II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Gambut dan Karbon Tersimpan pada Gambut Gambut didefinisikan sebagai jaringan tanaman yang terkarbonisasi sebagian dan terbentuk pada kondisi basah, melalui proses dekomposisi berbagai tumbuhan dan lumut- lumutan (Andriesse, 1988). Menurut Noor (2001), gambut diartikan sebagai material atau bahan organik yang tertimbun secara alami dalam keadaan basah berlebihan, bersifat tidak mampat dan tidak atau hanya sedikit mengalami perombakan. Dalam kunci taksonomi tanah (Soil Survei Staff, 1999) gambut masuk ke dalam order Histosol yang memenuhi syarat-syarat berikut ini : 1. Jenuh air <30 hari (kumulatif) setiap tahun dalam tahun-tahun normal dan mengandung ≥20% karbon organik, atau 2. Jenuh air selama ≥30 hari (kumulatif) setiap tahun dalam tahun-tahun normal dan tidak termasuk perakaran hidup, mempunyai kandungan karbon organik sebesar : a. 18% atau lebih, bila fraksi mineralnya mengandung liat 60% atau lebih, atau b. 12% atau lebih, bila fraksi mineralnya tidak mengandung liat, atau c. 12% atau lebih ditambah (% liat x 0.1)% bila fraksi mineralnya mengandung <60 % liat. Histosol terbentuk bila produksi dan penimbunan bahan organik lebih besar dari mineralisasinya. Keadaan demikian terdapat di tempat-tempat yang selalu tergenang air sehingga sirkulasi oksigen sangat terhambat. Oleh karena itu, dekomposisi bahan organik terhambat dan terjadilah akumulasi bahan organik (Hardjowigeno, 1993). Sebagian besar lahan gambut tropik di Indonesia tergolong gambut kayuan dan sebagian kecil gambut seratan. Pembentukan gambut adalah suatu proses biokimiawi yang relatif pendek, di bawah pengaruh mikroorganisme aerobik di lapisan permukaan deposit selama periode air bawah tanah yang rendah. Ketika gambut yang terbentuk dalam lapisan penghasil gambut tersebut kontak dengan kondisi anaerobik di lapisan yang lebih dalam dari deposit tersebut, maka gambut menjadi terawetkan dan 4 menunjukkan perubahan yang relatif sedikit menurut waktu (Kurbatov, 1968 dalam Andriesse, 1988). Lahan gambut menyimpan karbon pada biomassa tanaman, seresah di bawah hutan gambut, lapisan gambut dan lapisan tanah minera l di bawah gambut (substratum). Dari berbagai simpanan tersebut, lapisan gambut dan biomassa tanaman menyimpan karbon dalam jumlah tertinggi. Lahan gambut menyimpan karbon yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan tanah mineral. Di daerah tropis karbon yang disimpan tanah dan tanaman pada lahan gambut bisa lebih dari 10 kali karbon yang disimpan oleh tanah dan tanaman pada tanah mineral Tabel 1 (Agus dan Subiksa, 2008). Tabel 1. Kandungan Karbon di Atas Permukaan Tanah (dalam Biomassa Tanaman) dan di Bawah Permukaan Tanah pada Hutan Gambut dan Hutan Tanah Mineral (ton/ha) Komponen Atas permukaan tanah Bawah permukaan tanah Hutan gambut Hutan primer tanah mineral (ton/ha) (ton/ha) 150-200 200-350 300-6.000 30-300 Sumber : Agus dan Subiksa (2008) Lahan gambut tropika merupakan cadangan gambut teresterial yang penting untuk diperhitungkan. Endapan gambut sebagai carbon sink, selama dalam keadaan tidak terganggu memiliki kandungan unsur karbon (C) yang sangat besar (Sabiham, 2007). Kandungan C yang terdapat dalam gambut di dunia sebesar 329525 Gt atau 35% dari total C dunia. Untuk gambut di Indonesia memiliki cadangan karbon sebesar 46 Gt (catatan 1Gt sama dengan 10 9 ton) atau 8-14% dari karbon yang terdapat dalam gambut di dunia (Immirizi dan Maltb y, 1992 dalam Sabiham, 2007) sedangkan jika diasumsikan bahwa kedalaman rata-rata gambut di seluruh Indonesia adalah 5 meter, bobot isi 114 kg/m3 dan luasnya 16 juta ha, maka cadangan karbon terhitung besarnya 16 Gt (WI-IP, 2003 dalam Wahyunto et al., 2005). Hal ini memberikan pengetahuan tentang pentingnya 5 gambut sebagai penambat karbon dalam fungsinya sebagai pengendali iklim global. 2.2. Penyebaran Lahan Gambut di Indonesia Dalam pendataan luas gambut, khususnya di Indonesia terdapat perbedaan antara satu penulis dengan penulis yang lainnya atau sumber lainnya. Perbedaan pendapat ini dapat disebabkan oleh perbedaan batasan (definisi) yang digunakan untuk memenuhi kriteria yang disebut lahan gambut (Noor, 2001). Indonesia memiliki lahan gambut sangat luas di antara negara tropis, yaitu sekitar 18,48 juta ha yang tersebar terutama di Kalimantan, Sumatera dan Papua (Soekardi dan Hidayat, 1988 dalam Barchia, 2006 ). Penyebaran luas lahan gambut di Indonesia disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Penyebaran Luas Lahan Gambut di Indonesia Propinsi Jawa Barat Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Tengah Sulawesi Tenggara Kepulauan Maluku Papua Total Sumber : Soekardi dan Hidayat (1988 dalam Barchia, 2006) Luas total (juta ha) 0,03 0,27 0,34 0,03 1,70 0,90 0,99 0,02 0,02 4,61 2,16 1,48 1,05 0,02 0,02 0,02 4,60 18,48 6 Sementara itu, menurut Wahyunto et al. (2005), luas total lahan gambut di pulau Sumatera pada tahun 2002 adalah sekitar 7,20 juta ha (Tabel 3) atau 14,90% dari luas seluruh daratan Pulau Sumatera (luasnya 48,24 juta ha). Luas tersebut sudah termasuk tanah mineral bergambut (sekitar 683 ribu ha) yang mempunyai ketebalan gambut <50 cm. Dengan demikian, yang tergolong sebagai tanah gambut (ketebalan lebih dari 50 cm) luasnya untuk seluruh Sumatera pada tahun 2002 sekitar 6.521.388 ha. Tabel 3. Penyebaran Lahan Gambut di Pulau Sumatera Propinsi Lampung Sumatera Selatan Jambi Riau Bengkulu Sumatera Barat Sumatera Utara Nanggroe Aceh D. Total Luas total (Juta ha) 0,09 1,48 0,72 4,04 0,06 0,21 0,33 0,27 7,21 Sumber : Wahyunto et al. (2005) Di pulau Sumatera, penyebaran lahan gambut pada umumnya terdapat di dataran rendah sepanjang pantai timur, yaitu dengan urutan dominasi berturutturut terdapat di wilayah propinsi Riau, Sumatera Selatan, Jambi, Sumatera Utara dan Lampung. Penyebarannya ke arah pedalaman/hilir sungai mencapai sekitar 50-300 km dari garis pantai. 2.3. Karakteristik Kimia Gambut Kandungan C-organik dan N total tanah gambut tergolong tinggi. Kisaran kandungan C-organik tanah gambut berkisar antara 54,30%-57,84% (Barchia, 2002) dengan rata-rata 57,23% (Sabiham et al., 1997). Sementara nilai- nilai karbon organik sebesar 48-50% pada gambut yang terdekomposisi sedikit (fibrik), 53-54% pada gambut yang terdekomposisi sedang (mesik) dan 58-60% pada 7 gambut yang sangat terdekomposisi (saprik) (Ekono, 1981 dalam Andriesse, 1988). Kandungan N total tanah gambut di Indonesia berkisar antara 4800 hingga 7200 kg N/ha atau setara dengan 1,2 hingga 1,8 persen pada lapisan 0-20 cm dan sebagian besar dalam bentuk N kompleks organik (Tim Fakultas Pertanian IPB, 1976). Nisbah C/N berkisar antara 31 sampai 49. Bila C/N rasio lebih besar dari 30 akan terjadi immobilisasi N oleh mikrobiologi tanah untuk memenuhi kebutuhan metabolismenya sedangkan bila rasio C/N antara 20-30, dapat terjadi immobilisasi maupun pembebasan N ke dalam tanah. Dengan rasio C/N tanah gambut di atas 30 maka N pada tanah gambut sukar tersedia bagi tanaman (Barchia, 2006). Menurut Barchia (2006), karakteristik kimia yang paling berkaitan pelepasan gas rumah kaca dari lahan gambut adalah bila gambut d engan nilai C/N rasio yang tinggi ini teroksidasi karena adanya pengembangan jaringan dan reklamasi, aktivitas mikrobiologi tanah akan meningkat untuk merombak atau mendekomposisi gambut dan melepaskan gas rumah kaca dalam bentuk CH4 dan CO 2 ke atmosfer. 2.4. Karakteristik Fisik Gambut Karakteristik fisik gambut yang penting untuk diketahui dalam perhitungan karbon tersimpan di lahan gambut adalah bobot isi (bulk density). Menurut Noor (2001), bobot isi tanah gambut sangat rendah dibandingkan dengan tanah-tanah mineral umumnya. Bobot isi tanah gambut beragam antara 0,01 gr/cm3 - 0,2 gr/cm3 . Andriesse (1988), memperoleh bobot isi gambut dengan kematangan fibrik <0,1 gr/cm3 , hemik berkisar 0,07-0,18 gr/cm3 dan saprik >0,2 gr/cm3 , sedangkan gambut tropika fibrik di Indonesia biasanya mempunyai bobot isi kurang dari 0,1 gr/cm3 dan gambut- gambut saprik yang terdekomposisi secara baik mempunyai nilai- nilai lebih besar dari 0,2 gr/cm3 (Driessen dan Rochimah, 1976 dalam Andriesse, 1988). Rendahnya BD gambut menyebabkan daya menahan atau menyangga beban (bearing capacity) menjadi sangat rendah. Hal ini menyulitkan beroperasinya 8 peralatan mekanisasi karena tanahnya yang empuk. Gambut juga tidak bisa menahan pokok tanaman tahunan untuk berdiri tegak. Tanaman perkebunan seperti karet, kelapa sawit, atau kelapa seringkali doyong atau bahkan roboh. Namun, pertumbuhan seperti ini dianggap menguntungkan karena memudahkan bagi petani untuk memanen sawit (Agus dan Subiksa, 2008). 2.5. Konve rsi Penggunaan Lahan Gambut Hutan alami merupakan penyimpan karbon (C) tertinggi bila dibandingkan dengan sistem penggunaan lahan (SPL) pertanian, dikarenakan keragaman pohonnya yang tinggi, dengan tumbuhan bawah dan seresah di permukaan tanah yang banyak (Hairiah dan Rahayu, 2007). Pembukaan hutan untuk dijadikan lahan pertanian baru dapat menyebabkan pelepasan karbon (C) ke atmosfer. Karbon (C) yang pada awalnya tersimpan dalam pepohonan dan tanaman lainnya dilepaskan melalui pembakaran (dalam bentuk asap) atau terdekomposisi diatas ataupun dibawah permukaan tanah sewaktu pembukaan lahan (land clearing) (Hairiah et al., 2001). Karbon yang tersimpan tersebut akan hilang dengan cepat apabila hutan ditebang. Penebangan yang diikuti dengan pembakaran mempercepat proses emisi dari biomassa hutan gambut. Sekitar 50% dari kayu penebangan hutan dipanen untuk dijadikan berbagai bahan perabotan dan perumahan. Karbon di dalamnya akan tersimpan dalam waktu cukup lama (10-25 tahun) sehingga bisa dianggap menjadi bagian dari karbon tersimpan satu sampai tiga dekade sesudah hutan dibuka, tergantung kualitas kayunya. Sisa pohon yang tertinggal d i atas permukaan tanah akan teremisi dalam waktu yang relatif singkat, baik karena terbakarnya biomassa kayu-kayuan tersebut, maupun karena pelapukan secara biologis. Dari 100 ton C/ha biomassa tanaman yang tidak digunakan sebagai produk kayu hasil hutan, akan menjelma menjadi sekitar 367 ton CO 2/ha bila teroksidasi secara sempurna (Agus dan Subiksa, 2008). Menurut Murdiyarso et al. (2004), pemanfaatan lahan gambut tropis khususnya di Indonesia, sangat dipengaruhi oleh meningkatnya kebutuhan penduduk akan lahan, pangan, kayu bakar dan bahan bangunan. Pemanfataan 9 tersebut sangat terkait dengan kebijakan pemerintah dalam kegiatan konversi hutan, industri perkayuan, transmigrasi dan pemukiman penduduk serta perluasan lahan pertanian. Praktek yang biasanya diterapkan adalah dengan melakukan deforestasi yang diikuti dengan pembangunan kanal atau saluran untuk mengeringkan air yang tertahan di lahan gambut. Praktek ini jika tidak terkendali dengan baik akan menimbulkan berbagi masalah lingkungan. Jika dilindungi dalam kondisi alami, lahan gambut dapat meningkatkan kemampuan dalam menyerap dan menyimpan karbon. Vegetasi yang tumbuh di atas tanah gambut dan membentuk hutan rawa akan mengikat karbon dioksida dari atmosfer melalui fotosintesis dan menambah simpanan karbon dalam ekosistem tersebut (Wahyunto et al., 2005). 2.6. Aplikasi Penginderaan Jauh untuk Analisis Perubahan Penggunaan Lahan Deteksi perubahan penggunaan lahan dengan Penginderaan Jauh semakin penting peranannya terutama karena banyaknya kemudahan yang diperoleh dan terjadinya efisiensi kerja baik aspek anggaran maupun tenaga yang digunakan. Dalam pelaksanaannya deteksi perubahan penggunaan lahan dilakukan dengan membandingkan citra hasil perekaman beberapa waktu berbeda atau membandingkan citra penginderaan jauh waktu tertentu dengan peta penggunaan lahan yang telah dibuat pada waktu sebelumnya (Angga, 2001). Perubahan penggunaan lahan dapat diartikan sebagai suatu proses pilihan pemanfaatan ruang guna memperoleh manfaat yang optimum, baik untuk pertanian maupun non-pertanian (Junaedi, 2008). Penggunaan citra satelit untuk deteksi perubahan penggunaan lahan selanjutnya cukup banyak digunakan terutama karena keunggulannya pada resolusi temporal yang baik dan cakupan wilayahnya cukup luas. Dengan ke giatan perekaman yang dilakukan secara terus- menerus pada setiap interval waktu tertentu, memungkinkan citra satelit dapat digunkan untuk pemantauan perubahan dari waktu ke waktu tidak terbatas hanya untuk dua waktu perekaman berbeda. Oleh karena itu, penggunaan citra satelit cukup besar manfaatnya dalam 10 melakukan prediksi perubahan berdasarkan pengamatan terhadap kecenderungan perubahan yang telah terjadi (Angga, 2001). 2.7. Data Penginderaan Jauh Landsat Penginderaan Jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu objek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan objek, daerah, atau fenomena yang dikaji (Lillesand dan Kiefer, 1997). Sedangkan interpretasi atau penafsira n citra penginderaan jauh (fotografik atau non fotografik) merupakan perbuatan mengkaji citra dengan maksud untuk mengidentifikasi objek yang tergambar dalam citra, dan menilai arti pentingnya objek tersebut (Purwadhi, 2001). Menurut Lillesand dan Kiefer (1997), terapan interpretasi citra landsat telah dilakukan pada berbagai disiplin ilmu seperti Pertanian, Botani, Kartografi, Teknik Sipil, Lingkungan, Kehutanan, Geografi, Geologi, Geofisika, Analisis Sumberdaya Lahan, Perencanaan Tata Guna Lahan, Oseanografi, dan Analisis Sumberdaya Lahan. Landsat merupakan satelit sumberdaya bumi yang pada awalnya bernama ERST-1 (Earth Resources Technology Satellite) yang diluncurkan pertama kali pada tanggal 23 juli 1978. Satelit ini hingga saat ini telah sampai seri ke 7 (1998) dengan orbit mengelilingi bumi selaras matahari (sunsynchronous). Sensor yang digunakan RBV (Return Beam Vidicom), MSS (Multispectral Scanner), TM (Thematic Mapper) dan ETM (Enhanced Thematic Mapper). Landsat 1, 2, 3 dilengkapi dengan sensor RBV dan 4 saluran sensor MSS namun tidak memiliki saluran termal. Untuk Landsat 4 dan 5 selain memiliki 4 saluran sensor MSS ditambah (Thematic Mapper), sedangkan untuk Landsat 6 ETM (Enhanced Thematic Mapper) ditambahkan saluran termal (10,4-12,6) μm. Sensor ETM merupakan pengembangan dari sensor TM dengan menambah saluran pankromatik (0,50-0,90 μm), yang didesain mempunyai resolusi spasial 15m x 15m (Purwadhi, 2001). Karakteristik saluran Landsat TM dan Karakteristik satelit Landsat disajikan pada Tabel 4 dan 5. 11 Tabel 4. Karakteristik Saluran Citra Landsat TM Saluran 1 Kisaran Gelombang 0,45 - 0,52 2 0,52 - 0,60 3 0,63 - 0,69 4 0,76 - 0,90 5 1,55 - 1,75 6 7 2,08 - 2,35 10,40 - 12,50 Kegunaan Peningkatan penetrasi ke dalam tubuh air, mendukung analis is sifat khas penggunaan lahan, tanah dan vegetasi. Pengamatan puncak pantulan vegetas i pada spektrum hijau yang terletak diantara dua saluran spektral serapan klorofil. Pengamatan ini dimaksudkan untuk membedakan jenis vegetasi dan penilaian kesuburan. Saluran terpenting untuk memisahkan vegetasi. Saluran ini terletak pada salah satu bagian serapan klorofil dan memperkuat kontras antara kenampakan vegetasi dan non vegetasi. Saluran yang peka terhadap biomassa vegetasi. Juga untuk identifikas i jenis tanaman. Memudahkan pembedaan tanah dan tanaman serta lahan dan air. Penentuan jenis tanaman, kandungan air pada tanaman dan kondisi kelembaban tanah. Pemisah formasi batuan. Saluran inframerah termal bermanfaat untuk klasifikas i vegetasi, analisis gangguan vegetasi, pemisah kelembaban tanah dan sejumlah gejala lain yang berhubungan dengan panas. Sumber : Lillesand dan Kiefer (1997) Tabel 5. Karakteristik Satelit Landsat (Land Satellite) Satelit/Sensor Landsat 1,2,3 RBV MSS Landsat 4,5 MSS TM Saluran Spektral (μm) Resolusi Lebar Cakupan Perekaman Ulang Band Band Band Band Band Band Band 1 0,47 - 0,57 2 0,58 - 0,68 3 0,69 - 0,89 4 0,50 - 0,60 5 0,60 - 0,70 6 0,70 - 0,80 7 0,80 - 1,10 80 m 185 km 18 hari 80 m 185 km 18 hari Band Band Band Band Band Band Band Band Band Band Band 4 0,50 - 0,60 5 0,60 - 0,70 6 0,70 - 0,80 7 0,80 - 1,10 1 0,45 - 0,52 2 0,52 - 0,60 3 0,63 - 0,69 4 0,76 - 0,90 5 1,55 - 1,75 6 2,08 - 2,35 7 10,40 - 12,50 80 m 185 km 16 hari 30 m 185 km 16 hari Sumber : Purwadhi (2001) 120 m 12 2.8. Inte rpolasi Titik Interpolasi didefinisikan sebagai sebuah proses pendugaan nilai elevasional yang tidak diketahui dengan menggunakan nilai yang diketahui dan terletak pada beberapa lokasi sekitar nilai yang tidak diketahui tersebut (DeMers, 2000 dalam Trisasongko dan Shiddiq, 2004). Salah satu teknik interpolasi adalah IDW (Inverse Distance Weight), teknik ini menggunakan model pembobotan yaitu model yang relatif paling sederhana dibandingkan dengan model lainnya. Model ini mengasumsikan bahwa titik yang nilainya diduga akan dipengaruhi nilainya oleh titik lain yang berdekatan secara spasial. Inti dari model ini adalah menganalisis titik pengamatan dalam suatu ruang ketetanggaan yang menggambarkan kemiripan diantara titik-titik tersebut. Pada umumnya program komputer akan melakukan beberapa teknik pencarian (searching) dengan mendefinisikan ruang ketetanggaan. Mengingat model pembobotan ini merupakan model ruang lokal, maka teknik pencarian yang umum digunakan adalah dengan menetapkan jumlah titik observasi yang berada disekitarnya atau menggunakan teknik pencarian dalam radius tertentu (Trisasongko dan Shiddiq, 2004). Rumus umum IDW adalah sebagai berikut : dimana n merupakan jumlah populasi, wi merupakan faktor pembobot, z0 merupakan nilai yang diduga dan zi merupakan sekumpulan nilai penduga. 2.9. Kelapa Sawit (Elaeis guinensis jacq) Kelapa sawit (Elaeis guinensis jacq) adalah jenis tanaman dari famili palmae dan sub famili Cocoideae yang mampu menghasilkan minyak nabati. Pengelompokan berdasarkan warna buah yaitu (i) nigrrescent dengan buah berwarna ungu tua pada buah mentah dan memiliki “topi” coklat atau hitam pada buah masak, (ii) virescens dengan warna hijau pada buah mentah dan orange tua pada buah masak, dan (iii) albenscens yang tidak memiliki warna. Berdasarkan ketebalan cangkang, kelapa sawit dikelompokkan menjadi Dura (tebal 2-8mm), Tenera (tebal 0,5-4 mm) dan Pisifera (tidak bercangkang). Buah sawit 13 bergerombol dalam tandan yang muncul dari tiap pelepah. Tiga lapisan yang terdapat pada buah sawit yaitu eksoskarp adalah bagian kulit buah yang berwarna kemerahan dan licin, mesokarp adalah serabut buah dan endoskrap yang menjadi cangkang pelinding inti. Inti sawit sering disebut kernel merupakan endosperma dan embrio dengan kandungan minyak inti yang berkualitas tinggi (Direktorat Jendral Perkebunan, 2006) Bagian yang paling populer untuk diolah dari kelapa sawit adalah buah. Bagian daging buah menghasilkan minyak kelapa sawit mentah yang diolah menjadi bahan baku minyak goreng dan berbagai jenis turunannya. Kelebihan minyak nabati dari sawit adalah harga yang murah, rendah kolesterol dan memiliki kandungan karoten tinggi. Minyak sawit juga diolah menjadi bahan baku margarin. Minyak sawit digunakan sebagai bahan baku minyak makan, margarin, sabun, kosmetika, kulit dan industri farmasi. Minyak sawit dapat digunakan untuk begitu beragam peruntukannya karena keunggulan sifat yang dimilikinya yaitu tahan oksidasi dengan tekanan tinggi, mampu melarutkan bahan kimia yang tidak larut oleh bahan pelarut lainnya, mempunyai daya melapis yang tinggi dan tidak menimbulkan iritasi pada tubuh dalam bidang kosmetik. Minyak inti menjadi bahan baku minyak alkohol dan industri kosmetika. Bunga dan buahnya berupa tandan, bercabang banyak. Buahnya kecil, bila masak berwarna merah kehitaman. Daging buahnya padat. Daging dan kulit buahnya mengandung minyak. Minyaknya itu digunakan sebagai bahan minyak goreng, sabun dan lilin. Ampasnya dimanfaatkan untuk makanan ternak. Ampas yang disebut bungkil itu digunakan sebagai salah satu bahan pembuatan makanan ayam. Tempurungnya digunakan sebagai bahan bakar dan arang (www.wikipedia.org, diunduh 7 Januari 2010). Dalam proses fotosintesis, kelapa sawit akan menyerap CO 2 dari udara dan akan melepas O 2 ke udara. Proses ini akan terus berlangsung selama pertumbuhan dan perkembangannya masih berjalan. Umur kelapa sawit mencapai lebih dari 25 tahun dengan pengelolaan yang baik. Berdasarkan data Direktorat Jendral Perkebunan (2006), perkebunan kelapa sawit di Indonesia mampu menyerap CO 2 sebanyak 430 juta ton. Kondisi ini ditunjukkan pula dengan data penelitian dari 14 IOPRI (Indonesia Oil Palm Research Institute) bahwa fiksasi CO 2 adalah 25,71 ton/ha/tahun (Htut, 2004). Hasil temuan Rogi (2002) mencatat kelapa sawit mampu menyimpan lebih dari 80 ton C/ha. Akan tetapi jumlah tersebut dicapai setelah 10-15 tahun pertumbuhan sehingga jumlah karbon rata-rata waktu yang ditambat oleh tanaman kelapa sawit sekitar 60.4 ton/ha atau rata-rata sekitar 2,44 ton C/ha/tahun dan ekivalen dengan 8,95 ton CO 2 ha/tahun. 2.10. Metode Pendugaan Cadangan Karbon Te rsimpan Menurut Hairiah dan Rahayu (2007), cadangan karbon yang tersimpan di daratan (teresterial) terbagi menjadi karbon di atas permukaan (above ground carbon) dan karbon di bawah permukaan atau dalam tanah (below ground carbon). Karbon di atas permukaan tanah meliputi biomassa pohon, biomassa tumbuhan bawah (semak berdiameter <5 cm, tumbuhan menjalar dan gulma), nekromassa (bagian pohon atau tanaman yang sudah mati) dan serasah (bagian tanaman yang gugur berupa daun dan ranting). Karbon bawah permukaan, meliputi biomassa akar dan bahan organik tanah (sisa tanaman, hewan dan manusia yang mengalami dekomposisi. Biomassa didefinisikan sebagai jumlah total bahan organik hidup dalam pohon yang dinyatakan dalam berat kering oven per unit area. Biomassa digunakan untuk memperkirakan karbon tersimpan, karena sekitar 50% dari biomassa tanaman adalah karbon (Brown, 1997). Untuk mengukur besarnya karbon tersimpan di atas permukaan tanah digunakan persamaan alometrik dengan menduga biomassa suatu pohon dari pengukuran diameter dan tinggi pohon. Parameter biomassa atas permukaan dan metode pengukuran yang biasa digunakan disajikan pada Tabel 6. 15 Tabel 6. Parameter Biomassa Atas Permukaan dan Metode Pengukurannya Parameter Tumbuhan bawah Serasah kasar dan halus Arang dan abu Tumbuhan berkayu Pohon-pohon hidup Pohon mati masih berdiri Pohon mati sudah roboh Tunggak pohon Metode Destruktif Destruktif Destruktif Destruktif Non-destruktif, persamaan alometrik Non-destruktif, persamaan alometrik Non-destruktif, rumus silinder Non-destruktif, rumus silinder sumber : Hairiah et al. (2001) Untuk menduga cadangan karbon yang tersimpan dibawah permukaan, pada suatu lahan gambut data yang diperlukan adalah : (1) ketebalan lapisan gambut, (2) tingkat kematangan gambut, (3) luas wilayah lahan gambut, (4) bobot isi (bulk density), dan (5) %C-organik. Data ketebalan gambut dan tingkat kematangan gambut diperoleh dari hasil pengamatan lapangan. Luas wilayah gambut dapat diketahui dari hasil pengukuran langsung di lapangan atau dari peta sebaran gambut yang batas atau poligonnya didapat dari hasil analisis citra satelit da n peta topografi. Tingkat kematangan/pelapukan gambut didapatkan dari pengamatan lapangan, sedangkan data bobot isi (bulk density) dan %C-organik diperoleh dari hasil analisis contoh tanah gambut di laboratorium atau dengan merujuk kepada data penelitian sebelumnya (Wahyunto et al., 2005).