Kajian disparitas pembangunan antar wilayah

advertisement
 TINJAUAN PUSTAKA
Konsep Pembangunan dan Pergeseran Paradigma Pembangunan
Istilah pembangunan atau development menurut Siagian (1983) adalah suatu
usaha atau rangkaian usaha pertumbuhan dan perubahan yang terencana dan
dilakukan secara sadar oleh suatu bangsa, negara, dan pemerintah menuju
modernitas dalam rangka pembinaan. Sedangkan menurut Rustiadi et al (2008)
secara filosofis suatu proses pembangunan dapat diartikan sebagai upaya yang
sistematik dan berkesinambungan, untuk menciptakan keadaan yang dapat
menyediakan berbagai alternatif yang sah bagi pencapaian aspirasi setiap warga
yang paling humanistik.
Dalam pelaksanaannya, menurut Arsyad (1999) proses pembangunan
dilaksanakan dalam 4 tahap, yaitu :
(1)
Menetapkan tujuan
(2)
Mengukur ketersediaan sumber-sumber daya yang langka
(3)
Memilih berbagai cara untuk mencapai tujuan
(4)
Memilih kegiatan-kegiatan untuk mencapai tujuan
Sejalan dengan berkembangnya dinamika masyarakat, maka konsep
pembangunan telah mengalami pergeseran paradigma pembangunan dari yang
berpusat pada produksi ke pembangunan yang berpusat pada manusia. Paradigma
pembangunan pada era industrialisasi didominasi oleh pemikiran-pemikiran yang
masih berkutat pada logika produksi dan sasaran-sasaran dominannya yang
berpusat pada produksi sehingga yang terjadi sebaik apapun kebijakan yang
dilakukan oleh para pemimpin masyarakat pada akhirnya hanya memperparah
persoalan yang hendak dipecahkan. Era pasca industri menghadapi kondisi yang
sangat berbeda dengan kondisi sebelumnya, dimana keadilan dan kelestarian
pembangunan menjadi perhatian yang utama dan berpusat pada rakyat, untuk
mewujudkannya diperlukan suatu paradigma baru dalam pembangunan yang
berdasarkan pada ide-ide, nilai-nilai, teknik sosial dan teknologi alternatif.
Pemahaman akan perbedaan antara pembangunan yang berpusat pada rakyat
dan yang berpusat pada produksi menjadi hal yang penting untuk pemilihan
teknik sosial yang cocok digunakan untuk mencapai tujuan pembangunan. Dalam
pembangunan yang berpusat pada produksi analisis dilakukan dengan membentuk
sistem komando tanpa memandang peranan manusia dan lingkungan. Sedangkan
pada pembangunan yang berpusat pada rakyat bentuk-bentuk organisasi swadaya
dan pemakaian nilai-nilai manusiawi dalam pengambilan keputusan sangat
diutamakan.
Meningkatnya perhatian terhadap aspek-aspek sosial dalam pembangunan
disadari ketika banyak rencana yang tidak bisa diimplementasikan dengan baik
karena adanya faktor “sosial” atau faktor “manusia” yang terabaikan, sehingga
timbulah kesadaran bahwa aspek sosial pembangunan seharusnya dianggap
sebagai tujuan akhir pembangunan. Terdapat tiga bidang cakupan yang termasuk
dalam faktor sosial yang perlu mendapatkan perhatian yaitu : 1) perencanaan
pelayanan sosial; dimana pelayanan yang ada bukan semata-mata bertalian dengan
sifat ekonomisnya melainkan lebih memperhatikan pada aspek sumbangan
terhadap kesejahteraan sosial, 2) Memperhitungkan prioritas dan pertimbanganpertimbangan sosial, dan 3) Menjamin partisipasi masyarakat dalam perencanaan.
Menurut Korten dan Sjahrir (1988) paradigma ini memberikan peran kepada
individu bukan sebagai subjek, melainkan aktor yang berperan untuk menetapkan
tujuan, mengendalikan sumber daya dan mengarahkan proses yang mempengaruhi
kehidupannya. Untuk mewujudkan suatu pembangunan yang berpusat pada rakyat
diperlukan desentralisasi yang cukup besar dalam proses pembuatan keputusan,
yang tidak hanya sekedar delegasi wewenang formal yang sederhana. Salah satu
tantangan yang penting bagi pembangunan yang berpusat pada rakyat adalah
mengubah orientasi birokrasi pembangunan dari pemerintah agar menjadi
organisasi-organisasi yang menghargai dan memperkuat kerakyatan, keanggotaan
mereka, serta para warga negara yang harus dilayaninya.
Konsep Kesenjangan Pembangunan
Pendekatan pembangunan daerah yang selama ini dilaksanakan terlalu
menekankan pada batas-batas administratif yang sering tidak mengakomodasikan
keragaman potensi, permasalahan dan keterkaitan antar daerah. Wilayah-wilayah
yang memerlukan penanganan atau intervensi pemerintah untuk dapat
dikembangkan meliputi kawasan yang sangat luas, sementara sumberdaya yang
dimiliki untuk mengelolanya relatif terbatas.
Pembangunan berbasis pengembangan wilayah memandang pentingnya
keterpaduan antar sektor, spasial, serta pelaku pembangunan di dalam maupun
antar daerah, sehingga tujuan dari pembangunan berupa pertumbuhan (growth),
pemerataan (equity), dan keberlanjutan (sustainability) dapat dicapai. Namun
demikian pembangunan wilayah yang dilaksanakan seringkali dihadapkan pada
pilihan yang bersifat trade off sehingga salah satu dari ketiga tujuan tersebut tidak
dapat dicapai. Pembangunan yang dilaksanakan seringkali tidak bisa merata baik
antar sektor maupun antar wilayah sehingga menyebabkan terjadinya kesenjangan
pembangunan atau disparitas pembangunan antar wilayah.
Menurut Chaniago et al (2000) kesenjangan diartikan sebagai suatu kondisi
yang tidak seimbang atau ketidak berimbangan atau ketidaksimetrisan.
dihubungkan
dengan
pembangunan
sektoral
atau
wilayah,
kesenjangan
pembangunan adalah suatu kondisi ketidakberimbangan pembangunan antar
sektor dan antar wilayah yang ditunjukkan oleh perbedaan pertumbuhan antar
wilayah. Kesenjangan pertumbuhan antar wilayah tergantung pada perkembangan
struktur sektor-sektor ekonomi dan struktur wilayah (perkembangan sarana dan
prasarana sosial-ekonomi, seperti sarana pendidikan, kesehatan, perumahan,
transportasi, sanitasi dan lain-lain). Kesenjangan pembangunan yang terjadi dapat
menyebabkan munculnya berbagai permasalahan baik masalah sosial, politik,
ekonomi dan lingkungan.
Kesenjangan kesejahteraan masyarakat antar kelompok maupun antar
daerah selalu terjadi. Persoalannya adalah apakah kesenjangan tersebut menurun
atau meningkat sejalan dengan perubahan waktu atau kenaikan rata-rata
kesejahteraan. Lebih lanjut, apakah kesenjangan tersebut menyebabkan hal-hal
yang tidak bisa ditolerir lagi. Kesenjangan yang terus terjadi merupakan awal dari
timbulnya konflik finansial, ekonomi, sosial politik yang berakhir pada terjadinya
krisis multi dimensi (Anwar 2005).
Penyebab dari kesenjangan pembangunan antar wilayah sebagaimana
diungkapkan Rustiadi et al. (2008) antara lain :
(1) Faktor Geografis
Suatu wilayah atau daerah yang sangat luas akan terjadi variasi pada
keadaan fisik alam berupa topografi, iklim, curah hujan, sumberdaya mineral dan
variasi spasial lainnya. Apabila faktor-faktor lainnya sama, maka wilayah dengan
kondisi geografis yang lebih baik akan berkembang dengan lebih baik.
(2) Faktor Historis
Perkembangan masyarakat dalam suatu wilayah tergantung dari kegiatan
atau budaya hidup yang telah dilakukan masa lalu. Bentuk kelembagaan atau
budaya dan kehidupan perekonomian pada masa lalu merupakan penyebab yang
cukup penting terutama yang terkait dengan sistem insentif terhadap kapasitas
kerja. Wilayah yang memiliki sejarah kelembagaan dan kehidupan perekonomian
yang maju akan berkembang lebih baik.
(3) Faktor Politis
Tidak stabilnya suhu politik sangat mempengaruhi perkembangan dan
pembangunan di suatu wilayah. Instabilitas politik akan menyebabkan orang ragu
untuk berusaha atau melakukan investasi sehingga kegiatan ekonomi di suatu
wilayah tidak akan berkembang, bahkan terjadi pelarian modal ke luar wilayah,
untuk diinvestasikan ke wilayah yang lebih stabil. Wilayah dengan stabilitas
politik yang terjaga akan berkembang lebih baik.
(4) Faktor Kebijakan
Terjadinya kesenjangan antar wilayah bisa diakibatkan oleh kebijakan
pemerintah. Kebijakan pemerintah yang sentralistik hampir di semua sektor, dan
lebih menekan pertumbuhan dan membangun pusat-pusat pembangunan di
wilayah tertentu menyebabkan kesenjangan yang luar biasa antar daerah.
Christian Lessmann (2006) negara dengan tingkat desentralisasi fiskal yang tinggi
memiliki kesenjangan wilayah yang rendah. Kewenangan dan otonomi lokal
terhadap kapasitas fiskal wilayah yang besar akan dapat mengurangi kesenjangan.
(5) Faktor Administratif
Kesenjangan wilayah dapat
terjadi karena perbedaan
kemampuan
pengelolaan administrasi. Wilayah yang dikelola dengan administrasi yang baik
cenderung lebih maju. Wilayah yang ingin maju harus mempunyai administrator
yang jujur, terpelajar, terlatih, dengan sistem administrasi yang efisien.
(6) Faktor Sosial:
Masyarakat yang tertinggal cenderung memiliki kepercayaan-kepercayaan
yang primitif, kepercayaan tradisional dan nilai-nilai sosial yang cenderung
konservatif dan menghambat perkembangan ekonomi. Sebaliknya masyarakat
yang relatif maju umumnya memiliki institusi dan perilaku yang kondusif untuk
berkembang. Perbedaan ini merupakan salah satu penyebab kesenjangan wilayah.
(7) Faktor Ekonomi:
faktor ekonomi yang menyebabkan kesenjangan antar wilayah yaitu
(a)
Perbedaan kuantitas dan kualitas dari faktor produksi yang dimiliki
seperti: lahan, infrastruktur, tenaga kerja, modal, organisasi dan
perusahaan;
(b)
Terkait akumulasi dari berbagai faktor.
Salah satunya lingkaran
kemiskinan, konsumsi rendah, tabungan rendah, investasi rendah,
standar hidup rendah, efisiensi yang rendah pengangguran meningkat.
Sebaliknya diwilayah yang maju, masyarakat maju, standar hidup
tinggi, pendapatan semakin tinggi, tabungan semakin banyak yang
pada akhirnya masyarakat semakin maju;
(c)
Kekuatan pasar bebas telah mengakibatkan faktor-faktor ekonomi
seperti tenaga kerja, modal, perusahaan dan aktifitas ekonomi seperti
industri, perdagangan, perbankan, dan asuransi yang dalam ekonomi
maju memberikan hasil yang lebih besar, cenderung terkosentrasi di
wilayah maju.
Menurut Anwar (2005), beberapa hal yang menyebabkan terjadinya
disparitas adalah :
(1)
perbedaan karakteristik limpahan sumberdaya alam (resource endowment).
(2)
perbedaan demografi.
(3)
perbedaan kemampuan sumberdaya manusia (human capital).
(4)
Perbedaan potensi lokasi.
(5)
Perbedaan dari aspek aksesibilitas dan kekuasaan dalam pengambilan
keputusan.
(6)
Perbedaan dari aspek potensi pasar.
Myrdal (1957) mengatakan bahwa sistem kapitalis yang menekankan
kepada tingkat keuntungan bagi suatu wilayah yang memberikan harapan tingkat
keuntungan tinggi akan berkembang menjadi pusat-pusat perkembangan
kesejahteraan. Di sisi lain, wilayah-wilayah dengan harapan tingkat keuntungan
yang rendah tidak akan berkembang sehingga terjadi kesenjangan. Teori efek
polarisasi menjelaskan kesenjangan antar wilayah yang meningkat karena
berpindahnya faktor produksi dari wilayah yang terbelakang ke wilayah yang
lebih maju (backwash effect).
Konsep Wilayah dan Pengembangan Wilayah
Dalam Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang,
wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur
yang terkait kepadanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek
administratif dan/atau aspek fungsional. Menurut Rustiadi, et al. (2008) wilayah
dapat didefinisikan sebagai unit geografis dengan batas-batas spesifik tertentu
dimana komponen-komponen wilayah tersebut satu sama lain saling berinteraksi
secara
fungsional.
Sedangkan
menurut
Alkadri
(2002)
sebagian
ahli
mendefinisikan wilayah dengan merujuk pada tipe-tipe wilayah, ada juga yang
mengacu pada fungsinya dan berdasarkan korelasi antara unsur-unsur pembentuk
wilayah (fisik dan non fisik). Batasan wilayah tidaklah selalu bersifat fisik dan
pasti tetapi seringkali bersifat dinamis. Komponen-komponen wilayah mencakup
komponen biofisik alam, sumberdaya buatan (infrastruktur), manusia serta
bentuk-bentuk kelembagaan. Dengan demikian istilah wilayah menekankan
interaksi antar manusia dengan sumberdaya-sumberdaya lainnya yang ada di
dalam suatu batasan unit geografis tertentu.
Sehingga batasan wilayah tidaklah selalu bersifat spesifik dan pasti tetapi
lebih
bersifat
fungsional
untuk
perencanaan,
pelaksanaan,
monitoring,
pengendalian maupun evaluasi. Konsep wilayah yang paling klasik (Hagget, Cliff
dan Frey, 1977 dalam Rustiadi et al., 2008) mengenai tipologi wilayah,
mengklasifikasikan konsep wilayah ke dalam tiga kategori, yaitu: 1) wilayah
homogen (uniform/homogenous region), 2) wilayah nodal (nodal region), dan 3)
wilayah perencanaan (planning region atau programming region). Sejalan dengan
klasifikasi tersebut, Glason, 1974 dalam (Tarigan, 2008) mengklasifikasikan
region/wilayah berdasarkan fase kemajuan perekonomian menjadi : 1) fase
pertama yaitu wilayah formal yang berkenaan dengan keseragaman/homogenitas.
Wilayah formal adalah suatu wilayah geografik yang seragam menurut kriteria
tertentu, seperti keadaan fisik geografi, ekonomi, sosial dan politik, 2) fase kedua
yaitu wilayah fungsional yang berkenaan dengan koherensi dan interdependensi
fungsional, saling hubungan antar bagian-bagian dalam wilayah tersebut. Kadang
juga disebut wilayah nodal atau polarized region dan terdiri dari satuan-satuan
yang heterogen, seperti desa-kota yang secara fungsional saling berkaitan, 3) fase
ketiga yaitu wilayah perencanaan yang memperlihatkan koherensi atau kesatuan
keputusan-keputusan ekonomi.
Wilayah
Pengembangan
adalah
pewilayahan
untuk
tujuan
pengembangan/pembangunan/development. Tujuan-tujuan pembangunan terkait
dengan lima kata kunci, yaitu: 1) pertumbuhan, 2) penguatan keterkaitan, 3)
keberimbangan, 4) kemandirian, dan 5) keberlanjutan. Sedangkan konsep wilayah
perencanaan adalah wilayah yang dibatasi berdasarkan kenyataan sifat-sifat
tertentu pada wilayah tersebut yang bisa bersifat alamiah maupun non alamiah
yang sedemikian rupa sehingga perlu direncanakan dalam kesatuan wilayah
perencanaan.
Strategi pengembangan suatu wilayah ditentukan oleh karakteristik dan
potensi yang dimiliki oleh daerah bersangkutan. Oleh karena itu sebelum
melakukan perumusan kebijakan pengembangan suatu wilayah perlu diketahui
terlebih dahulu tipe/jenis wilayahnya. Menurut Tukiyat (2002) secara umum
terdapat lima tipe wilayah dalam suatu Negara yaitu :
(1)
Wilayah yang telah maju.
(2)
Wilayah netral, yang dicirikan dengan adanya tingkat pendapatan dan
kesempatan kerja yang tinggi.
(3)
Wilayah sedang, yang dicirikan adanya pola distribusi pendapatan dan
kesempatan kerja yang relatif baik.
(4)
Wilayah yang kurang berkembang, yang dicirikan dengan adanya tingkat
pertumbuhan yang jauh di bawah tingkat pertumbuhan nasional dan tidak
ada tanda-tanda untuk dapat mengejar pertumbuhan dan perkembangan
wilayah lain.
(5)
Wilayah yang tidak berkembang.
Setelah tipe/ jenis wilayah diketahui, maka dapat dirumuskan kebijakan
yang tepat dalam kerangka pengembangan wilayah. Salah satu aspek dalam
pengembangan wilayah yang perlu diperhatikan adalah kegiatan perencanaan
wilayah. Menurut Tarigan (2008) perencanaan wilayah adalah perencanaan
penggunaan ruang wilayah dan perencanaan kegiatan pada ruang wilayah
tersebut. Perencanaan penggunaan ruang wilayah diatur dalam bentuk
perencanaan tata ruang wilayah, sedangkan perencanaan kegiatan dalam wilayah
diatur dalam perencanaan pembangunan wilayah. Salah satu pendekatan dalam
perencanaan pembangunan menurut Tarigan (2008) adalah pendekatan sektoral.
Pendekatan sektoral dilakukan dengan mengelompokkan kegiatan pembangunan
kedalam sektor-sektor, selanjutnya masing-masing sektor dianalisis satu persatu
untuk menetapkan apa yang dapat dikembangkan atau ditingkatkan dari sektorsektor tersebut guna mengembangkan wilayah.
Perencanaan pembangunan daerah merupakan suatu sistem yang dibentuk
dari
unsur-unsur
perencanaan,
pembangunan
dan
daerah.
Perencanaan
pembangunan dapat diartikan sebagai suatu proses perumusan alternatif-alternatif
atau keputusan-keputusan yang didasarkan pada data-data dan fakta-fakta yang
akan digunakan sebagai bahan untuk melaksanakan suatu rangkaian kegiatan
/aktifitas kemasyarakatan, baik yang bersifat fisik (material) maupun non fisik
(mental dan spiritual), dalam rangka mencapai tujuan yang lebih baik. Dalam
hubungan dengan suatu daerah sebagai suatu area (wilayah) pembangunan dimana
terbentuk konsep perencanaan pembangunan daerah, dapat dinyatakan bahwa
perencanaan pembangunan daerah adalah suatu proses perencanaan pembangunan
yang dimaksudkan untuk melakukan perubahan menuju arah perkembangan yang
lebih baik bagi suatu komunitas masyarakat, pemerintah dan lingkungannya
dalam wilayah/daerah tertentu, dengan memanfaatkan atau mendayagunakan
berbagai sumber daya yang ada, dan harus memiliki orientasi yang bersifat
menyeluruh, lengkap, tapi tetap berpegang pada azas prioritas (Riyadi , 2004).
Konsep Pembangunan Berkelanjutan
Istilah
pembangunan
berkelanjutan
diperkenalkan
dalam
World
Conservation Strategy (Strategi Konservasi Dunia) yang diterbitkan oleh United
Nations Environment Programme (UNEP), International Union for Conservation
of Nature and Natural Resources (IUCN), dan World Wide Fund for Nature
(WWF) pada 1980. Untuk sebagian orang, pembangunan berkelanjutan berkaitan
erat dengan pertumbuhan ekonomi dan bagaimana mencari jalan untuk
memajukan ekonomi dalam jangka panjang, tanpa menghabiskan modal alam.
Namun untuk sebagian orang lain, konsep "pertumbuhan ekonomi" itu sendiri
bermasalah, karena sumberdaya bumi bersifat terbatas.
Cernea (1993) menggunakan pendekatan sosiologi untuk mewujudkan suatu
pembangunan yang berkelanjutan dimana keberlanjutan komponen sosial dalam
pembangunan tidak memiliki arti yang lebih kecil dibanding komponen lainnya
baik komponen ekonomi maupun teknis. Sebaga contoh kasus untuk menciptakan
pembangunan lingkungan yang berkelanjutan banyak orang yang berpikir bahwa
jika bisa menumbuhkan sektor ekonomi maka sektor lain akan segera
mengikutinya. Kerusakan lingkungan sebetulnya banyak disebabkan oleh tingkah
laku manusia sehingga untuk menciptakan lingkungan yang lestari atau
berkelanjutan diperlukan tiga pendekatan yakni pendekatan sosial, ekonomi dan
ekologi yang saling bersinergi. Dalam pendekatan sosial terdapat dua komponen
yang sangat berpengaruh terhadap pembangunan berkelanjutan. Yang pertama
adalah organisasi sosial dan yang kedua adalah teknik sosial. Pada akhirnya
keberlanjutan komponen sosial dalam program pembangunan dan pengelolaan
lingkungan yang lebih baik akan menciptakan kesejahteraan bagi manusia.
Brinkerhoff dan Goldsmith (1992) memandang keberlanjutan pembangunan
tidak bisa lepas dari peranan institusi atau kelembagaan sebagai suatu strategi
dalam pembangunan yang berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan tidak hanya
diarahkan untuk memenuhi kebutuhan manusia secara ekonomi, melainkan juga
mencegah perusakan lingkungan dan bagaimana memaksimalkan partisipasi dari
masyarakat, pembagian kekuasaan dan aktifitas lokal. Warbuton (1998)
mengatakan bahwa pembangunan berkelanjutan tidak hanya membutuhkan
teknik-teknik baru tetapi lebih mengarah pada pola pikir baru tentang bagaimana
mencapai tujuan-tujuan sosial, ekonomi dan lingkungan dan bagaimana untuk
meningkatkan kesemuanya ini.
Pembangunan berkelanjutan juga tidak dipandang hanya sebatas solusi baru
melainkan sebagai metode baru. Peningkatan kapasitas diri dan pengembangan
kreativitas masyarakat merupakan salah satu ciri dari kebijakan pembangunan
yang berkelanjutan dan merupakan kunci strategi dalam mewujudkan proses
pembangunan yang berkelanjutan.
Download