1 BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang Permasalahan

advertisement
BAB I
PENGANTAR
A. Latar Belakang
Permasalahan dalam ketidakpuasan tidak akan pernah berhenti untuk
dijadikan suatu bahan penelitian karena ini merupakan penilaian yang dialami
individu menyangkut perasaan dan sikap dalam melaksanakan pekerjaannya.
Awal yang sangat penting bagi terciptanya kinerja organisasi adalah
kinerja seorang karyawan. Organisasi tidak dapat mencapai tujuan organisasi
dengan baik tanpa sumber daya manusia (SDM). Karyawan memiliki andil yang
utama dalam mewujudkan tujuan organisasi sebagai perencana, pelaksana dan
pengendali terciptanya suasana kerja yang menunjang pencapaian tujuan
dengan pikiran, perasaan dan keinginan yang berperan untuk mempengaruhi
sikap-sikap terhadap pekerjaan.
Upaya dalam mengatasi suatu permasalahan yang kompleks, organisasi
dapat membenahi perbaikan ke dalam dengan jalan pengembangan SDM.
Organisasi membutuhkan karyawan yang akan memperlihatkan perilaku yang
baik seperti membantu individu dalam tim atau kelompok, mengajukan diri untuk
melakukan pekerjaan ekstra, menghindari konflik, disiplin, bersemangat, rendah
hati, toleransi, lingkungan kerja, dan berbagai gangguan yang terkait dengan
pekerjaan.
Robbinson (2006) mengungkapkan kepuasan kerja merupakan suatu
kondisi yang membuat orang bahagia dalam pekerjaan atau diluar pekerjaan
sebagai hasil dari sebuah evaluasi karateristiknya.
Faktor-faktor yang
mempengaruhi kepuasan kerja karyawan secara signifikan adalah faktor-faktor
yang berhubungan dengan pekerjaan itu sendiri, kondisi kerja, rekan kerja,
1
2
pengawasan, promosi jabatan dan gaji.
Kondisi kerja tersebut akan
mempengaruhi
kepuasan
seperti
pertambangan
di
kerja
karyawan,
Kalimatan
Barat
kasus
demo
buruh
(httt://www.equator-
News.com/utama/20120502/buruh-kalbar-berkutat-kasus-phk).
Kasus
ini
mengulas mengenai aksi protes yang dilakukan para buruh di Kalimatan Barat
yang ingin mencabut tuntutan Ketua Kadin mengenai pernyataannya tentang
pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap ribuan buruh-buruh pertambangan
dan menginginkan pembubaran serikat buruh. Kasus ini menunjukkan bahwa
para buruh mengalami stres yang berdampak pada kondisi psikologis sehingga
mengekspresikannya dalam bentuk demonstrasi yang mengancam kondisi
mental, fisik, emosional, spiritual yang akibatnya menurunkan motivasi kerja.
Permasalahan yang dapat terjadi pada setiap organisasi perusahaan ada
sisi positif dan negatifnya. Kenyataan individu akan mengalami stres kerja yang
positif dengan mendapatkan kesempatan promosi untuk kenaikan jabatan atau
menerima reward. Schultz dan Schultz (1994) mengungkapkan bahwa promosi
merupakan hal yang penting bagi karyawan karena memberikan kesempatan
untuk meningkatkan karier serta pertumbuhan pribadi karyawan, sebaliknya bila
keadaan tersebut justru menghambat dalam pencapaian tujuan yang diharapkan
akan menimbulkan ketidakpuasan yang arahnya negatif termasuk burn-out
(kelelahan, emosional, penurunan prestasi, absensi dan keluar dari pekerjaan
dan akan mengakibatkan kesehatan terganggu.
Kondisi tersebut berdampak
pada lingkungan kerja serta dapat mengancam dan memberi tekanan secara
psikologi, fisiologi dan sikap individu.
Masalah lain ditemukan pada masalah upah atau gaji yang diterima
karyawan mencerminkan perbedaan, tanggung jawab, pengalaman, kecakapan,
3
maupun senioritas. Permasalahan tenaga kerja atau buruh menjadi persoalan
yang mendasar dalam urusan hubungan industrial di Indonesia. Berbagai aksi
yang dilatarbelakangi oleh ketidakpuasan buruh dalam berbagai hal di bidang
industri seperti demonstrasi dan mogok kerja.
Hal yang paling pokok yang
menjadi ketidakpuasan buruh adalah masalah upah yang mereka dapatkan.
Pemerintah dalam menetapkan kebijakan upah yang rendah sehingga
menguntungkan investor asing untuk menanamkan modal dan berinvestasi di
Indonesia.
Alasan pemerintah dalam memberlakukan upah rendah dilandasi
dengan tingkat pendidikan dan keterampilan yang rendah sehingga kebijakan
pemerintah tersebut dapat mengurangi jumlah pengangguran yang sangat tinggi.
seperti kasus Nike salah satu perusahaan asal Amerika Serikat yang
memproduksi sepatu, pakaian dan alat-alat olah raga.
Kasus Nike di Indonesia didasari oleh pelanggaran dengan kaum buruh.
Aturan diberlakukan dengan ketat sehingga kaum buruh amat rentang
kehilangan pekerjaan dan hak-haknya seperti masalah pesangon terutama
tentang upah dan jam kerja serta mengalami kekerasan fisik maupun psikis.
Akhirnya buruh melakukan demonstrasi massal pada tahun 2007 dan baru
ditanggapi tahun 2012.
Maslow (1970) mengungkapkan bahwa kebutuhan manusia terdiri lima
tingkatan yakni kebutuahan fisiologis, keamanan, sosial dan kasih sayang, harga
diri, aktualisasi diri, sebaliknya kenyataan bahwa kepuasan kerja dalam
lingkungan kerja tidak semata-mata terfokus pada masalah upah atau gaji yang
diterima atas pekerjaan, tetapi ada aspek yang jauh lebih berpengaruh dalam
kepuasan kerja karyawan. Penelitian Judge, Piccolo, Podsakoff, Shaw, & Rich
(2010) mengungkapkan bahwa rata-rata tingkat kepuasan kerja menurut aspek
4
pekerjaan sangat didominasi oleh pekerjaan itu sendiri, dan bukan permasalahan
gaji, karena setiap pekerja menuntut interaksi dengan rekan kerja, hubungan
kerja antara pimpinan dan karyawan, mengikuti peraturan dan kebijaksanaan
organisasi serta nilai-nilai budaya yang tertanam dalam organisasi tersebut.
Setiap individu memiliki kewajiban dan hak untuk memenuhi kebutuhan
dan menata kehidupannya yang layak, bermartabat dengan bekerja pada
berbagai sektor pekerjaan salah satunya adalah bekerja sebagai karyawan
buruh. Persoalan besar yang terjadi di Indonesia dengan krisis ekonomi yang
semakin sulit, pengangguran, sulitnya lapangan kerja dan diperparah lagi dengan
menjamurnya pemutusan hubungan kerja dan kebijakan-kebijakan yang sering
kali bertentangan dengan Undang-undang, dan masalah ini telah menjadi budaya
dikalangan perusahaan.
Fenomena dalam lingkungan organisasi ditemukan kejadian-kejadian
yang berdampak pada tekanan buruh-buruh pabrik mengenai jam kerja,
pesangon, kesejateraan, keamanan, yang tidak sesuai dengan hasil kerja atau
upah minimum regional (UMR) dan pemutusan hubungan kerja (PHK) sehingga
banyak terjadi turnover yang mempengaruhi produktivitas perusahaan, seperti
kasus karyawan buruh PT Securicor cabang Surabaya (2005) penyebab
terjadinya PHK massal sebanyak 284 buruh karena adanya merger tingkat
internasional.
Ketidakpuasan pekerja dalam kasus ini disebabkan pihak
perusahaan melakukan PHK massal tanpa memberikan uang pesangon kepada
pekerjanya sehingga kasus ini berdampak terhadap kondisi psikologis dimana
karyawan yang di PHK akan sulit memenuhi kebutuhan-kebutuhan dari hierarki
Maslow yang menimbulkan pengangguran yang tinggi sehingga kebutuhan dasar
tidak terpenuhi, sebab pihak perusahaan melakukan hal-hal yang minimum
5
hanya untuk menyelamatkan perusahaan dan pimpinan-pimpinannya tanpa
memperdulikan pengabdian para buruh yang telah bekerja puluhan tahun
menggantungkan nasibnya pada perusahaan.
Masalah dalam organisasipun menjadi hal yang dapat menimbulkan
ketidakpuasan antara lain aturan yang pelaksanaannya bersifat hierarki dalam
perusahaan yang menekankan pada power cultur seperti yang terjadi pada buruh
PT Toshiba 2009, memperjuangkan tentang revisi peraturan perusahaan yang
tidak diterima oleh pihak menagemen, upah atau gaji dan tunjangan asuransi
kesehatan dicabut. Kasus-kasus organisasi dan industri yang berdampak pada
ketidakpuasaan
karyawan
menimbulkan
aksi
negatif
berdampak
pada
kelangsungan produktivitas organisasai atau perusahaan yang mempengaruhi
perkembangan psikologis para karyawan.
Heilriegel dan Slocum (1986)
mengungkapkan ada empat faktor yang dapat terjadi pada diri karyawan baik
secara fisiologis maupun secara psikologis terhadap keinginan dan permintaan
organisasi atau perusahaan yang menyebabkan stress kerja yaitu konflik,
ketidakpastian, tekanan dari tugas serta hubungan dengan pihak managemen.
Keadaan ini akan berdampak pada lingkungan kerja serta mengganggu dan
memberi pengaruh pada individu sehingga dapat menurunkan produktivitas kerja
karyawan serta beban kerja yang tinggi yang akan berdampak pada kondisi
psikologi karyawan seperti, yang terjadi di PT Foxconn China pada tahun 2010
yakni, perusahaan yang memproduksi barang-barang elektronik seperti, Apple,
Nitendo, Sony, dan HP. Aksi buruh melakukan bunuh diri massal dengan cara
melompat gedung perusahaan dan menewaskan 14 orang buruh.
Kasus ini
disebabkan karena manager perusahaan memutuskan untuk menggeser sekitar
600 pekerja ke lini produksi yang baru tanpa gaji, pelatihan, dan sistem jam kerja
6
yang sangat tinggi yakni membungkus Komputer Acer, orderan dari perusahaan
Taiwan. Dampak kasus ini menyebabkan 24000 pekerja mengundurkan diri
karena ketidakpuasan dalam lingkungan kerja yang buruk, namun dengan
kejadian ini managemen perusahaan mendapatkan suatu pelajaran dan
pengalaman bagi perusahaan untuk lebih memperhatikan pekerjanya dan
menjadikan pekerja sebagai prioritas yang utama (de-Britto, 2013). Masalahmasalah seperti ini masih menjadi perdebatan dalam pengelolaan managemen
dalam perusahaan sehingga nantinya perusahaan menyadari betapa pentingnya
sumber daya manusia yang menjadi roda penggerak perusahaan.
Setiap perusahaan ingin karyawannya memiliki kemampuan produktivitas
yang tinggi dalam bekerja akan tetapi, perusahaan tidak mampu membedakan
mana karyawan yang produktif dan mana yang tidak produktif.
Hal ini
disebabkna perusahaan lebih terfokus pada upaya pencapaian target dan
keinginan menjadi market leader.
Perusahaan lupa kalau karyawan adalah
investasi dari profit yang perlu dipelihara agar tetap dapat berproduksi dengan
baik. Collins (2003) menyatakan salah satu persyaratan menjadi perusahaan
yang hebat adalah rekrutmen pekerja yang baik menjadi human capital bagi
organisasi.
Modal manusia yang utama adalah kreativitas, intelektual, emosi
positif, sosial dan keuletan (adversity). Hal ini sangat penting untuk mengetahui
sifat-sifat kepribadian dalam upaya untuk mengidentifikasi dan memahami
karateristik perilaku seseorang.
kepuasan kerja tidak hanya berkaitan dengan kondisi pekerjaan,
kepribadian
juga
memainkan
peran
yang
sangat
penting.
Penelitian
menunjukkan bahwa individu yang mempunyai kepribadian negatif, sebagai
contoh mereka cenderung galak, keritis dan negatif biasanya kurang puas
7
dengan pekerjaan mereka dan merasa tidak senang bahkan dalam pekerjaan
yang tampaknya sangat hebat. Kondisi-kondisi yang memungkinkan terjadinya
suatu konflik atau masalah karena memiliki kepribadian yang tidak sehat seperti
kurang mampu melakukan kerja sama dalam bekerja, daya konsentrasi yang
kurang
sehingga
dapat
menghancurkan
mempengaruhi peningkatkan kualitas kerja.
pekerjaan
sehingga
sangat
Kepribadian secara keseluruhan
merupakan cara berintraksi dan bereaksi dengan orang lain sehingga dapat
menentukan cara untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan dalam mencapai
tingkat kepuasan dalam pekerjaannya. Holland (1985) menyatakan hubungan
antara kepribadian dan lingkungan dalam pekerjaan akan menentukan tingkat
kepuasan pada pencapaian stabilitas kerja dan tingkat motivasi kerja.
Kepuasan kerja menjadi hal yang penting karena dapat mempengaruhi
produktivitas karyawan, sebab karyawan yang memiliki kepuasan yang tinggi
akan memandang pekerjaannya sebagai hal yang menyenangkan, berbeda
dengan karyawan yang memiliki kepuasan yang rendah akan melihat
pekerjaannya sebagai hal yang menjemukan dan membosankan serta
mempengaruhi tingkat absensi, semangat kerja menurun, keluhan-keluhan dan
masalah-masalah personal vital lainnya, sehingga karyawan tersebut bekerja
dalam keadaan terpaksa. Karyawan yang mayoritas kepuasannya rendah akan
memiliki hasil kerja yang buruk dan dapat menurunkan motivasi kerja dan
merugikan perusahaan dibanding dengan karyawan yang bekerja dengan
semangat yang tinggi.
Fenomena ketidakpuasan karyawan yang tidak sesuai keinginan dan
harapan karyawan ditunjukkan dengan cara yang berbeda. Penelitian Lai dan
Chen (2012) menyatakan bahwa tidak ditemukan hubungan yang signifikan
8
antara kinerja dan keinginan berpindah. Karyawan mempertimbangkan dengan
kinerja yang tinggi akan bisa memberikan keuntungan yang dapat membantu
menemukan pekerjaan yang lebih baik.
Pertimbangan yang menjadi fokus
perusahaan untuk menawarkan kebijakan yang lebih bisa meningkatkan
kepuasan kerja seperti, kesejahteraan, penghargaan dan bonus.
Pemberian
kesesuaian antara individu dan organisasi, meningkatkan kepuasan pada
karyawan dan menurunkan turnover serta interaksi motivasi dan kinerja sangat
terkait dalam meningkatkan kepuasan kerja.
Penemuan yang menimbulkan ketidakpuasan dalam pekerjaan salah satu
penentu pengendali kebijakan adalah sosok seorang pemimpin, ada sedikit yang
bisa dilakukan oleh kebanyakan pemimpin yang dapat mempengaruhi kepuasan
kerja karyawan. Kenyataan pemimpin berusaha secara ekstensif meningkatkan
kepuasan kerja karyawan melalui tindakan-tindakan seperti memanipulasi
karateristik pekerjaan, kondisi kerja dan penghargaan kepada orang-orang
seperti bonus mungkin bisa meningkatkan kepuasan seorang pekerja tetapi tidak
mungkin bisa berlangsung dengan terus menerus. cepat atau lambat area–area
kesalahan yang baru akan ditemukan pada pekerjaan tersebut.
Kepemimpinan dalam organisasi berfokus pada pengelolaan sumber
daya manusia.
Letak tanggung jawab serta peran seorang pemimpin dalam
melaksanakan fungsi-fungsi manajemen dalam pengambilan keputusan dan
kebijaksanaan yang dapat mempermudah pencapaian tujuan dalam organisasi
dan memberikan kontribusi pada pengikutnya sehingga dapat meningkatkan
kualitas kerja. Nanus (1992) menyatakan bahwa ketidakpuasan dilatar belakangi
oleh figur seorang pemimpin dan menjadi alasan utama meninggalkan organisasi
9
atau perusahaan disebabkan karena kegagalan seorang pemimpin dalam
menjalankan roda perusahaan dan tidak memahami kebutuhan karyawannya.
Pencarian awal dalam menemukan sifat kepemimpinan yang memahami
karyawan dan memiliki keterbukaan terhadap pengalaman, hubungan yang kuat
dan konsisten dapat ditemukan dalam kepemimpinan transformasional.
Kepemimpinan
transformasional
menjadikan
para
pengikut
merasakan
kepercayaan, kekaguman, kesetiaan dan penghormatan terhadap pemimpin
dan termotivasi melakukan lebih dari pada harapan mereka.
Pemimpin
mengubah dan memotivasi para pengikut dengan membuat lebih menyadari
pentingnya hasil tugas, mementingkan kepentingan tim atau organisasi mereka
dibanding dengan kepentingan pribadi, mengaktifkan kebutuhan mereka yang
lebih tinggi ( Bass 1985,1990).
Pendekatan kepemimpinan transformasional merupakan perspektif umum
yang mencakup banyak sisi dan dimensi dari proses kepemimpinan, secara
umum hal ini menggambarkan pemimpin yang bisa mengembangkan dan
melaksanakan perubahan nyata dalam organisasi. Pemimpin transformasional
memberdayakan pengikut dan memupuk mereka secara bergantian, serta
berupaya untuk meningkatkan pemahaman dalam diri individu dan meminta
mereka untuk menekan kepentingan pribadi demi kepentingan orang lain
terhadap perilaku dan budaya yang berbeda.
Budaya menjadi titik tolak permasalahan dalam suatu organisasi,
menanamkan aturan dan nilai-nilai budaya dalam sistem pengendalian
organisasi.
Pengendalian ini merupakan dasar mekanisme berusaha
mengurangi dan meminimalisasi suatu penyimpangan dalam aturan organisasi.
Usaha yang dilakukan terlebih dahulu menetapkan aturan pedoman atau
10
standar yang harus dipatuhi oleh siapapun dalam melakukan kegiatan
organisasi. Pengendalian yang lebih efektif dengan sistem appreciative
control yang memberi lebih luas kepada individu atau kelompoknya untuk
mengontrol diri atau membuat judgment yang dianggap tepat dalam mencapai
tujuan organisasi.
Indonesia merupakan sistem budaya dalam pengendalian waskat
(pengawasan melekat). Penekanan pada tipe budaya yang role culture dan
power culture yang tipikal budaya cenderung menekankan pada aturan dengan
menggunakan mekanisme kontrol yang bersifat imperasional yang berbasis pada
aturan dan pelaksanaan bersifat hierarkis pada penanganan persoalan ke dalam
organisasi, sedangkan ketika persoalan datang dari luar, organisasi cenderung
akan menutup diri dan seolah-olah persoalan tersebut diluar kendali perusahaan.
Kondisi ini menjadi persoalan pada budaya organisasi di Indonesia.
Berdasarkan
permasalahan
tersebut
budaya
kolektivisme
dapat
memberikan suatu pencerahan dalam pengendalian pelaksanaan budaya
organisasi dalam sistem yang apresiatif yang memberikan pengendalian tipikal
budaya self control bahwa setiap individu/kelompok bertanggung jawab
terhadap pencapaian tujuan yang telah diamanahkan atau didelegasikan
kepadanya.
Penyelesaian diluar organisasi selalu dikompromikan secara
musyawarah .serta support control bahwa permasalahan yang terjadi didalam
organisasi dengan pengendalian yang bersifat kolaborasi melalui tanggung jawab
bersama begitupun dengan permasalahan diluar organisasi terjalin keterikatan
secara dinamis dan transformatif sehingga tercipta budaya yang kuat .
Kotter dan Heskett (1992) menjelaskan bahwa budaya organisasi yang
kuat berdampak positif bagi terbentuknya kinerja sebuah organisasi dalam
11
jangka waktu yang panjang, sebaliknya sebuah budaya organisasi akan tetap
terjaga apabila masing- masing anggota organisasinya tetap konsekuen, loyalitas
dan komitmen terhadap organisasi.
Robbinson (2003) mengungkapkan bahwa budaya yang kuat memiliki
dampak yang lebih kuat terhadap tata nilai yang ada dalam organisasi, karena
budaya organisasi memiliki iklim internal dengan intensitas yang tinggi dapat
membentuk perilaku dalam organisasi.
Oostewald dan Alder (2000)
menyatakan budaya organisasi menyangkut nilai, filsafat, norma perilaku, politik
dan iklim kerja. Unsur-unsur yang terdapat dalam budaya organisasi berfungsi
sebagai pedoman, pengontrol, dan mengarahkan perilaku, menekan anggota
organisasi untuk patuh.
Pemahaman mengenai budaya organisasi juga tidak akan terlepas dari
dimensi budaya nasional,
Hofstede dan Hofstede (2005) mengidentifikasikan
lima dimensi utama dimana budaya berbeda antara lain: Jarak kekuasaan,
penghindaran
ketidakpastiaan,
individualisme-kolektivisme,
maskulinitas-
femininitas, orientasi jangka panjang dan jangka pendek. Hofstede dan Hofstede
(2005) mengatakan karateristik budaya Indonesia mempengaruhi budaya
organisasi adalah Power Distance (jarak kekuasaan) yang tinggi sehingga
pemimpin mempunyai kekuasaan dalam pengambilan keputusan organisasi,
begitupun dengan Uncertainty Avoidance (penghindaran ketidakpastian)
orientasi yang mencerminkan budaya yang berbeda terhadap orang-orang yang
mengintegrasikan kedalam kelompok-kelompok dalam organisasi. Berdasarkan
penelitian
Hofstede
dan
Hofstede
(2005)
mengatakan
bahwa
dimensi
kolektivisme merupakan fenomena yang unik dari masyarakat Indonesia, menjadi
12
ciri kehidupan masyarakat serta dampak terhadap lingkungan organisasi dan
perusahaan.
Giangreco (2002) mengatakan karyawan dengan budaya individulai
menimbulkan suatu reaksi penolakan berupa pengeritikan secara langsung
pada pimpinan dan penurunan intensitas kerja, sebaliknya dengan nilai budaya
kolektivisme terjadi perubahan secara aktif dengan penurunan turnover,
absenteeism, meningkatkan produktivitas kerja sehingga akan melahirkan
tingkat kepuasan kerja karyawan.
Di Indonesia yang memiliki masyarakat budaya kolektivisme yang tinggi
terhadap batasan dimana kebutuhan dan wewenan kelompok lebih penting
dibandingkan kebutuhan individual, dan individu memiliki kepedulian yang tinggi
terhadap individu yang lain dalam kelompok dan mengharapkan orang lainpun
peduli terhadap dirinya secara timbal balik. Hofstede (1991) menjelaskan bahwa
Indonesia merupakan negara yang nilai budaya kolektivisme yang paling tinggi
dibanding negara-negara asia lainnya seperti India, Philihina, Malaysia, Thailand
dan Iran.
Salah satu riset penemuan tentang budaya yang dilakukan Hofstede
(1980, 2001) mengatakan bahwa budaya nasional lebih dari 50 negara
diasumsikan merupakan suatu kelompok budaya memiliki nilai bersama “ share
Value ” dibandingkan dengan kelompok lain.
Penelitian Globe yang dilakukan oleh House, dan Javindan, (2004)
menegaskan bahwa negara-negara yang menampilkan nilai yang tinggi pada
orientasi kemanusiaan dan kolektivisme dalam kelompok, didiskripsikan sebagai
negara yang memiliki loyalitas keluarga yang kuat dan menunjukkan perhatian
yang tinggi terhadap komunitas mereka.
Budaya kolektivisme lebih dikenal
13
dengan keberhasilan keanggotaan atau kontribusi kelompok serta tanggung
jawab sosial.
Nilai budaya ditemukan dalam teori yang kemukakan oleh
Trompenaars (1994) mengatakan bahwa dimensi budaya kolektivisme mengacu
pada orang yang menganggap dirinya sebagai bagian dari kelompok, akan tetapi
nilai-nilai budaya akan dapat berubah dari kolektivisme menjadi individualisme.
Perbedaan ini terletak pada area sistem penghargaan, pengambilan keputusan,
dan disain kerja.
Giangreco (2002) menggambarkan sikap yang dicerminkan dalam
budaya kolektivisme terhadap perubahan yang terjadi dalam masyarakat
menghadapi suatu perubahan, cenderung dalam bekerja menggunakan aturan
yang telah baku, mudah diterima karena sudah turun temurun dilakukan dan
melekat menjadi suatu kebiasaan dalam lingkungan masyarakat sehingga akan
menjadi sulit dalam mengikuti perubahan yang semakin cepat di era
perkembangan saat ini.
Sikap yang dapat dilakukan untuk ikut dalam era
perkembangan ini adalah memilih pemimpin yang tepat dengan pengelolaan
organisasi dengan karyawan yang berbeda secara budaya akan menciptakan
pemahaman
terhadap
perbedaan
tersebut
dan
mempengaruhi
kinerja
kepemimpinan yang mampu menciptakan kualitas kerja karyawan (House dan
Javindan 2004). Adler dan Bartholomew (1992) mengatakan bahwa salah satu
kepemimpinan global mencirikan kepemimpinan yang mampu beradaptasi dan
berkomunikasi serta belajar berhubungan dengan budaya orang lain. Toomey
(1999)
mengatakan
kepemimpinan
perlu
mengembangkan
kecakapan
berkomunikasi dalam mengutarakan serta menerapkan visi ditempat kerja.
Penerapan budaya dan kepemimpinan masa sekarang perlu mendapatkan
14
sekumpulan kecakapan yang menantang dalam menciptakan lingkungan kerja
yang kondusif dan memberikan kepuasan kerja pada karyawan.
Upaya meningkatkan kualitas organisasi tidak mungkin akan berjalan
sesuai dengan apa yang menjadi tujuan organisasi jika salah satu komponen
dalam organisasi tidak saling kerja sama antara kepemimpinan, budaya dan
karyawan yang merupakan inti jalannya suatu organisasi kearah yang lebih baik.
Hal yang terpenting juga diketahui adalah sikap, karakter kepribadian merupakan
sifat dasar manusia yang dapat membantu dalam menentukan kualitas sumber
daya manusia yang produktif dalam menciptakan komitmen serta membangun
kesadaran yang kuat terhadap pekerjaan.
Kesimpulan bahwa kepuasan kerja merupakan sikap positif yang
ditunjukkan oleh karyawan dalam melaksanakan tugasnya dan segala sesuatu
yang dihadapi di lingkungan kerjanya. Peningkatan kepuasan kerja karyawan
sangat penting untuk diamati menuju arah dan tujuan organisasi. Penelitian ini
menggambarkan hubungan antara gaya kepemimpinan transformasional, budaya
kolektivisme dan kepribadian conscientiousness
pada kepuasan kerja
karyawan.
B. Rumusan Permasalah
Berdasarkan
latar
belakang
dalam
penelitian
ini
permasalahan
dirumuskan sebagai berikut: “ Apakah kepemimpinan transformasional dan
budaya kolektifisme berpengaruh pada kepuasan kerja. Apakah kepribadian
conscientiousness
memoderasi
hubungan
antara
kepemimpinan
transformasional dan budaya kolektivisme secara bersama-sama dengan
kepuasan kerja karyawan “.
15
C. Tujuan Dan Manfaat
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan gaya kepemimpinan
transformasional dan budaya kolektivisme terhadap kepuasan kerja karyawan
yang dimoderasi dengan kepribadian consientiousness.
Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai
berikut :
1. Manfaat Teoritik .
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan kajian
psikologi industri dan organisasi mengenai hubungan gaya kepemimpinan
transformasional
dan
budaya
kolektivisme
yang
dimoderasi
dengan
kepribadian conscientiousness pada kepuasaan kerja karyawan.
2.
Manfaat praktis
Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk memberikan masukan
hubungan antara gaya kepemimpinan transformasional dan budaya
kolektivisme yang dimoderasi dengan kepribadian conscientiousness
pada kepuasan kerja karyawan
D. Perbedaan dengan Penelitian Sebelumnya
Penelitian
yang
tekait
dalam
kepuasan
kerja
terhadap
gaya
kepemimpinan transformasional dan budaya kolektivisme telah banyak dilakukan
dalam dunia kerja organisasi khususnya dalam bidang industri.
Beberapa
penelitian empiris menghubungkan secara simultan kepuasan kerja dengan gaya
kepemimpinan
transformasional,
budaya
kolektivisme
dan
kepribadian
conscientiousness.
Penelitian
lebih
lanjut
sangat
diperlukan
untuk
mengidentifikasi,
mengeksplorasi, dan menjelaskan karakter dan pola dari hubungan kepuasan
16
kerja tehadap gaya kepemimpinan transformasional, budaya kolektivisme dan
kepribadian conscientiousness.
Pertama, penelitian Sadeghi, LopePihie (2013) berjudul “the role of
transformational
leadership
style
in
enhancing
lecturers’
job
satisfaction” mengkaji hubungan gaya kepemimpinan transformasional dengan
kepuasan kerja dan hasil penelitian menunjukkan ada pengaruh yang signifikan
antara gaya kepemimpinan transformasional dengan kepuasan kerja ditemukan
bahwa dengan gaya kepmimpinan sangat mempengaruhi kepuasan dosen di
Malaysia. Penelitian ini secara empiris berkontribusi terhadap perkembangan
pengetahuan administrasi akademik dan gaya kepemimpinan ini sangat
mempengaruhi kepuasan kerja dosen.
Penelitian tersebut sangat berbeda
dengan penelitian ini baik dari lokasi penelitian, dan subyek penelitian.
Kedua, penelitian Tkeshelashvili (2009) berjudul “the effects of culture
on the leadership style in Georgia” yang mengkaji dimensi budaya
(kolektivisme, ketegasan, jarak kekuasaan ) dan gaya kepemimpinan di Georgia.
menunjukkan budaya kolektivisme lebih berpengaruh di tempat kerja dari pada
jarak kekuasaan dan ketegasan yang dimilki oleh gaya kepemimpinan. Hasil
yang dicapai terhadap pengaruh budaya dan gaya kepemimpinan di Georgia
mengartikan pengikut dalam mengamati pemimpin sesuai dengan keyakinan dan
dimensi budaya dan pengikut harus mengikuti aturan pemimpin mereka tanpa
pertanyaan sehingga sangat mempengaruhi kinerja.
Gaya kepemimpinan di
Georgia berusaha menjaga keseimbangan antara kekuatiran terhadap produksi
dan karyawan. Penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya yaitu lokasi,
subyek dan metode penelitian.
17
Ketiga, penelitian Taleghani, Salaman, Taatian (2010) berjudul “survey
of leadership style in different of culture” menunjukkan hubungan antara
budaya dan kepemimpinan yang
memperhatikan perbedaan budaya dalam
organisasi untuk memiliki kepemimpinan yang lebih efektif dan untuk mengenali
budaya yang ada dilingkup pekerjaan mereka dengan benar dan untuk
memberikan gaya kepemimpinan yang cocok sehingga dapat mensejahterakan
karyawannya. Penelitian ini berbeda dari penelitian sebelumnya yaitu variabel,
dan lokasi.
Keempat,
penelitian
Jogulu
(2010)
berjudul
“culturally–linked
leadership style”. Hasil penelitian ini memberikan pemahaman empiris untuk
budaya dan gaya kepemimpinan serta memberikan kontribusi untuk memahami
pentingnya keragaman tenaga kerja dengan memperhatikan budaya lain,
sehingga dapat meningkatkan apresiasi kinerja karyawan.
Penelitian ini
mengkaji peran budaya kolektivisme dan gaya kepemimpinan transformasional
terhadap
peningkatan
efektivitas
kinerja
akan
menambah
pemahaman
keterikatan antara tiga konsep tersebut dalam lingkup organisasi. Penelitian ini
berbeda baik dari lokasi tempat dan latar belakang perusahaan industri.
Kelima, penelitian Rais dan Husain (2010) berjudul “the role of
transformational and transactional leadership on job satisfaction and
career satisfaction” .
menunjukkan peranan kepemimpinan transformational
dan transaksional terhadap kepuasan kerja dan keberhasilan karier. Hasil dari
penelitian ini ditemukan bahwa kepemimpinan transaksional secara signifikan
terkait dengan keberhasilan kerja sedangkan kepemimpinan transformasional
ditemukan bahwa memiliki hubungan keterkaitan secara signifikan dengan
18
kepuasan kerja dan keberhasilan kerja. Penelitian ini berbeda dengan penelitian
sebelumnya dari lokasi dan subyek.
Keenam, penelitian Zahari dan Shurbagi (2012) berjudul “the effect of
organizational
culture
and
relationship
between
transformational
leadership and job satisfaction in petroleum of Libya ” tujuan penelitian
untuk mengetahui budaya organisasi dan kepemimpinan transformational
terhadap kepuasan kerja di sektor minyak bumi di Libya, hasil dari penelitian ini
menunjukkan bahwa budaya hirarki yang diterapkan di Libya memiliki hubungan
positif antara gaya kepemimpinan trasformasional terhadap kepuasan kerja.
Berdasarkan penelitian sebelumnya menunjukkan letak perbedaan terhadap
tingkat
kepuasan
kerja
dan
keberhasilan
dalam
pekerjaan
dengan
membandingkan dua gaya kepemimpinan, perbedaan tersebut pada variabel dan
lokasi penelitian.
Ketujuh, penelitian Levy, Richardson, Lounsbury, Stewart, Gibson dan
Drost (2011) berjudul “personality Traits and Career Satisfaction of
Accounting Professionals ” penelitian ini kaitannya sifat kepribadian dengan
kepuasan kerja dalam berkarier dengan tipe kepribadian the big five personality
ditemukan bahwa memiliki pengaruh yang signifikann dengan kepuasan kerja
dalam berkarier dengan mengidentifikasikan hubungan antara kepribadian dan
keinginan dalam bekerja sebagai penentu kepuasan pada stabilitas kerja dan
tingkat prestasi. Penelitian ini memiliki perbedaan dengan penelitian sebelumnya
baik dalam subyek dan variabel serta sampel dalam penelitian sebelumnya.
Kedelapan, penelitian Phipps dan Prieto (2011) berjudul “The Influence
of Personality Factors on Transformational Leadership : Exploring The
Moderating Role of Political Skill, penelitian ini bertujuan untuk menguji
19
kepribadian dan kepemimpinan transformasional serta untuk mengeksplorasi
keterampilan dalam berpolitik.
Penelitian ini berbeda dengan penelitian
sebelumnya pada subyek, lokasi dan variabel.
Download