Menggenjot Pusat-Pusat Pertumbuhan

advertisement
Menggenjot Pusat-Pusat Pertumbuhan
Oleh Ragimun
Kamis, 11 Februari 2010
Untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi Indonesia yang cenderung stagnan akhir-akhir
ini dengan 4-5 persen, diperlukan stimulasi daerah atau wilayah tertentu sebagai pusatpusat pertumbuhan. Apalagi kondisi ekonomi global yang belum sepenuhnya pulih, sebagai
faktor eksternal tentu mempunyai pengaruh terhadap perkembangan makroekonomi
nasional.
Ada tiga peta kekuatan pertumbuhan dunia, yang teraglomerasi di beberapa negara
atau kawasan seperti negara-negara Eropa Barat (Masyarakat Ekonomi Eropa),
kawasan Amerika dengan pusat peetumbuhan di Amerika Serikat (AS), dan kawasan
Asia timur jauh (Jepang)-walaupun ke depan, peta pusat pertumbuhan tentu akan
berubah dengan menguatnya ekonomi China dan India sebagai pusat-pusat
pertumbuhan kawasan baru.
Secara teoretis, paling tidak ada tiga hal penting pemicu pusat-pusat pertumbuhan
ekonomi (triple D), yakni kepadatan (density), jarak (distance), dan batas-batas
wilayah (division). Sebagai gambaran, pusat-pusat pertumbuhan di tiga wilayah di
atas merupakan kawasan pemicu pertumbuhan. Pada kenyataannya hal itu didorong
oleh peran kebijakan yang senantiasa memperhatikan faktor triple D.
Pada dasarnya konsep pusat pertumbuhan telah diperkenalkan pada tahun 1940-an
oleh Francois Perroux yang mengartikan pusat pertumbuhan sebagai pusat dari
pancaran gaya sentrifugal (menjauhi pusat putaran). Demikian pula sebaliknya,
tarikan gaya sentripetal.
Menurut Rondinelli, teori pusat pertumbuhan didasarkan pada keniscayaan bahwa
pemerintah di negara berkembang dapat memengaruhi pertumbuhan ekonomi dan
kesejahteraan dengan melakukan investasi yang besar pada industri padat modal di
pusat kota. Teori pusat pertumbuhan juga ditopang oleh kepercayaan bahwa
kekuatan pasar bebas melengkapi kondisi terjadinya trickle down effect (dampak
pengaruh ke bawah) dan menciptakan spread effect (dampak penyebaran)
pertumbuhan ekonomi dari perkotaan ke pedesaan.
Ada beberapa contoh wilayah sebagai pusat-pusat pertumbuhan. Tokyo, sebagai
kota besar di dunia dengan jumlah penduduk mencapai 35 juta orang dari 120 juta
orang penduduk Jepang, dengan lahan seluas 4% dari seluruh wilayah Jepang,
ternyata dapat mendorong pertumbuhan daerah-daerah sekitarnya sebagai daerah
satelit atau penyangga. AS, sebagai negara yang paling banyak menghadapi
mobilisasi dan migrasi warganya, lebih dari 35 juta orang dari 300 juta penduduknya
melakukan perubahan tempat tinggal, dan 8 juta penduduknya melakukan
perubahan kependudukan.
Efek dari permasalahan jarak ini mendorong pertumbuhan. Contoh lain Eropa Barat,
sebagai kawasan yang terintegrasi, mampu meraup kira-kira 35% gross domestic
product (GDP) dunia. Sepertiga perdagangan dunia terpusat di kawasan ini. Tentu
saja kawasan-kawasan ini mempunyai pengaruh positif terhadap pertumbuhan bagi
wilayah sekitarnya. Walaupun pusat-pusat pertumbuhan itu banyak menimbulkan
permasalahan baru atau turunannya (derivative problems).
Sebagaimana permasalahan yang sama sedang dialami oleh beberapa wilayah
seperti di Kota Mumbai (India), Shanghai (China), dan beberapa kota besar di
negara Asia Tenggara. Di sisi lain, kepadatan penduduk menimbulkan berbagai
permasalahan yang rumit seperti urbanisasi maupun tingkat standar hidup. Jarak
juga memengaruhi transport cost, spesialisasi, serta permasalahan pembangunan
infrastruktur. Begitu juga batas-batas wilayah atau negara, salah satunya
menimbulkan masalah seperti perbedaan alat tukar, kurs, contagion (efek domino)
maupun dorongan pembentukan pasar tunggal (economic integration).
Oleh karena itu, ada beberapa key message yang direkomendasikan beberapa pakar
ekonomi terkait kebijakan (policy concern), baik kebijakan regional maupun
nasional. Demikianlah halnya, negara-negara Asia Tenggara harus menyadari
keadaan yang sedang terjadi dan perlu segera melakukan perubahan ekonomi
regionalnya sesuai dinamika ekonomi kawasan yang berkembang relatif pesat. Pada
dasarnya problematika ini dapat diambil manfaatnya melalui perbaikan hubungan
atau jaringan perkembangan produksi ekonomi regional dengan cara spesialisasi dan
berusaha menurunkan transport cost. Juga dapat mengambil keuntungan dari pusatpusat pertumbuhan yang sedang berlangsung di China.
Dari tingkat nasional, Pemerintah Indonesia sendiri dapat mendorong pertumbuhan
dan perkembangan ekonomi dengan menciptakan daerah atau wilayah-wilayah
tertentu sebagai pusat-pusat pertumbuhan. Pertama, pemerintah semestinya
membantu mengatasi masalah-masalah akibat kepadatan (to built density). Artinya,
pemerintah perlu ikut mengelola kepadatan melalui aturan yang jelas bagi kota
metropolitan dan integrasi kota-kota satelitnya. Kemudian ikut memfasilitasi
mobilitas penduduk kota dan desa serta migrasi antardaerah.
Kedua, mengurangi jarak (reduce distance), antara lain dengan membangun
infrastruktur yang baik hingga terjadi penurunan transport cost. Misalnya, dengan
cara meningkatkan pelayanan angkutan massal atau MRT (mass rapid transit) yang
murah dan nyaman. Juga, mengelola investasi infrastruktur (managing infrastructure
investment), menjalin kekuatan regional dan nasional, serta memperluas jaringan
pasar. Di samping itu, mengelola lokasi industri terutama dari diversifikasi menuju
spesialisasi.
Berkaitan dengan kewilayahan (division), cara yang ditempuh antara lain dengan
mengeliminasi
batas-batas
wilayah
(eliminate
divisions),
memberdayakan
masyarakat transisi dari pedesaan menuju masyarakat modern (masyarakat kota)
terutama dalam masalah-masalah pertanian dan perbaikan sistem upah. Selain itu,
mengelola kesenjangan sosial melalui mekanisme fiscal transfer maupun optimalisasi
sistem desentralisasi.
Beberapa kawasan potensial yang dapat dikembangkan menjadi pusat-pusat
pertumbuhan antara lain daerah pantura Jawa, pantai timur Sumatera, beberapa
daerah di Kalimantan dan Sulawesi yang secara simultan mendorong daerah
sekitarnya sebagai kawasan penyangganya. Demikian pula dapat memanfaatkan
kota-kota besar sebagai ranah pertumbuhan guna pengembangan daerah
penyangganya.
Peran pemerintah daerah praktis sangat dibutuhkan. Sebab, sudah semestinya
setiap provinsi juga mengembangkan daerah atau kota tertentu sebagai zona-zona
pertumbuhan. Ini sekaligus dapat mengurangi urbanisasi penduduk Indonesia yang
tertuju di Jakarta saja. Di samping meningkatkan pemerataan ke daerah, sehingga
aglomerasi pembangunan tidak tertumpu di Jakarta dan kota-kota besar lainnya.
Walaupun begitu, saat ini pandangan ekonom tentang aglomerasi telah banyak
mengalami perubahan. Aglomerasi ekonomi merupakan eksternalitas secara
geografis dalam aktivitas perekonomian. Makin besar aktivitas perekonomian di
suatu lokasi tertentu akan membuat industri atau tenaga kerja berpindah ke lokasi
tersebut. Sebab, aktivitas di lokasi tersebut dapat meningkatkan produktivitas dan
kualitas hidup.
Produktivitas meningkat apabila tersedia tenaga kerja berkualitas dengan
spesialisasi-spesialisasi tertentu. Ini sekaligus juga mendorong pemusatan tenaga
kerja yang mempunyai keahlian beragam. Kondisi ini pun dapat memengaruhi
peningkatan pengetahuan (knowledge spillover) termasuk tempat transaksi maupun
tawar-menawar secara terpadu.
Seperti wilayah Yogyakarta, daerah ini merupakan aglomerasi spesialisasi sektor
pariwisata dan pendidikan. Sekarang ini, wilayah ini sebenarnya sudah mengalami
kejenuhan, sehingga perlu dicarikan wilayah-wilayah lain seperti di luar Jawa sebagai
pusat pertumbuhan yang mempunyai spesialisasi tertentu. ***
Penulis adalah peneliti Badan Kebijakan Fiskal Departemen Keuangan
Download