ANALISIS FUNDAMENTAL DALAM VALUASI SAHAM PERDANA PT BANK PEMBANGUNAN DAERAH JAWA TIMUR TBK. Oleh: Rachma Ayu Sukmaningrum Dwi Atmaji NIM. 0910233109 Dosen Pembimbing: M. Tojibussabirin, SE., MBA., Ak. NIP. 19650918 199002 1 001 Universitas Brawijaya, Jl. MT. Haryono 165, Malang Email: [email protected] ABSTRAK PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Timur Tbk. (selanjutnya disebut Perseroan) melakukan penawaran saham perdana kepada publik dengan harga Rp430 per lembar saham.Beberapa analis saham menilai bahwa harga ini terlalu murah, sehingga dikhawatirkan harga saham perdana Perseroan dinilai di bawah nilai intrinsiknya oleh emiten dan underwriter. Untuk itu, penelitian ini bertujuan untuk membuktikan secara teori apakah harga saham perdana Perseroan ditetapkan lebih rendah (underpricing) atau lebih tinggi (overpricing) dari nilai intrinsiknya dan kondisi-kondisi fundamental apa yang menjadi pertimbangan dalam penilaian harga saham tersebut. Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif deskriptif dengan analisis data menggunakan teknik content analysis. Berdasarkan hasil perhitungan menggunakan pendekatan present value approach (discounted cash-flow techniques) dan relative valuation techniques diperoleh nilai intrinsik saham perdana Perseroan berada di kisaran Rp525,00 - Rp824,60 per lembar saham. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa saham Perseroan pada saat IPO dinilai terlalu rendah (underpricing) karena nilai intrinsik lebih tinggi dibandingkan harga saham perdana yang ditetapkan.Keputusan untuk menjual saham perdana pada harga tersebut dipengaruhi oleh kondisi pasar modal yang cenderung belum stabil terlihat dari pergerakan IHSG yang fluktuatif akibat krisis perekonomian global.Meskipun saham perdana Perseroan dijual pada harga yang relatif murah, namun pada perkembangannya harga saham Perseroan justru mengalami penurunan dimana hal ini diakibatkan oleh adanya penurunan kinerja dari Perseroan yang ditandai dengan penurunan laba bersih.Ketidaksanggupan Perseroan untuk mempertahankan kinerja perusahaan pasca-IPO sebaik pada saat sebelum IPO mengindikasikan adanya tindakan manajemen laba pada laporan laba rugi Perseroan untuk periode sebelum IPO. Abstract: ANALYSIS OF FUNDAMENTAL AND INITIAL STOCK VALUATION OF PT BANK PEMBANGUNAN DAERAH JAWA TIMUR TBK.PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Timur Tbk was offered its initial stock to the public at Rp 430 per share. Some stock analysts assess that the price is too cheap, so it’s feared initial stock price below the Company's intrinsic value assessed by the issuer and the underwriter. Therefore, this research aims to theoretically prove whether the Company's initial stock price is set lower (underpricing) or higher (overpricing) of intrinsic value and what fundamental conditions to be considered in the assessment of the stock price. This research is a descriptive qualitative research data analysis using content analysis techniques. Based on calculations using the approach of the present value approach (discounted cash-flow techniques) and relative valuation techniques derived intrinsic value of the Company's IPO in the range of Rp525,00 - Rp824,60 per share. Thus, it can be concluded that the Company's shares at the time of the IPO is underpricing because intrinsic value is higher than the initial stock price. The decision to sell its shares at a price that is influenced by capital market conditions that tend to have stable seen from Jakarta Company Index (JCI) fluctuating due to the global economic crisis. Although the Company sold its shares at a relatively cheap price, but in the development of the Company's stock price has decreased where this is caused by a decrease in the performance of the Company which is characterized by decrease in net income. Inability of the Company to maintain the company's post-IPO performance as good as it was before the IPO indicates a measure of earnings management on the Company's income statement for the period prior to the IPO. Kata kunci: fundamental Penawaran Umum Perdana, valuasi saham, analisis PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH Sejalan dengan perkembangan perekonomian, banyak perusahaan termasuk perbankan, dalam rangka mengembangkan usahanya melakukan penerbitan saham di pasar modal yang dikenal dengan go public. Demikian pula dengan PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Timur Tbk (selanjutnya disebut dengan Perseroan) yang merupakan Bank Pembangunan Daerah (BPD) yang didirikan dengan maksud khusus yang berfungsi untuk menyediakan pembiayaan bagi pelaksanaan usaha-usaha pembangunan daerah. Dalam menjalankan tugas dan fungsinya itulah Perseroan berupaya menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya kembali kepada masyarakat dalam bentuk kredit. Oleh karena itu, dalam rangka memenuhi kebutuhan dana untuk mendukung rencana ekspansi kredit perusahaan, Perseroan merencanakan penawaran saham kepada masyarakat atau go public. Perseroan melepas sejumlah 2,98 miliar lembar saham biasa atau sebesar 20% dari modal ditempatkan dan disetor melalui penawaran saham perdana (IPO) dengan harga saham perdana sebesar Rp430 per lembar saham dan nilai nominal sebesar Rp250 per lembar saham (Prospektus PT BPD Jatim Tbk, 2012).Sekitar 80% dana dari penawaran umum tersebut akan digunakan untuk ekspansi kredit, sedangkan sisanya sekitar masing-masing 10% akan digunakan untuk perluasan jaringan dan pengembangan teknologi informasi. Keputusan Perseroan ini merupakan suatu keputusan yang kompleks karena memunculkan kontroversi dalam penilaian harga saham perdananya. Ketika pertama kali diperdagangkan di pasar sekunder menunjukkan bahwa saham perdana Perseroan underpricing karena saham Perseroan ditutup di hari pertama perdagangannya (listing) di BEI dengan harga saham yang mengalami kenaikan sebesar 9,33% ke level Rp470,- per lembar saham (Frans, 2012). Analis saham, Teguh Hidayat (2012), juga mengungkapkan bahwa harga saham perdana Perseroan dinilai terlalu murah. Pada harga saham Rp430 per lembar saham, maka PBV Perseroan akan menjadi 1,3 kali. Sementara dengan laba bersih sebesar Rp218 miliar pada kuartal I 2012, maka PER-nya adalah 7,4 kali. Hal ini menunjukkan bahwa harga saham Perseroan ternyata murah, terlihat dari PBV dan PER yang berada di bawah rata-rata industri perbankan. Pendapat yang sama juga diungkapkan oleh Kepala Cabang Trimegah Sekuritas wilayah Surabaya, Sonny Muljadi yang mengatakan bahwa apabila bercermin pada IPO BPD sebelumnya, yaitu Bank Jabar Banten yang menetapkan harga saham perdananya sebesar Rp600 per lembar saham, pada dasarnya jika bersedia, Perseroan dapat menawarkan sahamnya sekitar Rp500 per lembar karena harga tersebut dinilai bahwa fluktuasinya lebih normal yaitu tidak mudah naik dan jikapun turun tidak signifikan. Demikian pula dengan hasil dari roadshow ke luar negeriserta di dalam negeri menunjukkan adanya kelebihan permintaan terhadap saham perdana Perseroan (oversubscribed) sebanyak 1,5 kali yang menunjukkan bahwa minat investor untuk memiliki saham Perseroan cukup tinggi (Permatasari, 2012). Namun, penilaian-penilaian underpricing di atas ditentang oleh Sekretaris Perusahaan Bank Jatim Revi Adiana Silawati yang menyatakan bahwa harga saham perdana tersebut merupakan harga ideal, meskipun terdapat beberapa investor yang berminat di atas harga yang ditetapkan namun jumlah investor tersebut terlalu kecil(Bangun, 2012). Kepala Cabang Mandiri Sekuritas (underwriter) wilayah Surabaya, Irawan, juga mengungkapkan bahwademand saham Perseroan masih sangat bagus ke depan dan didukungdengan bertumbuhnya sektor UMKM menjadi nilai lebih bagi Perseroan sehinggadiharapkan harga saham Perseroan setelah diperdagangkan di pasar sekunder akan terus meningkat (Anonim, 2012a). Pada dasarnya, penilaian hingga terdapat keputusan penetapan suatu harga saham perdana memang tidak mudah untuk dilakukan, karena dapat menimbulkan adanya benturan kepentingan antara emiten dan investor (Darmadji, 2001). Pihak emiten mengharapkan harga perdana yang tinggi, namun bila harga perdana yang ditawarkan terlalu tinggi, maka minat investor terhadap saham tersebut akan rendah. Sedangkan underwriter sebagai penjamin emisi berusaha untuk meminimalkan risiko yang ditanggungnya.Dengan tipe penjaminan full commitment, underwriter cenderung berusaha menetapkan harga perdana lebih rendah dari yang diharapkan oleh emiten dengan tujuan menekan risiko tidak habis terjual. Secara umum, fenomena underpricing pada penawaran perdana suatu saham merupakan fenomena jangka pendek yang terjadi hampir di semua emisi saham perdana dan menjadi keuntungan bagi investor untuk dapat memperoleh harga saham yang murah dan initial return yang positif. Namun, beberapa investor juga cenderung untuk membeli saham perdana yang underpricing untuk kemudian dijadikan sebagai investasi jangka panjang dengan harapan bahwa harga saham tersebut akan terus naik, sehingga investor akan memperoleh capital gain yang lebih tinggi ketika menjualnya. Demikian pula dari sisi emiten yang menjual sahamnya dengan harga yang murah dengan harapan harga sahamnya akan terus naik, sehingga juga akan meningkatkan nilai perusahaan. Hal ini menarik bagi peneliti untuk menganalisis perkembangan saham Perseroan setelah listing di BEI. Berdasarkan penjelasan sebelumnya, saham Perseroan ditutup di hari pertama perdagangannya (listing) dengan kenaikan sebesar 9,33% ke level Rp470 per lembar saham. Namun, berdasarkan data perdagangan BEI, kenaikan harga saham Perseroan di hari pertama perdagangannya tidak berlangsung lama karena saham Perseroan terus mengalami penurunan pada hari kelima, bahkan hingga akhir tahun 2012 saham Perseroan cenderung mengalami fluktuasi di kisaran harga Rp355 – Rp435 per lembar saham. Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti menyusun rumusan masalah sebagai berikut: 1. Apakah penilaian secara teori membuktikan bahwa harga saham perdana Perseroan dinilai terlalu rendah (underpricing)? 2. Ketika penilaian terhadap saham perdana Perseroan menunjukkan underpricing, kondisi-kondisi fundamental apakah yang menjadi pertimbangan dalam keputusan penilaian harga saham perdana oleh emiten dan underwriter? 3. Kondisi-kondisi apakah yang menyebabkan harga saham Perseroan yang telah dijual relatif murah pada penawaran perdananya, tidak mampu menunjukkan peningkatan pada perkembangan perdagangannya di pasar sekunder? LANDASAN TEORI 2.1 TEORI VALUASI Setiap aset, baik itu aset finansial maupun aset riil memiliki nilai atau value (Damodaran, 2002). Menurut Keown, penilaian harga wajar saham adalah proses membandingkan nilai riil suatu saham dengan harga yang berlaku di pasar dengan memperhatikan faktor fundamental (Ivalandari, 2010).Hal ini bisa dilakukan karena faktor-faktor fundamental yang mempengaruhi nilai, biasanya lebih lambat perubahannya dibandingkan perubahan harga pasar. Sedangkan menurut Porman (2008), penilaian saham (valuasi) adalah nilai sekarang (present value) dari arus kas imbal hasil yang di harapkan (expected cash flows). Dengan kata lain, hal yang melatarbelakangi value sebagai penyebab dilakukannya investasi adalah bahwa suatu aset dibeli atas dasar expected cash flows dari aset tersebut di masa yang akan datang.Perhitungan nilai suatu aset (valuasi) dapat dilakukan dengan bermacam-macam pendekatan.Meskipun pendekatan-pendekatan valuasi yang ada bersifat kuantitatif, namun dalam prosesnya tetap membutuhkan asumsi yang subjektif dari tiap pelaku valuasi. Tujuan utamanya adalah untuk memilih saham yang overvalued dan undervalued. Nilai wajar suatu saham dari sebuah perusahaan dapat dipengaruhi oleh faktor internal maupun eksternal.Untuk mengetahui berapa nilai wajar suatu saham dari sebuah perusahaan, dapat menggunakan analisis fundamental baik melalui pendekatan dari atas ke bawah (top- down approach) ataupun sebaliknya, yaitu bottom-up approach.Dalam pembahasan penelitian ini, peneliti menggunakan analisis fundamental melalui top-down approach.Dimulai dengan menganalisis nilai intrinsik saham perusahaan lingkungan makro ekonomi, kemudian menganalisis industri dimana perusahaan tersebut berada, dan yang terakhir adalah analisis perusahaan dengan menggunakan analisis rasio keuangan. 2.2 VALUASI SAHAM BIASA 2.2.1 Present Value Approach (Discounted Cash-Flow Techniques) Pendekatan ini didasarkan pada perhitungan nilai saham yang dilakukan dengan mendiskontokan semua aliran kas yang diharapkan di masa datang dengan tingkat diskonto sebesar tingkat return yang diinginkan investor. Proses penilaian saham meliputi: 1. Estimasi aliran kas saham di masa depan. Untuk penilaian saham diwujudkan dalam bentuk dividen yang akan diterima oleh investor dengan simbol (D). 2. Estimasi tingkat return yang diinginkan (required rate of return). Rumus required rate of return atas sebuah saham atau disimbolkan kₑ menurut Keown et.al. (2002) adalah sebagai berikut: kₑ= D₀ + g P₀ Keterangan: kₑ : required rate of return equity. kₑ ini merupakan kₑ dari saham perusahaan. D₀ : dividen yang terakhir kali dibagikan. g : growth atau pertumbuhan dividen tiap tahun. g ini adalah pertumbuhan dividen rata-rata per tahunnya. Growth atau disimbolkan g (tingkat pertumbuhan) dihitung dengan: g= DPSn - DPSn-1 x 100% DPSn Pt : harga pasar saham perusahaan saat ini. Cara lain untuk menentukan tingkat return yang diinginkan atau kₑ adalah menggunakan rumus CAPM (Capital Asset Pricing Model): kₑ= kRF + β(kM – kRF) 3. Mendiskontokan setiap aliran kas dengan tingkat diskonto sebesar tingkat return yang diinginkan dengan Divident Discount Model (DDM). Perhitungan DDM dibedakan menjadi 3 model (Scott, 2009), yaitu: a. Model pertumbuhan nol (zero growth) Model ini berasumsi bahwa dividen yang dibayarkan perusahaan tidak akan mengalami pertumbuhan. D₀ Pt = kₑ b. Model pertumbuhan tetap (constant growth) Model ini dipakai untuk menentukan nilai saham, jika dividen yang akan dibayarkan mengalami pertumbuhan secara konstan selama waktu tak terbatas. Dt = D₀ (1 +g)ₑ Pt = Dt = kₑ– g D₀ (1 + g)ₑ kₑ– g c. Model pertumbuhan tidak tetap (nonconstant growth) Proses untuk menghitung nilai saham denganmenggunakan model pertumbuhan dividen tidak tetap dapat dilakukan dengan rumus berikut: Pt = D₀ (1 + g¹)ₑ (1 + kₑ)ₑ + Dn (1 + g¹) (kₑ– g) + 1 (1 + kₑ)ₑ Keterangan: Pt : harga pasar saham perusahaan saat ini n : jumlah tahun selama periode pembayaran dividen supernormal D₀ : dividen saat ini (tahun pertama) g¹ : pertumbuhan dividen supernormal atau subnormal Dn : dividen pada akhir tahun pertumbuhan dividen supernormal g : pertumbuhan dividen yang diharapkan kₑ : tingkat return yang disyaratkan investor t : periode/waktu 2.2.2 Relative Valuation Techniques Dalam pendekatan ini terdapat dua metode yang dapat digunakan. Metode pertama adalah PBV (Price to Book Value) yang menunjukkan seberapa besar pasar menghargai nilai buku saham suatu perusahaan (emiten). Nilai buku per saham ini dihitung dengan cara membagi Total Modal Perusahaandengan Total Saham Beredar. Untuk mengetahui apakah saham tersebut mengalami underpriced atau overpriced, harus membandingkannya dengan harga wajar yang diperoleh dari PBV rata-rata industri sejenis dikalikan dengan nilai buku per saham perusahaan. Semakin besar BVS maka semakin besar aktiva yang dimiliki oleh investor dari kepemilikannya terhadap satu lembar saham perusahaan. Sedangkan metode kedua adalah PER (Price Earning Ratio) menunjukkan berapa besar investor menilai harga dari saham terhadap kelipatan laba. Untuk menghitung harga saham dengan model PER adalah mengalikan Laba Bersih per Saham (EPS) dengan PER rata-rata industri. Semakin tinggi PER, semakin tinggi tingkat kepercayaan investor terhadap masa depan suatu perusahaan (Rianiningsih, 2007). 2.2.3 Underpricing dalam Penilaian Harga Saham Perdana Harga penawaran saham di pasar perdana adalah hasil kesepakatan antara emiten dengan underwriter. Apabila harga saham di pasar sekunder pada hari pertama perdagangan saham secara signifikan lebih tinggi dibandingkan dengan harga penawaran di pasar perdana, maka saham mengalami underpricing. Menurut Husnan (2005), penilaian suatu saham juga dapat menggunakan pedoman sebagai berikut: 1. NI > harga pasar saat ini: Underpriced (harga terlalu murah atau rendah) 2. NI < harga pasar saat ini: Overpriced (harga terlalu mahal atau tinggi) 3. NI = harga pasar saat ini: harganya wajar 2.3 ANALISIS FUNDAMENTAL 2.3.1. Analisis Makro Ekonomi yang Mempengaruhi Kondisi Perseroan Analisis ini menyangkut penilaian umum perekonomian dan pengaruh potensialnya terhadap kondisi pasar modal, seperti pertumbuhan ekonomi, suku bunga dan inflasi. Karena ketiga faktor tersebut akan mempengaruhi secara langsung kegiatan seluruh industri dalam negeri sehingga membawa dampak pada kondisi perdagangan dalam pasar modal (Miles, 2005). 2.3.2. Analisis Industri Sejenis Kondisi industri juga berpengaruh terhadap kinerja perusahaan.Investor yang meyakini bahwa kondisi ekonomi menjanjikan prospek investasi yang bagus, juga harus memperoleh derajat keyakinan yang tinggi terhadap kondisi industri. 1. Siklus Hidup Industri Menurut Reilly (1999) siklus hidup industri dapat dibedakan menjadi beberapa tahap, yaitu: 1) Tahap Awal Tahap awal suatu industri yang ditandai dengan munculnya teknologi baru atau produk baru dan masih sulit untuk menentukan calon pemimpin pasar. 2) Tahap Konsolidasi Pada tahap ini produk mulai banyak digunakan dan pertumbuhan industri tampak lebih cepat dibanding jenis industri lain. Saat mencapai tahap konsolidasi pertumbuhan laba industri akan meningkat pesat. 3) Tahap Kematangan Fase ini ditandai persaingan yang lebih ketat dari perusahaanperusahaan di dalam industri.Perusahaan pada fase ini memiliki arus kas yang stabil. 4) Tahap Penurunan Relatif Dalam fase ini, industri bertumbuh kurang dari tingkat ekonomi keseluruhan karena munculnya persaingan dengan kompetitorkompetitor baru. 2. Analisis Lima Kekuatan 1) Rivalitas antar Perusahaan Persaingan atau rivalitas dalam industri dipengaruhi oleh jumlah, keberanian dan ukuran perusahaan yang ada di dalam industri, serta persaingan dalam industri dipengaruhi oleh pertumbuhan industri. 2) Ancaman Pendatang Baru Ancaman pendatang baru berdampak pada keseimbangan antara permintaan dan penawaran.Apabila jumlah penawaran lebih besar dari jumlah permintaan, maka intensitas persaingan semakin tinggi. 3) Ancaman Produk Substitusi Diferensiasi produk dengan meningkatkan kualitas dan perbandingan harga, dapat meminimalkan dampak ancaman produk dan jasa substitusi. 4) Daya Tawar Konsumen Posisi daya tawar konsumen berhubungan dengan keseimbangan antara penawaran perusahaan dengan permintaan konsumen.Konsumen melakukan backward integration untuk meningkatkan posisi daya tawarnya. 5) Hubungan Kerjasama dengan Perusahaan Lain Setiap perusahaan biasanya akan bekerjasama dengan perusahaan lain untuk menyediakan layanan tertentu, maupun untuk memenuhi kebutuhan perusahaan akan suatu barang atau jasa. 3. Siklus Bisnis Menurut Jones (2000) siklus bisnis industri dapat diklasifikasikan dalam beberapa bentuk, yaitu: 1) Industri yang Bertumbuh Terdiri dari perusahaan-perusahaan dengan ekspektasi pertumbuhan laba sangat tinggi di atas rata-rata seluruh industri. 2) Industri Defensif Industri defensif merupakan industri yang tidak terlalu terpengaruh oleh resesi dan kondisi ekonomi yang buruk. 3) Industri Siklikal Merupakan industri yang sangat terpengaruh kondisi ekonomi. 4) Industri yang Sensitif Terhadap Suku Bunga Jenis industri ini sensitif terhadap perubahan suku bunga. 2.3.3. Analisis Kinerja Perusahaan Analisis kinerja perusahaan merupakan proses evaluasi kondisi perekonomian dan risiko suatu perusahaan. Tujuan dari analisis ini adalah untuk menciptakan pandangan yang mendalam mengenai kinerja sekarang dan prospek perusahaan di masa yang akan datang. Diantara beberapa teknis analisis kinerja perusahaan yang ada, alat analisis yang paling sering digunakan adalah analisis rasio. Terdapat dua cara yang dapat dilakukan untuk membuat perbandingan data keuangan yang berarti melalui rasio keuangan, yaitu rasio antar waktu yang dapat dilakukan untuk memprediksi arah pergerakan rasio dan membandingkan rasio perusahaan dengan rasio perusahaan sejenis lainnya. Dalam industri perbankan terdapat perbedaan rasio-rasio keuangan yang digunakan sebagai indikator pengukuran kinerja perusahaan. Rasio keuangan yang dapat digunakan sebagaimana dalam Surat Edaran Bank Indonesia tentang Pedoman Perhitungan Rasio Keuangan ditambah dengan beberapa rasio yang umum diperhitungkan untuk mengukur kinerja bank yaitu pertama Rasio Permodalan, yaitu CAR, Rasio Aktiva Produktif, yang terdiri dari kualitas aset produktif (KAP), NPL-Gross, NPL-Neto, PPAP/CKPN terhadap aset produktif, Pemenuhan PPAP/CKPN; Rasio Rentabilitas, yang terdiri dari ROA, ROE, NIM, BOPO; dan Rasio Likuiditas, yaitu LDR. 2.4 MANAJEMEN LABA Secara singkat Scott (2009) mendefinisikan bahwa manajemen laba adalah tindakan yang dilakukan untuk meningkatkan atau menurunkan laba melalui pilihan kebijakan akuntansi untuk memperoleh tujuan tertentu, misalnya untuk memenuhi kepentingan sendiri atau meningkatkan nilai pasar perusahaan.Manajemen laba tidak selalu diartikan sebagai suatu upaya negatif yang merugikan karena tidak selamanya manajemen laba berorientasi pada manipulasi laba, tetapi lebih dikaitkan dengan pemilihan metode akuntansi yang secara sengaja dipilih oleh manajemen untuk tujuan tertentu dalam batasan standar akuntansi yang berlaku. a. Motivasi Manajemen Laba Scott (2000:302) mengemukakan beberapa motivasi terjadinya manajemen laba, yaitu: 1. Bonus Purposes Manajer yang memiliki informasi atas laba bersih perusahaan akan bertindak secara oportunistik untuk melakukan manajemen laba dengan memaksimalkan laba saat ini. 2. Political Motivation Manajemen laba digunakan untuk mengurangi laba yang dilaporkan pada perusahaan publik. 3. Taxation Motivation Motivasi penghematan pajak menjadi motivasi manajemen laba yang paling nyata. 4. Pergantian CEO CEO yang mendekati masa pensiun akan cenderung menaikkan pendapatan untuk meningkatkan bonus mereka. 5. Initial Public Offering ( IPO) Perusahaan yang akango public belum memiliki nilai pasar, sehingga hal ini menyebabkan manajer perusahaan yang akan go public melakukan manajemen laba dengan harapan dapat menaikkan harga saham perusahaan. 6. Pentingnya Memberi Informasi kepada Investor Pelaporan laba yang tinggi perlu disajikan agar investor tetap menilai bahwa perusahaan tersebut dalam kinerja yang baik. b. Teknik Manajemen Laba 1. Memanfaatkan peluang untuk membuat estimasi akuntansi Misalnya estimasi tingkat piutang tak tertagih, estimasi kurun waktu depresiasi aktiva tetap atau amortisasi aktiva tak berwujud, estimasi biaya garansi, dan lain-lain. 2. Mengubah metode akuntansi Misalnya mengubah metode depresiasi aset tetap dari metode depresiasi angka tahun ke metode depresiasi garis lurus. 3. Menggeser perioda pengakuan biaya atau pendapatan Contohnya adalah rekayasa periode pengakuan biaya atau pendapatan. c. Model-model Manajemen Laba Scott (2009) menyatakan ada beberapa bentuk manajemen laba yaitu: 1. Taking a bath Taking a bath terjadi dalambentuk jika manajemen harus melaporkan kerugian, maka manajemen akan melaporkan dalam jumlah besar. 2. Income Minimization (Menurunkan Laba) Dalam bentuk ini manajer akan menurunkan laba, misalnya untuk tujuan penghematan kewajiban pajak yang harus dibayar perusahaan kepada pemerintah. 3. Income Maximization (Meningkatkan Laba) Dalam bentuk ini manajer akan berusaha menaikkan laba, misalnya menjelang IPO manajer akan meningkatkan laba dengan harapan mendapatkan reaksi yang positif dari pasar. 4. Income Smoothing (Perataan Laba) Income smoothing dilakukan dengan meratakan laba yang dilaporkan untuk tujuan pelaporan eksternal, terutama bagi investor. METODE PENELITIAN 3.1 JENIS PENELITIAN Dalam penelitian ini penulis menggunakan paradigma kualitatif untuk merancang dan melaksanakan penelitian.Penelitian ini bermaksud untuk memberikan deskripsi atas obyek penelitian yang diteliti berdasarkan dokumen kuantitaif dan kualitatif (yaitu prospektus, laporan keuangan, data-data keuangan dan non-keuangan yang dipublikasi melalui internet, artikel-artikel, dan sumber dokumen lain) yang kemudian diklasifikasi, dianalisis, dan diinterpretasikan dalam bentuk narasi/uraian. Penelitian ini bersifat deskriptif karena berusaha mendeskripsikan suatu gejala, peristiwa, kejadian yang terjadi saat sekarang dimana peneliti berusaha memotret peristiwa dan kejadian yang terjadi menjadi pusat perhatiannya untuk kemudian dijabarkan sebagaimana adanya. 3.2 JENIS DAN SUMBER DATA Penelitian ini menggunakan data-data dengan jenis data sekunder. Data sekunder dan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Prospektus yang diterbitkan dalam bentuk media cetak oleh PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Timur Tbk. 2. Laporan Keuangan PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Timur Tbk yang telah diaudit dan dipublikasi di BEI. 3. Data-data keuangan dan non keuangan yang diterbitkan oleh BEI. 4. Data-data keuangan dan non keuangan yang dipublikasikan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). 5. Literatur-literatur yang mendukung pendapat dari penulis yang diperoleh dari media cetak maupun media elektronik seperti internet. 3.3 TEKNIK PENGUMPULAN DATA Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui dokumentasi, yaitu teknik pengumpulan data dengan cara mencari dokumen yang berisi data-data yang berhubungan dengan bahasan penelitian. 3.4 TEKNIK ANALISIS DATA Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teknik content analysis dalam proses analisis dengan langkah-langkah sebagai berikut: 1. Membaca, memahami, menelaah, menganalisis, dan memberi interpretasi atas setiap pernyataan – baik kalimat, paragraf, maupun pernyataan lain dalam sumber-sumber data yang telah dikumpulkan. 2. Mengkoding (coding/codifying) setiap informasi. Tabel 3.1 Ikhtisar Data Terkait dengan Valuasi Saham dan Analisis Fundamental Saham PerdanaPT Bank Pembangunan Daerah Jawa Timur Tbk. Ada Other Tidak Quantitative Declarative Ada (Non(Qualitative) Financial Quantitative) Dividen awal, jumlah saham beredar, dan √ DDM laba bersih Harga Pasar Saham √ Total Modal √ Valuasi PBV PBV PerusahaanSaham √ perusahaan Perbankan Laba Bersih √ PER PerusahaanPER √ perusahaan Perbankan Analisis Ekonomi Makro Analisis Fundamental Analisis Industri Perbankan Analisis Kinerja Perusahaan Indikator Ekonomi Indonesia Tingkat Suku Bunga/BI Rate Pergerakan IHSG Perkembangan Ekonomi dan Pasar Modal Siklus Hidup dan Siklus Bisnis Industri Perbankan Kinerja Industri Perbankan Perkembangan Industri Perbankan Rasio-rasio Keuangan Perusahaan √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ 3. Selanjutnya peneliti memberikan analisis kuantitatif dan analisis kualitatif. a. Valuasi Harga Saham Karena kebijakan perusahaan untuk pembagian dividen jumlahnya konstan/tetap setiap tahunnya, yaitu sebesar 40% per tahun (Prospektus BPD Jatim Tbk., 2012), maka pendekatan DDM (Divident Discount Model) yang digunakan adalah model constant growth atau model pertumbuhan tetap, yaitu: Pt = Dt kₑ – g = D₀ (1 + g)ₑ kₑ – g kₑ (tingkat return yang disyaratkan investor), dihitung dengan rumus: kₑ = Dividen + Pertumbuhan (g) Harga Pasar Saham Asumsi kₑ yang digunakan adalah kₑ atau tingkat pengembalian yang diinginkan investor dari saham Perseroan. Pendekatan PER dan PBV 1) Model Price Earning Ratio (PER) harga saham Nilai PER = EPS Jika nilai PER dan proyeksi EPS telah diketahui maka nilai intrinsik saham dapat dihitung dengan rumus berikut: Harga saham = EPSₑ x PER 2) Harga Price to Book Value (PBV) Nilai Buku per Saham= Total Modal Total Saham Beredar Jika nilai buku per saham telah diketahui maka nilai intrinsik saham dapat dihitung dengan rumus berikut: Harga saham = Nilai Buku per Saham x PBV Setelah perhitungan dilakukan maka dapat diketahui apakah saham tersebut masuk dalam kategori underpricing atau overpricing dengan menggunakan pedoman sebagai berikut: a. NI > harga pasar saat ini:Underpriced (harga terlalu murah atau rendah) b. NI < harga pasar saat ini: Overpriced (harga terlau mahal atau tinggi) c. NI = harga pasar saat ini: harganya wajar b. Analisis Fundamental Tahapan dalam analisis fundamental secara top – down approach yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Analisis makro ekonomi, yang diukur melalui PDB (Produk Domestik Bruto), inflasi, tingkat suku bunga/BI rate, dan IHSG. Analisis kondisi industri perbankan, yang diukur melalui identifikasi siklus hidup industri, analisis lima kekuatan, identifikasi siklus bisnis perbankan, serta analisis kinerja perbankan. Analisis kinerja perusahaaan pada saat penawaran perdana diukur dengan menggunakan rasio keuangan. - Rasio Permodalan Modal Aktiva Tertimbang Menurut Risiko Capital Adequacy Ratio (CAR) = - Rasio Aktiva Produktif Kualitas Aset Produktif Non Performing Loan-Gross = Aset Produktif Bermasalah Total Aset Produktif Kredit Bermasalah = Total Kredit Non Performing Loan-Neto = Kredit Bermasalah – PPAP/CKPN Kredit Bermasalah Total Kredit PPAP/CKPN terhadap Aset Produktif = PPAP/CKPN yang telah dibentuk Total Aktiva Produktif PPAP/CKPN yang telah dibentuk - Pemenuhan PPAP/CKPN = PPAP/CKPN yang wajib dibentuk Rasio Rentabilitas Return on Asset (ROA) = Laba (Rugi) Sebelum Pajak Rata-rata Total Aset Return on Equity (ROE) = Laba (Rugi) Setelah Pajak Rata-rata Total Ekuitas Net Interest Margin (NIM) = = BOPO - Rasio Likuiditas Loan to Deposit Ratio (LDR) Pendapatan Bunga Bersih Rata-rata Aktiva Produktif Total Beban Operasional Total Pendapatan Operasional = Kredit yang Diberikan Dana Pihak Ketiga c. Analisis Penurunan Harga Saham Terdapat beberapa teknik dan tujuan tertentu yang digunakan oleh manajer untuk melakukan manipulasi laba, antara lain: - Teknik Manajemen Laba Ada tiga cara yang dapat digunakan untuk melakukan manajemen laba pada laporan keuangan (Scott, 2009), yaitu: 1. Memanfaatkan peluang untuk membuat estimasi akuntansi 2. Mengubah metode akuntansi 3. Menggeser perioda pengakuan biaya atau pendapatan 1. 2. 3. 4. Model-model Manajemen Laba Scott (2009) menyatakan ada beberapa bentuk manajemen laba yaitu: Taking a bath Income Minimization (Menurunkan Laba) Income Maximization (Meningkatkan Laba) Income Smoothing (Perataan Laba) HASIL ANALISIS DATA Setelah nilai intrinsik saham diperhitungkan dengan semua pendekatan penilaian saham, maka dapat diambil kesimpulan bahwa harga pasar perdana saham Perseroan seharusnya berada pada kisaran Rp 525,00 – Rp 824,60. Namun, pada penawaran perdana yang dilaksanakan tanggal 12 Juli 2012 sesuai dengan peraturan Bapepam dan LK Nomor IX.J.1, saham Perseroan dinilai sebesar Rp 430,00 per lembar saham. Sehingga, apabila terjadi kondisi dimana harga saham pada penawaran perdana lebih rendah dibandingkan nilai intrinsiknya, maka kondisi tersebut dikatakan underpricing atau dapat dirinci sebagai berikut: DDM PBV PER Tabel 4.17 Pengkategorian Saham Perseroan Nilai Harga Pasar Metode Penilaian Intrinsik Perdana Saham Rp 430,00 D₁(2012) Rp525,00 Rp 430,00 D₂(2013) Rp565,60 Rp 430,00 D₃(2014) Rp633,47 D₄(2015) Rp 430,00 Rp709,48 D₅(2016) Rata-rata kelompok Industri “Perbankan” Rata-rata kelompok “Bank Swasta Nasional” Rata-rata kelompok “Bank Persero” Rata-rata kelompok Industri “Perbankan” Rata-rata kelompok “Bank Swasta Nasional” Rata-rata kelompok “Bank Persero” Rp794,62 Rp 540,54 Rp 578,76 Rp 625,17 Rp 700,62 Rp 719,36 Rp 824,60 Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp 430,00 430,00 430,00 430,00 430,00 430,00 430,00 Kategori Underpricing Underpricing Underpricing Underpricing Underpricing Underpricing Underpricing Underpricing Underpricing Underpricing Underpricing Dari sudut pandang ekonomi makro pada dasarnya ditandai dengan pertumbuhan ekonomi yang terus-menerus mengalami peningkatan. Kondisi ini juga didukung dengan penurunan BI rate sepanjang tahun 2011 dan terus mengalami penurunan hingga kembali stabil di angka 5,75% di awal 2012. Meskipun demikian, IHSG cenderung bergerak secara fluktuatif hingga akhir tahun 2011 akibat krisis perekonomian global dari memburuknya krisis utang pemerintah di AS dan Eropa.Sedangkan berdasarkan analisis terhadap kondisi industri, kinerja industri perbankan semakin meningkat yang ditandai dengan kenaikan laba bersih, peningkatan pada pertumbuhan kredit dan DPK, dan perbaikan pada kualitas kredit yang diindikasikan oleh penurunan NPL (gross). Berdasarkan analisis terhadap rasio keuangan, Perseroan memiliki tingkat kredit bermasalah yang relatif rendah terlihat dari rasio gross NPL Perseroan yang dipertahankan di bawah 2,00%. Sedangkan untuk posisi CAR Perseroan, meskipun rasio ini mengalami penurunan namun masih cukup jauh diatas level minimum Bank Indonesia yaitu sebesar 8%. Dari sisi ROA, ROE, dan NIM Perseroan juga mengalami penurunan dan peningkatan BOPO yang menunjukkan bahwa kemampuan perusahaan dalam mengelola laba, modal, dan pendapatan mengalami penurunan, akan tetapi perubahannya tidak signifikan dan angka ini masih dinilai cukup tinggi terutama jika dibandingkan dengan rata-rata industri perbankan. LDR tahun 2011 menurun dari 80,70% menjadi 80,11%. Secara umum kinerja Perseroan berdasarkan rasio keuangan meskipun beberapa mengalami penurunan, tetapi cenderung tidak signifikan. Peneliti mengindikasikan bahwa terdapat unsur manajemen laba dalam Laporan Keuangan PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Timur Tbk. tahun 2011 (periode sebelum IPO) dengan motivasi untuk mempercantik laporan keuangan agar menarik minat investor dengan harapan dapat menaikkan harga saham perusahaan.Peneliti mengindikasikan bahwa manajemen laba dilakukan dengan menggeser periode pengakuan beban.Jika manajemen laba yang dilakukan sebelum IPO adalah sebuah tindakan oportunistik untuk mencapai tujuan tertentu, maka secara teoritis perusahaan tidak akan mampu mempertahankan kinerja perusahaan pasca-IPO sebaik pada saat sebelum IPO (Sakina dan Siregar, 2006) dan hal ini terbukti bahwa pada tahun 2012 Perseroan mengalami penurunan laba. KESIMPULAN 1. Setelah dilakukan valuasi dengan menggunakan pendekatan DDM, PER, dan PBV diperoleh hasil nilai intrinsik saham perdana Perseroan berada pada kisaran Rp525,00 – Rp824,60. per lembar saham. 2. Pertumbuhan ekonomi terus-menerus mengalami peningkatan yang didukung dengan penurunan BI rate dan penguatan nilai tukar rupiah, namun kondisi pasar modal cenderung belum stabil yang terlihat dari pergerakan IHSG yang fluktuatif akibat krisis perekonomian global. 3. Kinerja industri perbankan semakin meningkat yang ditandai dengan peningkatan laba, pertumbuhan kredit dan DPK, serta penurunan NPL (gross). Sedangkan dari kondisi persaingan yang ada, Perseroan terletak pada posisi yang strategis karena merupakan salah satu BPD yang memiliki jaringan cabang yang luas dan didukung dengan masih besarnya potensi pertumbuhan UMKM, serta beberapa keunggulan bersaing. 4. Pada tahun 2011, jika dilihat dari rasio-rasio keuangan Perseroan mulai dari CAR, NPL, ROA, ROE, NIM, BOPO dan LDR mengalami kemunduran kinerja jika dibandingkan dengan tahun 2010. Namun, penurunan ini tidak terlalu signifikan dan dinilai masih cukup baik terutama jika dibandingkan dengan rata-rata industri perbankan. 5. Penurunan harga saham Perseroan disebabkan karena penurunan laba bersih yang bisa menjadi sinyal negatif bagi investor. Peneliti mengindikasikan bahwa penurunan laba bersih pasca IPO ini sebagai implikasi dari tindakan manajemen laba pada laporan laba rugi periode sebelum IPO yang dilakukan oleh perusahaan dengan cara menunda atau menggeser periode pengakuan beban penyisihan kerugian nilai atas aset. SARAN Berdasarkan keterbatasan penelitian di atas maka untuk penelitian selanjutnya sebaiknya: a. Menggunakan data rasio keuangan rata-rata industri untuk periode tahun 2009-2011 secara lebih lengkap. Sehingga, kinerja Perseroan berdasarkan rasio keuangannya untuk tahun 2009-2011 bisa dibandingkan dan dapat ditunjukkan apakah kinerjanya tergolong baik atau tidak. b. Menggunakan metode CAPM untuk mengukur tingkat pengembalian yang diinginkan oleh investor (kₑ) agar kₑ dapat dihitung secara akurat.