Hindu dan Toleransi

advertisement
TEATER CARTESIAN
Share
Friday, 31 October 2008 at 16:46
Isu utama dalam filsafat, selama berabad-abad, adalah pernyataan tentang relasi antara
pikiran dan eksistensi (keberadaan). Kini, ilmu pengetahuan (melalui disiplin ilmu
bernama neuro-sains) telah menyingkap esensi dari pikiran dan cara kerjanya. Interpretasi
atas kerja otak yang merupakan misteri, akhirnya bisa dipecahkan—yang dulunya selalu
dipenuhi penjelasan yang spekulatif dari teologi dan filsafat agama. Kemajuan di bidang
neuro-sains, seperti yang dikatakan filsuf Daniel Dennet, telah menyediakan konfirmasi
yang berharga bagi filsuf. Pikiran tidak lain hanyalah cara otak untuk mengada. Ini
merupakan fenomena yang kompleks dari hasil evolusi manusia selama jutaan tahun.
Otak manusia (homo sapiens) sekarang sebenarnya adalah proses kompleks yang terjadi
dalam sistem syaraf dan kesalingterhubungan antara proses mental dan lingkungannya.
Pemahaman yang tepat atas pikiran seperti ini, telah tertunda selama berabad-abad.
Hingga mengakibatkan para teolog untuk berspekulasi tentang sifat mistis yang diberikan
Tuhan dalam diri manusia: yakni jiwa. Kemajuan di bidang neuro-sains telah membuat
filsuf kontemporer seperti Daniel Dennet menyingkirkan argumen teologi dan filsafat
religius. Seiring dengan semakin terbukanya rahasia-rahasia di balik cara kerja otak dan
sistem syarat, maka semakin mudah lah menjelaskan pikiran tanpa mendasarkan
pandangan pada hal-hal supernatural.
Lantas seperti apakah itu pikiran? Dalam pandangan Gereja Abad pertengahan, pikiran
adalah ”Rumah Tuhan”. Dalam pandangan Rene Descartes, bapak filsafat modern,
pikiran adalah penggerak tubuh. Pikiran adalah semacam penggerak mesin sehingga
menjadikan tiap organisme hidup. Pada tiap zaman, penggambaran suatu pengetahuan
memang mencerminkan keterbatasan ilmu pengetahuan pada masanya. Termasuk juga
soal otak ini. Pandangan dunia yang mekanistik pada zaman Descartes hidup pada abad
18, mencerminkan fakta bahwa ilmu pengetahuan yang paling maju pada waktu itu
adalah mekanika. Konteks ini pun juga turut berpengaruh ketika Descartes memikirkan
tubuh manusia sejenis mesin. Ia pun harus mencari sesuatu tempat dimana jiwa
bermukim, yang akhirnya lokasi jiwa itu ia temukan di kelenjar pineal di bagian otak.
Meskipun temuan Descartes ini kemudian terbukti keliru.
Pikiran adalah suatu area persepsi yang mirip dengan teater. Begitu banyak persepsi
terjadi dan dibuat seperti suatu benda, peristiwa, karakteristik dan pengalaman.
Sebagaimana alegori Gua yang terkenal yang dipaparkan oleh Plato: bahwa apa yang kita
anggap sebagai realitas di dunia ini bukan lah realitas yang sesungguhnya, melainkan
mirip bayangan manusia yang berada dalam Gua. Apa yang kita saksikan di dunia ini
hanyalah sebuah tiruan (atau bayangan) dari bentuk yang sejatinya yang ada di dalam
pikiran kita. Coba kita tutup mata kita! Maka kita seolah-olah bisa melihat bayangan
mental (yang tidak nyata) di dalam pikiran.
Dalam kondisi semacam ini, pikiran kita seperti memiliki suatu layar tidak nyata atau
semacam panggung teater yang bisa kita lihat dengan mata pikiran. Lantas, dimanakah
tempat pikiran itu berada? Berdasar penelitian yang ada, di dalam otak kita tidaklah ada
pusat tempat dimana semua proses pikiran berkerja. Pertanyaan-pertanyaan semacam tadi
pasti muncul dikarenakan kita sebagai manusia tidak menyangka bahwa memang
pertanyaan dimana pusat tempat terjadinya pikiran selalu ingin dicari--sesuatu yang
berhubungan dengan subyektivitas.
Download