Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 1, Juni 2015 KEBIJAKAN FISKAL; Studi Bentuk Kebijakan Makroekonomi Model Ekonomi Islam Oleh: Ahmad Irawan,M.E.I1 Abstract Fiscal policy role in Islamic Economic will relatively more limited than free market system in conventional economy. There are two basic reasons. First, interest level has no role in Islamic Economic. Second, Islam does not allow gambling. Gambling can cause many practices like cards game and all kind of conventional gambling that contain speculations and practices like profit guarantee in the future (profit certainty at the early transaction) that usually found in the conventional economic. If economic conventional stressed more on fiscal policies to taxes, impotition taxes tariffs and subsidy, then Islamic Economic had arrange more advanced. Beside those three things had approved and enforced with dlaribah, jizyah and ushur, but there are still can be found other public participation that in macro scale will raise country income aggregately. This kind of public participation appear ini zakat, infak, wakaf, ghanimah, and kharaj. Key words: policy, fiscal, Islamic Economic. A. Pendahuluan Ekonomi Neoklasik mempercayakan, bahwa kebijakan publik biasanya didasarkan pada kemampuan pemerintah dalam menarik pajak dan memacu tarif pada subsidi asing. Pembahasan mengenai kebijakan ekonomi publik biasanya sangat rumit karena masuknya faktor-faktor non-ekonomik ke dalamnya. Aspek-aspek sosial, politik dan strategi dalam kebijakan ekonomi publik itu penting dan tidak boleh dipisahkan, karena kehidupan adalah satu kesatuan. Dalam bahasa ekonomi, yang termasuk sebagai kebijakan publik salah satunya adalah berupa kebijakan fiskal. Sehingga kebijakan tersebut dipandang sebagai instrumen menejemen permintaan yang berusaha mempengaruhi tingkat aktivitas ekonomi melalui pengendalian pajak dan pengeluaran pemerintah. Kebijakan fiskal atau secara tradisional dikenal dengan keuangan publik, 2 merupakan suatu kebijakan yang berkaitan dengan ketentuan, pemeliharaan, dan 1 Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Syaichona Moh. Cholil Bangkalan. Membahas masalah keuangan dalam sistem ekonomi itu merupakan hal yang sangat penting. Karena uang merupakan salah satu faktor produksi yang bersifat materi. Adapun pembagian faktor produksi menurut Rafiq Yunus al-Misri, al-Mal itu menempati urutan ketiga dari tiga kelompok faktor produksi pertama. Dengan menyebutnya Awamil al-Intaj al-Mustaqillah, yaitu al-Ard, al-Amal dan al-Mal. Sedangkan kelompok faktor kedua adalah Awamil al-Intaj al-Tabi‟ah, meliputi al-Mukhatirah dan al-Zaman. Rafiq 2 1 Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 1, Juni 2015 pembayaran dari sumber-sumber yang dibutuhkan untuk memenuhi fungsi-fungsi publik dan pemerintahan. Sebagaimana diketahui bersama, bahwasannya dalam sejarah perkembangan sistem ekonomi dunia, dikenal adanya sistem Kapitalis dan Sosialis. Pada Kapitalis, diketahui bahwa segala sesuatunya diberikan kebebasan tanpa batas dalam kehidupan ekonomi, baik dalam hal penguasaan faktor produksi maupun pemanfaatan dan pengelolaannya, sehingga dapat menimbulkan gap yang sangat tajam terhadap kelompok kuat dan kelompok lemah yang akhirnya menimbulkan ketidak-adilan dan ketidak-harmonisan dalam kehidupan, karena tidak diakuinya peran dan intervensi pemerintah dalam hal ini. Kemudian muncul sistem sosialis yang menawarkan janji keadilan karena segala aspek kehidupan ekonomi diatur oleh kekuatan negara dan tidak mengakui hak kepemilikan atas individu.3 Namun akhirnya kedua sistem ini pun tidak mampu mencapai suatu nilai kemaslahatan dan keadilan semua pihak sehingga muncul-lah gagasan untuk mencari alternatif pemecahannya. Islam sebetulnya telah mengatur semua itu, termasuk didalamnya masalah kebijakan Fiskal. Islam dalam hal ini bisa dikatakan berada dipertengahan kedua sistem besar tersebut. Islam menawarkan suatu sistem yang berkeadilan dan memberikan kemaslahatan bagi semua pihak yang berkepentingan dalam hidup, tidak hanya untuk manusia tetapi meliputi seluruh alam semesta termasuk didalamnya hewan dan tumbuhan. Islam mengatur segala aspek kehidupan, termasuk didalamnya masalah ekonomi. Bagaimana Islam memandang dan mengatur masalah kebijakan Fiskal itu sendiri? Dengan adanya pertanyaan tersebut, maka penulis mencoba untuk mendeskrepsikan kebijakan fiskal baik ditinjau dari ekonomi konvensional maupun ekonomi Islam, sebagai perwujudan dari pada salah satu institusi ekonomi Islam. B. PEMBAHASAN Yunus al-Misri, Usul al-Iqtisad al Islami, (Damaskus: Dar al-Qalam, 1999), 85-98. Meskipun ada pembagian faktor produksi yang tidak mencantumkan dan memasukkan al-Mal ke dalam bagiannya dengan penyebutan tersendiri, seperti yng digulirkan oleh Mustafa al-Hamshari. Beliau menyebutkan faktor produksi itu ada tujuh yaitu, Bina‟ al-Insan, al-ard, Anwa‟ al-Milkiyyah, al-Amal, al-mawarid,al-Tauzi dan al-Infaq. Secara tekstual tujuh faktor produksi tersebut tidak memasukkan al-Mal di dalamnya, akan tetapi al-Mal akan masuk dengan sendirinya ketika membahas faktor produksi ketiga, kelima, keenam dan ketujuh. Mustafa al-Hamshari,al-Nizam al-Iqtisad Fi al-Islam, (Riyad: Dar al-„Ulum 1985), 83-390. 3 Taqyuddin an Nabhani, Membangun Sistem Alternatif Perspektif Islam,(Surabaya: Risalah Gusti, 1996), 33. 2 Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 1, Juni 2015 1. Definisi Kebijakan Fiskal Adapun yang dimaksud dengan kebijakan fiskal adalah langkah-langkah pemerintah untuk membuat perubahan-perubahan dalam sistem pajak atau dalam perbelanjaannya dengan maksud untuk mengatasi masalah-masalah ekonomi yang dihadapi. Dengan kata lain adalah kebijakan yang meliputi kegiatan penerimaan dan pengeluaran oleh negara untuk menjaga stabilitas ekonomi serta mendorong pertumbuhan ekonomi.4 Menurut pandangan Keynes, kebijakan fiskal adalah sangat penting untuk mengatasi pengangguran yang relatif serius. Melalui kebijakan fiskal pengeluaran agregat dapat ditambah dan langkah ini akan menaikkan pendapatan nasional dan tingkat penggunaan tenaga kerja. Di bidang perpajakan langkah yang perlu dilaksanakan adalah mengurangi pajak pendapatan. Pengurangan pajak ini akan menambah kemampuan masyarakat untuk membeli barang dan jasa dan akan meningkatkan pengeluaran agregat. Seterusnya pengeluaran agregat dapat lebih ditingkatkan lagi dengan cara menaikkan pengeluaran pemerintah untuk membeli barang dan jasa yang diperlukannya maupun untuk menambah investasi pemerintah. Dalam masa inflasi atau ketika kegiatan ekonomi telah mencapai tingkat penggunaan tenaga kerja penuh dan kenaikan harga harus sudah semakin pesat. Langkah sebaliknya harus dijalankan, yaitu pajak dinaikkan dan pengeluaran pemerintah dikurangi. langkah ini akan menurunkan pengeluaran agregat dan tekanan inflasi dapat dikurangi. Adapun macam-macam kebijakan fiskal ada dua yaitu: a. Penstabil Otomatik Dalam setiap perekonomian terdapat beberapa jenis pendapatan dan pengeluaran pemerintah yang secara otomatik menciptakan kestabilan yang lebih tinggi pada kegiatan ekonomi. Pendapatan atau pengeluaran yang mempunyai sifat seperti ini disebut dengan penstabil otomatik. Dengan kesadaran penuh, dari satu tahun ke tahun lainnya tingkat kegiatan ekonomi akan selalu mengalami perubahan. Sehingga tanpa adanya penstabil otomatik, perubahan-perubahan itu akan menjadi lebih besar lagi. 4 Sadono Sukirno, Pengantar Teori Makro Ekonomi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), 170; Adiwarman Azwar Karim, Ekonomi Islam: Suatu Kajian Ekonomi Makro, (Jakarta: IIIT, 1986), 107. 3 Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 1, Juni 2015 Fungsi dari pada penstabil otomatik adalah memperkecil gerak naik turun kegiatan ekonomi yang terjadi dari suatu waktu ke waktu yang lainnya. Apabila kegiatan ekonomi mengalami kemunduran, ia akan mengurangi keseriusan dari kemunduran ekonomi yang terjadi. Sebaliknya, apabila kegiatan ekonomi mengalami perkembangan, ia akan mengurangi kecepatan perkembangan tersebut. Alhasil, penstabil otomatik – seperti halnya dengan kebijakan fiskal lainnya – akan mengurangi besarnya konjungtur perusahaan yang terjadi dari waktu ke waktu. Adapn jenisnya adalah: a. pajak proporsional dan pajak progresif, b. asuransi pengangguran, dan c. kebijakan harga minimum. b. Kebijakan Fiskal Diskresioner Yaitu kebijakan yang digunakan pemerintah untuk mengatasi masalah-masalah ekonomi yang sedang dihadapi. Dalam hal ini, kebijakan tersebut adalah sebagai langkah pemerintah untuk merubah pengeluarannya atau pemungutan pajaknya dengan tujuan untuk mengurangi gerak naik turun tingkat kegiatan ekonomi dari waktu kewaktu, menciptakan suatu tingkat kegiatan ekonomi yang mencapai tingkat penggunaan tenaga kerja yang tinggi, tidak menghadapi masalah inflasi dan selalu mengalami pertumbuhan yang memuaskan. Dengan mengetahui dari pada uraian di atas, maka secara garis besar terdapat dua macam alat yang digunakan pemerintah dalam kebijakan ini yaitu: membuat perubahan-perubahan ke atas pengeluarannya, dan membuat perubahan-perubahan ke atas pajak yang dipungutnya. 2. Kebijakan Fiskal Dalam Ekonomi Islam Semua yang kita uraikan di atas, merupakan penjabaran mengenai masalah kebijakan fiskal dalam teori konvensional. Dari sini kemudian kita bertanya; bagaimana Islam memandang masalah tersebut dan solusi apa yang ditawarkan dalam ekonomi Islam? Dalam Ekonomi Islam, kebijakan Fiskal mempunyai peran yang lebih penting dibanding Sistem pasar-bebas dalam Ekonomi konvensional, hal ini didasarkan atas alasan-alasan sebagai berikut: 1. Peran Kebijakan Fiskal akan relatif lebih dibatasi dalam Ekonomi Islam dibanding dengan Sistem pasar bebas dalam Ekonomi konvensional. Dalam hal 4 Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 1, Juni 2015 ini paling tidak terdapat dua alasan yang mendasarinya; Pertama, tingkat bunga tidak mempunyai peran dalam Ekonomi Islam. Seorang Muslim dilarang untuk menerima bunga atas segala jenis pinjaman (pribadi, komersial, pertanian, perindustrian badan usaha, atau institusi lain). Seperti tertuang dalam QS 2:276-278, QS 3:130, QS 4:161, QS 30:39. Dengan demikian segala bentuk tingkat bunga yang mempunyai peran penting sebagai alat (instrumen) dalam Kebijakan Moneter tidak diakui dalam Ekonomi Islam. Kedua, Islam tidak membolehkan perjudian. Karena pelaksanaan perjudian tersebut dapat menimbulkan berbagai praktek seperti permainan kartu dan segala jenis kegiatan perjudian konvensional lain yang mengandung spekulasi (untung-untungan) serta kegiatan seperti menjamin keuntungan di masa yang akan datang (kepastian keuntungan dalam awal sebuah transaksi) yang biasa ditemukan dalam ekonomi konvensional. Hal ini menunjukkan dua implikasi; i. Operasi pasar terbuka tidak bisa efektif dalam ekonomi islam. Persediaan nilai tukar akan dibatasi untuk memerankan peran besar seperti dalam sistem pasar bebas dalam ekonomi non-islam. Pada kondisi ini spekulasi merupakan bagian yang sangat integral dalam kehidupan ekonomi. ii. Tidak akan ada permintaan uang untuk tujuan spekulasi seperti teori Keynes. Bagaimanapun juga sangat dimungkinkan bagi pemegang uang tunai untuk menunggu kesempatan yang menguntungkan dan juga diperbolehkan. Dalam kesempatan ini permintaan uang akan menjadi tujuan untuk Zakat dan kewajiban atas kas yang menganggur. 2. Dengan tidak mengindahkan kondisi ekonomi yang ada dalam ekonomi Islam, Pemerintah (penguasa) Muslim harus lebih keras dan tegas lagi dalam menjamin bahwa pungutan atas zakat dapat dikumpulkan dari setiap Muslim yang mempunyai kelebihan harta yang melebihi batas minimum (nisab) dan hasil dari pendapatan pajak akan ditujukan untuk yang berhak menerimanya QS 9:60. Bangun dari Fiskal ini merupakan keistimewaan dalam ekonomi Islam. 3. Terdapat beberapa perbedan mendasar antara ekonomi Islam dengan Ekonomi non-Islam dalam menanggapi peran dan pengelolaan hutang negara. Selama hutang negara (Publik debt) didasarkan atas kebebasan bunga, maka pengeluaran pemerintah akan lebih banyak di biayai dari pengumpulan pajak, zakat dan 5 Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 1, Juni 2015 sejenisnya serta perolehan bagi hasil. Oleh karena itu, ukuran dari hutang negara (publik debt) akan lebih kecil dalam ekonomi Islam dibanding dalam Ekonomi non-Islam. 3. Tujuan Kebijakan Fiskal dalam Ekonomi Islam Teori ekonomi mengatakan bahwa tujuan itu adalah alokasi sumber daya dalam masyarakat secara optimal. Alokasi yang optimal adalah yang efektif dan efisien. Sebagai ukuran dari keoptimalan itu adalah produktivitas masyarakat yang merupakan fungsi dari jumlah dan komposisi faktor produksi yang terdiri dari sumber daya manusia, kapital dan iptek.5 Kebijakan Fiskal dalam ekonomi Islam akan dapat digunakan untuk mencapai tujuan yang sama sebagaimana dalam ekonomi konvensional. Di mana tujuan ekonomi adalah untuk menciptakan stabilitas ekonomi, tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan pemerataan pendapatan, ditambah dengan tujuan lain yang terkandung dalam aturan (doktrin) Islam, dengan kata lain tujuan tersebut harus dicapai dengan melaksanakan hukum Islam. Ada tiga tujuan yang dikenal dalam Islam: 1. Islam menetapkan tingkatan yang mulia (tinggi) terwujudnya persamaan dan demokrasi, diantara pninsip-prinsip dan hukum yang lain, prinsip mendasar adalah “Agar kekayaan (harta) itu tidak hanya beredar diantara segelintir orang kaya saja” (QS 59:7). Hal ini mengambil tindakan bahwa Ekonomi Islam harus lebih berperan dalam setiap anggota masyarakat. 2. Selama Islam melarang pembayaran bunga atas segala bentuk pinjaman. Hal ini menunjukkan bahwa ekonomi Islam tidak akan menggunakan instrumen bunga dalam tujuan mencapai tingkat keseimbangan pada pasar uang (keseimbangan antara penawaran dan permintaan uang). Untuk itu pemerintah Muslim harus mampu menemukan alat yang bisa menggantikan tingkat bunga dalam mencapai tingkat keseimbangan tersebut. Salah satu alat alternatif adalah tingkat sangsi atas penguasaan uang tunai (harta) yang idle. 5 M. Rusli Karim, Berbagai Aspek ekonomi Islam, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1992), 98. 6 Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 1, Juni 2015 3. Ekonomi Islam akan dikelola untuk membantu dan mendukung ekonomi masyarakat yang terbelakang dan untuk memajukan dan menyebarkan ajaran Islam seluas mungkin. Dengan demikian sebagian dari pengeluaran pemerintah akan diperuntukkan untuk kegiatan-kegiatan yang sesuai syari‟ah dan meningkatkan kesejahteraan saudara Muslim yang kehidupan ekonominya kurang berkembang (terbelakang). 4. Kebijakan Fiskal Periode Awal Islam Pada masa Rasulullah kebijakan Fiskal yang diambil meliputi tindakan-tindakan sebagai berikut: 1. Pendapatan nasional dan partisipasi kerja, meliputi tindakan; (a) mempekerjakan kaum Muhajirin dengan Anshor, yang tentu saja menimbulkan mekanisme distribusi pendapatan dan kekayaan sehingga meningkatkan permintaan agregat terhadap output yang akan diproduksi. (b) pembagian tanah, yaitu memberikan modal untuk berusaha yang dampaknya tentu akan menyerap tenaga kerja serta meningkatkan pendapatan masyarakat yang imbasnya akan menaikkan tingkat konsumsi masyarakat yang mendorong kenaikan Agregat demand. (c) Meng-hubungkan kerja sama (partership) antara kaum Muhajirin dan Ansor dalam hal Modal, sumber daya Manusia yang akan meningkatkan produksi total. 2. Kebijakan pajak, yaitu kebijakan yang dikeluarkan pemerintahan Muslim berdasarkan atas jenis dan jumlahnya (pajak proporsional). Misalnya jika terkait dengan pajak tanah, maka tergantung dari produktivitas dari tanah tersebut atau juga bisa didasarkan atas zonenya. 3. Menerapkan Kebijakan Fiskal Berimbang. Untuk kasus ini pada masa Rasulullah dengan metode tersebut hanya mengalami sekali defisit neraca Anggaran Belanja yaitu setelah terjadinya “Fathul Makkah”, namun kemudian kembali membaik (surplus) setelah perang Hunain. 4. Kebijakan Fiskal Khusus. Kebijakan ini dikenakan dari sektor voulentair (sukarela) dengan cara meminta bantuan Muslim kaya. Jalan yang ditempuh yaitu 7 Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 1, Juni 2015 dengan memberikan pinjaman kepada orang-orang tertentu yang baru masuk Islam serta menerapkan kebijakan insentif.6 5. Komponen Kebijakan Fiskal Dalam menentukan desain komponen fiskal ekonomi konvensional, ekonomi Islam mempunyai andil yang sangat penting. Dari sini dapat diketahui bahwa sebenarnya dalam kebijakan fiskal itu dapat dikategorikan dalam tiga hal, yaitu masalah penerimaan negara, pengeluaran negara dan hutang negara7 (meskipun banyak yang memasukkan hutang negara masuk dalam pos penerimaan) dalam perspektif Islam. a. Zakat. Zakat8 merupakan salah satu “dasar” ketetapan (aturan) Islam.9 pemanfaatan dari pendapatan zakat sangat besar pengaruhnya bagi kesejahtraan ekonomi. Bahkan zakat bisa dijadikan pemerintah sebagai alat untuk mencapai tujuan pembangunan ekonomi, sebagaimana telah dilakukan perannya sebagian kecil oleh pajak umum. Dalam Al-Qur'an telah dijelaskan obyek zakat, namun tidak ada penjelasan secara rinci tentang besarnya. Menurut pendapat para ulama, zakat dikenakan sebesar 2,5 % untuk semua harta kekayaan tidak produktif (idle assets) termasuk di dalamnya uang kas, deposito, perak, emas dan permata. Pendapatan bersih dari transaksi (net earning from transactions), serta 10% untuk pendapatan bersih dari hasil investasi setelah di kurangi penyusutan. b. Kharaj 6 Adiwarman Azwar Karim, Ekonomi Islam: Suatu Kajian Kontemporer, (Jakarta: Gema Insani Press, 2002), 137. 7 Munawar Iqbal & M. Fahim Khan, A Surveyof Issues and a Programme for Research in Monetary and Fiscal Economics of Islam, (Jeddah: ICRIE &Islamabad: IPS, 1981), 49-51. 8 Zakat secara etimologi adalah purity: kesucian, justnees:kebenaran, growth: berkembang. sedangkan menurut istila adalah sebuah kewajiban atas harta tertentu dengan ketetapan masa tertentu pula. Hans Wehr, Dictionary of Modern Written Arabic, (Beirut: Librairie Du Liban, 1980), 379-380. lihat juga Ibrahim Fuad Ahmad Ali, al-Mawarid al-Maliyah fi al-Islam, ,( Mesir: Ma‟had al-Dirasat al-Islamiyyah, 1970), 21-22. Definisi seperti ini juga banyak digunakan dalam literatur-literatur kitab klasik, sebagaimana ungkapan Shihab al-Din Ahmad al-Qalyubi & Shihab al-Din al-Barlasy, Hashiyatani‟Ala Minhaj al-Talibin, cet. IV, (Beirut: Dar al-Fikr, tt), 2. 9 Pengeluaran / pembayaran zakat dalam Islam mulai efektif sejak setelah Nabi hijrah dan terbentuknya negara Islam di Madinah. Orang-orang yang beriman dianjurkan untuk membayar zakat tertentu dari hartanya, dalam bentuk zakat. Muhammad, Kebijakan Fiskal Dan Moneter Dalam Ekonomi Islam, (Jakarta: Salemba Empat, 2002), 198-199. Bandingkan dengan Imam Al-Tabari, Tarikh al-Tabari, (Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1975), 134; 8 Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 1, Juni 2015 Kharaj atau pajak tanah adalah beban yang dikenakan kepada non Muslim atas tanah mereka.10 Dalam pelaksanaannya, kharaj dibedakan menjadi dua, yaitu kharaj dengan metode proportional (Muqasamah), yaitu pajak yang dikenakan secara proporsional dari total hasil produksi tanah yang bersangkutan. Seperti 1/4, 1/5 dan lain-lain. dengan kata lain besarnya pajak tergantung pada hasil dan harga tiap jenis hasil pertanian Dan metode tetap (Wazifah), adalah pajak yang dikenakan pada setahun sekali. 11 Adanya kharaj pertama kali adalah dikenakan setelah perang khaibar, yaitu ketika Rasulullah SAW. membolehkan orang-orang yahudi Khaibar kembali ke tanah miliknya dengan syarat mau membayar separoh dari hasil panennya kepada pemerintahan Islam. Faktor 12 yang menentukan kemampuan yang memikul pajak tanah adalah sebagai berikut: orang yang menaksir kharaj atas sebidang tanah harus mempertimbangkan kemampuan tanah yang berbeda menurut tiga faktor. salah satu faktor yang berkaitan dengan tanah itu sendiri adalah mutu tanah yang dapat menghasilkan panen besar atau gagal yang menghasikan hasil kecil. Faktor kedua berhubungan dengan jenis panen. Faktor ketiga mengenai cara irigasi. c. Jizyah Yaitu suatu pungutan yang dikenakan kepada kelompok non Muslim yang tinggal di negara Islam dengan menerima jaminan keamanan, keselamatan hidup, dan kebebasan beribadah. Dasar hukum berlakunya jizyah adalah surat al-Taubah ayat 29 yang berbunyi: ٌٍلاتهىاانزٌٍ ال ٌؤيُىٌ باهلل وال بانٍىو االخش وال ٌحشيىٌ ياحشو هللا وسسىنه وال ٌذٌُىٌ دٌٍ انحك يٍ انز .ٌاوتىانكتاب حتى ٌعطىا انجزٌة عٍ ٌذ وهى صاغشو 10 Secara umum tanah yang dikuasai kaum Muslimin terbagi menjadi tiga kategori: pertama tanah yang dikuasai secara paksa melalui peperangan. Status tanah ini menjadi perdebatan di antara para fuqaha..Kedua tanah yang dikuasai tidak dengan jalan pertempuran dan ketiga tanah yang diperoleh melalui jalan perdamaian. Lebih lengkapnya lihat Wahbah Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu,vol VI, (Beirut: Dar al-Fikr, 1987), 53911 Pembagian ini bisa dilihat di Abd Mannan, Teori Dan Praktek Ekonomi Islam, terj Nastangin, (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1997), 250; Ibrahim Fuad Ahmad Ali, al-Mawarid al-maliyyah fi al-Islam,180-184. 12 Karena kharaj merupakan sumber pemasukan negara yang sangat penting, maka akan menjadi baik apabila hasil yang diperoleh dari lahan tanahitu baik. Al-Mawardi, Kitab al-Ahkam al-Sultaniyah, (Beirut: Dar al-Fikr, tt ), 132. 9 Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 1, Juni 2015 Ketika ayat ini turun yang pertama kali dikenakan jizyah adalah ahli kitab (termasuk di dalamnya Majusi) sesuai dengan bunyi teks ayat ٍانكتاب انزٌٍ ي. para penyembah berhala dari kalangan Arab tidak dikenakan karena – paling tidak – ada dua alasan. Pertama, karena mereka dekat dengan sumber kebenaran, maka pilihan untuk mereka hanya dua: Islam atau bunuh, sesuai dengan firman: فالتهىهى حٍث وجذتًىهى Kedua, mereka tidak dikenakan jizyah karena ayat ini turun setelah fathu Makkah. Praktis mereka telah masuk Islam semua.13 Meskipun jizyah merupakan hal yang wajib namun dalam ajaran Islam juga mengenal toleransi, di mana hanya dikenakan atas orang yang mampu secara fisik dan mental. Ini terbukti jika dilihat dari subyeknya, jizyah hanya dikenakan pada setiap lelaki yang sehat dan berakal. Ini bisa dimengerti karena asumsi awalnya adalah sebagai sarana untuk melemahkan. Mereka yang sudah lemah tidak perlu diperlemah karena itu anak-anak, dan perempuan tidak dikenakan jizyah. di samping itu lelaki nyata-nyata tidak lemah juga tidak dikenakan jizyah. Mereka adalah budak, orang buta, lumpuh, jompo, dan pendeta yang selalu di tempat peribadatan.14 Jizyah bukanlah pajak represif. Besarnya pungutan jizyah bervariasi yaitu antara 12 dan 48 dirham setahun sesuai dengan kondisi keuangan mereka. Jika mereka memutuskan masuk Islam, maka kewajiban atas jizyah gugur. d. Ghanimah Ghanimah adalah harta yang diperoleh dari non Muslim melalui pertempuran.15 Ini juga merupakan sumber pendapatan Negara Islam yang berkurang di masa sekarang. Adapun beberapa harta yang dikategorikan sebagai ghanimah, yaitu : 1. Al-Asra Yaitu tawanan perang laki-laki. Para ulama sepakat bahwa Imam harus beroreintasi pada maslakhah al-muslimin dalam memutuskan status mereka. 13 Abd al-Qodir zullum, al-Amwal fidaulati khilafah (Bairut : dar al-Ilm al-Malayyin, 1983), 66 ; Fuad, Mabadi`, 185 14 Ibrahim, al-Mawarid, 213-214 15 Mohammad Faruq Nabhan, al-Ittijah al-Jama`i fi al-Tashri` al-Iqtisad al-Islami, (Beirut : Muassasah al-Risalah, 1984), 311 10 Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 1, Juni 2015 Imam Hanafi memberi tiga alternative : bunuh,16jadi budak,17atau dilepas dengan tebusan.18 Imam Syafi`i di samping tiga opsi tadi, menambah satu opsi lagi, yakni bebas murni.19Sementara Imam Malik juga menambahi opsi Imam syafi`i dengan membayar jizyah, sehingga Imam memiliki lima alternative. 2. Al-Saby adalah tawanan perang perempuan dan anak-anak. Pada dasarnya mereka adalah ghanimah yang bisa dibagi-bagi sebagaimana harta yang lain. posisi mereka dengan sendirinya menjadi budak. Imim boleh melepas mereka dengan secara Cuma-Cuma dengan catatan para sukarelawan memperbolehkan.20 3. Harta benda Yang dimaksud harta benda adalah semua barang selain salab dan anfal yang dibawa musuh. 4. Tanah Yang dimaksud tanah adalah tempat tinggal musuh yang telah terbunuh, bukan tanah yang ditinggalkan karena ketakutan. Islam membatasi tuntutan tentara Muslim penakluk hanya 4/5 dari seluruh hasil menahan dan 1/5 bagian rampasan perang diperuntukan untuk Negara demi kesejahteraan masyarakat. ini sesuai dengan surat Al-Anfal ayat 41. واعهًىا أًَا غًُتى يٍ شًء فاٌ هلل خًسه ونهشسىل ونزي انمشبى وانٍتايى وانًساكٍٍ وابٍ انسبٍم إٌ كُتى )41( .ءا يُتى باهلل ويا اَزنُا عهى عبذَا ٌىو انفشلاٌ ٌىو انتمى انجًعاٌ وهللا عهى كم شًء لذٌش e. Ushur Merupakan salah satu dari sekian banyak pendapatan Negara Islam masa lampau yaitu merupakan sumber penerimaan yang diperoleh dari pungutan atas individu atau kelompok yang melakukan perdagangan antar wilayah atau propinsi suatu Negara (bea masuk). 16 17 Pilihan ini didasarkan pada ayat : وجذتًىهى حٍث فالتهىاانًششكٍٍ انحشو االشهش اَسهخ فار Menjadikan budak merupakan interpretasi dari shudd al-wathaq dalam ayat : فئرا نمٍتى انزٌٍ كفشوا فضشبا انشلاب حتى إرا اثخُُتًىهى فشذوا انىثاق 18 Pilihan ini didasarkan pada ayat: 19 Ayat yang dijadikan sumber hukum juga ayat yang sama : 20 Zuhaili, al-fiqh al-Isalami wa adillatuh, vol VI, (Beirut : Dari al-fikr, 1987), 469-471 فئرا نمٍتى انزٌٍ كفشوا فضشبا انشلاب حتى إرا اثخُُتًىهى فشذوا انىثاق فئيا يُا بعذ فئيا فذاء فئرا نمٍتى انزٌٍ كفشوا فضشبا انشلاب حتى إرا اثخُُتًىهى فشذوا انىثاق فئيا يُا بعذ فئيا فذاء 11 Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 1, Juni 2015 Sebelum Islam, setiap kelompok di pedesaan, biasa membayar pajak pembelian dan penjualan. Setelah Negara Islam berdiri khususnya pada masa Umar, pajak Ushr dipungut besarnya sepersepuluh dari hasil pertanian kepada pedagang Manbij (Hieropolis). 6. Mekanisme Kebijakan Fiskal Dalam Ekonomi Islam Seperti kita ketahui bersama bahwa tujuan dan fungsi yang paling penting dalam sistem keuangan fiskal dalam ekonomi Islam adalah meliputi; mencapai kelayakan/kesejahteraan yang menyeluruh dengan terwujudnya tingkat kesempatan kerja (full-employment) tingkat pertumbuhan ekonomi yang optimum, keadilan sosio-ekonomi dengan pemerataan hasil pembangunan (pendapatan), stabilitas Nilai Tukar sehingga memungkinkan medium of exchange dapat digunakan sebagai suatu perhitungan, menekan laju inflasi, serta stabilitas dan mobilitas ekonomi yang tinggi. Dalam rangka mencapai tujuan pembangunan ekonomi, ekonomi Islam dapat menggunakan instrumen-instrumen kebijakan fiskal yang berbeda sebagai perbandingan dengan ekonomi konvensional. 1. Penggunaan Kebijakan Fiskal dalam Menciptakan Kesempatan Kerja (Full Employment) Dalam Ekonomi Islam, keadaan ini sangat dimungkinkan sekali. Hal ini terjadi apabila investasi tidak hanya digunakan untuk menutupi kesenjangan antara pendapatan nasional dengan pengeluaran konsumsi agregat. Dengan kata lain, harapan yang tinggi terhadap tingkat keuntungan dapat dicukupi dengan mengajak para pengusaha untuk ikut membuka investasi baru yang menyerap banyak tenaga, lewat pemanfaatan dan harta yang idle dan memungkinkan untuk berkembang. Hal ini bisa dilakukan dengan cara kebijaksanaan pemerintah untuk menarik beban atas harta yang menganggur, sehingga akan mendorong masyarakat untuk menginvestasikan dananya lewat tabungan maupun deposito dengan tujuan investasi atau investasi langsung dengan tanpa menggunakan tingkat bunga tetapi bagi hasil. Semua ini akan memberi pengaruh atas: i. Merangsang para pengusaha (enterpreneur) swasta, karena dalam berusaha tidak akan terbebani oleh beban bunga yang tinggi, tetapi berkeadilan (menggunakan prinsip bagi hasil) di mana keuntungan dan kerugian akan 12 Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 1, Juni 2015 ditanggung bersama atau sesuai dengan kesepakatan di akad yang tentu tidak akan memberatkan kedua belah pihak, karena terjadi tawar-menawar. ii. Porsi yang signifikan dari kenaikan pendapatan yang diperoleh, maka beban atas harta-harta idle akan terlewati, dan lebih jauh lagi dengan penambahan dari akibat investasi tersebut akan meningkatkan kecenderungan marhinal untuk konsumsi masyarakat, yang selanjutnya akan merangsang investasi lebih lanjut. 2. Penggunaan Kebijakan Fiskal dalam Menekan Laju Inflasi Dalam ekonomi pasar bebas, permintaan akan barang yang meningkat karena tingginya hasrat konsumsi masyarakat sehingga menimbulkan harga-harga yang relatif tinggi dan menaikkan tingkat inflasi, merupakan akibat dan ketidakseimbangan pasar tenaga kerja dan pasar barang. Khusus dalam ekonomi Islam, penekanan tingkat inflasi akan lebih menonjol dibandingkan menyebabkan cost plus inflation itu sendiri, hal ini dapat dipahami dengan benar, karena bagaimanapun juga Islam melarang pemborosan dan berlebih-lebihan dalam konsumsi, serta segala bentuk penimbunan untuk mencari keuntungan dan juga transaksi yang bersifat penmdasan salah satu pihak. Hal ini bukan berarti bahwa Islam tidak mengakui transaksi perdagangan, namun lebih mengedepankan pencapaian nilai keadilan antara pekerja dan pengusaha untuk menghindari eksploitasi sosial. Kita ketahui bersama bahwasanya antara tingkat inflasi dan tingkat pengangguran merupakan dua sisi mata uang yang saling mengikuti, artinya di satu sisi jika kita bermaksud menekan laju inflasi maka di sisi yang lain akan menaikkan angka penganguran, demikian juga sebaliknya. Kita dapat mengasumsikan bahwa keadaan ekonomi kita adalah full employment, untuk itu pemerintah memutuskan untuk menaikkan pengeluaran dan keperluan keuangan lain dengan cara menaikkan tingkat sanksi (kewajiban atas) pendapatan individu yang dapat menyesuaikan kenaikan pengeluaran tersebut. Selama diawali dari keadaan full-employment, kenaikan dalam 13 Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 1, Juni 2015 permintaan agregat tidak akan menimbulkan kenaikan pada pendapatan riil nasional, tetapi harus dimanifestasikan sebagai kenaikan atas pendapatan uang. Dengan kata lain, pada tingkat output yang sama sekarang tidak akan dinaikkan sebagai kenaikan harga yang tinggi. Langkah yang bisa diambil dalam hal ini adalah memaksimalkan fungsi penerimaan zakat dan jenis amal sukarela yang lain ke dalam Baitul mal. Penerimaan tersebut dapat digunakan untuk berbagai macam kegunaan dalam rangka menjamin stabilitas ekonomi. Selama masa inflasi berlangsung pemerintah Muslim dapat membiayai lebih kecil dari hasil peneriman pada masa full-employment. 3. Penggunaan Kebijakan Fiskal dalam Mempercepat Pertumbuhan Ekonomi Dalam perkembangan Ekonomi Islam, percepatan pertumbuhan ekonomi dapat dijadikan tujuan dasar dari kebijakan Fiskal. Selama pertumbuhan ekonomi merupakan tingkat tabungan, kebijakan fiskal harus menjadi tujuan dengan pencapaian mobilitas maksimum dari fungsi tabungan. Kebijakan menaikkan pengeluaran pemerintah juga dapat diperlukan untuk membangun infrastruktur21 yang diperlukan dan untuk menginvestasikan pada proyek-proyek yang menarik bagi sektor swasta. Dalam pengaturan hasil usaha (keuntungan) dari proyek pemerintah dapat dijalankan dengan menggunakan sistem mitra usaha. Para pemegang saham akan saling membagi keuntungan dan kerugian bersama sebatas proporsi modalnya sesuai kesepakatan di awal kontrak. Dengan demikian segala bentuk transaksi (proyek usaha) baik itu sektor rumah tangga, swasta maupun pemerintahan semua dapat menjalankan prinsip bagi hasil ini tanpa menggunakan instrumen bunga. Dalam Ekonomi Islam, jumlah dari hutang publik belum dapat dilunasi dapat diminamalisir (bukan nol) dan bebas dari unsur bunga. Hal ini berarti bahwa manajemen tidak akan mengalami kesulitan sebagaimana dalam ekonomi 21 infrastruktur merupakan hal yang sangat penting dan mendapat perhatian yang sangat besar. Pada zaman Rasulullah, telah dibangun infrastruktur berupa sumur umum, pos, jalan raya, dan pasar. Kemudian di masa Umar juga dibangun dua kota dagang besar yaitu: Basrah yang sebagai pintu masuk perdagangan 14 Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 1, Juni 2015 non-Islam, dengan alasan-alasan: Pertama, pemerintah tidak akan mengalami kesulitan dalam memberikan hutang, karena bunga sama dengan nol. Kedua, Hutang, bagaimana pun tetap harus dibayar, meski dapat ditangguhkan selama tenggang waktu yang diundurkan dengan tanpa biaya dari pemerintah. Ketiga, karena jumlah hutang relatif kecil, maka pemerintah tidak harus menjalankan surplus anggaran yang substansial pada berbagai tingkat frekuensi yang relatif berubah atas pelayanan hutang tersebut. Saran lain dari ekonomi Islam akan ditujukan untuk keseimbangan Anggaran Belanja Negara (APBN). Arah terbaik dari tindakan pemerintah tersebut dapat dihubungkan antara pengeluaran pemerintah ditambah zakat atas sejumlah pajak (pungutan lain) menggunakan cara sebagai berikut: G = T-Z at periods of full employment G < T-Z at periods of inflation G T-Z at periods of depression Dimana G = Pengeluaran Pemerintah pada waktu tertentu Z = Jumlah zakat yang terkumpul dan didistribusikan pada waktu tertentu T = Jumlah pajak (pungutan) yang terkait dengan tingkat pendapatan pada keadaan full employment Mengingat pentingnya nilai surplus pada masa inflasi dan defisit pada masa depresi akan dapat dikurangi dengan pengalaman. C. KESIMPULAN Dalam rangka menjaga stabilitas perekonomian sebuah negara, langkah yang mesti ditempuh adalah merumuskan kebijakan fiskalnya. Kebijakan fiskal berhubungan dengan kebijakan perekonomian, baik jangka pendek ataupun jangka panjang, yang meliputi faktor penerimaan dan pengeluaran negara. Jika ekonomi konvensional lebih menitikberatkan kebijakan fiskalnya pada pungutan pajak, pengenaan tarif cukai dan subsidi, maka ekonomi Islam telah merancangnya jauh lebih maju. Disamping ketiga hal tersebut diakui dan pernah diberlakukan dengan dlaribah, jizyah dan ushur, namun diluar itu masih ditemukan dengan Romawi, dan kota Kuffah sebagai pintu masuk perdagangan dengan Persia. Karim, Ekonomi Islam, 120. 15 Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 1, Juni 2015 partisipasi publik lainnya, yang dalam skala makro akan menaikkan pendapatan negara secara agregat. Bentuk partisipasi publik itu tampak dalam zakat, infak, wakaf, ghanimah, dan kharaj. Pos pengeluaran negara dalam Islam diperuntukkan untuk membangun infrastruktur, membuka kesempatan kerja, pertumbuhan ekonomi , mencerdaskan bangsa dan menjaga keutuhan negara. Wallahu A'lam. DAFTAR PUSTAKA Al-Hamshari, Mustafa,al-Nizam al-Iqtisad Fi al-Islam, Riyad: Dar al-„Ulum, 1985. Ali, Ibrahim Fuad Ahmad, al-Mawarid al-maliyyah fi al-Islam, Mesir: Ma‟had al-Dirasat al-Islamiyyah, 1970. Al-Mawardi, Kitab al-Ahkam al-Sultaniyah, Beirut: Dar al-Fikr, tt al-Misri, Rafiq Yunus, Usul al-Iqtisad al Islami, Damaskus: Dar al-Qalam, 1999. al-Qalyubi, Shihab al-Din Ahmad & Shihab al-Din al-Barlasy, Hashiyatani „Ala Minhaj al-Talibin, Cet. IV, Beirut: Dar al- Fikr, tt . an Nabhani, Taqyuddin, Membangun Sistem Alternatif Perspektif Islam,Surabaya: Risalah Gusti, 1996. Iqbal, Munawar & M. Fahim Khan, A Surveyof Issues and a Programme for Research in Monetary and Fiscal Economics of Islam, Jeddah: ICRIE &Islamabad: IPS, 1981. Karim, Adiwarman Azwar, Ekonomi Islam: Suatu Kajian Ekonomi Makro, Jakarta: IIIT, 1986. ______________, Ekonomi Islam: Suatu Kajian Kontemporer, Jakarta: Gema Insani Press, 2002. Karim, M. Rusli, Berbagai Aspek ekonomi Islam, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1992. Mannan, Abdul, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, terj. M. Nastangin, Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1997. 16 Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 1, Juni 2015 Muhammad, Kebijakan Fiskal Dan Moneter Dalam Ekonomi Islam, Jakarta: Salemba Empat, 2002. Nabhan, Mohammad Faruq, al-Ittijah al-Jama`i fi al-Tashri` al-Iqtisad al-Islami, Beirut : Muassasah al-Risalah, 1984. Sukirno, Sadono, Pengantar Teori Makro Ekonomi, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000. Tabari, Imam, Tarikh al-tabari, Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1975. Wehr, Hans, A Dictionary of Modern Written Arabic, Beirut: Librairie Du Liban, 1980. Zuhaili, Wahbah, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu,vol VI, Beirut: Dar al-Fikr, 1987. Zullum, Abd al-Qodir, al-Amwal fidaulati khilafah Bairut : dar al-Ilm al-Malayyin, 1983. 17