bab iv hasil dan pembahasan

advertisement
18 BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Sel Darah Merah (Eritrosit)
Jumlah sel darah merah (eritrosit) domba penelitian selama lima bulan, dari
setiap kelompok perlakuan memberikan hasil yang berbeda. Hasil penghitungan sel
darah merah ini disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1
Jumlah sel darah merah (106/mm3) induk domba yang dicekok jamu
veteriner dosis 15 dan 30 mL selama kebuntingan
Waktu
Dosis Jamu Veteriner
(Bulan)
0 (kontrol)
15 mL
30 mL
1
9,33 ±1,86a
9,48 ±1,64a
9,53±1,65a
2
9,85 ±1,48a
10,09 ±1,71a
11,74 ±1,95a
3
10,04±2,57 a
10,81 ±2,36a
10,47 ±2,17a
4
11,13 ±1,73a
11,30 ±1,23 a
12,26 ±1,99 a
5
9,72 ±1,98a
9,57 ±1,24a
9,91 ±1,25 a
Keterangan: Huruf superskript yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata
(p<0,05)
Selama lima bulan pengamatan, kenaikan jumlah sel darah merah (eritrosit)
tertinggi didapatkan pada kelompok domba yang dicekok jamu veteriner dosis 30
mL. Jumlah sel darah merah terendah didapatkan pada kelompok domba kontrol.
Secara uji statistik, faktor pemberian jamu veteriner pada perbedaan jumlah sel darah
merah tidak menunjukkan hasil yang berbeda nyata.
Secara keseluruhan, jumlah sel darah merah tertinggi dari setiap kelompok
domba penelitian adalah sebesar 12,26±1,99 x 106/mm3. Jumlah sel darah merah hasil
penelitian ini lebih tinggi jika dibandingkan hasil penelitian yang dilakukan oleh
Ginting (1987) dan Maheshwari et al. (2001). Penelitian Ginting (1987) pada domba
bunting, diperoleh jumlah sel darah merah sebesar 10 x 106/mm3. Sementara itu, dari
penelitian Maheshwari et al. (2001) pada kambing bunting diperoleh jumlah sel darah
merah sebesar 11,45±0,80 x 106/mm3.
19 Peningkatan jumlah sel darah merah pada setiap kelompok domba perlakuan
terjadi sampai dengan bulan keempat kebuntingan. Hal ini sesuai dengan pendapat
Maheswari et al. (2001), yang menyatakan bahwa jumlah sel darah merah pada
kambing akan terus meningkat sampai dengan usia kebuntingan 4,5 bulan.
Peningkatan jumlah sel darah merah ini dapat terjadi karena domba mengalami
peningkatan kecepatan metabolisme sel di seluruh tubuh dan kebutuhan energi yang
tinggi sehingga banyak oksigen yang dibutuhkan (Andriyanto et al. 2010).
Pada bulan kelima kebuntingan, terjadi penurunan jumlah eritrosit pada setiap
kelompok domba perlakuan. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh
Iriadam (2007), yang menyatakan bahwa jumlah sel darah merah pada masa akhir
kebuntingan akan menurun. Penurunan ini diduga terjadi akibat kondisi stress
menjelang kelahiran (Khan & Ludri 2002).
Pengamatan jumlah sel darah merah tiap bulan selama lima bulan
menunjukkan adanya peningkatan dan penurunan. Profil dari kenaikan dan penurunan
Jumlah Sel Darah Merah
(x10juta/mm³)
pada setiap kelompok domba perlakuan disajikan pada Grafik 1.
12.5
12
11.5
11
10.5
10
9.5
9
8.5
1
2
3
4
5
Waktu Kebuntingan (bulan)
Grafik 1
Jumlah sel darah merah induk domba kontrol (♦), diberi jamu veteriner dosis 15
mL (■), dan diberi jamu veteriner dosis 30 mL (∆) selama lima bulan
kebuntingan.
Pada Grafik 1 terlihat bahwa peningkatan jumlah sel darah merah pada
kelompok domba yang dicekok jamu veteriner dosis 30 mL lebih tinggi dibandingkan
dengan kelompok perlakuan lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa kandungan
20 senyawa yang terdapat pada ekstrak jamu veteriner yang merupakan formulasi dari
merica, lempuyang, kayu manis, sambiloto, dan jahe diduga dapat mempengaruhi
peningkatan jumlah sel darah merah.
Menurut Septiatin (2008), merica memiliki kandungan senyawa piperine yang
dapat berfungsi dalam melancarkan peredaran darah. Kandungan zat besi pada kayu
manis berperan penting dalam pembentukan dan mempertahankan sel darah merah.
Kecukupan sel darah merah dalam tubuh akan memperlancar oksigenasi jaringan ke
seluruh tubuh sehingga dapat meningkatkan proses metabolisme tubuh untuk
memperoleh energi sehingga suplementasi kayu manis ini diduga mampu mencegah
anemia pada hewan yang sedang bunting, menurunkan risiko kematian saat
melahirkan, dan dapat meningkatkan bobot badan anak yang dilahirkan
(Jayaprakasha 2003).
Menurut Arif (2009), suplementasi lempuyang dapat menetralkan dan
membersihkan darah. Sementara itu, menurut Bown (2001) sambiloto berkhasiat
dalam menurunkan tekanan darah tinggi. Suplementasi sambiloto ini diduga mampu
mengontrol peningkatan jumlah sel darah merah di luar batas normal akibat
terganggunya oksigenasi jaringan. Jahe dilaporkan memiliki kemampuan antioksidan
yang berasal dari kandungan sejumlah senyawa fenolik (Kikuzaki & Nakatani 1993).
Suplementasi jahe ini diduga kuat mampu menambah status antioksidan dalam tubuh
serta dapat menghambat proliferasi sel kanker (Agustinasari 1998).
4.2. Hemoglobin
Fungsi hemoglobin adalah sebagai pembawa oksigen (O2) dari paru - paru ke
jaringan dengan tujuan untuk memperoleh energi (Douglas & Jane 2010). Kadar
hemoglobin dalam darah dipengaruhi oleh beberapa faktor, di antaranya adalah
pakan, musim, aktivitas tubuh, ada tidaknya kerusakan eritrosit dan penanganan darah
saat pemeriksaan (Andriyanto et al. 2010). Data kadar hemoglobin domba penelitian
dapat dilihat pada Tabel 2.
21 Tabel 2 Kadar Hemoglobin (g%) induk domba bunting yang dicekok jamu veteriner
dosis 15 dan 30 mL selama kebuntingan
Waktu
(Bulan)
Dosis Jamu Veteriner
0 (kontrol)
a
15 mL
30 mL
a
1
8,37 ±1,15
9,01 ±0,50
8,99±1,98a
2
10,50 ±1,85a
10,64 ±1,30a
11,38 ±1,76a
3
10,58±0,77 a
10,35 ±0,72a
11,29 ±1,20 a
4
10,40 ±1,13a
10,60 ±0,89 a
10,78 ±1,04 a
10,23 ±1,36a
10,63 ±0,39 a
5
10,03 ±1,87a
Keterangan: Huruf superskript yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata
(p<0,05)
Kadar hemoglobin setiap kelompok perlakuan berdasarkan Tabel 2
menunjukkan hasil yang fluktuatif. Kadar hemoglobin tertinggi ada pada kelompok
domba yang dicekok jamu veteriner dosis 30 mL. Kadar hemoglobin terendah ada
pada kelompok domba kontrol. Selama lima bulan pengamatan, kadar hemoglobin
kelompok domba yang diberi jamu veteriner dosis 15 mL dan 30 mL selalu
meningkat dibanding kelompok kontrol. Peningkatan tersebut merupakan respons
konpensasi tubuh untuk meningkatkan transpor oksigen ke jaringan (Puspitasari &
Harimurti 2010). Selain itu, penurunan juga terjadi di akhir bulan kebuntingan dari
setiap kelompok domba perlakuan. Penurunan ini diduga terjadi akibat proses
homeostasis tubuh.
Hasil pengukuran kadar hemoglobin tertinggi pada domba penelitian
diperoleh sebesar 11,38 ±1,76 g%. Kadar hemoglobin yang diperoleh ini sama
dengan hasil penelitian yang dilaporkan Ginting (1987), yaitu sebesar 11 g%. Namun,
sedikit lebih tinggi jika dibandingkan hasil penelitian Maheswari et al. (2001) yang
melaporkan kadar hemoglobinnya adalah sebesar 8,47 g%.
Pengamatan jumlah kadar hemoglobin tiap bulan selama lima bulan
pengamatan menunjukkan adanya peningkatan dan penurunan. Profil dari kenaikan
dan penurunan pada setiap kelompok domba perlakuan disajikan pada Grafik 2.
22 Kadar Hemoglobin (g%)
12
11.5
11
10.5
10
9.5
9
8.5
8
1
2
3
4
5
Waktu Kebuntingan (bulan)
Grafik 2
Kadar Hemoglobin induk domba kontrol (♦), diberi jamu veteriner dosis 15 mL
(■), dan diberi jamu veteriner dosis 30 mL (∆) selama lima bulan kebuntingan.
Setiap kelompok domba perlakuan, memperlihatkan pola kenaikan dan
penurunan yang sama. Meningkat pada awal kebuntingan dan menurun pada akhir
kebuntingan. Pola peningkatan dan penurunan kadar hemoglobin sama dengan pola
peningkatan dan penurunan jumlah sel darah merah. Hal ini karena, hemoglobin
memiliki hubungan yang erat dengan sel darah merah.
Faktor pemberian ekstrak jamu veteriner dosis 15 dan 30 mL, tidak
memberikan pengaruh yang signifikan pada perbedaan kadar hemoglobin dari setiap
kelompok perlakuan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Iriadam (2007), yang
menyatakan bahwa kadar hemoglobin dalam darah tidak mengalami perubahan yang
signifikan selama masa kebuntingan.
4.3. Hematokrit (PCV)
Nilai hematokrit (PCV) adalah konsentrasi (dinyatakan dalam persen) eritrosit
dalam 100 ml (1 dL) darah lengkap (Gandasoebrata 2004; Sutedjo 2007). Pada
ternak domba nilai hematokrit normal adalah sekitar 32% (Frandson 1996). Data nilai
hematokrit domba penelitian disajikan pada Tabel 3.
23 Tabel 3 Nilai Hematokrit (%) induk domba yang dicekok jamu veteriner dosis 15
dan 30 mL selama kebuntingan
Waktu
(bulan)
0 (kontrol)
15 mL
30 mL
1
a
21,00±1,69
21,80±1,30
20,00±1,58a
2
20,80±1,78a
22,40±2,50a
23,08±1,91a
3
25,40±1,91a
23,30±1,44ab
25,80±1,60c
4
25,08±1,69a
25,54±1,99a
26,74±1,72a
5
22,60±2,43a
22,70±1,92a
23,80±1,68a
Keterangan:
Dosis Jamu Veteriner
a
Huruf superskript yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata
(p<0.05)
Nilai hematokrit berdasarkan pada Tabel 3 menunjukkan bahwa kelompok
domba yang dicekok jamu veteriner dosis 15 mL dan 30 mL mengalami peningkatan
sampai dengan bulan keempat kebuntingan. Pada bulan kelima kebuntingan, nilai
hematokrit dari setiap kelompok domba perlakuan menurun. Nilai hematokrit
tertinggi ada pada kelompok domba yang dicekok jamu veteriner dosis 30 mL dan
nilai hematokrit terendah ada pada kelompok domba kontrol.
Nilai hematokrit sangat dipengaruhi oleh kandungan darah, viskositas darah,
tekanan osmotik plasma, dan pembentukan sel darah merah dalam tubuh. Secara uji
statistik, faktor pemberian ekstrak jamu veteriner berbeda nyata hanya pada bulan
ketiga kebuntingan. Kenaikan dan penurunan nilai hematokrit pada bulan pertama
sampai dengan bulan kelima, berada dalam rentang normal. Kenaikan nilai
hematokrit tertinggi didapatkan sebesar 26,74±1,72%. Nilai hematokrit yang diperoleh
ini, menunjukkan hasil yang lebih rendah jika dibandingkan dengan hasil penelitian
Kozat et al. (2003) dan Ginting (1987), yang melaporkan bahwa nilai hematokrit
domba bunting masing-masing adalah sebesar 28,60±1,4% dan 30%. Namun, dalam
penelitian Maheshwari et al. (2001), didapatkan nilai hematokrit sebesar
26,13±1,03%. Nilai tersebut tidak jauh berbeda jika dibandingkan dengan nilai
hematokrit domba hasil penelitian.
24 Pengamatan nilai hematokrit tiap bulan selama lima bulan menunjukkan
adanya peningkatan dan penurunan. Profil dari kenaikan dan penurunan pada setiap
kelompok domba perlakuan disajikan pada Grafik 3.
Nilai Hematokrit (%)
26.5
25.5
24.5
23.5
22.5
21.5
20.5
19.5
1
2
3
4
5
Waktu Kebuntingan (bulan)
Grafik 3
Nilai Hematokrit induk domba kontrol (♦ ), diberi jamu veteriner dosis 15 mL (■),
dan diberi jamu veteriner dosis 30 mL ( ∆) selama lima bulan kebuntingan.
Peningkatan nilai hematokrit terjadi pada masa-masa awal kebuntingan dan
menurun pada akhir kebuntingan. Hal ini sesuai dengan pendapat Azab (1999), yang
menyatakan bahwa nilai hematokrit akan menurun pada masa-masa akhir
kebuntingan hingga periode setelah kelahiran.
Kenaikan
dan
penurunan
nilai
hematokrit
ini
dipengaruhi
oleh
hemokonsentrasi. Hemokonsentrasi merupakan suatu parameter dari nilai hematokrit.
Peningkatan nilai hematokrit di awal kebuntingan tersebut terjadi akibat
hemokonsentrasi tinggi, karena peningkatan sel darah atau penurunan kadar plasma
darah. Sebaliknya nilai hematokrit yang menurun, terjadi akibat hemokonsentrasi
rendah karena kadar sel darah menurun atau kadar plasma darah meningkat.
Gambaran darah dari nilai hematokrit, kadar hemoglobin, dan sel darah
merah, secara umum selalu mengalami peningkatan pada masa awal kebuntingan dan
menurun pada masa akhir kebuntingan. Kondisi tersebut diakibatkan oleh perubahan
faktor internal dan faktor eksternal. Perubahan yang disebabkan oleh faktor internal
di antaranya adalah pertambahan umur, keadaan gizi, latihan, siklus stress, proses
25 pembentukan darah kebuntingan, kesehatan dan suhu tubuh. Perubahan yang
disebabkan oleh faktor eksternal di antaranya adalah perubahan suhu lingkungan,
infeksi bakteri, virus, jamur, parasit, serta fraktura (Guyton 1997).
Pemberian ekstrak jamu veteriner selama kebuntingan, terbukti dapat
meningkatkan nilai hematologi domba (jumlah sel darah merah, kadar hemoglobin,
dan nilai hematokrit). Peningkatan nilai hematologi domba tersebut, berkorelasi
dengan anakan yang dilahirkan. Anakan domba yang dihasilkan memiliki bobot
badan yang cenderung lebih besar dan lebih lincah dibandingkan domba yang tidak
diberi jamu veteriner.
Download