BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang Permasalahan dalam ketidakpuasan tidak akan pernah berhenti untuk dijadikan suatu bahan penelitian karena ini merupakan penilaian yang dialami individu menyangkut perasaan dan sikap dalam melaksanakan pekerjaannya. Awal yang sangat penting bagi terciptanya kinerja organisasi adalah kinerja seorang karyawan. Organisasi tidak dapat mencapai tujuan organisasi dengan baik tanpa sumber daya manusia (SDM). Karyawan memiliki andil yang utama dalam mewujudkan tujuan organisasi sebagai perencana, pelaksana dan pengendali terciptanya suasana kerja yang menunjang pencapaian tujuan dengan pikiran, perasaan dan keinginan yang berperan untuk mempengaruhi sikap-sikap terhadap pekerjaan. Upaya dalam mengatasi suatu permasalahan yang kompleks, organisasi dapat membenahi perbaikan ke dalam dengan jalan pengembangan SDM. Organisasi membutuhkan karyawan yang akan memperlihatkan perilaku yang baik seperti membantu individu dalam tim atau kelompok, mengajukan diri untuk melakukan pekerjaan ekstra, menghindari konflik, disiplin, bersemangat, rendah hati, toleransi, lingkungan kerja, dan berbagai gangguan yang terkait dengan pekerjaan. Robbinson (2006) mengungkapkan kepuasan kerja merupakan suatu kondisi yang membuat orang bahagia dalam pekerjaan atau diluar pekerjaan sebagai hasil dari sebuah evaluasi karateristiknya. Faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja karyawan secara signifikan adalah faktor-faktor yang berhubungan dengan pekerjaan itu sendiri, kondisi kerja, rekan kerja, 1 2 pengawasan, promosi jabatan dan gaji. Kondisi kerja tersebut akan mempengaruhi kepuasan seperti pertambangan di kerja karyawan, Kalimatan Barat kasus demo buruh (httt://www.equator- News.com/utama/20120502/buruh-kalbar-berkutat-kasus-phk). Kasus ini mengulas mengenai aksi protes yang dilakukan para buruh di Kalimatan Barat yang ingin mencabut tuntutan Ketua Kadin mengenai pernyataannya tentang pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap ribuan buruh-buruh pertambangan dan menginginkan pembubaran serikat buruh. Kasus ini menunjukkan bahwa para buruh mengalami stres yang berdampak pada kondisi psikologis sehingga mengekspresikannya dalam bentuk demonstrasi yang mengancam kondisi mental, fisik, emosional, spiritual yang akibatnya menurunkan motivasi kerja. Permasalahan yang dapat terjadi pada setiap organisasi perusahaan ada sisi positif dan negatifnya. Kenyataan individu akan mengalami stres kerja yang positif dengan mendapatkan kesempatan promosi untuk kenaikan jabatan atau menerima reward. Schultz dan Schultz (1994) mengungkapkan bahwa promosi merupakan hal yang penting bagi karyawan karena memberikan kesempatan untuk meningkatkan karier serta pertumbuhan pribadi karyawan, sebaliknya bila keadaan tersebut justru menghambat dalam pencapaian tujuan yang diharapkan akan menimbulkan ketidakpuasan yang arahnya negatif termasuk burn-out (kelelahan, emosional, penurunan prestasi, absensi dan keluar dari pekerjaan dan akan mengakibatkan kesehatan terganggu. Kondisi tersebut berdampak pada lingkungan kerja serta dapat mengancam dan memberi tekanan secara psikologi, fisiologi dan sikap individu. Masalah lain ditemukan pada masalah upah atau gaji yang diterima karyawan mencerminkan perbedaan, tanggung jawab, pengalaman, kecakapan, 3 maupun senioritas. Permasalahan tenaga kerja atau buruh menjadi persoalan yang mendasar dalam urusan hubungan industrial di Indonesia. Berbagai aksi yang dilatarbelakangi oleh ketidakpuasan buruh dalam berbagai hal di bidang industri seperti demonstrasi dan mogok kerja. Hal yang paling pokok yang menjadi ketidakpuasan buruh adalah masalah upah yang mereka dapatkan. Pemerintah dalam menetapkan kebijakan upah yang rendah sehingga menguntungkan investor asing untuk menanamkan modal dan berinvestasi di Indonesia. Alasan pemerintah dalam memberlakukan upah rendah dilandasi dengan tingkat pendidikan dan keterampilan yang rendah sehingga kebijakan pemerintah tersebut dapat mengurangi jumlah pengangguran yang sangat tinggi. seperti kasus Nike salah satu perusahaan asal Amerika Serikat yang memproduksi sepatu, pakaian dan alat-alat olah raga. Kasus Nike di Indonesia didasari oleh pelanggaran dengan kaum buruh. Aturan diberlakukan dengan ketat sehingga kaum buruh amat rentang kehilangan pekerjaan dan hak-haknya seperti masalah pesangon terutama tentang upah dan jam kerja serta mengalami kekerasan fisik maupun psikis. Akhirnya buruh melakukan demonstrasi massal pada tahun 2007 dan baru ditanggapi tahun 2012. Maslow (1970) mengungkapkan bahwa kebutuhan manusia terdiri lima tingkatan yakni kebutuahan fisiologis, keamanan, sosial dan kasih sayang, harga diri, aktualisasi diri, sebaliknya kenyataan bahwa kepuasan kerja dalam lingkungan kerja tidak semata-mata terfokus pada masalah upah atau gaji yang diterima atas pekerjaan, tetapi ada aspek yang jauh lebih berpengaruh dalam kepuasan kerja karyawan. Penelitian Judge, Piccolo, Podsakoff, Shaw, & Rich (2010) mengungkapkan bahwa rata-rata tingkat kepuasan kerja menurut aspek 4 pekerjaan sangat didominasi oleh pekerjaan itu sendiri, dan bukan permasalahan gaji, karena setiap pekerja menuntut interaksi dengan rekan kerja, hubungan kerja antara pimpinan dan karyawan, mengikuti peraturan dan kebijaksanaan organisasi serta nilai-nilai budaya yang tertanam dalam organisasi tersebut. Setiap individu memiliki kewajiban dan hak untuk memenuhi kebutuhan dan menata kehidupannya yang layak, bermartabat dengan bekerja pada berbagai sektor pekerjaan salah satunya adalah bekerja sebagai karyawan buruh. Persoalan besar yang terjadi di Indonesia dengan krisis ekonomi yang semakin sulit, pengangguran, sulitnya lapangan kerja dan diperparah lagi dengan menjamurnya pemutusan hubungan kerja dan kebijakan-kebijakan yang sering kali bertentangan dengan Undang-undang, dan masalah ini telah menjadi budaya dikalangan perusahaan. Fenomena dalam lingkungan organisasi ditemukan kejadian-kejadian yang berdampak pada tekanan buruh-buruh pabrik mengenai jam kerja, pesangon, kesejateraan, keamanan, yang tidak sesuai dengan hasil kerja atau upah minimum regional (UMR) dan pemutusan hubungan kerja (PHK) sehingga banyak terjadi turnover yang mempengaruhi produktivitas perusahaan, seperti kasus karyawan buruh PT Securicor cabang Surabaya (2005) penyebab terjadinya PHK massal sebanyak 284 buruh karena adanya merger tingkat internasional. Ketidakpuasan pekerja dalam kasus ini disebabkan pihak perusahaan melakukan PHK massal tanpa memberikan uang pesangon kepada pekerjanya sehingga kasus ini berdampak terhadap kondisi psikologis dimana karyawan yang di PHK akan sulit memenuhi kebutuhan-kebutuhan dari hierarki Maslow yang menimbulkan pengangguran yang tinggi sehingga kebutuhan dasar tidak terpenuhi, sebab pihak perusahaan melakukan hal-hal yang minimum 5 hanya untuk menyelamatkan perusahaan dan pimpinan-pimpinannya tanpa memperdulikan pengabdian para buruh yang telah bekerja puluhan tahun menggantungkan nasibnya pada perusahaan. Masalah dalam organisasipun menjadi hal yang dapat menimbulkan ketidakpuasan antara lain aturan yang pelaksanaannya bersifat hierarki dalam perusahaan yang menekankan pada power cultur seperti yang terjadi pada buruh PT Toshiba 2009, memperjuangkan tentang revisi peraturan perusahaan yang tidak diterima oleh pihak menagemen, upah atau gaji dan tunjangan asuransi kesehatan dicabut. Kasus-kasus organisasi dan industri yang berdampak pada ketidakpuasaan karyawan menimbulkan aksi negatif berdampak pada kelangsungan produktivitas organisasai atau perusahaan yang mempengaruhi perkembangan psikologis para karyawan. Heilriegel dan Slocum (1986) mengungkapkan ada empat faktor yang dapat terjadi pada diri karyawan baik secara fisiologis maupun secara psikologis terhadap keinginan dan permintaan organisasi atau perusahaan yang menyebabkan stress kerja yaitu konflik, ketidakpastian, tekanan dari tugas serta hubungan dengan pihak managemen. Keadaan ini akan berdampak pada lingkungan kerja serta mengganggu dan memberi pengaruh pada individu sehingga dapat menurunkan produktivitas kerja karyawan serta beban kerja yang tinggi yang akan berdampak pada kondisi psikologi karyawan seperti, yang terjadi di PT Foxconn China pada tahun 2010 yakni, perusahaan yang memproduksi barang-barang elektronik seperti, Apple, Nitendo, Sony, dan HP. Aksi buruh melakukan bunuh diri massal dengan cara melompat gedung perusahaan dan menewaskan 14 orang buruh. Kasus ini disebabkan karena manager perusahaan memutuskan untuk menggeser sekitar 600 pekerja ke lini produksi yang baru tanpa gaji, pelatihan, dan sistem jam kerja 6 yang sangat tinggi yakni membungkus Komputer Acer, orderan dari perusahaan Taiwan. Dampak kasus ini menyebabkan 24000 pekerja mengundurkan diri karena ketidakpuasan dalam lingkungan kerja yang buruk, namun dengan kejadian ini managemen perusahaan mendapatkan suatu pelajaran dan pengalaman bagi perusahaan untuk lebih memperhatikan pekerjanya dan menjadikan pekerja sebagai prioritas yang utama (de-Britto, 2013). Masalahmasalah seperti ini masih menjadi perdebatan dalam pengelolaan managemen dalam perusahaan sehingga nantinya perusahaan menyadari betapa pentingnya sumber daya manusia yang menjadi roda penggerak perusahaan. Setiap perusahaan ingin karyawannya memiliki kemampuan produktivitas yang tinggi dalam bekerja akan tetapi, perusahaan tidak mampu membedakan mana karyawan yang produktif dan mana yang tidak produktif. Hal ini disebabkna perusahaan lebih terfokus pada upaya pencapaian target dan keinginan menjadi market leader. Perusahaan lupa kalau karyawan adalah investasi dari profit yang perlu dipelihara agar tetap dapat berproduksi dengan baik. Collins (2003) menyatakan salah satu persyaratan menjadi perusahaan yang hebat adalah rekrutmen pekerja yang baik menjadi human capital bagi organisasi. Modal manusia yang utama adalah kreativitas, intelektual, emosi positif, sosial dan keuletan (adversity). Hal ini sangat penting untuk mengetahui sifat-sifat kepribadian dalam upaya untuk mengidentifikasi dan memahami karateristik perilaku seseorang. kepuasan kerja tidak hanya berkaitan dengan kondisi pekerjaan, kepribadian juga memainkan peran yang sangat penting. Penelitian menunjukkan bahwa individu yang mempunyai kepribadian negatif, sebagai contoh mereka cenderung galak, keritis dan negatif biasanya kurang puas 7 dengan pekerjaan mereka dan merasa tidak senang bahkan dalam pekerjaan yang tampaknya sangat hebat. Kondisi-kondisi yang memungkinkan terjadinya suatu konflik atau masalah karena memiliki kepribadian yang tidak sehat seperti kurang mampu melakukan kerja sama dalam bekerja, daya konsentrasi yang kurang sehingga dapat menghancurkan mempengaruhi peningkatkan kualitas kerja. pekerjaan sehingga sangat Kepribadian secara keseluruhan merupakan cara berintraksi dan bereaksi dengan orang lain sehingga dapat menentukan cara untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan dalam mencapai tingkat kepuasan dalam pekerjaannya. Holland (1985) menyatakan hubungan antara kepribadian dan lingkungan dalam pekerjaan akan menentukan tingkat kepuasan pada pencapaian stabilitas kerja dan tingkat motivasi kerja. Kepuasan kerja menjadi hal yang penting karena dapat mempengaruhi produktivitas karyawan, sebab karyawan yang memiliki kepuasan yang tinggi akan memandang pekerjaannya sebagai hal yang menyenangkan, berbeda dengan karyawan yang memiliki kepuasan yang rendah akan melihat pekerjaannya sebagai hal yang menjemukan dan membosankan serta mempengaruhi tingkat absensi, semangat kerja menurun, keluhan-keluhan dan masalah-masalah personal vital lainnya, sehingga karyawan tersebut bekerja dalam keadaan terpaksa. Karyawan yang mayoritas kepuasannya rendah akan memiliki hasil kerja yang buruk dan dapat menurunkan motivasi kerja dan merugikan perusahaan dibanding dengan karyawan yang bekerja dengan semangat yang tinggi. Fenomena ketidakpuasan karyawan yang tidak sesuai keinginan dan harapan karyawan ditunjukkan dengan cara yang berbeda. Penelitian Lai dan Chen (2012) menyatakan bahwa tidak ditemukan hubungan yang signifikan 8 antara kinerja dan keinginan berpindah. Karyawan mempertimbangkan dengan kinerja yang tinggi akan bisa memberikan keuntungan yang dapat membantu menemukan pekerjaan yang lebih baik. Pertimbangan yang menjadi fokus perusahaan untuk menawarkan kebijakan yang lebih bisa meningkatkan kepuasan kerja seperti, kesejahteraan, penghargaan dan bonus. Pemberian kesesuaian antara individu dan organisasi, meningkatkan kepuasan pada karyawan dan menurunkan turnover serta interaksi motivasi dan kinerja sangat terkait dalam meningkatkan kepuasan kerja. Penemuan yang menimbulkan ketidakpuasan dalam pekerjaan salah satu penentu pengendali kebijakan adalah sosok seorang pemimpin, ada sedikit yang bisa dilakukan oleh kebanyakan pemimpin yang dapat mempengaruhi kepuasan kerja karyawan. Kenyataan pemimpin berusaha secara ekstensif meningkatkan kepuasan kerja karyawan melalui tindakan-tindakan seperti memanipulasi karateristik pekerjaan, kondisi kerja dan penghargaan kepada orang-orang seperti bonus mungkin bisa meningkatkan kepuasan seorang pekerja tetapi tidak mungkin bisa berlangsung dengan terus menerus. cepat atau lambat area–area kesalahan yang baru akan ditemukan pada pekerjaan tersebut. Kepemimpinan dalam organisasi berfokus pada pengelolaan sumber daya manusia. Letak tanggung jawab serta peran seorang pemimpin dalam melaksanakan fungsi-fungsi manajemen dalam pengambilan keputusan dan kebijaksanaan yang dapat mempermudah pencapaian tujuan dalam organisasi dan memberikan kontribusi pada pengikutnya sehingga dapat meningkatkan kualitas kerja. Nanus (1992) menyatakan bahwa ketidakpuasan dilatar belakangi oleh figur seorang pemimpin dan menjadi alasan utama meninggalkan organisasi 9 atau perusahaan disebabkan karena kegagalan seorang pemimpin dalam menjalankan roda perusahaan dan tidak memahami kebutuhan karyawannya. Pencarian awal dalam menemukan sifat kepemimpinan yang memahami karyawan dan memiliki keterbukaan terhadap pengalaman, hubungan yang kuat dan konsisten dapat ditemukan dalam kepemimpinan transformasional. Kepemimpinan transformasional menjadikan para pengikut merasakan kepercayaan, kekaguman, kesetiaan dan penghormatan terhadap pemimpin dan termotivasi melakukan lebih dari pada harapan mereka. Pemimpin mengubah dan memotivasi para pengikut dengan membuat lebih menyadari pentingnya hasil tugas, mementingkan kepentingan tim atau organisasi mereka dibanding dengan kepentingan pribadi, mengaktifkan kebutuhan mereka yang lebih tinggi ( Bass 1985,1990). Pendekatan kepemimpinan transformasional merupakan perspektif umum yang mencakup banyak sisi dan dimensi dari proses kepemimpinan, secara umum hal ini menggambarkan pemimpin yang bisa mengembangkan dan melaksanakan perubahan nyata dalam organisasi. Pemimpin transformasional memberdayakan pengikut dan memupuk mereka secara bergantian, serta berupaya untuk meningkatkan pemahaman dalam diri individu dan meminta mereka untuk menekan kepentingan pribadi demi kepentingan orang lain terhadap perilaku dan budaya yang berbeda. Budaya menjadi titik tolak permasalahan dalam suatu organisasi, menanamkan aturan dan nilai-nilai budaya dalam sistem pengendalian organisasi. Pengendalian ini merupakan dasar mekanisme berusaha mengurangi dan meminimalisasi suatu penyimpangan dalam aturan organisasi. Usaha yang dilakukan terlebih dahulu menetapkan aturan pedoman atau 10 standar yang harus dipatuhi oleh siapapun dalam melakukan kegiatan organisasi. Pengendalian yang lebih efektif dengan sistem appreciative control yang memberi lebih luas kepada individu atau kelompoknya untuk mengontrol diri atau membuat judgment yang dianggap tepat dalam mencapai tujuan organisasi. Indonesia merupakan sistem budaya dalam pengendalian waskat (pengawasan melekat). Penekanan pada tipe budaya yang role culture dan power culture yang tipikal budaya cenderung menekankan pada aturan dengan menggunakan mekanisme kontrol yang bersifat imperasional yang berbasis pada aturan dan pelaksanaan bersifat hierarkis pada penanganan persoalan ke dalam organisasi, sedangkan ketika persoalan datang dari luar, organisasi cenderung akan menutup diri dan seolah-olah persoalan tersebut diluar kendali perusahaan. Kondisi ini menjadi persoalan pada budaya organisasi di Indonesia. Berdasarkan permasalahan tersebut budaya kolektivisme dapat memberikan suatu pencerahan dalam pengendalian pelaksanaan budaya organisasi dalam sistem yang apresiatif yang memberikan pengendalian tipikal budaya self control bahwa setiap individu/kelompok bertanggung jawab terhadap pencapaian tujuan yang telah diamanahkan atau didelegasikan kepadanya. Penyelesaian diluar organisasi selalu dikompromikan secara musyawarah .serta support control bahwa permasalahan yang terjadi didalam organisasi dengan pengendalian yang bersifat kolaborasi melalui tanggung jawab bersama begitupun dengan permasalahan diluar organisasi terjalin keterikatan secara dinamis dan transformatif sehingga tercipta budaya yang kuat . Kotter dan Heskett (1992) menjelaskan bahwa budaya organisasi yang kuat berdampak positif bagi terbentuknya kinerja sebuah organisasi dalam 11 jangka waktu yang panjang, sebaliknya sebuah budaya organisasi akan tetap terjaga apabila masing- masing anggota organisasinya tetap konsekuen, loyalitas dan komitmen terhadap organisasi. Robbinson (2003) mengungkapkan bahwa budaya yang kuat memiliki dampak yang lebih kuat terhadap tata nilai yang ada dalam organisasi, karena budaya organisasi memiliki iklim internal dengan intensitas yang tinggi dapat membentuk perilaku dalam organisasi. Oostewald dan Alder (2000) menyatakan budaya organisasi menyangkut nilai, filsafat, norma perilaku, politik dan iklim kerja. Unsur-unsur yang terdapat dalam budaya organisasi berfungsi sebagai pedoman, pengontrol, dan mengarahkan perilaku, menekan anggota organisasi untuk patuh. Pemahaman mengenai budaya organisasi juga tidak akan terlepas dari dimensi budaya nasional, Hofstede dan Hofstede (2005) mengidentifikasikan lima dimensi utama dimana budaya berbeda antara lain: Jarak kekuasaan, penghindaran ketidakpastiaan, individualisme-kolektivisme, maskulinitas- femininitas, orientasi jangka panjang dan jangka pendek. Hofstede dan Hofstede (2005) mengatakan karateristik budaya Indonesia mempengaruhi budaya organisasi adalah Power Distance (jarak kekuasaan) yang tinggi sehingga pemimpin mempunyai kekuasaan dalam pengambilan keputusan organisasi, begitupun dengan Uncertainty Avoidance (penghindaran ketidakpastian) orientasi yang mencerminkan budaya yang berbeda terhadap orang-orang yang mengintegrasikan kedalam kelompok-kelompok dalam organisasi. Berdasarkan penelitian Hofstede dan Hofstede (2005) mengatakan bahwa dimensi kolektivisme merupakan fenomena yang unik dari masyarakat Indonesia, menjadi 12 ciri kehidupan masyarakat serta dampak terhadap lingkungan organisasi dan perusahaan. Giangreco (2002) mengatakan karyawan dengan budaya individulai menimbulkan suatu reaksi penolakan berupa pengeritikan secara langsung pada pimpinan dan penurunan intensitas kerja, sebaliknya dengan nilai budaya kolektivisme terjadi perubahan secara aktif dengan penurunan turnover, absenteeism, meningkatkan produktivitas kerja sehingga akan melahirkan tingkat kepuasan kerja karyawan. Di Indonesia yang memiliki masyarakat budaya kolektivisme yang tinggi terhadap batasan dimana kebutuhan dan wewenan kelompok lebih penting dibandingkan kebutuhan individual, dan individu memiliki kepedulian yang tinggi terhadap individu yang lain dalam kelompok dan mengharapkan orang lainpun peduli terhadap dirinya secara timbal balik. Hofstede (1991) menjelaskan bahwa Indonesia merupakan negara yang nilai budaya kolektivisme yang paling tinggi dibanding negara-negara asia lainnya seperti India, Philihina, Malaysia, Thailand dan Iran. Salah satu riset penemuan tentang budaya yang dilakukan Hofstede (1980, 2001) mengatakan bahwa budaya nasional lebih dari 50 negara diasumsikan merupakan suatu kelompok budaya memiliki nilai bersama “ share Value ” dibandingkan dengan kelompok lain. Penelitian Globe yang dilakukan oleh House, dan Javindan, (2004) menegaskan bahwa negara-negara yang menampilkan nilai yang tinggi pada orientasi kemanusiaan dan kolektivisme dalam kelompok, didiskripsikan sebagai negara yang memiliki loyalitas keluarga yang kuat dan menunjukkan perhatian yang tinggi terhadap komunitas mereka. Budaya kolektivisme lebih dikenal 13 dengan keberhasilan keanggotaan atau kontribusi kelompok serta tanggung jawab sosial. Nilai budaya ditemukan dalam teori yang kemukakan oleh Trompenaars (1994) mengatakan bahwa dimensi budaya kolektivisme mengacu pada orang yang menganggap dirinya sebagai bagian dari kelompok, akan tetapi nilai-nilai budaya akan dapat berubah dari kolektivisme menjadi individualisme. Perbedaan ini terletak pada area sistem penghargaan, pengambilan keputusan, dan disain kerja. Giangreco (2002) menggambarkan sikap yang dicerminkan dalam budaya kolektivisme terhadap perubahan yang terjadi dalam masyarakat menghadapi suatu perubahan, cenderung dalam bekerja menggunakan aturan yang telah baku, mudah diterima karena sudah turun temurun dilakukan dan melekat menjadi suatu kebiasaan dalam lingkungan masyarakat sehingga akan menjadi sulit dalam mengikuti perubahan yang semakin cepat di era perkembangan saat ini. Sikap yang dapat dilakukan untuk ikut dalam era perkembangan ini adalah memilih pemimpin yang tepat dengan pengelolaan organisasi dengan karyawan yang berbeda secara budaya akan menciptakan pemahaman terhadap perbedaan tersebut dan mempengaruhi kinerja kepemimpinan yang mampu menciptakan kualitas kerja karyawan (House dan Javindan 2004). Adler dan Bartholomew (1992) mengatakan bahwa salah satu kepemimpinan global mencirikan kepemimpinan yang mampu beradaptasi dan berkomunikasi serta belajar berhubungan dengan budaya orang lain. Toomey (1999) mengatakan kepemimpinan perlu mengembangkan kecakapan berkomunikasi dalam mengutarakan serta menerapkan visi ditempat kerja. Penerapan budaya dan kepemimpinan masa sekarang perlu mendapatkan 14 sekumpulan kecakapan yang menantang dalam menciptakan lingkungan kerja yang kondusif dan memberikan kepuasan kerja pada karyawan. Upaya meningkatkan kualitas organisasi tidak mungkin akan berjalan sesuai dengan apa yang menjadi tujuan organisasi jika salah satu komponen dalam organisasi tidak saling kerja sama antara kepemimpinan, budaya dan karyawan yang merupakan inti jalannya suatu organisasi kearah yang lebih baik. Hal yang terpenting juga diketahui adalah sikap, karakter kepribadian merupakan sifat dasar manusia yang dapat membantu dalam menentukan kualitas sumber daya manusia yang produktif dalam menciptakan komitmen serta membangun kesadaran yang kuat terhadap pekerjaan. Kesimpulan bahwa kepuasan kerja merupakan sikap positif yang ditunjukkan oleh karyawan dalam melaksanakan tugasnya dan segala sesuatu yang dihadapi di lingkungan kerjanya. Peningkatan kepuasan kerja karyawan sangat penting untuk diamati menuju arah dan tujuan organisasi. Penelitian ini menggambarkan hubungan antara gaya kepemimpinan transformasional, budaya kolektivisme dan kepribadian conscientiousness pada kepuasan kerja karyawan. B. Rumusan Permasalah Berdasarkan latar belakang dalam penelitian ini permasalahan dirumuskan sebagai berikut: “ Apakah kepemimpinan transformasional dan budaya kolektifisme berpengaruh pada kepuasan kerja. Apakah kepribadian conscientiousness memoderasi hubungan antara kepemimpinan transformasional dan budaya kolektivisme secara bersama-sama dengan kepuasan kerja karyawan “. 15 C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan gaya kepemimpinan transformasional dan budaya kolektivisme terhadap kepuasan kerja karyawan yang dimoderasi dengan kepribadian consientiousness. Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Manfaat Teoritik . Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan kajian psikologi industri dan organisasi mengenai hubungan gaya kepemimpinan transformasional dan budaya kolektivisme yang dimoderasi dengan kepribadian conscientiousness pada kepuasaan kerja karyawan. 2. Manfaat praktis Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk memberikan masukan hubungan antara gaya kepemimpinan transformasional dan budaya kolektivisme yang dimoderasi dengan kepribadian conscientiousness pada kepuasan kerja karyawan D. Perbedaan dengan Penelitian Sebelumnya Penelitian yang tekait dalam kepuasan kerja terhadap gaya kepemimpinan transformasional dan budaya kolektivisme telah banyak dilakukan dalam dunia kerja organisasi khususnya dalam bidang industri. Beberapa penelitian empiris menghubungkan secara simultan kepuasan kerja dengan gaya kepemimpinan transformasional, budaya kolektivisme dan kepribadian conscientiousness. Penelitian lebih lanjut sangat diperlukan untuk mengidentifikasi, mengeksplorasi, dan menjelaskan karakter dan pola dari hubungan kepuasan 16 kerja tehadap gaya kepemimpinan transformasional, budaya kolektivisme dan kepribadian conscientiousness. Pertama, penelitian Sadeghi, LopePihie (2013) berjudul “the role of transformational leadership style in enhancing lecturers’ job satisfaction” mengkaji hubungan gaya kepemimpinan transformasional dengan kepuasan kerja dan hasil penelitian menunjukkan ada pengaruh yang signifikan antara gaya kepemimpinan transformasional dengan kepuasan kerja ditemukan bahwa dengan gaya kepmimpinan sangat mempengaruhi kepuasan dosen di Malaysia. Penelitian ini secara empiris berkontribusi terhadap perkembangan pengetahuan administrasi akademik dan gaya kepemimpinan ini sangat mempengaruhi kepuasan kerja dosen. Penelitian tersebut sangat berbeda dengan penelitian ini baik dari lokasi penelitian, dan subyek penelitian. Kedua, penelitian Tkeshelashvili (2009) berjudul “the effects of culture on the leadership style in Georgia” yang mengkaji dimensi budaya (kolektivisme, ketegasan, jarak kekuasaan ) dan gaya kepemimpinan di Georgia. menunjukkan budaya kolektivisme lebih berpengaruh di tempat kerja dari pada jarak kekuasaan dan ketegasan yang dimilki oleh gaya kepemimpinan. Hasil yang dicapai terhadap pengaruh budaya dan gaya kepemimpinan di Georgia mengartikan pengikut dalam mengamati pemimpin sesuai dengan keyakinan dan dimensi budaya dan pengikut harus mengikuti aturan pemimpin mereka tanpa pertanyaan sehingga sangat mempengaruhi kinerja. Gaya kepemimpinan di Georgia berusaha menjaga keseimbangan antara kekuatiran terhadap produksi dan karyawan. Penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya yaitu lokasi, subyek dan metode penelitian. 17 Ketiga, penelitian Taleghani, Salaman, Taatian (2010) berjudul “survey of leadership style in different of culture” menunjukkan hubungan antara budaya dan kepemimpinan yang memperhatikan perbedaan budaya dalam organisasi untuk memiliki kepemimpinan yang lebih efektif dan untuk mengenali budaya yang ada dilingkup pekerjaan mereka dengan benar dan untuk memberikan gaya kepemimpinan yang cocok sehingga dapat mensejahterakan karyawannya. Penelitian ini berbeda dari penelitian sebelumnya yaitu variabel, dan lokasi. Keempat, penelitian Jogulu (2010) berjudul “culturally–linked leadership style”. Hasil penelitian ini memberikan pemahaman empiris untuk budaya dan gaya kepemimpinan serta memberikan kontribusi untuk memahami pentingnya keragaman tenaga kerja dengan memperhatikan budaya lain, sehingga dapat meningkatkan apresiasi kinerja karyawan. Penelitian ini mengkaji peran budaya kolektivisme dan gaya kepemimpinan transformasional terhadap peningkatan efektivitas kinerja akan menambah pemahaman keterikatan antara tiga konsep tersebut dalam lingkup organisasi. Penelitian ini berbeda baik dari lokasi tempat dan latar belakang perusahaan industri. Kelima, penelitian Rais dan Husain (2010) berjudul “the role of transformational and transactional leadership on job satisfaction and career satisfaction” . menunjukkan peranan kepemimpinan transformational dan transaksional terhadap kepuasan kerja dan keberhasilan karier. Hasil dari penelitian ini ditemukan bahwa kepemimpinan transaksional secara signifikan terkait dengan keberhasilan kerja sedangkan kepemimpinan transformasional ditemukan bahwa memiliki hubungan keterkaitan secara signifikan dengan 18 kepuasan kerja dan keberhasilan kerja. Penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya dari lokasi dan subyek. Keenam, penelitian Zahari dan Shurbagi (2012) berjudul “the effect of organizational culture and relationship between transformational leadership and job satisfaction in petroleum of Libya ” tujuan penelitian untuk mengetahui budaya organisasi dan kepemimpinan transformational terhadap kepuasan kerja di sektor minyak bumi di Libya, hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa budaya hirarki yang diterapkan di Libya memiliki hubungan positif antara gaya kepemimpinan trasformasional terhadap kepuasan kerja. Berdasarkan penelitian sebelumnya menunjukkan letak perbedaan terhadap tingkat kepuasan kerja dan keberhasilan dalam pekerjaan dengan membandingkan dua gaya kepemimpinan, perbedaan tersebut pada variabel dan lokasi penelitian. Ketujuh, penelitian Levy, Richardson, Lounsbury, Stewart, Gibson dan Drost (2011) berjudul “personality Traits and Career Satisfaction of Accounting Professionals ” penelitian ini kaitannya sifat kepribadian dengan kepuasan kerja dalam berkarier dengan tipe kepribadian the big five personality ditemukan bahwa memiliki pengaruh yang signifikann dengan kepuasan kerja dalam berkarier dengan mengidentifikasikan hubungan antara kepribadian dan keinginan dalam bekerja sebagai penentu kepuasan pada stabilitas kerja dan tingkat prestasi. Penelitian ini memiliki perbedaan dengan penelitian sebelumnya baik dalam subyek dan variabel serta sampel dalam penelitian sebelumnya. Kedelapan, penelitian Phipps dan Prieto (2011) berjudul “The Influence of Personality Factors on Transformational Leadership : Exploring The Moderating Role of Political Skill, penelitian ini bertujuan untuk menguji 19 kepribadian dan kepemimpinan transformasional serta untuk mengeksplorasi keterampilan dalam berpolitik. Penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya pada subyek, lokasi dan variabel.