. Untuk menutup kesenjangan infrastruktur manusia, diperlukan faktor pendongkrak yakni, peningkatan kapabilitas pegawai, antara lain dengan pelatihan dan pendidikan yang berkaitan dengan kompetensi yang dibutuhkan dalam pekerjaannya, kepuasan pegawai dan kapabilitas informasi. Kapabilitas pegawai dari aspek kompetensi adalah suatu karakteristik dasar dari seseorang yang memungkinkannya memberikan kinerja unggul dalam pekerjaan, peran, atau situasi tertentu. Dalam model gunung es kompetensi terbagi tiga, pertama kompetensi yang nampak di permukaan dapat diketahui bentuknya yakni, ketrampilan dan pengetahuan. Tingkat kedalaman kedua yang semakin tidak terlihat tetapi mengarahkan dan mengendalikan perilaku permukaan adalah, peran sosial dan citra diri, watak, dan motif- motif yang lebih dekat dengan kepribadian seseorang. Ketrampilan adalah hal- hal yang orang bisa lakukan dengan baik, misalnya programming, mengetik, dan sebagainya, sedangkan pengetahuan adalah apa yang diketahui seseorang tentang suatu topik, misalnya bahasa komputer. Peran sosial adalah citra yang ditunjukkan oleh seseorang di depan publik. Peran sosial mewakili apa yang dianggap orang itu penting. Peran sosial juga mencerminkan nilai-nilai seseorang. (Boulter, et al 2003:39) Bramley (1996:73) menjelaskan knowledge, skill, dan attitude dari aspek pengukuran. Pengertian tentang knowledge, dibedakan ke dalam 3 (tiga) tingkatan, yakni (1) tingkatan paling dasar yang disebut sebagai declarative knowledge. Artinya yang akan diukur adalah kemampuan dasar tentang fakta dan informasi tugas-tugas di seputar area pekerjaan. Dalam hal ini berkaitan dengan informasi tentang ‘what’ Contoh, informasi tentang di mana ruang periksa, di mana ruang UGD, atau bagaimana mengisi formulir formulir pendaftaran, atau isian blangko apa saja yang harus diberikan pada pasien dalam 69 rangka rujukan , dan seterusnya. (2) Pengetahuan yang berkaitan dengan kemampuan untuk merangkai potongan-potongan informasi secara baik sehingga dapat menjadi penjelasan tentang ‘how’, misalnya bagaimana prosedurnya, bagaimana melakukan sesuatu, bagaimana mengatur permintaan atau tindakan-tindakan, dan sebagainya. Pengetahuan pada tingkat ini disebut procedural knowledge. (3) tingkat pengetahuan yang tertinggi adalah ‘strategic knowledge’. Pada tingkat ini kemampuan yang diukur mencakup informasi tentang ‘way’ dan ‘which’ yakni kemampuan menganalisis situasi tertentu, membuat keputusan tentang apa yang baik dan apa yang tidak, menganalisis masalah- masalah dalam organisasi, dan sebagainya. Tentang skill atau ketrampilan, Bramley (1996:81) membagi kedalam 4 (empat) tingkatan yakni, (1) tingkat skill yang paling dasar, disebutnya sebagai communication. Contoh dalam hal ini misalnya kemampuan memberikan gambaran atau ciri, atau identitas sesuatu. (2) tingkatan kedua adalah simple procedure, yakni kemampuan untuk menunjukkan gambaran suatu prosedur sederhana, baik dengan instruksi, lisan atau catatan. (3) tingkatan skill yang disebut skilled action atau skill automaticly. Ukurannya adalah kemampuan mengoperasikan sesuatu (komputer, mobil, mesin ketik, dsb) secara otomatis tanpa perlu diberikan contoh atau arahan terlebih dulu. (4) tingkatan tertinggi dari skill adalah judging. Ukuran ketrampilan telah sampai pada taraf kualitas. Sebagai contoh, misalnya seorang dokter memutuskan apakah obat yang diberikan tepat/manjur atau sebaliknya, pertimbangannya adalah bukan karena secara otomatis obat diberikan karena memang demikian seharusnya, akan tetapi lebih mempertimbangkan masa depan kesehatan pasien yang juga kepuasan dirinya sebagai dokter. Pada indikator kepuasan pegawai, unsur-unsur dalam kepuasan pegawai, antara lain adalah keterlibata n dalam pengambilan keputusan, penghargaan, akses yang memadai pada informasi yang digunakan untuk melakukan pekerjaan dengan baik, dorongan aktif pimpinan, tingkat dukungan lingkungan kerja, dan sebagainya (Tunggal, 2001:89). Konsep ini juga dapat diaplikasikan dalam organisasi publik, dengan menambahkan motivasi pegawai, design perbaikan sistem insentif mengingat para pegawai publik bekerja pada kondisi keuangan yang terbatas. (Niven, 2003:35). Selanjutnya pada kapabilitas informasi yang juga dipandang penting dalam dimensi pembelajaran dan pertumbuhan, Niven (ibid:200-201) mengetengahkan bahwa 70 informasi adalah lebih dari pada kemampuan untuk sekedar menerapkan perangkat IT (information technology), melainkan kemudahan akses informasi itu sendiri. Para pegawai harus mampu mengakses informasi tentang pelanggan, dan stakeholder lainnya. Dalam hal ini kapabilitas informasi dapat diukur melalui ketersediaan, kesesuaian dan kemudahan akses informasi- informasi yang berhubungan dengan pekerjaan maupun Pelanggan. Penempatan Perspektif Keuangan pada posisi teratas dalam konsep BSC, menggambarkan bahwa tujuan keuangan merupakan aspek utama dalam pengukuran kinerja organisasi, yakni untuk memuaskan stakeholder perusahaan, antara lain pemegang saham, konsumen, karyawan, dan lain- lainnya yang secara keseluruhan tercermin dalam perspektif keuangan. Karena pelayanan publik pada umumnya tidak berorientasi keuntungan finansial, maka komposisi penempatan keempat perspektif BSC tersebut berbeda. Dalam hal ini Niven (2003:17-19), menjelaskan bahwa konsep BSC dapat diterapkan dalam organisasi publik dan nonprofit, dengan penyesuaian-penyesuaian dimensinya. Ditambahkannya, bagi organisasi publik dan nonprofit, aspek nilai tambah ekonomis dan profitabilitas pada kinerja keuangan bukan menjadi tujuan utama. Tujuan utama dalam organisasi publik adalah ‘memberikan pelayanan’ sebaik mungkin dan seefisien mungkin pada masyarakat pelanggan, sehingga prioritas utama dalam misi organisasi adalah ‘pelanggan’ dalam arti ‘siapakah pelanggan kita, dan bagaimana kita menciptakan nilai untuk pelanggan kita tersebut’. Berdasarkan argumentasi tersebut maka model BSC disesuaikan dengan menempatkan perspektif pelanggan pada posisi utama. Sebagaimana diketengahkannya bahwa : “We put the customer perspective at the top. The message is that anything and everything we do regarding financials, revenues, and so on is there to support our customer” (ibid : 34) Jika Niven menempatkan fokus kinerja atas pelanggan, maka tidak demikian halnya dengan Olve, et al (1999:307), menurutnya penerapan BSC dalam organisasi publik tetap harus menempatkan kinerja keuangan sebagai fokus utama sebagaimana pada organisasi bisnis. Baik dalam sektor publik maupun private, hal yang paling sesuai dalam pemanfaatan BSC adalah membagi setiap dimensi ke dalam kelompok ‘waktu’, seperti misalnya, dimensi ‘keuangan’ adalah dikelompokkan ke dalam waktu ‘kemarin’ 71 (yesterday), dimensi ‘pelanggan’ dan ‘Proses internal’ dikelompokkan ke dalam waktu ‘sekarang’ (today), dan dimensi ‘pembelajaran-pertumbuhan’ dikelompokkan ke dalam waktu ‘besuk’ (tomorrow). Dengan pengelompokkan waktu secara demikian, maka fokus BSC akan menjadi jelas, dalam hal ini, apa yang harus dilakukan sekarang dan apa yang harus dilakukan besuk, keduanya tetap berdasar pada pengalaman ‘kemarin’, yakni dimensi keuangan. Argumen ini merupakan alasan pertama Olve, dan kawan-kawan. Sedangkan alasan kedua, adalah bahwa di dalam sektor publik, mengukur ‘kepuasan pelanggan’ dan ‘loyalitas pelanggan’ adalah sulit, mengingat cakupan dari pelayanan publik yang demikian luas. Arti kepuasan pelanggan sesungguhnya adalah mencakup ‘benefit to society’, yang menurut Olve, et al hal ini tidak mudah untuk mengukurnya. Berdasarkan hal tersebut, maka pengukuran hanya mungkin dilakukan melalui penghitungan atau konversi suatu hasil secara moneter . Sejalan dengan konsep waktu-nya Olve, dan kawan-kawan, Andre de Waal (2001: 88), menjelaskan bahwa kinerja keuangan adalah menunjukkan dimensi masa lalu, dimana pengukurannya adalah untuk mengetahui ‘apa yang terjadi dimasa lalu’. Baik Waal maupun Kaplan dan Norton menyebutnya sebagai ‘lag indicator’. Untuk melengkapi indikator masa lalu, organisasi harus mengukur indikator pendorong atau ‘lead indicator’ yang akan meramalkan hasil masa depan. Menurut Waal, perspektif indikator pendorong ini dapat berbeda dalam setiap organisasi yang berbeda-beda, seperti misalnya organisasi publik berbeda dengan private. Ditambahkannya pula, bahwa suatu pengukuran yang seimbang adalah mencerminkan hubungan ‘cause-and-effect’ oleh mana nilai-nilai pelanggan diciptakan. Dalam penjelasannya, Kaplan dan Norton menegaskan bahwa kinerja-kinerja yang diukur dalam Perspektif BSC pada dasarnya harus terhubung satu dengan yang lain, jika salah satu menjadi indikator hasil (lag indicator), maka harus ada indikator pendorong (lead indicator). Dengan demikian kinerja-kinerja yang diukur bukan kinerja parsial dan berdiri sendiri-sendiri, melainkan saling terhubung sebagai suatu sistem. Gagasan Kaplan dan Norton terkait dengan hubungan kausalitas sistemik antara keempat Perspektif Kinerja BSC tersebut sesungguhnya dilandasi oleh pendekatan organisasi sebagai suatu sistem di mana setiap elemen dari kinerja organisasi 72 sesungguhnya saling interdependensi dan saling mempengaruhi satu dengan yang lain dan membentuk suatu kesatuan kekuatan kinerja organisasi secara utuh. Hanya sayang bahwa konsep BSC tidak dilengkapi dengan alat yang dapat menjelaskan seberapa jauh hubungan sistemik yang terdapat dalam variable- variabel kinerja dapat diukur secara kuantitatif. Sehingga untuk keperluan analisis hubungan kinerja secara sistemik diperlukan suatu metode dan alat yang dapat menjembatani. Sejalan dengan kebutuhan tersebut, maka dipandang perlu untuk menggunakan konsep System Thinking (ST) dan metode System Dynamic (SD) yang mampu menjabarkan pola hubungan dinamis kinerja BSC. Perspektif Berpikir Sistem Paradigma berpikir sistem atau ‘system thinking’ (selanjutnya ditulis ST) memperoleh perhatian pada awal abad 20, di mana para ahli fisika (quantum) mulai mempertanyakan persepsi ‘Newtonian’. Sanggahan terhadap ‘kebenaran’ teori Newton muncul dalam bentuk formulasi tentang prinsip -prinsip ‘uncertainty’ atau ketidakpastian, di tahun 1923. Kemudian pada tahun 1947, Weiner mengembangkan cybernetics, yakni ilmu tentang hubungan manusia dengan mesin. Setelah itu Von Bertalanffy mengembangkan teori system melalui bukunya yang berjudul ‘General System Theory’ dan dipub likasikan pada tahun 1954. Selanjutnya Forrester dari Massachusetts Institute of Technology (MIT) memperkenalkan dan mendemonstrasikan simulasi model yang kemudian dikenal dengan ‘system dynamic’. (Maani dan Cavana, 2000:6) Ide yang terkandung dalam teori ST tersebut adalah melihat ‘dunia’ (organisasi) sebagai suatu sistem, sebagaimana diketengahkan dalam 5 (lima) disiplin pembelajaran organisasi oleh Senge yang menempatkan ST dalam disiplin yang ke lima. Untuk memahami ST, maka secara berturut-turut akan diketengahkan tentang teori atau konsep sistem, kemudian konsep berpikir sistemik, konsep dinamika sistem dan konsep model. Dalam kehidupan sehari- hari setiap orang dihadapkan, dipengaruhi, bahkan mempengaruhi sistem, apakah itu sistem biologi, sosial, ekonomi, politik, alam, dan sebagainya. Demikian pula dalam kehidupan organisasi modern. pekerjaan manusia hampir tidak dapat dipisahkan dengan sistem, seperti komputer, mobil, bangunan, sistem 73 kerja, sistem produksi, dan seterusnya. Senge, et al (1999:137), mendefinisikan sistem : “System are defined by the fact that their elements have a common purpose and behave in common ways, precisely because they are interrelated toward that purpose”. Sementara itu Ruben (1988: 62) melengkapi definisi sistem sebagai suatu entitas atau suatu keseluruhan yang terdiri dari bagian-bagian yang saling interdependensi. Secara lengkap definisi tersebut adalah sebagai berikut : “A system is any entity or whole that is composed of interdependent parts. System have characteristics and capabilities that are distinct from those of separate parts”. Diketengahkannya pula bahwa sebagian besar sistem memiliki kelengkapan fisik seperti, mobil, rumah, masyarakat, sistem transportasi, sistem tubuh manusia, dan sebagainya. Sejalan dengan definisi Ruben, Maani dan Cavana (2000:6) mendefinisikan sistem sebagai berikut : “A system is a collection of parts that interact with one another to function as a whole”. Meskipun demikian, sistem dikatakan lebih dari sekedar kumpulan bagian-bagian, melainkan di sana terdapat produk dari ‘interaksi’ antar bagianbagian tersebut. Checkland (1999:24) menterjemahkan sistem sebagai ‘holon’ yakni sistem aktifitas manusia. Aminullah (2004:2) mempertegas pengertian sistem sebagai ‘keseluruhan saling pengaruh antar unsur dari sebuah obyek dalam batas lingkungan tertentu yang bekerja mencapai tujuan’. Tidak jauh berbeda dengan Aminullah, sistem juga didefinisikan sebagai “keseluruhan interaksi antar unsur dari sebuah obyek dalam batas lingkungan tertentu yang bekerja mencapai tujuan”. Pengertian ‘keseluruhan’ adalah lebih dari sekedar penjumlahan atau susunan (aggregate), namun terletak pada kekuatan (power) yang dihasilkan oleh keseluruhan itu jauh lebih besar dari suatu penjumlahan atau susunan. (Muhammadi, dkk, 2001:3). Selanjutnya menurut Muhammadi, dkk (ibid:4-8), definisi tersebut mengandung beberapa pengertian, yakni : (1) Pengertian ‘interaksi’ adalah pengikat atau penghubung antar unsur, yang memberi bentuk / struk tur kepada obyek, membedakan dengan obyek lain, dan mempengaruhi perilaku dari obyek. Contoh misalnya struktur organisasi adalah pengikat dari bagian produksi, pemasaran, keuangan, dan personalia yang memberi bentuk dan membedakan antara suatu organisasi bisnis atau publik. Selanjutnya perbedaan struktur ini akan mempengaruhi perilaku dan unjuk kerja organisasi-organisasi 74 yang bersangkutan. (2). Dalam system juga mengandung pengertian ‘unsur’ adalah benda, baik kongkrit atau abstrak, yang menyusun obyek sistem. Unjuk kerja dari sistem ditentukan oleh fungsi unsur ini. Gangguan salah satu fungsi unsur akan mempengaruhi unsur lain, sehingga akan mempengaruhi pula fungsi kerja sistem secara keseluruhan. Unsur juga disebut bagian atau sub-sistem. Contoh dalam organisasi publik, jika fungsi keuangan terganggu, maka fungsi-fungsi lainnya seperti produksi, distribusi, dan pelayanan pelanggan juga akan terganggu. (3). Pengertian ‘obyek’ adalah sistem yang menjadi perhatian dalam suatu batas tertentu sehingga dapat dibedakan antara sistem dengan lingkungan sistem. Artinya semua yang di luar sistem adalah lingkungan system. Semakin luas batas perhatian semakin kabur batas sistem, sebaliknya jika semakin spesifik batas obyek, maka semakin jelas batas sistem. Contoh. Perusahaan dalam bentuk fisik sangat jelas batasnya dengan lingkungan wilayah, sedangkan perusahaan dalam bentuk intangible seperti organisasi akan kabur batasnya dengan lingkungan pasar. (4 ) Selanjutnya adalah pengertian ‘batas’, antara system dengan lingkungan tersebut memberikan dua jenis sistem yakni ‘sistem tertutup’ dan ‘sistem terbuka’. Sistem tertutup adalah sebuah sistem dengan batas yang dianggap kedap (tidak tembus) terhadap pengaruh lingkungan. Sistem tertutup itu hanya ada dalam anggapan (untuk kepentingan analisis), karena pada kenyataannya sistem selalu berinteraksi dengan lingkungan atau sebagai sebuah sistem terbuka. Contoh, organisasi apapun selain terdapat interaksi dari bagian-bagian yang ada didalamnya, juga melakukan interaksi dengan lingk ungannya misalnya pelanggan, pemasok, pesaing, pemerintah, dan sebagainya. (5). Yang terakhir adalah pengertian ‘tujuan’ yakni unjuk kerja sistem yang teramati atau diinginkan. Unjuk kerja yang teramati merupakan hasil yang telah dicapai oleh kerja sistem, yaitu keseluruhan interaksi antar unsur dalam batas lingkungan tertentu. Terkait dengan pemahaman dasar tentang konsep sistem tersebut, orang diajak untuk memahami tentang kompleksitas suatu sistem di mana kehidupan terus berlanjut dan tumbuh. Banyak masalah-masalah organisasi bermunculan sebagai akibat tidak diantisipasinya efek samping dari tindakan-tindakan di masa lalu. Hal ini berakibat pada gagalnya implementasi kebijakan untuk memecahkan masalah penting, dan tentunya justru akan menciptakan masalah baru. Agar pembuatan keputusan efektif, diperlukan cara berpikir yang memahami kompleksitas sistem itu sendiri. 75 Suatu paradigma dalam berpikir dan bertindak berdasarkan pada kompleksitas sistem disebut sebagai ‘system thinking’ (ST). ST didefinisikan oleh Sterman (2000:4) sebagai : ‘…the ability to see the world as a complex system, in which we understand that ‘you can’t just do one thing’ and that ‘everything is connected to everything else’. Checkland (2000:21-23) menambahkan, bahwa ST adalah melihat dunia sebagai suatu sistem sama artinya dengan memahami hubungan- hubungan yang ada di dalamnya. Dalam melihat kompleksitas dunia tersebut, manusia dipenuhi ide- ide abstrak tentang dunia menurut persepsinya. Gambaran dunia nyata akan diperoleh ketika ide-ide yang dipersepsikan manusia tersebut diterjemahkan dengan metodologi penelitian. Di dalam organisasi, berpikir sistemik tidak sekedar memandang struktur organisasi sebagai bagan semata, atau melihat struktur organisasi sebagai desain dari alur dan proses pekerjaan dalam organisasi, sebagaimana gambaran orang saat ini. Menurut Senge (1994:90), dalam perpikir sistemik (ST), struktur organisasi adalah pola dari interrelationship diantara berbagai komponen dalam sistem organisasi. Termasuk didalamnya adalah alur dari hirarkhi dan proses, juga berbagai perilaku dan persepsi, kualitas produk, cara-cara keputusan dibuat, dan ratusan faktor lainnya yang ada disana. Berkaitan dengan pengambilan keputusan, Sterman (2000:3 -5) mengetengahkan bahwa ST dapat dipahami ketika melihat orang-orang berpandangan holistik, di mana mereka akan bertindak dan berpikiran jangka panjang dan melihat sistem secara keseluruhan, mengidentifikasikan daya pengungkit yang tinggi pada sistem, dan menghindarkan kebijakan yang resisten. ST merupakan tantangan dan sekaligus alat dan proses yang menolong orang-orang dalam organisasi untuk memahami kompleksitas, merancang dengan baik pelaksanaan kebijakan, dan menjadi panduan dalam mengikuti perubahan dalam sistem. Aminullah (2004:18) menyimpulkan bahwa “berpikir sistemik pada dasarnya adalah alat bantu menyederhanakan kerumitan sehingga dapat ditangani. Membuat penyederhanaan adalah membuat sketsa dari suatu benda yang rumit tanpa kehilangan wujud keseluruhan dari gambar sesungguhnya. Sketsa dapat berfungsi sebagai alat perekat bagi berbagai pihak dalam melihat rangkaian bagian dari keseluruhan secara terpadu. Pembuatan sketsa peta sistemik adalah pintu masuk berpikir sistemik, yang perlu diurai lebih rinci, tetapi masih bisa ditangani dengan analisis sistemik” 76 Tidak semua orang berpikir secara sistemik, Maani dan Cavana (2000: 12) menjelaskan bahwa ada 4 (empat) tingkatan berpikir, yakni : (1) Tingkatan berpikir yang dikatakan sebagai ‘event’ yakni tingkatan berpikir yang hanya mengandalkan informasi atau kejadian-kejadian aktual yang hanya menyentuh permukaannya saja. Misalnya informasi tentang apa yang terjadi, dimana, kapan, bagaimana, dan siapa yang terlibat. Tingkatan berpikir demikian juga disebut ‘a snapshots view’ atau informa si yang masih dangkal. (2). Tingkatan berpikir yang disebut ‘pattern’ yakni berpikir setingkat lebih dalam dari event, di mana diperlukan gambaran secara lebih berpola terhadap kecenderungan dari suatu kejadian. Cara berpikir demikian maksudnya untuk memberikan pengayaan gambaran suatu kejadian secara realitis dan memberikan lebih banyak lagi ‘sisi dalam’ dari suatu kejadian. (3). Tingkatan berpikir yang ketiga adalah berpikir secara sistemik (systemic structures). Berpikir secara sistemik menunjukkan cara berpikir yang mendalam tentang bagaimana hubungan antar variable di dalam kejadian yang kita pikirkan. Tujuan dari berpikir sistemik adalah untuk mengetahui bagaimana variable-variable tersebut saling berinteraksi. (4). Tingkatan berpikir yang paling dalam adalah yang dinamakan ‘mental model’ yakni cara berpikir yang didasarkan pada nilainilai, kepercayaan, asumsi-asumsi yang dipegang, dan berbagai alasan yang diyakini benar. Kedalaman berpikir demikian sering ditunjukkan dengan pertanyaan ‘mengapa’ sesuatu terjadi, mengapa harus dilakukan dan mengapa tidak ? Berpikir sistemik adalah cara berpikir yang mengacu pada kedalaman tingkat berpikir yang tidak hanya melihat kejadian dari permukaannya semata ( fenomena gunung es ) melainkan berpikir hingga ke tingkatan mental model, yakni mencari tahu sedalam-dalamnya tentang ‘akar’ dari suatu permasalahan sehingga dapat mengambil keputusan yang setepat-tepatnya. Untuk keperluan operasional, ST dilengkapi dengan ‘System Dynamic’ ( SD) yakni berupa metode untuk mempelajari sistem yang komplek. Pembelajaran SD memerlukan lebih dari sekedar alat, melainkan diperlukan secara fundamental berbagai disiplin ilmu. Selain dari pada itu, karena SD berhubungan dengan perilaku sistem yang komplek, maka landasan SD bukan teori linier melainkan sebaliknya yaitu non- linier dengan pengembangan matematik, fisika, dan tehnik. Namun demikian untuk mengaplikasikan dalam perilaku manusia, SD dapat diturunkan atas pengetahuan sosial, psikologi, ekonomi, dan ilmu sosial lainnya Tujuan ST dan SD adalah untuk 77 memperbaiki pemahaman terhadap kinerja organisasi serta kaitannya dengan struktur internal, kebijakan operational, termasuk pelanggan, pesaing , dan stakeholder yang lain, dan kemudian menggunakan hal tersebut untuk kebijakan menciptakan pengungkit yang efektif bagi keberhasilan organisasi, serta menghindarkan resistensi kebijakan. (Sterman, 2000:4-5) Forrester (1961, dalam Sterman, 2000:21-22) mempertegas bahwa penggambaran dunia nyata adalah tidak sesederhana yang kita bayangkan. Sejak awal penekanan SD adalah pada multiloop, multistate, and non-linear character of the feeedback system in which we live. Kompleksitas dinamik muncul karena sistem memiliki sifat-sifat antara lain adalah : (1) dinamis, sebagaimana dikatakan oleh Heraclitus, bahwa “all is change” artinya bahwa apapun yang ada di dunia ini berubah, sistem tubuh manusia, organisasi, dan lain- lainnya dapat dipastikan mengalami perubahan. (2) Berpasangan secara ketat. Hal ini menggambarkan sifat sistem yang yang secara kuat berinterasi satu sama lain. (3) Diarahkan oleh umpan balik. Sifat ini sebagai hasil interaksi yang kuat satu sama lain, sehingga interaksi yang satu akan berdampak bagi yang lain. (4) Non- linier. Artinya bahwa hubungan interaksi tersebut dapat menjadi hubungan sebab-akibat. (5). Pengorganisasian diri. Artinya bahwa sistem secara spontan muncul dari struktur internal sendiri. Pola-pola yang menunjukkan saling ketergantungan merupakan umpan balik struktur. (6) Adatif, yakni kemampuan untuk menyesuaikan dengan perubahan, sepelan apapun. Bentuknya bisa evolusi atau adaptasi melalui pembelajaran. (7) Counterintuitive, artinya bahwa di dalam sistem yang kompleks hubungan sebab akibat adalah melalui waktu dan ruang yang panjang, sementara orang cenderung melihat segala sesuatunya pada jangka pendek, atau sesaat. (8) Resistensi kebijakan. Kompleksitas sistem seringkali sulit untuk dipahami, hasilnya banyak pemecahan masalah yang membingungkan atau membuat situasi menjadi lebih buruk, hal inilah yang kemudian membuat resistensi. (9) Bercirikan ‘trade-offs’ artinya, adanya waktu tunda dalam umpan balik. Hal ini juga berarti terdapat respon jangka panjang dari intervensi sistem berbeda dengan respon jangka pendek. Kebijakan pengungkit tinggi justru memperburuk, sementara kebijakan pengungkit rendah sering menimbulkan perbaikan yang tidak kekal sebelum maslah tumbuh semakin buruk 78 Secara metodologi, ST menggunakan fungsi ‘model’ dalam menjelaskan berbagai area yang akan diukurnya, seperti keuangan, SDM, pelanggan, dan lain sebagainya. Adapun pengertian model menurut Maani dan Cavana (2000:20) adalah : “Model is defined as being a representation of the real world”. Model dapat dibedakan dalam berbagai bentuk, apakah fisik, analog, digital (computer), matematikal, dan seterusnya. Dalam batasan tersebut oleh Maani dan Cavana, konsep model dapat dipahami tidak hanya dalam bentuknya yang tradisional yang sering mengacu pada kuantitaif (hard modelling), melainkan juga dapat dalam bentuk lebih soft modeling yang mengacu pada pendekatan konseptual dan kontekstual yang cenderung lebih realistic, pluralistic, dan holistic atau lebih kualitatif. Dalam ST biasanya digunakan pendekatan yang lebih soft modeling sementara dalam system dynamic (SD) lebih mengacu pada hard modeling. Menurut Sterman (2000:89) ‘every models is a representation of a system-a group of functionally interrelated elements forming a complex whole’. Lebih lanjut dijelaskannya bahwa suatu model dirancang untuk memahami misalnya bagaimana siklus suatu bisnis dapat dibuat stabil, atau suatu model dari berbagai kebijakan, atau model yang menggambarkan lingkungan ekonomi, dan seterusnya. Suatu model yang komprehensif kompleksitasnya akan serupa dengan sistemnya sendiri. Untuk membatasi bangunan model, diperlukan ‘seni’ untuk ‘cut-out’ memperjelas tujuan model secara logika. Luasnya suatu sistem kadang-kadang tidak mungkin digambarkan dalam model secara lengkap, apalagi jika data tidak lengkap, asumsi-asumsi tidak pernah diuji, dan orang yang membangun model tidak memahami perilaku sistem Untuk membangun model, biasanya seseorang memerlukan syarat awal yakni membuat karakterisasi dari permasalahan melalui diskusi dengan klien, dibantu oleh para peneliti, kemudian mengumpulkan data, wawancara, dan observasi langsung atau partisipasi. Namun demikian di sana banyak cara atau metode yang dapat dipakai untuk mengumpulkan informasi yang dibutuhkan untuk mendefinisikan dinamika masalah. Perilaku dinamis dari suatu sistem dapat dikenali melalui ‘model’. Menurut Muhammadi dan kawan-kawan (2001:52), model adalah suatu bentuk yang dibuat untuk menirukan suatu gejala atau proses. Model dapat dikategorikan ke dalam model kuantitatif, kualitatif, dan model ikonik. Model kuantitatif adalah model yang berbentuk rumus-rumus matematik, statistik, atau computer. Model kualitatif adalah model yang 79 berbentuk gambar, diagram, atau matrik, yang menyatakan hubungan dalam unsur. Dalam model kualitatif tidak digunakan rumus-rumus matematik, statistik, dan komputer. Model ikonik adalah model yang memiliki bentuk fisik yang sama dengan barang yang ditirukan, meskipun skalanya dapat diperbesar atau diperkecil. Pentingnya model dalam SD antara lain adalah : (1) model dapat mewakili dunia nyata, di mana proses pengambilan keputusan dapat dilakukan melalui simulasi model tanpa harus melakukan percobaan secara langsung pada fenomena yang nyata. Dengan simulasi model berarti akan lebih menghemat biaya, tenaga, dan waktu. (2) Melalui simulasi model, para pengambil keputusan dapat melakukan penyegaran dalam mengasah ketrampilan, dan memainkan perannya dalam pengambilan keputusan, tanpa perlu merasa bersalah karena gagal. (3) Melalui simulasi model, sebuah laboratorium yang murah dapat disediakan untuk pembelajaran dan pelatihan dalam memahami sistem organisasi. (4). Dunia virtual yang juga merupakan model formal, menyediakan kualitas yang tinggi akan tersedianya hasil umpan balik, sebab model dapat dikendalikan dan dikontrol dalam tingkatan variasi random yang dikehendaki. ‘Kotak hitam’ dalam dunia nyata, bersifat tertutup dan sulit dikendalikan atau dikontrol, namun dalam dunia model, kotak hitam tersebut dapat dibuka, dimana seseorang dapat mensimulasikan asumsiasumsinya dan memodifikasinya berdasarkan pada pengetahuan yang dikuasainya. (Sterman, 2000:35). Selanjutnya Sterman juga mengetengahkan langkah- langkah membuat model (hal ini akan dibahas dalam bab tentang metode penelitian ), hanya menurut Randers (1980, dalam Sterman 2000 :87) menyatakan bahwa tidak ada resep yang manjur untuk menjamin keberhasilan dalam membuat model. “There is no cookbook recipe for successful modelling, no procedure you can follow to guarantee a useful model” . Membuat model adalah tergantung dari kreatifitas dan gaya serta pendekatan yang digunakan oleh pembuat model. 80