14 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan pustaka pada bab ini

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Tinjauan pustaka pada bab ini merupakan kumpulan teori-teori untuk
mendukung hasil penelitian, yang dikaji dari dua aspek yaitu aspek kependidikan
dan aspek keilmuan. Adapun tinjauan pustaka dari aspek kependidikan meliputi
belajar, penilaian, teknik penilaian hasil belajar, kemampuan belajar peserta didik,
tes formatif, kesulitan belajar peserta didik, tes diagnostik, dan tes formatif yang
berfungsi sebagai tes diagnostik. Sedangkan, tinjauan pustaka dari aspek keilmuan
meliputi karakteristik umum hewan, filum Porifera, filum Coelenterata, filum
Platyhelminthes, filum Nematelminthes, filum Annelida, filum Mollusca, filum
Arthropoda, filum Echinodermata, dan filum Chordata.
A. Tinjauan Kependidikan
1. Belajar
Para pakar pendidikan mengemukakan pengertian yang berbeda
tentang belajar, namun pada prinsipnya setiap orang yang melakukan proses
belajar akan mengalami suatu perubahan dalam dirinya.
Trianto (2009: 9) mengemukakan bahwa,
“belajar hakikatnya adalah suatu proses yang ditandai dengan adanya
perubahan pada diri seseorang baik berubah pengetahuan,
pemahaman, sikap dan tingkah laku, kecakapan, ketrampilan dan
kemampuan, serta perubahan aspek-aspek yang lain yang ada pada
individu yang belajar”.
Hal yang sama juga diungkapkan oleh Pupuh Fathurrohman dan M.
Sobry Sutikno (2011: 6), mereka mengatakan bahwa belajar adalah suatu
proses usaha yang dilakukan oleh seseorang untuk memperoleh suatu
14
perubahan (perubahan yang terjadi secara sadar/ disengaja) dan tertuju
untuk memperoleh sesuatu yang baru (yang lebih baik dari sebelumnya)
sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya.
Secara keseluruhan kegiatan belajar merupakan bagian yang paling
pokok dalam proses pendidikan. Ini berarti bahwa berhasil tidaknya
pencapaian tujuan pendidikan tergantung kepada bagaimana proses belajar
yang dialami oleh siswa sebagai anak didik. Para ahli bidang belajar
umumnya sependapat bahwa, perubahan belajar itu adalah bersifat
kompleks, karena merupakan suatu proses yang dipengaruhi atau ditentukan
oleh banyak faktor dan meliputi berbagai aspek baik yang bersumber dari
dalam diri maupun yang bersumber dari luar diri manusia (Oemar Hamalik,
1990: 22).
Dengan demikian belajar adalah suatu proses kegiatan atau usaha
yang dilakukan oleh seseorang secara sadar dalam berinteraksi dengan
lingkungannya sehingga terjadi perubahan tingkah laku yang baru di dalam
dirinya yang berupa pengetahuan, sikap, dan ketrampilan. Perubahan dalam
diri seseorang tersebut berlangsung secara bertahap, berkesinambungan, dan
dinamis. Satu perubahan akan menyebabkan perubahan berikutnya dan akan
berguna bagi kehidupan ataupun proses belajar berikutnya. Perubahan itu
senantiasa bertambah dan tertuju untuk memperoleh sesuatu yang lebih baik
dari sebelumnya.
15
2. Penilaian
a. Pengertian Penilaian
Penilaian atau asesmen merupakan komponen penting dalam
penyelenggaraan pendidikan. Upaya meningkatkan kualitas pendidikan
dapat ditempuh melalui peningkatan kualitas pembelajaran dan kualitas
sistem penilaiannya. Keduanya saling terkait, sistem pembelajaran yang
baik
akan
menghasilkan
kualitas
belajar
yang
baik.
Kualitas
pembelajaran ini dapat dilihat dari hasil penilaiannya. Sistem penilaian
yang baik akan mendorong pendidik untuk menentukan strategi mengajar
yang baik dan memotivasi peserta didik untuk belajar yang lebih baik.
Oleh karena itu, dalam upaya peningkatan kualitas pendidikan diperlukan
perbaikan sistem penilaian.
Suatu kegiatan penilaian dimulai dengan kegiatan pengukuran.
Sebagaimana yang dinyatakan oleh Kusaeri dan Suprananto (2012: 8)
bahwa,
“penilaian adalah suatu prosedur sistematis dan mencakup
kegiatan mengumpulkan, menganalisis, serta menginterpretasikan
informasi yang dapat digunakan untuk membuat kesimpulan
tentang karakteristik seseorang atau objek”.
Sependapat dengan Kusaeri dan Suprananto, Gronlund & Linn
dalam Kusaeri mendefiniskan penilaian sebagai suatu proses yang
sistematis dan mencakup kegiatan mengumpulkan, menganalisis serta
menginterpretasikan informasi untuk menentukan seberapa jauh seorang
siswa atau sekelompok siswa mencapai tujuan pembelajaran yang telah
ditetapkan, baik aspek pengetahuan, sikap maupun keterampilan.
16
Djemari Mardapi (2012: 13) juga berpendapat bahwa penilaian
mencakup semua cara yang digunakan untuk mengumpulkan data
tentang
individu.
Penilaian
berfokus
pada
individu,
sehingga
keputusannya juga terhadap individu. Untuk menilai prestasi peserta
didik, peserta didik mengerjakan tugas-tugas, mengikuti ujian tengah
semester, dan ujian akhir semester. Semua data yang diperoleh dengan
berbagai cara kemudian diolah menjadi informasi tentang individu. Jadi
proses penilaian meliputi pengumpulan bukti-bukti tentang pencapaian
belajar peserta didik. Penilaian memerlukan data yang akurat, sedang
data diperoleh dari kegiatan pengukuran, sehingga diperlukan alat ukur
yang baik.
Kegiatan penilaian menyangkut kegiatan pemberian nilai pada
objek. Nana Sudjana (2006: 3) mengatakan penilaian adalah proses
memberikan atau menentukan nilai kepada objek tertentu berdasarkan
suatu kriteria tertentu. Boyer & Ewel dalam Eko Putro Widoyoko (2009:
30) mendefinisikan,
“assessment is processes that provide information abaut
individual student, abaut curricula or program, abaut institutions,
or abaut entire system of institutions”
Assessment adalah proses yang menyediakan informasi tentang individu
peserta didik, tentang kurikulum atau program, tentang institusi, atau
segala sesuatu yang berkaitan dengan sistem institusi.
Menurut Oemar Hamalik (2001: 156) penilaian adalah salah satu
komponen
dalam
proses
pembelajaran,
yaitu
meliputi
tujuan
17
pembelajaran, metode pembelajaran dan penilaian hasil belajar.
Sedangkan Sarwiji Suwandi (2010: 9) menyebutkan komponen-komponen pokok penilaian meliputi pengumpulan informasi, interpretasi
terhadap informasi yang telah dikumpulkan dan pengambilan keputusan.
Ketiga komponen itu saling terkait dan sebelum melakukannya guru
harus menentukan atau merumuskan tujuan penilaian.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
penilaian adalah suatu proses pengumpulan informasi peserta didik
melalui suatu kegiatan pengukuran untuk menilai keberhasilan peserta
didik dalam belajar.
b. Fungsi Penilaian
Suharsimi Arikunto (2009: 10) berpendapat bahwa, fungsi
penilaian meliputi fungsi selektif, diagnostik, penempatan, dan pengukur
keberhasilan. Penilaian berfungsi selektif artinya dengan mengadakan
penilaian, guru mempunyai cara untuk menyeleksi peserta didik.
Penilaian berfungsi sebagai diagnostik berarti, dengan melihat hasil
penilaian guru dapat mengetahui kelemahan peserta didik beserta
penyebabnya sehingga dapat pula menentukan cara mengatasinya.
Penilaian berfungsi sebagai penempatan berarti untuk menentukan
dengan pasti di kelompok mana peserta didik harus ditempatkan.
Penilaian berfungsi sebagai pengukur keberhasilan berarti untuk
mengetahui
sejauh
mana
suatu
program
pembelajaran
berhasil
diterapkan.
18
Sedangkan Nana Sudjana (2006: 3-4) berpendapat bahwa,
Fungsi penilaian dapat dijabarkan sebagai:
1) alat untuk mengetahui tercapai tidaknya tujuan instruksional.
2) umpan balik bagi perbaikan proses belajar mengajar
3) dasar dalam menyusun laporan kemajuan peserta didik kepada
orang tuanya.
Sementara itu, Earl (2006: 6) berpendapat lain mengenai fungsi
penilaian. Menurutnya, Secara garis besar asesmen dapat digunakan
untuk: (1) menentukan tingkat pencapaian hasil pembelajaran yang
dikenal dengan assessment of learning (AoL), (2) memperbaiki proses
pembelajaran oleh guru yang dikenal dengan assessment for learning
(AfL), dan (3) memperbaiki proses pembelajaran oleh siswa atau
assessment as learning (AaL).
Dari uraian para ahli di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pada
dasarnya fungsi penilaian adalah untuk mengukur keberhasilan belajar
peserta didik dan memperbaiki proses pembelajaran.
c. Tujuan Penilaian
Tujuan penilaian adalah untuk mengukur seberapa jauh tingkat
keberhasilan
proses
pembelajaran
yang
telah
dilaksanakan,
dikembangkan, dan ditanamkan di sekolah serta dapat dihayati,
diamalkan/ diterapkan, dan dipertahankan oleh peserta didik dalam
kehidupan sehari-hari. Disamping itu penilaian juga bertujuan untuk
mengetahui seberapa jauh keberhasilan guru dalam melaksanakan proses
pembelajaran, yang digunakan sebagai feed back/ umpan balik bagi guru
dalam
merencanakan
proses
pembelajaran
selanjutnya.
Hal
ini
19
dimaksudkan
untuk
mempertahankan,
memperbaiki
dan
menyempurnakan proses pembelajaran yang dilaksanakan (Arnie Fajar.
2005: 220).
Hampir sama dengan Arnie Fajar, Depdiknas (2004: 6-7)
menyebutkan,
tujuan penilaian pendidikan adalah untuk:
1) mengetahui status siswa
2) mengadakan seleksi
3) mengetahui prestasi siswa
4) mengetahui kelemahan dan kesulitan siswa. .
5) mengadakan pengelompokan atau penempatan siswa
6) memberi motivasi siswa
7) memberikan data pada pihak tertentu.
d. Jenis Penilaian
Berdasarkan fungsinya, Nana Sudjana (2006: 5) membagi
penilaian menjadi beberapa macam yaitu:
1) Penilaian formatif adalah penilaian yang dilaksanakan pada akhir
program belajar mengajar untuk melihat tingkat keberhasilan proses
belajar mengajar itu sendiri.
2) Penilaian sumatif adalah penilaian yang dilaksanakan pada akhir unit
program, yaitu akhir semester atau akhir tahun.
3) Penilaian diagnostik adalah penilaian yang bertujuan untuk melihat
kelemahan-kelemahan peserta didik serta faktor penyebabnya.
Penilaian ini dilaksanakan untuk keperluan bimbingan belajar,
pengajaran remidial, menemukan kasus-kasus dan sebagainya.
4) Penilaian selektif, adalah penilaian yang bertujuan untuk keperluan
seleksi.
5) Penilaian penempatan, penilaian yang ditujukan untuk mengetahui
keterampilan prasyarat yang diperlukan bagi suatu program belajar
dan penguasaan belajar seperti yang diprogramkan sebelum memulai
kegiatan belajar untuk program itu.
Sedangkan dari segi alatnya, Nana Sudjana (2006: 5) membagi
penilaian menjadi tes dan bukan tes. Penilaian dalam bentuk tes ada yang
secara lisan, tulisan dan tindakan. Soal-soal tes ada yang disusun dalam
20
bentuk objektif, ada juga yang dalam bentuk esai atau uraian. Sedangkan
penilaian bukan tes alat penilaiannya mencakup observasi, kuisioner,
wawancara, studi kasus dan lain sebagainya.
Sistem penilaian hasil belajar pada umumnya dibedakan ke dalam
dua sistem yakni penilaian acuan norma (PAN) dan penilaian acuan
patokan (PAP) (Nana Sudjana. 2006: 7-8).
1) Penilaian acuan norma adalah penilaian yang diacukan kepada
kelompoknya. Dengan demikian dapat diketahui posisi kemampuan
peserta didik di dalam kelompoknya. Untuk itu norma atau kriteria
yang digunakan dalam menentukan derajat atau prestasi seorang
peserta didik, dibandingkan dengan nilai rata-rata kelasnya. Atas dasar
itu akan diperoleh tiga kategori prestasi peserta didik, yakni diatas
rata-rata kelas, sekitar rata-rata kelas, dan dibawah rata-rata kelas.
Dengan kata lain prestasi yang dicapai seseorang posisinya sangat
bergantung pada prestasi kelompoknya. Keuntungan sistem ini adalah
dapat diketahui prestasi kelompok atau kelas sehingga dapat diketahui
keberhasilan pengajaran bagi semua peserta didik. Kelemahannya
adalah kurang meningkatkan kualitas hasil belajar (Nana Sudjana.
2006: 7-8).
2) Penilaian acuan patokan (PAP) adalah penilaian yang diacukan
kepada tujuan instruksional yang harus dikuasai peserta oleh didik.
Dalam sistem ini guru tidak perlu menghitung rata-rata kelas sebab
kriterianya sudah pasti. Sistem penilaian ini tepat digunakan untuk
21
penilaian sumatif dan merupakan usaha peningkatan kualitas
pendidikan (Nana Sudjana. 2006: 7-8).
e. Prinsip Penilaian
Menurut Lampiran Permendikbud Nomor 66 Tahun 2013 tentang
Standar Penilaian (Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia. 2013: 3) menyebutkan, penilaian hasil belajar peserta didik
pada jenjang pendidikan dasar dan menengah didasarkan pada prinsipprinsip sebagai berikut:
1) Objektif, berarti penilaian berbasis pada standar dan tidak dipengaruhi
faktor subjektivitas penilai.
2) Terpadu, berarti penilaian oleh pendidik dilakukan secara terencana,
menyatu dengan kegiatan pembelajaran, dan berkesinambungan.
3) Ekonomis, berarti penilaian yang efisien dan efektif dalam
perencanaan, pelaksanaan, dan pelaporannya.
4) Transparan, berarti prosedur penilaian, kriteria penilaian, dan dasar
pengambilan keputusan dapat diakses oleh semua pihak.
5) Akuntabel, berarti penilaian dapat dipertanggungjawabkan kepada
pihak internal sekolah maupun eksternal untuk aspek teknik, prosedur,
dan hasilnya.
6) Edukatif, berarti mendidik dan memotivasi peserta didik dan guru.
Sigalingging Hamonangan (2010: 13-14) juga merinci prinsip
penilaian yaitu:
1) Prinsip berlanjutan (continuous)
Bahwa penilaian itu harus dilaksanakan secara terus menerus selama
proses belajar-mengajar berlangsung. Dengan demikian guru akan
dapat mengetahui sedini mungkin jika ada siswa yang mengalami
kesulitan belajar, dan dapat pula segera diberikan bantuan, bimbingan
untuk mengatasinya.
2) Prinsip menyeluruh (comprehensive)
Bahwa penilaian mampu mengukur semua aspek tingkah laku yang
dimiliki siswa setelah mengikuti proses pembelajaran.
3) Prinsip objektif
Prinsip ini menekankan pada keabsahan data hasil penilaian dengan
apa adanya tanpa dibuat-buat sesuai dengan data aslinya.
4) Prinsip kooperatif
22
Pelaksanaan penilaian memerlukan kerjasama semua pihak yang
terkait agar menghasilkan data yang benar-benar objektif dan akurat.
5) Prinsip terbuka
Artinya, apapun bentuk soal yang digunakan hendaknya
diinformasikan terlebih dahulu kepada siswa.
3. Teknik Penilaian Hasil Belajar
Teknik penilaian hasil belajar secara umum dibedakan menjadi dua,
yaitu teknik tes dan teknik nontes. Teknik nontes pada umumnya memegang
peranan yang penting dalam rangka menilai hasil belajar peserta didik dari
segi ranah sikap hidup (affective domain) dan ranah keterampilan
(psychomotoric domain). Sedangkan teknik tes lebih banyak digunakan
untuk menilai hasil belajar peserta didik dari segi ranah proses berfikirnya
(cognitive domain) (Anas Sudijono. 2011: 65).
a. Teknik Nontes
Dengan teknik nontes maka penilaian hasil belajar peserta didik
dilakukan dengan tanpa “menguji” peserta didik, melainkan dilakukan
dengan
melakukan
pengamatan
secara
sistematis
(observation),
melakukan wawancara (interview), menyebarkan angket (questionmaire)
dan memeriksa atau meneliti dokumen-dokumen (documentary analysis)
(Anas Sudijono. 2011: 65).
b. Teknik Tes
Anas Sudijono (2011: 66) menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan
tes adalah cara (yang dapat dipergunakan) atau prosedur (yang perlu
ditempuh) dalam rangka pengukuran dan penilaian di bidang pendidikan,
yang berbentuk pemberian tugas atau serangkaian tugas (baik berupa
23
pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab), atau perintah-perintah (yang
harus dikerjakan) oleh testee, sehingga (atas dasar data yang diperoleh
dari
hasil
pengukuran
tersebut)
dapat
dihasilkan
nilai
yang
melambangkan tingkah laku atau prestasi testee yang dapat dibandingkan
dengan nilai-nilai yang dicapai oleh testee lainnya, atau dibandingkan
dengan nilai standar tertentu.
1) Fungsi tes
a) Sebagai alat pengukur terhadap peserta didik. Dalam hubungan ini
tes berfungsi mengukur tingkat perkembangan atau kemajuan yang
telah dicapai oleh peserta didik setelah mereka menempuh proses
belajar mengajar dalam jangka waktu tertentu Anas Sudijono
(2011: 66).
b) Sebagai alat pengukur keberhasilan program pengajaran, sebab
melalui tes tersebut akan dapat diketahui sudah seberapa jauh
program pengajaran yang telah ditentukan, telah dapat dicapai
Anas Sudijono (2011: 66).
2) Penggolongan Tes
Ada beberapa macam tes yang digunakan untuk mengukur
keberhasilan pembelajar seperti yang telah dirinci oleh Burhan
Nurgiyantoro (2011: 111-116), yaitu tes kemampuan awal, tes
diagnostik, tes formatif, dan tes sumatif:
a) Tes Kemampuan Awal
24
Tes ini dilakukan sebelum suatu kegiatan pembelajaran dimulai,
atau sebelum pembelajar memulai pelajaran di lembaga yang
bersangkutan. Ada tiga macam tes kemampuan awal, yakni pretes,
tes prasyarat, dan tes penempatan. Pretes adalah tes yang dilakukan
sebelum pembelajar mengalami proses belajar dalam suatu mata
pelajaran. Tes prasyarat adalah tes yang dilakukan seseorang/
pembelajar sebelum masuk dalam pendidikan tertentu, sebagai
prasyarat apakah pembelajar tersebut memiliki kemampuan tertentu
untuk mengikuti pendidikan tersebut. Kemudian, tes penempatan
adalah tes yang digunakan untuk mengetahui tingkat kemampuan
calon pembelajar, kemudian hasilnya digunakan sebagai informasi
untuk menempatkan pembelajar sesuai kemampuannya (Burhan
Nurgiyantoro. 2011: 111).
b) Tes Diagnostik
Tes ini dilakukan sebelum atau selama masih berlangsungnya
kegiatan pembelajaran guna menentukan kompetensi dasar,
indikator, dan bahan ajar tertentu yang masih menyulitkan
pembelajar. Materi yang belum dikuasai pembelajar merupakan
informasi berharga untuk menentukan kegiatan pembelajaran
selanjutnya. Jadi, tes ini berfungsi untuk mengetahui latar belakang
kesulitan atau hambatan belajar pembelajar dan sekaligus
membantu atau membimbing pembelajar yang mengalami kesulitan
itu (Burhan Nurgiyantoro. 2011: 113).
25
c) Tes Formatif
Tes ini dilakukan selama kegiatan pembelajaran masih berlangsung
pada setiap akhir beberapa kompetensi dasar atau satuan bahasan.
Dengan demikian, tes ini dilakukan beberapa kali dalam satu
semester. Dalam kenyataan praktik pembelajaran di sekolah, tes ini
dilaksanakan
dengan
sebutan
ulangan
harian
(Burhan
Nurgiyantoro. 2011: 114).
d) Tes Sumatif
Tes ini dilakukan setelah selesainya seluruh kegiatan pembelajaran
atau seluruh program perencanaan, salah satunya adalah ulangan
umum yang dilakukan setiap akhir semester. Informasi yang
didapatkan dari tes ini digunakan untuk menentukan nilai atau
prestasi yang dicapai oleh setiap pembelajar. Atau bisa dikatakan
bahwa fungsi dan tujuan tes sumatif adalah untuk menentukan
keberhasilan belajar, yang hasilnya sebagai bahan untuk mengisi
nilai rapor dan kenaikan kelas (Burhan Nurgiyantoro. 2011: 11516).
4. Kemampuan Belajar Peserta Didik
Peserta didik adalah individu dengan bermacam-macam karakter.
Dalam menerima pelajaran, sikap peserta didik tidaklah sama. Hal ini
tergantung dari kemampuan belajar masing-masing peserta didik.
Mampu berarti sanggup, sehingga kemampuan berarti kesanggupan
dalam melakukan sesuatu. Poerwadarminta (2007: 742) mengatakan hal
26
yang sama tentang kemampuan. Menurutnya, mampu artinya kuasa (bisa,
sanggup) melakukan sesuatu, sedangkan kemampuan artinya kesanggupan,
kecakapan, dan kekuatan. Nurhasnah (2007: 552) juga mengatakan, mampu
artinya (bisa, sanggup) melakukan sesuatu, sedangkan kemampuan artinya
kesanggupan dan kecakapan.
Em Zul Fajri dan Ratu Aprilia Senja (2008: 134) berpendapat lain
bahwa kata kemampuan sama artinya dengan kecekatan. Kecekatan adalah
kepandaian melakukan sesuatu pekerjaan dengan cepat dan benar.
Seseorang yang dapat melakukan dengan cepat tetapi salah tidak dapat
dikatakan mampu. Demikian pula apabila seseorang dapat melakukan
sesuatu dengan benar tetapi lambat, juga tidak dapat dikatakan mampu.
Seseorang yang mampu dalam suatu bidang tidak ragu-ragu melakukan
pekerjaan tersebut, seakan-akan tidak pernah dipikirkan lagi bagaimana
melaksanakannya, tidak ada lagi kesulitan-kesulitan yang menghambat.
Senada dengan Zul, Spencer and Spencer dalam Hamzah Uno (2010:
62) mendefinisikan kemampuan sebagai,
“karakteristik yang menonjol dari seseorang individu yang
berhubungan dengan kinerja efektif dan/superior dalam suatu
pekerjaan atau situasi”.
Dengan demikian, kemampuan adalah kesanggupan dan kecekatan
individu dalam melakukan sesuatu. Sedangkan kemampuan belajar peserta
didik dapat diartikan sebagai kesanggupan dan kecekatan peserta didik
dalam melakukan proses kegiatan belajar mengajar, hingga terjadi
27
perubahan dalam dirinya dalam hal pengetahuan, sikap, dan keterampilan
yang lebih baik.
5. Tes Formatif
Menurut Hasan H. S. dan Zainul A. (1991: 11), tes formatif
merupakan tes yang paling banyak digunakan guru, diselenggarakan secara
periodik pada saat berlangsungnya proses belajar mengajar yang mencakup
semua unit pengajaran yang telah diajarkan. Fungsinya sebagai balikan bagi
siswa dan guru tentang kemajuan belajar dan tujuan utamanya adalah untuk
mengetahui keberhasilan dan kegagalan proses belajar mengajar serta untuk
memperbaiki dan menyempurnakan proses belajar mengajar.
Senada dengan Hasan dan Zainul, Gronlund (1985: 119)
mengungkapkan,
“formative tests are given periodically during instruction to monitor
pupils‟learning progress and to provide ongoing feedback to pupils
and teacher”.
Tes formatif lebih efektif bila diberikan secara periodik selama
berlangsungnya
pembelajaran
yang
bertujuan
untuk
memonitor
perkembangan siswa guna pemberian umpan balik kepada siswa dan guru.
Kedua
pernyataan
tersebut
menjelaskan,
tes
formatif
diselenggarakan secara berkala setelah peserta didik menyelesaikan materi
belajarnya. Umumnya di sekolah, guru akan menyelenggarakan tes formatif
setelah peserta didik menempuh satu Kompetensi Dasar.
Pada prinsipnya tes formatif berfungsi sebagai umpan balik bagi
peserta didik dan guru. Sleeter Christine E. (2005: 74) menyatakan,
28
“formative assessment is using an on going tool to give students
feedback and to fine-tune instruction along the way”.
Penilaian formatif merupakan alat dan instruksi yang tepat untuk
memberikan umpan balik pada siswa dalam proses pembelajaran. Penilaian
yang direncanakan dalam satuan pembelajaran merupakan peilaian yang
dilakukan berdasarkan tes formatif.
Menurut Black Paul dan Dylan William (2009),
“consider an assessement „Formative‟ when the feedback from
learning activities is actually use to adapt the teaching to meet the
learner‟s needs”.
Mempertimbangkan penilaian 'Formatif' sebagai umpan balik dari kegiatan
belajar yang sebenarnya digunakan untuk menyesuaikan pengajaran dengan
memenuhi kebutuhan pembelajar.
Cruickshank, et all (2006: 283) juga mengatakan,
“the primary purpose is to provide feedback that can be used to plan
or to alter instruction. Formative Assessment enables the teacher to
form effective instruction and thereby improve students'
performance”.
Tes formatif dimaksudkan sebagai suatu kegiatan dengan tujuan untuk
memberikan umpan balik yang dapat digunakan untuk merencanakan atau
mengubah instruksi. Melalui tes formatif memungkinkan guru untuk
membentuk instruksi yang efektif, dengan demikian dapat meningkatkan
hasil belajar siswa. Tes ini dilakukan untuk mengetahui sejauh mana para
siswa telah memahami materi pelajaran dan juga untuk mengetahui
kelemahan-kelemahan yang terjadi pada proses pembelajaran, seperti
ketepatan penggunaan metode mengajar, media pembelajaran, dan sistem
29
evaluasi yang digunakan dalam proses pembelajaran tersebut. Kegiatan ini
dilakukan “sambil jalan” yang memiliki maksud bahwa tes formatif
diselenggarakan selama proses belajar mengajar masih berlangsung, agar
siswa dan guru mendapatkan informasi (feedback) yang tepat mengenai
kemajuan yang telah dicapai sehingga proses pembelajaran dapat
disempurnakan menjadi lebih baik.
Sama halnya dengan Ischak S. W dan Warji. R (1987: 65) yang
menyatakan, tes formatif terdapat pada bagian akhir setiap paket (lembaran
tes). Tes ini bertujuan untuk memonitor efektifitas proses belajar mengajar
dan bukan untuk memberikan penilaian terhadap hasil belajar siswa. Hasil
tes ini akan memberikan petunjuk kepada guru mengenai perubahan tingkah
laku yang terjadi pada diri masing-masing siswa sehubungan dengan isi
bahan pelajaran yang tercantum dalam paket belajar. Tes ini hendaknya
mampu menampilkan umpan balik baik untuk siswa maupun guru.
Mengenai di mana dan bagian materi yang mana siswa perlu mempelajari
kembali paket belajar. Tes formatif tidak dipakai untuk menentukan prestasi
hasil balajar siswa melainkan untuk dapat pindah ke paket belajar
berikutnya. Tes formatif ini disyaratkan penguasaan minimal 75 % untuk
dapat pindah ke paket belajar berikutnya.
Suharsimi Arikunto (2009: 35) menjelaskan tentang kelebihan dan
kekurangan tes formatif. Beberapa kelebihan tes formatif diantaranya
adalah:
a. Dapat langsung melihat pemahaman siswa di setiap satuan pembelajaran
b. Bisa dijadikan tolak ukur ketercapaian tujuan instruksinoal khusus
30
c. Melihat dan memperbaiki kelemahan dan keunggulan yang ada pada
siswa dan juga guru
d. Memberikan umpan balik pada siswa dan guru
Sedangkan kekurangan dari tes formatif sendiri adalah waktu yang
tersedia hanya sedikit, memerlukan banyak biaya dan menyita waktu guru
untuk membuat instrument dan memeriksa jawaban siswa (Suharsimi
Arikunto, 2009: 36).
Agar tes formatif dapat berfungsi sebagaimana mestinya, Suharsimi
Arikunto (2009: 36) juga mengungkapkan cara pengelolaan hasil tes
formatif. Cara pengolahan tes formatif adalah :
a. Menghitung persentase siswa yang gagal mengetahui sejauh mana tujuan
pengajaran dengan soal telah dicapai oleh kelas.
b. Menghitung persentase penguasaan kelas atas bahan yang telah
diajarkan, untuk mengetahui kriteria keberhasilan belajar telah tercapai.
c. Menghitung persentase jawaban yang benar setiap siswa dalam
keseluruhan tes, untuk mengetahui penguasaan siswa atas bahan yang
telah diajarkan
Berdasarkan uraian di atas, yang dimaksud dengan tes formatif
adalah prosedur yang bersifat sistematis untuk mengukur sampel tingkah
laku, mendiagnosis kesulitan belajar siswa, mengetahui kemajuan belajar
siswa dan memberikan makna feedback bagi guru dan siswa untuk
memperbaiki kekurangan guna mencapai hasil belajar yang optimal.
6. Kesulitan Belajar
Pada dasarnya, kesulitan belajar adalah suatu keadaan yang
menyebabkan peserta didik tidak dapat belajar sebagaimana mestinya. Hal
ini diungkapkan oleh Alisuf Sabri (1995: 88) bahwa kesulitan belajar yaitu
kesukaran siswa dalam menerima atau menyerap pelajaran di sekolah.
31
Mohammad Irham & Novan Ardy W. (2013: 253-254) juga
mengungkapkan,
“kesulitan belajar merupakan sebuah permasalahan yang
menyebabkan seorang siswa tidak dapat mengikuti proses
pembelajaran dengan baik seperti siswa lain pada umumnya yang
disebabkan oleh faktor-faktor tertentu sehingga ia terlambat atau
bahkan tidak dapat mencapai tujuan belajar yang diharapkan”.
Berbeda dengan Blassic dan Jones dalam Mohammad Irham &
Novan Ardy W (2013: 253-254). Ia mengungkapkan kesulitan belajar
adalah kesenjangan atau jarak antara prestasi akademik yang diharapkan
dengan prestasi akademik yang dicapai oleh siswa pada kenyataannya
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kesulitan
belajar adalah segala sesuatu yang membuat tidak lancar (lambat) atau
menghalangi seseorang dalam mempelajari, memahami serta menguasai
sesuatu untuk dapat mencapai tujuan. Siswa yang mengalami kesulitan
belajar akan sukar dalam menyerap materi-materi pelajaran yang
disampaikan oleh guru.
Peserta didik yang mengalami kesulitan belajar harus dideteksi sejak
dini agar tidak mengganggu keberhasilan belajarnya. Kesulitan belajar tidak
boleh dibiarkan berlarut-larut karena dikhawatirkan dapat menyebabkan
kegagalan belajar. Menurut Wood Derek, dkk (2007: 24), mengenali siswa
yang mengalami kesulitan belajar merupakan kegiatan yang sulit dan rumit.
Kesulitan belajar sulit diidentifikasi secara pasti dengan kasat mata karena
meliputi banyak jenisnya, banyak kemungkinan faktor penyebabnya, banyak
jenis gejala, serta kemungkinan penanganannya.
32
Blasic & Jones dalam Sugihartono, dkk (2012: 153) berpendapat lain
bahwa karakteristik siswa yang mengalami kesulitan belajar dapat
ditunjukkan dari kebiasaan atau behavioral dalam keseharian, cara
berbahasa dan cara berbicara, serta kemampuan intelektual dan prestasi
belajar yang dicapainya. Artinya, kecenderungan siswa yang mengalami
kesulitan belajar dapat terlihat dari kemampuan-kemampuan berfikir secara
kognitif, sikap keseharian selama di sekolah, dan ketrampilan atau perilaku
dalam mengikuti aktivitas belajar dan pembelajaran.
Wood Derek, dkk. (2007: 24), mengkategorikan peserta didik yang
mengalami kesulitan belajar ke dalam 4 kelompok yaitu (1) siswa
mengalami kesulitan dalam berbicara dan berbahasa, (2) siswa mengalami
permasalahan dalam hal kemampuan akademik, (3) siswa dalam kesulitankesulitan mengkoordinasikan gerak tubuh, dan (4) siswa dengan
permasalahan belajar lain yang belum cukup pada kategori-kategori
tersebut.
Sedangkan Sumandi Suryabrata dalam Sugihartono, dkk (2012: 153154), menjelaskan kriteria lain peserta didik yang memiliki kesulitan
belajar. Menurutnya indikator peserta didik yang mengalami kesulitan
belajar adalah sebagai berikut:
a. Grade level, yaitu apabila siswa tidak naik kelas sampai dua kali secara
berturut-turut pada satu kelas yang sama . misalanya siswa kelas X SMP
yang tidak naik-naik ke kelas XII sampai dua kali berturut-turut.
b. Age level, yaitu terjadi apabila umur siswa tidak sesuai dengan tingkat
sesuai dengan tingkat kelas pada umumnya. Misalnya, anak umur 12
tahun baru kelas 2 SD.
c. Intellegence level, yaitu terjadi pada siswa yang under achiever, artinya
secara potensi siswa yang bersangkutan baik, namun dalam kenyataannya
33
hasil belajarnya selalu berada di bawah potensi yang seharusnya dapat
dicapai. Misalnya, sejak kelas X sampai kelas XI nilai matematikanya
bagus, namun ketika di kelas XII nilai matematikanya sangat tidak bagus.
d. General level, yaitu terjadi pada siswa yang secara umum dapat
menguasai hampir seluruh mata pelajaran dengan nilai yang baik, namun
terdapat kelemahan pada satu atau lebih mata pelajaran dengan nilai yang
sangat rendah jauh di bawah batas lulus. Maka, pada mata pelajaran
tersebutlah siswa dianggap mengalami kesulitan belajar. Misalnya, siswa
yang mendapat nilai rata-rata 80-90 pada 8 mata pelajaran, sedangkan
pasa 2 mata pelajaran lain, yaitu matematika dan kimia nilainya 35 dan
40 sehingga siswa mengalami kesulitan belajar pada mata pelajaran
kimia dan matematika.
Entang (1983:13) juga mengungkapkan bahwa siswa yang memiliki
hambatan belajar akan diketahui dari beberapa ciri dan karakteristik yang
ditunjukkan siswa tersebut. Beberapa ciri tersebut antara lain: 1) hasil
belajar siswa rendah, 2) hasil yang didapatkannya tidak sesuai dengan usaha
yang dilakukan siswa, 3) lambat dalam melakukan dan menyelesaikan
tugas-tugas dan kegiatan belajar.
Memperhatikan ciri-ciri peserta didik yang mengalami kesulitan
belajar dari para ahli, maka dapat disimpulkan bahwa peseta didik yang
mengalami kesulitan belajar menunjukkan gejala-gejala atau ciri-ciri:
a. prestasi belajar yang rendah atau berada di bawah rata-rata yang dicapai
oleh siswa lain dalam satu kelas.
b. hasil belajar atau prestasi belajar yang diperoleh tidak seimbang dengan
usaha yang dilakukan, artinya meskipun usahanya sudah keras, namun
nilainya selalu rendah.
c. lambat dalam melakukan tugas-tugas belajar, artinya ia selalu tertinggal
dalam mengerjakan soal-soal, dalam mengerjakan tugas-tugas, dan
sebagainya.
34
d. sikap yang tidak atau kurang wajar selama proses pembelajaran,
misalnya membolos, sering tidak masuk pada mata pelajaran mata
pelajaran tertentu, dan sebagainya.
Kesulitan belajar dipengaruhi oleh berbagai faktor. Faktor-faktor
tersebut pada dasarnya, merupakan komponen-komponen yang berpengaruh
pada proses belajar mengajar itu sendiri. Abu Ahmadi (2007: 78-93)
menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi kesulitan belajar peserta
didik adalah faktor intern (faktor dari dalam diri peserta didik) dan faktor
ekstern (faktor yang timbul dari luar diri peserta didik).
a. Faktor Intern
1) Faktor Fisiologis
Merupakan faktor-faktor yang berhubungan dengan kondisi fisik
individu. Faktor ini ada dua macam yaitu keadaan jasmani peserta
didik (sehat, sakit, adanya kelemahan atau cacat tubuh) dan keadaan
fungsi fisiologis peserta didik (Abu Ahmadi. 2007: 79).
2) Faktor Psikologis
Faktor psikologis meliputi tingkat intelegensia, bakat terhadap mata
pelajaran, sikap, minat, dan motivasi (Abu Ahmadi. 2007: 82).
a) Intelegensia
Kecerdasan/intelegensi peserta didik merupakan faktor psikologis
yang paling penting dalam proses belajar. Semakin tinggi tingkat
intelegensi seorang individu, semakin besar peluang individu
meraih sukses dalam belajar. Sebaliknya, semakin rendah tingkat
35
intelegensi individu, semakin sulit individu itu mencapai
kesuksesan belajar (Abu Ahmadi. 2007: 82).
b) Bakat
Bakat adalah potensi dasar yang dibawa sejak lahir. Dengan
demikian, setiap individu pasti memiliki bakat dalam arti
berpotensi untuk mencapai prestasi sampai ke tingkat tertentu
sesuai dengan kapasitas masing-masing. Apabila bakat seseorang
sesuai dengan bidang yang sedang dipelajarinya, maka bakat itu
akan mendukung proses belajarnya sehingga kemungkinan besar
akan berhasil (Abu Ahmadi. 2007: 83).
c) Minat
Minat adalah kecenderungan dan kegairahan yang tinggi atau
keinginan yang besar terhadap sesuatu. Menurut S.B. Djamarah
(2002: 132), minat adalah suatu rasa lebih suka dan rasa
ketertarikan pada suatu hal atau aktivitas tanpa ada yang
menyuruh. Seseorang yang berminat terhadap suatu aktivitas akan
melakukan aktivitas tersebut secara konsisten dan senang.
d) Motivasi
Motivasi merupakan keseluruhan daya penggerak di dalam diri
peserta didik yang menimbulkan kegiatan belajar, yang menjamin
kelangsungan dan kegiatan belajar (S.B. Djamarah. 2002: 132).
Motivasi dapat menentukan baik tidaknya peserta didik dalam
mencapai tujuan belajar, sehingga semakin besar motivasinya
36
semakin besar kesuksesan belajarnya. Sebaliknya mereka yang
motivasinya lemah, mudah putus asa, perhatiannya tidak tertuju
pada pelajaran, sering meninggalkan pelajaran, akibatnya banyak
mengalami kesulitan belajar.
e) Sikap
Sikap adalah pandangan-pandangan atau perasaan yang disertai
kecenderungan untuk bertindak sesuai sikap objek (Abu Ahmadi.
2007: 86). Sikap yang pasif, rendah diri, dan kurang percaya diri
merupakan, faktor yang menghambat siswa dalam menampilkan
prestasi belajar. Sikap siswa yang positif terhadap mata pelajaran
di sekolah merupakan langkah awal yang baik dalam proses
belajar mengajar di sekolah sehingga siswa tidak mengalami
kesulitan dalam belajar.
b. Faktor Ekstern
1) Faktor Nonsosial
Faktor nonsosial meliputi sarana dan prasarana seperti peralatan
belajar atau media belajar, kondisi ruang belajar atau gedung,
kurikulum, waktu pelaksanaan proses pembelajaran, dan sebagainya
(Abu Ahmadi. 2007: 88).
2) Faktor Sosial
a) Faktor Keluarga
37
Keluarga merupakan pusat pendidikan yang utama dan pertama.
Faktor keluarga yang dapat berpengaruh terhadap proses belajar
peserta didik seperti:
(1) Faktor orang tua, meliputi cara mendidik anak, perhatian dan
arahan orang tua, keluarga yang mendukung, hubungan orang
tua dengan anak dan bimbingan dari orang tua
(2) Suasana rumah. Suasana rumah. Suasana rumah atau keluarga
yang sangat ramai/gaduh, selalu banyak masalah di antara
anggota keluarga menyebabkan anak tidak tahan di rumah,
sehingga tidak mustahil kalau prestasi belajar anak menurun.
Untuk itu hendaknya suasana rumah dibuat menyenangkan,
tentram, damai, harmonis, agar anak betah tinggal di rumah.
Keadaan ini akan menguntungkan bagi kemajuan belajar anak.
(3) Keadaan ekonomi. Keadaan ekonomi yang kurang akan
menimbulkan kurangnya alat-alat belajar, kurangnya biaya
yang disediakan oleh orang tua, dan tidak mempunyai tempat
belajar yang baik. Keadaan seperti itu akan menghambat
kemajuan belajar anak.
(Abu Ahmadi. 2007: 90).
b) Faktor Sekolah
Meliputi faktor guru, administrasi, teman-teman sekelas, dan
sebagainya (Abu Ahmadi. 2007: 91).
c) Faktor Masyarakat
38
Faktor ini meliputi: (1) teman bergaul. Anak yang bergaul dengan
teman yang tidak sekolah, ia akan malas belajar. Sebab cara hidup
anak yang bersekolah berlainan dengan anak yang tidak sekolah,
(2) lingkungan tetangga dan juga (3) aktivitas dalam masyarakat.
Terlalu banyak berorganisasi akan menyebabkan belajar anak akan
terbengkalai (Abu Ahmadi. 2007: 92-93).
Menurut S.B. Djamarah (2002: 201-205) faktor penyebab kesulitan
belajar peserta didik digolongkan menjadi empat yaitu :
a. Faktor anak didik, antara lain berhubungan dengan kesehatan seperti
keadaan fisik yang kurang menunjang dan kesehatan yang kurang baik.
Selain itu faktor lain yang termasuk di dalamnya ialah emosional,
motivasi dalam belajar, minat siswa terhadap mata pelajaran tertentu,
sikap dan bakat siswa dalam mengikuti pembelajaran, dan lain
sebagainya (S.B. Djamarah. 2002: 201).
b. Faktor sekolah, antara lain alat atau media, fasilitas sekolah, suasana
sekolah, serta metode mengajar guru. Seringkali penugasan dari guru
menuntut standar pelajaran di atas kemampuan anak. Akibatnya hanya
sebagian kecil anak didik bisa berhasil dengan baik dalam belajar (S.B.
Djamarah. 2002: 203).
c. Faktor keluarga, antara lain ketersediaan fasilitas belajar di rumah,
ekonomi keluarga, perhatian orang tua, hubungan orang tua dengan anak,
kondisi dan suasana lingkungan keluarga dan sebagainya (S.B.
Djamarah. 2002: 204).
39
d. Faktor masyarakat sekitar, seperti kondisi lingkungan, pergaulan,
aktivitas di dalam masyarakat, media massa dan elektronik, dan lain-lain
(S.B. Djamarah. 2002: 205).
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa secara
garis besar faktor yang mempengaruhi kesulitan belajar peserta didik dapat
berasal dari dalam dan luar diri peserta didik.
7. Tes Diagnostik
Para ahli mempunyai pendapat yang berbeda-beda tentang tes
diagnostik. Secara umum, tes diagnostik berfungsi untuk mengidentifikasi
kesulitan belajar peserta didik. Suharsimi Arikunto (2009: 34) berpendapat
bahwa tes diagnostik adalah tes yang digunakan untuk mengetahui kelemahankelemahan siswa sehingga berdasarkan kelemahan-kelemahan tersebut dapat
diberikan perlakuan-perlakuan yang tepat.
Hopkins C. D. dan Antes R. L.
diagnostik
adalah
alat
atau
instrumen
(1979: 56) menyatakan, tes
yang
digunakan
untuk
mengidentifikasi kesulitan belajar. Setiap tes disusun untuk menentukan
satu atau lebih ketidakmampuan siswa. Guru harus mengetahui di mana
seharusnya memulai pengajaran dan ketrampilan apa yang harus ditekankan.
Jika tidak, kelemahan siswa tidak akan diketahui dan program pengajaran
pendahuluan tidak dapat dibuat. Oleh karena itu diagnosis yang diteliti
merupakan hal penting untuk menyesuaikan semua aspek pengajaran seperti
tujuan, materi pelajaran, dan teknik mengajar dengan kebutuhan siswa.
40
Menurut Thorndike R. L. dan Hagen E. P. (2005: 172) diagnostik
pada intinya mencari kembali ke belakang tentang kesulitan yang muncul
dan berkembang. Untuk menemukannya tidak bisa dilakukan dengan
segera, diperlukan sebuah analisis kemampuan yang lengkap dan seksama.
Biasanya menggunakan tes diagnostik yang soal-soalnya disusun dari yang
mudah hingga ke yang sukar.
Depdiknas (2007: 3) memaknai tes diagnostik sebagai tes yang dapat
digunakan untuk mengetahui kelemahan dan kekuatan siswa. Dengan
demikian, hasil tes diagnostik dapat digunakan sebagai dasar memberikan
tindak lanjut berupa perlakuan yang tepat dan sesuai dengan kelemahan
yang dimiliki siswa. Tes diagnostik memiliki beberapa karakteristik:
a. dirancang untuk mendeteksi kelemahan belajar siswa, karena itu format
dan respons yang dijaring harus didesain memiliki fungsi diagnostik
b. dikembangkan berdasarkan analisis terhadap sumber-sumber kesalahan
yang mungkin menjadi penyebab munculnya masalah siswa
c. menggunakan soal-soal bentuk constructed response (uraian atau
jawaban singkat), sehingga mampu menangkap informasi secara
lengkap. Dalam kondisi tertentu dapat mengunakan bentuk selected
response (pilihan ganda), namun harus disertakan penjelasan mengapa
peserta tes memilih jawaban tertentu
d. disertai rancangan tindak lanjut yang sesuai dengan kesulitan yang
teridentifikasi.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, tes diagnostik adalah
tes yang dapat digunakan untuk mengetahui kesulitan belajar yang dihadapi
peserta didik. Hasil tes diagnostik akan memberikan informasi tentang
konsep-konsep yang belum dipahami dan yang telah dipahami peserta didik
sebagai dasar guru dalam memberikan tindak lanjut.
41
Dalam mengembangkan tes diagnostik ada beberapa pendekatan
yang dapat digunakan sesuai dengan tujuan dari tes diagnostik yang akan
dibuat. Ditjen Pendidikan Dasar dan Menengah (2003: 3-5) menjelaskan
pendekatan tersebut adalah pendekatan profil materi, prasyarat pengetahuan,
pencapaian indikator, miskonsepsi, dan pengetahuan terstruktur.
a. Pendekatan profil materi
Digunakan untuk mendiagnosis kekuatan dan kelemahan siswa dalam
penguasaan materi pada suatu kompetensi dasar tertentu.
b. Pendekatan prasyarat pengetahuan
Digunakan jika kita ingin mengetahui kemampuan siswa dalam mencapai
kompetensi dasar sebelumnya (prasyarat).
c. Pendekatan pencapaian indikator
Digunakan jika kita ingin mendiagnosis kegagalan siswa dalam mencapai
indikator tertentu.
d. Pendekatan miskonsepsi
Digunakan jika kita ingin mengetahui tingkat miskonsepsi dari siswa.
e. Pendekatan pengetahuan terstruktur
Apabila kita ingin mendiagnosis kegagalan siswa dalam memecahkan
pengetahuan terstruktur.
Penskoran dan penafsiran tes diagnostik harus memperhatikan
beberapa hal. Depdiknas (2007: 12-13) menguraikan hal-hal yang harus
diperhatikan ketika penskoran dan penafsiran tes diagnostik, yaitu:
a. Selain memberikan hasil kuantitatif berupa skor tertinggi bila responsnya
lengkap dan skor terendah bila responsnya paling minim, kegiatan
penskoran juga harus mampu merekam jenis kesalahan (type error) yang
ada dalam respons siswa. Siswa dengan skor sama, misalnya sama-sama
0 (berarti responsnya salah) belum tentu memiliki type error yang sama
juga, karena itu mengidentifikasi penyebab terjadinya kesalahan jauh
lebih bermakna dibandingkan dengan menentukan berapa jumlah
kesalahannya atau berapa skor total yang dicapainya. Hasil identifikasi
type error menjadi dasar interpretasi yang akurat (Depdiknas. 2007: 12).
b. Bila tes diagnostik terhadap suatu indikator dibangun oleh sejumlah butir
soal perlu ditentukan batas pencapaian untuk menentukan bahwa seorang
siswa itu dinyatakan bermasalah. Juga perlu ditentukan batas toleransi
untuk jumlah dan jenis type error yang boleh terjadi. Batas pencapaian
ini dapat ditentukan sendiri oleh guru berdasar pengalamannya atau
berdiskusi dengan guru-guru serumpun (Depdiknas. 2007: 13).
42
c. Tes diagnostik menggunakan acuan kriteria (criterion- referenced),
karena hasil tes diagnostik yang dicapai oleh seorang siswa tidak
digunakan untuk membandingkan siswa tersebut dengan kelompoknya
melainkan terhadap kriteria tertentu sehingga ia dapat diklasifikasikan
“sakit dan membutuhkan terapi” ataukah “sehat” sehingga dapat
mengikuti kegiatan pembelajaran berikutnya (Depdiknas. 2007: 13).
Kegiatan guru menindaklanjuti hasil tes diagnostik peserta didiknya
berupa perlakuan-perlakuan yang sesuai dengan permasalahan atau
kesulitan yang dihadapi. Kegiatan tindak lanjut untuk menyelesaikan
permasalahan peserta didik, tidak hanya tertuju kepada peserta didik itu
sendiri, melainkan juga kepada semua pihak yang terkait dengan kegiatan
pembelajaran dan berkontribusi menimbulkan permasalahan peserta didik.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan agar dapat menindaklanjuti hasil tes
diagnostik dengan baik adalah:
a. Kegiatan tindak lanjut dilakukan betul-betul berdasarkan hasil analisis tes
diagnostik secara cermat. Tindak lanjut tidak selalu berupa kegiatan
remidial di kelas, tetapi dapat juga berupa tugas rumah, observasi
lingkungan, kegiatan tutor sebaya, dan lain-lain sesuai masalah atau
kesulitan yang dihadapi peserta didik. Kegiatan tidak lanjut juga tidak
selalu dilakukan secara individu, tetapi dapat juga dilakukan secara
kelompok bergantung pada karakteristik masalah yang dihadapi peserta
didik (Depdiknas. 2007: 14).
b. Mengatasi permasalahan yang disebabkan oleh miskonsepsi
membutuhkan kesabaran, keuletan, dan kecerdasan guru. Miskonsepsi
sulit bila hanya diatasi melalui informasi atau penjelasan, oleh karena itu
perlu dirancang aktivitas atau pengamatan secara langsung untuk
memperbaikinya (Depdiknas. 2007: 14).
c. Kegiatan tindak lanjut diberikan secara bertahap dan berkelanjutan. Tes
diagnostik pada hakikatnya merupakan bagian dari ulangan harian, maka
pelaksanaannya juga perlu diatur sehingga tidak tumpang tindih
(overlapping) dan tidak memberatkan peserta didik maupun guru
(Depdiknas. 2007: 15).
d. Perlu dirancang program sekolah yang mendukung dan memberikan
kemudahan bagi guru untuk mengadministrasi, melaporkan, dan
menindaklanjuti hasil tes diagnostik, misalnya penyediaan sarana dan
tenaga teknis, pemberian insentif atau penghargaan, dan programprogram lain yang mendukung profesionalitas guru, misalnya lokakarya,
43
workshop, dan penelitian yang mengangkat hasil-hasil tes diagnostik.
Selain untuk evaluasi di sekolah, bila memungkinkan hasil analisis tes
diagnostik juga dikirimkan atau dilaporkan kepada orang tua peserta
didik, sehingga secara bersama-sama dapat membantu peserta didik
dalam memecahkan masalahnya (Depdiknas. 2007: 15).
8. Tes Formatif yang Berfungsi sebagai Tes Diagnostik
Tes formatif yang berfungsi sebagai tes diagnostik adalah tes yang
dapat digunakan untuk mengukur kemampuan belajar peserta didik
sekaligus kesulitan belajarnya. Sebagaimana yang dinyatakan Bambang
Subali (2016: 8) dalam bukunya yang berjudul Prinsip Asesmen dan
Evaluasi Pembelajaran bahwa,
“penilaian formatif bertujuan untuk memperoleh informasi tentang
kemajuan taraf pengetahuan, keterampilan, atau sikap peserta didik
selama terlibat dalam proses pembelajaran. Namun dalam hal ini,
seberapa jauh peserta didik mengalami kesulitan belajar juga harus
dipantau sehingga dalam penilaian formatif sekaligus dapat
dilakukan penilaian diagnostik”.
Nitko Anthony J. (1996: 8) juga menjelaskan tentang tes formatif
yang berfungsi sebagai tes diagnostik. Ia menyatakan bahwa di dalam tujuan
tes formatif juga memuat tujuan tes diagnostik. Tujuan tes formatif itu
adalah: (1) mengetahui kelebihan, kelemahan, karakteristik belajar, dan
kepribadian siswa pada awal pembelajaran guna penetapan teknik
pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan siswa; (2) membantu guru
dalam mendiagnosis apa yang telah dan belum dipelajari siswa secara
perorangan sehingga pembelajaran dapat disesuaikan dengan kebutuhan
mereka; (3) membantu guru dalam mengidentifikasi perkembangan belajar
siswa secara keseluruhan untuk mengetahui materi apa yang memerlukan
penguatan atau pengajaran remedial dan kapan kelas itu siap beralih
44
kepelajaran selanjutnya; (4) membantu guru dalam merencanakan materi
pengajaran yang tepat, memutuskan materi apa yang perlu diperdalam, dan
bagaimana mengatur serta mengelola kelas sebagai suatu lingkungan
belajar.
Thomas R. Guskey dalam bukunya James H. Mc Millan (2007: 70),
menggambarkan kedudukan tes formatif yang berfungsi sebagai tes
diagnostik dalam pembelajaran, yaitu sebagai berikut:
Unit
1
Enrichment
Activities
Unit
1
Formative
Assessment
A
Correctives
Formative
Assessment
B
Tes Formatif sebagai Tes Diagnostik
Gambar 1. Kedudukan Tes Formatif sebagai Tes Diagnostik
(Sumber: James H. Mc Millan. 2007: 70)
Kedudukan tes formatif yang berfungsi sebagai tes diagnostik dalam
pembelajaran setara dengan ulangan harian. Ulangan harian mempunyai
fungsi seperti penilaian formatif pada umumnya yaitu untuk mengukur
kemampuan belajar peserta didik. Tes formatif yang berfungsi sebagai tes
diagnostik dapat memberikan informasi dengan skala yang lebih luas,
berupa informasi skor dan nilai peserta didik; kedudukan peserta didik di
kelasnya dibandingkan dengan nilai Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM)
45
yang ditetapkan; profil individual peserta didik yang berupa deskripsi
tentang konsep-konsep apa saja yang sudah dipahami dan konsep-konsep
apa saja yang belum dipahami; serta informasi dugaan kuat penyebab
peserta didik mengalami kesulitan belajar pada setiap konsepnya.
Melalui tes formatif yang berfungsi sebagai tes diagnostik, guru
dapat langsung memberikan tindak lanjut yang tepat kepada peserta didik
berdasarkan informasi yang didapatkan dari tes tersebut. Peserta didik yang
sudah mencapai kompetensi yang ditargetkan dapat menempuh program
pengayaan sedangkan peserta didik yang belum mencapai kompetensi dapat
langsung menempuh program remediasi yang tepat berdasarkan hasil
diagnosis kesulitan belajarnya.
Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan Nana Sudjana (2006: 5)
bahwa, dalam penilaian formatif selain memiliki fungsi umpan balik juga
sekaligus di dalamnya terdapat fungsi diagnostik untuk mengetahui
kelemahan-kelemahan siswa, sehingga dapat dilakukan perbaikan-perbaikan
dalam pembelajaran. Setelah informasi daya serap masing-masing siswa
diketahui berdasarkan hasil formatif, selanjutnya dilakukan penilaian untuk
mengetahui tingkat ketuntasan belajar (mastery of learning) setiap siswa.
Bagi siswa yang belum mencapai ketuntasan, diketahui kelemahan
belajarnya melalui informasi diagnostik yang diperoleh. Selanjutnya pada
indikator-indikator atau kompetensi-kompetensi yang belum tuntas masingmasing siswa diberikan remedial.
46
Dari uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa tes formatif yang
berfungsi sebagai tes diagnostik mempunyai banyak kelebihan. Selain
mengukur kemampuan belajar peserta didik, tes ini juga sekaligus
mengukur kesulitan belajar peserta didik sehingga guru dapat langsung
merencanakan tindak lanjut yang tepat berdasarkan informasi yang
didapatkan.
B. Tinjauan Keilmuan
Animalia
1. Karakteristik Umum Hewan
Hewan merupakan makhluk hidup yang mampu beradaptasi di
berbagai lingkungan. Hewan dapat hidup di darat, laut, air tawar, kutub, dan
padang pasir (gurun). Adapun karakteristik hewan menurut Campbell Neil
A. & Reece J. B. (2003: 225) meliputi hal-hal berikut ini:
a. Hewan termasuk ke dalam eukariot multiseluler, tidak berklorofil
sehingga hidup sebagai organisme heterotrofik.
b. Sebagian besar hewan bereproduksi secara seksual, dan tahap diploid
umumnya mendominasi siklus hidup.
c. Sel-sel hewan tidak memiliki dinding sel yang menyokong tubuh dengan
kuat seperti halnya tumbuhan dan fungi.
d. Hewan adalah makhluk hidup yang motil (aktif bergerak) selama tahap
tertentu dalam siklus hidupnya. Hewan yang diam sekalipun, misalnya
hewan spons, memiliki tahap motil berupa larva yang berenang.
47
Selain memiliki persamaan ciri umum, hewan memiliki banyak
perbedaan yang menunjukkan keanekaragamannya. Perbedaan ciri pada
hewan tampak dari struktur tubuhnya. Pada umumnya pengelompokkan
dunia hewan berdasarkan ada tidaknya tulang belakang, yaitu Avertebrata
(hewan tidak bertulang belakang) dan Vertebrata (hewan bertulang
belakang) (Campbell Neil A. & Reece J. B. 2003: 226).
Berdasarkan ada tidaknya jaringan penyusun tubuh, hewan
dikelompokkan menjadi dua, yaitu Parazoa dan Eumetazoa. Parazoa adalah
hewan yang tidak memiliki jaringan yaitu seperti anggota filum Porifera
(hewan spons). Sementara Eumetazoa adalah hewan yang memilki jaringan,
yaitu anggota filum Coelenterata, Platyhelminthes, Nemathelminthes,
Annelida, Mollusca, dan lainnya (Campbell Neil A. & Reece J. B. 2003:
226).
Berdasarkan simetrinya, tubuh Eumetazoa ada yang simetri radial
dan ada pula yang simetri bilateral. Banyak di antara hewan radial adalah
sesil (melekat pada substrat). Simetri radial melengkapi hewan untuk dapat
menghadapi lingkungan yang sama baik dari semua sisi. Sebaliknya, simetri
bilateral terjadi sehubungan dengan cara hidup yang banyak bergerak
(Yusuf Kastawi, dkk. 2005: 2).
Hewan dengan tubuh simetri radial memiliki tubuh dorsal (bagian
atas) dan ventral (bagian bawah), atau bagian oral (mulut) dan bagian
aboral, tetapi tidak memiliki tubuh anterior (bagian depan) dan posterior
(bagian belakang), dan tidak ada kiri dan kanan. Potongan khayal yang
48
melalui sumbu pusat hewan ke arah manapun akan membagi tubuh hewan
menjadi dua atau lebih bagian yang sama. Contohnya adalah Hydra,
anemon laut, medusa ubur-ubur (Yusuf Kastawi, dkk. 2005: 2).
Hewan dengan simetri bilateral tidak hanya memiliki tubuh bagian
dorsal dan ventral, tetapi juga memiliki tubuh bagian anterior dan posterior
dan sisi kiri serta sisi kanan. Potongan khayal membagi tubuh hewan
menjadi dua bagian sama besar pada satu bidang datar. Contohnya antara
lain udang dan belalang (Yusuf Kastawi, dkk. 2005: 3).
Menurut Imaningtyas (2013: 299) tubuh hewan Eumetazoa memiliki
lapisan embrional yaitu lapisan yang terbentuk saat perkembangan embrio.
Pada semua hewan kecuali spons, lapisan embrional akan berdiferensiasi
membentuk jaringan dan organ tubuh. Ektoderm, lapisan yang menutup
permukaan embrio, akan menjadi penutup luar pada hewan, dan pada
beberapa filum, menjadi sistem saraf pusat. Endoderm, lapisan mutfah yang
paling dalam, menutupi pipa pencernaan yang sedang berkembang, dan
berkembang menjadi saluran pencernaan dan organ-organ yang berasal
darinya, seperti hati dan paru-paru Vertebrata. Semua Eumetazoa kecuali
Coelenterata memiliki lapisan nutfah yang ketiga, yaitu mesoderm, lapisan
ini terletak di antara ektoderm dan endoderm. Mesoderm membentuk otot
dan sebagian besar organ lain yang berada di antara saluran pencernaan dan
penutup bagian luar hewan.
Campbell Neil A. & Reece J. B. (2003: 230) mengatakan bahwa
hewan yang memiliki dua lapisan embrional disebut dengan hewan
49
diploblastik. Hewan diploblastik mencangkup filum Coelenterata (Cnidaria
dan Ctenophora). Hewan yang memiliki tiga lapisan embrional disebut
dengan hewan triploblastik. Hewan triploblastik mencangkup semua hewan
Eumetazoa kecuali filum Coelenterata.
2. Filum Porifera
Porifera (Latin, porus = pori, fer = membawa) atau spons atau
hewan berpori adalah sebuah filum untuk hewan multiseluler yang paling
sederhana. Kasijan Romimohtarto dan Sri Juwana (2007: 114) menyebutkan
bahwa sebagian besar hewan ini hidup di laut dan hanya beberapa jenis
yang hidup di air tawar. Porifera dewasa hidup sesil atau melekat di suatu
substrat.
Hewan ini memiliki ciri umum yaitu tubuhnya berpori seperti busa
atau spons sehingga Porifera sering disebut sebagai hewan spons. Yusuf
Kastawi, dkk (2005: 38), menjelaskan bahwa ukuran tubuh Porifera sangat
bervariasi, umumnya asimetris (tidak beraturan) meskipun ada yang simetri
radial. Bentuknya ada yang seperti tabung, vas bunga, mangkuk, atau
bercabang seperti tumbuhan. Imaningtyas (2013: 301) menambahkan bahwa
tubuh Porifera berwarna-warni, berwarna pucat, atau cerah.
Menurut Imaningtyas (2013: 301), pada permukaan tubuh Porifera
terdapat lubang-lubang atau pori-pori (ostium) yang merupakan lubang
masuknya air. Air masuk melalui rongga sentral (spongosol) dan akan
bermuara pada lubang besar yang dinamakan oskulum. Pada kondisi
50
tertentu, sel-sel yang berada di sekitar pori dan oskulum berkontraksi, dan
menutup permukaan lubang itu.
Tubuh Porifera terdiri atas tiga lapisan sel yaitu pinakosit, mesohil,
dan koanosit. Pinakosit, merupakan sel-sel lapisan tubuh paling luar yang
memiliki fungsi untuk melindungi tubuh bagian dalam. Di antara pinakosit
terdapat pori-pori (ostium) yang membentuk saluran air menuju spongosol.
Mesohil, lapisan yang terletak di antara lapisan luar (pinakosit) dan lapisan
dalam (koanosit). Mesohil mengandung sel-sel yang bergerak secara
amoeboid yang disebut amoebosit. Amoebosit ini memiliki fungsi sebagai
pengangkut zat makanan, metabolisme, membawa nutrient ke sel lain
Imaningtyas (2013: 301). Menurut Campbell Neil A. & Reece J. B. (2003:
214), amoebosit juga membentuk serat rangka yang keras dalam mesohil.
Koanosit, merupakan sel lapisan tubuh paling dalam yang melapisi
spongosol. Koanosit ini berfungsi untuk mencerna makanan secara
intraseluler.
Gambar 2. Bagian Organ Sponge
(Sumber: Adun Rusyana. 2011: 19)
51
Hewan Porifera bereproduksi secara aseksual dan seksual.
Reproduksi secara aseksual terjadi dengan pembentukan tunas dan genmule
(tunas internal) (Campbell Neil A. & Reece J. B. 2003: 215). Sedangkan
reproduksi secara seksual dilakukan dengan cara peleburan sel sperma
dengan sel ovum, pembuahan ini terjadi di luar tubuh Porifera karena belum
memiliki alat reproduksi khusus. Baik ovum maupun spermatozoidnya
berkembang dari amoebosit khusus yang disebut arkeosit yang ditemukan
dalam mesoglea (Yusuf Kastawi, dkk. 2005: 48).
Berdasrkan
bahan
pembentuk
kerangka
tubuhnya,
Porifera
dikelompokkan menjadi tiga kelas menurut Kasijan Romimohtarto dan Sri
Juwana (2007: 119), yaitu:
a. Kelas Calcarea (Latin, calcarius = kapur) dengan spikula dari kapur
karbonat. Hewan ini tumbuh di batu dekat pantai, tepat di bawah garis air
surut. Contoh hewan dari kelas ini adalah Scypa, Grantia, Sycon
ciliatum, Leucosolenia.
b. Kelas Hexactinellida (Yunani, hex = enam, aktin = jari-jari), dengan
kerangka tubuh berupa spikula dari silikon berbentuk triakson, bentuk
tubuh umumnya berbentuk silinder atau corong. Misalnya Euplectella
aspergilium.
c. Kelas Demospongia (Yunani, demos = tebal, spongos = spons). Kelas ini
adalah kelompok hewan Porifera yang tersebar luas di alam.
Demospongia umumnya berwarna cerah, tetapi ada juga yang berwarna
gelap (hitam). Hewan kelas ini hidup di tepi pantai hingga kedalaman 45
52
m. Contohnya adalah Cliona celata, Halichondria, Oscarella, Euspongia
sp., dan Spongilla sp.
Berdasarkan tempat proses terjadinya pengambilan zat-zat makanan
atau sistem saluran air, Adun Rusyana (2011: 23) membagi Porifera menjadi
tiga tipe yaitu:
a. Tipe Ascon
Merupakan tipe yang paling sederhana, proses pengambilan zat-zat
makanan terjadi di dalam spongocoel.
b. Tipe Sycon
Proses pengambilan makanan terjadi di dalam rongga berflagel
c. Tipe Leucon/ Rhagon
Proses pengambilan zat-zat makanan terjadi di kamar (ruang) kecil yang
berflagel yang terdapat di bagian tengah saluran. Flagel tersebut berasal
dari koanosit-koanosit yang melapisi dinding kamar/ ruang tersebut.
Gambar 3. Tipe Ascon (A), Sycon (B dan C), dan Leucon (D)
(Sumber: Adun Rusyana. 2011: 24)
Porifera juga memiliki beberapa peranan dalam kehidupan manusia,
misalnya digunakan untuk hiasan di dalam akuarium air laut Axinella
cannabina (berwarna oranye), Hippospongia dimanfaatkan untuk spons
53
mandi, Cliona dapat membantu proses pelapukan dengan mengebor batu
karang dan cangkang Mollusca yang keras.
3. Filum Coelenterata
Coelenterata berasal dari bahasa Yunani (coilos = rongga dan
enteron = usus). Namun, istilah Coelenterata tidak diartikan sebagai hewan
yang ususnya berongga, melainkan cukup disebut hewan berongga.
Coelenterata tidak mempunyai rongga tubuh yang sebenarnya tetapi hanya
berupa rongga sentral yang disebut coelenterons. Rongga ini berfungsi
sebagai rongga pencernaan dan sebagai pengedar sari makanan, sehingga
disebut juga sebagai rongga gastrovaskular. (Yusuf Kastawi, dkk. 2005:
55).
Tubuh Coelenterata tersusun oleh banyak sel dan sudah membentuk
jaringan, namun perkembangan organ tubuhnya masih terbatas. Tubuh
hewan ini tersusun oleh dua lapis jaringan dan satu lapisan non selular.
Bagian luar berupa lapisan epidermis dan bagian dalam lapisan endodermis
atau gastrodermis, di antara kedua lapisan tersebut terdapat lapisan non
selular yang disebut mesoglea. Terdapat alat penyengat yang disebut
nematokist yang biasanya ditemukan pada tentakel. Bentuk tubuh
Coelenterata dikelilingi oleh tentakel dan langsung berhubungan dengan
usus atau rongga gastrovaskular. Saluran pencernaannya tidak mempunyai
anus dan belum memiliki alat pernapasan, sirkulasi maupun ekskresi yang
khusus (Yusuf Kastawi, dkk. 2005: 55).
54
Bentuk tubuh Coelenterata memiliki dua variasi yaitu polip dan
medusa. Polip berbentuk silindris, menempel ke substrat melalui sisi aboral
(berlawanan arah dengan mulut) tubuhnya dan menjulurkan tentakelnya,
menunggu mangsa. Medusa adalah suatu versi polip dengan mulut di bawah
dan bentuk yang lebih rata. Medusa berbentuk seperti payung, atau
mangkuk terbalik. Medusa bergerak secara bebas dalam air dengan
kombinasi pergeseran pasif saat terbawa arus air atau secara aktif dengan
kontraksi tubuhnya yang berbentuk lonceng (Bagod Sudjadi dan Siti Laila.
2006: 210).
Campbell Neil A. & Reece J. B. (2003: 215) menambahkan bahwa
hewan ubur-ubur merupakan tahap dari medusa. Tentakel suatu ubur-ubur
akan menjuntai dari permukaan mulut, dan menunjuk ke arah bawah.
Beberapa hewan Coelenterata hanya ada sebagai polip, yang lain hanya ada
sebagai medusa, dan masih ada juga yang melewati tahapan medusa dan
tahapan polip dalam siklusnya secara berurutan.
Menurut Adun Rusyana (2011: 25) Coelenterata memiliki susunan
saraf yang masih bersifat primitif atau dapat dikatakan masih belum
mempunyai pusat susunan saraf (mempunyai saraf difus). Hewan
Coelenterata bereproduksi secara aseksual dan seksual. Reproduksi secara
aseksual dapat dilihat dengan pembentukan polip, sedangkan reproduksi
secara seksual dapat dilihat dengan pembentukan medusa.
55
Gambar 4. Siklus Hidup Aurelia sp. (Ubur-ubur)
(Sumber: Suroso. 2003: 37)
Klasifikasi Coelenterata dibagi ke dalam tiga kelas berdasarkan
bentuk yang dominan dalam siklus hidupnya (Kasijan Romimohtarto dan
Sri Juwana. 2007: 131-141), yaitu:
a. Kelas Anthozoa
Fase medusanya telah tereduksi sehingga hanya memiliki fase polip saja.
Contohnya: Anemon laut, karang batu, atau karang kapur, dan karang
tanduk.
b. Kelas Hydrozoa
Terdapat dalam bentuk polip dan medusa pada sebagian besar spesies,
fase polip seringkali membentuk koloni. Contohnya: Hydra, Obelia,
Physalia, dll.
c. Kelas Scyphozoa
56
Fase medusa lebih menonjol selama siklus hidupnya, sedangkan fase
polip berukuran kecil juga sulit dijumpai. Contohnya: Aurelia,
Lucernaria, Pelagia, dll.
Coelenterata banyak berperan dalam kehidupan manusia. Contohnya
ubur-ubur dimanfaatkan sebagai tepung ubur-ubur dan bahan kosmetik.
Beberapa kerangka tubuh Coelenterata dapat membentuk karang pantai
sehingga bermanfaat dalam melindungi pantai dari hantaman ombak untuk
mencegah abrasi. Bagod Sudjadi dan Siti Laila (2006: 214) juga
menyebutkan bahwa karang atom yang berada di laut dapat dimanfaatkan
sebagai tempat persembunyian dan proses perkembangbiakan beberapa
hewan laut. Selain itu, jenis anemon laut yang hidup di laut dangkal dapat
membentuk indahnya taman laut sehingga dapat dijadikan objek wisata.
4. Filum Platyhelminthes
Platyhelminthes berasal dari bahasa Latin platy (pipih) dan
helminthes (cacing), oleh sebab itu Platyhelminthes disebut juga cacing
pipih (Kasijan Romimohtarto dan Sri Juwana. 2007: 143). Platyhelminthes
memiliki bentuk tubuh yang bervariasi, dari yang berbentuk pipih
memanjang, berbentuk pita, hingga menyerupai bentuk daun. Tubuh
tertutup oleh lapisan epidermis bersilia yang tersusun oleh sel-sel sinsitium,
sedangkan pada Trematoda dan Cestoda parasit tidak memiliki epidermis
bersilia dan tubuhnya tertutup oleh kutikula. Tubuh lunak karena tidak
memiliki kerangka luar dan dalam. Bagian yang keras hanya kutikula, duri,
dan gigi pencengkeram. Ukuran tubuhnya juga bervariasi, mulai dari yang
57
tampak mikroskopis beberapa millimeter hingga yang berukuran belasan
meter.
Ujung anterior tubuh adalah kepala, bagian ventral tubuh terdapat
mulut dan lubang genital yang tampak jelas pada Turbellaria, namun kurang
begitu jelas pada Trematoda dan Cestoda. Beberapa Platyhelminthes
memiliki organ yang menghasilkan sekresi (alat pencengkeram dan
penghisap) yang berfungsi untuk menempel dan melekat, misalnya oral
sucker dan ventral sucker pada Trematoda. Acoela dan cacing pita tidak
memiliki sistem pencernaan, tetapi cacing pipih yang lain memiliki mulut,
faring, dan usus buntu. Sistem respirasi tidak ada sehingga pengambilan
oksigen bagi anggota yang hidup bebas dilakukan secara difusi melalui
permukaan tubuh. Sedangkan yang hidup sebagai endoparasit bernapas
secara
anaerob
karena
lingkungan
yang
kekurangan
oksigen.
Platyhelminthes tidak memiliki sistem sirkulasi, peredaran unsur-unsur
makanan dan zat lain berlangsung secara difusi dari sel ke sel (Yusuf
Kastawi, dkk. 2005: 104-125).
Cacing pipih ini bersifat hermaprodit. Setiap individu dapat
menghasilkan ratusan ribu telur. Platyhelminthes dapat berkembangbiak
secara aseksual dan seksual. Reproduksi seksual terjadi melalui proses
fertilisasi sedangkan reproduksi aseksual terjadi melalui fragmentasi yaitu
pemotongan beberapa bagian tubuhnya. Bagian tubuh yang terpotong akan
melakukan regenerasi hingga menjadi individu yang baru, contohnya
Planaria (Bagod Sudjadi dan Siti Laila. 2006: 215).
58
Platyhelminthes dibagi menjadi 3 kelas (Kasijan Romimohtarto dan
Sri Juwana. 2007: 145), yaitu:
a. Turbellaria (cacing berbulu getar)
Hampir semua Turbellaria hidup bebas di alam. Sebagian besar hidup di
dasar laut, pasir, lumpur, atau di bawah batu karang. Ada pula yang
bersimbiosis dengan ganggang, bersimbiosis komensalisme di rongga
mantel Mollusca dan insang Crustacea. Contohnya: Planaria, Dugesia,
dll.
b. Trematoda
Hewan Trematoda juga memiliki sifat parasit pada banyak inang dan
memiliki siklus hidup yang kompleks pada pergiliran tahap seksual dan
aseksual.
Contohnya:
Fasciola
hepatica,
Clonorchis
sinensis,
Schistosoma japanicum, Schistosoma mansoni.
c. Cestoda
Cacing pada kelas ini juga bersifat parasit. Cacing pita dewasa sebagian
besar hidup dalam vertebrata termasuk manusia. Contohnya antara lain
Taenia saginata, Taenia solium, Echinococcus graulosus, Choanotaenia
infudibulum.
Kebanyakan filum ini hidup sebagai parasit, maka umumnya
merugikan manusia, baik langsung sebagai parasit pada tubuh manusia
maupun sebagai parasit pada binatang peliharaan seperti: babi, sapi, biribiri, anjing, dan sebagainya. Berikut beberapa spesies Plathyhelminthes
yang terkenal merugikan:
59
a. Fasciola hepatica
Fasciola hepatica mempunyai bentuk seperti daun dengan panjang
tubuhnya mencapai 30 mm; tubuh tertutup oleh kutikula yang resisten,
yang merupakan modifikasi dari epidermis; mulut disokong oleh batil
pengisap anterior yang berbentuk sebagai diskus dan bersifat musculer
serta dilengkapi dengan gigi-gigi chitin; mempunyai batil pengisap
ventralis yang hanya dipergunakan sebagai alat pelekat saja; di
pertengahan antara batil pengisap anterior dan posterior terdapat porus
genitalis, dan pada ujung posterior tubuh terdapat porus excretoris
(Radiopoetro. 1996: 243).
Fasciola hepatica dewasa hidup di dalam hati domba, sapi, babi,
dan kadang-kadang manusia. Cacing ini bersifat hermaprodit. Seekor
cacing dapat menghasilkan telur kira-kira 500.000 butir. Sebelum
meninggalkan tubuh induknya, telur-telur mulai segmentasi, melalui
ductus biliferus domba, menuju ke tractus digestivus, dan akhirnya keluar
bersama feces domba. Jika telur-telur ini mencapai air atau tempattempat yang lembab akan menetas dan keluarlah larva bersilia miracidia.
Tidak beberapa lama (lebih kurang 8 jam) larva itu akan mati kecuali
dapat mencapai sejenis Gastropoda air tawar (Limnea) sebagai hospes
intermedier pertama. Di dalam tubuh siput, cilia dari miracidia hilang dan
mengalami metamorfosis menjadi sporokist kemudian tumbuh menjadi
generasi kedua rediae. Rediae di dalam tubuh siput akan tumbuh dan
berkembang menjadi larva generasi ketiga cercariae yang merupakan
60
larva berekor. Cercariae selanjutnya keluar dari tubuh siput, masuk ke
dalam air dan jika menemukan sejenis tumbuh-tumbuhan atau rumput air
maka akan membentuk metacercariae. Jika rumput bersama-sama
metaserkaria ini dimakan domba maka metacercariae akan tumbuh
menjadi Fasciola hepatica dewasa di dalam hati domba (Radiopoetro.
1996: 246-247).
Gambar 5. Siklus Hidup Fasciola hepatica
(Sumber: Suroso. 2003: 124)
b. Taenia sp.
Taenia sp. mempunyai tubuh yang panjang, berbentuk seperti pita,
dan bersifat entoparasit di dalam tubuh hospes (Vertebrata). Ada dua
spesies Taenia yang banyak dikenal yaitu Taenia solium (hospes
intermediernya babi) dan Taenia saginata (hospes intermediernya sapi).
Tubuh cacing ini berwarna putih, berbentuk pipih seperti pita dan
61
terbagi-bagi oleh celah-celah melintang menjadi 600-2500 segmensegmen palsu yang disebut proglottid. Panjang tubuh cacing ini dapat
mencapai 6-10 kaki dan ada pula yang sampai 25 kaki; mempunyai
scolex kecil berbentuk oval, dilengkapi dengan 22-32 kait dan 4 batil
penghisap untuk melekatkan diri pada epitelium intestinum hospes
(Radiopoetro. 1996: 247-248).
Siklus hidupnya berawal dari proglottid yang telah masak,
mengandung alat-alat reproduksi, berisi telur-telur yang telah dibuahi
akan putus dari tubuhnya dan keluar bersama-sama feses hospesnya
(manusia) sebagai hospes definitif. Jika proglottid ini tertelan oleh babi
ataupun sapi (hospes intermedier) di dalam intestinumnya telur akan
menetas. Dari tiap telur keluarlah larva dengan 6 kait yang disebut
oncospher. Larva ini akan menembus dinding intestinum babi atau sapi
tadi dan berkembang menjadi cysticerci di dalam jaringan-jaringan. Jika
sekerat daging babi atau sapi yang mengandung cysticerci ini termakan
oleh manusia, larva ini akan berkembang menjadi cacing dewasa di
dalam intestinum manusia itu (Radiopoetro. 1996: 250).
62
Gambar 6. Siklus Hidup Taenia saginata
(Sumber: Radiopoetro. 1996: 86)
5. Filum Nemathelminthes
Nemathelminthes sering disebut cacing gilig karena bentuk tubuhnya
seperti benang (Yunani, nema = benang, helminthes = cacing). Menurut
Imaningtyas (2013: 320), Nemathelminthes banyak hidup di alam dan
memiliki daerah penyebaran yang sangat luas. Hewan ini dapat ditemukan
di laut, air payau, air tawar, maupun tanah. Nemathelminthes yang hidup
parasit pada manusia dapat ditemukan di beberapa organ seperti usus halus,
anus, pembuluh limfa, paru-paru, jantung, pembuluh darah, dan mata.
Hewan ini memiliki bentuk tubuh bulat panjang dan tidak memiliki
segmen pada tubuhnya. Oleh karena itu, cacing benang juga dikenal dengan
63
cacing gilig. Pada umumnya, permukaan tubuh ditutupi oleh lapisan
kutikula (Bagod Sudjadi dan Siti Laila. 2006: 218). .
Cacing gilig memiliki bentuk tubuh simetri bilateral, tripoblastik
dengan rongga tubuh yang semu (pseudocoelom) karena rongga tersebut
tidak dikelilingi oleh lapisan mesodermis, dan memiliki anus. Sistem
pencernaannnya berupa saluran berbentuk pipa lurus mulai dari mulut,
faring, esophagus (gelembung faring), usus, dan anus (Bagod Sudjadi dan
Siti Laila. 2006).
Alat kelamin Nemathelminthes terpisah, hewan jantan memiliki
ukuran yang lebih kecil dari pada hewan betina. Gonad berbentuk pembuluh
dan berlanjut dengan saluran-salurannya. Alat kelamin betina umumnya
berpasangan dan bermuara pada vulva. Alat kelamin jantan biasanya
tunggal dan bermuara pada kloaka. Pembelahan dan diferensiasi sel-sel
embrio tampak jelas (Yusuf Kastawi, dkk. 2005: 131).
Klasifikasi Nemathelminthes menurut Imaningtyas (2013: 322)
dibagi menjadi:
a. Adenophora, anggota hewan ini hidup bebas, namun ada yang menjadi
parasit pada hewan, contohnya Trichuris ovis (parasit pada domba),
Trichinella spiralis (parasit pada usus manusia).
b. Secerrnentea,
contohnya:
Ascaris
lumbricoides
(cacing
perut),
Ancylostoma duodenale (cacing tambang), Oxyuris vermicularis (cacing
kremi), Wuchereria bancrofti, Onchocerca volvulus.
64
Peranan Nemathelminthes dalam kehidupan manusia pada umumnya
merugikan karena bersifat parasit dan menyebabkan penyakit. Selain pada
manusia, Nemathelminthes juga bersifat parasit pada tumbuhan, contohnya
Globodera rostochiensis yang menjadi parasit pada tanaman kentang dan
tomat. Selain itu, anggota Nemathelminthes juga berperan sebagai vektor
virus pada beberapa tanaman pertanian (Imaningtyas. 2013: 324). Berikut
beberapa spesies Nemathelminthes yang terkenal merugikan:
a. Ascaris lumbricoides
Hidup pada usus manusia. Dinding tubuh tersusun dari kutikula,
epidermis, dan lapisan otot yang memanjang di mana terdapat saluran
ekskresi lateral, tali-tali syaraf dorsal dan ventral yang dihubungkan oleh
cincin syaraf anterior. Cacing betina dalam umur dewasa dan keadaan
yang sama lebih besar dari yang jantan, panjang tubuh cacing betina 2040 cm sedangkan yang jantan 10-15 cm. Pada hewan jantan pada salah
satu ujung tubuhnya menggulung sedangkan betina tidak (Adun Rusyana.
2011: 73).
Siklus hidupnya sederhana, yaitu bila telur yang telah menjadi
embrio tertelan akan menetaskan larva, larva ini meninggalkan usus
dengan jalan menembus dinding usus untuk masuk ke dalam peredaran
darah dan mengikuti aliran darah sampai di jantung serta di paru-paru
kemudian masuk di trakea dan tertelan lagi untuk kedua kalinya.
Akhirnya sampai di usus halus menjadi cacing dewasa (Adun Rusyana.
2011: 74).
65
b. Ancylostoma duuodenale (cacing dewasa)
Hidup parasit pada usus manusia, panjang tubuh cacing dewasa 11,5 cm. Mulut terdapat pada ujung anterior, padanya terdapat kait-kait
yang dipergunakan untuk mengaitkan diri pada usus hospesnya, supaya
tidak terbawa oleh arus makanan. Keadaan tersebut menyebabkan usus
menderita luka-luka. Cacing ini mengisap darah dan juga menghasilkan
zat anti koagulasi (zat yang bisa mencegah pembekuan darah) sehingga
penderita mengalami anemia (kurang darah) (Adun Rusyana. 2011: 7475).
Siklus hidupnya sebagai berikut: cacing tambang betina
menghasilkan telur, telur ini akan keluar bersama feses. Telur menetas
menjadi larva yang akan masuk ke dalam tubuh manusia dengan jalan
menembus kulit (biasanya kulit kaki). Setelah masuk, terbawa aliran
darah ke paru-paru menembus paru-paru ke trakea dan tertelan masuk ke
dalam perut dan usus. Di dalam usus, cacing ini menjadi dewasa,
kemudian yang betina bertelur dan seterusnya seperti yang tersebut
(Adun Rusyana. 2011: 75).
c. Wuchereria bancrofti
Cacing ini dapat menyebabkan penyakit filaria yang disebut
filariasis (elephantiasis). Infeksi cacing filaria kepada tubuh manusia
terjadi bila nyamuk Culex yang mengandung mikrofilia menusuk
manusia, mikrofilia dapat masuk melalui bekas tusukan nyamuk. Cacing
dewasa dalam tubuh manusia dapat menyumbat saluran limfa yang
66
menyebabkan pembengkakan di beberapa bagian tubuh (Adun Rusyana.
2011: 75-76).
d. Oxyuris
Cacing kremi ini menyebabkan gatal-gatal di daerah dubur
terutama pada malam hari sehingga penderita akan sangat terganggu
(kurang tidur) (Adun Rusyana. 2011: 76).
e. Trichinella sp.
Trichinosis disebabkan karena memakan daging babi yang kurang
masak yang mengandung kista dari cacing Trichinella. Cacing dewasa
berkembangbiak di dalam usus, ribuan cacing muda dihasilkan oleh
cacing betina yang kemudian akan menembus dinding usus berpindah ke
seluruh tubuh mengkista di dalam otot (Adun Rusyana. 2011: 76).
6. Filum Annelida
Kata Annelida berasal dari bahasa Latin Annulus (cincin) dan eidos
(bentuk), sehingga Annelida dapat diartikan sebagai cacing yang tubuhnya
bersegmen-segmen menyerupai cincin atau gelang (Kasijan Romimohtarto
dan Sri Juwana. 2007: 162).
Tubuh hewan Annelida simetris bilateral, panjang dan jelas
bersegmen, serta memiliki alat gerak yang berupa rambut kaku (setae) pada
setiap segmen. Polichaeta dengan tentakel pada kepalanya dan setae pada
bagian-bagian tubuh yang menonjol ke lateral, atau pada lobi lateralis yang
disebut parapodia (Yusuf Kastawi, dkk. 2005: 155). Berbeda dengan
Platyhelminthes dan Nemathelminthes, Annelida merupakan hewan
67
triploblastik yang sudah memiliki rongga tubuh sejati (selomata). Namun di
antara hewan selomata, Annelida merupakan hewan yang struktur tubuhnya
paling sederhana.
Hewan ini bersifat hermaprodit atau terdapat pada individu yang
berbeda
(gonokoris).
Meskipun hermaprodit,
tetapi
individu
tetap
melakukan perkawinan silang dengan cara saling mempertukarkan
spermanya untuk membuahi sel telur individu pasangannya. Pada cacing
tanah alat untuk mempertukarkan sperma ini disebut klitelum. Reproduksi
terjadi secara aseksual (fragmentasi atau pemutusan sebagian tubuhnya)
maupun seksual (Imaningtyas. 2013: 322).
Klasifikasi Annelida menurut Yusuf Kastawi, dkk (2005: 164) dibagi
menjadi beberapa kelas:
a. Polychaeta (Yunani, poly = banyak, chaeta = rambut-rambut kaku)
merupakan Annelida yang memiliki banyak seta (rambut). Sebagian
besar hidup di laut, ada juga yang di air tawar dan air payau. Contoh:
Nereis, Lysidice oele, Eunice sp., Serpula.
b. Oligochaeta (Yunani, oligos = sedikit, chaeta = rambut kaku) merupakan
Annelida yang memiliki sedikit seta (rambut). Sebagian besar hidup di
air tawar, namun ada juga yang hidup di laut, air payau, dan darat.
Contoh: cacing tanah (Lumbricus terrestris, Pheretima sp.), Tubifex.
c. Hirudinae, biasa disebut lintah. Pada permukaan tubuhnya, terdapat
banyak lekukan atau annuli, tidak terdapat setae atau parapodia. Contoh:
lintah air (Hirudo medicinalis) dan pacet (Haemadipsa).
68
Peranan Annelida dalam kehidupan manusia ada yang merugikan
dan ada yang menguntungkan. Menurut Imaningtyas (2013: 329), peranan
Annelida yang merugikan sebagai ektoparasit seperti pacet dan lintah air
yang menghisap darah hewan dan manusia. Sedangkan peranan Annelida
yang menguntungkan antara lain cacing wawo (Lycidice sp.), cacing palolo
(Eunice viridis) yang dapat di konsumsi dan mengandung protein; Tubifex
yang merupakan pakan ikan dan burung; cacing tanah yang dapat
menggemburkan tanah; dan lintah untuk pengobatan tradisional dalam
menghilangkan racun dalam darah.
7. Filum Mollusca
Mollusca berasal dari bahasa latin mollis yang berarti lunak,
sehingga Mollusca dapat diartikan sebagai hewan bertubuh lunak. Mollusca
bersifat kosmopolit, tubuhnya bersimetri bilateral, tidak bersegmen dan
memiliki kepala yang jelas dengan organ reseptor kepala yang bersifat
khusus (misalnya pada Gastropoda terdapat tentakel panjang untuk melihat
dan tentakel pendek sebagai alat pembau), coelom mereduksi, dinding tubuh
tebal dan berotot (Yusuf Kastawi, dkk. 2005: 169).
Tubuh Mollusca memiliki tiga bagian utama menurut Campbell Neil
A. & Reece J. B. (2003: 224), yaitu kaki berotot, umumnya digunakan untuk
pergerakan; massa visceral yang mengandung sebagian besar organ-organ
internal; dan mantel yang merupakan suatu lipatan jaringan yang menutupi
massa visceral dan mensekresi cangkang (jika ada).
69
Menurut Yusuf Kastawi, dkk (2005: 169-175), sebagian besar
Mollusca berkelamin satu, namun ada juga yang bersifat hermaprodit.
Perkembangan secara langsung tanpa fase larva terdapat pada beberapa
kelompok, khususnya pada keong air tawar dan beberapa bivalvia.
Berdasarkan alat gerak dan bentuknya, secara umum Mollusca
dibagi menjadi 3 kelas yaitu:
a. Pelecypoda/ Bivalvia/ Lamellabranchiata (Pelecypoda = berkaki pipih
seperti
kapak,
Bivalvia
=
cangkoknya
terdiri
dua
katub,
Lamellabranchiata = insangnya berlapis-lapis), contohnya: Mytilus
edulis/ kerang hijau dan Meleagrina margaretifera/ kerang mutiara.
b. Gastropoda (berjalan menggunakan perut atau kaki perut), contohnya:
Achatina fulica/ bekicot dan Melania testudinaria/ sumpil.
c. Chepalopoda (kaki/ alat gerak pada bagian kepala), contohnya cumicumi, sotong, dan gurita.
Mollusca mempunyai peranan yang menguntungkan bagi manusia
khususnya Meleagrina margaretifera. Meleagrina margaretifera dapat
menghasilkan mutiara yang dimanfaatkan manusia sebagai perhiasan.
Kerang ini mempunyai cangkok yang terdiri dari 3 lapisan yang salah yaitu:
a. periastracum, terletak paling luar, tersusun atas zat tanduk atau chitin,
fungsinya sebagai pelindung.
b. prismatik, terletak di tengah, tersusun atas kristal CaCO3 berbentuk
prisma.
70
c. nakreas, terletak paling dalam, tersusun atas kristal CaCO3 halus,
berfungsi menghasilkan sekret lapisan mutiara (Radiopoetro. 1996: 366).
Gambar 7. Struktur Cangkang Kerang Mutiara dan Meleagrina margaretifera
(Sumber: Reaven Johnson. 2003: 905)
Golongan Cephalopoda dan Bilvavia seperti kerang hijau, cumicumi, sotong, gurita, dll juga sering dijadikan sebagai sumber bahan
makanan oleh manusia. Di samping itu Mollusca juga mempunyai peranan
yang merugikan. Gastropoda air tawar (siput air) dapat menjadi hospes
intermedier dari cacing hati (Fasciola hepatica) dan merupakan hama
tanaman padi.
8. Filum Arthropoda
Arthropoda berasal dari bahasa Yunani, yaitu arthron = ruas/sendi
dan podos = kaki. Jadi, Arthropoda berarti hewan yang memiliki kaki
beruas-ruas (Kasijan Romimohtarto dan Sri Juwana. 2007: 193). Bagod
Sudjadi dan Siti Laila (2006: 228) menyebutkan bahwa Arthropoda
merupakan hewan triploblastik selomata. Hewan ini memiliki tubuh simetris
bilateral yang terdiri dari kepala, dada, dan abdomen.
71
Bentuk Arthropoda menurut Bagod Sudjadi dan Siti Laila (2006:
228-229) simetri bilateral, sepenuhnya ditutupi oleh kutikula, suatu
eksoskeleton yang terbuat dari lapisan-lapisan protein dan polisakarida
bernama kitin. Kitin ini berfungsi sebagai rangka luar. Pada setiap ruas
terdapat bagian yang tidak berkitin sehingga ruas-ruas tersebut mudah
digerakkan. Suatu saat Arthropoda dapat mengalami pergantian kulit atau
disebut molting.
Hewan ini memiliki kelamin terpisah. Fertilisasi terjadi secara
interna, dan bersifat ovipar. Perkembangan individu baru terjadi secara
langsung atau melalui stadium larva (Yusuf Kastawi, dkk. 2005: 199).
Imaningtyas (2013: 337) juga menyebutkan bahwa reproduksi Arthropoda
dapat terjadi melalui perkawinan dan parthenogenesis (pembentukan
individu tanpa melalui pembuahan).
Klasifikasi Arthropoda menurut Adun Rusyana (2011: 142-155)
dibagi menjadi 6 kelas yaitu:
a. Crustacea (Romawi, crusta = kulit keras atau kerak) yaitu Arthropoda
yang memiliki eksoskeleton berupa kulit tubuh atau kutikula yang keras.
Crustacea memiliki tubuh yang terdiri dari dua bagian yaitu kepala dan
dada yang menyatu (sefalotoraks) dan perut (abdomen) yang bersegmensegmen, memiliki mata majemuk yang bertangkai, memiliki sepasang
antena yang panjang, bagian mulut telah termodifikasi untuk mengunyah,
menghisap, dan menjilat, memiliki tiga pasang kaki. Crustacea dibagi
menjadi enam sub kelas yaitu:
72
1) Branchiopoda, merupakan hewan yang sangat kecil dengan ukuran
tubuh hanya beberapa milimeter saja; hidup di air tawar; tubuhnya
semi transparan; ada yang berenang menggunakan punggungnya;
embelan di bagian dada menyerupai bulu halus dan digunakan
sebagai alat pernapasan; terdapat karapak. Contohnya: Eubranchipus
vernalis, Daphnia sp.
2) Ostracoda, hidup di air tawar dan laut; dapat berenang bebas;
bergerak dengan menggunakan antena kedua atau kedua pasang
antenanya; karapak terdiri dari dua belahan; embelan tidak
menyerupai bulu halus; merupakan hewan parthenogenesis di mana
telurnya dapat berkembangbiak tanpa dibuahi. Contohnya Eucypris
virens.
3) Copepoda, hidup di air tawar atau laut; dapat berenang bebas atau
parasit pada ikan; tidak mempunyai karapak; umumnya mempunyai 6
pasang embelan dada. Contohnya Cyclops viridis.
4) Cirripedia, hidup melekat pada benda-benda di perairan seperti batu,
kayu, karang, dasar-dasar perahu/ kapal, tiang-tiang di laut, dll;
karapak menutupi tubuhnya; hermaprodit; bagian tubuh ditutupi oleh
suatu rangka atau cangkok dari kapur; di antaranya ada yang parasit.
Contohnya Lepas fascicularis.
5) Malacostraca, ¾ Crustacea adalah Malacostraca; bertubuh besar,
terdiri atas segmen-segmen sebagai berikut: 4 segmen di bagian
73
kepala, 8 segmen di bagian dada, dan 6 segmen di bagian perut.
Contohnya udang, kepiting, ketam.
b. Onychopora, hewan ini memiliki kutikula yang tipis, tidak bersegmen,
dinding tubuh berotot, terdapat sepasang rahang dan sebaris lubang
nephridium, panjang tubuh kira-kira 5 cm. Contoh: Peripatus sp.
c. Arachnoidea, tubuh terdiri dari dua bagian yaitu cepalotoraks dan perut;
terdapat 6 pasang embelan pada cepalotoraks (pasangan embelan pertama
adalah kelisera yang berfungsi untuk merobek dan melumpuhkan
mangsanya, pasangan kedua adalah pedipalpus untuk memegang
makanan, pasangan embelan selanjutnya adalah 4 pasang kaki jalan);
pada laba-laba di bagian ujung abdomen terdapat 3 pasang embelan yang
disebut spineret yang merupakan organ pemital benang; antena tidak ada;
mempunyai mata sederhana biasanya 8 buah yyang terletak di bagian
kepala; pernafasan dengan trakea juga mempunyai paru-paru buku yang
terletak di bagian ventral perut sebelah depan; sistem peredaran darah
terdiri dari jantung, arteri vena, dan sejumlah sinus; alat ekskresi berupa
saluran malphigi; sistem syaraf mengumpul yang berasal dari persatuan
ganglion-ganglion. Contoh: kalajengking, laba-laba.
d. Diplopoda, tubuh berbentuk silindris panjang; bersegmen yang setiap
segmen terbentuk dari dua segmen yang menyatu disertai dengan dua
pasang kaki; memiliki sepasang antena pendek; dan bergerak lambat.
Contoh: Trigoniulus corallines (luing/kaki seribu).
74
e. Chilopoda, tubuh berbentuk pipih dorsoventral; setiap segmen abdomen
terdapat sepasang kaki di bagian lateral; memiliki antena yang panjang;
mampu bergerak cepat. Contoh: Scutigera coleoptrata (lipan rumah) dan
Scolopendra gigantean.
f. Insecta, tubuh terbagi atas kepala, dada, dan perut; kepala mempunyai 1
pasang antena dan dada dengan 3 pasang kaki biasanya terdapat 1 atau 2
pasang sayap pada tingkat dewasa; dapat hidup di darat maupun air;
pernafasan dengan trakea; peredaran darah terbuka karena tidak terdapat
pembuluh balik dan kapiler. Oksigen terutama diangkut oleh cabangcabang trakea ke hampir seluruh bagian sel di dalam tubuhnya. Insecta
dibagi menjadi 2 sub kelas yaitu:
1) Apterygota, tidak bersayap, primitif, tidak bermetamorfosis, pada
abdomen terdapat apendage sebelah ventral.
Ordo I Thysanura (Thysanos = pita penunjuk halaman buku). Ordo
ini biasanya dapat ditemukan pada buku atau tumpukan kertas
yang lama dibiarkan; tipe alat mulut untuk mengunyah; dapat
menghasilkan enzim selulosa sehingga dapat merusak buku.
Contohnya Lepisma saccharina (kutu buku).
2) Pterygota
Ordo I Isopteran (Iso = sama, pteron = sayap), metamorfosis
bertingkat; mempunyai 2 sayap yang berbentuk dan ukurannya
sama atau tidak bersayap; alat mulut untuk mengunyah; perut
75
dan dada bersegmen-segmen. Contohnya Reticulitermis flavipes
(rayap).
Ordo II Neuroptera (Neuron = syaraf), metamorfosis sempurna; tipe
alat mulut pengunyah; terdapat 4 buah sayap yang sama seperti
membran (selaput) dan biasanya sayap tersebut dengan venasi
(urat sayap) yang jelas; larvanya karnivora, beberapa di
antaranya dengan mulut penghisap; insang trakea ada pada
larva-larva yang hidup di air. Contohnya Myrmeleon frontalis
(undur-undur).
Ordo III Odonata (Odous = gigi), metamorfosis tidak sempurna; tipe
mulut pengunyah; terdapat 2 pasang sayap seperti membran;
sayap belakang sama besar atau lebih besar dari sayap depan;
terdapat sepasang mata majemuk yang besar; antenanya pendek.
Contohnya Ischnura cercula (capung).
Ordo IV Hemiptera (Hemi = setengah), alat mulut penusuk dan
penghisap; ada yang hidup di darat dan air; ada yang tergolong
pemakan tumbuhan sebagai hama misalnya walang sangit, dan
ada yang predator misalnya sejenis kepik buas; metamorfosis
bertingkat.
Ordo V Coleoptera (coleos = udang/sarung), metamorfosis
sempurna; tipe mulut pengunyah; bersayap 2 pasang atau tidak
bersayap, pada yang bersayap sayap bagian depan yang biasanya
terletak di bagian luar bersifat keras mengandung zat tanduk
76
disebut elytra sedangkan sayap bagian belakang seperti
membran yang dilipatkan ke bawah elytra. Contohnya Calandra
oryzae (kumbang beras).
Ordo VI Diptera (dis = dua), metamorfosis sempurna; tipe mulut
penusuk, penghisap (membentuk seperti belalai yang disebut
proboscis), atau penjilat; mempunyai 2 pasang sayap depan,
sedangkan sayap belakang berubah bentuknya menjadi suatu
bulatan kecil yang disebut haltere yang digunakan sebagai alat
keseimbangan dan mengetahui keadaan angin. Contohnya lalat,
nyamuk.
Ordo VII Lepidoptera (lepis = sisik), metamorfosis sempurna; tipe
mulut menghisap; terdapat dua pasang sayap seperti membran
yang ditutupi oleh sisik yang tertumpuk; larva dari ordo ini
disebut ulat yang tipe mulutnya pengunyah. Contohnya kupukupu.
Ordo VIII Siphonoptera (siphon = mengisap, a = tanpa/ tidak, pteron
= sayap), metamorfosis bertingkat; tipe mulut menusuk dan
menghisap; tubuhnya tidak bersayap; kepala kecil; tidak
mempunyai mata majemuk kaki disesuaikan untuk meloncat;
umumnya ektoparasit pada mamalia. Contohnya kutu.
Ordo IX Orthoptera (orthos = lurus), metamorfosis bertingkat; tipe
mulut penggigit dan pengunyah; ukuran tubuh relatif besar;
umumnya dengan sayap depan yang bersifat liat dan disebut
77
juga tegmina, sayap belakang tipis berupa selaput, pada waktu
istirahat dilipat lurus di atas badan ditutupi oleh sayap depan;
kaki belakang umumnya panjang dan kuat untuk meloncat.
Contohnya belalang
Peranan Arthropoda yang menguntungkan dalam kehidupan manusia
(Imaningtyas. 2013: 348):
a. Sumber makanan yang mengandung protein tinggi, contohnya udang
windu, lobster, kepiting, dll.
b. Menghasilkan madu, contohnya lebah madu.
c. Bahan pakaian sutera, contonya kepompong ulat sutera (Bombyx mori)
d. Membantu penyerbukan tanaman
Peranan Arthropoda yang merugikan dalam kehidupan manusia
(Imaningtyas. 2013: 348):
a. Perusak tanaman, yaitu semua larva atau ulat pemakan daun dan
belalang.
b. Inang perantara (vektor) penyakit, misalnya nyamuk Aedes aegypti
vektor penyakit demam berdarah, Anopheles sebagai vektor penyakit
malaria, dll.
c. Parasit pada manusia, contohnya caplak penyebab kudis (Sarcoptes
scabiei).
d. Merusak kayu bangunan, misalnya rayap.
e. Pengebor kayu galangan kapal atau perahu, contohnya kelompok
Isopoda.
78
9. Filum Echinodermata
Echinodermata (Yunani, echinos = duri, derma = kulit) adalah
hewan yang kulitnya banyak ditumbuhi duri, sehingga disebut hewan
berkulit duri. Habitat hewan ini di laut, mulai dari pantai hingga laut dalam.
Tubuh Echinodermata pada masa larva simetris bilateral dan pada masa
perkembangannya mengalami perubahan sehingga saat dewasa tubuhnya
simetris radial. Tubuhnya triploblastik, tanpa kepala dan tidak bersegmen.
Bentuk tubuh bulat sampai silindris atau berbentuk bintang dengan lengan
sederhana (Yusuf Kastawi, dkk. 2005: 267-268).
Echinodermata bergerak lambat dengan kaki ambulakral terdiri atas
kaki-kaki tabung. Warna tubuh bervariasi ada yang hitam, merah, coklat,
dll. Ukuran tubuhnya juga bervariasi, umumnya tidak terlalu besar dan tidak
terlalu kecil, serta tidak ada yang mikroskopis. Hewan ini bereproduksi
secara seksual yang melibatkan individu jantan dan betina yang terpisah
yang melepaskan gamet-gametnya ke air (Yusuf Kastawi, dkk. 2005: 267268).
Echinodermata memiliki sistem ambulakral pada rongga tubuhnya
untuk menggerakkan kaki tabung. Kaki tabung berfungsi untuk merayap
berpegangan pada substrat, memegang mangsa, dan bernapas (pertukaran
O2 dan CO2). Sistem ambulakral ini terdiri atas madreporit, saluran batu,
saluran cincin, saluran radial, saluran lateral, kelompok Tiedman, dan
gelembung polian. Air laut masuk dan keluar melalui madreporit; menuju
saluran batu; menuju saluran cincin dan berputar searah jarum jam; menuju
79
saluran radial; menuju saluran lateral yang bermuara ke ampula, kemudian
berkontraksi, sehingga Echinodermata dapat bergerak; kelompok Tiedman,
merupakan tempat berkembangnya amebosit dan alat keseimbangan;
gelembung polian, merupakan tempat untuk mengatur tekanan air di dalam
tubuh Echinodermata (Imaningtyas. 2013: 351).
Gambar 8. Sistem Ambulakral Echinodermata
(Sumber: Radiopoetro. 1996: 120)
Menurut Campbell Neil A. & Reece J. B. (2003: 266),
Echinodermata terbagi menjadi enam kelas yaitu Asteroidea (bintang laut),
Ophiuroidea (bintang mengular), Echinoidea (bulu babi dan dolar pasir),
Crinoidea (lili laut dan bintang bulu), dan Holothuroidea (teripang).
Peranan Echinodermata dalam kehidupan sehari-hari ada yang
menguntungkan dan merugikan. Peranan yang menguntungkan yaitu dapat
dijadikan sebagai bahan makanan untuk konsumsi manusia seperti bulu
babi, telur landak laut, dan timun laut. Echinodermata juga bermanfaat
sebagai pembersih pantai karena memakan bangkai. Sedangkan peranan
80
yang merugikan yaitu bintang laut yang sering memakan kerang mutiara di
tempat budidaya kerang mutiara.
10. Filum Chordata
Hewan yang termasuk Chordata adalah semua hewan yang memiliki
penyokong tubuh dalam, mulai dari hewan tingkat sederhana berbentuk
seperti cacing (Tunicata), ikan Lancelet, sampai mamalia. Chordata tingkat
rendah berukuran kecil, semuanya hidup di laut. Kebanyakan Chordata
hidup bebas, dan tidak ada yang secara tegas merupakan parasit (Maskoeri
Jasin. 1984: 215).
Menurut Radiopoetro (1996: 395), sifat yang ada pada hewan-hewan
yang dimasukkan ke dalam Filum Chordata adalah:
a. Adanya notochord (struktur penyokong tubuh) pada keadaan embrio,
larva atau seumur hidup; notochord terjadi dari ektoderm primer.
b. Pada dinding faring ada sulci pada keadaan embrio, atau lubang-lubang
pada keadaan larva atau seumur hidup; lubang-lubang ini adalah celahcelah insang.
c. Di dalam pusat susunan saraf ada rongga, seumur hidup atau hanya pada
keadaan larva; rongga ini disebut neurocela.
Di dalam tubuh Chordata terdapat celom. Mesoderm yang merupakan
dinding celom tersebut berasal dari entoderm primer, sehingga Chordata
termasuk Enterocelomata bersama Echinodermata.
81
Filum Chordata ini dibagi menjadi 4 Sub Filum yaitu: Sub Filum
Hemichordata, Sub Filum Urochordata atau Tunicata, Sub Filum
Cephalochordata, dan Sub Filum Vertebrata (Maskoeri Jasin. 1984: 215).
a. Sub Filum Hemichordata (setengah chordata)
Sering disebut Adelochordata (chorda yang tidak tampak).
Kedudukan Hemichordata dalam Chordata tidak begitu pasti. Sub filum
ini terdiri atas sejumlah hewan-hewan yang mempunyai bentuk seperti
cacing, merupakan hewan-hewan kecil berbadan lunak. Hewan-hewan ini
biasa terdapat pada dasar laut yang berpasir atau berlumpur. Notochord
yang pendek terletak pada anterior dan sering disebut Stomocord.
Beberapa hewan dari kelompok ini yang berderajat tinggi berstigma pada
faringnya. Anus terletak di tepi dan tidak berekor (Maskoeri Jasin. 1984:
215).
b. Sub Filum Urochordata atau Tunicata (Uro = ekor, chorda = batang;
tunica = mantel).
Urocordata adalah hewan sesil atau mengapung, biasanya hidup
berkoloni, menyaring makanan dengan menggunakan celah insang
faringeal seperti halnya pada Hemichordata. Celah insang Urochordata
membentuk bangunan seperti penutup tong yang liat berbentuk tunika,
oleh sebab itu Urochordata disebut juga Tunicata. Urochordata dewasa
tidak memiliki notochord. Ciri-ciri Urochordata sebagai anggota dari
filum Chordata hanya ditemukan pada fase larva. Larva Urochordata
memiliki ekor sebagai daya penggerak untuk berenang. Keberadaan
82
notochord sejalan dengan fungsi ekor saat larva, sehingga disebut
Urochordata. Setelah larva tumbuh menjadi hewan dewasa maka secara
berangsur-angsur ekornya mengalami reduksi (Sukiya. 2005: 1).
c. Sub Filum Cephalochordata (Cephal = kepala, chorda = batang)
Cephalochordata dikenal dari organisme Amphioxus. Hubungan
kekerabatan hewan ini dengan Vertebrata lebih nyata dibandingkan
dengan Hemichordata dan Urochordata. Bentuk tubuh Amphioxus mirip
dengan bentuk tubuh ikan. Notochord memanjang dan berkembang baik,
celah insang faringeal berfungsi sebagai penyaring makanan dan
respirasi. Celah ini menjadi penting oleh sebab Amphioxus hidup di
perairan laut dangkal, bersembunyi di pasir dan hanya bagian anterior
tubuh yang tidak terlindung untuk menyaring makanan dan oksigen. Air
yang sudah tersaring keluar melalui celah insang ini (Sukiya. 2005: 2).
d. Sub Filum Vertebrata
Semua hewan yang termasuk Vertebrata memiliki otak yang relatif
besar dilindungi oleh tulang tengkorak. Penyokong tubuh yang
merupakan sumbu yang tersusun atas ruas-ruas tulang yang disebut
columna vertebralis. Tubuh terbagi atas kepala, leher, badan, dan ekor.
Hampir semua alat mengalami kemajuan baik dalam struktur maupun
fungsinya, kecuali bentuk dari nothocord, nevercord, dan celah-celah
insang (tidak ada saat dewasa) (Maskoeri Jasin. 1984: 219).
Ciri khusus Vertebrata menurut Maskoeri Jasin (1984: 220- 222)
adalah sebagai berikut:
83
1) Tubuh terbungkus oleh lapisan epidermis dan dermis dengan banyak
kelenjar mukosa pada jenis yang hidup dalam air, kedua lapisan
tersebut pada ikan tertutup oleh sisik. Pada hewan yang hidup di
darat, kulit sebelah luar biasanya menanduk atau menjadi keras. Pada
Reptilia, kadang-kadang terdapat sisik tebal, sedang pada burung
terdapat bulu dan pada mamalia terdapat rambut.
2) Endoskeleton pada hewan tingkat rendah berupa tulang rawan,
sedang pada tingkat tinggi berupa tulang keras.
3) Pada skeleton terdapat otot yang berfungsi untuk gerak atau
berpindah tempat.
4) Saluran pencernaan memanjang, di sebelah ventral (rima oris)
terdapat lidah dan gigi. Akhir dari saluran ini adalah anus.
5) Sistem peredaran darah tertutup yang terdiri atas pembuluh dengan
jantung sebagai sentral, terbagi atas 2, 3, dan 4 ruang. Pada Aves dan
Mamalia sebagai hewan Homoioterrm (berdarah panas) sistem
peredaran darah ini juga berfungsi mengatur suhu tubuh.
6) Sistem pernafasan pada hewan tingkat rendah berupa beberapa
pasang insang, sedangkan pada spesies yang mendiami darat
memiliki paru-paru sebagai hasil pertumbuhan dan perkembangan
saku-saku dari saluran pencernaan.
7) Sistem ekskresi terdiri atas sepasang ren (ginjal) dengan saluran
pembuang yang bermuara di daerah dekat anus.
8) Sistem saraf terdiri atas sistem saraf pusat dan sistem saraf tepi.
84
9) Terdapat sejumlah kelenjar endokrin yang menghasilkan hormon
yang diangkut oleh darah yang berperan dalam proses-proses dalam
tubuh, pertumbuhan, dan reproduksi.
10) Dengan beberapa pengecualian, sebagian besar seksnya terpisah dan
masing-masing jenis kelamin mempunyai sepasang gonad dengan
saluran penyalur yang bermuara di dekat anus.
Sub filum Vertebrata dibagi atas dua super Kelas yang terdiri atas 8
Kelas (Maskoeri Jasin. 1984: 219):
1) Super Kelas I: Pisces (ikan)
Kelompok Pisces menunjukkan ukuran tubuh yang bervariasi
(mamalia seperti sejenis ikan paling besar adalah paus Rhineodon
typu, mencapai panjang 16,5 m). Ikan yang paling kecil adalah spesies
Goby yang ditemukan di Filipina. Ikan umumnya hidup di laut, tetapi
ada sekitar 7000 spesies ditemukan di air tawar. Ada spesies ikan yang
hidup di air tawar dan sebagai ikan primer air tawar, misalnya ikan
paru-paru (Lepidosiren paradoxa). Jenis ikan tertentu mungkin
mempunyai periode hidup di laut atau air payau dan meneruskan
hidupnya di air tawar atau sebaliknya. Secara keseluruhan ikan lebih
toleran terhadap perubahan suhu air. Ikan, seperti juga Vertebrata
Poikiloterm lain suhu tubuhnya bersifat ektotermik, artinya suhu
tubuh sangat tergantung pada suhu lingkungan (Sukiya. 2005: 9-10).
a) Kelas Agnata (A = tidak, gnathum = rahang).
85
Hewan-hewan dari kelas ini belum mempunyai rahang,
sehingga bentuk mulutnya sederhana. Kelas Agnatha terbagi atas
dua sub kelas, yaitu:
Sub Kelas Ostracoderma : Tubuh kecil dan pipih; kulit umumnya
diliputi oleh sisik; kepala bertulang keras atau bertulang rawan;
rongga hidung bermuara satu atau dua. Sub kelas ini telah punah,
tinggal fosilnya.
Sub Kelas Cyclostomata : Tubuh silindris dan panjang. Kulit halus
tanpa sisik, mengandung banyak kelenjar mukosa. Mulut
merupakan alat penempel dengan gigi zat tanduk.
Ordo 1: Petromyzontia
Sebagai contoh adalah Petromyzontia marinus.
Ordo 2: Myxinoida
Sebagai contoh adalah Polistotrema stouti.
(Makoeri Jasin. 1984: 228).
b) Kelas Placodermata
Hewan-hewan dari kelas ini tubuhnya bersisik placoid. Sub kelas
ini juga telah punah, tinggal fosilnya.
c) Kelas Chondrichthyes (Ikan bertulang rawan)
Chondrichthyes (Chondros = tulang rawan; ichthhyes =
ikan) yang merupakan vertebrata rendah yang memiliki columna
vertebralis sempurna yang terpisah satu sama lain sehingga mudah
membengkokkan tubuhnya. Kecuali itu, telah memiliki tulang
86
rahang dan beberapa pasang alat gerak tambahan berupa pina
(sirip) (Maskoeri Jasin. 1984: 228).
Menurut Radiopoetro (1996: 450-451) Chondrichthyes
memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
(1) Endoskeleton seluruhnya terdiri atas kartilago dengan sedikit
kalsifikasi, tetapi tulang sebenarnya tidak ada.
(2) Eksoskeleton terdiri atas sisik-sisik placoid
(3) Saluran pencernaan: rima oris terdapat di sebelah ventral dari
rostrum, ada gigi-gigi yang sebenarnya ialah sisik placoid,
pada dinding usus terdapat plica spiralis, bagian terakhir dari
usus ialah rektum, bermuara ke dalam kloaka, dan tidak ada
pneumatocyst.
(4) Apparatus respiratorius: ada 5-7 pasang celah insang yang
langsung bermuara keluar, tidak ada operculum, di antara rima
oris dan insang pertama terdapat lubang yang disebut
spiraculum.
(5) Sistem peredaran darah: bulbus arteriosus diganti dengan
conus arteriosus, vena melebar menjadi sinus.
(6) Ureter bermuara ke dalam kloaka
(7) Baik vas deferens maupun oviduk bermuara ke dalam kloaka.
Chondriechthyes terbagi atas dua super ordo:
Super Ordo I Selachii (bertubuh torpedo)
Ordo 1 Heterodontia (ikan hiu berkepala bison)
87
Ordo 2 Hexanchida, contoh ikan hiu sapi
Ordo 3 Lamnida, contoh Sphirma tudes (ikan hiu berkepala
palu).
Ordo 4 Squalida, contoh Squalus acanthias (ikan hiu
berkepala anjing), Pritus pectinatus (hiu berkepala).
Super Ordo II Hypotrematica
Ordo 1 Rajida (tubuh pipih dorso ventral), contoh Dasyatis
sabina (ikan pari).
Ordo 2 Holocephali (tubuh dan kepala sama besarnya, ekor
kecil), contoh Chimera monstrosa.
(Maskoeri Jasin. 1984: 234).
d) Kelas Osteichtyes (Ikan bertulang keras)
Pada umumnya yang dimaksud ikan adalah ikan-ikan yang
masuk kelas Osteichtyes. Tubuhnya berskeleton tulang keras,
terbungkus oleh kulit yang bersisik, berbentuk seperti torpedo,
berenang dengan sirip, bernafas dengan insang. Bermacam-macam
spesies hidup dalam air tawar atau air laut (Maskoeri Jasin. 1984:
235).
Ciri-ciri khusus Osteichtyes menurut Maskoeri Jasin (1984:
235-236) adalah sebagai berikut:
(1) Kulit banyak mengandung kelenjar mukosa; biasanya diliputi
oleh sisik (sisik ganoid, cycloid atau ctenoid), beberapa spesies
88
tidak bersisik; bersirip pada bagian dorsal maupun ventral dan
pada sebelah tubuhnya dengan beberapa perkecualian.
(2) Mulut terletak di ujung dan bergigi, rahang tumbuh dengan
baik dan bersendi pada tulang tempurung kepala; mempunyai
dua sacci olfactorius yang umumnya berhubungan dengan
rongga mulut; bermata besar, tidak berkelopak.
(3) Skeleton terutama berupa tulang keras, kecuali beberapa jenis
yang sebagian bertulang rawan; bentuk vertebrae bermacammacam,
pina
caudalis
biasanya
homocercal,
sisa-sisa
notochord masing-masing tampak.
(4) Jantung terdiri atas dua ruangan (atrium dan ventrikel) dengan
sinus venosus dan conus arteriosus yang berisi darah vena;
terdapat empat pasang archus aorticus; sel darah merah
berbentuk oval dan berinti.
(5) Pernafasan dilakukan dengan beberapa pasang insang yang
terletak pada archus branchius yang berada dalam ruangan
celah insang pada kedua tepi samping dari faring, tertutup oleh
operculum, biasanya memiliki vesica pneumatica (gelembung
udara) dan memiliki ductus pneumaticus. Beberapa jenis
mempunyai bentuk seperti paru-paru, misalnya pada Dipnoi.
(6) Terdapat 10 pasang nervi cranialis.
(7) Suhu tubuh tergantung kepada lingkungan sekitarnya.
89
(8) Memiliki sepasang gonad, umumnya ovipar (beberapa ada
yang ovovivipar atau vivipar; fertilisasi terjadi di luar tubuh
(kecuali beberapa spesies).
Beberapa Ordo dari Osteichtyes adalah sebagai berikut:
Sub Kelas I
: Dipnoi, contoh: Neoceratodus sp.
Sub Kelas II
: Teleostei
Ordo 1 Heterostomata
Ordo 2 Apodea
Ordo 3 Synbranchoidea, contoh belut
Ordo 4 Sclenriohtyes, contoh ikan kuda
Ordo 5 Microcyprini, contoh ikan kepala timah
Ordo 6 Malacopterygii, contoh ikan teri
Ordo 7 Ostariophysi, contoh ikan mas, ikan lele
Ordo 8 Percomorphi contoh ikan kakap, ikan mujair, ikan
tongkol, ikan tenggiri
Ordo 9 Labryrihici, contoh ikan gabus, ikan gurami
Ordo 10 Gobiidea, contoh ikan glodok
(Maskoeri Jasin. 1984: 245-251).
2) Super Kelas II: Tetrapoda (tetra = empat, poda = kaki)
e) Kelas Amphibia (amphi = dua, bios = hidup)
Terminologi “amphibia” diterapkan pada anggota kelas ini
karena sebagian besar hewan menghabiskan tahap awal siklus
kehidupannya di dalam air, dari bentuk larva berupa kecebong yang
90
bernafas dengan insang luar kemudian mengalami metamorfosis
menjadi anak katak dengan alat pernafasan berupa paru-paru.
Kehidupan demikian ini tidak mutlak untuk semua amphibi, ada
beberapa yang tidak pernah meninggalkan air, dan yang lainnya
ada yang tidak pernah masuk ke dalam air pada tahap tertentu dari
siklus kehidupannya. Ada juga yang tidak punya paru-paru sampai
dewasa dan bernafas melalui kulit, karenanya kulit tersebut selalu
basah dan banyak memiliki kelenjar (Sukiya. 2005: 37).
Maskoeri Jasin (1984: 252-253) menjelaskan amphibi
memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
(1) Kulit selalu basah dan berkelenjar (yang masih senang di air
atau dekat air), tidak bersisik luar.
(2) Memiliki dua pasang kaki untuk berjalan atau berenang; berjari
4-5 atau lebih sedikit; tidak bersirip.
(3) Terdapat dua buah nares (lubang hidung sebelah luar) yang
menghubungkan dengan rongga mulut. Padanya terdapat klep
untuk menolak air (waktu dalam air). Mata berkelopak yang
dapat digerakkan; membran gendang pendengar terletak di
sebelah luar. Mulut bergigi dan berlidah yang dapat dijulurkan
ke depan.
(4) Skeleton sebagian besar berupa tulang keras, tempurung
kepalanya memiliki dua condyl; bila memiliki costae (tulang
rusuk) tidak menempel pada sternum (tulang dada).
91
(5) Jantung terbagi atas tiga ruangan, yakni dua ruang atrium dan
satu ruang ventrikel.
(6) Pernafasan dengan insang, paru-paru, kulit, atau garis mulut
dengan pernafasan terpisah atau kombinasi.
(7) Otak memiliki 10 pasang nervi cranialis.
(8) Suhu
tubuh
tergantung
pada
suhu
lingkungannya
(poikiloterm).
(9) Fertilisasi terjadi di luar tubuh, kebanyakan ovipar. Larva yang
hidup di air mengalami fase metamorfosis menjadi hewan
dewasa.
Kelas Amphibia dibagi atas 3 Ordo:
Ordo I Gymnophiona/ Apoda:
- Tulang cranium dan tulang pipi sempurna
- Mempunyai cranium yang terdiri atas beberapa tulang.
- Pada spesies yang telah menjadi fosil terdapat lembaran
sisik ventral dan kadang-kadang ada juga yang terdapat
pada dorsal.
- Contoh: Ichtyopsis.
Ordo II Caudata/ Urodela/ Salamander:
- Tubuh dapat dibedakan atas cephal, cervix, truncus, dan
cauda
- Extremitas mempunyai bagian-bagian tulang yang sama
- Contoh: Amphiuma, Salamandra, Triturus
92
Ordo III Salientia/ Anura/ Katak sebenarnya:
- Cephal dan cervix menjadi satu
- Sering tak berleher, tak berekor
- Extremitas belakang membesar dan extremitas muka agak
kecil.
- Contoh: Bufo melanosticus, Rana limnocharis
(Maskoeri Jasin. 1984: 273-274).
f) Kelas Reptilia (hewan melata)
Reptilia
merupakan
sekelompok
vertebrata
yang
menyesuaikan diri di tempat yang kering di tanah. Penandukan atau
cornificatio kulit dan squama atau carpace untuk menjaga banyak
hilangnya cairan dari tubuh pada tempat yang kasar. Nama kelas ini
diambil dari model cara hewan berjalan (Latin: reptum = melata
atau merayap) (Maskoeri Jasin. 1984: 275).
Ciri-ciri Reptilia adalah sebagai berikut:
(1) Tubuh dibungkus oleh kulit kering yang menanduk (tidak
licin) biasanya dengan sisik atau bercarapace; beberapa ada
yang memiliki kelenjar permukaan kulit.
(2) Mempunyai dua pasang anggota gerak, yang masing-masing 5
jari dengan kuku-kuku yang cocok untuk lari, mencengkeram
dan naik pohon. Pada yang masih hidup di air kakinya
mempunyai bentuk dayung, dan bahkan pada ular tidak
memilikinya.
93
(3) Skeletonnya mengalami penulangan secara sempurna.
(4) Jantung tidak sempurna, terdiri atas 4 ruangan. Atrium jantung
terbagi sempurna menjadi ruangan kanan dan kiri, sinus
venosus menyatu dengan dinding dari atrium kanan, ventrikel
terpisah oleh septum (sekat).
(5) Pernafasan selalu dengan paru-paru; pada penyu bernafas juga
dengan kloaka.
(6) Memiliki 12 nervi cranialis
(7) Suhu tubuh tergantung pada suhu lingkungan
(8) Fertilisasi terjadi di dalam tubuh, biasanya memiliki alat
kopulasi.
(9) Segmentasi
secara
meroblastis,
mempunyai
membran
embrionis.
(Maskoeri Jasin. 1984: 275-276).
Radiopoetro (1996: 506-507) menyebutkan Reptilia yang
masih ada sekarang terbagi menjadi 4 Ordo yaitu:
Ordo 1 Chelonia
Contoh: penyu dan kura-kura
 Tubuh relatif pendek dan lebar
 Kaki bersifat pentadactil, pada hewan yang marin telah
mengalami modifikasi sehingga menyerupai sirip.
 Tidak ada gigi, rahang tertutup oleh paruh yang tajam dari bahan
tanduk.
94
 Terdapat kulit keras yang menyelubungi tubuhnya, di sebelah
dorsal disebut carapax sedang dibagian ventral disebut
plastron..
Ordo 2 Rhynchocephalia
Contoh: Sphenodon punctatum (satu-satunya spesies yang masih
hidup)
 Bentuk serupa kadal, berkulit tanduk dan bersisik, bergranula,
punggungnya berduri pendek.
 Tulang rahang mudah digerakkan.
 Columna vertebralisnya adalah amphicoel, memiliki costae
abdominalis.
Ordo 3 Squamata
Contoh: kadal dan ular
 Kulit tertutup oleh lapisan squama epidermal yang menanduk;
kadang-kadang di bawahnya disokong oleh lamina dermalis
yang menulang.
 Hubungan rahang bawah dengan tulang quadrat pada cranium
bebas.
 Dibagi menjadi 2 sub Ordo yaitu:
Sub Ordo 1 Sauria/ Lacertalia (kadal), mempunyai 2 pasang
anggota badan yang bersifat pentadactil; membran timpani
tidak cembung dan celah auris externa jelas dapat dilihat;
palpebra superior dan inferior dapat digerakkan, juga
95
membrana nictitans; kedua bagian rahang bawah bersatu
sehingga kurang dapat membuka mulutnya.
Sub Ordo 2 Serpentes/ Ophidia (ular), tidak mempunyai kaki;
tidak mempunyai celah auris externa dan membran
tympani; palpebra tidak ada; mata ditutup oleh membran
nictitans yang tetap dan transparan.
Ordo 4 Crocodilia
Contoh: buaya dan aligator
 Mempunyai cauda yang memipih ke lateral dan 2 pasang
extremitas yang pendek; extremitas anterior mempunyai 5 digiti,
sedang extremitas posterior mempunyai 4 digiti; di antara digiti
ada selaput untuk berenang.
 Membran timpani menonjol keluar tetapi dilindungi oleh lapisan
kulit; mata, lubang hidung, dan telinga terdapat pada garis lurus
pada puncak kepala.
 Kulit tebal, dengan lamina tulang yang terletak di bawah lapisan
tanduk pada sebelah dorsal dan sebelah ventral tubuh.
g) Kelas Aves (hewan unggas / burung)
Aves adalah hewan yang paling dikenal orang, karena dapat
dilihat di mana-mana; aktif pada siang hari dan unik dalam hal
memiliki bulu sebagai penutup tubuh. Dengan bulu itu tubuh dapat
mengatur suhu dan terbang. Dengan kemampuan terbang itu Aves
mendiami semua habitat (Maskoeri Jasin. 1984: 284).
96
Ciri-ciri khusus Aves:
(1) Tubuh terbungkus oleh bulu
(2) Mempunyai dua pasang anggota (extremitas), anggota anterior
(sepasang) mengalami modifikasi sebagai sayap, sedang
sepasang anggota posterior disesuaikan untuk hinggap;
masing-masing kaki berjumlah 4 buah; cakar terbungkus oleh
kulit yang menanduk dan bersisik.
(3) Skeleton kecil dan baik, kuat dan penulangannya sempurna;
pada mulut terdapat bagian yang terproyeksi sebagai paruh
atau sudu (cocor) yang terbungkus oleh lapisan zat tanduk;
tidak bergigi.
(4) Jantung terdiri atas 4 ruang yakni dua atrium dan dua ventrikel
(5) Respirasi dilakukan dengan paru-paru yang kompak yang
menempel pada costae dan berhubungan dengan kantung udara
yang meluas pada alat-alat dalam; memiliki kotak suara atau
syrinx pada dasar trakea.
(6) Tidak memiliki vesica urinaria
(7) Memiliki 12 nervi cranialis
(8) Suhu tubuh tetap (homoioterm)
(9) Fertilisasi terjadi di dalam tubuh; ovipar.
(Maskoeri Jasin. 1984: 284-285).
Radiopoetro (1996: 554-565) mengelompokkan Kelas Aves
sebagai berikut:
97
Sub
Kelas
I
Archaeornithes,
burung-burung
yang
masih
mempunyai beberapa sifat Reptilia misalnya dalam rongga
mulut masih terdapat gigi; sayapnya masih memiliki sisasisa kait kuku panjang yang menunjukkan asalnya dari
extremitas anterior, yang pada Reptilia sebagai anggota
badan untuk berjalan; kaki belakang bersisik seperti
Reptilia. Contoh: Archeopterix lithografis.
Sub Kelas II Neornithes, burung sebenarnya, dibagi atas:
Super Ordo Odotognathae, merupakan burung purba dunia
baru yang masih bergigi dan sudah punah
Super Ordo Palaeognathae, merupakan burung yang
berjalan, tidak memiliki gigi, tidak dapat terbang
karena sayap mereduksi.
Ordo Strutioniformes, contohnya Struthio camelus
Ordo Casuariformes, contohnya Dromaeus sp.
Ordo Apterygiformes, contohnya Apteryx sp.
Ordo Rheiformes, contohnya Rhea americana
Super
Ordo
Neognathae,
tidak
mempunyai
gigi,
kebanyakan sayap berkembang baik, sternum dengan
carina.
Ordo
Sphenisciformes,
contohnya
Aptenodytes
forsteri
Ordo Procellariiformes, contohnya Oceanodroma sp.
98
Ordo Pelecaniformes, contohnya Pelecanus roseus
Ordo Ciconiformes, contohnya Ardea purpurea
Ordo Anseriformes, contohnya Cairina moschata
Ordo Falconiformes, contohnya Haliastur indus
Ordo Galliformes, contohnya Gallus gallus gallus
Ordo Gruiformes, contohnya Rallina fasciata
Ordo Charadriiformes, contohnya Tringa hypoleucus
Ordo Columbiformes, contohnya Geopelia struata
dll.
h) Kelas Mamalia (mamae = susu, hewan yang menyusui)
Mamal memiliki karakter struktural yang membedakannya
dari vertebrata lain. Ciri utama kelas Mamalia adalah adanya
kelanjar susu yang berfungsi sebagai sumber makanan untuk
anaknya. Kelenjar lain yang biasa ditemukan adalah kelenjar
minyak (sebasea) dan kelenjar keringat (sudorifera). Rambut
tumbuh selama periode tertentu dalam hidupnya, meskipun
berkurang atau tidak ada sama sekali pada stadium tua seperti paus.
Mamal, seperti halnya burung adalah endotermis, karena memiliki
mekanisme internal pengontrol suhu tubuh (Sukiya. 2005: 101).
Maskoeri Jasin (1984: 303- 304) menjelaskan ciri-ciri khusus
Mamalia adalah sebagai berikut:
(1) Tubuh biasanya diliputi rambut, kulit banyak mengandung
kelenjar yaitu kelenjar sebasea, keringat, bau, dan susu.
99
(2) Regio nasalis (bagian dari hidung) umumnya silindris;
mulutnya terdapat gigi yang terletak pada kedua rahang dan
berdiferensiasi sesuai makanannya; lidah mudah digerakgerakkan; memiliki pelupuk mata yang mudah digerakkan; alat
pendengar memiliki daun telinga.
(3) Jantung sempurna terbagi atas empat ruangan (dua atrium dan
dua ventrikel)
(4) Pernafasan
hanya
dengan
pulmo
(paru-paru),
laring
mempunyai pita suara; memiliki musculus diaphragmaticus
yang sempurna memisahkan paru-paru dan jantung dengan
rongga perut.
(5) Memiliki vesica urinaria; hasil ekskresi berupa urin
(6) Memiliki 12 nervi cranialis; otak berkembang baik; kedua
cerebrum dan cerebelum besar.
(7) Suhu tubuh tetap (homoioterm)
(8) Pada hewan jantan memiliki alat kopulasi berupa penis; testis
umumnya terdapat dalam skrotum yang terletak di luar perut.
Fertilisasi terjadi di dalam tubuh; telur biasanya kecil tanpa
cangkok dan tinggal dalam uterus untuk tumbuh; memiliki
membrana embryonica (amnion, ehorion, dan alanthois);
biasanya memiliki plasenta yang menghubungkan embrio
dengan dinding uterus yang digunakan untuk nutrisi dan
respirasi; anaknya diasuh setelah lahir dan disusui.
100
Kelas Mamalia dibagi menjadi 3 Sub Kelas:
Sub Kelas I Protothreria
Ordo I Monotremata, merupakan Mamalia bertelur, tidak
berdaun telinga, gigi hanya terdapat pada hewan yang
masih muda, bersudu, dan mempunyai kloaka. Contoh:
platypus.
Sub Kelas II Allotheria, sudah punah
Sub Kelas III Theria, mempunyai daun telinga dan gigi; tidak
mempunyai kloaka, vivipar.
Infra Kelas I Panthotheria, sudah punah
Infra Kelas II Metatheria
Ordo I Marsupalia, hewan betina dengan marsupium,
kandungan di dinding perut yang menutupi papilla
mammae yang terdapat pada dinding perut, tidak
ada plasenta. Contoh: kanguru, wallabi
Infra Kelas III Eutheria, tidak ada marsupium, perkembangan
terus berlangsung di dalam uterus, terjadi chorion dan
plasenta.
Ordo I Insectivora, contohnya celurut
Ordo II Dermoptera, contohnya Galeopterus variegatus
Ordo III Chiroptera, contohnya kalong, kelelawar
101
Ordo IV Primates, contohnya Tarsius tarsius, kukang,
kera, Macaca maura, lutung, bekantan, siamang,
uwa-uwa, orang utan, gorila.
Ordo V Carnivora, contohnya anjing, sigung, beruang,
harimau, macan, kucing, musang, luwak, garangan,
anjing laut.
Ordo VI Cetacea, contohnya ikan lumba-lumba, ikan
pesut, ikan paus.
Ordo VII Perissodactylia, contohnya kuda, badak, tapir
Ordo VIII Artiodactylia, contohnya celeng, babi,
babirusa, kancil, unta, rusa, kijang, jerapah,
antilop, bison, biri-biri, kambing, sapi, banteng,
kerbau, dll.
Ordo IX Pholidota, contohnya trenggiling
Ordo X Lagomorpha, contohnya kelinci
Ordo XI Rodentia, contohnya tikus, marmut, bajing
Ordo XII Probocidea, contohnya gajah
Ordo XIII Sirenia, contohnya dugong
(Radiopoetro. 1996: 592-606).
102
C. Penelitian yang Relevan
Sebagai bahan perbandingan dan petunjuk agar memperoleh gambaran
yang jelas dalam melakukan penelitian selanjutnya, maka dikemukakan
penelitian-penelitian yang dilakukan oleh:
1. Darmiyati (2009) dengan penelitiannya yang berjudul “Pengembangan
Model Asesmen Diagnostik dalam Upaya Meningkatkan Hasil Belajar
Matematika di SD Kota Banjarbaru dan Kabupaten Tanah Laut Kalimantan
Selatan” menyimpulkan bahwa, tes diagnostik matematika sebelum
diberikan kepada siswa telah diujicobakan secara terbatas dan memenuhi
syarat validitas, di mana jumlah pertanyaan terdiri dari 45 butir soal.
Setelah dihitung, butir yang valid ada 40 butir dan reliabilitasnya 0, 77.
Hasil diagnostik menunjukkan bahwa kesulitan terbanyak yang dialami
siswa adalah pada pokok bahasan 1) satuan waktu, panjang, berat, dan
masalah sehari-hari 2) penjumlahan, pengurangan, dan hitung campuran 3)
alat ukur 4) perkalian, pembagian, dan hitung campuran 5) perhitungan
uang dan 6) bilangan cacah. Tes diagnostik yang diberikan berbentuk
uraian dan dilaksanakan secara bertahap mengacu pada ranah kognitif
meliputi ingatan, pemahaman, analisis, sintesis, dan evaluasi.
2. Penelitian Duskri, Kumaidi, dan Suryanto (2014) yang berjudul
“Pengembangan Tes Diagnostik Kesulitan Belajar Matematika di SD”
menghasilkan:
(1)
pengembangan
tes
diagnostik
meliputi
studi
pendahuluan, studi literatur dan hasil penelitian, analisis masalah,
merumuskan learning continuum, merumuskan peta konsep, menyusun tes
103
esai, polarisasi jawaban siswa, menyusun tes bentuk pilihan ganda, validasi
pakar melalui focus group discussion, uji coba terbatas, dan uji yang
diperluas, (2) indeks daya beda butir tes antara 0,391 sampai dengan 2,317;
indeks kesukaran butir tes antara -2,158 sampai dengan 2,528; kecocokan
uji tes dengan kemampuan peserta antara -2,00 sampai dengan 2,60; dan
fungsi informasi tes antara 0,111 sampai dengan 3,879, dan (3) informasi
yang dapat dimunculkan dari tes meliputi: hasil tes secara klasikal dan
individual, grafik ketuntasan belajar, profil individual, analisis salah
konsepsi, dan saran remedial. Namun keterbatasan penelitian ini adalah
software komputer yang dirancang untuk melakukan analisis hasil tes
diagnostik kesulitan belajar masih berbasis Microsoft Excel 2007 dan dapat
dikembangkan dengan program lain yang lebih interaktif.
3. Penelitian yang dilakukan Kusaeri (2012) yang berjudul “Menggunakan
Model DINA dalam Pengembangan Tes Diagnostik untuk Mendeteksi
Salah Konsepsi” menunjukkan bahwa, 1) tahapan pengembangan tes
meliputi: identifikasi kompetensi dasar dan merumuskan indikator,
menyusun learning continuum, menyusun hierarki materi, merumuskan
atribut, menyusun soal, validasi ahli, dan uji empirik. 2) Setelah melalui
tujuh tahapan, dikembangkan 37 item tes diagnostik dengan 15 item di
antaranya harus dihilangkan/ dihapus dari paket tes karena tidak memenuhi
uji fit model dan kualitas item jelek (indeks daya beda kurang dari 0,2).
4. Irzani (2009) dalam jurnalnya yang berjudul “Pengembangan Tes
Diagnostik Kesulitan Belajar Matematika di SMA” mengungkapkan
104
bahwa, 1) rancangan tes diagnostik kesulitan belajar Matematika SMA
mencangkup tingkatan kognitif keterampilan dasar, analisis, dan aplikasi,
2) validitas item tes diagnostik telah dipenuhi melalui expert judgement,
telah melalui FGD yang dilakukan sebanyak dua kali serta terbukti
memenuhi persyaratan unidimensi, kondisional independen, dan fit dengan
model secara empiris dengan Partial Credit Model (PCM) berdasarkan data
politomus tiga, empat, dan lima kategori menggunakan program Quest dan
tingkat nilai fungsi tes yang baik menggunakan program Parscale, 3)
perangkat tes diagnostik yang digunakan dalam tahap pengukuran, yang
dirakit menggunakan item hasil uji coba, telah terbukti dapat digunakan
untuk mengukur perbedaan kesulitan belajar siswa pada SMA yang
menjadi sampel, yaitu menurut uji statistik uji beda, dan 4) tingkat
kesulitan belajar siswa dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa siswa
mengalami kesulitan belajar terbesar pada materi Geometri kemudian
Aljabar, dan Dasar-dasar Operasil Bilangan dengan tingkat kesulitan ratarata 0,12; 0, 04; dan -0,15.
5. Penelitian Anita Puspita Handayani, Muhardjito, dan Sumarjono (2013)
yang berjudul “Pengembangan Instrumen Tes Pilihan Ganda Distraktor
Bermakna untuk Mengidentifikasi Karakteristik Konsepsi Fisika Siswa
Kelas XI SMA Negeri 2 Malang” menyebutkan, 1) produk yang
dikembangkan berupa instrumen tes pilihan ganda distraktor bermakna
untuk mengidentifikasi karakteristik konsepsi fisika siswa kelas XI SMA
Negeri 2 Malang pada materi getaran. Jumlah soal pada instrumen tes yang
105
dikembangkan adalah 30 butir soal dari 10 indikator. Setiap indikator
disusun menjadi 3 butir soal pilihan ganda yang setara dan sama. Masingmasing butir juga terdiri dari 4 alternatif pilihan jawaban, yaitu 1 jawaban
benar dan 3 jawaban salah (distraktor), 2) hasil analisis validasi oleh tim
ahli, diketahui bahwa sebagian besar butir soal tes pilihan ganda yang
dikembangkan dinyatakan layak dari segi materi, konstruksi, dan bahasa.
Hasil validitas butir soal terdapat soal-soal yang tidak valid, sehingga perlu
dilakukan revisi dan dihasilkan produk akhir. Hasil uji reliabilitas untuk 16
butir soal valid memiliki reliabilitas sebesar 0,931 sehingga tergolong
dalam kategori reliabilitas sangat tinggi, 3) produk telah mampu
mengidentifikasi karakteristik konsepsi siswa serta dapat membedakan
siswa yang memahami konsep dengan benar; mengalami miskonsepsi
beserta miskonsepsi yang dialami; dan tidak memahami konsep. Selain itu,
dari hasil analisis, produk yang dikembangkan dapat memberikan umpan
balik untuk siswa dalam memperbaiki cara belajar dan mempermudah guru
untuk memberikan remidiasi. Secara keseluruhan, analisis profil kelas
menunjukkan bahwa siswa yang memahami konsep dengan benar pada
materi getaran masih tergolong rendah, yaitu 29,68 %; sedangkan 70,32 %
mengalami miskonsepsi.
D. Kerangka Berpikir
Peserta didik adalah individu dengan karakteristik yang berbeda-beda
terutama dalam hal kemampuan belajar. Beberapa peserta didik ada yang dapat
106
dengan cepat menerima dan memahami apa yang ia pelajari, namun ada pula
yang lambat dan menemui hambatan dalam belajarnya. Proses belajar peserta
didik antara yang berkemampuan tinggi tentu tidak akan sama dengan yang
berkemampuan sedang, bahkan dengan yang berkemampuan kurang.
Perbedaan kemampuan belajar peserta didik memerlukan pelayanan tersendiri
bagi guru dalam rangka penyesuaian pelaksanaan program pembelajaran.
Untuk dapat memberikan pelayanan yang tepat kepada peserta didik
sesuai kebutuhannya, guru harus mengetahui kemampuan belajar masingmasing peserta didik melalui suatu kegiatan penilaian. Penilaian yang berfungsi
untuk mengukur kemampuan peserta didik dalam belajar adalah penilaian
formatif. Melalui penilaian formatif guru dapat mengetahui kemampuan
peserta didik dalam mencapai kompetensi pelajaran. Bagi peserta didik yang
sudah mencapai kompetensi yang ditargetkan, guru dapat memberikan
pelayanan berupa program pengayaan, sedangkan bagi peserta didik yang
belum mencapai kompetensi, guru dapat memberikan pelayanan berupa
program remediasi.
Peserta didik yang belum mencapai kompetensi berarti, peserta didik
tersebut mengalami kesulitan dalam mempelajari kompetensi atau pokok
bahasan yang ditargetkan. Kesulitan belajar peserta didik harus diidentifikasi
terlebih dahulu sebelum diberikan program remediasi, sehingga program
remediasi dapat berjalan tepat sasaran memperbaiki kesulitan belajar peserta
didik. Proses identifikasi dapat dilakukan secara efisien baik dalam hal waktu,
tenaga, dan biaya dengan melakukannya secara bersamaan dengan penilaian
107
formatif, yaitu melalui tes formatif yang berfungsi sebagai tes diagnostik.
Dengan tes ini guru dapat mengukur kemampuan belajar peserta didik
sekaligus kesulitan belajarnya.
Agar tes formatif yang berfungsi sebagai tes diagnostik dapat berhasil
mengukur kemampuan belajar dan letak kesulitan belajar peserta didik, maka
dalam mengembangkannya diperlukan langkah-langkah yang meliputi:
identifikasi kompetensi dasar atau pokok bahasan yang memberikan kesulitan
kepada peserta didik, menentukan indikator pencapaian kompetensi, menyusun
kisi-kisi tes, menulis item tes, menelaahh item tes, mengujikan tes kepada
peserta didik, serta melakukan analisis dan intepretasi hasil tes. Adapun bagan
kerangka berpikir penelitian ini disajikan pada gambar 9. di bawah ini:
108
Perbedaan Kemampuan
Peserta Didik
Kesulitan belajar peserta didik
pada setiap pokok bahasan
Identifikasi
Tes Formatif yang Berfungsi sebagai Tes Diagnostik
Menentukan Standar Kompetensi
Menentukan Indikator Pencapaian KD
Menyusun kisi-kisi
Menulis Tes
Tidak
Baik
Ditelaah oleh dosen ahli
Baik
Uji Coba Terbatas
Analisis dan
Intepretasi Hasil
Kesulitan
Belajar Peserta
Didik
Gambar 9. Kerangka Berpikir Penelitian Tes Formatif yang Berfungsi sebagai Tes
Diagnostik
109
Download