8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Kebakaran Hutan Sebagian besar orang menyatakan bahwa kebakaran hutan yang terjadi pada sekarang ini adalah kebakaran kawasan hutan yang terjadi di hutan (baik itu berupa hutan sekunder maupun hutan primer). Namun, hal yang sesungguhnya adalah pembakaran yang sengaja dilakukan baik oleh para peladang (berpindah) atau oleh pelaku bisnis kehutanan atau perkebunan. Pembakaran merupakan suatu kegiatan yang dilakukan sesuai dengan keinginan si pembakar, sehingga api diharapkan tidak menjalar bebas layaknya seperti kebakaran hutan. Namun, sayangnya luasan areal yang dibakar dengan sengaja terlalu luas dan terkadang tidak disertai dengan adanya teknik-teknik atau metoda pencegahan. Sehingga api tersebut tidak terkontrol dan meledak sehingga terjadilah kebakaran hutan yang sesungguhnya arah penjalarannya tidak dapat lagi dikontrol oleh pembakar. Menurut Sahardjo (2003) kebakaran hutan merupakan pembakaran yang penjalarannya bebas serta mengkonsumsi bahan bakar alam dari hutan seperti serasah, rumput, ranting/cabang pohon mati, snags/pohon mati yang tetap berdiri, logs, tunggak pohon, gulma, semak belukar, dedaunan dan pohon-pohon. Menurut Syaufina (2008) kebakaran hutan merupakan suatu kejadian dimana api melahap bahan bakar yang bervegetasi, yang terjadi di dalam kawasan hutan yang kemudian menjalar bebas dan tidak terkendali, sedangkan kebakaran lahan terjadi di kawasan non hutan. Kebakaran yang sering terjadi di Indonesia membakar areal hutan dan areal non hutan dalam waktu yang bersamaan, akibat adanya penjalaran api yang berasal dari kawasan hutan menuju kawasan non hutan ataupun sebaliknya. Sehingga hasilnya istilah kebakaran hutan melekat untuk kejadian kebakaran hutan di Indonesia. Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.12/Menhut-II/2009 kebakaran hutan merupakan suatu keadaan dimana hutan dilanda api sehingga mengakibatkan kerusakan hutan dan hasil hutan yang menimbulkan kerugian ekonomis atau nilai lingkungan. Penyebab utama kebakaran hutan yang 9 disebutkan adalah konversi ke penggunaan lahan lain (terutama pertanian), hama dan penyakit, over eksploitasi hasil hutan (kayu industri, kayu bakar), praktek pemanenan yang buruk, penggembalaan berlebih, polusi udara dan badai (FAO 2001). Kebakaran merupakan hal yang sering terjadi di Pulau Kalimantan dan Sumatra, membakar areal dengan luas terbesar pada tahun 1986, 1991, 1994 dan 1997. Kondisi tersebut diperparah oleh fenomena El Nino tahun 1997/1998, kebakaran tak terkendali telah menghancurkan areal sangat luas dari hutan hujan dan semak belukar di Indonesia. Reaksi kimia proses pembakaran dalam kebakaran hutan dapat diterangkan sebagai berikut : Proses fotosintesis : CO 2 + H 2 O + Energi Sinar Matahari --- C 6 H 12 O 6 + O 2 Proses Pembakaran dalam kebakaran hutan: C 6 H 12 O 6 + 6O 2 + Energi dari Api --- 6CO 2 + 6H 2 O + Energi Panas 2.2 Tipe Kebakaran Hutan Salah satu hal yang paling penting dalam kegiatan pemadaman kebakaran hutan adalah dengan mengenal tipe kebakaran hutan yang terjadi, karena tanpa mengetahui secara pasti teknik dan metoda, pemadaman yang akan diterapkan tidak akan berjalan sempurna. Kegiatan pemadaman pada kebakaran gambut tidak sama dengan pemadaman pada kebakaran hutan tajuk. Karena hal tersebut berdampak pada tingkat kerugian yang akan diderita terhadap pemadaman itu sendiri. Dengan diketahuinya tipe kebakaran hutan yang terjadi, sehingga lebih banyak areal yang dapat diselamatkan. Menurut Syaufina (2008) tipe kebakaran hutan dikelompokkan ke dalam tiga tipe, yaitu : 1. Kebakaran bawah tanah (ground fire) Kebakaran yang terjadi pada bawah permukaan cenderung mengkonsumsi bahan-bahan organik yang ada di bawah permukaan tanah (serasah). Bahan organik tersebut berupa bahan yang terdekomposisi. Kebakaran biasanya terjadi bersama-sama dengan kebakaran serasah. Api pada kebakaran bawah permukaan tidak menyala dan terkadang tidak berasap sehingga sulit untuk ditemui. Api 10 tersebut menjalar ke segala arah karena tidak terpengaruh oleh angin sehingga kebakaran ini dapat membentuk lingkaran. Dilihat dari dampaknya api ini paling merusak lingkungan. Kebakaran hutan yang terjadi di Kalimantan pada tahun 1982/1983 dan tahun 1997/1998 merupakan kebakaran hutan yang didominasi oleh kebakaran gambut (bawah). Tipe kebakaran ini didominasi oleh proses smoldering dan biasanya bertahan dalam jangka waktu yang lama dengan kecepatan penjalaran 1,5 g/m2/jam atau 0,025 cm/jam. 2. Kebakaran permukaan (surface fire) Api tersebut membakar serasah, tanaman bawah, semak-semak dan anakan. Tipe kebakaran di hutan dimulai dengan kebakaran permukaan, karena jumlah bahan bakar pada permukaan tanah hutan berlimpah dan didukung oleh jumlah oksigen yang lumayan besar dan juga dipengaruhi oleh angin, maka kebakaran ini menyala dan menjalar dengan cepat tetapi relatif dapat dipadamkan. Dalam penjalarannya, api dipengaruhi oleh angin permukaan sehingga dapat membakar tumbuhan yang lebih tinggi hingga tingkat pohon (crowning out). Tipe ini merupakan tipe kebakaran yang paling umum terjadi di hampir semua tegakan hutan. 3. Kebakaran Tajuk (Crown Fire) Kebakaran tajuk merupakan kebakaran yang terjadi pada tajuk pohon atau semak yang dipengaruhi oleh kebakaran permukaan yang menjalar ke tajuk pohon, tetapi juga terjadi kebakaran tajuk dahulu kemudian disusul dengan kebakaran permukaan karena api dari tajuk jatuh ke permukaan tanah. Api pada tipe ini bergerak dari tajuk pohon atau semak yang lain, paling sedikit daun-daun dari pohon atau semak habis terbakar. Kebakaran tipe ini dapat menghasilkan api loncat (spot fire), yaitu ranting atau bagian pohon yang terbakar terbawa angin dan menimbulkan kebakaran baru di tempat lain. Sumantri (2003) mengemukakan kebakaran dipengaruhi oleh 3 faktor utama, semuanya akan membantu dalam menentukan pola kebakaran. Jika kebakaran terjadi pada daerah yang relatif datar, bahan bakar relatif rapat, dan relatif tidak ada angin, maka bentuk kebakaran akan menjadi bulat, keluar dari 11 titik awal api. Bentuk dan pola kebakaran akan berubah jika dipengaruhi oleh faktor berikut: 1) Angin (pengaruh dominan pada kebakaran). Api akan membakar bahan bakar searah dengan arah angin. 2) Kemiringan lereng. Jika terdapat lereng maka api cenderung bergerak ke arah bukit (hanya arah angin dan bahan bakar akan merubah arah) 3) Bahan bakar (kurang efektif dijadikan patokan). Jika kebakaran bergerak melalui berbagai tipe bahan bakar, pola kebakaran akan berubah-ubah. Tipe dan susunan bahan bakar atau sedikitnya bahan bakar mungkin mengindikasikan arah dari penyebaran api. 2.3 Faktor Penyebab Kebakaran Hutan di Indonesia 2.3.1 Faktor Alam Menurut Syaufina (2008) kebakaran hutan dan lahan yang dapat terjadi secara alami antara lain disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya petir, letusan gunung berapi, atau batu bara yang terbakar. Hal tersebut didukung oleh kondisi iklim dan jenis bahan bakar hutan yang memungkinkan untuk terbakar misalnya kelembaban yang rendah. Indonesia merupakan negara tropis yang jarang mengalami kejadian kebakaran yang disebabkan oleh faktor alam. Petir yang terjadi di Indonesia hampir tidak mungkin menyebabkan terjadinya kebakaran karena selalu bersamaan dengan terjadinya hujan. Akibatnya hasil dari percikan api dari petir tersebut mengenai bahan bakar, sehingga tidak dapat berkembang dan menjalar kebagian yang lebih luas. Batu bara yang terbakar dan tetap membara juga dapat menjadi pemicu terjadinya kebakaran. Biasanya batu bara tersebut terdeposisi di bawah permukaan tanah. Pada saat kondisi cuaca kering, akan menyebabkan terjadinya penyalaan dan dapat membakar bahan bakar yang berada di atasnya. Menurut Sahardjo (2003) belakangan ini yang semakin populer dijadikan kambing hitam sumber api adalah disebabkan oleh gesekan kayu atau ranting pada waktu terjadi tiupan angin. Namun dari hasil pengamatan di laboratorium menunjukkan bahwa hal tersebut mustahil terjadi, bahkan sulit dipercaya. 12 Bahan bakar hutan (Forest fuel) didefinisikan oleh FAO/IUFRO sebagai segala sesuatu bahan atau campuran yang dapat dibakar dan bahan yang dapat menyala (Chandler et al. 1983). Bahan bakar bersama cuaca dan topografi merupakan tiga faktor yang umum dalam mempengaruhi perilaku kebakaran liar. Dari ketiga faktor tersebut bentuk topografi dan kondisi cuaca adalah faktor yang sedikit sekali dapat dipengaruhi oleh manusia. Bahan bakar yang berupa biomass hidup atau mati per unit luas merupakan besarnya jumlah energi tersimpan yang menentukan karakteristik kebakaran potensial di lapangan (Whelan 1995). Susunan bahan bakar merupakan faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya kebakaran hutan. Iklim pada masing-masing wilayah geografi menentukan tipe bahan bakar dan panjangnya musim kebakaran atau waktu dalam setahun dimana sering terjadi kebakaran. Pola lamanya dan intensitas dari musim kebakaran dari suatu daerah tertentu merupakan fungsi utama dari iklim tetapi sangat dipengaruhi oleh sifat bahan bakar hutan. Pola cuaca kebakaran hutan yang bersifat tahunan, berulang maupun musiman mencerminkan bahan bakar cuaca, musim kebakaran yang parah juga dihubungkan dengan musim kering yang berskala dalam cenderung untuk terjadi dalam suatu siklus (Brown & Davis 1973). Menurut Fuller (1991) cuaca mempengaruhi bagaimana, dimana dan kapan kebakaran hutan dapat terjadi, pengendali kebakaran menyebutnya sebagai cuaca kebakaran (fire weather) yaitu sifat-sifat cuaca yang mempengaruhi terjadinya kebakaran. Seperti cuaca panas yang kering disertai dengan angin ribut, badai dan petir yang akan menyebabkan kebakaran. Perbedaan pemanasan matahari pada permukaan bumi berperan dalam variasi iklim yang memberikan kontribusi pada bahaya kebakaran. Penyinaran matahari selain memanaskan permukaan bumi juga memanaskan lapisan udara dibawahnya. Pemanasan udara menimbulkan perbedaan tekanan udara yang menyebabkan terbentuknya pola pergerakan angin sehingga angin akan bergerak dari tekanan tinggi ke tekanan rendah. 2.3.2 Faktor Manusia Lebih dari 99% penyebab kebakaran hutan dan lahan gambut adalah akibat ulah manusia, baik yang disengaja maupun tidak disengaja melakukan 13 pembakaran ataupun akibat kelalaian dalam menggunakan api. Hal ini didukung oleh kondisi-kondisi tertentu yang membuat rawan terjadinya kebakaran seperti gejala El-Nino, kondisi fisik hutan yang terdegradasi dan rendahnya kondisi sosial ekonomi (Tacooni 2003). Faktor sosial ekonomi dari aktivitas masyarakat di sekitar hutan berpengaruh terhadap kebakaran hutan dengan korelasi positif adalah pengeluaran rumah tangga dan kegiatan masyarakat didalam kawasan hutan. Makin tinggi jumlah pengeluaran rumah tangga akibat tidak diimbangi dengan jumlah pendapatan (defisit) ternyata peluang kebakaran hutan akan meningkat (Soewarso 2003). Keterkaitan masyarakat dengan hutan telah berlangsung cukup lama, hal ini disebabkan bahwa hutan memberikan manfaat bagi kehidupan masyarakat. Adanya hutan memberikan kesempatan pada masyarakat untuk bekerja terutama dalam hal: pembukaan lahan, penebangan kayu, pembersihan lahan sehingga upah yang mereka terima tergolong lumayan. Karena tingkat kemampuan sumberdaya hutan untuk berganti sangatlah terbatas, maka didalam pemanfaatannya juga memperhatikan batas-batas tersebut. Dengan meningkatnya jumlah penduduk, kurangnya lapangan pekerjaan dan banyaknya perusahaan maka eksploitasi sumberdaya hutan juga akan semakin besar. Bagi masyarakat yang tinggal disekitar hutan memiliki tingkat ketergantungan yang tinggi terhadap hutan, kebiasaan yang dilakukan atau budaya hutan yang tumbuh dan berkembang seiring dengan tumbuhnya sistem sosial masyarakat, akan mengalami pergeseran dengan hilangnya sejumlah hasil hutan. Pembukaan hutan oleh pemegang HPH dan perusahaan perkebunan untuk pengembangan tanaman industri dan perkebunan umumnya mencakup areal yang cukup luas. Metoda pembukaan lahan dengan cara tebang habis dan pembakaran merupakan alternatif pembukaan lahan yang paling murah, mudah dan cepat. Namun metoda ini sering berakibat kebakaran tidak hanya terbatas pada areal yang disiapkan untuk pengembangan tanaman industri atau perkebunan, tetapi meluas ke hutan lindung, hutan produksi dan lahan lainnya. Penyebab struktural, umumnya berawal dari suatu konflik antara para pemilik modal industri perkayuan maupun pertambangan, dengan penduduk asli yang merasa kepemilikan tradisional (adat) mereka atas lahan, hutan dan tanah 14 dikuasai oleh para investor yang diberi pengesahan melalui hukum positif negara. Akibatnya kekesalan masyarakat dilampiaskan dengan melakukan pembakaran demi mempertahankan lahan yang telah mereka miliki secara turun temurun. Disini kemiskinan dan ketidakadilan menjadi pemicu kebakaran hutan dan masyarakat tidak akan mau berpartisipasi untuk memadamkannya. PFFSEA (2003) menyatakan bahwa ada berbagai aktivitas masyarakat tradisional yang menggunakan metode pembakaran dalam proses penyiapan lahannya. Seperti sistem budidaya pada sonor (padi ditanam pada lahan-lahan gambut yang kemudian sengaja dibakar pada musim kemarau). Demikian juga pembukaan lahan oleh petani hutan bertujuan untuk membuka ladang baru atau memperluas lahan dilakukan dengan sistem tebas, tebang dan membakar. Menurut Sahardjo (2003) sumber api disebabkan oleh adanya konflik sosial dan operasi pembalakan diantaranya adalah: • Status kepemilikan lahan garapan • Pekerja lapangan yang tidak dibayar penuh upahnya • Kontraktor pelaksana memperdayai pekerja • Manipulasi oleh pihak pelaksana pembangunan hutan • Hubungan yang tidak harmonis antara penduduk dengan pihak perusahaan • Pembukaan lahan dengan menggunakan api yang tidak terkontrol • Api unggun • Pembakaran sisa-sisa pohon, cabang/ranting, daun • Iseng (motif tidak jelas) Puntung rokok sering dinyatakan sebagai penyebab kebakaran hutan sekaligus dijadikan sebagai alasan utama dan paling mudah dalam laporan kejadian kebakaran. Syaufina (2008) menyatakan bahwa kegiatan-kegiatan yang diidentifikasi sebagai penyebab terjadinya kebakaran hutan yaitu: - Pembakaran untuk pembukaan kebun - Loncatan api dari kebun/hutan - Orang memancing ikan atau pencari kodok - Sabotase - Membakar hutan karena ada kasus/dendam dengan perusahaan 15 - Membakar hutan karena jalan menuju ladang/kebun mereka rusak - Ketidaksengajaan pekerja HTI Menurut Syaufina (2008) pembakaran dengan menggunakan puntung rokok sebagai sumber panas ternyata tidak mengakibatkan gambut terbakar, bahkan pada serasah atau alang-alang yang terdapat di atasnya. Hal tersebut terjadi disebabkan panas puntung rokok tidak cukup mengakibatkan terjadinya kebakaran. 2.4 Pengendalian Kebakaran Hutan Pengendalian kebakaran hutan merupakan aktivitas yang dilakukan dalam rangka melindungi hutan dari kebakaran liar dan penggunaan api untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dalam pengelolaan hutan. Menurut Husaeni (2003) komponen kegiatan pengendalian hutan diantaranya adalah : a. Mencegah terjadinya kebakaran hutan b. Memadamkan kebakaran hutan dengan sesegera mungkin c. Penggunaan api dilakukan hanya untuk tujuan tertentu Agar pengendalian kebakaran hutan dapat berhasil dengan baik, maka sebelum pelaksanaannya perlu disusun suatu rencana pengendalian yang menyeluruh. Rencana tersebut merupakan dasar dalam pelaksanaan pencegahan, pemadaman dan penggunaan api di dalam hutan dan daerah disekitarnya. Adanya rencana kegiatan pengendalian kebakaran hutan merupakan suatu hal yang tidak dapat dipisahkan dari rencana pengelolaan atau managemen hutan. Deteksi kebakaran dengan menggunakan titik hotspot merupakan salah satu upaya dalam pengendalian kebakaran hutan. Deteksi kebakaran merupakan suatu kegiatan yang dilakukan untuk mengetahui adanya kebakaran dan lokasinya. Deteksi api ini merupakan salah satu bagian dari tahapan kegiatan prapemadaman kebakaran. Selain itu tahapan pra-pemadaman terdiri dari (Husaeni 2003): pembentukan organisasi, pelatihan petugas, pengadaan dan pemeliharaan peralatan, deteksi api, kerjasama dengan pihak lain, penyiapan logistik, penyiapan lapangan, penilaian bahaya kebakaran dan penyiapan komuniaksi. 16 Deteksi kebakaran merupakan tahapan yang penting dalam pemadaman kebakaran. Tanpa mengetahui lokasinya, kebakaran tersebut tidak bisa dipadamkan. Kemampuan organisasi untuk dapat menentukan lokasi kebakaran dengan segera dan cepat, merupakan dasar dari pemadaman yang efektif. 2.5 Kejadian Kebakaran Hutan 2.5.1 Hotspot Untuk mendeteksi adanya suatu kejadian kebakaran hutan dapat menggunakan teknik penginderaan jauh. Satelit National Oceanic and Atmospheric Administration/Advance Very High Resolution Radiometer (NOAA AVHRR) merupakan satelit yang paling sering digunakan untuk mendeteksi kebakaran hutan. Pada satelit ini dilengkapi dengn sensor Advance Very High Resolution (AVHRR) yang melakukan perekaman setiap hari pada resolusi sedang berkisar 1 km. Hotspot merupakan titik-titik panas di permukaan bumi dimana titik tersebut merupakan indikasi adanya kebakaran hutan (Ratnasari 2000 dalam Thoha 2008). Di Indonesia terdapat tiga sumber penyedia hotspot diantara JICA (Japan International Coorperation Agency), LAPAN (Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional), dan ASMC (ASEAN Specialized Meteorology Center). Perbedaan antara ketiga sumber tersebut terletak pada ambang batas (threshold) suhu terendah sehingga hasil perekaman dapat dinyatakan sebagai suatu hotspot. LAPAN menggunakan threshold sebesar 322 0K, JICA menurut FFMP tahun 2004 threshold yang digunakan 315 0K pada siang hari dan 310 0K pada malam hari yang lebih rendah dibandingkan ASMC yang menggunakan threshold sebesar 320 0K pada siang hari dan 314 0K pada malam hari. 2.5.2 Karakteristik Data Hotspot Kebakaran hutan dapat dipantau dengan menggunakan data AVHRRNOAA (Advanced Very High Resolution Radiometer-National Oceanic and Atmospheric Administration) yaitu melalui pengamatan hotspot. Kebakaran hutan dapat dipantau melalui pengamatan hotspot yang merupakan titik panas permukaan bumi, dimana titik-titik tersebut merupakan indikasi adanya kebakaran 17 hutan (Thoha 2008). Suatu hotspot dikatakan sebagai kejadian kebakaran di permukaan bumi apabila terdeteksi pada koordinat yang sama selama 3 hari atau lebih secara berturut-turut (Lapan 2004 dalam Hadi 2006). Data Hotspot dari suatu citra dijadikan sebagai indikasi kebakaran hutan baik sebagai indikasi kebakaran tajuk, kebakaran permukaan maupun kebakaran bawah. Dalam penentuan luas kebakaran hutan band yang digunakan adalah band 3 dan band 4 atau band visible dan band inframerah. Menurut data LAPAN (2005) pada band 3 panjang gelombang yang digunakan adalah 3,55 – 3,93 mm, hal ini disebabkan karena pada band 3 wujud gelombang visible sangat sensitif terhadap emisi panas sedangkan untuk band 4 panjang gelombang yang digunakan adalah 10,3 – 11,3 mm. Hotspot mengindikasikan lokasi kebakaran hutan yang kemudian dapat dideteksi kedalam komputer atau peta yang akan dicetak yang setelah dicocokan dengan koordinatnya. Untuk menggambarkan titik kebakaran hutan disebut dengan firespot. Dalam memprediksi jumlah hotspot merupakan hal yang tidak mudah hal ini disebabkan karena kebakaran merupakan masalah yang sangat kompleks yang melibatkan faktor-faktor alam seperti cuaca atau iklim dan bahan bakar yang mempengaruhi sedangkan faktor manusia disebakan oleh kegiatan pemanfaatan lahan, ekonomi dan budaya bahkan kelembagaan. Data hotspot sering digunakan untuk pendeteksian kebakaran dikarenakan sensornya dapat membedakan suhu permukaan di darat maupun di laut, pengambilan data pada satelit tersebut 2 kali sehari yaitu pada waktu siang dan malam. Maka, dengan demikian data hotspot dapat digunakan untuk pendeteksian kebakaran hutan di wilayah kebakaran hutan. Data hotspot dideteksi dengan menggunakan satelit NOAA kemudian disampaikan menuju antena penerima dan menghasilkan interpretasi citra yang dapat berupa produksi peta, kemudian dilakukan akurasi data dengan melakukan pengecekan di lapangan (Gambar 2). Manfaat lain jika menggunakan data hotspot adalah selain harganya relatif murah penggunaan satelit nya pun tidak dikenai biaya apapun, namun untuk mendapatkan citra atau foto dari satelit tersebut membutuhkan hardware dan software yang dapat dikatakan mahal. Contohnya adalah satelit NOAA merupakan satelit yang menghasilkan data hotspot dapat dengan mudah diakses, 18 murah dan cepat dengan menggunakan internet pada berbagai informasi sebagai penyedia data hotspot. 2.5.3 Akurasi Data Hotspot Permasalahan yang ditemukan dalam pemanfaatan data hotspot diantaranya yang pertama yaitu karakteristik data. Menurut FFPMP (2004) sensor pada satelit NOAA AVHRR tidak dapat menembus awan, asap atau aerosol. Kelemahan tersebut akan merugikan jika kebakaran besar sehingga pada wilayah tersebut tertutup asap. Selain itu, khusus untuk citra NOAA resolusi yang dihasilkan masih rendah sehingga kesalahan perkiraan terhadap titik kebakaran masih cukup sering terjadi misalnya cerobong api dari suatu tambang minyak atau gas, areal tanah kosong yang relative lebih panas seringkali terdeteksi sebagai suatu hotspot. Kedua yaitu adanya perbedaan hasil data hotspot yang diakibatkan oleh belum adanya standar internasional khususnya dalam sistem pendeteksian hotspot. Ketiga yaitu sistem distribusi data yaitu kecepatan dalam pengiriman data hasil olahan sangat penting khususnya bila saat terjadinya kebakaran. Semakin cepat suatu informasi diterima maka semakin memudahkan stakeholder dalam melakukan tindakan. Keberlanjutan ketersediaan data harus ditingkatkan terutama bagi instansi pemerintah seperti Lembaga Penerbangan Antariksa Nasional (LAPAN), Badan Penerapan Pengkajian Teknologi (BPPT), Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), dan Departemen Kehutanan yang memiliki kapasitas dan kemampuan di dalam teknologi penginderaan jauh ataupun data iklim. 19 Gambar 2 Arus sistem informasi data hotspot (sumber : Dinas Kehutanan Provinsi Jambi (2011)) Selain itu ada juga yang dinamakan dengan false hotspot atau hotspot palsu yang terjadi akibat adanya pengaruh gelombang radio dan efek yang dinamakan dengan sun glint. Gelombang radio dapat menganggu penerimaan hotspot dan dapat muncul sebagai hotspot. Sun glint terjadi ketika satelit tersebut tegak lurus dengan sebuah permukaan yang sangat luas dan dapat memantulkan cahaya matahari misalnya pada perairan (danau, sungai), awan, gurun dan atap logam. Hampir pada setiap hotspot palsu dapat dikoreksi pada saat pemrosesan hotspot sehingga data yang diterima oleh pengguna (user) relatif bebas hotspot palsu. Namun cek lapang tetap diperlukan untuk memastikan kebenaran data hotspot. 2.5.4 Deteksi Hotspot Setiap kebakaran hutan yang terjadi tidak dapat dideteksi sebagai hotspot. Beberapa faktor yang mempengaruhi deteksi hotspot diantaranya adalah jenis kebakaran, adanya penghalang deteksi (tajuk pohon, asap, awan), waktu lintasan satelit, luas dan intensitas (besarnya) kebakaran. Ketika terjadi kebakaran hutan dibawah tajuk, dibawah permukaan (ground fire), asap tebal dan awan maka satelit tidak dapat mendeteksi karena terhalang. Selain itu, satelit melewati areal 20 pada waktu jam tertentu ketika terjadi kebakaran hutan sebelum dan setelah melewati satelit tersebut maka kebakaran hutan tidak akan terdeteksi oleh satelit. Kebakaran hutan yang dapat terdeteksi sebagai hotspot adalah kebakaran dengan luas dan intensitas tertentu. Meskipun yang terbakar hanya padang rumput, kebakaran tersebut dapat dideteksi sebagai hotspot. Sebaliknya cerobong api penambangan minyak dengan luasan yang tidak terlalu besar dapat terdeteksi sebagai hotspot karena suhunya sangat tinggi. Kebakaran hutan dapat dideteksi sebagai hotspot tergantung pada sudut scan satelit, bioma, posisi matahari, suhu permukaan bumi, tutupan awan, banyaknya asap dan arah angin. Maka ukuran kebakaran hutan yang dapat dideteksi sangat tergantung kepada variabel tersebut. Dalam kondisi pengamatan yang optimal (dekat nadir, asap sedikit atau tidak ada, permukaan bumi relatif homogen) kebakaran hutan dengan luas 100 m2 dapat dideteksi. Namun dalam kondisi bebas awan, asap atau polusi (sangat jarang terjadi) kebakaran seluas 50 m2 dapat dideteksi. Jaya (2003) menerangkan bahwa metode deteksi hotspot terbagi kedalam 3 metode yaitu : 1) Perolah Data dan Pra-Pemrosesan Proses penangkapan dan pemrosesan dari data NOAA-AVHRR dilakukan dengan menggunakan sistem penerimaan dan pengolahan data satelit yang dibuat oleh BURL (Bradford University Research Limited). Sistem tersebut terdiri dari perangkat keras dan perangkat lunak. Tahap pertama yang dilakukan adalah dengan membuat perencanaan perolehan data yaitu dengan memilih daerah mana yang akan diambil datanya, dan menentukan luas cakupan liputannya. Selanjutnya ketika pada saat perekaman datang, dilakukan proses capturing, setelah data diterima proses dilakukan dengan kalibrasi, navigasi dan overlay citra tersebut untuk memberi referensi geografis. Citra satelit digital dapat dianalogikan dengan matriks nilai-nilai kecerahan. Untuk data NOAA-AVHRR nilai-nilai kecerahan tersebut dikonversi menjadi 3 cara yaitu nilai radiasi (saluran 1,2,3,4,5) nilai albedo (saluran 1 dan 2) serta nilai suhu kecerahan (saluran 3,4 dan 5). Data tersebut kemudian mengalami proses ekstraksi informasi untuk mendapatkan koordinat hotspot. 21 2) Metode Sederhana Deteksi hotspot dengan metode ini, dilakukan dengan menggunakan batas nilai ambang suhu kecerahan tertentu, pada matriks citra tersebut. Dalam bentuk Logika Boolean dinyatakan dengan: If nilai citra > α Then nilai citra = hotspot Else nilai citra = bukan hotspot Dimana : nilai citra = suhu kecerahan saluran yang digunakan α = nilai ambang (310 0K, 315 0K, 321 0K) Nilai ambang bukanlah suatu nilai yang baku, tetapi dapat diubah-ubah sesuai dengan kondisi iklim atau daerah yang dideteksi. Misalnya FFPMP-JICA menggunakan suhu 310 0K untuk nilai ambang, sedangkan untuk FFPCP-EU di Palembang menggunakan nilai 320 0K sebagai ambang batas nilai hotspot. Kelebihan dari cara ini adalah sederhana dalam cara perhitungannya, sehingga waktu pemrosesan lebih singkat. Kelemahannya tidak bisa mengeliminasi efek kilau surya. Jika teknik ambang di terapkan, maka nilai pantulan air yang tinggi masuk sebagai nilai pancaran, dalam kategori hotspot, sehingga terjadilah kesalahan deteksi titik hotspot di laut atau danau. 3) Metode Algoritma Kontekstual Metode ini dikembangkan untuk mengatasi kelemahan pada metode sederhana. Langkah pertama yang dilakukan, citra NOAA-AVHRR dipilah menjadi dua obyek yaitu air dan daratan, dengan penggunaan NDVI, kemudian yang diproses adalah bagian daratan saja. Dari obyek daratan kemudian dipilih obyek awan. Obyek daratan yang telah dipilah dari obyek awan, kemudian dideteksi obyek-obyek yang dianggap merupakan tanah kering panas. Hasil dari deteksi ini adalah hotspot yang telah tereliminasi dari obyek air, awan dan tanah kering panas. Walaupun telah dieliminasi, namun terkadang hotspot terdeteksi sebagai areal yang luas. Pada kenyataannya hal tersebut sulit sekali terjadi peristiwa kebakaran hutan dalam satu areal yang luas dan terbakar sekaligus, karena adanya kecendrungan dari kebakaran hutan adalah jika telah mencapai luasan yang cukup luas, maka bagian tengah hutan yang terbakar sudah padam. 22 Tujuan dari penerapan algoritme ini adalah untuk mendeteksi hotspot dalam luasan yang masuk akal, untuk dianggap sebagai kebakaran hutan. 2.5.5 Penerjemahan Hotspot dan Kejadian Kebakaran di Lapangan Setiap hotspot menunjukkan titik tengah dari piksel yang berukuran ±1 km2 sehingga koordinat hotspot tidak selalu sama dengan koordinat kebakaran di lapangan. Sebuah hotspot tidak dapat diterjemahkan bahwa telah terjadi kebakaran seluas 1 km2 di daerah tersebut, hotspot hanya berarti kebakaran tersebut terjadi di dalam lingkup piksel berukuran 1 km2 tersebut. Ketika kita melakukan zoom (pembesaran) pada sebuah gambar maka kita akan melihat gambar menjadi pecah dan terdapat kotak-kotak. Kotak-kotak itulah yang dinamakan piksel. Secara sederhana piksel diartikan sebagai unit terkecil dari citra satelit/foto. Satu piksel pada citra satelit NOAA, TERRA dan AQUA setara dengan ± 1 km2. Namun 1 piksel tidak selalu setara dengan 1 km2, ketika berada di pinggir lintasan (scan track) maka nilai piksel dapat bernilai lebih dari 1 km2. Ketika terjadi kebakaran hutan/lahan di dalam areal sebuah piksel dan terdeteksi sebagai hotspot maka koordinat kebakaran hutan/lahan tersebut akan ditampilkan di tengah piksel meskipun lokasi kebakaran berada di pinggir piksel. Sebagai konsekuensinya dalam tindaklanjut data hotspot kita harus menyusuri areal kurang lebih 1 km dari koordinat hotspot untuk dapat menemukan lokasi kebakaran hutan sebenarnya. Gambar 3 Piksel dari citra satelit dan hotspot yang terletak ditengah-tengah piksel 23 Satelit yang digunakan di dunia untuk memperoleh data hotspot pada saat ini adalah NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration), TERRA dan AQUA. Ketiga satelit tersebut dimiliki oleh Amerika Serikat. NOAA dikelola oleh United States Departemen of Commerce, sedangkan TERAA dan AQUA dikelola oleh NASA (National Aeronautics and Space Administration) Gambar 4 Ilustrasi antara deteksi hotspot dan kejadian kebakaran di lapangan Keterangan : Gambar 4A. Ketika terjadi sebuah kebakaran di pojok kiri bawah dalam lingkup salah satu piksel maka kebakaran tersebut ditampilkan sebagai suatu hotspot di tengah-tengah piksel tersebut. Gambar 4B. Ketika terjadi dua buah kebakaran didalam salah satu piksel maka kebakaran tersebut akan tetap ditampilkan sebagai salah satu hotspot yang berada di tengah-tengah piksel. Gambar 4C. Ketika terjadi 2 lokasi kebakaran, satu kebakaran terjadi didalam sebuah piksel dan kebakaran lainnya terjadi di tengah-tengah dari 4 buah piksel maka kebakaran tersebut dapat terdeteksi 4 buah hotspot. Sehingga disimpulkan bahwa jumlah hotspot tidak sama dengan jumlah titik api atau kejadian kebakaran 2.6 Tipe Sistem Informasi Kebakaran Beberapa sistem telah dikembangkan untuk memberikan sistem peringatan dini, dalam rangka pencegahan terhadap bahaya kebakaran diantaranya adalah: 24 a. Early Warning System Early warning system dikembangkan dengan menggunakan data cuaca harian sebagai dasar dalam menghitung indeks kekeringan. Indek kekeringan digunakan sebagai indikator dalam menghitung tingkat berkurangnya kelembaban lahan dan tanah. Indek kekeringan ini dapat dihitung dengan menggunakan rumus KBDI (Keech-Byram Drought Index). Variabel-variabel yang digunakan antara lain: a. Curah hujan tahunan rata-rata b. Suhu maksimum c. Curah hujan harian Di Indonesia khususnya Kalimantan Barat, KBDI digunakan oleh proyek IFFM-GTZ (Integrated Forest Fire Management). KBDI = (2000-KBDI*) x (0,9676xEXP(0,087xTmax+1,552)-8,229) x 0,001/ (1+10,88*EXP(-0,00175xAnnrain)) + 0,5 Dimana : KBDI = Keech-Byram Drought Index KBDI* = Keech-Byram Drought Index untuk hari sebelumnya Ann rain = Curah Hujan Tahunan (mm) Tmax = Suhu Maksimum (0C) b. Fire Danger Rating System FDRS telah dibangun di Indonesia hasil kerjasama dari Canadian Forest Service-CFS dan BPPT, dengan adanya dukungan dari institusi pemerintahan yang terkait seperti Kementrian Kehutanan, Kementerian Lingkungan hidup, BMKG, LAPAN, dan beberapa perguruan tinggi seperti Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Riau (UNRI) dan Universitas Tanjungpura (UNTAN) yang telah menerima bantuan dari Canadian International development Agency (CIDA). Informasi tersebut dapat diakses di internet pada situs www.fdrs.or.id atau www.haze-online.or.id. FDRS ini merupakan suatuu sistem yang digunakan untuk memonitor kebakaran hutan pada tingkat regional hingga pusat, khususnya dalam rangka upaya pencegahan dan pemadaman kebakaran. FDRS merupakan suatu early warning system yang terfokus pada adanya kemungkinan adanya titik apai atau tidak. Sistem ini dibuat atas dasar adanya indikator penyebab adanya titik api. Misalnya kelembaban bahan bakar dan 25 tingkat kekeringan dari bahan bakar. Sehingga hasilnya dapat menggunakan level bahaya api pada area tertentu. c. Sistem Monitoring Hotspot Metode yang digunakan untuk memonitor hotspot adalah satelit remote sensing. Data satelit dapat digunakan sebagai indikator adanya titik api, sehingga penting untuk dimelakukan analisis, pengawasan dan terkadang perlu melakukan groundcheck di lapangan untuk menentukan pencegahan dan pemadaman, khususnya pada saaat musim kering. Satelit yang sering digunakan adalah satelit NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration), dengan sensor AVHRR (Advance Very high Resolution Radiometer),yang mana sensor ini dapat membedakan suhu darat dan laut. Satelit NOAA dapat digunakan bebas, tapi untuk memperoleh gambar dari satelit diharuskan memiliki hardwere dan softwere yang mahal. Indonesia memiliki 7 stasiun satelit NOAA, termasuk milik Kementrian Kehutanan-JICA (Sipongi) dan milik LAPAN Jakarta. Sebagai monitor dari hotspot, satelit NOAA memiliki kelemahan. Pada sensor tersebut tidak dapat menembus awan, asap atau aerosol. Sensivitas sensor pada suhu bumi, ditmabah resolusi yang rendah, menyebabkan kemungkinan estimasi error. Sehingga sangat diperlukan dalam overlay hotspot data dengan peta tutupan lahan dengan menggunakan metode Geograpic Information System (GIS) dan juga mengidentifikasi dengan groundcheck di lapangan.