BUKU AJAR MATEMATIKA TEKNIK 1 UNTUK KALANGAN TERBATAS 2016 DAFTAR ISI BAB I MATRIKS DAN OPERASI-OPERASINYA ................................................ 1 1.1 Pendahuluan ....................................................................................... 1 1.2 Jenis-jenis Matriks ................................................................................ 2 1.3 Operasi-operasi Matriks....................................................................... 3 1.4 Matriks Invers ...................................................................................... 4 BAB II SISTEM PERSAMAAN LINEAR .......................................................... 6 2.1 Pendahuluan ........................................................................................ 6 2.2 Operasi Baris Elementer....................................................................... 7 2.3 Sistem Persamaan Linear Homogen .................................................. 10 2.4 Menentukan Invers Matriks ............................................................... 11 BAB III DETERMINAN MATRIKS ............................................................... 13 3.1 Pendahuluan ...................................................................................... 13 3.2 Metode Perhitungan Determinan ...................................................... 14 3.3 Menentukan himpunan penyelesaian sistem persamaan linear dengan metode Crammer ............................................................................... 16 3.4 Hubungan determinan, Invers dan penyelesaian Persamaan Linear . 17 BAB IV VEKTOR-VEKTOR DI BIDANG DAN DI RUANG ............................... 18 4.1 Pendahuluan ...................................................................................... 18 4.2 Operasi-operasi pada Vektor ............................................................. 18 4.3 Hasil kali titik, Panjang vektor dan Jarak antara dua Vektor .............. 19 4.4 Proyeksi Orthogonal........................................................................... 21 4.5 Perkalian Silang Vektor (Dot Product) ................................................ 22 BAB V RUANG-RUANG VEKTOR ............................................................... 26 5.1 Ruang-n Euclids ................................................................................. 26 5.2 Ruang Vektor Umum .......................................................................... 27 5.3 Sub-Ruang Vektor .............................................................................. 28 5.4 Membangun dan Bebas Linear ........................................................... 29 5.5 Basis dan Dimensi .............................................................................. 31 5.6 Basis Ruang Baris dan Basis ruang Kolom .......................................... 33 5.7 Basis Ruang Solusi .............................................................................. 33 BAB VI RUANG HASIL KALI DALAM .......................................................... 35 6.1 Hasil Kali Dalam .................................................................................. 35 6.2 Panjang Vektor, Jarak antar dua vektor dan besar sudut dalam RHD 36 6.3 Basis Orthonormal ............................................................................. 37 6.4 Perubahan Basis ................................................................................. 41 BAB VII RUANG EIGEN............................................................................. 44 7.1 Nilai Eigen suatu Matriks.................................................................... 44 7.2 Diagonalisasi ...................................................................................... 46 7.3 Diagonalisasi Orthogonal ................................................................... 50 Matematika Teknik 1 BAB I Matriks dan Operasi – Operasinya I.1 Pendahuluan Definisi : Matriks adalah susunan segi empat siku – siku dari bilangan yang dibatasi dengan tanda kurung. Suatu matriks tersusun atas baris dan kolom, jika matriks tersusun atas m baris dan n kolom maka dikatakan matriks tersebut berukuran ( berordo ) m x n. Penulisan matriks biasanya menggunakan huruf besar A, B, C dan seterusnya, sedangkan penulisan matriks beserta ukurannya (matriks dengan m baris dan n kolom ) adalah Amxn, Bmxn dan seterusnya. Bentuk umum Bentuk umum dari Amxn adalah : ⎡ a11 ⎢a ⎢ 21 ⎢ : ⎢ ⎣a m1 Amxn = a12 a 22 : a m2 a1n ⎤ ... a 2 n ⎥⎥ ::: : ⎥ ⎥ ... a mn ⎦ ... , aij disebut elemen dari A yang terletak pada baris i dan kolom j. I.2 Jenis – jenis matriks Ada beberapa jenis matriks yang perlu diketahui dan sering digunakan pada pembahasan selanjutnya, yaitu : a. Matriks Bujur sangkar Matriks bujur sangkar adalah matriks yang jumlah barisnya sama dengan jumlah kolomnya. Karena sifatnya yang demikian ini, dalam matriks bujur sangkar dikenal istilah elemen diagonal yang berjumlah n untuk matriks bujur sangkar yang berukuran nxn, yaitu : a11, a22, …, ann. Contoh 1.2.1 ⎡a a ⎤ ⎡ a11 ⎢a ⎢ 21 ⎢⎣a 31 a12 A2x2 = ⎢ 11 12 ⎥ dengan elemen diagonal a11 dan a22 ⎣a 21 a 22 ⎦ A3x3 = a 22 a 32 a13 ⎤ a 23 ⎥⎥ a 33 ⎥⎦ dengan elemen diagonal a11 ,a22 dan a33 b. Matriks Diagonal Matriks diagonal adalah matriks yang elemen bukan diagonalnya bernilai nol. Dalam hal ini tidak disyaratkan bahwa elemen diagonal harus tak nol. Contoh 1.2.2 ⎡1 0⎤ ⎥ ⎣0 3 ⎦ A =⎢ ⎡1 0⎤ ⎡0 0 ⎤ B= ⎢ ⎥ , C = ⎢0 0 ⎥ ⎣0 0 ⎦ ⎣ ⎦ Halaman 1 Matematika Teknik 1 c. Matriks Nol Mariks Nol merupakan matriks yang semua elemennya bernilai nol. d. Matriks Segitiga Matriks segitiga adalah matriks bujur sangkar yang elemen – elemen dibawah atau diatas elemen diagonal bernilai nol. Jika yang bernilai nol adalah elemen – elemen dibawah elemen diagonal maka disebut matriks segitiga atas , sebaliknya disebut matriks segitiga bawah. Dalam hal ini, juga tidak disyaratkan bahwa elemen diagonal harus bernilai tak nol. Contoh 1.2.3 A= ⎡1 0 1⎤ ⎢0 0 2 ⎥ , B = ⎢ ⎥ ⎢⎣0 0 1⎥⎦ ⎡0 0 0 ⎤ ⎢1 0 0⎥ , ⎢ ⎥ ⎢⎣0 1 0⎥⎦ C= ⎡1 0 0⎤ ⎢0 1 0 ⎥ ⎢ ⎥ ⎢⎣0 0 2⎥⎦ Matriks A adalah matriks segitiga bawah, matriks B adalah matriks segitiga atas sedangkan matriks C merupakan matriks segitiga bawah dan juga matriks segitiga atas. e. Matriks Identitas Matriks identitas adalah matriks diagonal yang elemen diagonalnya bernilai 1 f. Matriks dalam bentuk eselon baris tereduksi Suatu matriks dikatakan memiliki bentuk eselon baris tereduksi jika memenuhi syarat– syarat berikut : 1. Untuk semua baris yang elemen – elemennya tak–nol , maka bilangan pertama pada baris tersebut haruslah = 1 ( disebut satu utama ). 2. Untuk sembarang dua baris yang berurutan, maka satu utama yang terletak pada baris yang lebih bawah harus terletak lebih ke kanan daripada satu utama pada baris yang lebih atas. 3. Jika suatu baris semua elemennya adalah nol, maka baris tersebut diletakkan pada bagian bawah matriks. 4. Kolom yang memiliki satu utama harus memiliki elemen nol ditempat lainnya. Contoh 1.2.4 A= ⎡1 1 0 2⎤ ⎢0 0 1 1 ⎥ ⎢ ⎥ ⎢⎣0 0 0 0⎥⎦ , B= ⎡1 0 0⎤ ⎢0 1 0 ⎥ ⎢ ⎥ ⎢⎣0 0 1⎥⎦ ,C= ⎡0 ⎢0 ⎢ ⎢0 ⎢ ⎣0 1 0⎤ 0 1⎥⎥ 0 0⎥ ⎥ 0 0⎦ Matriks A , B dan C adalah matriks – matriks dalam bentuk eselon baris tereduksi dan notasi 1 menyatakan satu utamanya. Contoh berikut menyatakan matriks – matriks yang bukan dalam bentuk eselon baris tereduksi. Halaman 2 Matematika Teknik 1 Contoh 1.2.5 D= ⎡1 1 0 2⎤ ⎢0 1 1 0 ⎥ ⎢ ⎥ ⎢⎣0 0 0 0⎥⎦ , E = ⎡1 1 0 0 0 ⎤ ⎢0 0 0 0 0 ⎥ ⎢ ⎥ ⎢⎣0 0 1 0 2⎥⎦ Matriks D bukan dalam bentuk eselon baris tereduksi karena elemen d12 bernilai 1 sehingga tidak memenuhi syarat ke – 4 ( harusnya = 0 ), sedangkan matriks E tidak memenuhi karena baris kedua yang merupakan baris nol letaknya mendahului baris ketiga yang merupakan baris tak nol, sehingga syarat ketiga tidak terpenuhi. Jika suatu matriks hanya memenuhi syarat 1–3 saja, maka dikatakan matriks tersebut memiliki bentuk eselon baris. I.3 Operasi – operasi matriks a. Penjumlahan matriks Operasi penjumlahan dapat dilakukan pada dua buah matriks yang memiliki ukuran yang sama. Aturan penjumlahan Dengan menjumlahkan elemen – elemen yang bersesuaian pada kedua matriks Contoh: f ⎤ ⎡a + e b + f ⎤ ⎥=⎢ ⎥ h ⎦ ⎣c + g d + h ⎦ ⎡a b ⎤ ⎡ e ⎢ ⎥+⎢ ⎣c d ⎦ ⎣ g b. Perkalian matriks dengan matriks Operasi perkalian matriks dapat dilakukan pada dua buah matriks ( A dan B) jika jumlah kolom matriks A = jumlah baris matriks B. Aturan perkalian Misalkan Amn dan Bnk maka Amn Bnk = Cmk dimana elemen – elemen dari C( cij) merupakan penjumlahan dari perkalian elemen–elemen A baris i dengan elemen– elemen B kolom j Contoh : A= ⎡a b ⎢ ⎣d e c⎤ ⎥ f⎦ ,B= ⎡k ⎢l ⎢ ⎢⎣m n⎤ o ⎥⎥ p ⎥⎦ ⎡ak + bl + cm an + bo + cp ⎤ maka A23 B32 = C22 = ⎢ ⎥ ⎣dk + el + fm dn + eo + fp ⎦ c. Perkalian matriks dengan skalar Suatu matriks dapat dikalikan suatu skalar k dengan aturan tiap –tiap elemen pada A dikalikan dengan k. Contoh 1.3.1 ⎡a b c⎤ ⎡3a 3b 3c ⎤ 3 ⎢ ⎥= ⎢ ⎥ ⎣d e f ⎦ ⎣3d 3e 3 f ⎦ Halaman 3 Matematika Teknik 1 d. Transpose matriks Transpose matriks A ( dinotasikan At ) didefinisikan sebagai matriks yang baris – barisnya merupakan kolom dari A. ⎡1 2 3 ⎤ t Contoh : A = ⎢ ⎥ Æ A = 4 5 6 ⎣ ⎦ ⎡1 4 ⎤ ⎢2 5 ⎥ ⎢ ⎥ ⎢⎣3 6⎥⎦ Sifat – sifat dari operasi matriks - A+B = B+A - A+ ( B+C ) = ( A+B) + C - AB ≠ BA - A ( BC ) = ( AB ) C = A - ( At )t t - ( AB ) = BtAt I.4 Matriks Invers Definisi Jika A, B matriks bujur sangkar dan berlaku AB = BA = I ( I matriks identitas ), maka dikatakan bahwa A dapat dibalik dan B adalah matriks invers dari A ( notasi A–1 ). ⎡ 2 − 5⎤ ⎡3 5⎤ ⎡1 0⎤ Contoh : A = ⎢ , B= ⎢ ⎥ Æ AB = BA = ⎢0 1⎥ 3 ⎥⎦ ⎣− 1 ⎣1 2⎦ ⎣ ⎦ –1 –1 Maka B = A dan A = B Sifat yang berlaku : - ( A–1 )–1 = A - ( AB )–1 = B–1A–1 Latihan I 1. Tentukan jenis dari matriks – matriks dibawah ini ( jika memenuhi lebih dari satu, tuliskan semua ) ! A= ⎡1 0⎤ ⎢ ⎥ ⎣0 1 ⎦ , B= ⎡1 0 0⎤ ⎢0 0 0 ⎥ ⎢ ⎥ ⎢⎣1 0 1⎥⎦ ⎡1 0⎤ ,C= ⎡1 0 2⎤ ⎢0 1 2 ⎥ ⎢ ⎥ ⎢⎣0 0 0⎥⎦ ⎡1 0 2⎤ ,D= ⎡1 2 2⎤ ⎢0 0 0 ⎥ ⎢ ⎥ ⎢⎣0 0 1 ⎥⎦ ⎡1 1 1 ⎤ 2. Diketahui A = ⎢ ⎥ , B = ⎢1 2 0 ⎥ dan C = ⎢2 2 3⎥ ⎣0 1 ⎦ ⎣ ⎦ ⎣ ⎦ a. Hitung B + C ! b. Hitung AB dan AC , kemudian tentukan AB + AC c. Dari perhitungan B + C sebelumya, hitung A ( B + C ) kemudian bandingkan hasilnya dengan jawaban dari b ! Halaman 4 Matematika Teknik 1 3. Dari soal nomor 2, tentukan a. ( AB )t dan ( AC )t ! b. Hitung BtAt dan CtAt , kemudian bandingkan hasilnya dengan jawaban a ! 4. Tunjukkan apakah matriks B merupakan invers A ! ⎡2 4 ⎤ 1 ⎡ 0 − 4⎤ 2 ⎥⎦ a. A = ⎢ ⎥ dan B = − ⎢− 2 8⎣ ⎣2 0 ⎦ ⎡1 3⎤ ⎡1 0⎤ b. A = ⎢ ⎥ dan B = ⎢0 1⎥ ⎣0 0 ⎦ ⎣ ⎦ Halaman 5 Matematika Teknik 1 BAB II Sistem Persamaan Linear II.1 Pendahuluan Bentuk umum Suatu persamaan linear yang mengandung n peubah x1, x2 ,…,xn dinyatakan dalam bentuk a1x1 + a2x2 + … + anxn = b dengan a1, a2, …, an , b adalah konstanta riil. Dalam hal ini, peubah yang dimaksud bukan merupakan fungsi trigonometri, fungsi logaritma ataupun fungsi exponensial. Contoh 2.1.1 : a. x + y = 4 Æ persamaan linear dengan 2 peubah b. 2x – 3y = 2z +1 Æ persamaan linear dengan 3 peubah c. 2 log x + log y = 2 Æ bukan persamaan linear d. 2ex = 2x + 3 Æ bukan persamaan linear Sistem persamaan linear ( SPL ) Definisi Sistem persamaan linear adalah himpunan berhingga dari persamaan linear Contoh 2.1.2: a. x + y = 2 b. x – y + z = 4 2x + 2y = 6 x+y =0 Tidak semua sistem persamaaan linear memiliki penyelesaian( solusi ) , sistem persamaan linear yang memiliki penyelesaian memiliki dua kemungkinan yaitu penyelesaian tunggal dan penyelesaian banyak. Secara lebih jelas dapat dilihat pada diagram berikut : ⎧ Tidak memiliki penyelesaian ( tidak konsisten ) ⎪ ⎧solusi tunggal SPL ⎨ memiliki penyelesaian ( konsisten ) ⎨ ⎪ ⎩ solusi banyak ⎩ Pada sistem persamaaan linear dengan dua peubah, secara geometris jika SPL tidak mempunyai penyelesaian maka grafiknya berupa dua garis yang saling sejajar, jika penyelesaiannya tunggal maka himpunan penyelesaiannya berupa sebuah titik hasil perpotongan dua garis sedangkan jika penyelesaiannya banyak maka himpunan penyelesaiannya berupa dua garis lurus yang saling berhimpit. Secara lebih jelas dapat dilihat pada contoh 2.1.3 berikut : a. x + y = 2 , Grafiknya : 2x + 2y = 6 3 2x + 2y = 6 x+y=2 2 2 3 Grafik tersebut menunjukkan bahwa kedua garis sejajar sehingga tidak penyelesaian yang memenuhi sehingga disimpulkan bahwa SPL tidak konsisten. Halaman 6 Matematika Teknik 1 b. x – y = 2 , Grafiknya : x+y=2 2 x + y =2 2 x–y=2 –2 Grafik tersebut menunjukkan bahwa himpunan penyelesaian dari SPL adalah titik potong antara x – y = 2 dan x + y = 2 yaitu titik ( 2,0 ). Jadi penyelesaian dari SPL adalah tunggal yaitu x = 2 dan y = 0. c. x + y = 2 , Grafiknya : 2x + 2y = 4 2 x + y =2 2 2x + 2y = 4 Grafik diatas bahwa x + y = 2 dan 2x + 2y = 4 saling berhimpit sehingga hanya terlihat seperti satu garis saja. Himpunan penyelesaian dari SPL semua titik yang terletak disepanjang garis tersebut. Misalkan diambil x = 0 maka didapatkan y = 2 yang memenuhi persamaan, jika x = 1 maka nilai y = 1 adalah nilai yang memenuhi . Secara matematis dapat dituliskan sebagai : { (x,y) | x = 2 – y , x∈ R ,y∈R } Untuk kasus sistem persamaan linear dengan menggunakan dua peubah , pembuatan grafik untuk menentukan himpunan penyeleaian seperti ini masih memungkinkan , hanya saja untuk jumlah peubah yang lebih banyak hal ini sulit dilakukan. II.2 Operasi baris elementer Ketika dihadapi masalah yang berkaitan dengan sistem persamaan linear terutama yang menggunakan banyak peubah, maka hal pertama yang dapat digunakan untuk menyederhanakan permasalahan adalah dengan mengubah sistem persamaan linear yang ada ke dalam bentuk matriks. Suatu persamaan linear biasanya juga tidak didapatkan secara langsung tetapi melalui penyederhanaan dari permasalahan yang terjadi dalam kehidupan sehari – hari. Setelah diubah ke bentuk matriks, maka matriks tersebut diubah ke bentuk matriks dalam bentuk eselon baris tereduksi untuk mendapatkan penyelesaian dari SPL. Prosedur untuk mendapatkan matriks eselon baris tereduksi biasa disebut sebagai eliminasi Gauss– Jordan . Pada proses eliminasi tersebut operasi – operasi yang digunakan disebut operasi baris elementer. Dalam operasi baris elementer ini ada beberapa operasi yang dapat digunakan , yaitu : a. Mengalikan suatu baris dengan konstanta tak nol b. Mempertukarkan dua buah baris c. Menambahkan kelipatan suatu baris ke baris lainnya. Halaman 7 Matematika Teknik 1 Dengan menggunakan operasi baris elementer , maka matriks eselon baris tereduksi yang didapatkan akan ekuivalen dengan matriks awalnya sehingga penyelesaian untuk matriks eselon baris tereduksi juga merupakan penyelesaian untuk matriks awalnya. Matriks awal yang dimaksud adalah matriks diperbesar. Untuk melihat secara lebih mudah definisi dari matriks diperbesar akan ditunjukkan berikut ini : Diketahui SPL dengan m buah persamaan linear dan n peubah a11x1 + a12x2 + … + a1nxn = b1 a21x1 + a22x2 + … + a2nxn = b2 : am1x1 + am2x2 + … + amnxn = bm Sistem persamaan linear diatas dapat ditulis dalam bentuk matriks AX = B dengan A= ⎡ a11 a12 ... a1n ⎢a ⎢ 21 a 22 ... a 2 n ⎢ Μ Μ Μ Μ Μ Μ ⎢ ⎣a m1 a m 2 ... a mn ⎤ ⎥ ⎥,X= ⎥ ⎥ ⎦ ⎡ ⎢ ⎢ ⎢ ⎢ ⎣ x1 ⎤ x 2 ⎥⎥ Μ⎥ ⎥ xm ⎦ dan B = ⎡ ⎢ ⎢ ⎢ ⎢ ⎣ b1 ⎤ b2 ⎥⎥ Μ⎥ ⎥ bm ⎦ Matriks yang memiliki berukuran nx1 atau 1xn biasa disebut vektor. Penulisan vektor sedikit berbeda dengan penulisan matriks, yaitu menggunakan huruf kecil dengan cetak tebal atau digaris atasnya . Jadi matriks X dan B diatas biasa dituliskan sebagai x dan b atau x dan b sehingga SPL dapat dituliskan sebagai A x = b . Pada SPL yang berbentuk seperti ini , matriks A juga biasa disebut sebagai matriks konstanta. Untuk menyelesaikan persamaan linear diatas maka dibuat matriks diperbesar dari A dan b yang elemen – elemennya merupakan gabungan elemen matriks A dan vektor b yang dinotasikan A b , yaitu : [ [A b ] = ] ⎡ a11 a12 ... a1n ⎢a ⎢ 21 a 22 ... a 2 n ⎢ Μ Μ Μ Μ Μ Μ ⎢ ⎣a m1 a m 2 ... a mn b1 ⎤ b2 ⎥⎥ Μ⎥ ⎥ bm ⎦ Untuk menyelesaikan persamaan linear tersebut dilakukan eliminasi Gauss–Jordan seperti ditunjukkan dalam contoh berikut : Contoh 2.2.1 a. x + 2y + 3z = 1 2x + 5y + 3z = 6 x + 8z = –6 [ ] Matriks diperbesar A b = ⎡1 2 3 ⎢2 5 3 ⎢ ⎢⎣1 0 8 1⎤ 6 ⎥⎥ − 6⎥⎦ Operasi baris elementer pada [A | b ] menghasilkan : Halaman 8 Matematika Teknik 1 [A b ] = ~ 1⎤ ⎡1 2 3 ⎢2 5 3 6 ⎥⎥ ~ ⎢ ⎢⎣1 0 8 − 6⎥⎦ ⎡1 0 9 ⎢0 1 − 3 ⎢ − b3 ⎢⎣0 0 1 2 ⎡1 ⎢ b 2 − 2b1 ⎢0 1 b3 − b1 ⎢⎣0 − 2 − 7 ⎤ b1 − 9b3 ⎡1 4 ⎥⎥ ~ b2 + 3b3 ⎢⎢0 ⎢⎣0 − 1 ⎥⎦ 1 ⎤ b1 − 2b 2 ⎡1 0 ⎢0 1 −3 4 ⎥⎥ ~ ⎢ 5 − 7⎥⎦ b3 + 2b 2 ⎢⎣0 0 0 0 2⎤ 1 0 1 ⎥⎥ Æ bentuk 0 1 − 1 ⎥⎦ 3 9 −3 −1 − 7⎤ 4 ⎥⎥ 1 ⎥⎦ eselon baris tereduksi Dari bentuk eselon baris tereduksi maka dapat dibuat persamaannya , yaitu : Dari baris 1 (b1) Æ x + 0y + 0z = 2 Æ x = 2 Dari baris 2 (b2) Æ 0x + y + 0z = 1 Æ y = 1 Dari baris 3 (b3) Æ 0x + 0y + z = –1 Æ z = –1 Jadi penyelesaian SPL diatas adalah tunggal , yaitu ⎡x⎤ ⎡ 2 ⎤ : ⎢⎢ y ⎥⎥ = ⎢⎢ 1 ⎥⎥ ⎢⎣ z ⎥⎦ ⎢⎣− 1 ⎥⎦ Untuk melihat apakah jawaban tersebut benar ataukah tidak , kita dapat memasukkan nilai – nilai tersebut pada persamaan awal. Keterangan Penulisan b1, b2 dan sebagainya pada proses diatas sifatnya tidak mutlak dan hanya digunakan sebagai alat pembantu dalam proses operasi baris elementer. Dalam perhitungan selanjutnya penulisan ini mungkin tidak perlu dilakukan. b. x + 2z =1 –x + y – z = 0 2x + y + 5z = 3 [ Matriks diperbesar A ⎡ 1 [A b ] = ⎢⎢− 1 ⎢⎣ 2 0 2 1 −1 1 5 ⎡ 1 b = ⎢⎢− 1 ⎢⎣ 2 1⎤ ⎡ 1 0 ⎥⎥ ~ ⎢⎢ 0 3 ⎥⎦ ⎢⎣ 0 ] 0 2 1 −1 1 5 0 2 1 1 1 1 1⎤ 0 ⎥⎥ 3 ⎥⎦ 1⎤ 1 ⎥⎥ ~ 1 ⎥⎦ ⎡1 0 ⎢0 1 ⎢ ⎢⎣ 0 0 2 1 0 1⎤ 1⎥⎥ 0⎥⎦ Persamaannya : Dari baris 1 Æ x + 2z = 1 Æ x = 1 – 2z Dari baris 2 Æ y + z = 1 Æ y = 1 – z Karena baris 3 adalah baris nol dan kolom yang tidak memiliki satu utama adalah kolom 3 maka dapat diambil nilai z sembarang misalkan z = s, sehingga nilai x = 1 – 2s dan y = 1 – s . Baris nol pada kasus diatas juga menunjukkan bahwa penyelesaian dari SPL adalah tak hingga banyak. Banyaknya baris nol pada matriks diatas ( dengan A merupakan matriks bujursangkar ) juga menunjukkan banyaknya parameter (s) pada penyelesaian SPL. Jadi penyelesaian dari SPL adalah ⎡ x ⎤ ⎡ 1 − 2s ⎤ ⎢ y⎥ = ⎢ 1 − s ⎥ ⎢ ⎥ ⎢ ⎥ ⎢⎣ z ⎥⎦ ⎢⎣ s ⎥⎦ Untuk menguji apakah nilai yang didaptkan benar atau tidak, ambil sembarang bilangan untuk s misalnya s = 0 didapatkan x = 1, y = 1 dan z = 0 masukkan nilai – nilai ke Halaman 9 Matematika Teknik 1 persamaan kemudian bandingkan ruas kiri dan ruas kanan. Coba lagi untuk nilai s yang lain. c. 2x + 2z = 4 –2x + y = –3 x + 2y + 5z = 6 [ ] Matriks diperbesar A b = [A b ]= ⎡ 2 0 ⎢− 2 1 ⎢ ⎢⎣ 1 2 2 0 5 ⎡ 2 0 ⎢− 2 1 ⎢ ⎢⎣ 1 2 4⎤ − 3⎥⎥ ~ 6 ⎥⎦ 2 0 5 ⎡ 1 0 ⎢ 0 1 ⎢ ⎢⎣ 0 2 1 2 4 4⎤ − 3⎥⎥ 6 ⎥⎦ 2⎤ 1 ⎥⎥ ~ 4⎥⎦ ⎡ 1 0 ⎢ 0 1 ⎢ ⎢⎣ 0 0 2⎤ 1 ⎥⎥ 2 ⎥⎦ 1 2 0 Pada baris ketiga matriks eselon baris tereduksi didapatkan persamaan: 0x + 0y + 0z = 2 Æ hal ini jelas menunjukkan bahwa tidak ada nilai untuk x, y dan z yang memenuhi persamaan karena apapun nilai x, y dan z nya, ruas kiri akan selalu bernilai nol jadi nilai 2 tidak akan tercapai. Jadi kalau ada bentuk matriks eselon baris tereduksi yang seperti diatas , pasti dapat disimpulkan bahwa SPL tidak memiliki penyelesaian atau SPL tidak konsisten. II.3 Sistem persamaan linear Homogen Sistem persamaan linear Homogen merupakan kasus khusus dari Sistem persamaan linear biasa A x = b untuk kasus b = 0 . Karena bentuknya yang demikian maka pastilah pada matriks diperbesar A b setelah dilakukan eliminasi Gauss–Jordan kolom terakhirnya akan selalu nol sehingga penyelesaian dari SPL akan selalu ada . Ada dua macam penyelesaian dalam SPL homogen ini yaitu trivial ( tak sejati ) dan tak trivial ( sejati ). [ ] Penyelesaian trivial terjadi jika satu – satunya penyelesaian untuk SPL adalah x = 0 hal ini terjadi jika semua kolom pada matriks diperbesar A b ( setelah dilakukan eliminasi Gauss– Jordan ) memiliki satu utama kecuali untuk kolom yang terakhir atau dengan kata lain semua kolom pada matriks A memiliki satu utama . Jika hal yang sebaliknya terjadi yaitu tidak semua kolom pada matriks A ( setelah dilakukan eliminasi Gauss–Jordan ) [ ] memilki satu utama atau jika terdapat baris nol maka penyelesaian untuk SPL adalah penyelesaian tak trivial yaitu penyelesaian tak hingga banyak. Contoh 2.3.1 Diketahui sistem persamaan linear homogen 2 0⎤ ⎡ x ⎤ ⎡0⎤ ⎡ 1 ⎢ − 1 − 2 1 ⎥ ⎢ y ⎥ = ⎢0⎥ ⎢ ⎥ ⎢ ⎥ ⎢ ⎥ ⎢⎣ 2 3 1⎥⎦ ⎢⎣ z ⎥⎦ ⎢⎣0⎥⎦ Halaman 10 Matematika Teknik 1 Penyelesaian dari SPL homogen diatas adalah [A b ] = 2 0 ⎡ 1 ⎢− 1 − 2 1 ⎢ ⎢⎣ 2 3 1 0⎤ ⎡1 2 0 0⎥⎥ ~ ⎢⎢0 0 1 0⎥⎦ ⎢⎣0 − 1 1 0⎤ ⎡1 0 0 0⎥⎥ ~ ⎢⎢0 1 0 0⎥⎦ ⎢⎣0 0 1 0⎤ 0⎥⎥ 0⎥⎦ Pada matriks yang terakhir terlihat bahwa semua kolom matriks A memiliki satu utama sehingga penyelesaiannya adalah trivial yaitu ⎡ x ⎤ ⎡0 ⎤ ⎢ y ⎥ = ⎢0 ⎥ ⎢ ⎥ ⎢ ⎥ ⎢⎣ z ⎥⎦ ⎢⎣0⎥⎦ Contoh 2.3.2 Diketahui sistem persamaan linear homogen ⎡ 1 − 1 2 − 1⎤ ⎢ 2 1 − 2 − 2⎥ ⎢ ⎥ ⎢− 1 2 − 4 1⎥ ⎢ ⎥ 0 − 3⎦ ⎣ 3 0 ⎡ x ⎤ ⎡0 ⎤ ⎢ y ⎥ ⎢0 ⎥ ⎢ ⎥=⎢ ⎥ ⎢ z ⎥ ⎢0 ⎥ ⎢ ⎥ ⎢ ⎥ ⎣ w ⎦ ⎣0 ⎦ Penyelesaian dari SPL homogen diatas adalah : [A b ] = ⎡ 1 −1 2 −1 ⎢ 2 1 −2 −2 ⎢ ⎢− 1 2 − 4 1 ⎢ 0 −3 ⎣ 3 0 0⎤ 0 ⎥⎥ ~ 0⎥ ⎥ 0⎦ ⎡ ⎢ ⎢ ⎢ ⎢ ⎣ 1 −1 2 −1 0 3 −6 0 0 1 0 0 3 −2 −6 0 0⎤ ⎡ 0 ⎥⎥ ⎢⎢ ~ 0⎥ ⎢ ⎥ ⎢ 0⎦ ⎣ 1 0 0 −1 0 1 −2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0⎤ 0 ⎥⎥ 0⎥ ⎥ 0⎦ Pada matriks yang terakhir terlihat bahwa hanya dua kolom dari matriks A yang memiliki satu utama atau terdapat dua baris nol , ini berarti bahwa penyelesaian SPL adalah tak trivial yaitu penyelesaian banyak dengan dua parameter yaitu : ⎡x⎤ ⎡ w ⎤ ⎢ y ⎥ ⎢2 z ⎥ ⎢ ⎥=⎢ ⎥, ⎢z⎥ ⎢ z ⎥ ⎢ ⎥ ⎢ ⎥ ⎣ w⎦ ⎣ w ⎦ jika diambil z = s dan w = t, s ,t ∈ R maka ⎡x⎤ ⎡ t ⎤ ⎢ y ⎥ ⎢2s ⎥ ⎢ ⎥=⎢ ⎥ ⎢z⎥ ⎢ s ⎥ ⎢ ⎥ ⎢ ⎥ ⎣ w⎦ ⎣ t ⎦ Eliminasi Gaus–Jordan untuk mendapatkan penyelesaian SPL homogen sering juga dilakukan pada matriks A saja karena pada kasus ini b = 0 jadi tidak akan mempengaruhi hasil perhitungan. II.4 Menentukan invers matriks Pada bab sebelumnya sudah dibahas tentang invers suatu matriks. Invers suatu matriks ( misalkan invers A ) dapat dihitung dengan menggunakan eliminasi Gauss–Jordan terhadap matriks diperbesar [A I ] dimana ukuran I sama dengan ukuran A. Cara perhitungan seperti ini didasarkan dari sifat A A–1 = I. Untuk menentukan solusi dari SPL tersebut maka berdasarkan prosedur yang telah dipelajari sebelumnya , maka dapat dilakukan eliminasi Gauss – Jordan terhadap matriks [A I ] . Jika A memang memilki Halaman 11 Matematika Teknik 1 invers maka matriks eselon baris tereduksinya akan berbentuk [I A −1 ]. Jika setelah melakukan eliminasi Gauss–Jordan tidak diperoleh bentuk [I A −1 ] maka disimpulkan bahwa matriks tersebut tidak memiliki invers. Contoh 2.4.1 ⎡ 2 5 5⎤ ⎢⎣ 2 4 3⎥⎦ Diketahui A = ⎢⎢− 1 − 1 0⎥⎥ , tentukan A–1 jika ada ! Jawab: 1 0 ⎡ 2 5 5 ⎢ [A I ] = ⎢− 1 − 1 0 0 1 ⎢⎣ 2 4 3 0 0 −1 −1 ⎡1 0 − 2 1 0 ~ ⎢⎢ 0 1 2 ⎢⎣ 0 0 − 1 −2 2 − 5⎤ ⎡ 3 −5 –1 ⎢ 5 ⎥⎥ Jadi A = ⎢ − 3 4 ⎢⎣ 2 − 2 − 3 ⎥⎦ 0⎤ ⎡ 1 0⎥⎥ ~ ⎢⎢ 0 1 ⎥⎦ ⎢⎣ 0 1⎤ ⎡ 1 − 1⎥⎥ ~ ⎢⎢ 0 3 ⎥⎦ ⎢⎣ 0 1 0 3 5 2 3 0 0 1 0 0 1 − 1 0⎤ ⎡ 1 1 0 0 −1 0⎤ ⎥ ⎢ 1 2 0⎥ ~ ⎢ 0 1 2 1 0 − 1⎥⎥ 0 2 1 ⎥⎦ ⎢⎣ 0 2 3 0 2 1 ⎥⎦ 3 −5 − 5⎤ 4 5 ⎥⎥ = I A −1 −3 2 −2 − 3 ⎥⎦ 0 [ ] Untuk melihat apakah jawaban tersebut benar atau tidak , maka hitunglah A–1 hasil perhitungan dengan A, jika hasilnya = I maka jawaban tersebut benar. Contoh 2.4.2 Diketahui matriks A = ⎡ 1 6 4⎤ ⎢ 2 4 − 1⎥ ⎢ ⎥ ⎢⎣− 1 2 5 ⎥⎦ Tentukan invers matriks A jika ada ! Jawab: [A I ]= ⎡ 1 6 4 ⎢ 2 4 −1 ⎢ ⎢⎣− 1 2 5 1 0 0⎤ ⎡1 6 4 ⎢ ⎥ 0 1 0 ⎥ ~ ⎢0 − 8 − 9 0 0 1⎥⎦ ⎢⎣0 8 9 4 0 0⎤ ⎡1 6 ⎢ ⎥ − 2 1 0 ⎥ ~ ⎢0 − 8 − 9 1 0 1⎥⎦ ⎢⎣0 0 0 1 0 0⎤ − 2 1 0⎥⎥ − 1 1 1⎥⎦ 1 Walaupun matriks belum dalam bentuk eselon baris tereduksi, tapi perhitungan sudah dapat dihentikan pada tahap ini sudah terlihat bahwa bentuk [I A −1 ] tidak akan bisa didapatkan sehingga dapat disimpulkan matriks A tidak memiliki invers. Suatu matriks konstan (A) yang memiliki invers , maka SPL A x = b yang berkaitan akan memiliki solusi tunggal yaitu : A–1 b , jika berupa SPL Homogen maka x = 0 Halaman 12 Matematika Teknik 1 BAB III Determinan matriks III.1 Pendahuluan Definisi determinan Misalkan A matriks bujur sangkar , fungsi determinan A sering dituliskan sebagai determinan ( disingkat det(A) atau |A| ) didefinisikan sebagai jumlah semua hasil kali elementer bertanda dari A . Jika A berukuran nxn , maka hasil kali elementer dari matriks A akan berbentuk : a1p1.a2p2… anpn dimana p1p2 …pn merupakan permutasi dari bilangan – bilangan 1,2,…, n. Tanda dari a1p1 .a2p2… anpn sendiri ditentukan dari banyaknya bilangan bulat besar yang mendahului bilangan yang lebih kecil ( banyaknya invers ) pada bilangan p1p2…pn, jika banyaknya invers adalah ganjil maka tandanya negatif ( – ) dan jika sebaliknya tandanya positif ( + ). Contoh 3.1.1 ⎡a b⎤ Diketahui A = ⎢ ⎥ ⎣c d ⎦ Tentukan det(A) ! Jawab Banyaknya permutasi 1,2 ( karena A berukuran 2x2 ) = 2 yaitu 12 dan 21 Pada bilangan 12 akan didapatkan banyaknya invers = 0 sehingga tanda untuk hasil kali elementer a11.a22 adalah (+) , sedangkan untuk hasil kali elementer a12.a21 akan bertanda (–) karena pada bilangan 21 terdapat satu angka bulat yang mendahului angka yang lebih kecil. Jadi det(A) = + a11.a22 − a12.a21 = ad − bc Contoh 3.1.2 Diketahui B = ⎡ a11 ⎢a ⎢ 32 ⎢⎣ a 31 a12 a 22 a 32 a13 ⎤ a 23 ⎥⎥ a 33 ⎥⎦ ,Tentukan det B ! Jawab Untuk memudahkannya akan dibuat tabel sebagai berikut : permutasi 123 132 213 231 312 321 Hasil kali elementer Banyak invers a11.a22.a33 0 a11.a23.a32 1 a12.a21.a33 1 a12.a23.a31 2 a13.a21.a32 2 a13.a22.a31 3 Hasil kali elementer bertanda + a11.a22.a33 − a11.a23.a32 − a12.a21.a33 +a12.a23.a31 + a13.a21.a32 − a13.a22.a31 Jadi det B = + a11.a22.a33 − a11.a23.a32 + a12.a23.a31 − a12.a21.a33 + a13.a21.a32 − a13.a22.a31 Untuk kasus matriks yang berukuran lebih dari 3x3 , tentunya penentuan nilai determinan dengan menggunakan definisi tersebut menjadi kurang efektif dan lebih Halaman 13 Matematika Teknik 1 rumit. Berdasarkan definisi dari determinan tersebut maka dikembangkan metode perhitungan determinan yang lebih cepat yang akan dibahas dibagian selanjutnya. III.2 Metode perhitungan determinan a. Ekspansi kofaktor Pada metode ini dikenal beberapa istilah , antara lain : Minor elemen aij ( Mij ) yaitu determinan yang didapatkan dengan menghilangkan baris i dan kolom j matriks awalnya. Kofaktor elemen aij ( Cij ) = (−1 )i+j Mij Jika A matriks bujur sangkar berukuran nxn , maka dengan menggunakan metode ini perhitungan determinan dapat dilakukan dengan dua cara yang semuanya menghasilkan hasil yang sama yaitu : – ekspansi sepanjang baris i det(A) = ai1Ci1 + ai2Ci2 + … + ainCin – ekspansi sepanjang kolom j det(A) = a1jC1j + a2jC2j + … + anjCnj Contoh 3.2.1 Diketahui A = ⎡1 2 3⎤ ⎢ 2 2 1⎥ ⎢ ⎥ ⎢⎣4 3 1⎥⎦ , Tentukan det (A) dengan menggunakan ekspansi kofaktor ! Jawab Akan dicoba menggunakan ekspansi baris 1 untuk menghitung det (A) Det (A) = a11C11 + a12C12 + a13C13 C11 = (−1 )1+1 M11 = M11 = 2 1 C12 = (−1 )1+2 M12 = − M12 = − 2 1 C13 = (−1 )1+3 M13 = M13 = 2 2 3 1 4 1 4 3 = 2 – 3 = −1 = − (2 – 4) = 2 = 6 – 8 = −2 Jadi det (A) = (1 . −1) + (2 . 2) + (3 . −2) = −3 Contoh 3.2.2 Diketahui B = ⎡1 0 3⎤ ⎢ 2 2 1⎥ ⎢ ⎥ ⎢⎣1 0 1⎥⎦ Hitung det (B) ! Jawab Jika melihat sifat dari metode ini , maka perhitungan akan lebih cepat jika ada elemen aij yang bernilai 0 . Jadi pemilihan baris / kolom akan sangat menetukan kecepatan perrhitungan . Dalam contoh ini terlihat bahwa baris/kolom yang mengandung banyak nilai 0 adalah kolom 2 . Jadi det (B) akan dapat dihitung secara cepat menggunakan ekspansi terhadap kolom 2. Halaman 14 Matematika Teknik 1 det(B) = a12C12 + a22C22 + a32C32 = a22C22 ( karena a12 dan a32 bernilai 0 ) C22 = (−1 )2+2 M22 = M22 = 1 3 1 1 = 1 – 3 = −2 Jadi det(B) = 2 . −2 = −4 b. Reduksi baris menggunakan operasi baris elementer Penggunaan metode ini sebenarnya tidak lepas dari metode ekspansi kofaktor yaitu pada kasus suatu kolom banyak mengandung elemen yang bernilai 0. Berdasarkan sifat ini maka matriks yang berbentuk eselon baris atau matriks segitiga akan lebih mudah untuk dihitung nilai determinannya karena hanya merupakan perkalian dari elemen diagonalnya. Reduksi baris dilakukan dengan mengubah kolom – kolom sehingga banyak memuat elemen 0. Biasanya bentuk metriks akhir yang ingin dicapai adalah bentuk eselon baris atau bentuk segitiga tetapi ini tidak mutlak. Jika bentuk eselon atau segitiga belum tercapai tetapi dianggap perhitungannya sudah cukup sederhana maka determinan bisa langsung dihitung. Dalam melakukan reduksi baris operasi yang digunakan adalah operasi baris elementer. Pada operasi baris elementer ada beberapa operasi yang berpengaruh terhadap nilai determinan awal , yaitu : Jika matriks B diperoleh dengan mempertukarkan dua baris pada matriks A maka det (B) = − det (A) Jika matriks B diperoleh dengan mengalikan konstanta k ke salah satu baris matriks A maka det (B) = k det (A) Jika matriks B didapatkan dengan menambahkan kelipatan suatu baris ke baris lainnya , maka det (B) = det (A) Contoh 3.2.3 Diketahui A = ⎡a ⎢d ⎢ ⎢⎣ g b e h c⎤ f ⎥⎥ i ⎥⎦ dan det (A) = r Tentukan determinan dari matriks – matriks berikut ; ⎡d a. X = ⎢⎢ a ⎢⎣ g e b h f⎤ c ⎥⎥ i ⎥⎦ b. Y = ⎡a ⎢2d ⎢ ⎢⎣ g c ⎤ 2e 2 f ⎥⎥ h i ⎥⎦ b c. Z = b c ⎤ ⎡ a ⎢ d e f ⎥⎥ ⎢ ⎢⎣a + g b + h c + i ⎥⎦ Jawab a. Matriks X didapatkan dengan mempertukarkan baris 1 dan 2 matriks A , maka det ( X) = − det ( X) = − r b. Matriks Y didapatkan dengan mengalikan baris ke–2 matriks A dengan 2, maka det ( Y) = 2.det ( Y) = 2r c. Matriks Z didapatkan dengan menambahkan baris 1 ke baris 3 matriks A , maka det (Z) = det (Z) = r Halaman 15 Matematika Teknik 1 Contoh 3.2.4 Hitunglah determinan matriks A dalam contoh 3.2.1 dengan menggunakan reduksi baris ! Jawab Diketahui A = ⎡1 2 3⎤ ⎢ 2 2 1⎥ ⎢ ⎥ ⎢⎣4 3 1⎥⎦ Eliminasi Gauss 3 1 2 |A| = 2 2 1 = 0 − 2 − 5 1 2 3 1 = (−2). 0 1 0 − 5 − 11 4 3 1 = (−2).1.1. 3 III.3 2 2 1 3 5 2 0 − 5 − 11 2 = (−2). 0 1 0 0 3 5 3 2 2 = −3 Menentukan himpunan penyelesaian sistem persamaan linier dengan metode Crammer Metode Crammer didasarkan atas perhitungan determinan matriks. Suatu SPL yang berbentuk A x = b dengan A adalah matriks bujur sangkar dapat dikerjakan dengan metode Crammer jika hasil perhitugan menunjukkan bahwa det (A) ≠ 0. Penyelesaian yang didapatkan dengan metode ini adalah penyelesaian tunggal. Diketahui suatu sistem persamaan linier berbentuk A x = b dengan A adalah matriks bujur sangkar berukuran nxn dan det (A) ≠ 0 sedangkan nilai x dan b adalah : x = ⎡ x1 ⎤ ⎢x ⎥ ⎢ 2⎥ ⎢ : ⎥ ⎢ ⎥ ⎣xn ⎦ ,b = ⎡ b1 ⎤ ⎢b ⎥ ⎢ 2⎥ ⎢:⎥ ⎢ ⎥ ⎣b n ⎦ maka penyelesaian untuk x adalah : x1= A1 A , x2= A2 A ,…, x n = An A Ai adalah matriks A yang kolom ke–i nya diganti dengan vektor b . Contoh 3.3.1 Diketahui sistem persamaan linier berbentuk A x = b ⎡ 2 5 5⎤ ⎡ x ⎤ ⎡ 1 ⎤ ⎢ − 1 − 1 0⎥ ⎢ y ⎥ = ⎢ 1 ⎥ ⎢ ⎥⎢ ⎥ ⎢ ⎥ ⎢⎣ 2 4 3⎥⎦ ⎢⎣ z ⎥⎦ ⎢⎣− 1⎥⎦ a. b. Periksa apakah metode Crammer dapat digunakan untuk mendapatkan penyelesaian SPL ? Jika bisa , tentukan penyelesaian untuk x ! Halaman 16 Matematika Teknik 1 Jawab 2 a. 5 5 Det (A) = − 1 − 1 0 = (−1).( −1) 2 4 3 5 5 4 3 + (−1). 2 5 2 3 = ( 15 – 20) – (6 – 10) = –1 Karena det (A) = –1 maka metode Crammer dapat digunakan . b. 1 5 5 1 −1 0 −1 4 3 2 1 5 Det (A2) = − 1 1 0 Det (A1) = = (−1).1. 5 5 4 3 = (−1).( −1) 2 −1 3 2 5 1 Det (A3) = − 1 − 1 1 2 = 4 −1 1 5 −1 3 4 9 0 1 3 0 1 5 −1 3 + (–1). 2 5 + = ( 3+5) + (6 – 10) = 4 2 3 4 9 = (–1). 1 3 2 4 −1 = – (15 – 20) – (3 + 5) = –3 = –3 Jadi nilai untuk x, y dan z adalah : x = A1 A = −3 =3 −1 , y A2 = A = 4 = −4 −1 dan z A3 = A = −3 =3 −1 Menentukan invers suatu matriks dapat juga menggunakan rumus berikut : A–1 = adj ( A) A III.4 Hubungan determinan, invers matriks dan penyelesaian untuk sistem persaman linier dimana adj (A) = Ct dan C = { cij }, cij = kofaktor elemen aij Jika suatu SPL berbentuk A x = b dan A matriks bujur sangkar , maka sifat dari penyelesaian SPL dapat diketahui dari nilai determinan A atau invers matriks A. Berikut ini adalah hubungan yang berlaku : Det (A) ≠ 0 Det (A) = 0 Det (A) = 0 ↔ ↔ ↔ A–1 terdefinisi (ada) A tidak memiliki invers penyelesaian tunggal untuk SPL SPL memiliki penyelesaian banyak SPL tidak memiliki penyelesaian Halaman 17 Matematika Teknik 1 BAB IV Vektor– Vektor di bidang dan di ruang IV.1 Pendahuluan Definisi Vektor didefinisikan sebagai besaran yang memiliki arah. Kecepatan, gaya dan pergeseran merupakan contoh – contoh dari vektor karena semuanya memiliki besar dan arah walaupun untuk kecepatan arahnya hanya positif dan negatif. Vektor dikatakan berada di ruang – n ( Rn ) jika vektor tersebut mengandung n komponen. Jika vektor bearada di R2 maka dikatakan vektor berada di bidang, sedangkan jika vektor berada di R3 maka dikatakan vektor berada di ruang. Secara geometris, di bidang dan di ruang vektor merupakan segmen garis berarah yang memiliki titik awal dan titik akhir. Vektor biasa dinotasikan dengan huruf kecil tebal atau huruf kecil dengan ruas garis Contoh 4.1.1 D A C B Dari gambar diatas terlihat beberapa segmen garis berarah ( vektor ) seperti AB , AC dan AD dengan A disebut sebagai titik awal , sedangkan titik B, C dan D disebut titik akhir. Vektor posisi didefinisikan sebagai vektor yang memiliki titik awal O ( untuk vektor di bidang , titik O adalah ( 0,0 )). IV.2 Operasi – operasi pada vektor A. Penjumlahan dua vektor Misalkan u dan v adalah vektor – vektor yang berada di ruang yang sama , maka vektor ( u + v ) didefinisikan sebagai vektor yang titik awalnya = titik awal u dan titik akhirnya = titik akhir v . Contoh 4.2.1 Perhatikan gambar pada contoh 4.1.1 . Misalkan u = AB dan v = BC , jika vektor w didefinisikan sebagai w = u + v , maka w akan memiliki titik awal = A dan titik akhir = C, jadi w merupakan segmen garis berarah AC . B. Perkalian vektor dengan skalar Vektor nol didefinisikan sebagai vektor yang memiliki panjang = 0. Misalkan u vektor tak nol dan k adalah skalar , k ∈ R . Perkalian vektor u dengan skalar Halaman 18 Matematika Teknik 1 k , k u didefinisikan sebagai vektor yang panjangnya dengan arah : Jika k > 0 Æ searah dengan u Jika k < 0 Æ berlawanan arah dengan u Contoh 4.2.2 u kali panjang u Y 2u u X –2u C. Perhitungan vektor Diketahui a dan b vektor–vektor di ruang yang komponen – komponennya adalah a = ( a1,a2,a3 ) dan b = ( b1,b2,b3 ) Maka a + b = (a1 +b1, a2+b2, a3+b3 ) a − b = (a1 – b1, a2 – b2, a3 – b3 ) k . a = ( ka1, ka2, ka3 ) Jika c = AB kemudian titik koordinat A = ( a1,a2,a3 ) dan B = ( b1,b2,b3 ) maka c = (b1 − a1 , b2 − a2, b3 − a3 ) IV.3 Hasil kali titik , panjang vektor dan jarak antara dua vektor Hasil kali titik dua vektor jika diketahui komponennya Diketahui a = ( a1,a2,a3 ) dan b = ( b1,b2,b3 ) , Hasil kali titik antara vektor a dan b didefinisikan sebagai : a . b =(a1.b1)+ (a2.b2) +(a3.b3) Hasil kali titik dua vektor jika diketahui panjang vektor dan sudut antara dua vektor Diketahui a dan b dua buah vektor yang memiliki panjang berturut – turut a dan b sedangkan sudut yang dibentuk oleh kedua vektor adalah φ, sudut φ ini terbentuk dengan cara menggambarkan kedua vektor pada titik awal yang sama. Hasil kali titik antara vektor a dan b didefinisikan sebagai : a . b = a b cos φ , φ ∈ [ 0,π ] Halaman 19 Matematika Teknik 1 Jadi hasil kali titik dua buah vektor berupa skalar. Dengan mengetahui besarnya φ , akan diketahui apakah hasil kali titik akan bernilai positif atau negatif a .b > 0 ↔ φ lancip , 0 ≤ φ < 90o a . b =0 ↔ φ = 90o , a dan b saling tegak lurus a . b <0 ↔ φ tumpul, 90o < φ ≤ 180o Contoh 4.3.1 Diketahui a = ( 1, −3 ) dan b = ( 3k, −1 ) Tentukan nilai k agar a dan b saling tegak lurus ! Jawab Agar a dan b saling tegak lurus, maka haruslah a . b = 0 a . b = 3k +3 = 0 Æ k = −1 Panjang ( norm ) vektor dan jarak antara dua vektor Panjang vektor Dengan menggunakan operasi hasil kali titik jika diketahui komponen a = ( a1,a2,a3 ) didapatkan bahwa a . a = a1 2 + a 2 2 + a 3 2 …(1) Dari definisi hasil kali titik lainnya , didapatkan bahwa a. a = a a cos 0 ….(2) , dalam hal ini sudut antara a dan a pastilah bernilai 0 karena keduanya saling berhimpit. Dari persamaan 1 dan 2 , didapatkan persamaan berikut : a 2 = a . a Æ a = ( a . a )1/2 = a1 + a 2 + a 3 2 2 2 Jarak antara dua vektor Jarak antara vektor a dan b didefinisikan sebagai panjang dari vektor ( a – b ) dan biasa dinotasikan dengan d ( a , b ). d ( a , b ) = ( a – b . a – b )1/2 = (a 1 − b1 ) + (a 2 − b 2 ) + (a 3 − b 3 ) Secara geometris , dapat digambarkan seperti berikut ini : 2 B 2 2 2 2 2 C A Misalkan a = AC dan b = AB , maka jarak antara a dan b merupakan panjang dari ruas garis berarah BC Contoh 4.3.2 Diketahui u = ( 2, –1,1 ) dan v = ( 1,1,2 ) Tentukan besar sudut yang dibentuk oleh u dan v ! Halaman 20 Matematika Teknik 1 Jawab u . v = 2 –1 + 2 = 3 u = 2 2 + (−1) 2 + 12 = v = 12 + 12 + 2 2 cos θ = = 6 6 u.v 3 1 = = Æ φ = 60o u v 6 2 Jadi sudut yang dibentuk antara u dan v adalah 60o Beberapa sifat yang berlaku dalam hasil kali titik a .b = b. a a. a.(b + c ) = a.b + a.c b. c. m ( a . b ) = (m a ). b = a . ( m b ) = ( a . b ) m IV.4 Proyeksi orthogonal Diketahui vektor a dan b adalah vektor – vektor pada ruang yang sama seperti terlihat pada gambar dibawah ini : w2 a w1 b Vektor a disusun dari dua vektor yang saling tegak lurus yaitu w 1 dan w 2 , jadi dapat dituliskan a = w 1 + w 2 ,Dari proses pembentukannya w 1 juga disebut sebagai vektor proyeksi orthogonal a terhadap b karena merupakan hasil proyeksi secara orthogonal vektor a terhadap b , sedangkan w 2 disebut sebagai komponen dari a yang tegak lurus terhadap b . Karena w 1 merupakan hasil proyeksi di b maka dapat dituliskan w 1 = k b , nilai k ini akan menentukan arah dan panjang dari w 1 . Jika sudut antara a dan b adalah tumpul , maka tentunya nilai k akan negatif ini juga berarti arah w 1 akan berlawanan dengan arah b . Menghitung w 1 Untuk menghitung w 1 , harus dihitung terlebih dahulu nilai k. Dengan menggunakan aturan hasil kali titik , diperoleh : a . b = ( w1 + w 2 ) . b Halaman 21 Matematika Teknik 1 = w1 . b ( karena w 2 dan b saling tegak lurus maka w 2 . b = 0 ) = w1 b cos θ = kb b cos 0 ( sudut yang dibentuk adalah 0 atau 180 ) = k b Jadi k = 2 a.b b 2 w1 = k b = a.b b 2 b dan w 2 = a – w 1 Panjang dari w 1 adalah a.b b Contoh 4.4.1 Diketahui a = ( 4,1,3 ) dan b = ( 4,2,–2 ) Tentukan a. Vektor proyeksi tegak lurus dari a terhadap b ! b. Panjang dari vektor proyeksi tersebut ! c. Komponen dari a yang tegak lurus terhadap b ! Jawab a. Misalkan w 1 adalah vektor proyeksi tegak lurus dari a terhadap b , maka w 1 = k b sedangkan k = a.b b 2 = (4.4 + 1.2 + 3. − 2) 12 1 = = 24 2 4 2 + 2 2 + (−2) 2 Jadi w 1 = ½ ( 4,2,–2 ) = ( 2,1,–1 ) b. c. IV.5 Panjang w 1 adalah a.b b = 12 24 = 3 6 Misalkan w 2 merupakan komponen dari a yang tegak lurus terhadap b , maka w 2 = a – w 1 = ( 4,1,3 ) – ( 2,1,–1 ) = ( 2,0,2 ) Perkalian silang vektor Sebelum membahas ke masalah perkalian silang dari dua buah vektor, akan dijelaskan beberapa definisi terlebih dahulu Vektor satuan Vektor satuan didefinisikan sebagai vektor yang memiliki panjang satu satuan. Di bidang , vektor satuan yang searah dengan sumbu x dan y dinyatakan sebagai Halaman 22 Matematika Teknik 1 = ( 1,0 ) dan j = ( 0,1 ), sedangkan pada ruang ( R3) , vektor satuan yang searah sumbu x,y dan z adalah i = ( 1,0,0 ) , j = ( 0,1,0 ) dan k = ( 0,0,1 ). i Penulisan komponen dari vektor juga dapat menggunakan vektor satuan . Misalkan u = ( a,b ) , maka u juga dapat dituliskan u = ai + b j v = ( a,b,c ) , maka v juga dapat dituliskan v = ai + b j+ ck Perkalian silang antara dua vektor di R3 Diketahui u = ( u1,u2,u3 ) dan v = ( v1,v2,v3 ) Perkalian silang antara u dan v didefinisikan sebagai : i u x v j k = u1 u 2 u 3 = v1 v2 v3 u2 u3 v2 v3 i – u1 u3 v1 v3 j + u1 u2 v1 v2 k = ( u2.v3 – u3.v2 ) i – (u1.v3 – u3.v1) j + ( u1.v2 – u2.v1) k Hasil kali silang dari dua buah vektor akan menghasilkan suatu vektor tegak lurus terhadap u dan v . Sedangkan untuk mengetahui panjang dari vektor ini, akan dilakukan analisa yang lebih jauh untuk mengetahuinya . Kuadrat dari norm u x v adalah u x v 2 uxv 2 = ( u2.v3 – u3.v2 )2 + (u1.v3 – u3.v1)2 + ( u1.v2 – u2.v1)2 : = (u12 + u22 + u32 ) ( v12 + v22 + v32 ) – ( u1v1 + u2v2 + u3v3 )2 = u 2 v 2 − ( u . v) 2 Æ biasa disebut identitas Lagrange Dari identitas Lagrange 2 uxv = u 2 v 2 − ( u . v) 2 = u 2 = u 2 = u 2 v v v 2 − ( u . v cos θ ) 2 2 (1 − cos θ) 2 2 sin 2 θ ( θ sudut yang dibentuk oleh u dan v ) atau = u v sin θ Nilai ini merupakan luas segi empat yang dibentuk u dan v ditunjukkan dari gambar berikut : uxv lul θ seperti lul sinθ lvl Halaman 23 Matematika Teknik 1 Luas segi empat = panjang alas x tinggi x u sin θ = v = u v sin θ Jadi hasil kali silang dua vektor u dan v akan menghasilkan suatu vektor yang tegak lurus terhadap u dan v serta memiliki panjang sama dengan luas dari segi empat yang dibentuk oleh vektor u dan v . Contoh 4.5.1 Diketahui a = ( 1,2,1 ) dan b = ( 2,2,3 ) Hitung luas segi empat yang dibentuk oleh a dan b ! Jawab Luas segi empat = a x b i j k a xb= 1 2 1 = ( 6 – 2 ) i – ( 3 – 2 ) j + ( 2 – 4 ) k 2 2 3 = 4 i – j – 2 k = ( 4 ,–1,–2 ) 4 2 + (−1) 2 + (−2) 2 = Jadi luas segi empat = 21 Contoh 4.5.2 Diketahui segitiga ABC dengan titik – titik sudut adalah : A (2,1,–2 ) , B ( 0,–1,0 ) dan C ( –1,2,–1 ) Hitung luas segitiga ABC ! Jawab Misalkan segitiga ABC yang dimaksud berbentuk seperti dibawah ini : C B A Segitiga ABC tersebut dapat dipandang sebagai bangun yang dibentuk oleh dua vektor AC dan AB , BA dan BC atau oleh CA dan CB . Misalkan a = AB = B – A = ( –2,–2,2 ) dan b = AC = ( –3,1,1 ) maka luas segitiga ABC merupakan ½ kali luas segiempat yang dibentuk oleh vektor a dan b , jadi Luas segitiga ABC = ½ . a x b i j k a x b = − 2 − 2 2 = ( –2 –2 ) i – ( –2 –6 ) j + ( –2+6 ) k = – 4 i –8 j + 4 k −3 1 1 Halaman 24 Matematika Teknik 1 axb = (−4) 2 + (−8) 2 + 4 2 = 96 Jadi luas segitiga ABC = ½ 96 Pemilihan titik sudut dalam hal ini adalah bebas , sedangkan hasil akhirnya akan tetap sama. Beberapa sifat yang berlaku dalm hasil kali silang axb = – (b x a ) 1. ax(b + c ) = axb + ax c 2. 3. (a +b) x c = a x c + b x c 4. k (a xb ) = ( ka ) xb = a x kb ax a = 0 5. Halaman 25 Matematika Teknik 1 BAB V Ruang – Ruang Vektor V.1 Ruang – n Euclides Pada saat pertama kali ilmu vektor dikembangkan , hanya dikenal vektor – vektor di R2 dan R3 saja, tetapi dalam perkembangannya ternyata didapatkan permasalahan yang lebih kompleks sehingga dikembangkan vektor – vektor di ruang berdimensi 4 , 5 atau secara umum merupakan vektor – vektor di Rn . Secara geometris memang vektor – vektor di R4 dan seterusnya memang belum bisa digambarkan , tetapi dasar yang digunakan seperti operasi – operasi vektor masih sama seperti operasi pada vektor – vektor di R2 dan R3 . Orang yang pertama kali mempelajari vektor – vektor di Rn adalah Euclidis sehingga vektor – vektor yang berada di Rn dikenal sebagai vektor Euclidis , sedangkan ruang vektornya disebut ruang –n Euclidis. Operasi standar / baku pada vektor Euclidis Diketahui u dan v adalah vektor – vektor di ruang –n Euclidis dengan u = ( u1,u2,…,un ) dan v = ( v1,v2,…,vn ) Penjumlahan vektor u + v = ( u1+v1, u2+v2,…,un+vn ) Perkalian titik u . v = ( u1.v1+ u2.v2 +…+ un.vn ) Perkalian dengan skalar k u = ( ku1, ku2 , . .., kun ) Panjang vektor u = ( u .u )1 / 2 = u12 + u 2 2 + ... + u n 2 Jarak antara vektor d ( u , v ) = ( u – v . u – v ) = (u1 − v1 ) 2 + (u 2 − v2 ) 2 + ... + (u n − v n ) 2 Contoh 5.1.1 Diketahui a = ( 1,1,2,3 ) dan b = ( 2,2,1,1 ) Tentukan jarak antara a dan b ! Jawab a – b = (–1, –1,1,2 ) d ( a , b ) = (−1) 2 + (−1) 2 + 12 + 2 2 = 7 Halaman 26 Matematika Teknik 1 V.2 Ruang vektor umum Selama ini kita telah membahas vektor – vektor di Rn Euclides dengan operasi – operasi standarnya. Sekarang akan membuat konsep tentang ruang vektor dengan konsep yang lebih luas. Ada 10 syarat agar V disebut sebagai ruang vektor , yaitu : 1. Jika vektor – vektor u , v ∈ V , maka vektor u + v ∈ V 2. u + v = v + u 3. u + ( v + w ) = ( u + v ) + w 4. Ada 0 ∈ V sehingga 0 + u = u + 0 untuk semua u ∈ V , 0 : vektor nol 5. Untuk setiap u ∈ V terdapat – u ∈ V sehingga u + (– u ) = 0 6. Untuk sembarang skalar k , jika u ∈ V maka k u ∈ V 7. k ( u + v ) = k u + k v , k sembarang skalar , k dan l skalar 8. (k + l) u = k u + l u 9. k( l u ) = ( kl ) u 10. 1 u = u Dalam hal ini tentunya yang paling menentukan apakah V disebut ruang vektor atau tidak adalah operasi – operasi pada V atau bentuk dari V itu sendiri . Jika V merupakan ruang vektor dengan operasi – operasi vektor ( operasi penjumlahan dan operasi perkalian dengan skalar ) yang bukan merupakan operasi standar , tentunya V harus memenuhi 10 syarat diatas , jika satu saja syarat tidak dipenuhi maka tentunya V bukan merupakan ruang vektor. Contoh ruang vektor : 1. V adalah himpunan vektor euclides dengan operasi standar ( operasi penjumlahan dan operasi perkalian dengan skalar ), notasinya Rn . 2. V adalah himpunan polinom pangkat n dengan operasi standar Bentuk umum polinom orde – n pn(x) = a0 + a1x +… + anxn qn(x) = b0 + b1x +… + bnxn Operasi standar pada polinom orde – n pn(x) + qn(x) = a0+ b0 + (a1 +b1)x +… + (an +bn)xn k pn = ka0 + ka1x +… + kanxn notasi untuk ruang vektor ini adalah Pn 3. V adalah himpunan matriks berukuran mxn dengan operasi standar ( penjumlahan matriks dan perkalian matriks dengan skalar ) , ruang vektor ini sering di notasikan dengan Mmn Contoh bukan ruang vektor 1. V adalah himpunan vektor yang berbentuk ( 0 ,y ) di R2 dengan operasi ku = ( vektor sebagai berikut : untuk u = ( 0,u2 ) , v = (0,u2 ) , maka 0,–ku2 ) dan u + v = ( 0, u2+v2 ) ⎡a 1 ⎤ 2. V himpunan matriks yang berbentuk ⎢ ⎥ dengan operasi standar , a,b ∈ R ⎣1 b ⎦ Halaman 27 Matematika Teknik 1 Contoh 5.2.1 ⎡a 1 ⎤ Tunjukkan bahwa V yaitu himpunan matriks yang berbentuk ⎢ ⎥ dengan ⎣1 b ⎦ operasi standar bukan merupakan ruang vektor , (a,b ∈ R ) ! Jawab Untuk membuktikan V bukan merupakan ruang vektor adalah cukup dengan menunjukkan bahwa salah satu syarat ruang vektor tidak dipenuhi . Akan ditunjukkan apakah memenuhi syarat yang pertama ⎡ p 1⎤ ⎡ r 1⎤ Misalkan A = ⎢ ⎥ dan B = ⎢ ⎥ , p,q,r,s ∈ R maka A,B ∈ V ⎣ 1 q⎦ ⎣1 s ⎦ ⎡p + r 2 ⎤ A+B= ⎢ ⎥ ∉ V → syarat 1 tidak dipenuhi q + s⎦ ⎣ 2 Jadi V bukan merupakan ruang vektor V.3 Sub–ruang vektor Diketahui V ruang vektor dan U subhimpunan V. Kemudian U dikatakan sub– ruang dari V jika memenuhi dua syarat berikut : 1. Jika u , v ∈ U maka u + v ∈ U 2. Jika u ∈ U , untuk skalar k berlaku k u ∈ U Contoh 5.3.1 Diketahui U adalah himpunan titik – titik di bidang dengan ordinat 0 dengan operasi standar R2 , tunjukkan bahwa U merupakan sub–ruang dari R2 ! Jawab Akan ditunjukkan bahwa U memenuhi dua syarat sub–ruang vektor , yaitu : 1. U = { x,0 } untuk sembarang nilai x ,x ∈ R Misalkan a = ( x1,0 ) dan b = ( x2,0 ) dengan x1,x2 ∈ R , maka a , b ∈ U a + b = ( x1 + x2,0 ) dengan x1+x2 ∈ R , jadi a + b ∈ R Jadi syarat ke–1 terpenuhi. 2. Untuk skalar k , maka k a = ( kx1,0 ) dengan kx1 ∈ R , jadi k a ∈ R Jadi syarat ke–2 terpenuhi Kedua syarat terpenuhi , maka U merupakan sub–ruang R2 Contoh 5.3.2 Diketahui U adalah himpunan vektor – vektor yang berbentuk ( a,b,c ) dengan a = b – c – 1 , a,b,c ∈ R dengan operasi standar R3 , tunjukkan apakah U merupakan sub–ruang R3 atau bukan ! Jawab Akan ditunjukkan apakah U memenuhi syarat sub–ruang vektor R3 Halaman 28 Matematika Teknik 1 Misalkan a = ( b1 – c1 – 1, b1, c1 ) dan b = ( b2 – c2 – 1, b2, c2 ) dengan b1,b2,c1,c2 ∈ R maka a , b ∈ R . a + b = (b1+b2 ) – (c1+c2) – 2 , b1+b2, c1+c2 ) ∉U Syarat ke–1 tidak dipenuhi , jadi U bukan merupakan sub–ruang vektor . V.4 Membangun dan bebas linier Sebelum membahas lebih jauh tentang vektor – vektor yang membangun ruang vektor dan vektor – vektor yang bebas linier , sebelumnya akan diberikan definisi yang berkaitan dengan masalah yang yang akan dibahas . Kombinasi linier Vektor v dikatakan merupakan kombinasi linier dari vektor – vektor v 1, v 2,…, v n bila v bisa dinyatakan sebagai : v = k1 v 1 + k2 v 2+…+ kn v n , k1,k2,…,kn : skalar Diketahui V ruang vektor dan S = { s 1, s 2 ,…, s n } dimana s 1, s 2 ,…, s n ∈ V S dikatakan membangun V bila untuk setiap v ∈ V, v merupakan kombinasi linier dari S ,yaitu : v = k1 s 1 +k2 s 2+…+ kn s n , k1,k2,…,kn : skalar Vektor – vektor di S dikatakan bebas linier jika persamaan 0 = k1 s 1 +k2 s 2+…+ kn s n hanya memiliki penyelesaian k1= k2 =…= kn = 0 ( atau jika diubah ke bentuk SPL , penyelesaiannya adalah trivial ) , jika ada penyelesaian lain untuk nilai k1,k2,…,kn selain 0 maka dikatakan vektor – vektor di S bergantung linier. Contoh 5.4.1 Diketahui a = ( 1,2 ) , b = ( –2,–3 ) dan c = ( 1,3 ) Apakah c merupakan kombinasi linier dari a dan b ? Jawab Misalkan c merupakan kombinasi linier dari a dan b , maka dapat ditentukan nilai untuk k1 dan k2 dari persamaan c = k1 a + k2 b ⎡1⎤ ⎡1 ⎤ ⎡ − 2⎤ ⎢ ⎥ = k1 ⎢ ⎥ + k 2 ⎢ ⎥ 3 2 ⎣ ⎦ ⎣ ⎦ ⎣ − 3⎦ ⎡1 − 2 ⎤ ⎡ k ⎤ ⎡1⎤ [A b ] = ⎡1 − 2 1⎤ ⎢ ⎥ ⎣0 1 1⎦ ⎡1 1 Æ ⎢ ⎥ ⎢k ⎥ = ⎢3⎥ 2 − 3 ⎣ ⎦ ⎣ 2⎦ ⎣ ⎦ Digunakan operasi baris elementer untuk menyelesaikan sistem persamaan linier diatas , yaitu : ⎡1 − 2 1 ⎤ ⎢ ⎥~ ⎣2 − 3 3⎦ ⎡k ⎤ ~ ⎢ ⎣0 3⎤ ⎥ 1 1⎦ 0 ⎡3⎤ Didapatkan ⎢ 1 ⎥ = ⎢ ⎥ ⎣k 2 ⎦ ⎣1⎦ Halaman 29 Matematika Teknik 1 Nilai k1 dan k2 bisa didapatkan , jadi c merupakan kombinasi linier dari a dan b yaitu c = 3 a + b Contoh 5.4.2 Apakah u = ( 1,2,3 ) , v = ( 2,4,6 ) dan w = ( 3,4,7 ) membangun R3 ? Jawab Misalkan u , v dan w membangun R3 , maka untuk sembarang vektor di R3 ( x,y,z ) , maka ( x,y,z ) haruslah merupakan kombinasi linier dari dari u , v dan w . Jika dituliskan dalam bentuk matriks akan berbentuk : ⎡1 2 3⎤ ⎡ k1 ⎤ ⎡ x ⎤ ⎢ 2 4 4⎥ ⎢k ⎥ = ⎢ y ⎥ ⎢ ⎥ ⎢ 2⎥ ⎢ ⎥ ⎢⎣3 6 7⎥⎦ ⎢⎣ k 3 ⎥⎦ ⎢⎣ z ⎥⎦ Jika ( x,y,z ) ini merupakan kombinasi linier dari u , v dan w maka ini sama saja dengan mengatakan bahwa SPL A x = b diatas adalah SPL yang konsisten ( memiliki penyelesaian ). Karena SPL diatas bukan merupakan SPL homogen , maka SPL akan konsisten jika tidak ada baris 0 pada matriks A setelah dilakukan reduksi baris. ⎡1 2 3 ⎤ ⎢2 4 4 ⎥ ⎢ ⎥ ⎢⎣3 6 7 ⎥⎦ ⎡1 2 3⎤ ⎡1 2 0⎤ ⎢⎣0 0 − 2⎥⎦ ⎢⎣0 0 0 ⎥⎦ ~ ⎢⎢0 0 − 2⎥⎥ ~ ⎢⎢0 0 1 ⎥⎥ Karena terdapat baris 0 maka pastilah ada vektor di R3 yang bukan merupakan kombinasi linier dari u , v dan w . Jadi u , v dan w tidak membangun R3 . Contoh 5.4.3 Diketahui u = ( 1,2 ) , v = ( 2,2 ) , w = ( 1,3 ) a. Apakah u , v dan w membangun R2 ? b. Apakah u , v dan w bebas linier ? Jawab a. Misalkan u , v dan w membangun R2 , maka SPL berikut ⎡ k1 ⎤ ⎡1 2 1 ⎤ ⎢ ⎥ ⎡ x ⎤ ⎢2 2 3⎥ ⎢k 2 ⎥ = ⎢ y ⎥ ⎣ ⎦ ⎢k ⎥ ⎣ ⎦ ⎣ 3⎦ ⎡1 2 1 ⎤ ⎢2 2 3⎥ ⎣ ⎦ ⎡1 2 merupakan SPL yang konsisten . 1⎤ ⎡1 0 2 ⎤ ~ ⎢ ⎥ ~ ⎢0 1 − 1 ⎥ Æ tidak terdapat baris 0. ⎢⎣ ⎣0 − 2 1⎦ 2 ⎥⎦ Jadi SPL konsisten Æ u , v dan w membangun R2 b. Akan dilihat apakah persamaan k1 u +k2 v + kn w = 0 akan memiliki penyelesaian k1 = k2 =…= kn = 0. ⎡1 2 1 ⎤ ⎢ ⎥ ⎣2 2 3⎦ ⎡ k1 ⎤ ⎢ k ⎥ = ⎡0⎤ ⎢ 2 ⎥ ⎢0⎥ ⎢⎣ k 3 ⎥⎦ ⎣ ⎦ , Dari operasi baris elementer pada jawaban a didapatkan bahwa Halaman 30 Matematika Teknik 1 ⎡ k1 ⎤ ⎡ − 2 s ⎤ ⎢k ⎥ = ⎢ 1 s ⎥ ⎢ 2⎥ ⎢ 2 ⎥ ⎢⎣ k 3 ⎥⎦ ⎢⎣ s ⎥⎦ jadi dapat disimpulkan bahwa u , v dan w bergantung linier. Contoh 5.4.4 Apakah s(x) = –6x2 merupakan kombinasi linier dari p(x) = 1 +2x +x2 , q(x) = –x + 2x2 dan r(x) = 1 – x2 ? Jawab s(x) merupakan kombinasi linier dari p(x) , q(x) dan r(x) jika dan hanya jika s(x) bisa dituliskan sebagai : s(x) = k1 p(x) +k2 q(x) +k3 r(x) atau ekuivalen dengan ⎡1 0 1 ⎤ ⎢2 − 1 0⎥ ⎢ ⎥ ⎢⎣1 2 − 1⎥⎦ 1 ⎡1 0 ⎢2 − 1 0 ⎢ ⎢⎣1 2 − 1 ⎡ k1 ⎤ ⎡ 0⎤ ⎢k ⎥ = ⎢ 0 ⎥ merupakan SPL yang konsisten ⎢ 2⎥ ⎢ ⎥ ⎢⎣ k 3 ⎥⎦ ⎢⎣− 6⎥⎦ 0⎤ 1 0⎤ 1 0⎤ ⎡1 0 ⎡1 0 ⎥ ⎢ ⎥ ⎢ 0 ⎥ ~ ⎢0 − 1 − 2 0 ⎥ ~ ⎢0 1 2 0 ⎥⎥ ⎢⎣0 2 ⎢⎣0 0 − 6⎥⎦ − 2 − 6⎥⎦ − 6 − 6⎥⎦ ~ ⎡1 ⎢0 ⎢ ⎢⎣0 0 0 1 0 0 1 −1 ⎤ − 2⎥⎥ 1 ⎥⎦ SPL konsisten , Jadi s(x) merupakan kombinasi linier dari p(x) , q(x) dan r(x) dengan V.5 ⎡ k1 ⎤ ⎢k ⎥ = ⎢ 2⎥ ⎢⎣ k 3 ⎥⎦ ⎡ − 1⎤ ⎢− 2⎥ ⎢ ⎥ ⎢⎣ 1 ⎥⎦ Basis dan Dimensi Misalkan V ruang vektor dan S = { s 1, s 2 ,…, s n }. S disebut basis dari V bila memenuhi dua syarat , yaitu : 1. S bebas linier 2. S membangun V Basis dari suatu ruang vektor tidak harus tunggal tetapi bisa lebih dari satu. Ada dua macam basis yang kita kenal yaitu basis standar dan basis tidak standar. Contoh basis standar : 1. S = { e 1, e 2,…, e n } , dengan e 1, e 2,…, e n ∈ Rn e1 = ( 1,0,…,0) ,e2 = ( 0,1,0,…,0 ),…,en = ( 0,0,…,1 ) Merupakan basis standar dari Rn . 2. S = { 1,x, x2…,xn } merupakan basis standar untuk Pn ( polinom orde n ) 3. ⎧⎡1 0⎤ ⎡0 1⎤ ⎡0 0⎤ ⎡0 0⎤ ⎫⎪ ⎥, ⎢ ⎥, ⎢ ⎥, ⎢ ⎥⎬ ⎪⎩⎣0 0⎦ ⎣0 0⎦ ⎣1 0⎦ ⎣0 1⎦ ⎪⎭ S = ⎪⎨⎢ merupakan basis standar untuk M22 Halaman 31 Matematika Teknik 1 Dimensi ruang vektor didefinisikan sebagai banyaknya unsur basis ruang vektor tersebut. Jadi dim R3 = 3 , dim P2 = 3 dan dim M22 = 4 dan sebagainya. Pada pembahasan mengenai membangun dan bebas linier , suatu himpunan vektor dapat ditunjukkan merupakan himpunan yang bebas linier atau membangun ruang vektor V hanya dengan melihat dari jumlah vektor dan dim ruang vektor. Pada contoh 5.4.3 ,banyaknya vektor = 3 dan dim ( R2 ) = 2 , sebenarnya tanpa menghitung kita sudah bisa menyimpulkan bahwa himpunan vektor tersebut tidak bebas linier karena agar bebas linier maksimal jumlah vektor = dim ruang vektor. Sebaliknya jika suatu himpunan vektor hanya memuat vektor dengan jumlah kurang dari dim ruang vektor , maka dapat disimpulkan bahwa himpunan vektor tersebut tidak membangun . Berdasarkan hal ini, maka suatu himpunan vektor kemungkinan bisa menjadi basis ruang vektor berdimensi n jika jumlah vektornya = n. Jika jumlah vektor < n maka tidak membangun sebaliknya jika jumlah vektor > n maka bergantung linier. Jika jumlah vektor = n , maka dapat dihitung nilai determinan dari ruang yang dibangun oleh himpunan vektor tersebut. Jika det = 0 , maka ia tidak bebas linier dan tidak membangun Jika det ≠ 0 , maka ia bebas linier dan membangun Æ merupakan basis . Contoh 5.5.1 ⎧⎡1 2⎤ ⎡1 0⎤ ⎡0 0⎤ ⎡0 2⎤ ⎫⎪ Tentukan apakah H = ⎪⎨⎢ ⎥, ⎢ ⎥, ⎢ ⎥, ⎢ ⎥ ⎬ merupakan basis M22 ? ⎪⎩⎣1 1 ⎦ ⎣0 1 ⎦ ⎣0 1⎦ ⎣1 3⎦ ⎪⎭ Jawab Jumlah matriks ( bisa dipandang sebagai vektor di R4 ) dalam H = 4 = dim M22 , Jadi untuk menentukan apakah H merupakan basis dari R4 atau bukan adalah dengan melihat nilai determinan dari ruang yang dibangun oleh H. Misalkan W adalah ruang yang dibangun oleh H , maka untuk sembarang w ∈ W berlaku : w= ⎡1 ⎢2 ⎢ ⎢1 ⎢ ⎣1 1 0 0⎤ 0 0 2⎥⎥ 0 0 3⎥ ⎥ 1 1 1⎦ ⎡ k1 ⎤ ⎢k ⎥ ⎢ 2⎥= Ak ⎢k 3 ⎥ ⎢ ⎥ ⎣k 4 ⎦ Untuk menentukan apakah H merupakan basis atau tidak adalah dengan menghitung nilai det (A) dari SPL diatas. 1 1 0 0 2 0 0 2 1 0 0 3 1 1 1 1 1 0 0 1 1 0 =−2 0 0 3 +2 1 0 0 1 1 1 = –2 .3. 1 + 2.1.1 = – 4 1 1 1 Jadi H merupakan basis dari M22 . Halaman 32 Matematika Teknik 1 V.6 Basis ruang baris dan basis ruang kolom Suatu matriks berukuran mxn dapat dipandang sebagai susunan bilangan yang tersusun dari bilangan dalam kolom 1 sampai kolom n atau dalam baris 1 sampai ⎡ a 11 a 12 .. a 1n ⎤ ⎢a a 22 .. a 2 n ⎥⎥ baris m. Jadi jika A = ⎢ 21 ⎢ : : : : ⎥ ⎢ ⎥ ⎣a m1 a m 2 .. a mn ⎦ Maka A tersusun atas vektor –vektor baris r i dengan r i = (ai1,ai2,…,ain ) atau bisa juga dikatakan A tersusun atas vektor – vektor kolom c j = (c1j,c2j,…,cmj } dengan i = 1,2,…,m dan j =1,2,…,n Subruang Rn yang dibangun oleh vektor– vektor baris disebut ruang baris dari A Subruang Rm yang dibangun oleh vektor– vektor kolom disebut ruang kolom dari A. Menentukan basis ruang kolom / baris Basis ruang kolom A didapatkan dengan melakukan OBE pada A, sedangkan basis ruang kolom A didapatkan dengan melakukan OBE pada At . Banyaknya unsur basis ditentukan oleh banyaknya satu utama pada matriks eselon baris tereduksi. Dimensi ( ruang baris ) = dimensi ( ruang kolom ) = rank matriks Contoh 6.1 Diketahui A = A= ⎡ 1 ⎢− 2 ⎢ ⎢ 3 ⎢ ⎣ 2 2 3⎤ 1 0⎥⎥ 1 1⎥ ⎥ 0 1⎦ ⎡ 1 ⎢− 2 ⎢ ⎢ 3 ⎢ ⎣ 2 ~ 2 3⎤ 1 0⎥⎥ 1 1⎥ ⎥ 0 1⎦ , Tentukan basis ruang baris dan basis ruang kolom ! 2 3⎤ ⎡1 ⎢0 5 3 ⎥⎥ ⎢ ⎢ 0 − 5 − 8⎥ ⎢ ⎥ ⎣0 −4 4⎦ ~ ⎡1 ⎢0 ⎢ ⎢0 ⎢ ⎣0 0 1 0 0 Jadi basis ruang baris { r 1 , r 2 , r 3 }, { c 1 , c 2 , c 3 }, sedangkan rank A = 3 V.7 0⎤ 0 ⎥⎥ 1⎥ ⎥ 0⎦ sedangkan basis ruang kolom adalah Basis ruang solusi Pada suatu sistem persamaan linear homogen A x = 0 dengan solusi yang tak –trivial dan A berukuran m x n , ruang solusi dari SPL biasa disebut dengan ruang null dari A, sedangkan dimensi dari ruang null disebut nullitas A . Ada hubungan antara rank A dengan nulitas A yaitu rank A + nullitas A = n . Basis ruang solusi tentunya diperoleh dari ruang nullnya. Halaman 33 Matematika Teknik 1 Contoh 5.7.1 ⎡1 2 1 ⎤ Diketahui SPL homogen A x = 0 dengan A = ⎢ ⎥ , tentukan ruang ⎣2 2 4 ⎦ null dari A dan rank A ! Jawab ⎡1 2 1 ⎤ ⎡1 2 1⎤ ⎡1 0 3⎤ A= ⎢ ⎥ ~ ⎢ ⎥ ~ ⎢ ⎥ ⎣2 2 4 ⎦ ⎣0 − 2 2 ⎦ ⎣0 1 − 1⎦ ⎡− 3s ⎤ ⎡− 3⎤ ⎢⎣ s ⎥⎦ ⎢⎣ 1 ⎥⎦ Jadi ruang null = ⎢⎢ s ⎥⎥ = ⎢⎢ 1 ⎥⎥ s Jadi ⎡− 3⎤ ⎢1⎥ ⎢ ⎥ ⎢⎣ 1 ⎥⎦ bisa diambil sebagai basis untuk ruang null . Nullitas A = 1. Bisa juga diperiksa bahwa nullitas A + rank A = 3 = n. Halaman 34 Matematika Teknik 1 BAB VI Ruang Hasil Kali Dalam VI.1 Hasil kali dalam Definisi Hasil kali dalam adalah fungsi yang mengaitkan setiap pasangan vektor vektor V ( misalkan pasangan u dan v , dinotasikan dengan < u , v > bilangan riil dan memenuhi 4 aksioma , yaitu : 1. Simetris : < u,v > = < v,u > 2. Aditivitas : < u+ v , w > = < u, w > + <v,w > 3. Homogenitas : < k u , v > = k< u , v > , k skalar 4. Positivitas : < u , u > ≥ 0 dan ( < u , u > = 0 ↔ u = 0 ) di ruang ) dengan Ruang vektor yang dilengkapi hasil kali dalam seperti diatas disebut Ruang hasil kali dalam yang biasa disingkat dengan RHD. Contoh 6.1.1 Tunjukkan bahwa operasi perkalian titik titik standar di R3 Euclides merupakan hasil kali dalam ! Jawab Akan ditunjukkan bahwa perkalian titik standar memenuhi keempat aksioma hasil kali dalam , yaitu : Misalkan a = ( a1,a2,a3 ) , b = ( b1,b2,b3 ) , c = ( c1,c2,c3 ) maka a , b , c ∈ R3 1. Simetris < a ,b > = (a .b) = (a1b1 + a2b2 + a3b3 ) = (b1a1 + b2a2 + b3a3 ) = < b,a > ………… ( terpenuhi ) 2. Aditivitas < a + b , c > = ( (a +b) . c ) = ((a1+b1 , a2+b2 , a3+b3 ) . ( c1,c2,c3 ) ) = ((a1c1 + b1c1) + ( a2c2+b2c2 ) + (a3c3 + b3c3 ) = (a1c1 + a2c2 + a3c3 ) + (b1c1 + b2c2 + b3c3 ) = (a .c ) + (b.c ) = < a ,c > + < b,c > …… ( terpenuhi ) 3. Homogenitas < ka ,b > = ( ka .b ) = ( ka1b1 + ka2b2 + ka3b3 ) = k(a1b1 + a2b2 + a3b3 ) = k( a . b ) = k< a , b > ………… ( terpenuhi ) Halaman 35 Matematika Teknik 1 4. Positivitas < a ,a > = ( a . a ) = ( a12 + a22 + a32 ) ≥ 0 ………… ( terpenuhi ) dan < u , u > = ( a12 + a22 + a32 ) = 0 ↔ u = ( 0,0,0 ) = 0 . … …( terpenuhi ) RHD yang memiliki hasil kali dalam berupa perkalian titik standar seperti diatas biasa disebut RHD Euclides. Contoh 6.1.2 Diketahui < u , v > = ad + cf dengan u = ( a,b,c ) dan v = ( d,e,f ) , Apakah < u , v > tersebut merupakan hasil kali dalam ? Jawab Akan ditunjukkan apakah < u , v > tersebut memenuhi keempat aksioma hasil kali dalam Aksioma 1. Simetris = ad + cf < u,v> = da + fc ………… ( terpenuhi ) = < v,u > 2. Aditivitas Misalkan w = ( g,h,i ) < u + v , w > = < (a+d , b+e , c+f) , ( g,h,i ) > = (a+d )g + (c+f)i = ( ag + ci ) + ( dg + fi ) = < u , w > + < v , w > …… ( terpenuhi ) 3. Homogenitas < ku,v > = (kad + kcf) = k( ad + cf ) ………… ( terpenuhi ) = k< u , v > 4. Positivitas < u , u > = ( u . u ) = ( a2 + c2 ) ≥ 0 ………… ( terpenuhi ) dan ( < u , u > = (a2 + c2) = 0 tidak selalu ↔ u = ( 0,0,0 ) karena untuk nilai u = ( 0,b,0 ) dengan b ≠ 0 maka nilai < u , u > = 0 …… ( tidak terpenuhi ) Aksioma positivitas tidak terpenuhi maka < u , v > = ad + cf dengan u = ( a,b,c ) dan v = ( d,e,f ) bukan merupakan hasil kali dalam. VI.2 Panjang vektor , jarak antar vektor ,dan besar sudut dalam RHD Ketika kita membahas tentang panjang vektor , maka kita harus menghilangkan rumusan yang selama ini kita gunakan mengenai panjang vektor dalan ruang –n Euclides berdasarkan operasi hasil kali titik . Kita akan menghitung panjang suatu berdasarkan hasil kali dalam yang telah diberikan, dan sudah dibuktikan bersama – sama bahwa hasil Halaman 36 Matematika Teknik 1 kali titik dalan ruang – n Euclides juga merupakan hasil kali dalam jadi konsep yang digunakan ini akan lebih luas daripada konsep sebelumnya. Misalkan V merupakan ruang hasil kali dalam , u , v ∈ V maka a. Panjang u = < u , u > ½ b. Jarak u dan v , d( u , v ) = < u − v , u − v > ½ c. Misalkan φ sudut antara u dan v dalam RHD , maka besar cos φ adalah : u, v cos θ = u v Jika u dan v saling tegak lurus maka Bukti u +v 2 u +v 2 = u 2 + v 2 = u +v , u +v = u + v,u + u + v, v = u ,u + v, v + 2 u , v = u 2+ v 2 Contoh 6.2.1 Diketahui V adalah RHD dengan hasil kali dalam < u , v > = (u1v1 + 2u2v2 + u3v3 ) dengan u = ( u1,u2,u3 ) , v = ( v1,v2,v3 ) . Jika vektor – vektor a , b ∈ V dengan a = ( 1,2,3 ) dan b = ( 1,2,2 ) , Tentukan a. Besar cos α jika sudut yang dibentuk antara a dan b adalah α ! b. Jarak antara a dan b ! Jawab cos θ = a ,b a b < a , b > = 1.1 + 2.(2.2) + 2.3 = 15 a = 1 2 + 2 .2 2 + 3 2 = 18 b = 12 + 2.2 2 + 2 2 = 13 Jadi cos θ = VI.3 a ,b a b = 15 18 13 = 15 234 Basis orthonormal Diketahui V ruang hasil kali dalam dan v 1, v 2,…, v n adalah vektor – vektor dalam V. Beberapa definisi penting a. H = { v 1, v 2,…, v n } disebut himpunan orthogonal bila setiap vektor dalam V saling tegak lurus ,yaitu < v i, v j > = 0 untuk i ≠ j dan i,j = 1,2,…,n. Halaman 37 Matematika Teknik 1 b. G = { v 1, v 2,…, v n }disebut himpunan orthonormal bila G himpunan orthogonal Norm dari vi = 1 , i = 1,2,…,n atau < v i, v i > = 1 Metode Gramm–Schimdt Metode Gramm–Schimdt digunakan untuk merubah suatu himpunan vektor yang bebas linier menjadi himpunan yang orthonormal. , jadi dalam hal ini disyaratkan himpunan yang ditransformasikan ke himpunan orthonormal adalah himpunan yang bebas linier. Jika yang akan ditransformasikan adalah himpunan vektor yang merupakan basis dari ruang vektor V maka metode Gramm–Schimdt akan menghasilkan basis orthonormal untuk V. Sebelum membahas tentang metode ini, akan dibahas tentang proyeksi orthogonal vektor terhadap ruang yang dibangun oleh himpunan vektor. Diketahui H = { v 1, v 2,…, v n } adalah himpunan vektor yang bebas linier dari ruang vektor V dengan dim ≥ n dan S = { w 1, w 2,…, w n } merupakan himpunan yang orthonormal . Jika W menyatakan ruang yang dibangun oleh w 1, w 2,…, w n maka untuk setiap vektor z 1 dalam W , dapat dituliskan z 1 = k1 w 1 + k2 w 2 +…+ kn w n dengan k1, k2, …,kn skalar. Jika u adalah sembarang vektor dalam V , maka tentunya u dapat dituliskan sebagai jumlah dari dua vektor yang saling tegak lurus misalkan z 1 dan z 2 , jadi dapat u = z 1 + z 2 . Karena z 1 dalam W , maka sebenarnya z 1 merupakan dituliskan proyeksi orthogonal u terhadap W , sedangkan z 2 merupakan komponen vektor u yang tegak lurus terhadap W. Jadi untuk menentukan z 1 , maka harus ditentukan nilai k1, k2, …,kn sedemikian hingga nilai k1 merupakan panjang proyeksi u terhadap w 1 , k2 merupakan panjang proyeksi u terhadap w 2 dan seterusnya sehingga kn merupakan panjang proyeksi u terhadap w n . Proyeksi orthogonal u terhadap w i adalah proy Wi ( u ) = < u , w i > , dikarenakan w 1, w 2,…, w n merupakan vektor – vektor yang orthonormal . Jadi dapat dituliskan bahwa proyeksi orthogonal u terhadap W adalah : proyw ( u ) = z 1 = < u , w 1 > w 1 + < u , w 2 > w 2 +…+ < u , w n > w n dengan { w 1, w 2,…, w n } merupakan himpunan orthonormal. Komponen u yang tegak lurus terhadap W adalah z 2 = u – (< u , w 1 > w 1 + < u , w 2 > w 2 +…+ < u , w n > w n ) Misal diketahui K = { v 1, v 2, …, v n } adalah himpunan yang bebas linier, maka K dapat dirubah menjadi himpunan S = { w 1, w 2, …, w n } yang orthonormal dengan menggunakan metode Gramm–Schimdt yaitu : 1. w1 = v1 v1 , ini proses normalisasi yang paling sederhana karena hanya melibatkan satu vektor saja. Pembagian dengan v1 bertujuan agar w i memiliki panjang = 1 , pada akhir langkah ini didapatkan w 1 orthonormal. Halaman 38 Matematika Teknik 1 2. v 2 − v 2 , w1 w1 w2 = v 2 − v 2 , w1 w1 Pada akhir langkah ini didapatkan dua vektor w 1 dan w 2 yang orthonormal. 3. w3 = v3 − v3 , w1 w1 − v3 , w2 w2 v3 − v3 , w1 w1 − v3 , w2 w2 . . . n. wn = v n − v n , w1 w1 − v n , w2 w2 − ... v n , wn −1 wn −1 v n − v n , w1 w1 − v n , w2 w2 − ... v n , wn −1 wn −1 Secara umum w i = vi − proW (vi ) vi − proW (vi ) dengan W merupakan ruang yang dibangun oleh w 1,.., w i–1 . Pada metode ini, pemilihan v 1, v 2,…, v n tidak harus mengikuti urutan vektor yang diberikan tetapi bebas sesuai keinginan kita karena satu hal yang perlu diingat bahwa basis suatu ruang vektor tidak tunggal. Jadi dengan mengubah urutan dari v 1, v 2,…, v n sangat memungkinkan didapatkan jawaban yang berbeda – beda . Pemilihan urutan dari v 1, v 2,…, v n yang disarankan adalah yang mengandung hasil kali dalam yang bernilai 0 yaitu < v i, v j > = 0, dalam kasus ini bisa diambil v 1 = v i dan v 2 = v j dan seterusnya. Contoh 6.3.1 Diketahui H = { a , b , c } dengan a = ( 1,1,1 ) , b = ( 1,2,1 ) , c = (−1,1,0 ) a. Apakah H basis R3 ? b. Jika ya , transformasikan H menjadi basis orthonormal dengan menggunakan hasil kali dalam Euclides ! Jawab a. Karena dim( R3 ) = 3 dan jumlah vektor dalam H = 3 , maka untuk menentukan apakah H merupakan basis R3 atau bukan , adalah dengan cara menghitung determinan matriks koefisien dari SPL A x = b dengan b adalah sembarang vektor 3 dalam R , yaitu = det ⎡1 ⎢1 ⎢ ⎢⎣1 − 1⎤ 2 1⎥⎥ 1 0⎥⎦ 1 . Jika det = 0 maka berarti H bukan merupakan basis R3 , sebaliknya jika det ≠ 0 maka berarti vektor – vektor di H bebas linier dan membangun R3 , jadi H merupakan basis R3 . Dengan ekspansi kofaktor sepanjang baris ketiga, didapatkan Halaman 39 Matematika Teknik 1 −1 1 1 1 2 1 = 1 1 0 1 −1 2 1 − 1 −1 1 1 =3−2=1 Karena det = 1 ,ini berarti H merupakan basis dari R3 b. Hasil kali dalam antara a , b dan c < a , b > = 4, < a , c > = 0 , < b , c > = 1 Untuk memilih basis yang perhitungannya lebih sederhana dapat diambil v1= a , v2= c , v3= b a. w1 = b. w2 = ( 1,1,1 ) a = a 3 c − c , w1 w1 c − c , w1 w1 = (−1,1,0 ) c = c 2 { Karena < a , c > = 0 maka < c , w1 > = c. w3 = b− b − b , w1 w1 − b , w2 w2 b − b , w1 w1 − b , w2 w2 1 1 b,a a − b,c c 3 2 b− Jadi = < c, a > < a, c > = =0 a a } 1 1 b, a a − b,c c 2 3 1 1 b − b, a a − b,c c 3 2 b− = ⎡1 ⎤ ⎡1⎤ ⎡− 1⎤ ⎢2⎥ − 4 ⎢1⎥ − 1 ⎢ 1 ⎥ = ⎢ ⎥ 3⎢ ⎥ 2⎢ ⎥ ⎢⎣1 ⎥⎦ ⎢⎣1⎥⎦ ⎢⎣ 0 ⎥⎦ ⎡ 1 ⎤ 1 ⎢ 6 ⎥ 1 ⎡⎢ ⎤⎥ ⎢ 1 ⎥ = ⎢ 1⎥ ⎢ 6⎥ 6 ⎢ ⎥ ⎣ − 2⎦ ⎢⎣− 1 3 ⎥⎦ 1 1 6 1 b,a a − b,c c = = 3 2 6 6 1 ⎡ ⎤ 1 ⎢ ⎥ 1 s w3 = 6 ⎢⎢ ⎥⎥ ⎣ − 2⎦ Normalisasi himpunan orthogonal ke himpunan orthonormal Diketahui V RHD dan H = { v 1 , v 2,…, v n }∈ V merupakan himpunan orthogonal dengan v i ≠ 0 maka bisa didapatkan himpunan orthonormal yang didefinisikan sebagai v , i = 1,2,…,n. Kalau dilihat secara seksama , S = { s 1, s 2,…, s n } dengan si = i vi sebenarnya rumusan ini merupakan rumusan dari metode Gramm– Schimdt yang telah mengalami reduksi yaitu untuk nilai proy W(vi) = 0 akibat dari v 1 , v 2,…, v n yang saling orthogonal. Proses untuk mendapatkan vektor yang orthonormal biasa disebut dengan menormalisasikan vektor. Jika dim (V) = n , maka S juga merupakan basis orthonormal dari V. Halaman 40 Matematika Teknik 1 Contoh 6.3.2 Diketahui dan a , b , c ∈ R3 dengan a = ( 2,–1,1 ) , b = ( 2,5,1 ) , c = ( –1,0,2 ) .Jika R3 merupakan RHD Euclides, Transformasikan a , b , c ke basis orthonormal ! Jawab < a ,b > = 0 , < a ,c > = 0 , < b,c > = 0 a = 2 2 + (−1) 2 + 12 = b = 2 2 + 5 2 + 12 = 30 , 6 , c = (−1) 2 + 0 2 + 2 2 = 5 Misalkan H = { a , b , c } maka H merupakan himpunan orthogonal Dim( R3 ) = 3 jadi dapat ditentukan basis orthonormal untuk R3. Misalkan s 1 = a 1 = (2,−1,1) a 6 Basis orthonormal untuk R3 adalah { VI.4 b , s2= b 1 6 = 1 (2,5,1) 30 (2,−1,1) , 1 30 , s3= (2,5,1) , c 1 = ( −1,0,2) c 5 1 5 ( −1,0,2) } Perubahan Basis Seperti diketahui bahwa suatu ruang vektor bisa memiliki beberapa basis . Dari sifat inilah tentunya jika terdapat sembarang vektor x dalam suatu ruang vektor V yang memiliki himpunan vektor A dan B sebagai basisnya maka x tentunya merupakan kombinasi linier dari vektor – vektor di A dan B. Kajian yang dilakukan sekarang ini adalah melihat hubungan antar kombinasi linier tersebut . Secara sistematis , langkah – langkahnya dapat dilihat seperti berikut ini; Jika V ruang vektor, S : { s 1, s 2,…, s n } merupakan basis V maka untuk sembarang x ∈ V, dapat dituliskan : x = k1 s 1 + k2 s 2…+kn s n dengan k1, k2, …, kn skalar. k1, k2, …, kn juga disebut koordinat x relatif terhadap basis S. ⎡ k1 ⎤ ⎢k ⎥ [x ]S = ⎢ 2 ⎥ disebut matriks x relatif terhadap basis S. ⎢:⎥ ⎢ ⎥ ⎣k n ⎦ Jika S merupakan basis orthonormal , maka [x ]S ⎡ x , s1 ⎤ ⎢ ⎥ x , s2 ⎥ ⎢ = ⎢ : ⎥ ⎢ ⎥ ⎢⎣ x , s n \ ⎥⎦ Halaman 41 Matematika Teknik 1 Jika A = { x 1, x 2 } dan B = { y 1, y 2 } berturut – turut merupakan basis dari V , maka untuk sembarang z ∈ V bisa didapatkan [z ]A dan [z ]B . Bagaimana hubungan [z ]A dan [z ]B ? ⎡a ⎤ ⎡c⎤ Misalkan [x1 ]B = ⎢ ⎥ dan [x 2 ]B = ⎢ ⎥ ⎣b ⎦ ⎣d ⎦ ⎡a ⎤ Dari [x1 ]B = ⎢ ⎥ didapatkan x 1 = a y 1 + b y 2 ……………. .(1) ⎣b ⎦ ⎡c⎤ Dari [x 2 ]B = ⎢ ⎥ didapatkan x 2 = c y 1 + d y 2 ……………. (2) ⎣d ⎦ ⎡k ⎤ Untuk [z ]A = ⎢ 1 ⎥ maka didapatkan z = k1 x 1 +k2 x 2 ……...(3) ⎣k 2 ⎦ Dengan melakukan substitusi dari persamaan 1 dan 2 ke persamaan 3 didapatkan : z = k1 (a y 1 + b y 2 ) +k2 (c y 1 + d y 2 ) = ( k1 a + k2 c ) y 1 + ( k1 b + k2 d ) y 2 ⎡k a + k c ⎤ ⎡a c ⎤ ⎡k ⎤ 2 1 Ini berarti [z ]B = ⎢ 1 ⎥ = ⎢ ⎥ ⎢ ⎥ = P [z ]A k b + k d b d k 2 ⎦ ⎣ ⎦ ⎣ 2⎦ ⎣ 1 P disebut matriks transisi dari basis A ke basis B. Secara umum , jika A = { x 1, x 2, …, x n } dan B = { y 1, y 2, …, y n } berturut – turut merupakan basis dari ruang vektor V , maka matriks transisi basis A ke basis B adalah : P = [[x1 ]B [x 2 ]B ... [x n ]B ] Jika P dapat dibalik , maka P–1 merupakan matriks transisi dari basis B ke basis A. Contoh 6.4 Diketahui A = { v , w } dan B = { x , y } berturut – turut merupakan basis R2 , dengan v = ( 2, 2 ) , w = ( 3, –1 ) , x = ( 1 , 3 ) dan y = ( –1 , –1 ) Tentukan a. Matriks transisi dari basis A ke basis B ! ⎡⎛ − 1 ⎞⎤ ⎟⎟⎥ ⎣⎢⎝ 3 ⎠⎦⎥ b. Hitung ⎢⎜⎜ c. Hitung A ⎡⎛ − 1 ⎞⎤ ⎢⎜⎜ ⎟⎟⎥ dengan menggunakan hasil pada (b) ! ⎢⎣⎝ 3 ⎠⎥⎦ B d. Matriks transisi dari basis B ke basis A ! Jawab a. Misalkan [w ]B [v ]B ⎡c⎤ ⎡a ⎤ ⎡ 2⎤ ⎡1 − 1⎤ ⎡a ⎤ ⎡a ⎤ ⎡ 0⎤ = ⎢ ⎥ maka ⎢ ⎥ = ⎢ ⎥ ⎢ ⎥ , didapatkan ⎢b ⎥ = ⎢− 2⎥ dan untuk ⎣b ⎦ ⎣2⎦ ⎣3 − 1⎦ ⎣b ⎦ ⎣ ⎦ ⎣ ⎦ ⎡ 3⎤ ⎡1 − 1⎤ ⎡ c ⎤ ⎡c⎤ ⎡ − 2⎤ = ⎢ ⎥ maka ⎢ ⎥ = ⎢ ⎥ ⎢ ⎥ , maka didapatkan ⎢d ⎥ = ⎢ − 5 ⎥ ⎣d ⎦ ⎣ − 1⎦ ⎣3 − 1⎦ ⎣d ⎦ ⎣ ⎦ ⎣ ⎦ ⎡ 0 − 2⎤ Jadi matriks transisi dari basis A ke basis B adalah : P = ⎢ ⎥ ⎣− 2 − 5⎦ Halaman 42 Matematika Teknik 1 ⎡⎛ − 1 ⎞⎤ ⎡k ⎤ ⎡k ⎤ ⎡ 1⎤ b. Misalkan ⎢⎜⎜ ⎟⎟⎥ = ⎢ 1 ⎥ maka ,didapatkan ⎢ 1 ⎥ = ⎢ ⎥ ⎣k 2 ⎦ ⎣−1⎦ ⎣⎢⎝ 3 ⎠⎦⎥ A ⎣k 2 ⎦ ⎡ 0 − 2⎤ ⎡⎛ − 1 ⎞⎤ ⎡ 1⎤ ⎡⎛ − 1 ⎞⎤ c. Dari (a) dan (b) didapatkan P = ⎢ ⎥ dan ⎢⎜⎜ ⎟⎟⎥ = ⎢ ⎥ sehingga ⎢⎜⎜ ⎟⎟⎥ = ⎢⎣⎝ 3 ⎠⎥⎦ A ⎢⎣⎝ 3 ⎠⎥⎦ B ⎣− 2 − 5⎦ ⎣−1⎦ ⎡⎛ − 1 ⎞⎤ ⎟⎟⎥ ⎣⎢⎝ 3 ⎠⎦⎥ P ⎢⎜⎜ ⎡ 0 − 2⎤ ⎡ 1 ⎤ ⎡ 2⎤ = ⎢ ⎥ ⎢ ⎥= ⎢ ⎥ − 2 − 5⎦ ⎣−1⎦ ⎣3⎦ ⎣ A d. Matriks transisi dari basis B ke basis A adalah P–1 dengan P merupakan matriks transisi terhadap basis A ke basis B . 1 ⎡− 5 2⎤ 0⎥⎦ Jadi P–1 = − ⎢ 4⎣ 2 merupakan matriks transisi dari basis B ke basis A. Halaman 43 Matematika Teknik 1 BAB VII Ruang Eigen VII.1 Nilai Eigen suatu matriks Diketahui A matriks berukuran n x n, x vektor tak–nol berukuran n x 1 , n x ∈ R . Karena A berukuran n x n , maka A x akan berupa vektor yang berukuran n x 1 juga. Bila terdapat skalar λ , λ ∈ Riil sedemikian hingga A x = λ x (A x menghasilkan vektor yang besarnya λ kali x ). Semua nilai λ yang memenuhi persamaan tersebut sehingga ada nilai x yang nyata ( bukan vektor 0 saja ) disebut nilai eigen ( karakteristik ). Untuk menentukan nilai λ , dari persamaan A x = λ x sebelumnya dirubah dahulu menjadi persamaan (A − λ I ) x = 0 = (λ I − A ) x . Agar persamaan tersebut memiliki penyelesaian tak–trivial ( sejati ) , maka dapat ditentukan melalui nilai det (A − λ I ) yaitu det (A − λ I ) = det (λ I − A ) = 0. Persamaan det (A − λ I ) = det (λ I − A ) = 0 ini disebut persamaan karakteristik. Banyaknya nilai eigen maksimal adalah n buah. Dari nilai eigen yang telah diperoleh tersebut dapat ditentukan ruang solusi untuk x dengan memasukkan nilai eigen yang yang diperoleh kedalam persamaan (A − λ I ) x = 0 . Ruang solusi yang dperoleh dengan cara demikian ini disebut juga dengan ruang eigen. Dari ruang eigen yang bersesuaian dengan nilai eigen tertentu tersebut dapat dicari minimal sebuah basis ruang eigen yang saling bebas linear. Contoh 7.1.1 Diketahui A = ⎡ 1 0 − 2⎤ ⎢ 0 1 2 ⎥⎥ ⎢ ⎢⎣ − 1 0 0 ⎥⎦ Tentukan nilai Eigen beserta basis ruang eigennya ! Jawab Persamaan karakteristik dari A adalah det (λ I − A ) = 0 . 0 ⎡λ − 1 det ⎢⎢ 0 λ − 1 ⎢⎣ 1 0 2⎤ − 2⎥⎥ = λ ⎥⎦ ( λ − 1 )2 λ − 2 (λ − 1 ) = ( λ − 1 ) [( λ − 1 ) λ − 2 ] = ( λ − 1 ) (λ2 − λ − 2 ) = ( λ − 1 ) ( λ + 1 ) ( λ − 2 ) Jadi nilai eigen untuk A adalah : −1, 1, 2 . Basis ruang eigen diperoleh dengan memasukkan nilai eigen yang diperoleh kedalam persamaan (A – λ I ) x = 0 . Halaman 44 Matematika Teknik 1 Untuk λ = −1 Didapatkan persamaan 0 ⎡− 2 ⎢ 0 −2 ⎢ ⎢⎣ 1 0 0 ⎡− 2 ⎢ 0 −2 ⎢ ⎢⎣ 1 0 0 − 1⎤ ⎡1 ⎢ ~ ⎢ 0 − 2 − 2 ⎥⎥ ⎢⎣ 0 0 0 ⎥⎦ ⎡ x1 ⎤ ⎡ s⎤ ⎢ x ⎥ = ⎢− s ⎥ , ⎢ 2⎥ ⎢ ⎥ ⎢⎣ x 3 ⎥⎦ ⎢⎣ s ⎥⎦ 2⎤ − 2⎥⎥ − 1 ⎥⎦ Ruang eigen = ~ 2⎤ − 2⎥⎥ − 1 ⎥⎦ ⎡1 ⎢0 ⎢ ⎢⎣ 0 ⎡ x1 ⎤ ⎢x ⎥ ⎢ 2⎥ ⎢⎣ x 3 ⎥⎦ 0 1 0 = 0 − 1⎤ 1 ⎥⎥ 0 ⎥⎦ ⎡ 1⎤ basis ruang eigen bisa berupa ⎢⎢− 1⎥⎥ ⎢⎣ 1 ⎥⎦ Untuk λ = 1 2⎤ ⎡0 0 ⎢ Didapatkan persamaan ⎢0 0 − 2⎥⎥ ⎢⎣ 1 0 1 ⎥⎦ 2⎤ 1⎤ ⎡0 0 ⎡1 0 ⎡1 0 ⎢0 0 − 2 ⎥ ~ ⎢ 0 0 − 2 ⎥ ~ ⎢ 0 0 ⎢ ⎢ ⎢ ⎥ ⎥ ⎢⎣ 1 0 ⎢⎣ 0 0 ⎢⎣ 0 0 1 ⎥⎦ 2 ⎥⎦ Ruang eigen = ⎡ x1 ⎤ ⎢x ⎥ ⎢ 2⎥ ⎢⎣ x 3 ⎥⎦ = ⎡ 0⎤ ⎢s ⎥ ⎢ ⎥ ⎢⎣ 0⎥⎦ ⎡ x1 ⎤ ⎢x ⎥ ⎢ 2⎥ ⎢⎣ x 3 ⎥⎦ 0⎤ 1 ⎥⎥ 0 ⎥⎦ = 0 , basis ruang eigen bisa berupa ⎡ ⎢ ⎢ ⎢⎣ 0⎤ 1⎥⎥ 0⎥⎦ Untuk λ = 2 Didapatkan persamaan ⎡1 0 ⎢0 1 ⎢ ⎢⎣ 1 0 2⎤ − 2⎥⎥ 2 ⎥⎦ Ruang eigen ⎡1 0 ~ ⎢⎢ 0 1 ⎢⎣ 0 0 ⎡ x1 ⎤ = ⎢⎢ x 2 ⎥⎥ = ⎢⎣ x 3 ⎥⎦ ⎡1 0 ⎢0 1 ⎢ ⎢⎣ 1 0 2⎤ − 2⎥⎥ 2 ⎥⎦ ⎡ x1 ⎤ ⎢x ⎥ ⎢ 2⎥ ⎢⎣ x 3 ⎥⎦ = 0 2⎤ − 2⎥⎥ 0 ⎥⎦ ⎡ − 2 s⎤ ⎢ 2s ⎥ ⎢ ⎥ ⎢⎣ s ⎥⎦ , basis ruang eigen bisa berupa ⎡ − 2⎤ ⎢ 2⎥ ⎢ ⎥ ⎢⎣ 1 ⎥⎦ Jadi terdapat tiga buah basis ruang eigen yang bebas linear yang bersesuaian dengan nilai eigen –1 , 1 dan 2. Untuk kasus yang khusus , jika A memiliki n buah nilai eigen = λ , maka akan memiliki nilai eigen λk . Jika banyaknya nilai eigen dari Ak sebanyak n juga maka basis ruang eigennya tatap sama , tetapi jika jumlah nilai eigennya kurang dari n ( ini terjadi jika ada nilai eigen yang saling berlawanan tanda ), maka salah satu nilai eigennya akan memiliki basis ruang eigen yang berbeda . Halaman 45 Matematika Teknik 1 Contoh 7.1.2 2 B=A = ⎡ 3 0 − 2⎤ = ⎢⎢ − 2 1 2 ⎥⎥ ⎢⎣ − 1 0 2 ⎥⎦ Maka nilai eigen untuk B adalah : −12 , 12 ,22 dengan basis ruang eigen untuk λ=1 λ=4 ⎡ 1⎤ , basis ruang eigennya : ⎢⎢ 0⎥⎥ ⎢⎣ 1⎥⎦ ⎡ − 2⎤ , basis ruang eigennya : ⎢⎢ 2 ⎥⎥ ⎢⎣ 1 ⎥⎦ dan ⎡ ⎢ ⎢ ⎢⎣ 0⎤ 1⎥⎥ 0⎥⎦ Pada contoh ini, untuk λ = 1 , memiliki dua basis ruang eigen yang berasal dari nilai eigen –1 dan 1 . Karena berasal dari dua nilai eigen yang berbeda maka basis ruang eigennya juga mengalami sedikit perubahan yaitu untuk basis ruang eigen dengan λ = −1. Basis ruang eigen ⎡ 1⎤ ⎢− 1⎥ ⎢ ⎥ ⎢⎣ 1 ⎥⎦ terhadap vektor ⎡ ⎢ ⎢ ⎢⎣ 1⎤ 0⎥⎥ . 1⎥⎦ ⎡ ⎢ ⎢ ⎢⎣ 1⎤ 0⎥⎥ 1⎥⎦ ini merupakan vektor proyeksi Dalam hal ini basis ruang eigen untuk λ = −1 dibuat saling orthogonal . Cara lain yang bisa digunakan untuk menentukan basis ruang eigen tentunya dengan memasukkan nilai λ = −1 kedalam persamaan karakteristik seperti cara sebelumnya. VII.2 Diagonalisasi Pada pembahasan kali ini adalah mengenai penentuan matriks diagonal D dan matriks pendiagonal P yang berkaitan dengan basis ruang eigen yang telah dipelajari pada bahasan sebelumnya. Jika A matriks bujursangkar berukuran n , dan terdapat matriks diagonal D sedemikian hingaga D = P–1AP sehingga dikatakan matriks A dapat didiagonalisasi. P merupakan matriks n x n yang kolom – kolomnya merupakan vektor – vektor kolom dari basis ruang eigen A. P disebut matriks yang mendiagonalisasi A , sedangkan D merupakan matriks diagonal yang elemen diagonalnya merupakan semua nilai eigen dari A. Tidak semua matriks bujur sangkar dapat didiagonalisasi tergantung dari jumlah basis ruang eigen yang dimiliki. Jika matriks bujur sangkar berukuran n dan basis ruang eigen yang bebas linear berjumlah n juga, maka matriks tersebut dapat didiagonalisai , jika jumlahnya kurang dari n maka tidak dapat didiagonalisasi. Pada saat matriks memiliki nilai eigen sejumlah n , maka basis ruang eigennya juga akan berjumlah n , sedangkan pada saat jumlah nilai eigennya kurang dari n , masih ada dua kemungkinan yaitu jumlah nilai eigennya sama dengan n atau jumlah nilai eigennya kurang dari n . Jadi pada saat jumlah nilai eigen sama dengan n maka matriks dapat didiagonalisasi, Halaman 46 Matematika Teknik 1 sedangkan pada saat jumlah nilai eigen kurang dari n belum bisa ditentukan apakah matriks bisa didiagonalisasi atau tidak . Secara umum untuk menentukan matriks pendiagonal P dan matriks diagonal D adalah sebagai berikut : Misal A matriks bujur sangkar n x n memiliki n buah basis ruang eigen yang bebas linear x 1 , x 2, …, x n yang bersesuaian dengan nilai eigen λ1, λ2, . . ., λn (λi tidak harus berbeda dengan λj ),maka matriks pendigonal P bisa diambil matriks diagonalnya adalah : sebagai , P = [ x 1 x 2 x n ] dengan D= ⎡λ1 0 ⎢ ⎢ 0 λ2 ⎢: : ⎢ 0 0 ⎣ 0⎤ ⎥ 0 0⎥ . : :⎥ ⎥ 0 λn ⎦ 0 Contoh 7.2.1 ⎡ 1 0 − 2⎤ 2 ⎥⎥ , tentukan ⎢⎣− 1 0 0 ⎥⎦ Diketahui A = ⎢⎢ 0 1 matriks yang mendiagonalisasi A dan matriks diagonalnya ! Jawab Dari jawaban pada contoh 7.1.1 , didapatkan nilai eigen : −1 , 1, dan 2 dengan basis ruang eigen yang bersesuaian berturut – turut adalah ⎡ 1⎤ ⎢− 1⎥ , ⎢ ⎥ ⎢⎣ 1 ⎥⎦ ⎡ ⎢ ⎢ ⎢⎣ 0⎤ 1⎥⎥ , 0⎥⎦ ⎡ − 2⎤ ⎢ 2⎥. ⎢ ⎥ ⎢⎣ 1 ⎥⎦ Jadi matriks pendiagonal P bisa ditentukan sebagai : P= ⎡ 1 0 − 2⎤ ⎢ −1 1 2 ⎥⎥ ⎢ ⎢⎣ 1 0 1 ⎥⎦ dengan matriks diagonalnya adalah , D = ⎡ −1 0 ⎢ 0 1 ⎢ ⎢⎣ 0 0 0⎤ 0⎥⎥ . 2⎥⎦ Kolom – kolom pada matriks P juga dapat dirubah– ubah urutannya sehingga kalau dihitung ada sebanyak 6 matriks yang memenuhi jawaban , selanjutnya matriks D akan mengikuti urutan dari matriks P . Contoh 7.2.2 Diketahui B = ⎡ 2 1 − 1⎤ ⎢ 0 1 1 ⎥⎥ ⎢ ⎢⎣ 0 2 0⎥⎦ Apakah B dapat didiagonalisasi ? Jika dapat tentukan matriks yang mendiagonalisasi B beserta matriks diagonalnya ! Halaman 47 Matematika Teknik 1 Jawab Persamaan karakteristik : det (λ I – B ) = 0 Det ⎡ λ − 2 −1 ⎢ 0 λ −1 ⎢ ⎢⎣ 0 −2 1⎤ − 1⎥⎥ = ( λ λ ⎥⎦ – 2 ) (λ2 – λ –2 ) = ( λ – 2 ) (λ + 1 ) ( λ –2 ) = 0 Jadi nilai eigen : –1 , 2 Karena hanya ada dua nilai eigen , maka belum bisa ditentukan apakah B dapat didiagonalisasi ataukah tidak. Untuk itu akan dicari banyaknya basis ruang eigen. Untuk λ = 2 , substitusi nilai λ = 2 ke persamaan ( λ I – B ) x = 0 ⎡ 0 −1 ⎢ 0 1 ⎢ ⎣⎢ 0 − 2 1⎤ − 1⎥⎥ x 2 ⎦⎥ ⎡ 0 −1 ⎢ 0 1 ⎢ ⎢⎣ 0 − 2 1⎤ − 1⎥⎥ 2 ⎥⎦ Ruang eigen : = 0 ⎡ 0 ~ ⎢⎢ 0 ⎢⎣ 0 ⎡s ⎤ x = ⎢⎢ t ⎥⎥ ⎢⎣ t ⎥⎦ − 1⎤ 0 ⎥⎥ 0 ⎥⎦ 1 0 0 = ⎡1⎤ ⎢0 ⎥ s ⎢ ⎥ ⎢⎣0⎥⎦ + ⎡0 ⎤ ⎢1 ⎥ t ⎢ ⎥ ⎢⎣1⎥⎦ ⎡1⎤ ⎡0 ⎤ ⎢⎣0⎥⎦ ⎢⎣1⎥⎦ Jadi untuk λ = 2 terdapat dua basis ruang eigen : ⎢⎢0⎥⎥ dan ⎢⎢1⎥⎥ Untuk λ = –1 , substitusi nilai λ = –1 ke persamaan ( λ I – B ) x = 0 ⎡ −3 ⎢ 0 ⎢ ⎢⎣ 0 ⎡ −3 ⎢ 0 ⎢ ⎢⎣ 0 −1 −2 −2 −1 −2 −2 1⎤ − 1 ⎥⎥ x − 1⎥⎦ = 0 1⎤ − 1 ⎥⎥ − 1⎥⎦ ⎡ 3 ⎢ 0 ⎢ ⎢⎣ 0 Ruang eigen : x = ~ 1 2 0 − 1⎤ 1 ⎥⎥ 0 ⎥⎦ ~ ⎡ 3 ⎢ ⎢ 0 ⎢ 0 ⎣ 0 2 0 ⎤ ⎥ 1⎥ 0⎥ ⎦ 3 2 ⎡− t ⎤ ⎡− 1⎤ ⎢− t ⎥ = ⎢− 1⎥ t ⎢ ⎥ ⎢ ⎥ ⎢⎣ 2t ⎥⎦ ⎢⎣ 2 ⎥⎦ Jadi untuk λ = −1 terdapat satu basis ruang eigen : ⎡− 1⎤ ⎢− 1⎥ ⎢ ⎥ ⎢⎣ 2 ⎥⎦ Jadi B dapat didiagonalisasi dengan matriks yang mendiagonalisasi Halaman 48 Matematika Teknik 1 P= − 1⎤ − 1⎥⎥ 2⎥⎦ ⎡ 1 0 ⎢ 0 1 ⎢ ⎢⎣ 0 1 dengan matriks diagonal D = ⎡ 2 ⎢ 0 ⎢ ⎢⎣ 0 0 2 0 0⎤ 0⎥⎥ − 1⎥⎦ Contoh 7.2.3 Diketahui C = ⎡1 0 − 2⎤ ⎢0 1 0 ⎥⎥ ⎢ ⎢⎣0 1 2 ⎥⎦ Jawab Persamaan karakteristik : det (λ I − C ) = 0 Det 0 ⎡ λ −1 ⎢ 0 λ −1 ⎢ ⎢⎣ 0 −1 2 ⎤ 0 ⎥⎥ = ( λ λ − 2⎥⎦ – 1 )2 ( λ –2 ) = 0 Jadi nilai eigen : 1 , 2 Karena hanya ada dua nilai eigen maka belum bisa ditentukan apakah C dapat didiagonalisasi ataukah tidak. Untuk itu akan diperiksa banyaknya basis ruang eigen. Untuk λ = 1 , substitusi nilai λ = 2 ke persamaan ( λ I – C ) x = 0 ⎡ ⎢ ⎢ ⎢⎣ ⎡ ⎢ ⎢ ⎢⎣ 2⎤ 0 0 0 ⎥⎥ x = 0 0 − 1 − 1⎥⎦ 0 0 2⎤ ⎡ 0 ⎥ 0 0 0 ⎥ ~ ⎢⎢ 0 ⎢⎣ 0 0 − 1 − 1⎥⎦ ⎡s ⎤ Ruang eigen : x = ⎢⎢0⎥⎥ ⎢⎣0⎥⎦ 0 0 1 0 0 0⎤ 1⎥⎥ 0 ⎥⎦ Jadi untuk λ = 1, ada satu basis ruang eigen yaitu : ⎡1 ⎤ ⎢0 ⎥ ⎢ ⎥ ⎣⎢0⎦⎥ Untuk λ = 2 , substitusi nilai λ = 2 ke persamaan ( λ I – C ) x = 0 ⎡ 1 0 ⎢ 0 1 ⎢ ⎢⎣ 0 − 1 2⎤ 0⎥⎥ x 0 ⎥⎦ = 0 Halaman 49 Matematika Teknik 1 ⎡ 1 0 ⎢ 0 1 ⎢ ⎢⎣ 0 − 1 2⎤ 0⎥⎥ 0 ⎥⎦ Ruang eigen : ⎡ 1 0 ~ ⎢⎢ 0 1 ⎢⎣ 0 0 ⎡− 2s ⎤ x = ⎢⎢ 0 ⎥⎥ ⎢⎣ s ⎥⎦ 2⎤ 0⎥⎥ 0 ⎥⎦ Jadi untuk λ = 1, ada satu basis ruang eigen yaitu : ⎡− 2⎤ ⎢ 0⎥ ⎢ ⎥ ⎢⎣ 1 ⎥⎦ Karena hanya ada dua basis ruang eigen yang bebas linear, maka C tidak dapat didiagonalisasi VII.3 Diagonalisasi orthogonal Sebelum membahas lebih lanjut mengenai diagonalisasi orthogonal akan didefinisikan tentang matriks orthogonal. Matriks bujur sangkar P disebut matriks orthogonal bila berlaku Pt = P−1. Matriks A dapat didiagonalisasi secara orthogonal jika terdapat P orthogonal sehingga P−1 A P = D dengan D adalah matriks diagonal. Berbeda dengan masalah diagonalisasi sebelumnya , maka pada pembahasan kali ini ada sedikit perbedaan tentang matriks yang bisa didiagonalisasi ataukah tidak , yaitu : P−1 A P = D P D P−1 = A P D Pt = A ( dari sifat Pt = P−1 ) ……………………………………….( 1 ) (P D Pt )t = At ( kedua ruas ditransposekan ) P D Pt = At ……………………………………………………………. ( 2 ) Dari persamaan 1 dan 2 didapatkan agar A bisa didiagonalisasi secara orthogonal maka matriks A harus memenuhi sifat A = At ( A harus matriks simetri ). Menentukan matriks P yang mendiagonalisasi secara orthogonal Cara menentukan matriks P pada diagonalisasi orthogonal ini sebenarnya hampir sama dengan penentuan P pada diagonalisasi sebelumnya yaitu didasarkan pada basis ruang eigen yang telah diperoleh sebelumnya. Misalkan x 1 , x 2, …, x n merupakan basis ruang eigen yang bersesuaian dengan nilai eigen λ1, λ2, . . ., λn kemudian u 1 , u 2, …, u n merupakan himpunan orthonormal hasil transformasi dari x 1 , x 2, …, x n dengan hasil kali dalam Euclides , maka matriks yang mendiagonalisasi secara orthogonal adalah P = [ u 1 u 2, … u n ] sedangkan matriks diagonal D sama dengan matriks diagonal D pada bahasan sebelumnya. Halaman 50 Matematika Teknik 1 Contoh 7.3.1 Diketahui A = ⎡1 0 1⎤ ⎢0 0 0 ⎥ ⎢ ⎥ ⎢⎣1 0 1⎥⎦ Tentukan matriks yang mendiagonalisasi A secara orthogonal beserta matriks diagonalnya ! Jawab Persamaan karakteristik : det (λ I − A ) = 0 Det ⎡ λ −1 0 ⎢ 0 λ ⎢ ⎢⎣ − 1 0 −1 ⎤ 0 ⎥⎥ = ( λ λ − 1⎥⎦ − 1 )2 λ − λ = λ { ( λ − 1 )2 – 1 } = 0 Nilai eigen : 0 , 2 Untuk λ = 0 , substitusi nilai λ = 0 ke persamaan ( λ I – A ) x = 0 − 1⎤ 0 0 0 ⎥⎥ x = 0 − 1 0 − 1⎥⎦ − 1 0 − 1⎤ ⎡ 1 0 1⎤ ⎥ 0 0 0 ⎥ ~ ⎢⎢ 0 0 0⎥⎥ ⎢⎣ 0 0 0⎥⎦ − 1 0 − 1⎥⎦ ⎡− 1⎤ ⎡− s ⎤ ⎢ ⎥ Ruang eigen : x = ⎢ t ⎥ = ⎢⎢ 0 ⎥⎥ s ⎢⎣ 1 ⎥⎦ ⎢⎣ S ⎥⎦ ⎡ ⎢ ⎢ ⎢⎣ ⎡ ⎢ ⎢ ⎢⎣ −1 0 + ⎡0 ⎤ ⎢1 ⎥ t ⎢ ⎥ ⎢⎣0⎥⎦ ⎡1⎤ ⎡0 ⎤ ⎢⎣0⎥⎦ ⎢⎣1⎥⎦ Jadi untuk λ = 0 terdapat dua basis ruang eigen : ⎢⎢0⎥⎥ dan ⎢⎢1⎥⎥ Halaman 51 Matematika Teknik 1 BAB VIII Transformasi Linear VIII.1 Pendahuluan Suatu fungsi yang memetakan suatu vektor di ruang vektor V ke ruang vektor W ( dinotasikan dengan T : V Æ W ) disebut sebagai transformasi linear bila untuk setiap u , v ∈ V berlaku: 1. 2. T (u + v ) = T (u) + T (v) T ( k u ) = k T ( u ) , dengan k skalar. Contoh 8.1.1 T : R Æ R 2 Diketahui 3 ⎛ x − y⎞ ⎟ ⎛ x⎞ ⎜ T ⎜⎜ ⎟⎟ = ⎜ x ⎟ ⎝ y⎠ ⎜ y ⎟ ⎝ ⎠ dengan , Apakah T merupakan transformasi linear ? Jawab ⎛x ⎞ ⎛x ⎞ Misalkan u = ⎜⎜ 1 ⎟⎟ , v = ⎜⎜ 2 ⎟⎟ ⎝ y1 ⎠ ⎝ y2 ⎠ Syarat 1 ⎛x +x ⎞ u + v = ⎜⎜ 1 2 ⎟⎟ maka ⎝ y1 + y 2 ⎠ T (u + v ) = T ⎛ x1 + x 2 ⎞ ⎜⎜ ⎟⎟ ⎝ y1 + y 2 ⎠ = ⎛ x1 + x 2 − ( y1 + y 2 ) ⎞ ⎜ ⎟ x1 + x 2 ⎜ ⎟ ⎜ ⎟ y1 + y 2 ⎝ ⎠ = ⎛ x1 − y1 ⎞ ⎜ ⎟ ⎜ x1 ⎟ ⎜ y ⎟ 1 ⎝ ⎠ + ⎛ x2 − y2 ⎞ ⎜ ⎟ ⎜ x2 ⎟ ⎜ y ⎟ 2 ⎝ ⎠ = T (u) + T (v) Syarat 2 ⎛k x ⎞ Untuk sembarang skalar k , k u = ⎜⎜ 1 ⎟⎟ ky ⎝ T ( ku) = T ⎛ k x1 ⎞ ⎜⎜ ⎟⎟ ⎝ k y1 ⎠ = 1⎠ ⎛ kx1 − ky1 ⎞ ⎜ ⎟ ⎜ kx1 ⎟ ⎜ ky ⎟ 1 ⎝ ⎠ Kedua syarat terpenuhi , jadi ⎛ x1 − y1 ⎞ ⎜ ⎟ = k ⎜ x1 ⎟ = k T ( u ) ⎜ y ⎟ 1 ⎝ ⎠ ⎛x − y⎞ ⎟ ⎛ x⎞ ⎜ T ⎜⎜ ⎟⎟ = ⎜ x ⎟ merupakan ⎝ y⎠ ⎜ y ⎟ ⎝ ⎠ transformasi linear. Contoh 8.1.2 ⎛ x⎞ ⎛ 2x ⎞ ⎜ ⎟ Apakah T :R2 Æ R3 dengan T ⎜⎜ ⎟⎟ = ⎜ x 2 ⎟ merupakan transformasi linear ? ⎝ y⎠ ⎜ y 2 ⎟ ⎝ ⎠ Halaman 52 Matematika Teknik 1 Jawab Fungsi diatas bukan transformasi linear karena tidak memenuhi syarat ke–2 yaitu untuk sembarang skalar k, T( k u ) = ⎛ k 2 x1 ⎞ ⎜ 2⎟ ⎜ (kx1 ) ⎟ ⎜ (ky ) 2 ⎟ ⎝ 1 ⎠ ≠ k T( u ) = k ⎛ 2 x1 ⎞ ⎜ 2⎟ ⎜ x1 ⎟ ⎜y 2 ⎟ ⎝ 1 ⎠ Beberapa istilah dalam transformasi linear Diketahui ruang vektor V, W - Transformasi linear yang bekerja pada ruang vektor yang sama , T : V ÆV disebut operator linear . - Transformasi linear T : V Æ W dengan dengan T( u ) = 0 disebut transformai nol . - Transformasi linear T : V Æ W dengan dengan T( u ) = A u disebut transformasi matriks sedangkan A disebut matriks transformasi. VIII.2 Kernel ( inti ) dan Jangkauan Diketahui transformasi linear T : V Æ W dengan fungsi T( u ) , u ∈ V Kernel dari T ( disingkat Ker(T) ) adalah himpunan u sedemikian hingga T( u ) = 0 atau { u | T( u ) = 0 }. Ker (T) juga disebut ruang nol dari T. Himpunan dari b sedemikian hingga T( u ) = b disebut Jangkauan dari T atau disingkat R(T) R.(T) disebut juga dengan bayangan u oleh T( u ) Contoh 8.2.1 Tentukan basis dan dimensi dari Ker(T) dan R(T) dari transformasi linear ⎡ 1 T : R3 Æ R2 dengan T( u ) = A u , dengan u ∈ R3 dan A = ⎢ ⎣− 2 Jawab −1 2 ⎤ 2 − 4⎥⎦ a. Kernel Ker(T) adalah ruang nol dari T( u ) = A u = 0 . Jadi Ker(T) merupakan ruang solusi dari SPL A u = 0 . Dengan melakukan eliminasi Gauss– Jordan didapatkan solusi SPL adalah u = Jadi basis Kert(T) = ⎡1⎤ ⎡ − 2⎤ ⎢1⎥ , ⎢ 0 ⎥ ⎢ ⎥ ⎢ ⎥ ⎢⎣0⎥⎦ ⎢⎣ 1 ⎥⎦ ⎡ s − 2t ⎤ ⎡1 ⎤ ⎡− 2⎤ ⎢ s ⎥ = ⎢ 1⎥ s + ⎢ 0 ⎥ t ⎢ ⎥ ⎢ ⎥ ⎢ ⎥ ⎢⎣ t ⎥⎦ ⎢⎣0 ⎥⎦ ⎢⎣ 1 ⎥⎦ dan dim Ker(T) = 2 Halaman 53 Matematika Teknik 1 b. Jangkauan R(T) merupakan himpunan dari b dengan A u = b . Kalau kita perhatikan maka R(T) merupakan ruang kolom dari A. Dari eliminasi Gauss – Jordan ⎡ 1 − 1 2⎤ 0 0⎥⎦ pada A didapatkan A ~ …~ ⎢ ⎣0 ⎡ 1⎤ Jadi basis R(T) merupakan basis ruang kolom A yaitu : ⎢ ⎥ dan dim R(T) = 1. ⎣− 2⎦ VIII.3 Matriks transformasi Ketika membahas masalah transformasi matriks , maka hal utama yang ingin diketahui tentunya adalah bayangan suatu vektor dari transformasi tersebut dan matriks transformasinya . Penentuan matriks transformasi tergantung dari faktor – faktor yang diketahui. Contoh 8.3.1 Misal { v 1, v 2, v 3 } merupakan basis R3. Transformasi linear T : R3 Æ P2 memiliki fungsi T( v i ) = w i dengan v 1= ( 1,1,–1 ) , v 2 = ( 0,1,–1 ) , v 3 = ( 0,0,–1 ) , p(x) = 1 – x +x2 , q(x) = 1+ 2x2 r(x) = 2x – x2 . a. Tentukan matriks transformasi A sedemikian hingga A v i = w i ! b. Tentukan bayangan ( 1,2,1 ) dari transformasi tersebut ! c. Jika [ z ]A = ⎡ − 1⎤ ⎢ − 1⎥ , ⎢ ⎥ ⎢⎣ 1 ⎥⎦ tentukan bayangan z ! Jawab A v i = w i , jika B =[ v 1 v 2 v 3 ] dan C = [ p(x) q(x) r(x) ] maka AB = C Karena v 1, v 2, v 3 basis R3 , maka B bujursangkar dan B–1 ada sehingga didapatkan A = CB–1 . Pada soal diatas a. B= ⎡ 1 0 0⎤ ⎢ 1 1 0⎥ ⎢ ⎥ ⎢⎣− 1 − 1 − 1⎥⎦ ,C= 1 ⎡ 1 ⎢ −x 0 ⎢ ⎢⎣ x 2 2 x 2 0 ⎤ 2 x ⎥⎥ − x 2 ⎥⎦ –1 –1 Kemudian B dicari dan didapatkan B = –1 Jadi A = CB = ⎡ 0 ⎢ −x ⎢ ⎢⎣ − x 2 1 − 2x − 2x 2 0⎤ ⎡ 1 0 ⎢− 1 1 0 ⎥⎥ ⎢ ⎢⎣ 0 − 1 − 1⎥⎦ 0 ⎤ − 2 x ⎥⎥ x 2 ⎥⎦ Halaman 54 Matematika Teknik 1 b. Bayangan dari ( 1,2,1) adalah ⎡1 ⎤ ⎡1 ⎤ ⎢ ⎥ T ⎢2⎥ = A ⎢⎢2⎥⎥ ⎢⎣1 ⎥⎦ ⎢⎣1⎥⎦ = ⎡ 0 ⎢ −x ⎢ ⎢⎣ − x 2 1 − 2x − 2x 2 0 ⎤ − 2 x ⎥⎥ x 2 ⎥⎦ ⎡1 ⎤ ⎢ 2⎥ ⎢ ⎥ ⎢⎣1 ⎥⎦ = ⎡ 2 ⎤ ⎢ − 5x ⎥ ⎢ ⎥ ⎢⎣− 4 x 2 ⎥⎦ = 2 –5x –4x2 ⎡− 1⎤ c. [ z ]B = ⎢⎢− 1⎥⎥ berarti z = – v 1 − v 2 + v 3 , bayangan z dapat ditentukan ⎢⎣ 1 ⎥⎦ dengan beberapa cara , yaitu : 1. T( z ) = A z , dengan A adalah matriks transformasi pada jawaban (a)! ⎡− 1⎤ 2. dapat dicari tanpa menggunakan A . Karena [ z ]A = ⎢⎢− 1⎥⎥ = k , ⎢⎣ 1 ⎥⎦ maka z = B k sehingga T( z ) = T( B k ) = AB k = C k . Jadi T( z ) = C k = 1 ⎡ 1 ⎢ −x 0 ⎢ 2 2x 2 ⎣⎢ x 0 ⎤ 2 x ⎥⎥ − x 2 ⎦⎥ ⎡− 1⎤ ⎢− 1⎥ = ⎢ ⎥ ⎣⎢ 1 ⎦⎥ ⎡ −2 ⎢ 3x ⎢ 2 ⎣⎢ − 4 x ⎤ ⎥ = −2 +3x – 4x2 ⎥ ⎦⎥ Matriks baku / standar Misal transformasi matriks T : Rn Æ Rm dengan T( x ) = A x memiliki basis standar S = { e 1, e 2,… , e n } . Maka matriks transformasi dari transformasi diatas ( matriks standar untuk T ) adalah A = [ T( e 1) T( e 2) … T( e n) ] Contoh 8.3.2 Diketahui transformasi matriks T : R3 Æ R4 dengan ⎡2 x + 2 y ⎤ ⎡ x⎤ ⎢ x − y ⎥⎥ T ⎢⎢ y ⎥⎥ = ⎢ ⎢ x+z ⎥ ⎢⎣ z ⎥⎦ ⎢ ⎥ ⎣ y+z ⎦ , Tentukan matriks standar untuk T ! Jawab ⎡ 2 .1 + 2 .0 ⎤ ⎡ 2 ⎤ ⎡1⎤ ⎢ 1 − 0 ⎥⎥ ⎢⎢1⎥⎥ = T [e1 ] = T ⎢⎢0⎥⎥ = ⎢ ⎢ 1 + 0 ⎥ ⎢1 ⎥ ⎢⎣0⎥⎦ ⎢ ⎥ ⎢ ⎥ ⎣ 0 + 0 ⎦ ⎣0⎦ , ⎡ 2⎤ ⎡0⎤ ⎢ ⎥ −1 T [e2 ] = T ⎢⎢1 ⎥⎥ = ⎢ ⎥ ⎢ 0⎥ ⎢⎣0⎥⎦ ⎢ ⎥ ⎣ 1⎦ , ⎡0 ⎤ ⎡0⎤ ⎢ ⎥ 0 T [e3 ] = T ⎢⎢0⎥⎥ = ⎢ ⎥ ⎢1 ⎥ ⎢⎣1⎥⎦ ⎢ ⎥ ⎣1 ⎦ Halaman 55 Matematika Teknik 1 Jadi matriks standar untuk T = A = ⎡2 2 ⎢1 − 1 ⎢ ⎢1 0 ⎢ ⎣0 1 0⎤ 0⎥⎥ 1⎥ ⎥ 1⎦ dengan A ⎡2 x + 2 y ⎤ ⎡ x⎤ ⎢ ⎥ ⎢ y⎥ = ⎢ x − y ⎥ ⎢ ⎥ ⎢ x+z ⎥ ⎢⎣ z ⎥⎦ ⎢ ⎥ ⎣ y+z ⎦ Matriks Transformasi terhadap basis A dan B Diketahui ruang V,W dengan dimensi ruang vektor berturut–turut n dan m dan transformasil linear T: V Æ W dengan fungsi T( x ) , x ∈ V. Jika A,B merupakan basis V,W maka untuk setiap x ∈ V dapat ditentukan [x ]A dengan [x ]A ∈ V. Karena T( x ) ∈ V maka juga dapat ditentukan [T( x )]B [T( x)]B dengan ∈ B. Sekarang misalnya dimiliki transformasi linear yang lain T: V Æ W dengan fungsi T( [x ]A ) = [T( x )]B = D [x ]A , maka matriks transformasi dari transformasi linear diatas ( D ) disebut matriks T terhadap basis A dan B. Menentukan matriks T terhadap basis A dan B. Misal D = ⎡ a11 ⎢a ⎢ 21 ⎢ : ⎢ ⎣a m1 am2 ⎤ : a m 2 ⎥⎥ : : ⎥ ⎥ ... a m1 ⎦ a12 : a 22 : am2 , A = { a 1, a 2,…, a n } , B = { b 1, b 2,…, b n } Maka untuk x = a 1 didapatkan T( [ a 1]A ) = D [ a 1]A = D e 1 = [T(a 1 )]B ⎡ a11 ⎤ ⎢a ⎥ ⎢ 21 ⎥ = ⎢ : ⎥ ⎢ ⎥ ⎣a m1 ⎦ , kalau diperhatikan secara seksama maka vektor ini merupakan kolom pertama dari D. Secara umum matriks Transformasi (T) terhadap basis A dan B = [ [T(a 1 )]B [T(a 2 )]B ...[T(a n )]B ] . Jika transformasi linear bekerja diruang vektor yang sama , T : V Æ V , maka matriks T terhadap basis A = [ [T(a 1 )]A [T(a 2 )]A ...[T(a n )]A ] Contoh 8.3.3 ⎛ ⎡ x⎤ ⎞ ⎡ y ⎤ Diketahui transformasi linear T : R2 Æ R3 = dengan T ⎜⎜ ⎢ ⎥ ⎟⎟ = ⎢⎢ − 5 x + 13 y ⎥⎥ ⎝ ⎣ y ⎦ ⎠ ⎢− 7 x + 16 y ⎥ ⎣ ⎦ Jika A = { (3,1), ( 5,2) } dan B = { ( 1,0,–1) , ( –1,2,2 ) , ( 0,1,2) } berturut – turut merupakan basis R2 dan R3 . a. Tentukan matriks T terhadap basis A dan B ! b. Untuk x = ( 2,1 ) , tentukan T( [x ]A ) ! Halaman 56 Matematika Teknik 1 Jawab a. Misal D adalah matriks T terhadap basis A dan B , maka D = ⎡ ⎡ ⎛ ⎡3⎤ ⎞⎤ ⎡ ⎛ ⎡5⎤ ⎞⎤ ⎢ ⎢T ⎜ ⎢ ⎥ ⎟⎥ ⎢T ⎜ ⎢ ⎥ ⎟⎥ ⎢ ⎣⎢ ⎜⎝ ⎣1⎦ ⎟⎠⎦⎥ ⎣⎢ ⎜⎝ ⎣2⎦ ⎟⎠⎦⎥ B B ⎣ ⎛ ⎡3⎤ ⎞ T ⎜⎜ ⎢ ⎥ ⎟⎟ ⎝ ⎣1⎦ ⎠ = ⎡ 1⎤ ⎢− 2⎥ ⎢ ⎥ ⎢⎣ − 5⎥⎦ , ⎤ ⎥ ⎥ ⎦ ⎛ ⎡5 ⎤ ⎞ T ⎜⎜ ⎢ ⎥ ⎟⎟ ⎝ ⎣ 2⎦ ⎠ = ⎡ 2⎤ ⎢ 1⎥ ⎢ ⎥ ⎢⎣− 3⎥⎦ ⎡⎛ 1 ⎞⎤ ⎡ 1⎤ ⎡ ⎛ ⎡3⎤ ⎞⎤ ⎢⎜ ⎟⎥ ⎢ 0 ⎥ , T ⎛⎜ ⎡5 ⎤ ⎞⎟ ⎜ ⎟ = − 2 ... = = T ⎢ ⎜ ⎢ ⎥ ⎟⎥ ⎜ ⎟⎥ ⎢ ⎢ ⎥ ⎜ ⎢ 2⎥ ⎟ ⎝⎣ ⎦⎠ ⎣⎢ ⎝ ⎣1⎦ ⎠⎦⎥ B ⎢⎜ 5 ⎟⎥ ⎢ ⎥ 2 − ⎣ ⎦ ⎣⎝ ⎠⎦ B ⎡ 2⎤ ⎡ 3⎤ ⎢⎣− 3⎥⎦ ⎢⎣−1⎥⎦ = ⎢⎢ 1 ⎥⎥ = …= ⎢⎢ 1 ⎥⎥ ⎡ 1 3⎤ 1 ⎥⎥ ⎢⎣− 2 − 1 ⎥⎦ Jadi matriks T terhadap basis A dan B = ⎢⎢ 0 b. [x ]A = ⎡ k1 ⎤ ⎢k ⎥ ⎣ 2⎦ ⎡3 5⎤ ⎡ k ⎤ ⎡ 2⎤ ⎡k ⎤ ⎡− 1⎤ 1 1 Æ ⎢ ⎥ ⎢k ⎥ = ⎢1 ⎥ didapatkan ⎢k ⎥ = ⎢ 1 ⎥ 1 2 ⎣ ⎦ ⎣ 2⎦ ⎣ ⎦ ⎣ ⎦ ⎣ 2⎦ Jadi T( [x ]A ) = 3⎤ ⎡ 1 ⎡− 1⎤ ⎢ 0 1 ⎥⎥ ⎢ ⎥ ⎢ ⎣ 1⎦ ⎣⎢− 2 − 1 ⎦⎥ = ⎡ 2⎤ ⎢1 ⎥ ⎢ ⎥ ⎣⎢1 ⎦⎥ Halaman 57