BAB II TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan pustaka pada bab ini merupakan kumpulan teori-teori untuk mendukung hasil penelitian, yang dikaji dari dua aspek yaitu aspek kependidikan dan aspek keilmuan. Adapun tinjauan pustaka dari aspek kependidikan meliputi belajar, penilaian, teknik penilaian hasil belajar, kemampuan belajar peserta didik, tes formatif, kesulitan belajar peserta didik, tes diagnostik, dan tes formatif yang berfungsi sebagai tes diagnostik. Sedangkan, tinjauan pustaka dari aspek keilmuan meliputi karakteristik umum hewan, filum Porifera, filum Coelenterata, filum Platyhelminthes, filum Nematelminthes, filum Annelida, filum Mollusca, filum Arthropoda, filum Echinodermata, dan filum Chordata. A. Tinjauan Kependidikan 1. Belajar Para pakar pendidikan mengemukakan pengertian yang berbeda tentang belajar, namun pada prinsipnya setiap orang yang melakukan proses belajar akan mengalami suatu perubahan dalam dirinya. Trianto (2009: 9) mengemukakan bahwa, “belajar hakikatnya adalah suatu proses yang ditandai dengan adanya perubahan pada diri seseorang baik berubah pengetahuan, pemahaman, sikap dan tingkah laku, kecakapan, ketrampilan dan kemampuan, serta perubahan aspek-aspek yang lain yang ada pada individu yang belajar”. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Pupuh Fathurrohman dan M. Sobry Sutikno (2011: 6), mereka mengatakan bahwa belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan oleh seseorang untuk memperoleh suatu 14 perubahan (perubahan yang terjadi secara sadar/ disengaja) dan tertuju untuk memperoleh sesuatu yang baru (yang lebih baik dari sebelumnya) sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya. Secara keseluruhan kegiatan belajar merupakan bagian yang paling pokok dalam proses pendidikan. Ini berarti bahwa berhasil tidaknya pencapaian tujuan pendidikan tergantung kepada bagaimana proses belajar yang dialami oleh siswa sebagai anak didik. Para ahli bidang belajar umumnya sependapat bahwa, perubahan belajar itu adalah bersifat kompleks, karena merupakan suatu proses yang dipengaruhi atau ditentukan oleh banyak faktor dan meliputi berbagai aspek baik yang bersumber dari dalam diri maupun yang bersumber dari luar diri manusia (Oemar Hamalik, 1990: 22). Dengan demikian belajar adalah suatu proses kegiatan atau usaha yang dilakukan oleh seseorang secara sadar dalam berinteraksi dengan lingkungannya sehingga terjadi perubahan tingkah laku yang baru di dalam dirinya yang berupa pengetahuan, sikap, dan ketrampilan. Perubahan dalam diri seseorang tersebut berlangsung secara bertahap, berkesinambungan, dan dinamis. Satu perubahan akan menyebabkan perubahan berikutnya dan akan berguna bagi kehidupan ataupun proses belajar berikutnya. Perubahan itu senantiasa bertambah dan tertuju untuk memperoleh sesuatu yang lebih baik dari sebelumnya. 15 2. Penilaian a. Pengertian Penilaian Penilaian atau asesmen merupakan komponen penting dalam penyelenggaraan pendidikan. Upaya meningkatkan kualitas pendidikan dapat ditempuh melalui peningkatan kualitas pembelajaran dan kualitas sistem penilaiannya. Keduanya saling terkait, sistem pembelajaran yang baik akan menghasilkan kualitas belajar yang baik. Kualitas pembelajaran ini dapat dilihat dari hasil penilaiannya. Sistem penilaian yang baik akan mendorong pendidik untuk menentukan strategi mengajar yang baik dan memotivasi peserta didik untuk belajar yang lebih baik. Oleh karena itu, dalam upaya peningkatan kualitas pendidikan diperlukan perbaikan sistem penilaian. Suatu kegiatan penilaian dimulai dengan kegiatan pengukuran. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Kusaeri dan Suprananto (2012: 8) bahwa, “penilaian adalah suatu prosedur sistematis dan mencakup kegiatan mengumpulkan, menganalisis, serta menginterpretasikan informasi yang dapat digunakan untuk membuat kesimpulan tentang karakteristik seseorang atau objek”. Sependapat dengan Kusaeri dan Suprananto, Gronlund & Linn dalam Kusaeri mendefiniskan penilaian sebagai suatu proses yang sistematis dan mencakup kegiatan mengumpulkan, menganalisis serta menginterpretasikan informasi untuk menentukan seberapa jauh seorang siswa atau sekelompok siswa mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan, baik aspek pengetahuan, sikap maupun keterampilan. 16 Djemari Mardapi (2012: 13) juga berpendapat bahwa penilaian mencakup semua cara yang digunakan untuk mengumpulkan data tentang individu. Penilaian berfokus pada individu, sehingga keputusannya juga terhadap individu. Untuk menilai prestasi peserta didik, peserta didik mengerjakan tugas-tugas, mengikuti ujian tengah semester, dan ujian akhir semester. Semua data yang diperoleh dengan berbagai cara kemudian diolah menjadi informasi tentang individu. Jadi proses penilaian meliputi pengumpulan bukti-bukti tentang pencapaian belajar peserta didik. Penilaian memerlukan data yang akurat, sedang data diperoleh dari kegiatan pengukuran, sehingga diperlukan alat ukur yang baik. Kegiatan penilaian menyangkut kegiatan pemberian nilai pada objek. Nana Sudjana (2006: 3) mengatakan penilaian adalah proses memberikan atau menentukan nilai kepada objek tertentu berdasarkan suatu kriteria tertentu. Boyer & Ewel dalam Eko Putro Widoyoko (2009: 30) mendefinisikan, “assessment is processes that provide information abaut individual student, abaut curricula or program, abaut institutions, or abaut entire system of institutions” Assessment adalah proses yang menyediakan informasi tentang individu peserta didik, tentang kurikulum atau program, tentang institusi, atau segala sesuatu yang berkaitan dengan sistem institusi. Menurut Oemar Hamalik (2001: 156) penilaian adalah salah satu komponen dalam proses pembelajaran, yaitu meliputi tujuan 17 pembelajaran, metode pembelajaran dan penilaian hasil belajar. Sedangkan Sarwiji Suwandi (2010: 9) menyebutkan komponen-komponen pokok penilaian meliputi pengumpulan informasi, interpretasi terhadap informasi yang telah dikumpulkan dan pengambilan keputusan. Ketiga komponen itu saling terkait dan sebelum melakukannya guru harus menentukan atau merumuskan tujuan penilaian. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa penilaian adalah suatu proses pengumpulan informasi peserta didik melalui suatu kegiatan pengukuran untuk menilai keberhasilan peserta didik dalam belajar. b. Fungsi Penilaian Suharsimi Arikunto (2009: 10) berpendapat bahwa, fungsi penilaian meliputi fungsi selektif, diagnostik, penempatan, dan pengukur keberhasilan. Penilaian berfungsi selektif artinya dengan mengadakan penilaian, guru mempunyai cara untuk menyeleksi peserta didik. Penilaian berfungsi sebagai diagnostik berarti, dengan melihat hasil penilaian guru dapat mengetahui kelemahan peserta didik beserta penyebabnya sehingga dapat pula menentukan cara mengatasinya. Penilaian berfungsi sebagai penempatan berarti untuk menentukan dengan pasti di kelompok mana peserta didik harus ditempatkan. Penilaian berfungsi sebagai pengukur keberhasilan berarti untuk mengetahui sejauh mana suatu program pembelajaran berhasil diterapkan. 18 Sedangkan Nana Sudjana (2006: 3-4) berpendapat bahwa, Fungsi penilaian dapat dijabarkan sebagai: 1) alat untuk mengetahui tercapai tidaknya tujuan instruksional. 2) umpan balik bagi perbaikan proses belajar mengajar 3) dasar dalam menyusun laporan kemajuan peserta didik kepada orang tuanya. Sementara itu, Earl (2006: 6) berpendapat lain mengenai fungsi penilaian. Menurutnya, Secara garis besar asesmen dapat digunakan untuk: (1) menentukan tingkat pencapaian hasil pembelajaran yang dikenal dengan assessment of learning (AoL), (2) memperbaiki proses pembelajaran oleh guru yang dikenal dengan assessment for learning (AfL), dan (3) memperbaiki proses pembelajaran oleh siswa atau assessment as learning (AaL). Dari uraian para ahli di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya fungsi penilaian adalah untuk mengukur keberhasilan belajar peserta didik dan memperbaiki proses pembelajaran. c. Tujuan Penilaian Tujuan penilaian adalah untuk mengukur seberapa jauh tingkat keberhasilan proses pembelajaran yang telah dilaksanakan, dikembangkan, dan ditanamkan di sekolah serta dapat dihayati, diamalkan/ diterapkan, dan dipertahankan oleh peserta didik dalam kehidupan sehari-hari. Disamping itu penilaian juga bertujuan untuk mengetahui seberapa jauh keberhasilan guru dalam melaksanakan proses pembelajaran, yang digunakan sebagai feed back/ umpan balik bagi guru dalam merencanakan proses pembelajaran selanjutnya. Hal ini 19 dimaksudkan untuk mempertahankan, memperbaiki dan menyempurnakan proses pembelajaran yang dilaksanakan (Arnie Fajar. 2005: 220). Hampir sama dengan Arnie Fajar, Depdiknas (2004: 6-7) menyebutkan, tujuan penilaian pendidikan adalah untuk: 1) mengetahui status siswa 2) mengadakan seleksi 3) mengetahui prestasi siswa 4) mengetahui kelemahan dan kesulitan siswa. . 5) mengadakan pengelompokan atau penempatan siswa 6) memberi motivasi siswa 7) memberikan data pada pihak tertentu. d. Jenis Penilaian Berdasarkan fungsinya, Nana Sudjana (2006: 5) membagi penilaian menjadi beberapa macam yaitu: 1) Penilaian formatif adalah penilaian yang dilaksanakan pada akhir program belajar mengajar untuk melihat tingkat keberhasilan proses belajar mengajar itu sendiri. 2) Penilaian sumatif adalah penilaian yang dilaksanakan pada akhir unit program, yaitu akhir semester atau akhir tahun. 3) Penilaian diagnostik adalah penilaian yang bertujuan untuk melihat kelemahan-kelemahan peserta didik serta faktor penyebabnya. Penilaian ini dilaksanakan untuk keperluan bimbingan belajar, pengajaran remidial, menemukan kasus-kasus dan sebagainya. 4) Penilaian selektif, adalah penilaian yang bertujuan untuk keperluan seleksi. 5) Penilaian penempatan, penilaian yang ditujukan untuk mengetahui keterampilan prasyarat yang diperlukan bagi suatu program belajar dan penguasaan belajar seperti yang diprogramkan sebelum memulai kegiatan belajar untuk program itu. Sedangkan dari segi alatnya, Nana Sudjana (2006: 5) membagi penilaian menjadi tes dan bukan tes. Penilaian dalam bentuk tes ada yang secara lisan, tulisan dan tindakan. Soal-soal tes ada yang disusun dalam 20 bentuk objektif, ada juga yang dalam bentuk esai atau uraian. Sedangkan penilaian bukan tes alat penilaiannya mencakup observasi, kuisioner, wawancara, studi kasus dan lain sebagainya. Sistem penilaian hasil belajar pada umumnya dibedakan ke dalam dua sistem yakni penilaian acuan norma (PAN) dan penilaian acuan patokan (PAP) (Nana Sudjana. 2006: 7-8). 1) Penilaian acuan norma adalah penilaian yang diacukan kepada kelompoknya. Dengan demikian dapat diketahui posisi kemampuan peserta didik di dalam kelompoknya. Untuk itu norma atau kriteria yang digunakan dalam menentukan derajat atau prestasi seorang peserta didik, dibandingkan dengan nilai rata-rata kelasnya. Atas dasar itu akan diperoleh tiga kategori prestasi peserta didik, yakni diatas rata-rata kelas, sekitar rata-rata kelas, dan dibawah rata-rata kelas. Dengan kata lain prestasi yang dicapai seseorang posisinya sangat bergantung pada prestasi kelompoknya. Keuntungan sistem ini adalah dapat diketahui prestasi kelompok atau kelas sehingga dapat diketahui keberhasilan pengajaran bagi semua peserta didik. Kelemahannya adalah kurang meningkatkan kualitas hasil belajar (Nana Sudjana. 2006: 7-8). 2) Penilaian acuan patokan (PAP) adalah penilaian yang diacukan kepada tujuan instruksional yang harus dikuasai peserta oleh didik. Dalam sistem ini guru tidak perlu menghitung rata-rata kelas sebab kriterianya sudah pasti. Sistem penilaian ini tepat digunakan untuk 21 penilaian sumatif dan merupakan usaha peningkatan kualitas pendidikan (Nana Sudjana. 2006: 7-8). e. Prinsip Penilaian Menurut Lampiran Permendikbud Nomor 66 Tahun 2013 tentang Standar Penilaian (Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. 2013: 3) menyebutkan, penilaian hasil belajar peserta didik pada jenjang pendidikan dasar dan menengah didasarkan pada prinsipprinsip sebagai berikut: 1) Objektif, berarti penilaian berbasis pada standar dan tidak dipengaruhi faktor subjektivitas penilai. 2) Terpadu, berarti penilaian oleh pendidik dilakukan secara terencana, menyatu dengan kegiatan pembelajaran, dan berkesinambungan. 3) Ekonomis, berarti penilaian yang efisien dan efektif dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pelaporannya. 4) Transparan, berarti prosedur penilaian, kriteria penilaian, dan dasar pengambilan keputusan dapat diakses oleh semua pihak. 5) Akuntabel, berarti penilaian dapat dipertanggungjawabkan kepada pihak internal sekolah maupun eksternal untuk aspek teknik, prosedur, dan hasilnya. 6) Edukatif, berarti mendidik dan memotivasi peserta didik dan guru. Sigalingging Hamonangan (2010: 13-14) juga merinci prinsip penilaian yaitu: 1) Prinsip berlanjutan (continuous) Bahwa penilaian itu harus dilaksanakan secara terus menerus selama proses belajar-mengajar berlangsung. Dengan demikian guru akan dapat mengetahui sedini mungkin jika ada siswa yang mengalami kesulitan belajar, dan dapat pula segera diberikan bantuan, bimbingan untuk mengatasinya. 2) Prinsip menyeluruh (comprehensive) Bahwa penilaian mampu mengukur semua aspek tingkah laku yang dimiliki siswa setelah mengikuti proses pembelajaran. 3) Prinsip objektif Prinsip ini menekankan pada keabsahan data hasil penilaian dengan apa adanya tanpa dibuat-buat sesuai dengan data aslinya. 4) Prinsip kooperatif 22 Pelaksanaan penilaian memerlukan kerjasama semua pihak yang terkait agar menghasilkan data yang benar-benar objektif dan akurat. 5) Prinsip terbuka Artinya, apapun bentuk soal yang digunakan hendaknya diinformasikan terlebih dahulu kepada siswa. 3. Teknik Penilaian Hasil Belajar Teknik penilaian hasil belajar secara umum dibedakan menjadi dua, yaitu teknik tes dan teknik nontes. Teknik nontes pada umumnya memegang peranan yang penting dalam rangka menilai hasil belajar peserta didik dari segi ranah sikap hidup (affective domain) dan ranah keterampilan (psychomotoric domain). Sedangkan teknik tes lebih banyak digunakan untuk menilai hasil belajar peserta didik dari segi ranah proses berfikirnya (cognitive domain) (Anas Sudijono. 2011: 65). a. Teknik Nontes Dengan teknik nontes maka penilaian hasil belajar peserta didik dilakukan dengan tanpa “menguji” peserta didik, melainkan dilakukan dengan melakukan pengamatan secara sistematis (observation), melakukan wawancara (interview), menyebarkan angket (questionmaire) dan memeriksa atau meneliti dokumen-dokumen (documentary analysis) (Anas Sudijono. 2011: 65). b. Teknik Tes Anas Sudijono (2011: 66) menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan tes adalah cara (yang dapat dipergunakan) atau prosedur (yang perlu ditempuh) dalam rangka pengukuran dan penilaian di bidang pendidikan, yang berbentuk pemberian tugas atau serangkaian tugas (baik berupa 23 pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab), atau perintah-perintah (yang harus dikerjakan) oleh testee, sehingga (atas dasar data yang diperoleh dari hasil pengukuran tersebut) dapat dihasilkan nilai yang melambangkan tingkah laku atau prestasi testee yang dapat dibandingkan dengan nilai-nilai yang dicapai oleh testee lainnya, atau dibandingkan dengan nilai standar tertentu. 1) Fungsi tes a) Sebagai alat pengukur terhadap peserta didik. Dalam hubungan ini tes berfungsi mengukur tingkat perkembangan atau kemajuan yang telah dicapai oleh peserta didik setelah mereka menempuh proses belajar mengajar dalam jangka waktu tertentu Anas Sudijono (2011: 66). b) Sebagai alat pengukur keberhasilan program pengajaran, sebab melalui tes tersebut akan dapat diketahui sudah seberapa jauh program pengajaran yang telah ditentukan, telah dapat dicapai Anas Sudijono (2011: 66). 2) Penggolongan Tes Ada beberapa macam tes yang digunakan untuk mengukur keberhasilan pembelajar seperti yang telah dirinci oleh Burhan Nurgiyantoro (2011: 111-116), yaitu tes kemampuan awal, tes diagnostik, tes formatif, dan tes sumatif: a) Tes Kemampuan Awal 24 Tes ini dilakukan sebelum suatu kegiatan pembelajaran dimulai, atau sebelum pembelajar memulai pelajaran di lembaga yang bersangkutan. Ada tiga macam tes kemampuan awal, yakni pretes, tes prasyarat, dan tes penempatan. Pretes adalah tes yang dilakukan sebelum pembelajar mengalami proses belajar dalam suatu mata pelajaran. Tes prasyarat adalah tes yang dilakukan seseorang/ pembelajar sebelum masuk dalam pendidikan tertentu, sebagai prasyarat apakah pembelajar tersebut memiliki kemampuan tertentu untuk mengikuti pendidikan tersebut. Kemudian, tes penempatan adalah tes yang digunakan untuk mengetahui tingkat kemampuan calon pembelajar, kemudian hasilnya digunakan sebagai informasi untuk menempatkan pembelajar sesuai kemampuannya (Burhan Nurgiyantoro. 2011: 111). b) Tes Diagnostik Tes ini dilakukan sebelum atau selama masih berlangsungnya kegiatan pembelajaran guna menentukan kompetensi dasar, indikator, dan bahan ajar tertentu yang masih menyulitkan pembelajar. Materi yang belum dikuasai pembelajar merupakan informasi berharga untuk menentukan kegiatan pembelajaran selanjutnya. Jadi, tes ini berfungsi untuk mengetahui latar belakang kesulitan atau hambatan belajar pembelajar dan sekaligus membantu atau membimbing pembelajar yang mengalami kesulitan itu (Burhan Nurgiyantoro. 2011: 113). 25 c) Tes Formatif Tes ini dilakukan selama kegiatan pembelajaran masih berlangsung pada setiap akhir beberapa kompetensi dasar atau satuan bahasan. Dengan demikian, tes ini dilakukan beberapa kali dalam satu semester. Dalam kenyataan praktik pembelajaran di sekolah, tes ini dilaksanakan dengan sebutan ulangan harian (Burhan Nurgiyantoro. 2011: 114). d) Tes Sumatif Tes ini dilakukan setelah selesainya seluruh kegiatan pembelajaran atau seluruh program perencanaan, salah satunya adalah ulangan umum yang dilakukan setiap akhir semester. Informasi yang didapatkan dari tes ini digunakan untuk menentukan nilai atau prestasi yang dicapai oleh setiap pembelajar. Atau bisa dikatakan bahwa fungsi dan tujuan tes sumatif adalah untuk menentukan keberhasilan belajar, yang hasilnya sebagai bahan untuk mengisi nilai rapor dan kenaikan kelas (Burhan Nurgiyantoro. 2011: 11516). 4. Kemampuan Belajar Peserta Didik Peserta didik adalah individu dengan bermacam-macam karakter. Dalam menerima pelajaran, sikap peserta didik tidaklah sama. Hal ini tergantung dari kemampuan belajar masing-masing peserta didik. Mampu berarti sanggup, sehingga kemampuan berarti kesanggupan dalam melakukan sesuatu. Poerwadarminta (2007: 742) mengatakan hal 26 yang sama tentang kemampuan. Menurutnya, mampu artinya kuasa (bisa, sanggup) melakukan sesuatu, sedangkan kemampuan artinya kesanggupan, kecakapan, dan kekuatan. Nurhasnah (2007: 552) juga mengatakan, mampu artinya (bisa, sanggup) melakukan sesuatu, sedangkan kemampuan artinya kesanggupan dan kecakapan. Em Zul Fajri dan Ratu Aprilia Senja (2008: 134) berpendapat lain bahwa kata kemampuan sama artinya dengan kecekatan. Kecekatan adalah kepandaian melakukan sesuatu pekerjaan dengan cepat dan benar. Seseorang yang dapat melakukan dengan cepat tetapi salah tidak dapat dikatakan mampu. Demikian pula apabila seseorang dapat melakukan sesuatu dengan benar tetapi lambat, juga tidak dapat dikatakan mampu. Seseorang yang mampu dalam suatu bidang tidak ragu-ragu melakukan pekerjaan tersebut, seakan-akan tidak pernah dipikirkan lagi bagaimana melaksanakannya, tidak ada lagi kesulitan-kesulitan yang menghambat. Senada dengan Zul, Spencer and Spencer dalam Hamzah Uno (2010: 62) mendefinisikan kemampuan sebagai, “karakteristik yang menonjol dari seseorang individu yang berhubungan dengan kinerja efektif dan/superior dalam suatu pekerjaan atau situasi”. Dengan demikian, kemampuan adalah kesanggupan dan kecekatan individu dalam melakukan sesuatu. Sedangkan kemampuan belajar peserta didik dapat diartikan sebagai kesanggupan dan kecekatan peserta didik dalam melakukan proses kegiatan belajar mengajar, hingga terjadi 27 perubahan dalam dirinya dalam hal pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang lebih baik. 5. Tes Formatif Menurut Hasan H. S. dan Zainul A. (1991: 11), tes formatif merupakan tes yang paling banyak digunakan guru, diselenggarakan secara periodik pada saat berlangsungnya proses belajar mengajar yang mencakup semua unit pengajaran yang telah diajarkan. Fungsinya sebagai balikan bagi siswa dan guru tentang kemajuan belajar dan tujuan utamanya adalah untuk mengetahui keberhasilan dan kegagalan proses belajar mengajar serta untuk memperbaiki dan menyempurnakan proses belajar mengajar. Senada dengan Hasan dan Zainul, Gronlund (1985: 119) mengungkapkan, “formative tests are given periodically during instruction to monitor pupils‟learning progress and to provide ongoing feedback to pupils and teacher”. Tes formatif lebih efektif bila diberikan secara periodik selama berlangsungnya pembelajaran yang bertujuan untuk memonitor perkembangan siswa guna pemberian umpan balik kepada siswa dan guru. Kedua pernyataan tersebut menjelaskan, tes formatif diselenggarakan secara berkala setelah peserta didik menyelesaikan materi belajarnya. Umumnya di sekolah, guru akan menyelenggarakan tes formatif setelah peserta didik menempuh satu Kompetensi Dasar. Pada prinsipnya tes formatif berfungsi sebagai umpan balik bagi peserta didik dan guru. Sleeter Christine E. (2005: 74) menyatakan, 28 “formative assessment is using an on going tool to give students feedback and to fine-tune instruction along the way”. Penilaian formatif merupakan alat dan instruksi yang tepat untuk memberikan umpan balik pada siswa dalam proses pembelajaran. Penilaian yang direncanakan dalam satuan pembelajaran merupakan peilaian yang dilakukan berdasarkan tes formatif. Menurut Black Paul dan Dylan William (2009), “consider an assessement „Formative‟ when the feedback from learning activities is actually use to adapt the teaching to meet the learner‟s needs”. Mempertimbangkan penilaian 'Formatif' sebagai umpan balik dari kegiatan belajar yang sebenarnya digunakan untuk menyesuaikan pengajaran dengan memenuhi kebutuhan pembelajar. Cruickshank, et all (2006: 283) juga mengatakan, “the primary purpose is to provide feedback that can be used to plan or to alter instruction. Formative Assessment enables the teacher to form effective instruction and thereby improve students' performance”. Tes formatif dimaksudkan sebagai suatu kegiatan dengan tujuan untuk memberikan umpan balik yang dapat digunakan untuk merencanakan atau mengubah instruksi. Melalui tes formatif memungkinkan guru untuk membentuk instruksi yang efektif, dengan demikian dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Tes ini dilakukan untuk mengetahui sejauh mana para siswa telah memahami materi pelajaran dan juga untuk mengetahui kelemahan-kelemahan yang terjadi pada proses pembelajaran, seperti ketepatan penggunaan metode mengajar, media pembelajaran, dan sistem 29 evaluasi yang digunakan dalam proses pembelajaran tersebut. Kegiatan ini dilakukan “sambil jalan” yang memiliki maksud bahwa tes formatif diselenggarakan selama proses belajar mengajar masih berlangsung, agar siswa dan guru mendapatkan informasi (feedback) yang tepat mengenai kemajuan yang telah dicapai sehingga proses pembelajaran dapat disempurnakan menjadi lebih baik. Sama halnya dengan Ischak S. W dan Warji. R (1987: 65) yang menyatakan, tes formatif terdapat pada bagian akhir setiap paket (lembaran tes). Tes ini bertujuan untuk memonitor efektifitas proses belajar mengajar dan bukan untuk memberikan penilaian terhadap hasil belajar siswa. Hasil tes ini akan memberikan petunjuk kepada guru mengenai perubahan tingkah laku yang terjadi pada diri masing-masing siswa sehubungan dengan isi bahan pelajaran yang tercantum dalam paket belajar. Tes ini hendaknya mampu menampilkan umpan balik baik untuk siswa maupun guru. Mengenai di mana dan bagian materi yang mana siswa perlu mempelajari kembali paket belajar. Tes formatif tidak dipakai untuk menentukan prestasi hasil balajar siswa melainkan untuk dapat pindah ke paket belajar berikutnya. Tes formatif ini disyaratkan penguasaan minimal 75 % untuk dapat pindah ke paket belajar berikutnya. Suharsimi Arikunto (2009: 35) menjelaskan tentang kelebihan dan kekurangan tes formatif. Beberapa kelebihan tes formatif diantaranya adalah: a. Dapat langsung melihat pemahaman siswa di setiap satuan pembelajaran b. Bisa dijadikan tolak ukur ketercapaian tujuan instruksinoal khusus 30 c. Melihat dan memperbaiki kelemahan dan keunggulan yang ada pada siswa dan juga guru d. Memberikan umpan balik pada siswa dan guru Sedangkan kekurangan dari tes formatif sendiri adalah waktu yang tersedia hanya sedikit, memerlukan banyak biaya dan menyita waktu guru untuk membuat instrument dan memeriksa jawaban siswa (Suharsimi Arikunto, 2009: 36). Agar tes formatif dapat berfungsi sebagaimana mestinya, Suharsimi Arikunto (2009: 36) juga mengungkapkan cara pengelolaan hasil tes formatif. Cara pengolahan tes formatif adalah : a. Menghitung persentase siswa yang gagal mengetahui sejauh mana tujuan pengajaran dengan soal telah dicapai oleh kelas. b. Menghitung persentase penguasaan kelas atas bahan yang telah diajarkan, untuk mengetahui kriteria keberhasilan belajar telah tercapai. c. Menghitung persentase jawaban yang benar setiap siswa dalam keseluruhan tes, untuk mengetahui penguasaan siswa atas bahan yang telah diajarkan Berdasarkan uraian di atas, yang dimaksud dengan tes formatif adalah prosedur yang bersifat sistematis untuk mengukur sampel tingkah laku, mendiagnosis kesulitan belajar siswa, mengetahui kemajuan belajar siswa dan memberikan makna feedback bagi guru dan siswa untuk memperbaiki kekurangan guna mencapai hasil belajar yang optimal. 6. Kesulitan Belajar Pada dasarnya, kesulitan belajar adalah suatu keadaan yang menyebabkan peserta didik tidak dapat belajar sebagaimana mestinya. Hal ini diungkapkan oleh Alisuf Sabri (1995: 88) bahwa kesulitan belajar yaitu kesukaran siswa dalam menerima atau menyerap pelajaran di sekolah. 31 Mohammad Irham & Novan Ardy W. (2013: 253-254) juga mengungkapkan, “kesulitan belajar merupakan sebuah permasalahan yang menyebabkan seorang siswa tidak dapat mengikuti proses pembelajaran dengan baik seperti siswa lain pada umumnya yang disebabkan oleh faktor-faktor tertentu sehingga ia terlambat atau bahkan tidak dapat mencapai tujuan belajar yang diharapkan”. Berbeda dengan Blassic dan Jones dalam Mohammad Irham & Novan Ardy W (2013: 253-254). Ia mengungkapkan kesulitan belajar adalah kesenjangan atau jarak antara prestasi akademik yang diharapkan dengan prestasi akademik yang dicapai oleh siswa pada kenyataannya Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kesulitan belajar adalah segala sesuatu yang membuat tidak lancar (lambat) atau menghalangi seseorang dalam mempelajari, memahami serta menguasai sesuatu untuk dapat mencapai tujuan. Siswa yang mengalami kesulitan belajar akan sukar dalam menyerap materi-materi pelajaran yang disampaikan oleh guru. Peserta didik yang mengalami kesulitan belajar harus dideteksi sejak dini agar tidak mengganggu keberhasilan belajarnya. Kesulitan belajar tidak boleh dibiarkan berlarut-larut karena dikhawatirkan dapat menyebabkan kegagalan belajar. Menurut Wood Derek, dkk (2007: 24), mengenali siswa yang mengalami kesulitan belajar merupakan kegiatan yang sulit dan rumit. Kesulitan belajar sulit diidentifikasi secara pasti dengan kasat mata karena meliputi banyak jenisnya, banyak kemungkinan faktor penyebabnya, banyak jenis gejala, serta kemungkinan penanganannya. 32 Blasic & Jones dalam Sugihartono, dkk (2012: 153) berpendapat lain bahwa karakteristik siswa yang mengalami kesulitan belajar dapat ditunjukkan dari kebiasaan atau behavioral dalam keseharian, cara berbahasa dan cara berbicara, serta kemampuan intelektual dan prestasi belajar yang dicapainya. Artinya, kecenderungan siswa yang mengalami kesulitan belajar dapat terlihat dari kemampuan-kemampuan berfikir secara kognitif, sikap keseharian selama di sekolah, dan ketrampilan atau perilaku dalam mengikuti aktivitas belajar dan pembelajaran. Wood Derek, dkk. (2007: 24), mengkategorikan peserta didik yang mengalami kesulitan belajar ke dalam 4 kelompok yaitu (1) siswa mengalami kesulitan dalam berbicara dan berbahasa, (2) siswa mengalami permasalahan dalam hal kemampuan akademik, (3) siswa dalam kesulitankesulitan mengkoordinasikan gerak tubuh, dan (4) siswa dengan permasalahan belajar lain yang belum cukup pada kategori-kategori tersebut. Sedangkan Sumandi Suryabrata dalam Sugihartono, dkk (2012: 153154), menjelaskan kriteria lain peserta didik yang memiliki kesulitan belajar. Menurutnya indikator peserta didik yang mengalami kesulitan belajar adalah sebagai berikut: a. Grade level, yaitu apabila siswa tidak naik kelas sampai dua kali secara berturut-turut pada satu kelas yang sama . misalanya siswa kelas X SMP yang tidak naik-naik ke kelas XII sampai dua kali berturut-turut. b. Age level, yaitu terjadi apabila umur siswa tidak sesuai dengan tingkat sesuai dengan tingkat kelas pada umumnya. Misalnya, anak umur 12 tahun baru kelas 2 SD. c. Intellegence level, yaitu terjadi pada siswa yang under achiever, artinya secara potensi siswa yang bersangkutan baik, namun dalam kenyataannya 33 hasil belajarnya selalu berada di bawah potensi yang seharusnya dapat dicapai. Misalnya, sejak kelas X sampai kelas XI nilai matematikanya bagus, namun ketika di kelas XII nilai matematikanya sangat tidak bagus. d. General level, yaitu terjadi pada siswa yang secara umum dapat menguasai hampir seluruh mata pelajaran dengan nilai yang baik, namun terdapat kelemahan pada satu atau lebih mata pelajaran dengan nilai yang sangat rendah jauh di bawah batas lulus. Maka, pada mata pelajaran tersebutlah siswa dianggap mengalami kesulitan belajar. Misalnya, siswa yang mendapat nilai rata-rata 80-90 pada 8 mata pelajaran, sedangkan pasa 2 mata pelajaran lain, yaitu matematika dan kimia nilainya 35 dan 40 sehingga siswa mengalami kesulitan belajar pada mata pelajaran kimia dan matematika. Entang (1983:13) juga mengungkapkan bahwa siswa yang memiliki hambatan belajar akan diketahui dari beberapa ciri dan karakteristik yang ditunjukkan siswa tersebut. Beberapa ciri tersebut antara lain: 1) hasil belajar siswa rendah, 2) hasil yang didapatkannya tidak sesuai dengan usaha yang dilakukan siswa, 3) lambat dalam melakukan dan menyelesaikan tugas-tugas dan kegiatan belajar. Memperhatikan ciri-ciri peserta didik yang mengalami kesulitan belajar dari para ahli, maka dapat disimpulkan bahwa peseta didik yang mengalami kesulitan belajar menunjukkan gejala-gejala atau ciri-ciri: a. prestasi belajar yang rendah atau berada di bawah rata-rata yang dicapai oleh siswa lain dalam satu kelas. b. hasil belajar atau prestasi belajar yang diperoleh tidak seimbang dengan usaha yang dilakukan, artinya meskipun usahanya sudah keras, namun nilainya selalu rendah. c. lambat dalam melakukan tugas-tugas belajar, artinya ia selalu tertinggal dalam mengerjakan soal-soal, dalam mengerjakan tugas-tugas, dan sebagainya. 34 d. sikap yang tidak atau kurang wajar selama proses pembelajaran, misalnya membolos, sering tidak masuk pada mata pelajaran mata pelajaran tertentu, dan sebagainya. Kesulitan belajar dipengaruhi oleh berbagai faktor. Faktor-faktor tersebut pada dasarnya, merupakan komponen-komponen yang berpengaruh pada proses belajar mengajar itu sendiri. Abu Ahmadi (2007: 78-93) menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi kesulitan belajar peserta didik adalah faktor intern (faktor dari dalam diri peserta didik) dan faktor ekstern (faktor yang timbul dari luar diri peserta didik). a. Faktor Intern 1) Faktor Fisiologis Merupakan faktor-faktor yang berhubungan dengan kondisi fisik individu. Faktor ini ada dua macam yaitu keadaan jasmani peserta didik (sehat, sakit, adanya kelemahan atau cacat tubuh) dan keadaan fungsi fisiologis peserta didik (Abu Ahmadi. 2007: 79). 2) Faktor Psikologis Faktor psikologis meliputi tingkat intelegensia, bakat terhadap mata pelajaran, sikap, minat, dan motivasi (Abu Ahmadi. 2007: 82). a) Intelegensia Kecerdasan/intelegensi peserta didik merupakan faktor psikologis yang paling penting dalam proses belajar. Semakin tinggi tingkat intelegensi seorang individu, semakin besar peluang individu meraih sukses dalam belajar. Sebaliknya, semakin rendah tingkat 35 intelegensi individu, semakin sulit individu itu mencapai kesuksesan belajar (Abu Ahmadi. 2007: 82). b) Bakat Bakat adalah potensi dasar yang dibawa sejak lahir. Dengan demikian, setiap individu pasti memiliki bakat dalam arti berpotensi untuk mencapai prestasi sampai ke tingkat tertentu sesuai dengan kapasitas masing-masing. Apabila bakat seseorang sesuai dengan bidang yang sedang dipelajarinya, maka bakat itu akan mendukung proses belajarnya sehingga kemungkinan besar akan berhasil (Abu Ahmadi. 2007: 83). c) Minat Minat adalah kecenderungan dan kegairahan yang tinggi atau keinginan yang besar terhadap sesuatu. Menurut S.B. Djamarah (2002: 132), minat adalah suatu rasa lebih suka dan rasa ketertarikan pada suatu hal atau aktivitas tanpa ada yang menyuruh. Seseorang yang berminat terhadap suatu aktivitas akan melakukan aktivitas tersebut secara konsisten dan senang. d) Motivasi Motivasi merupakan keseluruhan daya penggerak di dalam diri peserta didik yang menimbulkan kegiatan belajar, yang menjamin kelangsungan dan kegiatan belajar (S.B. Djamarah. 2002: 132). Motivasi dapat menentukan baik tidaknya peserta didik dalam mencapai tujuan belajar, sehingga semakin besar motivasinya 36 semakin besar kesuksesan belajarnya. Sebaliknya mereka yang motivasinya lemah, mudah putus asa, perhatiannya tidak tertuju pada pelajaran, sering meninggalkan pelajaran, akibatnya banyak mengalami kesulitan belajar. e) Sikap Sikap adalah pandangan-pandangan atau perasaan yang disertai kecenderungan untuk bertindak sesuai sikap objek (Abu Ahmadi. 2007: 86). Sikap yang pasif, rendah diri, dan kurang percaya diri merupakan, faktor yang menghambat siswa dalam menampilkan prestasi belajar. Sikap siswa yang positif terhadap mata pelajaran di sekolah merupakan langkah awal yang baik dalam proses belajar mengajar di sekolah sehingga siswa tidak mengalami kesulitan dalam belajar. b. Faktor Ekstern 1) Faktor Nonsosial Faktor nonsosial meliputi sarana dan prasarana seperti peralatan belajar atau media belajar, kondisi ruang belajar atau gedung, kurikulum, waktu pelaksanaan proses pembelajaran, dan sebagainya (Abu Ahmadi. 2007: 88). 2) Faktor Sosial a) Faktor Keluarga 37 Keluarga merupakan pusat pendidikan yang utama dan pertama. Faktor keluarga yang dapat berpengaruh terhadap proses belajar peserta didik seperti: (1) Faktor orang tua, meliputi cara mendidik anak, perhatian dan arahan orang tua, keluarga yang mendukung, hubungan orang tua dengan anak dan bimbingan dari orang tua (2) Suasana rumah. Suasana rumah. Suasana rumah atau keluarga yang sangat ramai/gaduh, selalu banyak masalah di antara anggota keluarga menyebabkan anak tidak tahan di rumah, sehingga tidak mustahil kalau prestasi belajar anak menurun. Untuk itu hendaknya suasana rumah dibuat menyenangkan, tentram, damai, harmonis, agar anak betah tinggal di rumah. Keadaan ini akan menguntungkan bagi kemajuan belajar anak. (3) Keadaan ekonomi. Keadaan ekonomi yang kurang akan menimbulkan kurangnya alat-alat belajar, kurangnya biaya yang disediakan oleh orang tua, dan tidak mempunyai tempat belajar yang baik. Keadaan seperti itu akan menghambat kemajuan belajar anak. (Abu Ahmadi. 2007: 90). b) Faktor Sekolah Meliputi faktor guru, administrasi, teman-teman sekelas, dan sebagainya (Abu Ahmadi. 2007: 91). c) Faktor Masyarakat 38 Faktor ini meliputi: (1) teman bergaul. Anak yang bergaul dengan teman yang tidak sekolah, ia akan malas belajar. Sebab cara hidup anak yang bersekolah berlainan dengan anak yang tidak sekolah, (2) lingkungan tetangga dan juga (3) aktivitas dalam masyarakat. Terlalu banyak berorganisasi akan menyebabkan belajar anak akan terbengkalai (Abu Ahmadi. 2007: 92-93). Menurut S.B. Djamarah (2002: 201-205) faktor penyebab kesulitan belajar peserta didik digolongkan menjadi empat yaitu : a. Faktor anak didik, antara lain berhubungan dengan kesehatan seperti keadaan fisik yang kurang menunjang dan kesehatan yang kurang baik. Selain itu faktor lain yang termasuk di dalamnya ialah emosional, motivasi dalam belajar, minat siswa terhadap mata pelajaran tertentu, sikap dan bakat siswa dalam mengikuti pembelajaran, dan lain sebagainya (S.B. Djamarah. 2002: 201). b. Faktor sekolah, antara lain alat atau media, fasilitas sekolah, suasana sekolah, serta metode mengajar guru. Seringkali penugasan dari guru menuntut standar pelajaran di atas kemampuan anak. Akibatnya hanya sebagian kecil anak didik bisa berhasil dengan baik dalam belajar (S.B. Djamarah. 2002: 203). c. Faktor keluarga, antara lain ketersediaan fasilitas belajar di rumah, ekonomi keluarga, perhatian orang tua, hubungan orang tua dengan anak, kondisi dan suasana lingkungan keluarga dan sebagainya (S.B. Djamarah. 2002: 204). 39 d. Faktor masyarakat sekitar, seperti kondisi lingkungan, pergaulan, aktivitas di dalam masyarakat, media massa dan elektronik, dan lain-lain (S.B. Djamarah. 2002: 205). Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa secara garis besar faktor yang mempengaruhi kesulitan belajar peserta didik dapat berasal dari dalam dan luar diri peserta didik. 7. Tes Diagnostik Para ahli mempunyai pendapat yang berbeda-beda tentang tes diagnostik. Secara umum, tes diagnostik berfungsi untuk mengidentifikasi kesulitan belajar peserta didik. Suharsimi Arikunto (2009: 34) berpendapat bahwa tes diagnostik adalah tes yang digunakan untuk mengetahui kelemahankelemahan siswa sehingga berdasarkan kelemahan-kelemahan tersebut dapat diberikan perlakuan-perlakuan yang tepat. Hopkins C. D. dan Antes R. L. diagnostik adalah alat atau instrumen (1979: 56) menyatakan, tes yang digunakan untuk mengidentifikasi kesulitan belajar. Setiap tes disusun untuk menentukan satu atau lebih ketidakmampuan siswa. Guru harus mengetahui di mana seharusnya memulai pengajaran dan ketrampilan apa yang harus ditekankan. Jika tidak, kelemahan siswa tidak akan diketahui dan program pengajaran pendahuluan tidak dapat dibuat. Oleh karena itu diagnosis yang diteliti merupakan hal penting untuk menyesuaikan semua aspek pengajaran seperti tujuan, materi pelajaran, dan teknik mengajar dengan kebutuhan siswa. 40 Menurut Thorndike R. L. dan Hagen E. P. (2005: 172) diagnostik pada intinya mencari kembali ke belakang tentang kesulitan yang muncul dan berkembang. Untuk menemukannya tidak bisa dilakukan dengan segera, diperlukan sebuah analisis kemampuan yang lengkap dan seksama. Biasanya menggunakan tes diagnostik yang soal-soalnya disusun dari yang mudah hingga ke yang sukar. Depdiknas (2007: 3) memaknai tes diagnostik sebagai tes yang dapat digunakan untuk mengetahui kelemahan dan kekuatan siswa. Dengan demikian, hasil tes diagnostik dapat digunakan sebagai dasar memberikan tindak lanjut berupa perlakuan yang tepat dan sesuai dengan kelemahan yang dimiliki siswa. Tes diagnostik memiliki beberapa karakteristik: a. dirancang untuk mendeteksi kelemahan belajar siswa, karena itu format dan respons yang dijaring harus didesain memiliki fungsi diagnostik b. dikembangkan berdasarkan analisis terhadap sumber-sumber kesalahan yang mungkin menjadi penyebab munculnya masalah siswa c. menggunakan soal-soal bentuk constructed response (uraian atau jawaban singkat), sehingga mampu menangkap informasi secara lengkap. Dalam kondisi tertentu dapat mengunakan bentuk selected response (pilihan ganda), namun harus disertakan penjelasan mengapa peserta tes memilih jawaban tertentu d. disertai rancangan tindak lanjut yang sesuai dengan kesulitan yang teridentifikasi. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, tes diagnostik adalah tes yang dapat digunakan untuk mengetahui kesulitan belajar yang dihadapi peserta didik. Hasil tes diagnostik akan memberikan informasi tentang konsep-konsep yang belum dipahami dan yang telah dipahami peserta didik sebagai dasar guru dalam memberikan tindak lanjut. 41 Dalam mengembangkan tes diagnostik ada beberapa pendekatan yang dapat digunakan sesuai dengan tujuan dari tes diagnostik yang akan dibuat. Ditjen Pendidikan Dasar dan Menengah (2003: 3-5) menjelaskan pendekatan tersebut adalah pendekatan profil materi, prasyarat pengetahuan, pencapaian indikator, miskonsepsi, dan pengetahuan terstruktur. a. Pendekatan profil materi Digunakan untuk mendiagnosis kekuatan dan kelemahan siswa dalam penguasaan materi pada suatu kompetensi dasar tertentu. b. Pendekatan prasyarat pengetahuan Digunakan jika kita ingin mengetahui kemampuan siswa dalam mencapai kompetensi dasar sebelumnya (prasyarat). c. Pendekatan pencapaian indikator Digunakan jika kita ingin mendiagnosis kegagalan siswa dalam mencapai indikator tertentu. d. Pendekatan miskonsepsi Digunakan jika kita ingin mengetahui tingkat miskonsepsi dari siswa. e. Pendekatan pengetahuan terstruktur Apabila kita ingin mendiagnosis kegagalan siswa dalam memecahkan pengetahuan terstruktur. Penskoran dan penafsiran tes diagnostik harus memperhatikan beberapa hal. Depdiknas (2007: 12-13) menguraikan hal-hal yang harus diperhatikan ketika penskoran dan penafsiran tes diagnostik, yaitu: a. Selain memberikan hasil kuantitatif berupa skor tertinggi bila responsnya lengkap dan skor terendah bila responsnya paling minim, kegiatan penskoran juga harus mampu merekam jenis kesalahan (type error) yang ada dalam respons siswa. Siswa dengan skor sama, misalnya sama-sama 0 (berarti responsnya salah) belum tentu memiliki type error yang sama juga, karena itu mengidentifikasi penyebab terjadinya kesalahan jauh lebih bermakna dibandingkan dengan menentukan berapa jumlah kesalahannya atau berapa skor total yang dicapainya. Hasil identifikasi type error menjadi dasar interpretasi yang akurat (Depdiknas. 2007: 12). b. Bila tes diagnostik terhadap suatu indikator dibangun oleh sejumlah butir soal perlu ditentukan batas pencapaian untuk menentukan bahwa seorang siswa itu dinyatakan bermasalah. Juga perlu ditentukan batas toleransi untuk jumlah dan jenis type error yang boleh terjadi. Batas pencapaian ini dapat ditentukan sendiri oleh guru berdasar pengalamannya atau berdiskusi dengan guru-guru serumpun (Depdiknas. 2007: 13). 42 c. Tes diagnostik menggunakan acuan kriteria (criterion- referenced), karena hasil tes diagnostik yang dicapai oleh seorang siswa tidak digunakan untuk membandingkan siswa tersebut dengan kelompoknya melainkan terhadap kriteria tertentu sehingga ia dapat diklasifikasikan “sakit dan membutuhkan terapi” ataukah “sehat” sehingga dapat mengikuti kegiatan pembelajaran berikutnya (Depdiknas. 2007: 13). Kegiatan guru menindaklanjuti hasil tes diagnostik peserta didiknya berupa perlakuan-perlakuan yang sesuai dengan permasalahan atau kesulitan yang dihadapi. Kegiatan tindak lanjut untuk menyelesaikan permasalahan peserta didik, tidak hanya tertuju kepada peserta didik itu sendiri, melainkan juga kepada semua pihak yang terkait dengan kegiatan pembelajaran dan berkontribusi menimbulkan permasalahan peserta didik. Beberapa hal yang perlu diperhatikan agar dapat menindaklanjuti hasil tes diagnostik dengan baik adalah: a. Kegiatan tindak lanjut dilakukan betul-betul berdasarkan hasil analisis tes diagnostik secara cermat. Tindak lanjut tidak selalu berupa kegiatan remidial di kelas, tetapi dapat juga berupa tugas rumah, observasi lingkungan, kegiatan tutor sebaya, dan lain-lain sesuai masalah atau kesulitan yang dihadapi peserta didik. Kegiatan tidak lanjut juga tidak selalu dilakukan secara individu, tetapi dapat juga dilakukan secara kelompok bergantung pada karakteristik masalah yang dihadapi peserta didik (Depdiknas. 2007: 14). b. Mengatasi permasalahan yang disebabkan oleh miskonsepsi membutuhkan kesabaran, keuletan, dan kecerdasan guru. Miskonsepsi sulit bila hanya diatasi melalui informasi atau penjelasan, oleh karena itu perlu dirancang aktivitas atau pengamatan secara langsung untuk memperbaikinya (Depdiknas. 2007: 14). c. Kegiatan tindak lanjut diberikan secara bertahap dan berkelanjutan. Tes diagnostik pada hakikatnya merupakan bagian dari ulangan harian, maka pelaksanaannya juga perlu diatur sehingga tidak tumpang tindih (overlapping) dan tidak memberatkan peserta didik maupun guru (Depdiknas. 2007: 15). d. Perlu dirancang program sekolah yang mendukung dan memberikan kemudahan bagi guru untuk mengadministrasi, melaporkan, dan menindaklanjuti hasil tes diagnostik, misalnya penyediaan sarana dan tenaga teknis, pemberian insentif atau penghargaan, dan programprogram lain yang mendukung profesionalitas guru, misalnya lokakarya, 43 workshop, dan penelitian yang mengangkat hasil-hasil tes diagnostik. Selain untuk evaluasi di sekolah, bila memungkinkan hasil analisis tes diagnostik juga dikirimkan atau dilaporkan kepada orang tua peserta didik, sehingga secara bersama-sama dapat membantu peserta didik dalam memecahkan masalahnya (Depdiknas. 2007: 15). 8. Tes Formatif yang Berfungsi sebagai Tes Diagnostik Tes formatif yang berfungsi sebagai tes diagnostik adalah tes yang dapat digunakan untuk mengukur kemampuan belajar peserta didik sekaligus kesulitan belajarnya. Sebagaimana yang dinyatakan Bambang Subali (2016: 8) dalam bukunya yang berjudul Prinsip Asesmen dan Evaluasi Pembelajaran bahwa, “penilaian formatif bertujuan untuk memperoleh informasi tentang kemajuan taraf pengetahuan, keterampilan, atau sikap peserta didik selama terlibat dalam proses pembelajaran. Namun dalam hal ini, seberapa jauh peserta didik mengalami kesulitan belajar juga harus dipantau sehingga dalam penilaian formatif sekaligus dapat dilakukan penilaian diagnostik”. Nitko Anthony J. (1996: 8) juga menjelaskan tentang tes formatif yang berfungsi sebagai tes diagnostik. Ia menyatakan bahwa di dalam tujuan tes formatif juga memuat tujuan tes diagnostik. Tujuan tes formatif itu adalah: (1) mengetahui kelebihan, kelemahan, karakteristik belajar, dan kepribadian siswa pada awal pembelajaran guna penetapan teknik pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan siswa; (2) membantu guru dalam mendiagnosis apa yang telah dan belum dipelajari siswa secara perorangan sehingga pembelajaran dapat disesuaikan dengan kebutuhan mereka; (3) membantu guru dalam mengidentifikasi perkembangan belajar siswa secara keseluruhan untuk mengetahui materi apa yang memerlukan penguatan atau pengajaran remedial dan kapan kelas itu siap beralih 44 kepelajaran selanjutnya; (4) membantu guru dalam merencanakan materi pengajaran yang tepat, memutuskan materi apa yang perlu diperdalam, dan bagaimana mengatur serta mengelola kelas sebagai suatu lingkungan belajar. Thomas R. Guskey dalam bukunya James H. Mc Millan (2007: 70), menggambarkan kedudukan tes formatif yang berfungsi sebagai tes diagnostik dalam pembelajaran, yaitu sebagai berikut: Unit 1 Enrichment Activities Unit 1 Formative Assessment A Correctives Formative Assessment B Tes Formatif sebagai Tes Diagnostik Gambar 1. Kedudukan Tes Formatif sebagai Tes Diagnostik (Sumber: James H. Mc Millan. 2007: 70) Kedudukan tes formatif yang berfungsi sebagai tes diagnostik dalam pembelajaran setara dengan ulangan harian. Ulangan harian mempunyai fungsi seperti penilaian formatif pada umumnya yaitu untuk mengukur kemampuan belajar peserta didik. Tes formatif yang berfungsi sebagai tes diagnostik dapat memberikan informasi dengan skala yang lebih luas, berupa informasi skor dan nilai peserta didik; kedudukan peserta didik di kelasnya dibandingkan dengan nilai Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) 45 yang ditetapkan; profil individual peserta didik yang berupa deskripsi tentang konsep-konsep apa saja yang sudah dipahami dan konsep-konsep apa saja yang belum dipahami; serta informasi dugaan kuat penyebab peserta didik mengalami kesulitan belajar pada setiap konsepnya. Melalui tes formatif yang berfungsi sebagai tes diagnostik, guru dapat langsung memberikan tindak lanjut yang tepat kepada peserta didik berdasarkan informasi yang didapatkan dari tes tersebut. Peserta didik yang sudah mencapai kompetensi yang ditargetkan dapat menempuh program pengayaan sedangkan peserta didik yang belum mencapai kompetensi dapat langsung menempuh program remediasi yang tepat berdasarkan hasil diagnosis kesulitan belajarnya. Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan Nana Sudjana (2006: 5) bahwa, dalam penilaian formatif selain memiliki fungsi umpan balik juga sekaligus di dalamnya terdapat fungsi diagnostik untuk mengetahui kelemahan-kelemahan siswa, sehingga dapat dilakukan perbaikan-perbaikan dalam pembelajaran. Setelah informasi daya serap masing-masing siswa diketahui berdasarkan hasil formatif, selanjutnya dilakukan penilaian untuk mengetahui tingkat ketuntasan belajar (mastery of learning) setiap siswa. Bagi siswa yang belum mencapai ketuntasan, diketahui kelemahan belajarnya melalui informasi diagnostik yang diperoleh. Selanjutnya pada indikator-indikator atau kompetensi-kompetensi yang belum tuntas masingmasing siswa diberikan remedial. 46 Dari uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa tes formatif yang berfungsi sebagai tes diagnostik mempunyai banyak kelebihan. Selain mengukur kemampuan belajar peserta didik, tes ini juga sekaligus mengukur kesulitan belajar peserta didik sehingga guru dapat langsung merencanakan tindak lanjut yang tepat berdasarkan informasi yang didapatkan. B. Tinjauan Keilmuan Animalia 1. Karakteristik Umum Hewan Hewan merupakan makhluk hidup yang mampu beradaptasi di berbagai lingkungan. Hewan dapat hidup di darat, laut, air tawar, kutub, dan padang pasir (gurun). Adapun karakteristik hewan menurut Campbell Neil A. & Reece J. B. (2003: 225) meliputi hal-hal berikut ini: a. Hewan termasuk ke dalam eukariot multiseluler, tidak berklorofil sehingga hidup sebagai organisme heterotrofik. b. Sebagian besar hewan bereproduksi secara seksual, dan tahap diploid umumnya mendominasi siklus hidup. c. Sel-sel hewan tidak memiliki dinding sel yang menyokong tubuh dengan kuat seperti halnya tumbuhan dan fungi. d. Hewan adalah makhluk hidup yang motil (aktif bergerak) selama tahap tertentu dalam siklus hidupnya. Hewan yang diam sekalipun, misalnya hewan spons, memiliki tahap motil berupa larva yang berenang. 47 Selain memiliki persamaan ciri umum, hewan memiliki banyak perbedaan yang menunjukkan keanekaragamannya. Perbedaan ciri pada hewan tampak dari struktur tubuhnya. Pada umumnya pengelompokkan dunia hewan berdasarkan ada tidaknya tulang belakang, yaitu Avertebrata (hewan tidak bertulang belakang) dan Vertebrata (hewan bertulang belakang) (Campbell Neil A. & Reece J. B. 2003: 226). Berdasarkan ada tidaknya jaringan penyusun tubuh, hewan dikelompokkan menjadi dua, yaitu Parazoa dan Eumetazoa. Parazoa adalah hewan yang tidak memiliki jaringan yaitu seperti anggota filum Porifera (hewan spons). Sementara Eumetazoa adalah hewan yang memilki jaringan, yaitu anggota filum Coelenterata, Platyhelminthes, Nemathelminthes, Annelida, Mollusca, dan lainnya (Campbell Neil A. & Reece J. B. 2003: 226). Berdasarkan simetrinya, tubuh Eumetazoa ada yang simetri radial dan ada pula yang simetri bilateral. Banyak di antara hewan radial adalah sesil (melekat pada substrat). Simetri radial melengkapi hewan untuk dapat menghadapi lingkungan yang sama baik dari semua sisi. Sebaliknya, simetri bilateral terjadi sehubungan dengan cara hidup yang banyak bergerak (Yusuf Kastawi, dkk. 2005: 2). Hewan dengan tubuh simetri radial memiliki tubuh dorsal (bagian atas) dan ventral (bagian bawah), atau bagian oral (mulut) dan bagian aboral, tetapi tidak memiliki tubuh anterior (bagian depan) dan posterior (bagian belakang), dan tidak ada kiri dan kanan. Potongan khayal yang 48 melalui sumbu pusat hewan ke arah manapun akan membagi tubuh hewan menjadi dua atau lebih bagian yang sama. Contohnya adalah Hydra, anemon laut, medusa ubur-ubur (Yusuf Kastawi, dkk. 2005: 2). Hewan dengan simetri bilateral tidak hanya memiliki tubuh bagian dorsal dan ventral, tetapi juga memiliki tubuh bagian anterior dan posterior dan sisi kiri serta sisi kanan. Potongan khayal membagi tubuh hewan menjadi dua bagian sama besar pada satu bidang datar. Contohnya antara lain udang dan belalang (Yusuf Kastawi, dkk. 2005: 3). Menurut Imaningtyas (2013: 299) tubuh hewan Eumetazoa memiliki lapisan embrional yaitu lapisan yang terbentuk saat perkembangan embrio. Pada semua hewan kecuali spons, lapisan embrional akan berdiferensiasi membentuk jaringan dan organ tubuh. Ektoderm, lapisan yang menutup permukaan embrio, akan menjadi penutup luar pada hewan, dan pada beberapa filum, menjadi sistem saraf pusat. Endoderm, lapisan mutfah yang paling dalam, menutupi pipa pencernaan yang sedang berkembang, dan berkembang menjadi saluran pencernaan dan organ-organ yang berasal darinya, seperti hati dan paru-paru Vertebrata. Semua Eumetazoa kecuali Coelenterata memiliki lapisan nutfah yang ketiga, yaitu mesoderm, lapisan ini terletak di antara ektoderm dan endoderm. Mesoderm membentuk otot dan sebagian besar organ lain yang berada di antara saluran pencernaan dan penutup bagian luar hewan. Campbell Neil A. & Reece J. B. (2003: 230) mengatakan bahwa hewan yang memiliki dua lapisan embrional disebut dengan hewan 49 diploblastik. Hewan diploblastik mencangkup filum Coelenterata (Cnidaria dan Ctenophora). Hewan yang memiliki tiga lapisan embrional disebut dengan hewan triploblastik. Hewan triploblastik mencangkup semua hewan Eumetazoa kecuali filum Coelenterata. 2. Filum Porifera Porifera (Latin, porus = pori, fer = membawa) atau spons atau hewan berpori adalah sebuah filum untuk hewan multiseluler yang paling sederhana. Kasijan Romimohtarto dan Sri Juwana (2007: 114) menyebutkan bahwa sebagian besar hewan ini hidup di laut dan hanya beberapa jenis yang hidup di air tawar. Porifera dewasa hidup sesil atau melekat di suatu substrat. Hewan ini memiliki ciri umum yaitu tubuhnya berpori seperti busa atau spons sehingga Porifera sering disebut sebagai hewan spons. Yusuf Kastawi, dkk (2005: 38), menjelaskan bahwa ukuran tubuh Porifera sangat bervariasi, umumnya asimetris (tidak beraturan) meskipun ada yang simetri radial. Bentuknya ada yang seperti tabung, vas bunga, mangkuk, atau bercabang seperti tumbuhan. Imaningtyas (2013: 301) menambahkan bahwa tubuh Porifera berwarna-warni, berwarna pucat, atau cerah. Menurut Imaningtyas (2013: 301), pada permukaan tubuh Porifera terdapat lubang-lubang atau pori-pori (ostium) yang merupakan lubang masuknya air. Air masuk melalui rongga sentral (spongosol) dan akan bermuara pada lubang besar yang dinamakan oskulum. Pada kondisi 50 tertentu, sel-sel yang berada di sekitar pori dan oskulum berkontraksi, dan menutup permukaan lubang itu. Tubuh Porifera terdiri atas tiga lapisan sel yaitu pinakosit, mesohil, dan koanosit. Pinakosit, merupakan sel-sel lapisan tubuh paling luar yang memiliki fungsi untuk melindungi tubuh bagian dalam. Di antara pinakosit terdapat pori-pori (ostium) yang membentuk saluran air menuju spongosol. Mesohil, lapisan yang terletak di antara lapisan luar (pinakosit) dan lapisan dalam (koanosit). Mesohil mengandung sel-sel yang bergerak secara amoeboid yang disebut amoebosit. Amoebosit ini memiliki fungsi sebagai pengangkut zat makanan, metabolisme, membawa nutrient ke sel lain Imaningtyas (2013: 301). Menurut Campbell Neil A. & Reece J. B. (2003: 214), amoebosit juga membentuk serat rangka yang keras dalam mesohil. Koanosit, merupakan sel lapisan tubuh paling dalam yang melapisi spongosol. Koanosit ini berfungsi untuk mencerna makanan secara intraseluler. Gambar 2. Bagian Organ Sponge (Sumber: Adun Rusyana. 2011: 19) 51 Hewan Porifera bereproduksi secara aseksual dan seksual. Reproduksi secara aseksual terjadi dengan pembentukan tunas dan genmule (tunas internal) (Campbell Neil A. & Reece J. B. 2003: 215). Sedangkan reproduksi secara seksual dilakukan dengan cara peleburan sel sperma dengan sel ovum, pembuahan ini terjadi di luar tubuh Porifera karena belum memiliki alat reproduksi khusus. Baik ovum maupun spermatozoidnya berkembang dari amoebosit khusus yang disebut arkeosit yang ditemukan dalam mesoglea (Yusuf Kastawi, dkk. 2005: 48). Berdasrkan bahan pembentuk kerangka tubuhnya, Porifera dikelompokkan menjadi tiga kelas menurut Kasijan Romimohtarto dan Sri Juwana (2007: 119), yaitu: a. Kelas Calcarea (Latin, calcarius = kapur) dengan spikula dari kapur karbonat. Hewan ini tumbuh di batu dekat pantai, tepat di bawah garis air surut. Contoh hewan dari kelas ini adalah Scypa, Grantia, Sycon ciliatum, Leucosolenia. b. Kelas Hexactinellida (Yunani, hex = enam, aktin = jari-jari), dengan kerangka tubuh berupa spikula dari silikon berbentuk triakson, bentuk tubuh umumnya berbentuk silinder atau corong. Misalnya Euplectella aspergilium. c. Kelas Demospongia (Yunani, demos = tebal, spongos = spons). Kelas ini adalah kelompok hewan Porifera yang tersebar luas di alam. Demospongia umumnya berwarna cerah, tetapi ada juga yang berwarna gelap (hitam). Hewan kelas ini hidup di tepi pantai hingga kedalaman 45 52 m. Contohnya adalah Cliona celata, Halichondria, Oscarella, Euspongia sp., dan Spongilla sp. Berdasarkan tempat proses terjadinya pengambilan zat-zat makanan atau sistem saluran air, Adun Rusyana (2011: 23) membagi Porifera menjadi tiga tipe yaitu: a. Tipe Ascon Merupakan tipe yang paling sederhana, proses pengambilan zat-zat makanan terjadi di dalam spongocoel. b. Tipe Sycon Proses pengambilan makanan terjadi di dalam rongga berflagel c. Tipe Leucon/ Rhagon Proses pengambilan zat-zat makanan terjadi di kamar (ruang) kecil yang berflagel yang terdapat di bagian tengah saluran. Flagel tersebut berasal dari koanosit-koanosit yang melapisi dinding kamar/ ruang tersebut. Gambar 3. Tipe Ascon (A), Sycon (B dan C), dan Leucon (D) (Sumber: Adun Rusyana. 2011: 24) Porifera juga memiliki beberapa peranan dalam kehidupan manusia, misalnya digunakan untuk hiasan di dalam akuarium air laut Axinella cannabina (berwarna oranye), Hippospongia dimanfaatkan untuk spons 53 mandi, Cliona dapat membantu proses pelapukan dengan mengebor batu karang dan cangkang Mollusca yang keras. 3. Filum Coelenterata Coelenterata berasal dari bahasa Yunani (coilos = rongga dan enteron = usus). Namun, istilah Coelenterata tidak diartikan sebagai hewan yang ususnya berongga, melainkan cukup disebut hewan berongga. Coelenterata tidak mempunyai rongga tubuh yang sebenarnya tetapi hanya berupa rongga sentral yang disebut coelenterons. Rongga ini berfungsi sebagai rongga pencernaan dan sebagai pengedar sari makanan, sehingga disebut juga sebagai rongga gastrovaskular. (Yusuf Kastawi, dkk. 2005: 55). Tubuh Coelenterata tersusun oleh banyak sel dan sudah membentuk jaringan, namun perkembangan organ tubuhnya masih terbatas. Tubuh hewan ini tersusun oleh dua lapis jaringan dan satu lapisan non selular. Bagian luar berupa lapisan epidermis dan bagian dalam lapisan endodermis atau gastrodermis, di antara kedua lapisan tersebut terdapat lapisan non selular yang disebut mesoglea. Terdapat alat penyengat yang disebut nematokist yang biasanya ditemukan pada tentakel. Bentuk tubuh Coelenterata dikelilingi oleh tentakel dan langsung berhubungan dengan usus atau rongga gastrovaskular. Saluran pencernaannya tidak mempunyai anus dan belum memiliki alat pernapasan, sirkulasi maupun ekskresi yang khusus (Yusuf Kastawi, dkk. 2005: 55). 54 Bentuk tubuh Coelenterata memiliki dua variasi yaitu polip dan medusa. Polip berbentuk silindris, menempel ke substrat melalui sisi aboral (berlawanan arah dengan mulut) tubuhnya dan menjulurkan tentakelnya, menunggu mangsa. Medusa adalah suatu versi polip dengan mulut di bawah dan bentuk yang lebih rata. Medusa berbentuk seperti payung, atau mangkuk terbalik. Medusa bergerak secara bebas dalam air dengan kombinasi pergeseran pasif saat terbawa arus air atau secara aktif dengan kontraksi tubuhnya yang berbentuk lonceng (Bagod Sudjadi dan Siti Laila. 2006: 210). Campbell Neil A. & Reece J. B. (2003: 215) menambahkan bahwa hewan ubur-ubur merupakan tahap dari medusa. Tentakel suatu ubur-ubur akan menjuntai dari permukaan mulut, dan menunjuk ke arah bawah. Beberapa hewan Coelenterata hanya ada sebagai polip, yang lain hanya ada sebagai medusa, dan masih ada juga yang melewati tahapan medusa dan tahapan polip dalam siklusnya secara berurutan. Menurut Adun Rusyana (2011: 25) Coelenterata memiliki susunan saraf yang masih bersifat primitif atau dapat dikatakan masih belum mempunyai pusat susunan saraf (mempunyai saraf difus). Hewan Coelenterata bereproduksi secara aseksual dan seksual. Reproduksi secara aseksual dapat dilihat dengan pembentukan polip, sedangkan reproduksi secara seksual dapat dilihat dengan pembentukan medusa. 55 Gambar 4. Siklus Hidup Aurelia sp. (Ubur-ubur) (Sumber: Suroso. 2003: 37) Klasifikasi Coelenterata dibagi ke dalam tiga kelas berdasarkan bentuk yang dominan dalam siklus hidupnya (Kasijan Romimohtarto dan Sri Juwana. 2007: 131-141), yaitu: a. Kelas Anthozoa Fase medusanya telah tereduksi sehingga hanya memiliki fase polip saja. Contohnya: Anemon laut, karang batu, atau karang kapur, dan karang tanduk. b. Kelas Hydrozoa Terdapat dalam bentuk polip dan medusa pada sebagian besar spesies, fase polip seringkali membentuk koloni. Contohnya: Hydra, Obelia, Physalia, dll. c. Kelas Scyphozoa 56 Fase medusa lebih menonjol selama siklus hidupnya, sedangkan fase polip berukuran kecil juga sulit dijumpai. Contohnya: Aurelia, Lucernaria, Pelagia, dll. Coelenterata banyak berperan dalam kehidupan manusia. Contohnya ubur-ubur dimanfaatkan sebagai tepung ubur-ubur dan bahan kosmetik. Beberapa kerangka tubuh Coelenterata dapat membentuk karang pantai sehingga bermanfaat dalam melindungi pantai dari hantaman ombak untuk mencegah abrasi. Bagod Sudjadi dan Siti Laila (2006: 214) juga menyebutkan bahwa karang atom yang berada di laut dapat dimanfaatkan sebagai tempat persembunyian dan proses perkembangbiakan beberapa hewan laut. Selain itu, jenis anemon laut yang hidup di laut dangkal dapat membentuk indahnya taman laut sehingga dapat dijadikan objek wisata. 4. Filum Platyhelminthes Platyhelminthes berasal dari bahasa Latin platy (pipih) dan helminthes (cacing), oleh sebab itu Platyhelminthes disebut juga cacing pipih (Kasijan Romimohtarto dan Sri Juwana. 2007: 143). Platyhelminthes memiliki bentuk tubuh yang bervariasi, dari yang berbentuk pipih memanjang, berbentuk pita, hingga menyerupai bentuk daun. Tubuh tertutup oleh lapisan epidermis bersilia yang tersusun oleh sel-sel sinsitium, sedangkan pada Trematoda dan Cestoda parasit tidak memiliki epidermis bersilia dan tubuhnya tertutup oleh kutikula. Tubuh lunak karena tidak memiliki kerangka luar dan dalam. Bagian yang keras hanya kutikula, duri, dan gigi pencengkeram. Ukuran tubuhnya juga bervariasi, mulai dari yang 57 tampak mikroskopis beberapa millimeter hingga yang berukuran belasan meter. Ujung anterior tubuh adalah kepala, bagian ventral tubuh terdapat mulut dan lubang genital yang tampak jelas pada Turbellaria, namun kurang begitu jelas pada Trematoda dan Cestoda. Beberapa Platyhelminthes memiliki organ yang menghasilkan sekresi (alat pencengkeram dan penghisap) yang berfungsi untuk menempel dan melekat, misalnya oral sucker dan ventral sucker pada Trematoda. Acoela dan cacing pita tidak memiliki sistem pencernaan, tetapi cacing pipih yang lain memiliki mulut, faring, dan usus buntu. Sistem respirasi tidak ada sehingga pengambilan oksigen bagi anggota yang hidup bebas dilakukan secara difusi melalui permukaan tubuh. Sedangkan yang hidup sebagai endoparasit bernapas secara anaerob karena lingkungan yang kekurangan oksigen. Platyhelminthes tidak memiliki sistem sirkulasi, peredaran unsur-unsur makanan dan zat lain berlangsung secara difusi dari sel ke sel (Yusuf Kastawi, dkk. 2005: 104-125). Cacing pipih ini bersifat hermaprodit. Setiap individu dapat menghasilkan ratusan ribu telur. Platyhelminthes dapat berkembangbiak secara aseksual dan seksual. Reproduksi seksual terjadi melalui proses fertilisasi sedangkan reproduksi aseksual terjadi melalui fragmentasi yaitu pemotongan beberapa bagian tubuhnya. Bagian tubuh yang terpotong akan melakukan regenerasi hingga menjadi individu yang baru, contohnya Planaria (Bagod Sudjadi dan Siti Laila. 2006: 215). 58 Platyhelminthes dibagi menjadi 3 kelas (Kasijan Romimohtarto dan Sri Juwana. 2007: 145), yaitu: a. Turbellaria (cacing berbulu getar) Hampir semua Turbellaria hidup bebas di alam. Sebagian besar hidup di dasar laut, pasir, lumpur, atau di bawah batu karang. Ada pula yang bersimbiosis dengan ganggang, bersimbiosis komensalisme di rongga mantel Mollusca dan insang Crustacea. Contohnya: Planaria, Dugesia, dll. b. Trematoda Hewan Trematoda juga memiliki sifat parasit pada banyak inang dan memiliki siklus hidup yang kompleks pada pergiliran tahap seksual dan aseksual. Contohnya: Fasciola hepatica, Clonorchis sinensis, Schistosoma japanicum, Schistosoma mansoni. c. Cestoda Cacing pada kelas ini juga bersifat parasit. Cacing pita dewasa sebagian besar hidup dalam vertebrata termasuk manusia. Contohnya antara lain Taenia saginata, Taenia solium, Echinococcus graulosus, Choanotaenia infudibulum. Kebanyakan filum ini hidup sebagai parasit, maka umumnya merugikan manusia, baik langsung sebagai parasit pada tubuh manusia maupun sebagai parasit pada binatang peliharaan seperti: babi, sapi, biribiri, anjing, dan sebagainya. Berikut beberapa spesies Plathyhelminthes yang terkenal merugikan: 59 a. Fasciola hepatica Fasciola hepatica mempunyai bentuk seperti daun dengan panjang tubuhnya mencapai 30 mm; tubuh tertutup oleh kutikula yang resisten, yang merupakan modifikasi dari epidermis; mulut disokong oleh batil pengisap anterior yang berbentuk sebagai diskus dan bersifat musculer serta dilengkapi dengan gigi-gigi chitin; mempunyai batil pengisap ventralis yang hanya dipergunakan sebagai alat pelekat saja; di pertengahan antara batil pengisap anterior dan posterior terdapat porus genitalis, dan pada ujung posterior tubuh terdapat porus excretoris (Radiopoetro. 1996: 243). Fasciola hepatica dewasa hidup di dalam hati domba, sapi, babi, dan kadang-kadang manusia. Cacing ini bersifat hermaprodit. Seekor cacing dapat menghasilkan telur kira-kira 500.000 butir. Sebelum meninggalkan tubuh induknya, telur-telur mulai segmentasi, melalui ductus biliferus domba, menuju ke tractus digestivus, dan akhirnya keluar bersama feces domba. Jika telur-telur ini mencapai air atau tempattempat yang lembab akan menetas dan keluarlah larva bersilia miracidia. Tidak beberapa lama (lebih kurang 8 jam) larva itu akan mati kecuali dapat mencapai sejenis Gastropoda air tawar (Limnea) sebagai hospes intermedier pertama. Di dalam tubuh siput, cilia dari miracidia hilang dan mengalami metamorfosis menjadi sporokist kemudian tumbuh menjadi generasi kedua rediae. Rediae di dalam tubuh siput akan tumbuh dan berkembang menjadi larva generasi ketiga cercariae yang merupakan 60 larva berekor. Cercariae selanjutnya keluar dari tubuh siput, masuk ke dalam air dan jika menemukan sejenis tumbuh-tumbuhan atau rumput air maka akan membentuk metacercariae. Jika rumput bersama-sama metaserkaria ini dimakan domba maka metacercariae akan tumbuh menjadi Fasciola hepatica dewasa di dalam hati domba (Radiopoetro. 1996: 246-247). Gambar 5. Siklus Hidup Fasciola hepatica (Sumber: Suroso. 2003: 124) b. Taenia sp. Taenia sp. mempunyai tubuh yang panjang, berbentuk seperti pita, dan bersifat entoparasit di dalam tubuh hospes (Vertebrata). Ada dua spesies Taenia yang banyak dikenal yaitu Taenia solium (hospes intermediernya babi) dan Taenia saginata (hospes intermediernya sapi). Tubuh cacing ini berwarna putih, berbentuk pipih seperti pita dan 61 terbagi-bagi oleh celah-celah melintang menjadi 600-2500 segmensegmen palsu yang disebut proglottid. Panjang tubuh cacing ini dapat mencapai 6-10 kaki dan ada pula yang sampai 25 kaki; mempunyai scolex kecil berbentuk oval, dilengkapi dengan 22-32 kait dan 4 batil penghisap untuk melekatkan diri pada epitelium intestinum hospes (Radiopoetro. 1996: 247-248). Siklus hidupnya berawal dari proglottid yang telah masak, mengandung alat-alat reproduksi, berisi telur-telur yang telah dibuahi akan putus dari tubuhnya dan keluar bersama-sama feses hospesnya (manusia) sebagai hospes definitif. Jika proglottid ini tertelan oleh babi ataupun sapi (hospes intermedier) di dalam intestinumnya telur akan menetas. Dari tiap telur keluarlah larva dengan 6 kait yang disebut oncospher. Larva ini akan menembus dinding intestinum babi atau sapi tadi dan berkembang menjadi cysticerci di dalam jaringan-jaringan. Jika sekerat daging babi atau sapi yang mengandung cysticerci ini termakan oleh manusia, larva ini akan berkembang menjadi cacing dewasa di dalam intestinum manusia itu (Radiopoetro. 1996: 250). 62 Gambar 6. Siklus Hidup Taenia saginata (Sumber: Radiopoetro. 1996: 86) 5. Filum Nemathelminthes Nemathelminthes sering disebut cacing gilig karena bentuk tubuhnya seperti benang (Yunani, nema = benang, helminthes = cacing). Menurut Imaningtyas (2013: 320), Nemathelminthes banyak hidup di alam dan memiliki daerah penyebaran yang sangat luas. Hewan ini dapat ditemukan di laut, air payau, air tawar, maupun tanah. Nemathelminthes yang hidup parasit pada manusia dapat ditemukan di beberapa organ seperti usus halus, anus, pembuluh limfa, paru-paru, jantung, pembuluh darah, dan mata. Hewan ini memiliki bentuk tubuh bulat panjang dan tidak memiliki segmen pada tubuhnya. Oleh karena itu, cacing benang juga dikenal dengan 63 cacing gilig. Pada umumnya, permukaan tubuh ditutupi oleh lapisan kutikula (Bagod Sudjadi dan Siti Laila. 2006: 218). . Cacing gilig memiliki bentuk tubuh simetri bilateral, tripoblastik dengan rongga tubuh yang semu (pseudocoelom) karena rongga tersebut tidak dikelilingi oleh lapisan mesodermis, dan memiliki anus. Sistem pencernaannnya berupa saluran berbentuk pipa lurus mulai dari mulut, faring, esophagus (gelembung faring), usus, dan anus (Bagod Sudjadi dan Siti Laila. 2006). Alat kelamin Nemathelminthes terpisah, hewan jantan memiliki ukuran yang lebih kecil dari pada hewan betina. Gonad berbentuk pembuluh dan berlanjut dengan saluran-salurannya. Alat kelamin betina umumnya berpasangan dan bermuara pada vulva. Alat kelamin jantan biasanya tunggal dan bermuara pada kloaka. Pembelahan dan diferensiasi sel-sel embrio tampak jelas (Yusuf Kastawi, dkk. 2005: 131). Klasifikasi Nemathelminthes menurut Imaningtyas (2013: 322) dibagi menjadi: a. Adenophora, anggota hewan ini hidup bebas, namun ada yang menjadi parasit pada hewan, contohnya Trichuris ovis (parasit pada domba), Trichinella spiralis (parasit pada usus manusia). b. Secerrnentea, contohnya: Ascaris lumbricoides (cacing perut), Ancylostoma duodenale (cacing tambang), Oxyuris vermicularis (cacing kremi), Wuchereria bancrofti, Onchocerca volvulus. 64 Peranan Nemathelminthes dalam kehidupan manusia pada umumnya merugikan karena bersifat parasit dan menyebabkan penyakit. Selain pada manusia, Nemathelminthes juga bersifat parasit pada tumbuhan, contohnya Globodera rostochiensis yang menjadi parasit pada tanaman kentang dan tomat. Selain itu, anggota Nemathelminthes juga berperan sebagai vektor virus pada beberapa tanaman pertanian (Imaningtyas. 2013: 324). Berikut beberapa spesies Nemathelminthes yang terkenal merugikan: a. Ascaris lumbricoides Hidup pada usus manusia. Dinding tubuh tersusun dari kutikula, epidermis, dan lapisan otot yang memanjang di mana terdapat saluran ekskresi lateral, tali-tali syaraf dorsal dan ventral yang dihubungkan oleh cincin syaraf anterior. Cacing betina dalam umur dewasa dan keadaan yang sama lebih besar dari yang jantan, panjang tubuh cacing betina 2040 cm sedangkan yang jantan 10-15 cm. Pada hewan jantan pada salah satu ujung tubuhnya menggulung sedangkan betina tidak (Adun Rusyana. 2011: 73). Siklus hidupnya sederhana, yaitu bila telur yang telah menjadi embrio tertelan akan menetaskan larva, larva ini meninggalkan usus dengan jalan menembus dinding usus untuk masuk ke dalam peredaran darah dan mengikuti aliran darah sampai di jantung serta di paru-paru kemudian masuk di trakea dan tertelan lagi untuk kedua kalinya. Akhirnya sampai di usus halus menjadi cacing dewasa (Adun Rusyana. 2011: 74). 65 b. Ancylostoma duuodenale (cacing dewasa) Hidup parasit pada usus manusia, panjang tubuh cacing dewasa 11,5 cm. Mulut terdapat pada ujung anterior, padanya terdapat kait-kait yang dipergunakan untuk mengaitkan diri pada usus hospesnya, supaya tidak terbawa oleh arus makanan. Keadaan tersebut menyebabkan usus menderita luka-luka. Cacing ini mengisap darah dan juga menghasilkan zat anti koagulasi (zat yang bisa mencegah pembekuan darah) sehingga penderita mengalami anemia (kurang darah) (Adun Rusyana. 2011: 7475). Siklus hidupnya sebagai berikut: cacing tambang betina menghasilkan telur, telur ini akan keluar bersama feses. Telur menetas menjadi larva yang akan masuk ke dalam tubuh manusia dengan jalan menembus kulit (biasanya kulit kaki). Setelah masuk, terbawa aliran darah ke paru-paru menembus paru-paru ke trakea dan tertelan masuk ke dalam perut dan usus. Di dalam usus, cacing ini menjadi dewasa, kemudian yang betina bertelur dan seterusnya seperti yang tersebut (Adun Rusyana. 2011: 75). c. Wuchereria bancrofti Cacing ini dapat menyebabkan penyakit filaria yang disebut filariasis (elephantiasis). Infeksi cacing filaria kepada tubuh manusia terjadi bila nyamuk Culex yang mengandung mikrofilia menusuk manusia, mikrofilia dapat masuk melalui bekas tusukan nyamuk. Cacing dewasa dalam tubuh manusia dapat menyumbat saluran limfa yang 66 menyebabkan pembengkakan di beberapa bagian tubuh (Adun Rusyana. 2011: 75-76). d. Oxyuris Cacing kremi ini menyebabkan gatal-gatal di daerah dubur terutama pada malam hari sehingga penderita akan sangat terganggu (kurang tidur) (Adun Rusyana. 2011: 76). e. Trichinella sp. Trichinosis disebabkan karena memakan daging babi yang kurang masak yang mengandung kista dari cacing Trichinella. Cacing dewasa berkembangbiak di dalam usus, ribuan cacing muda dihasilkan oleh cacing betina yang kemudian akan menembus dinding usus berpindah ke seluruh tubuh mengkista di dalam otot (Adun Rusyana. 2011: 76). 6. Filum Annelida Kata Annelida berasal dari bahasa Latin Annulus (cincin) dan eidos (bentuk), sehingga Annelida dapat diartikan sebagai cacing yang tubuhnya bersegmen-segmen menyerupai cincin atau gelang (Kasijan Romimohtarto dan Sri Juwana. 2007: 162). Tubuh hewan Annelida simetris bilateral, panjang dan jelas bersegmen, serta memiliki alat gerak yang berupa rambut kaku (setae) pada setiap segmen. Polichaeta dengan tentakel pada kepalanya dan setae pada bagian-bagian tubuh yang menonjol ke lateral, atau pada lobi lateralis yang disebut parapodia (Yusuf Kastawi, dkk. 2005: 155). Berbeda dengan Platyhelminthes dan Nemathelminthes, Annelida merupakan hewan 67 triploblastik yang sudah memiliki rongga tubuh sejati (selomata). Namun di antara hewan selomata, Annelida merupakan hewan yang struktur tubuhnya paling sederhana. Hewan ini bersifat hermaprodit atau terdapat pada individu yang berbeda (gonokoris). Meskipun hermaprodit, tetapi individu tetap melakukan perkawinan silang dengan cara saling mempertukarkan spermanya untuk membuahi sel telur individu pasangannya. Pada cacing tanah alat untuk mempertukarkan sperma ini disebut klitelum. Reproduksi terjadi secara aseksual (fragmentasi atau pemutusan sebagian tubuhnya) maupun seksual (Imaningtyas. 2013: 322). Klasifikasi Annelida menurut Yusuf Kastawi, dkk (2005: 164) dibagi menjadi beberapa kelas: a. Polychaeta (Yunani, poly = banyak, chaeta = rambut-rambut kaku) merupakan Annelida yang memiliki banyak seta (rambut). Sebagian besar hidup di laut, ada juga yang di air tawar dan air payau. Contoh: Nereis, Lysidice oele, Eunice sp., Serpula. b. Oligochaeta (Yunani, oligos = sedikit, chaeta = rambut kaku) merupakan Annelida yang memiliki sedikit seta (rambut). Sebagian besar hidup di air tawar, namun ada juga yang hidup di laut, air payau, dan darat. Contoh: cacing tanah (Lumbricus terrestris, Pheretima sp.), Tubifex. c. Hirudinae, biasa disebut lintah. Pada permukaan tubuhnya, terdapat banyak lekukan atau annuli, tidak terdapat setae atau parapodia. Contoh: lintah air (Hirudo medicinalis) dan pacet (Haemadipsa). 68 Peranan Annelida dalam kehidupan manusia ada yang merugikan dan ada yang menguntungkan. Menurut Imaningtyas (2013: 329), peranan Annelida yang merugikan sebagai ektoparasit seperti pacet dan lintah air yang menghisap darah hewan dan manusia. Sedangkan peranan Annelida yang menguntungkan antara lain cacing wawo (Lycidice sp.), cacing palolo (Eunice viridis) yang dapat di konsumsi dan mengandung protein; Tubifex yang merupakan pakan ikan dan burung; cacing tanah yang dapat menggemburkan tanah; dan lintah untuk pengobatan tradisional dalam menghilangkan racun dalam darah. 7. Filum Mollusca Mollusca berasal dari bahasa latin mollis yang berarti lunak, sehingga Mollusca dapat diartikan sebagai hewan bertubuh lunak. Mollusca bersifat kosmopolit, tubuhnya bersimetri bilateral, tidak bersegmen dan memiliki kepala yang jelas dengan organ reseptor kepala yang bersifat khusus (misalnya pada Gastropoda terdapat tentakel panjang untuk melihat dan tentakel pendek sebagai alat pembau), coelom mereduksi, dinding tubuh tebal dan berotot (Yusuf Kastawi, dkk. 2005: 169). Tubuh Mollusca memiliki tiga bagian utama menurut Campbell Neil A. & Reece J. B. (2003: 224), yaitu kaki berotot, umumnya digunakan untuk pergerakan; massa visceral yang mengandung sebagian besar organ-organ internal; dan mantel yang merupakan suatu lipatan jaringan yang menutupi massa visceral dan mensekresi cangkang (jika ada). 69 Menurut Yusuf Kastawi, dkk (2005: 169-175), sebagian besar Mollusca berkelamin satu, namun ada juga yang bersifat hermaprodit. Perkembangan secara langsung tanpa fase larva terdapat pada beberapa kelompok, khususnya pada keong air tawar dan beberapa bivalvia. Berdasarkan alat gerak dan bentuknya, secara umum Mollusca dibagi menjadi 3 kelas yaitu: a. Pelecypoda/ Bivalvia/ Lamellabranchiata (Pelecypoda = berkaki pipih seperti kapak, Bivalvia = cangkoknya terdiri dua katub, Lamellabranchiata = insangnya berlapis-lapis), contohnya: Mytilus edulis/ kerang hijau dan Meleagrina margaretifera/ kerang mutiara. b. Gastropoda (berjalan menggunakan perut atau kaki perut), contohnya: Achatina fulica/ bekicot dan Melania testudinaria/ sumpil. c. Chepalopoda (kaki/ alat gerak pada bagian kepala), contohnya cumicumi, sotong, dan gurita. Mollusca mempunyai peranan yang menguntungkan bagi manusia khususnya Meleagrina margaretifera. Meleagrina margaretifera dapat menghasilkan mutiara yang dimanfaatkan manusia sebagai perhiasan. Kerang ini mempunyai cangkok yang terdiri dari 3 lapisan yang salah yaitu: a. periastracum, terletak paling luar, tersusun atas zat tanduk atau chitin, fungsinya sebagai pelindung. b. prismatik, terletak di tengah, tersusun atas kristal CaCO3 berbentuk prisma. 70 c. nakreas, terletak paling dalam, tersusun atas kristal CaCO3 halus, berfungsi menghasilkan sekret lapisan mutiara (Radiopoetro. 1996: 366). Gambar 7. Struktur Cangkang Kerang Mutiara dan Meleagrina margaretifera (Sumber: Reaven Johnson. 2003: 905) Golongan Cephalopoda dan Bilvavia seperti kerang hijau, cumicumi, sotong, gurita, dll juga sering dijadikan sebagai sumber bahan makanan oleh manusia. Di samping itu Mollusca juga mempunyai peranan yang merugikan. Gastropoda air tawar (siput air) dapat menjadi hospes intermedier dari cacing hati (Fasciola hepatica) dan merupakan hama tanaman padi. 8. Filum Arthropoda Arthropoda berasal dari bahasa Yunani, yaitu arthron = ruas/sendi dan podos = kaki. Jadi, Arthropoda berarti hewan yang memiliki kaki beruas-ruas (Kasijan Romimohtarto dan Sri Juwana. 2007: 193). Bagod Sudjadi dan Siti Laila (2006: 228) menyebutkan bahwa Arthropoda merupakan hewan triploblastik selomata. Hewan ini memiliki tubuh simetris bilateral yang terdiri dari kepala, dada, dan abdomen. 71 Bentuk Arthropoda menurut Bagod Sudjadi dan Siti Laila (2006: 228-229) simetri bilateral, sepenuhnya ditutupi oleh kutikula, suatu eksoskeleton yang terbuat dari lapisan-lapisan protein dan polisakarida bernama kitin. Kitin ini berfungsi sebagai rangka luar. Pada setiap ruas terdapat bagian yang tidak berkitin sehingga ruas-ruas tersebut mudah digerakkan. Suatu saat Arthropoda dapat mengalami pergantian kulit atau disebut molting. Hewan ini memiliki kelamin terpisah. Fertilisasi terjadi secara interna, dan bersifat ovipar. Perkembangan individu baru terjadi secara langsung atau melalui stadium larva (Yusuf Kastawi, dkk. 2005: 199). Imaningtyas (2013: 337) juga menyebutkan bahwa reproduksi Arthropoda dapat terjadi melalui perkawinan dan parthenogenesis (pembentukan individu tanpa melalui pembuahan). Klasifikasi Arthropoda menurut Adun Rusyana (2011: 142-155) dibagi menjadi 6 kelas yaitu: a. Crustacea (Romawi, crusta = kulit keras atau kerak) yaitu Arthropoda yang memiliki eksoskeleton berupa kulit tubuh atau kutikula yang keras. Crustacea memiliki tubuh yang terdiri dari dua bagian yaitu kepala dan dada yang menyatu (sefalotoraks) dan perut (abdomen) yang bersegmensegmen, memiliki mata majemuk yang bertangkai, memiliki sepasang antena yang panjang, bagian mulut telah termodifikasi untuk mengunyah, menghisap, dan menjilat, memiliki tiga pasang kaki. Crustacea dibagi menjadi enam sub kelas yaitu: 72 1) Branchiopoda, merupakan hewan yang sangat kecil dengan ukuran tubuh hanya beberapa milimeter saja; hidup di air tawar; tubuhnya semi transparan; ada yang berenang menggunakan punggungnya; embelan di bagian dada menyerupai bulu halus dan digunakan sebagai alat pernapasan; terdapat karapak. Contohnya: Eubranchipus vernalis, Daphnia sp. 2) Ostracoda, hidup di air tawar dan laut; dapat berenang bebas; bergerak dengan menggunakan antena kedua atau kedua pasang antenanya; karapak terdiri dari dua belahan; embelan tidak menyerupai bulu halus; merupakan hewan parthenogenesis di mana telurnya dapat berkembangbiak tanpa dibuahi. Contohnya Eucypris virens. 3) Copepoda, hidup di air tawar atau laut; dapat berenang bebas atau parasit pada ikan; tidak mempunyai karapak; umumnya mempunyai 6 pasang embelan dada. Contohnya Cyclops viridis. 4) Cirripedia, hidup melekat pada benda-benda di perairan seperti batu, kayu, karang, dasar-dasar perahu/ kapal, tiang-tiang di laut, dll; karapak menutupi tubuhnya; hermaprodit; bagian tubuh ditutupi oleh suatu rangka atau cangkok dari kapur; di antaranya ada yang parasit. Contohnya Lepas fascicularis. 5) Malacostraca, ¾ Crustacea adalah Malacostraca; bertubuh besar, terdiri atas segmen-segmen sebagai berikut: 4 segmen di bagian 73 kepala, 8 segmen di bagian dada, dan 6 segmen di bagian perut. Contohnya udang, kepiting, ketam. b. Onychopora, hewan ini memiliki kutikula yang tipis, tidak bersegmen, dinding tubuh berotot, terdapat sepasang rahang dan sebaris lubang nephridium, panjang tubuh kira-kira 5 cm. Contoh: Peripatus sp. c. Arachnoidea, tubuh terdiri dari dua bagian yaitu cepalotoraks dan perut; terdapat 6 pasang embelan pada cepalotoraks (pasangan embelan pertama adalah kelisera yang berfungsi untuk merobek dan melumpuhkan mangsanya, pasangan kedua adalah pedipalpus untuk memegang makanan, pasangan embelan selanjutnya adalah 4 pasang kaki jalan); pada laba-laba di bagian ujung abdomen terdapat 3 pasang embelan yang disebut spineret yang merupakan organ pemital benang; antena tidak ada; mempunyai mata sederhana biasanya 8 buah yyang terletak di bagian kepala; pernafasan dengan trakea juga mempunyai paru-paru buku yang terletak di bagian ventral perut sebelah depan; sistem peredaran darah terdiri dari jantung, arteri vena, dan sejumlah sinus; alat ekskresi berupa saluran malphigi; sistem syaraf mengumpul yang berasal dari persatuan ganglion-ganglion. Contoh: kalajengking, laba-laba. d. Diplopoda, tubuh berbentuk silindris panjang; bersegmen yang setiap segmen terbentuk dari dua segmen yang menyatu disertai dengan dua pasang kaki; memiliki sepasang antena pendek; dan bergerak lambat. Contoh: Trigoniulus corallines (luing/kaki seribu). 74 e. Chilopoda, tubuh berbentuk pipih dorsoventral; setiap segmen abdomen terdapat sepasang kaki di bagian lateral; memiliki antena yang panjang; mampu bergerak cepat. Contoh: Scutigera coleoptrata (lipan rumah) dan Scolopendra gigantean. f. Insecta, tubuh terbagi atas kepala, dada, dan perut; kepala mempunyai 1 pasang antena dan dada dengan 3 pasang kaki biasanya terdapat 1 atau 2 pasang sayap pada tingkat dewasa; dapat hidup di darat maupun air; pernafasan dengan trakea; peredaran darah terbuka karena tidak terdapat pembuluh balik dan kapiler. Oksigen terutama diangkut oleh cabangcabang trakea ke hampir seluruh bagian sel di dalam tubuhnya. Insecta dibagi menjadi 2 sub kelas yaitu: 1) Apterygota, tidak bersayap, primitif, tidak bermetamorfosis, pada abdomen terdapat apendage sebelah ventral. Ordo I Thysanura (Thysanos = pita penunjuk halaman buku). Ordo ini biasanya dapat ditemukan pada buku atau tumpukan kertas yang lama dibiarkan; tipe alat mulut untuk mengunyah; dapat menghasilkan enzim selulosa sehingga dapat merusak buku. Contohnya Lepisma saccharina (kutu buku). 2) Pterygota Ordo I Isopteran (Iso = sama, pteron = sayap), metamorfosis bertingkat; mempunyai 2 sayap yang berbentuk dan ukurannya sama atau tidak bersayap; alat mulut untuk mengunyah; perut 75 dan dada bersegmen-segmen. Contohnya Reticulitermis flavipes (rayap). Ordo II Neuroptera (Neuron = syaraf), metamorfosis sempurna; tipe alat mulut pengunyah; terdapat 4 buah sayap yang sama seperti membran (selaput) dan biasanya sayap tersebut dengan venasi (urat sayap) yang jelas; larvanya karnivora, beberapa di antaranya dengan mulut penghisap; insang trakea ada pada larva-larva yang hidup di air. Contohnya Myrmeleon frontalis (undur-undur). Ordo III Odonata (Odous = gigi), metamorfosis tidak sempurna; tipe mulut pengunyah; terdapat 2 pasang sayap seperti membran; sayap belakang sama besar atau lebih besar dari sayap depan; terdapat sepasang mata majemuk yang besar; antenanya pendek. Contohnya Ischnura cercula (capung). Ordo IV Hemiptera (Hemi = setengah), alat mulut penusuk dan penghisap; ada yang hidup di darat dan air; ada yang tergolong pemakan tumbuhan sebagai hama misalnya walang sangit, dan ada yang predator misalnya sejenis kepik buas; metamorfosis bertingkat. Ordo V Coleoptera (coleos = udang/sarung), metamorfosis sempurna; tipe mulut pengunyah; bersayap 2 pasang atau tidak bersayap, pada yang bersayap sayap bagian depan yang biasanya terletak di bagian luar bersifat keras mengandung zat tanduk 76 disebut elytra sedangkan sayap bagian belakang seperti membran yang dilipatkan ke bawah elytra. Contohnya Calandra oryzae (kumbang beras). Ordo VI Diptera (dis = dua), metamorfosis sempurna; tipe mulut penusuk, penghisap (membentuk seperti belalai yang disebut proboscis), atau penjilat; mempunyai 2 pasang sayap depan, sedangkan sayap belakang berubah bentuknya menjadi suatu bulatan kecil yang disebut haltere yang digunakan sebagai alat keseimbangan dan mengetahui keadaan angin. Contohnya lalat, nyamuk. Ordo VII Lepidoptera (lepis = sisik), metamorfosis sempurna; tipe mulut menghisap; terdapat dua pasang sayap seperti membran yang ditutupi oleh sisik yang tertumpuk; larva dari ordo ini disebut ulat yang tipe mulutnya pengunyah. Contohnya kupukupu. Ordo VIII Siphonoptera (siphon = mengisap, a = tanpa/ tidak, pteron = sayap), metamorfosis bertingkat; tipe mulut menusuk dan menghisap; tubuhnya tidak bersayap; kepala kecil; tidak mempunyai mata majemuk kaki disesuaikan untuk meloncat; umumnya ektoparasit pada mamalia. Contohnya kutu. Ordo IX Orthoptera (orthos = lurus), metamorfosis bertingkat; tipe mulut penggigit dan pengunyah; ukuran tubuh relatif besar; umumnya dengan sayap depan yang bersifat liat dan disebut 77 juga tegmina, sayap belakang tipis berupa selaput, pada waktu istirahat dilipat lurus di atas badan ditutupi oleh sayap depan; kaki belakang umumnya panjang dan kuat untuk meloncat. Contohnya belalang Peranan Arthropoda yang menguntungkan dalam kehidupan manusia (Imaningtyas. 2013: 348): a. Sumber makanan yang mengandung protein tinggi, contohnya udang windu, lobster, kepiting, dll. b. Menghasilkan madu, contohnya lebah madu. c. Bahan pakaian sutera, contonya kepompong ulat sutera (Bombyx mori) d. Membantu penyerbukan tanaman Peranan Arthropoda yang merugikan dalam kehidupan manusia (Imaningtyas. 2013: 348): a. Perusak tanaman, yaitu semua larva atau ulat pemakan daun dan belalang. b. Inang perantara (vektor) penyakit, misalnya nyamuk Aedes aegypti vektor penyakit demam berdarah, Anopheles sebagai vektor penyakit malaria, dll. c. Parasit pada manusia, contohnya caplak penyebab kudis (Sarcoptes scabiei). d. Merusak kayu bangunan, misalnya rayap. e. Pengebor kayu galangan kapal atau perahu, contohnya kelompok Isopoda. 78 9. Filum Echinodermata Echinodermata (Yunani, echinos = duri, derma = kulit) adalah hewan yang kulitnya banyak ditumbuhi duri, sehingga disebut hewan berkulit duri. Habitat hewan ini di laut, mulai dari pantai hingga laut dalam. Tubuh Echinodermata pada masa larva simetris bilateral dan pada masa perkembangannya mengalami perubahan sehingga saat dewasa tubuhnya simetris radial. Tubuhnya triploblastik, tanpa kepala dan tidak bersegmen. Bentuk tubuh bulat sampai silindris atau berbentuk bintang dengan lengan sederhana (Yusuf Kastawi, dkk. 2005: 267-268). Echinodermata bergerak lambat dengan kaki ambulakral terdiri atas kaki-kaki tabung. Warna tubuh bervariasi ada yang hitam, merah, coklat, dll. Ukuran tubuhnya juga bervariasi, umumnya tidak terlalu besar dan tidak terlalu kecil, serta tidak ada yang mikroskopis. Hewan ini bereproduksi secara seksual yang melibatkan individu jantan dan betina yang terpisah yang melepaskan gamet-gametnya ke air (Yusuf Kastawi, dkk. 2005: 267268). Echinodermata memiliki sistem ambulakral pada rongga tubuhnya untuk menggerakkan kaki tabung. Kaki tabung berfungsi untuk merayap berpegangan pada substrat, memegang mangsa, dan bernapas (pertukaran O2 dan CO2). Sistem ambulakral ini terdiri atas madreporit, saluran batu, saluran cincin, saluran radial, saluran lateral, kelompok Tiedman, dan gelembung polian. Air laut masuk dan keluar melalui madreporit; menuju saluran batu; menuju saluran cincin dan berputar searah jarum jam; menuju 79 saluran radial; menuju saluran lateral yang bermuara ke ampula, kemudian berkontraksi, sehingga Echinodermata dapat bergerak; kelompok Tiedman, merupakan tempat berkembangnya amebosit dan alat keseimbangan; gelembung polian, merupakan tempat untuk mengatur tekanan air di dalam tubuh Echinodermata (Imaningtyas. 2013: 351). Gambar 8. Sistem Ambulakral Echinodermata (Sumber: Radiopoetro. 1996: 120) Menurut Campbell Neil A. & Reece J. B. (2003: 266), Echinodermata terbagi menjadi enam kelas yaitu Asteroidea (bintang laut), Ophiuroidea (bintang mengular), Echinoidea (bulu babi dan dolar pasir), Crinoidea (lili laut dan bintang bulu), dan Holothuroidea (teripang). Peranan Echinodermata dalam kehidupan sehari-hari ada yang menguntungkan dan merugikan. Peranan yang menguntungkan yaitu dapat dijadikan sebagai bahan makanan untuk konsumsi manusia seperti bulu babi, telur landak laut, dan timun laut. Echinodermata juga bermanfaat sebagai pembersih pantai karena memakan bangkai. Sedangkan peranan 80 yang merugikan yaitu bintang laut yang sering memakan kerang mutiara di tempat budidaya kerang mutiara. 10. Filum Chordata Hewan yang termasuk Chordata adalah semua hewan yang memiliki penyokong tubuh dalam, mulai dari hewan tingkat sederhana berbentuk seperti cacing (Tunicata), ikan Lancelet, sampai mamalia. Chordata tingkat rendah berukuran kecil, semuanya hidup di laut. Kebanyakan Chordata hidup bebas, dan tidak ada yang secara tegas merupakan parasit (Maskoeri Jasin. 1984: 215). Menurut Radiopoetro (1996: 395), sifat yang ada pada hewan-hewan yang dimasukkan ke dalam Filum Chordata adalah: a. Adanya notochord (struktur penyokong tubuh) pada keadaan embrio, larva atau seumur hidup; notochord terjadi dari ektoderm primer. b. Pada dinding faring ada sulci pada keadaan embrio, atau lubang-lubang pada keadaan larva atau seumur hidup; lubang-lubang ini adalah celahcelah insang. c. Di dalam pusat susunan saraf ada rongga, seumur hidup atau hanya pada keadaan larva; rongga ini disebut neurocela. Di dalam tubuh Chordata terdapat celom. Mesoderm yang merupakan dinding celom tersebut berasal dari entoderm primer, sehingga Chordata termasuk Enterocelomata bersama Echinodermata. 81 Filum Chordata ini dibagi menjadi 4 Sub Filum yaitu: Sub Filum Hemichordata, Sub Filum Urochordata atau Tunicata, Sub Filum Cephalochordata, dan Sub Filum Vertebrata (Maskoeri Jasin. 1984: 215). a. Sub Filum Hemichordata (setengah chordata) Sering disebut Adelochordata (chorda yang tidak tampak). Kedudukan Hemichordata dalam Chordata tidak begitu pasti. Sub filum ini terdiri atas sejumlah hewan-hewan yang mempunyai bentuk seperti cacing, merupakan hewan-hewan kecil berbadan lunak. Hewan-hewan ini biasa terdapat pada dasar laut yang berpasir atau berlumpur. Notochord yang pendek terletak pada anterior dan sering disebut Stomocord. Beberapa hewan dari kelompok ini yang berderajat tinggi berstigma pada faringnya. Anus terletak di tepi dan tidak berekor (Maskoeri Jasin. 1984: 215). b. Sub Filum Urochordata atau Tunicata (Uro = ekor, chorda = batang; tunica = mantel). Urocordata adalah hewan sesil atau mengapung, biasanya hidup berkoloni, menyaring makanan dengan menggunakan celah insang faringeal seperti halnya pada Hemichordata. Celah insang Urochordata membentuk bangunan seperti penutup tong yang liat berbentuk tunika, oleh sebab itu Urochordata disebut juga Tunicata. Urochordata dewasa tidak memiliki notochord. Ciri-ciri Urochordata sebagai anggota dari filum Chordata hanya ditemukan pada fase larva. Larva Urochordata memiliki ekor sebagai daya penggerak untuk berenang. Keberadaan 82 notochord sejalan dengan fungsi ekor saat larva, sehingga disebut Urochordata. Setelah larva tumbuh menjadi hewan dewasa maka secara berangsur-angsur ekornya mengalami reduksi (Sukiya. 2005: 1). c. Sub Filum Cephalochordata (Cephal = kepala, chorda = batang) Cephalochordata dikenal dari organisme Amphioxus. Hubungan kekerabatan hewan ini dengan Vertebrata lebih nyata dibandingkan dengan Hemichordata dan Urochordata. Bentuk tubuh Amphioxus mirip dengan bentuk tubuh ikan. Notochord memanjang dan berkembang baik, celah insang faringeal berfungsi sebagai penyaring makanan dan respirasi. Celah ini menjadi penting oleh sebab Amphioxus hidup di perairan laut dangkal, bersembunyi di pasir dan hanya bagian anterior tubuh yang tidak terlindung untuk menyaring makanan dan oksigen. Air yang sudah tersaring keluar melalui celah insang ini (Sukiya. 2005: 2). d. Sub Filum Vertebrata Semua hewan yang termasuk Vertebrata memiliki otak yang relatif besar dilindungi oleh tulang tengkorak. Penyokong tubuh yang merupakan sumbu yang tersusun atas ruas-ruas tulang yang disebut columna vertebralis. Tubuh terbagi atas kepala, leher, badan, dan ekor. Hampir semua alat mengalami kemajuan baik dalam struktur maupun fungsinya, kecuali bentuk dari nothocord, nevercord, dan celah-celah insang (tidak ada saat dewasa) (Maskoeri Jasin. 1984: 219). Ciri khusus Vertebrata menurut Maskoeri Jasin (1984: 220- 222) adalah sebagai berikut: 83 1) Tubuh terbungkus oleh lapisan epidermis dan dermis dengan banyak kelenjar mukosa pada jenis yang hidup dalam air, kedua lapisan tersebut pada ikan tertutup oleh sisik. Pada hewan yang hidup di darat, kulit sebelah luar biasanya menanduk atau menjadi keras. Pada Reptilia, kadang-kadang terdapat sisik tebal, sedang pada burung terdapat bulu dan pada mamalia terdapat rambut. 2) Endoskeleton pada hewan tingkat rendah berupa tulang rawan, sedang pada tingkat tinggi berupa tulang keras. 3) Pada skeleton terdapat otot yang berfungsi untuk gerak atau berpindah tempat. 4) Saluran pencernaan memanjang, di sebelah ventral (rima oris) terdapat lidah dan gigi. Akhir dari saluran ini adalah anus. 5) Sistem peredaran darah tertutup yang terdiri atas pembuluh dengan jantung sebagai sentral, terbagi atas 2, 3, dan 4 ruang. Pada Aves dan Mamalia sebagai hewan Homoioterrm (berdarah panas) sistem peredaran darah ini juga berfungsi mengatur suhu tubuh. 6) Sistem pernafasan pada hewan tingkat rendah berupa beberapa pasang insang, sedangkan pada spesies yang mendiami darat memiliki paru-paru sebagai hasil pertumbuhan dan perkembangan saku-saku dari saluran pencernaan. 7) Sistem ekskresi terdiri atas sepasang ren (ginjal) dengan saluran pembuang yang bermuara di daerah dekat anus. 8) Sistem saraf terdiri atas sistem saraf pusat dan sistem saraf tepi. 84 9) Terdapat sejumlah kelenjar endokrin yang menghasilkan hormon yang diangkut oleh darah yang berperan dalam proses-proses dalam tubuh, pertumbuhan, dan reproduksi. 10) Dengan beberapa pengecualian, sebagian besar seksnya terpisah dan masing-masing jenis kelamin mempunyai sepasang gonad dengan saluran penyalur yang bermuara di dekat anus. Sub filum Vertebrata dibagi atas dua super Kelas yang terdiri atas 8 Kelas (Maskoeri Jasin. 1984: 219): 1) Super Kelas I: Pisces (ikan) Kelompok Pisces menunjukkan ukuran tubuh yang bervariasi (mamalia seperti sejenis ikan paling besar adalah paus Rhineodon typu, mencapai panjang 16,5 m). Ikan yang paling kecil adalah spesies Goby yang ditemukan di Filipina. Ikan umumnya hidup di laut, tetapi ada sekitar 7000 spesies ditemukan di air tawar. Ada spesies ikan yang hidup di air tawar dan sebagai ikan primer air tawar, misalnya ikan paru-paru (Lepidosiren paradoxa). Jenis ikan tertentu mungkin mempunyai periode hidup di laut atau air payau dan meneruskan hidupnya di air tawar atau sebaliknya. Secara keseluruhan ikan lebih toleran terhadap perubahan suhu air. Ikan, seperti juga Vertebrata Poikiloterm lain suhu tubuhnya bersifat ektotermik, artinya suhu tubuh sangat tergantung pada suhu lingkungan (Sukiya. 2005: 9-10). a) Kelas Agnata (A = tidak, gnathum = rahang). 85 Hewan-hewan dari kelas ini belum mempunyai rahang, sehingga bentuk mulutnya sederhana. Kelas Agnatha terbagi atas dua sub kelas, yaitu: Sub Kelas Ostracoderma : Tubuh kecil dan pipih; kulit umumnya diliputi oleh sisik; kepala bertulang keras atau bertulang rawan; rongga hidung bermuara satu atau dua. Sub kelas ini telah punah, tinggal fosilnya. Sub Kelas Cyclostomata : Tubuh silindris dan panjang. Kulit halus tanpa sisik, mengandung banyak kelenjar mukosa. Mulut merupakan alat penempel dengan gigi zat tanduk. Ordo 1: Petromyzontia Sebagai contoh adalah Petromyzontia marinus. Ordo 2: Myxinoida Sebagai contoh adalah Polistotrema stouti. (Makoeri Jasin. 1984: 228). b) Kelas Placodermata Hewan-hewan dari kelas ini tubuhnya bersisik placoid. Sub kelas ini juga telah punah, tinggal fosilnya. c) Kelas Chondrichthyes (Ikan bertulang rawan) Chondrichthyes (Chondros = tulang rawan; ichthhyes = ikan) yang merupakan vertebrata rendah yang memiliki columna vertebralis sempurna yang terpisah satu sama lain sehingga mudah membengkokkan tubuhnya. Kecuali itu, telah memiliki tulang 86 rahang dan beberapa pasang alat gerak tambahan berupa pina (sirip) (Maskoeri Jasin. 1984: 228). Menurut Radiopoetro (1996: 450-451) Chondrichthyes memiliki ciri-ciri sebagai berikut: (1) Endoskeleton seluruhnya terdiri atas kartilago dengan sedikit kalsifikasi, tetapi tulang sebenarnya tidak ada. (2) Eksoskeleton terdiri atas sisik-sisik placoid (3) Saluran pencernaan: rima oris terdapat di sebelah ventral dari rostrum, ada gigi-gigi yang sebenarnya ialah sisik placoid, pada dinding usus terdapat plica spiralis, bagian terakhir dari usus ialah rektum, bermuara ke dalam kloaka, dan tidak ada pneumatocyst. (4) Apparatus respiratorius: ada 5-7 pasang celah insang yang langsung bermuara keluar, tidak ada operculum, di antara rima oris dan insang pertama terdapat lubang yang disebut spiraculum. (5) Sistem peredaran darah: bulbus arteriosus diganti dengan conus arteriosus, vena melebar menjadi sinus. (6) Ureter bermuara ke dalam kloaka (7) Baik vas deferens maupun oviduk bermuara ke dalam kloaka. Chondriechthyes terbagi atas dua super ordo: Super Ordo I Selachii (bertubuh torpedo) Ordo 1 Heterodontia (ikan hiu berkepala bison) 87 Ordo 2 Hexanchida, contoh ikan hiu sapi Ordo 3 Lamnida, contoh Sphirma tudes (ikan hiu berkepala palu). Ordo 4 Squalida, contoh Squalus acanthias (ikan hiu berkepala anjing), Pritus pectinatus (hiu berkepala). Super Ordo II Hypotrematica Ordo 1 Rajida (tubuh pipih dorso ventral), contoh Dasyatis sabina (ikan pari). Ordo 2 Holocephali (tubuh dan kepala sama besarnya, ekor kecil), contoh Chimera monstrosa. (Maskoeri Jasin. 1984: 234). d) Kelas Osteichtyes (Ikan bertulang keras) Pada umumnya yang dimaksud ikan adalah ikan-ikan yang masuk kelas Osteichtyes. Tubuhnya berskeleton tulang keras, terbungkus oleh kulit yang bersisik, berbentuk seperti torpedo, berenang dengan sirip, bernafas dengan insang. Bermacam-macam spesies hidup dalam air tawar atau air laut (Maskoeri Jasin. 1984: 235). Ciri-ciri khusus Osteichtyes menurut Maskoeri Jasin (1984: 235-236) adalah sebagai berikut: (1) Kulit banyak mengandung kelenjar mukosa; biasanya diliputi oleh sisik (sisik ganoid, cycloid atau ctenoid), beberapa spesies 88 tidak bersisik; bersirip pada bagian dorsal maupun ventral dan pada sebelah tubuhnya dengan beberapa perkecualian. (2) Mulut terletak di ujung dan bergigi, rahang tumbuh dengan baik dan bersendi pada tulang tempurung kepala; mempunyai dua sacci olfactorius yang umumnya berhubungan dengan rongga mulut; bermata besar, tidak berkelopak. (3) Skeleton terutama berupa tulang keras, kecuali beberapa jenis yang sebagian bertulang rawan; bentuk vertebrae bermacammacam, pina caudalis biasanya homocercal, sisa-sisa notochord masing-masing tampak. (4) Jantung terdiri atas dua ruangan (atrium dan ventrikel) dengan sinus venosus dan conus arteriosus yang berisi darah vena; terdapat empat pasang archus aorticus; sel darah merah berbentuk oval dan berinti. (5) Pernafasan dilakukan dengan beberapa pasang insang yang terletak pada archus branchius yang berada dalam ruangan celah insang pada kedua tepi samping dari faring, tertutup oleh operculum, biasanya memiliki vesica pneumatica (gelembung udara) dan memiliki ductus pneumaticus. Beberapa jenis mempunyai bentuk seperti paru-paru, misalnya pada Dipnoi. (6) Terdapat 10 pasang nervi cranialis. (7) Suhu tubuh tergantung kepada lingkungan sekitarnya. 89 (8) Memiliki sepasang gonad, umumnya ovipar (beberapa ada yang ovovivipar atau vivipar; fertilisasi terjadi di luar tubuh (kecuali beberapa spesies). Beberapa Ordo dari Osteichtyes adalah sebagai berikut: Sub Kelas I : Dipnoi, contoh: Neoceratodus sp. Sub Kelas II : Teleostei Ordo 1 Heterostomata Ordo 2 Apodea Ordo 3 Synbranchoidea, contoh belut Ordo 4 Sclenriohtyes, contoh ikan kuda Ordo 5 Microcyprini, contoh ikan kepala timah Ordo 6 Malacopterygii, contoh ikan teri Ordo 7 Ostariophysi, contoh ikan mas, ikan lele Ordo 8 Percomorphi contoh ikan kakap, ikan mujair, ikan tongkol, ikan tenggiri Ordo 9 Labryrihici, contoh ikan gabus, ikan gurami Ordo 10 Gobiidea, contoh ikan glodok (Maskoeri Jasin. 1984: 245-251). 2) Super Kelas II: Tetrapoda (tetra = empat, poda = kaki) e) Kelas Amphibia (amphi = dua, bios = hidup) Terminologi “amphibia” diterapkan pada anggota kelas ini karena sebagian besar hewan menghabiskan tahap awal siklus kehidupannya di dalam air, dari bentuk larva berupa kecebong yang 90 bernafas dengan insang luar kemudian mengalami metamorfosis menjadi anak katak dengan alat pernafasan berupa paru-paru. Kehidupan demikian ini tidak mutlak untuk semua amphibi, ada beberapa yang tidak pernah meninggalkan air, dan yang lainnya ada yang tidak pernah masuk ke dalam air pada tahap tertentu dari siklus kehidupannya. Ada juga yang tidak punya paru-paru sampai dewasa dan bernafas melalui kulit, karenanya kulit tersebut selalu basah dan banyak memiliki kelenjar (Sukiya. 2005: 37). Maskoeri Jasin (1984: 252-253) menjelaskan amphibi memiliki ciri-ciri sebagai berikut: (1) Kulit selalu basah dan berkelenjar (yang masih senang di air atau dekat air), tidak bersisik luar. (2) Memiliki dua pasang kaki untuk berjalan atau berenang; berjari 4-5 atau lebih sedikit; tidak bersirip. (3) Terdapat dua buah nares (lubang hidung sebelah luar) yang menghubungkan dengan rongga mulut. Padanya terdapat klep untuk menolak air (waktu dalam air). Mata berkelopak yang dapat digerakkan; membran gendang pendengar terletak di sebelah luar. Mulut bergigi dan berlidah yang dapat dijulurkan ke depan. (4) Skeleton sebagian besar berupa tulang keras, tempurung kepalanya memiliki dua condyl; bila memiliki costae (tulang rusuk) tidak menempel pada sternum (tulang dada). 91 (5) Jantung terbagi atas tiga ruangan, yakni dua ruang atrium dan satu ruang ventrikel. (6) Pernafasan dengan insang, paru-paru, kulit, atau garis mulut dengan pernafasan terpisah atau kombinasi. (7) Otak memiliki 10 pasang nervi cranialis. (8) Suhu tubuh tergantung pada suhu lingkungannya (poikiloterm). (9) Fertilisasi terjadi di luar tubuh, kebanyakan ovipar. Larva yang hidup di air mengalami fase metamorfosis menjadi hewan dewasa. Kelas Amphibia dibagi atas 3 Ordo: Ordo I Gymnophiona/ Apoda: - Tulang cranium dan tulang pipi sempurna - Mempunyai cranium yang terdiri atas beberapa tulang. - Pada spesies yang telah menjadi fosil terdapat lembaran sisik ventral dan kadang-kadang ada juga yang terdapat pada dorsal. - Contoh: Ichtyopsis. Ordo II Caudata/ Urodela/ Salamander: - Tubuh dapat dibedakan atas cephal, cervix, truncus, dan cauda - Extremitas mempunyai bagian-bagian tulang yang sama - Contoh: Amphiuma, Salamandra, Triturus 92 Ordo III Salientia/ Anura/ Katak sebenarnya: - Cephal dan cervix menjadi satu - Sering tak berleher, tak berekor - Extremitas belakang membesar dan extremitas muka agak kecil. - Contoh: Bufo melanosticus, Rana limnocharis (Maskoeri Jasin. 1984: 273-274). f) Kelas Reptilia (hewan melata) Reptilia merupakan sekelompok vertebrata yang menyesuaikan diri di tempat yang kering di tanah. Penandukan atau cornificatio kulit dan squama atau carpace untuk menjaga banyak hilangnya cairan dari tubuh pada tempat yang kasar. Nama kelas ini diambil dari model cara hewan berjalan (Latin: reptum = melata atau merayap) (Maskoeri Jasin. 1984: 275). Ciri-ciri Reptilia adalah sebagai berikut: (1) Tubuh dibungkus oleh kulit kering yang menanduk (tidak licin) biasanya dengan sisik atau bercarapace; beberapa ada yang memiliki kelenjar permukaan kulit. (2) Mempunyai dua pasang anggota gerak, yang masing-masing 5 jari dengan kuku-kuku yang cocok untuk lari, mencengkeram dan naik pohon. Pada yang masih hidup di air kakinya mempunyai bentuk dayung, dan bahkan pada ular tidak memilikinya. 93 (3) Skeletonnya mengalami penulangan secara sempurna. (4) Jantung tidak sempurna, terdiri atas 4 ruangan. Atrium jantung terbagi sempurna menjadi ruangan kanan dan kiri, sinus venosus menyatu dengan dinding dari atrium kanan, ventrikel terpisah oleh septum (sekat). (5) Pernafasan selalu dengan paru-paru; pada penyu bernafas juga dengan kloaka. (6) Memiliki 12 nervi cranialis (7) Suhu tubuh tergantung pada suhu lingkungan (8) Fertilisasi terjadi di dalam tubuh, biasanya memiliki alat kopulasi. (9) Segmentasi secara meroblastis, mempunyai membran embrionis. (Maskoeri Jasin. 1984: 275-276). Radiopoetro (1996: 506-507) menyebutkan Reptilia yang masih ada sekarang terbagi menjadi 4 Ordo yaitu: Ordo 1 Chelonia Contoh: penyu dan kura-kura Tubuh relatif pendek dan lebar Kaki bersifat pentadactil, pada hewan yang marin telah mengalami modifikasi sehingga menyerupai sirip. Tidak ada gigi, rahang tertutup oleh paruh yang tajam dari bahan tanduk. 94 Terdapat kulit keras yang menyelubungi tubuhnya, di sebelah dorsal disebut carapax sedang dibagian ventral disebut plastron.. Ordo 2 Rhynchocephalia Contoh: Sphenodon punctatum (satu-satunya spesies yang masih hidup) Bentuk serupa kadal, berkulit tanduk dan bersisik, bergranula, punggungnya berduri pendek. Tulang rahang mudah digerakkan. Columna vertebralisnya adalah amphicoel, memiliki costae abdominalis. Ordo 3 Squamata Contoh: kadal dan ular Kulit tertutup oleh lapisan squama epidermal yang menanduk; kadang-kadang di bawahnya disokong oleh lamina dermalis yang menulang. Hubungan rahang bawah dengan tulang quadrat pada cranium bebas. Dibagi menjadi 2 sub Ordo yaitu: Sub Ordo 1 Sauria/ Lacertalia (kadal), mempunyai 2 pasang anggota badan yang bersifat pentadactil; membran timpani tidak cembung dan celah auris externa jelas dapat dilihat; palpebra superior dan inferior dapat digerakkan, juga 95 membrana nictitans; kedua bagian rahang bawah bersatu sehingga kurang dapat membuka mulutnya. Sub Ordo 2 Serpentes/ Ophidia (ular), tidak mempunyai kaki; tidak mempunyai celah auris externa dan membran tympani; palpebra tidak ada; mata ditutup oleh membran nictitans yang tetap dan transparan. Ordo 4 Crocodilia Contoh: buaya dan aligator Mempunyai cauda yang memipih ke lateral dan 2 pasang extremitas yang pendek; extremitas anterior mempunyai 5 digiti, sedang extremitas posterior mempunyai 4 digiti; di antara digiti ada selaput untuk berenang. Membran timpani menonjol keluar tetapi dilindungi oleh lapisan kulit; mata, lubang hidung, dan telinga terdapat pada garis lurus pada puncak kepala. Kulit tebal, dengan lamina tulang yang terletak di bawah lapisan tanduk pada sebelah dorsal dan sebelah ventral tubuh. g) Kelas Aves (hewan unggas / burung) Aves adalah hewan yang paling dikenal orang, karena dapat dilihat di mana-mana; aktif pada siang hari dan unik dalam hal memiliki bulu sebagai penutup tubuh. Dengan bulu itu tubuh dapat mengatur suhu dan terbang. Dengan kemampuan terbang itu Aves mendiami semua habitat (Maskoeri Jasin. 1984: 284). 96 Ciri-ciri khusus Aves: (1) Tubuh terbungkus oleh bulu (2) Mempunyai dua pasang anggota (extremitas), anggota anterior (sepasang) mengalami modifikasi sebagai sayap, sedang sepasang anggota posterior disesuaikan untuk hinggap; masing-masing kaki berjumlah 4 buah; cakar terbungkus oleh kulit yang menanduk dan bersisik. (3) Skeleton kecil dan baik, kuat dan penulangannya sempurna; pada mulut terdapat bagian yang terproyeksi sebagai paruh atau sudu (cocor) yang terbungkus oleh lapisan zat tanduk; tidak bergigi. (4) Jantung terdiri atas 4 ruang yakni dua atrium dan dua ventrikel (5) Respirasi dilakukan dengan paru-paru yang kompak yang menempel pada costae dan berhubungan dengan kantung udara yang meluas pada alat-alat dalam; memiliki kotak suara atau syrinx pada dasar trakea. (6) Tidak memiliki vesica urinaria (7) Memiliki 12 nervi cranialis (8) Suhu tubuh tetap (homoioterm) (9) Fertilisasi terjadi di dalam tubuh; ovipar. (Maskoeri Jasin. 1984: 284-285). Radiopoetro (1996: 554-565) mengelompokkan Kelas Aves sebagai berikut: 97 Sub Kelas I Archaeornithes, burung-burung yang masih mempunyai beberapa sifat Reptilia misalnya dalam rongga mulut masih terdapat gigi; sayapnya masih memiliki sisasisa kait kuku panjang yang menunjukkan asalnya dari extremitas anterior, yang pada Reptilia sebagai anggota badan untuk berjalan; kaki belakang bersisik seperti Reptilia. Contoh: Archeopterix lithografis. Sub Kelas II Neornithes, burung sebenarnya, dibagi atas: Super Ordo Odotognathae, merupakan burung purba dunia baru yang masih bergigi dan sudah punah Super Ordo Palaeognathae, merupakan burung yang berjalan, tidak memiliki gigi, tidak dapat terbang karena sayap mereduksi. Ordo Strutioniformes, contohnya Struthio camelus Ordo Casuariformes, contohnya Dromaeus sp. Ordo Apterygiformes, contohnya Apteryx sp. Ordo Rheiformes, contohnya Rhea americana Super Ordo Neognathae, tidak mempunyai gigi, kebanyakan sayap berkembang baik, sternum dengan carina. Ordo Sphenisciformes, contohnya Aptenodytes forsteri Ordo Procellariiformes, contohnya Oceanodroma sp. 98 Ordo Pelecaniformes, contohnya Pelecanus roseus Ordo Ciconiformes, contohnya Ardea purpurea Ordo Anseriformes, contohnya Cairina moschata Ordo Falconiformes, contohnya Haliastur indus Ordo Galliformes, contohnya Gallus gallus gallus Ordo Gruiformes, contohnya Rallina fasciata Ordo Charadriiformes, contohnya Tringa hypoleucus Ordo Columbiformes, contohnya Geopelia struata dll. h) Kelas Mamalia (mamae = susu, hewan yang menyusui) Mamal memiliki karakter struktural yang membedakannya dari vertebrata lain. Ciri utama kelas Mamalia adalah adanya kelanjar susu yang berfungsi sebagai sumber makanan untuk anaknya. Kelenjar lain yang biasa ditemukan adalah kelenjar minyak (sebasea) dan kelenjar keringat (sudorifera). Rambut tumbuh selama periode tertentu dalam hidupnya, meskipun berkurang atau tidak ada sama sekali pada stadium tua seperti paus. Mamal, seperti halnya burung adalah endotermis, karena memiliki mekanisme internal pengontrol suhu tubuh (Sukiya. 2005: 101). Maskoeri Jasin (1984: 303- 304) menjelaskan ciri-ciri khusus Mamalia adalah sebagai berikut: (1) Tubuh biasanya diliputi rambut, kulit banyak mengandung kelenjar yaitu kelenjar sebasea, keringat, bau, dan susu. 99 (2) Regio nasalis (bagian dari hidung) umumnya silindris; mulutnya terdapat gigi yang terletak pada kedua rahang dan berdiferensiasi sesuai makanannya; lidah mudah digerakgerakkan; memiliki pelupuk mata yang mudah digerakkan; alat pendengar memiliki daun telinga. (3) Jantung sempurna terbagi atas empat ruangan (dua atrium dan dua ventrikel) (4) Pernafasan hanya dengan pulmo (paru-paru), laring mempunyai pita suara; memiliki musculus diaphragmaticus yang sempurna memisahkan paru-paru dan jantung dengan rongga perut. (5) Memiliki vesica urinaria; hasil ekskresi berupa urin (6) Memiliki 12 nervi cranialis; otak berkembang baik; kedua cerebrum dan cerebelum besar. (7) Suhu tubuh tetap (homoioterm) (8) Pada hewan jantan memiliki alat kopulasi berupa penis; testis umumnya terdapat dalam skrotum yang terletak di luar perut. Fertilisasi terjadi di dalam tubuh; telur biasanya kecil tanpa cangkok dan tinggal dalam uterus untuk tumbuh; memiliki membrana embryonica (amnion, ehorion, dan alanthois); biasanya memiliki plasenta yang menghubungkan embrio dengan dinding uterus yang digunakan untuk nutrisi dan respirasi; anaknya diasuh setelah lahir dan disusui. 100 Kelas Mamalia dibagi menjadi 3 Sub Kelas: Sub Kelas I Protothreria Ordo I Monotremata, merupakan Mamalia bertelur, tidak berdaun telinga, gigi hanya terdapat pada hewan yang masih muda, bersudu, dan mempunyai kloaka. Contoh: platypus. Sub Kelas II Allotheria, sudah punah Sub Kelas III Theria, mempunyai daun telinga dan gigi; tidak mempunyai kloaka, vivipar. Infra Kelas I Panthotheria, sudah punah Infra Kelas II Metatheria Ordo I Marsupalia, hewan betina dengan marsupium, kandungan di dinding perut yang menutupi papilla mammae yang terdapat pada dinding perut, tidak ada plasenta. Contoh: kanguru, wallabi Infra Kelas III Eutheria, tidak ada marsupium, perkembangan terus berlangsung di dalam uterus, terjadi chorion dan plasenta. Ordo I Insectivora, contohnya celurut Ordo II Dermoptera, contohnya Galeopterus variegatus Ordo III Chiroptera, contohnya kalong, kelelawar 101 Ordo IV Primates, contohnya Tarsius tarsius, kukang, kera, Macaca maura, lutung, bekantan, siamang, uwa-uwa, orang utan, gorila. Ordo V Carnivora, contohnya anjing, sigung, beruang, harimau, macan, kucing, musang, luwak, garangan, anjing laut. Ordo VI Cetacea, contohnya ikan lumba-lumba, ikan pesut, ikan paus. Ordo VII Perissodactylia, contohnya kuda, badak, tapir Ordo VIII Artiodactylia, contohnya celeng, babi, babirusa, kancil, unta, rusa, kijang, jerapah, antilop, bison, biri-biri, kambing, sapi, banteng, kerbau, dll. Ordo IX Pholidota, contohnya trenggiling Ordo X Lagomorpha, contohnya kelinci Ordo XI Rodentia, contohnya tikus, marmut, bajing Ordo XII Probocidea, contohnya gajah Ordo XIII Sirenia, contohnya dugong (Radiopoetro. 1996: 592-606). 102 C. Penelitian yang Relevan Sebagai bahan perbandingan dan petunjuk agar memperoleh gambaran yang jelas dalam melakukan penelitian selanjutnya, maka dikemukakan penelitian-penelitian yang dilakukan oleh: 1. Darmiyati (2009) dengan penelitiannya yang berjudul “Pengembangan Model Asesmen Diagnostik dalam Upaya Meningkatkan Hasil Belajar Matematika di SD Kota Banjarbaru dan Kabupaten Tanah Laut Kalimantan Selatan” menyimpulkan bahwa, tes diagnostik matematika sebelum diberikan kepada siswa telah diujicobakan secara terbatas dan memenuhi syarat validitas, di mana jumlah pertanyaan terdiri dari 45 butir soal. Setelah dihitung, butir yang valid ada 40 butir dan reliabilitasnya 0, 77. Hasil diagnostik menunjukkan bahwa kesulitan terbanyak yang dialami siswa adalah pada pokok bahasan 1) satuan waktu, panjang, berat, dan masalah sehari-hari 2) penjumlahan, pengurangan, dan hitung campuran 3) alat ukur 4) perkalian, pembagian, dan hitung campuran 5) perhitungan uang dan 6) bilangan cacah. Tes diagnostik yang diberikan berbentuk uraian dan dilaksanakan secara bertahap mengacu pada ranah kognitif meliputi ingatan, pemahaman, analisis, sintesis, dan evaluasi. 2. Penelitian Duskri, Kumaidi, dan Suryanto (2014) yang berjudul “Pengembangan Tes Diagnostik Kesulitan Belajar Matematika di SD” menghasilkan: (1) pengembangan tes diagnostik meliputi studi pendahuluan, studi literatur dan hasil penelitian, analisis masalah, merumuskan learning continuum, merumuskan peta konsep, menyusun tes 103 esai, polarisasi jawaban siswa, menyusun tes bentuk pilihan ganda, validasi pakar melalui focus group discussion, uji coba terbatas, dan uji yang diperluas, (2) indeks daya beda butir tes antara 0,391 sampai dengan 2,317; indeks kesukaran butir tes antara -2,158 sampai dengan 2,528; kecocokan uji tes dengan kemampuan peserta antara -2,00 sampai dengan 2,60; dan fungsi informasi tes antara 0,111 sampai dengan 3,879, dan (3) informasi yang dapat dimunculkan dari tes meliputi: hasil tes secara klasikal dan individual, grafik ketuntasan belajar, profil individual, analisis salah konsepsi, dan saran remedial. Namun keterbatasan penelitian ini adalah software komputer yang dirancang untuk melakukan analisis hasil tes diagnostik kesulitan belajar masih berbasis Microsoft Excel 2007 dan dapat dikembangkan dengan program lain yang lebih interaktif. 3. Penelitian yang dilakukan Kusaeri (2012) yang berjudul “Menggunakan Model DINA dalam Pengembangan Tes Diagnostik untuk Mendeteksi Salah Konsepsi” menunjukkan bahwa, 1) tahapan pengembangan tes meliputi: identifikasi kompetensi dasar dan merumuskan indikator, menyusun learning continuum, menyusun hierarki materi, merumuskan atribut, menyusun soal, validasi ahli, dan uji empirik. 2) Setelah melalui tujuh tahapan, dikembangkan 37 item tes diagnostik dengan 15 item di antaranya harus dihilangkan/ dihapus dari paket tes karena tidak memenuhi uji fit model dan kualitas item jelek (indeks daya beda kurang dari 0,2). 4. Irzani (2009) dalam jurnalnya yang berjudul “Pengembangan Tes Diagnostik Kesulitan Belajar Matematika di SMA” mengungkapkan 104 bahwa, 1) rancangan tes diagnostik kesulitan belajar Matematika SMA mencangkup tingkatan kognitif keterampilan dasar, analisis, dan aplikasi, 2) validitas item tes diagnostik telah dipenuhi melalui expert judgement, telah melalui FGD yang dilakukan sebanyak dua kali serta terbukti memenuhi persyaratan unidimensi, kondisional independen, dan fit dengan model secara empiris dengan Partial Credit Model (PCM) berdasarkan data politomus tiga, empat, dan lima kategori menggunakan program Quest dan tingkat nilai fungsi tes yang baik menggunakan program Parscale, 3) perangkat tes diagnostik yang digunakan dalam tahap pengukuran, yang dirakit menggunakan item hasil uji coba, telah terbukti dapat digunakan untuk mengukur perbedaan kesulitan belajar siswa pada SMA yang menjadi sampel, yaitu menurut uji statistik uji beda, dan 4) tingkat kesulitan belajar siswa dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa siswa mengalami kesulitan belajar terbesar pada materi Geometri kemudian Aljabar, dan Dasar-dasar Operasil Bilangan dengan tingkat kesulitan ratarata 0,12; 0, 04; dan -0,15. 5. Penelitian Anita Puspita Handayani, Muhardjito, dan Sumarjono (2013) yang berjudul “Pengembangan Instrumen Tes Pilihan Ganda Distraktor Bermakna untuk Mengidentifikasi Karakteristik Konsepsi Fisika Siswa Kelas XI SMA Negeri 2 Malang” menyebutkan, 1) produk yang dikembangkan berupa instrumen tes pilihan ganda distraktor bermakna untuk mengidentifikasi karakteristik konsepsi fisika siswa kelas XI SMA Negeri 2 Malang pada materi getaran. Jumlah soal pada instrumen tes yang 105 dikembangkan adalah 30 butir soal dari 10 indikator. Setiap indikator disusun menjadi 3 butir soal pilihan ganda yang setara dan sama. Masingmasing butir juga terdiri dari 4 alternatif pilihan jawaban, yaitu 1 jawaban benar dan 3 jawaban salah (distraktor), 2) hasil analisis validasi oleh tim ahli, diketahui bahwa sebagian besar butir soal tes pilihan ganda yang dikembangkan dinyatakan layak dari segi materi, konstruksi, dan bahasa. Hasil validitas butir soal terdapat soal-soal yang tidak valid, sehingga perlu dilakukan revisi dan dihasilkan produk akhir. Hasil uji reliabilitas untuk 16 butir soal valid memiliki reliabilitas sebesar 0,931 sehingga tergolong dalam kategori reliabilitas sangat tinggi, 3) produk telah mampu mengidentifikasi karakteristik konsepsi siswa serta dapat membedakan siswa yang memahami konsep dengan benar; mengalami miskonsepsi beserta miskonsepsi yang dialami; dan tidak memahami konsep. Selain itu, dari hasil analisis, produk yang dikembangkan dapat memberikan umpan balik untuk siswa dalam memperbaiki cara belajar dan mempermudah guru untuk memberikan remidiasi. Secara keseluruhan, analisis profil kelas menunjukkan bahwa siswa yang memahami konsep dengan benar pada materi getaran masih tergolong rendah, yaitu 29,68 %; sedangkan 70,32 % mengalami miskonsepsi. D. Kerangka Berpikir Peserta didik adalah individu dengan karakteristik yang berbeda-beda terutama dalam hal kemampuan belajar. Beberapa peserta didik ada yang dapat 106 dengan cepat menerima dan memahami apa yang ia pelajari, namun ada pula yang lambat dan menemui hambatan dalam belajarnya. Proses belajar peserta didik antara yang berkemampuan tinggi tentu tidak akan sama dengan yang berkemampuan sedang, bahkan dengan yang berkemampuan kurang. Perbedaan kemampuan belajar peserta didik memerlukan pelayanan tersendiri bagi guru dalam rangka penyesuaian pelaksanaan program pembelajaran. Untuk dapat memberikan pelayanan yang tepat kepada peserta didik sesuai kebutuhannya, guru harus mengetahui kemampuan belajar masingmasing peserta didik melalui suatu kegiatan penilaian. Penilaian yang berfungsi untuk mengukur kemampuan peserta didik dalam belajar adalah penilaian formatif. Melalui penilaian formatif guru dapat mengetahui kemampuan peserta didik dalam mencapai kompetensi pelajaran. Bagi peserta didik yang sudah mencapai kompetensi yang ditargetkan, guru dapat memberikan pelayanan berupa program pengayaan, sedangkan bagi peserta didik yang belum mencapai kompetensi, guru dapat memberikan pelayanan berupa program remediasi. Peserta didik yang belum mencapai kompetensi berarti, peserta didik tersebut mengalami kesulitan dalam mempelajari kompetensi atau pokok bahasan yang ditargetkan. Kesulitan belajar peserta didik harus diidentifikasi terlebih dahulu sebelum diberikan program remediasi, sehingga program remediasi dapat berjalan tepat sasaran memperbaiki kesulitan belajar peserta didik. Proses identifikasi dapat dilakukan secara efisien baik dalam hal waktu, tenaga, dan biaya dengan melakukannya secara bersamaan dengan penilaian 107 formatif, yaitu melalui tes formatif yang berfungsi sebagai tes diagnostik. Dengan tes ini guru dapat mengukur kemampuan belajar peserta didik sekaligus kesulitan belajarnya. Agar tes formatif yang berfungsi sebagai tes diagnostik dapat berhasil mengukur kemampuan belajar dan letak kesulitan belajar peserta didik, maka dalam mengembangkannya diperlukan langkah-langkah yang meliputi: identifikasi kompetensi dasar atau pokok bahasan yang memberikan kesulitan kepada peserta didik, menentukan indikator pencapaian kompetensi, menyusun kisi-kisi tes, menulis item tes, menelaahh item tes, mengujikan tes kepada peserta didik, serta melakukan analisis dan intepretasi hasil tes. Adapun bagan kerangka berpikir penelitian ini disajikan pada gambar 9. di bawah ini: 108 Perbedaan Kemampuan Peserta Didik Kesulitan belajar peserta didik pada setiap pokok bahasan Identifikasi Tes Formatif yang Berfungsi sebagai Tes Diagnostik Menentukan Standar Kompetensi Menentukan Indikator Pencapaian KD Menyusun kisi-kisi Menulis Tes Tidak Baik Ditelaah oleh dosen ahli Baik Uji Coba Terbatas Analisis dan Intepretasi Hasil Kesulitan Belajar Peserta Didik Gambar 9. Kerangka Berpikir Penelitian Tes Formatif yang Berfungsi sebagai Tes Diagnostik 109