ihwal judicial review

advertisement
Seri Bahan Bacaan Kursus HAM untuk Pengacara XI
Tahun 2007
Materi : Mekanisme Judicial Review
JUDICIAL REVIEW
Dian Rositawati, S.H.
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat
Jl Siaga II No 31 Pejaten Barat, Jakarta 12510
Telp (021) 7972662, 79192564 Fax : (021) 79192519
Website : www.elsam.or.id
Email : [email protected] : [email protected]
Kursus HAM untuk Pengacara XI Tahun 2007
Bahan Bacaan
Materi : Mekanisme Judicial Review
Bab I
Pengertian Judicial Review
A. Pengantar Pemahaman
“Judicial
Review”
(hak
uji
materil)
merupakan kewenangan lembaga peradilan
untuk menguji kesahihan dan daya laku
produk-produk hukum yang dihasilkan
oleh ekesekutif legislatif maupun yudikatif
di hadapan konstitusi yang berlaku.
Pengujian oleh hakim terhadap produk
cabang kekuasaan legislatif (legislative acts)
dan cabang kekuasaan eksekutif (executive
acts) adalah konsekensi dari dianutnya
prinsip ‘checks and balances’ berdasarkan
doktrin pemisahan kekuasaan (separation of
power) 1 . Karena itu kewenangan untuk
melakukan ‘judicial review’ itu melekat pada
fungsi hakim sebagai subjeknya, bukan
pada pejabat lain. Jika pengujian tidak
dilakukan oleh hakim, tetapi oleh lembaga
parlemen, maka pengujian seperti itu tidak
dapat disebut sebagai ‘judicial review’,
melainkan ‘legislative review’ 2 .
1 Dalam sistem ‘judicial review’ oleh
Mahkamah Konstitusi di Jerman malah
ditentukan pula adanya kewenangan Mahkamah
Konstitusi untuk menguji putusan Mahkamah
Agung. Dengan demikian, secara akademis,
dapat dikatakan bahwa objek yang dapat diuji
melalui mekanisme ‘judicial review’ oleh hakim
konstitusi itu dapat mencakup (i) legislative acts,
(ii) executive acts, dan juga (iii) judicial decisions.
Jimly Asshiddiqie, Catatan Kompilasi Peraturan
tentang Mahkamah Konstitusi di 45 Negara, Fakultas
Hukum
Universitas
Indonesia,
belum
diterbitkan.
2 Salah satu contoh bentuk pengujian
legislatif terhadap produk eksekutif (executive
acts) adalah pengujian oleh Dewan Perwakilan
Judicial Review di negara-negara penganut
aliran hukum civil law biasanya bersifat
tersentralisasi (centralized system). 3 Negara
penganut sistem ini biasanya memiliki
kecenderungan untuk bersikap pasti
terhadap doktrin supremasi hukum. Karena
itu penganut sistem sentralisasi biasanya
menolak untuk memberikan kewenangan
ini kepada pengadilan biasa, karena hakim
biasa dipandang sebagai pihak yang harus
menegakkan hukum sebagaimana yang
tercantum
dalam
suatu
peraturan
perundangan. Kewenangan ini kemudian
dilakukan oleh suatu lembaga khusus yaitu
seperti Mahkamah Konstitusi.
Di
sisi
lain,
dalam
sistem
yang
terdesentralisasi
(desentralized
system),
seperti misalnya diterapkan di Amerika
Serikat, kewenangan melakukan judicial
review atas suatu peraturan dan konstitusi
diberikan pada organ pengadilan yaitu
Rakyat terhadap Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang (PERPU). Jika dalam satu
tahun, suatu Perpu tidak mendapat persetujuan
DPR, maka Perpu itu harus dicabut oleh
Presiden. Karena itu, setiap perpu yang
ditetapkan oleh Presiden diharuskan segera
diajukan ke DPR untuk mendapatkan ‘legislative
review’ dengan kemungkinan disetujui atau
ditolak oleh DPR.
3 Daniele E. Finck, Judicial Review: The
United States Supreme Court Versus the German
Constitutional Court, Boston College International
& Comparartive Law Review, 1997, page 2.
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, ELSAM
1
Kursus HAM untuk Pengacara XI Tahun 2007
Bahan Bacaan
Materi : Mekanisme Judicial Review
Mahkamah Agung. 4 Pertimbangan
memberikan
kewenangan
ini
pengadilan adalah sangat sederhana,
pengadilan memang berfungsi
menafsirkan
hukum
dan
menerapkannya dalam kasus-kasus.
untuk
pada
karena
untuk
untuk
Sedangkan dalam sistem pembagian
kekuasaan (distribution or division of power)
yang tidak mengidealkan prinsip ‘checks and
balances’, pengujian semacam itu, jika
diperlukan,
dianggap
hanya
dapat
dilakukan oleh lembaga yang membuat
aturan itu sendiri. Misalnya, suatu Undangundang hanya dapat diuji oleh Presiden dan
DPR
yang
memang
berwenang
membuatnya sendiri. Usul mengenai
pencabutan suatu Undang-Undang bisa
datang dari mana saja, tetapi proses
perubahan ataupun pencabutan UndangUndang itu harus datang dari inisiatif
Presiden atau DPR sebagai lembaga yang
mempunyai wewenang untuk itu. Itulah
sebabnya, selama ini dianut pendapat
bahwa Mahkamah Agung berwenang
menguji materi peraturan di bawah
Undang-Undang, tetapi tidak berwenang
menguji materi Undang-Undang terhadap
Undang-Undang Dasar.
Pengujian judicial itu sendiri dapat bersifat
formil atau materiel (formele toetsingsrecht en
materiele toetsingsrecht) 5 . Pengujian formil
biasanya terkait dengan soal-soal prosedural
dan berkenaan dengan legalitas kompetensi
institusi yang membuatnya. Hakim dapat
membatalkan
suatu
peraturan
yang
ditetapkan dengan tidak mengikuti aturan
resmi tentang pembentukan peraturan yang
bersangkutan.
Hakim
juga
dapat
menyatakan batal suatu peraturan yang
tidak ditetapkan oleh lembaga yang
memang memiliki kewenangan resmi untuk
membentuknya.
Sedangkan pengujian materiel berkaitan
dengan kemungkinan pertentangan materi
Ibid., page.3
Tentang ini, baca Sri Soemantri, Hak
Uji Material di Indonesia, Alumni, Bandung, 1997,
hal.6-15.
4
5
suatu peraturan dengan peraturan lain yang
lebih
tinggi
ataupun
menyangkut
kekhususan-kekhususan yang dimiliki suatu
aturan dibandingkan dengan norma-norma
yang berlaku umum. Misalnya, berdasarkan
prinsip ‘lex specialis derogate lex generalis’,
maka suatu peraturan yang bersifat khusus
dapat dinyatakan tetap berlaku oleh hakim,
meskipun isinya bertentangan dengan
materi peraturan yang bersifat umum.
Sebaliknya, suatu peraturan dapat pula
dinyatakan tidak berlaku jikalau materi
yang terdapat di dalamnya dinilai oleh
hakim nyata-nyata bertentangan dengan
norma aturan yang lebih tinggi sesuai
dengan prinsip ‘lex superiore derogate lex
infiriore’.
Pengujian atau ‘review’ oleh hakim itu dapat
dilakukan secara institutional atau formal
dan dapat pula dilakukan secara prosesual
atau substansial. Suatu peraturan sebagai
institusi dapat dimohonkan pengujian
kepada
hakim,
dan
hakim
dapat
menyidangkan perkara ‘judicial review’ itu
dalam persidangan yang tersendiri. Dalam
hal demikian, dapat dikatakan bahwa
pengujian materiel itu dilakukan secara
institusional, dimana peraturan yang
bersangkutan secara keseluruhan dapat
dinyatakan tidak berlaku lagi secara hukum.
Tetapi, pengujian juga dapat dilakukan oleh
hakim secara tidak langsung dalam setiap
proses acara di pengadilan.
Dalam mengadili sesuatu perkara apa saja,
hakim dapat saja atau berwenang
mengesampingkan
berlakunya
sesuatu
peraturan atau tidak memberlakukan
sesuatu peraturan tertentu, baik seluruhnya
(totalitas) ataupun sebagiannya. Mekanisme
demikian ini dapat pula disebut sebagai
‘judicial review’ yang bersifat prosessual, atau
‘judicial review’ yang bersifat substansial 6 .
6 ‘Review’ dapat dibedakan dari ‘appeal’.
Seperti dikatakan oleh Brian Thompson, “If one
appeals a decision, one is claiming that it is
wrong or incorrect, and that the appellate
authority should change the decision”.
Sedangkan pada ‘judicial review’, “the court is not
concerned with the merits of the case, whether
the decision was right or wrong, but whether it
was lawful or unlawful. Seperti dikatakan oleh
Lord Brightman : “Judicial review is concerned,
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, ELSAM
2
Kursus HAM untuk Pengacara XI Tahun 2007
Bahan Bacaan
Materi : Mekanisme Judicial Review
Objek yang diuji oleh hakim dapat berupa
produk hukum yang ditetapkan oleh
lembaga legislatif (legislative acts) dan dapat
pula berupa produk eksekutif (executive
acts). Produk legislatif (legislative acts)
biasanya disebut undang-undang, wet atau
law, tergantung bahasa yang digunakan di
masing-masing negara. Disebut produk
legislatif karena memang dalam proses
pembuatannya terlibat peran parlemen.
Kalaupun, produk legislatif tersebut tidak
dilakukan sepenuhnya oleh parlemen,
setidaknya produk dimaksud ditetapkan
oleh pemerintah bersama-sama parlemen.
Dalam tradisi ‘common law’ Anglo Amerika,
baik ‘legislaltive acts’ maupun ‘executive acts’
tersebut dapat berupa produk hukum yang
mengatur (regels, regeling) dan dapat pula
berbentuk
keputusan-keputusan
administrasi negara yang tidak bersifat
mengatur,
melainkan
hanya
bersifat
penetapan
administratif
(beschikking).
Karena itu, kebijakan dan keputusankeputusan pejabat administrasi negara yang
tidak berbentuk peraturan juga dapat diuji
kembali dan dibatalkan atau dinyatakan
tidak sah oleh pengadilan (hakim).
Dalam sistem ‘civil law’ yang menganggap
adanya peradilan administrasi negara
sebagai salah satu pilar penting Negara
Hukum
(Rechtsstaat),
keputusan
administrasi negara yang tidak bersifat
mengatur itu dianggap sebagai objek
pengujian oleh hakim adminitrasi Negara
(tata usaha Negara). Karena itu, yang
termasuk dalam pengertian ‘judicial review’
dalam sistem ‘civil law’, hanyalah produk
pengaturan saja, yaitu mulai dari Undangundang sampai ke peraturan-peraturan
(regels) yang ada di bawahnya. Misalnya
saja, Keputusan Presiden yang bersifat
mengatur dapat dijadikan objek ‘judicial
review’, tetapi Keputusan Presiden mengenai
not with the decision, but with the decisionmaking process”. Constitutional and Administrative
Law, Blackstone Press Ltd., London, 1993, hal.
398. Juga John Alder, Constitutional and
Administrative Law, London : MacMillan
Professional Masters, 1989, hal. 293.
pengangkatan dan pemberhentian pejabat –
karena berisi norma yang konkrit dan
bersifat individual – tidak dapat dimintakan
‘judicial review’, tetapi oleh yang dirugikan
dapat diajukan gugatan ke pengadilan tata
usaha negara. Sedangkan ‘judicial review’
dalam sistem ‘common law’ seperti
disebutkan di atas, mencakup objek
peraturan, baik ‘legislative acts’ maupun
‘executive acts’, dan juga objek tindakantindakan atau kebijakan administrasi negara
yang merugikan kepentingan individu
warganegara. Dengan perkataan lain,
‘judicial review’ dalam sistem ‘common law’
mencakup pula mekanisme tuntutan yang
biasa dikenal dalam sistem peradilan tata
usaha negara yang berkenaan dengan
norma-norma hukum yang bersifat konkrit
dan individuil. Tindakan atau kebijakan
pemerintahan
yang
merugikan
atau
menimbulkan
ketidakadilan
dengan
sendirinya dapat diuji oleh hakim, dan
proses pengujian itu juga disebut sebagai
‘judicial review’ 7 .
Aspek
administrasi
negara
dalam
penggunaan upaya ‘judicial review’ itu di
lingkungan negara-negara yang mewarisi
tradisi ‘common law’, makin lama bahkan
cenderung
makin
meningkat
dapat
dianggap sebagai ciri penting negara hukum
modern
(constitutional democracy).
Di
lingkungan negara-negara dengan tradisi
‘civil law’ hal ini sebenarnya sudah sejak
lama berkembang dengan dimasukkannya
elemen pengadilan administrasi negara
menjadi
salah
satu
pilar
konsepsi
‘Rechtsstaat’ (negara hukum) Eropa Barat.
7 Karena itu, seperti dikemukakan oleh
Lee Bridges, George Meszaros, dan Maurice
Sunkin mengenai ‘judicial review’ di Inggris,
“Judicial review is the principal means by which
the courts …. Exercise supervision over the
conduct of central and local government and
other public authorities. Since undergoing
substantial reform in 1977, the procedures for
judicial review have been widely seen by legal
commentators as having ‘transformed the face of
administrative law’ and led to a ‘torrent’ of cases
against public bodies being brought before the
courts”. Judicial Review in Perspective, The Glass
House, Cavendish Publ. Ltd., London, 1995, hal.
1.
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, ELSAM
3
Kursus HAM untuk Pengacara XI Tahun 2007
Bahan Bacaan
Materi : Mekanisme Judicial Review
Karena itu, perkembangan pengertian
tentang mengenai fungsi Mahkamah
Konstitusi yang dianggap berwenang
melakukan
‘judicial
review’
terhadap
peraturan, baik dalam arti ‘legislative acts’
maupun ‘executive acts’, sama sekali terpisah
dari perkembangan pengertian mengenai
jaminan keadilan bagi warga negara dalam
konteks sistem peradilan tata usaha negara.
Sedangkan dalam sistem ‘common law’,
kedua
hal
itu
tercakup
dalam
perkembangan
‘judicial
review’
yang
dilakukan oleh Mahkamah Agung. Karena
itu, baik di Inggris maupun di Amerika,
pengertian ‘judicial review’ yang biasa
dipahami lebih luas cakupan maknanya,
yaitu termasuk gugatan berkenaan dengan
norma hukum yang konkrit dan individuil
seperti yang dikenal dalam sistem peradilan
tata usaha negara 8 . Malah, ke arah inilah
pengertian ‘judicial review’ itu cenderung
berkembang, seperti dikatakan oleh Lee
Bridges dan kawan-kawan : “Judicial review
has been increasingly celebrated, not least by the
judiciary itself, as a means by which the citizen
can
obtain redress against
oppressive
government, and as a key vehicle for enabling the
judiciary to prevent and check the abuse of
executive power”. 9
Pedoman hukum yang dipakai untuk
melakukan pengujian tersebut oleh hakim
8 Jika dalam sistem ‘civil law’ peradilan
tata usaha negara dianggap sebagai pilar negara
hukum (Rechtsstaat), maka dalam sistem
‘common law’, ‘meskipun diakui sangat penting,
menurut John Ferejohn, Jack N. Rakove dan
Jonathan Riley, “it would be a mistake to identify
or equate constitutionalism with judicial review.
Empowering courts to enforce constitutional
clauses is neither a necessary nor a sufficient
conditions
for
the
development
of
a
constitutional regime”, Constitutional Culture
and Democratic Rule, Cambridge University
Prerss, 2001, hal.13.
Lihat kata pengantar Lord BrownWilkinson dalam M. Superstone QC and J.
Goudie QC, Judicial Review, Butterworths,
London, 1992, dan F. Mount, The British
Constitution Now, Mandarin, London, 1993, hal.
261. Lihat juga, John Ferejohn et.al. ibid., hal.7
dan footnote 1.
9
adalah norma hukum yang lebih tinggi, atau
sekurang-kurangnya norma hukum yang
setingkat terutama apabila pengujian yang
dilakukan bersifat formil. Norma hukum
yang paling tinggi adalah Konstitusi. Karena
itu, pengujian terhadap materi undangundang dinilai berdasarkan norma dasar
yang terkandung dalam konstitusi. Dengan
kata
lain,
yang
diuji
adalah
konstitusionalitas materi undang-undang,
konstitusionalitas dan legalitas prosedur
penetapan
undang-undang,
ataupun
legalitas kompetensi kelembagaan yang
menetapkan
undang-undang
tersebut.
Sedangkan untuk materi peraturan di
bawah undang-undang, dinilai berdasarkan
undang-undang
dan
demikian
pula
peraturan di bawahnya dinilai berdasarkan
peraturan yang berada di atasnya. Karena
hubungan
hirarkis
antar
peraturan
perundang-undangan
itu
seyogyanya
bersifat sistemik dan ‘inter-related’ secara
vertikal,
maka
dapat
dikembangkan
pemikiran bahwa subjek hakim penguji
(judicial
review)
seharusnya
bersifat
‘integrated’ atau terpadu di satu institusi.
Akan tetapi, karena dalam pengalaman di
banyak
negara,
kemunculan
ide
pembentukan Mahkamah Konstitusi 10 dapat
10 Pembentukan Mahkamah Konstitusi
ini dapat disebut sebagai gejala abad ke-20.
Sampai sekarang, baru 45 negara yang
membentuknya dan mengadopsikannya dalam
rumusan konstitusi. Ke-45 negara itu adalah :
Albania, Aljazair, Autria, Armenia, Azerbaijan,
Belgia, Belarusia, Bolivia, Bosnia-Herzegovina,
Bulgaria, Chile, Colombia, Croatia, Czech,
Denmark, Ecuador, Germany, Georgia. Hungary,
Indonesia, Italy, Latvia, Lithuania, Malta,
Marocco, Mesir, Moldova, Norwegia, Perancis,
Peru, Polandia, Portugal, Rumania, Russia, South
Afrika, South Korea, Slovakia, Slovenia, Spain,
Swaziland, Swedia, Thailand, Turkey, dan
Venezuella. Ke-45 negara itu, ada yang menyebut
mahkamah ini dengan sebutan ‘Constitutional
Court’, ada yang menyebutnya ‘Constitutional
Arbirage’ seperti di Belgia, dan ada pula yang
tidak
menyebutnya
sebagai
pengadilan,
melainkan dewan atau ‘Counseil Constitutionnel’
seperti di Perancis dan beberapa negara yang
dipengaruhi oleh sistem hukum Perancis. Lihat
Jimly Asshiddiqie, Mahkamah Konstitusi di
Berbagai Negara, makalah Seminar Universitas
Islam Indonesia, Yogyakarta, 2002.
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, ELSAM
4
Kursus HAM untuk Pengacara XI Tahun 2007
Bahan Bacaan
Materi : Mekanisme Judicial Review
dipandang sebagai inovasi baru di bidang
hukum yang dalam perkembangannya baru
dikaitkan dengan pengujian terhadap
konstitusionalitas undang-undang, maka
subjek hakim penguji itu dibedakan antara
materi undang-undang dan peraturan di
bawah undang-undang.
Di beberapa negara, juga diterima adanya
pengertian bahwa selain kewenangan uji
materiel atas undang-undang, Mahkamah
Konstitusi juga berwenang menyelesaikan
sengketa antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintah
Daerah
ataupun
antar
Pemerintah Daerah dalam menjalankan
peraturan perundang-undangan ataupun
dalam
melaksanakan
Undang-undang
Dasar.
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, ELSAM
5
Kursus HAM untuk Pengacara XI Tahun 2007
Bahan Bacaan
Materi : Mekanisme Judicial Review
B. Perkembangan Judicial Review di Indonesia
Dalam proses pembentukan UUD 1945
terjadi
perdebatan
tentang
perlunya
Mahkamah Agung sebagai pemegang
kekuasaan yudikatif untuk memiliki
kewenangan
menilai
apakah
suatu
peraturan perundangan sesuai dengan
konstitusi. Soepomo
tidak sependapat
karena menurutnya kekuasaaan demikian
terdapat pada negara yang menganut sistim
pemisahan kekuasaan (konsep trias politica).
Sementara Rancangan UUD tidak, dan
kekuasaan yudikatif tidak mengontrol
kekuasaan legislatif sebagai pembentuk
undang-undang. Menurut
Supomo, di
negara-negara lain seperti Austria, CekoSlowakia dan Jerman, kewenangan tersebut
dilaksanakan oleh suatu pengadilan yang
memang khusus menangani masalah
konstitusi. Akhirnya BPUPKI dan PPKI
menolak
usul
tersebut
dan
tidak
memasukkannya ke dalam UUD sebagai
bagian wewenang yudikatif MA.
Dalam Konstitusi RIS yang diundangkan
pada tahun 1949 disebutkan bahwa,
kewenangan untuk menilai apakah suatu
UU Negara Bagian bertentangan atau tidak
dengan UU Federal dan Konstitusi RIS
diberikan kepada MA. Untuk merespon
perkembangan, di sekitar tahun 1956 – 1959
IKAHI dan MA mengusulkan bahwa MA
seharusnya memiliki kewenangan untuk
menyatakan suatu peraturan perundangan
bertentangan dengan UUD. Kemudian
dalam pembahasan konstitusi bidang
peradilan, Konstituante memutuskan untuk
memuat pembentukan peradilan khusus
yang terdiri dari Hakim Agung yang
berwenang menilai peraturan perundangan.
Namun, dengan Dekrit 1959, Presiden
membubarkan Parlemen.
Tahun 1970 UU 14 Tahun 1970 tentang
Kekuasaan
Kehakiman
memberikan
kewenangan kepada MA untuk menilai
kesesuaian
suatu
peraturan
dengan
peraturan yang lebih tinggi (judical review).
Namun kewenangan itu, terbatas pada
peraturan yang tingkatnya lebih rendah dari
UU dan tidak mengatur penilaian UU
terhadap UUD. UU No. 14 Tahun 1985
tentang
Mahkamah
Agung
juga
menyebutkan hal yang kurang lebih sama.
Tahun
1993
diterbitkan
Peraturan
Mahkamah Agung (PERMA) No. 1 Tahun
1993 Tentang Hak Uji Materiil tertanggal 15
Juni
1993
sebagai
reaksi
terhadap
permohonan judicial review yang diajukan
harian Prioritas kepada MA terhadap
Peraturan
Menteri
Penerangan
No.
01/Per/Menpen/1984 tentang Surat Izin
Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) sekitar 7
bulan sebelumnya. Tahun 1999 MA
mengeluarkan Surat Edaran MA No. 1
Tahun 1999 tentang Judicial Review dalam
rangka memperbaharui teknis pelaksanaan
judicial review yang sebelumnya diatur
dalam PERMA No. 1 Tahun 1993. Perbedaan
prinsipil dengan aturan sebelumnya adalah
permohonan judicial review dapat juga
diajukan terpisah dari suatu perkara
(permohonan).
Pada bulan Nopember 1997 F-PDI
mengusulkan
untuk
memberi
MA
kewenangan melakukan judicial review
terhadap UU, namun PAH II BP MPR
menolak, dengan alasan MA tidak berhak
untuk melakukan judicial review terhadap
ketentuan hasil lembaga tinggi negara. F-KP,
F-UD, F-PP, F- ABRI menyatakan bahwa
yang berhak melakukan judicial review
terhadap UU adalah lembaga yang
menghasilkan
UU
tersebut,
yaitu
Pemerintah dan DPR.
Pada bulan Juli 2000 dalam Pembahasan
Amandemen Kedua UUD 45 oleh PAH I BP
MPR Tim ahli mengusulkan untuk segera
dibentuk MK. Usul itu diterima dalam rapat
pleno ke-26. Dalam pasal 25B, Bab IX
tentang
Kekuasaan
Kehakiman
dan
Penegakan Hukum dalam Rancangan
Amandemen Kedua UUD 45 yang disiapkan
oleh PAH BP MPR, Mahkamah Konstitusi
direncanakan
untuk
mempunyai
3
kewenangan : (i) menguji secara materiil
atas UU dan UUD; (ii) memutus atas
pertentangan antar UU; (iii)
memutus
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, ELSAM
6
Kursus HAM untuk Pengacara XI Tahun 2007
Bahan Bacaan
Materi : Mekanisme Judicial Review
sengketa kewenangan antar lembaga negara,
antara pemerintah pusat dengan daerah,
antar pemerintah daerah.
Dalam kesepakatan finalisasi PAH I BP
MPR, 22 Juli 2000, PAH I menyepakati MK
berada dalam lingkungan MA. Pada bulan
Agustus tahun 2000 dalam Sidang Tahunan
I MPR Bab ini dibahas dalam ST I MPR,
namun tidak dicapai kesepakatan. Oleh
karena itu, MPR menerbitkan TAP III/2000,
yang menegaskan kembali bahwa judicial
review atas UU dan UUD 45 serta TAP MPR
ada di tangan MPR, sedang MA hanya
berwenang untuk menguji peraturan di
bawah UU.
PAH II BP MPR pada bulan Mei 2002
menyusun rancangan perubahan Peraturan
Tata Tertib MPR dimana jika disetujui
dalam ST 2001, BP MPR akan memiliki
kewenangan melakukan uji materiil atas
UU, TAP MPR, dan UUD. Walaupun
mengakui MK yang seharusnya berwenang,
sebelum terbentuk BP sesuai TAP MPR
III/2000, BP MPR yang melaksanakannya.
Kalaupun pandangan ini dapat dibenarkan,
maka pengujian oleh lembaga MPR ini
tidaklah dapat dikategorikan sebagai
‘judicial review’, karena sama sekali tidak
dilakukan oleh hakim, melainkan oleh
‘legislator’. Namun demikian, ketentuan
demikian ini sangatlah keliru karena
memberikan wewenang kepada lembaga
yang tidak tepat. Tim ahli MPR
menentangnya dengan alasan kewenangan
itu adalah milik lembaga peradilan dan MA
dapat membentuk
kompartemen baru.
Meskipun TAP MPR No. III/MPR/2000
adalah
sah
adanya,
tetapi
dalam
penerapannya,
ketentuan
mengenai
‘legislative review’ yang dimaksudkan dalam
Pasal 5 ayat (1) tersebut tidak akan mungkin
dapat dilaksanakan, karena memang isinya
keliru total. Fungsi pengujian Undangundang adalah fungsi yang bersifat
permanen dan rutin, sedangkan forum MPR
tidak bersifat tetap atau tidak rutin. Ketua
MA mendukung pendapat ini, pertentangan
aturan adalah persoalan hukum dan bukan
politik sehingga yang memutus perkara
adalah badan peradilan, bukan badan
politik seperti DPR atau MPR.
Pada bulan September 2001 dalam
Pembahasan Amandemen Ketiga UUD 1945,
seluruh fraksi dalam PAH I BP MPR setuju
untuk memasukkan aturan tentang MK
dalam Amandemen Ketiga UUD 45.
Idealnya kewenangan pengujian materi
peraturan
perundang-undangan
diintegrasikan saja menjadi kewenangan
Mahkamah Konstitusi. Sayangnya, perumus
kebijakan konstitusional negara kita tidak
berpendapat demikian. Dalam perubahan
terhadap rumusan Pasal 24 UUD 1945 hasil
Perubahan Ketiga yang disahkan pada
bulan November 2001, kewenangan uji
materil oleh Mahkamah Konstitusi dibatasi
hanya sampai tingkat Undang-Undang,
sedangkan peraturan di bawahnya tetap
ditentukan sebagai kewenangan Mahkamah
Agung. Dalam Pasal 24 A ayat (1)
Perubahan Ketiga UUD 1945 dinyatakan :
“Mahkamah Agung berwenang mengadili pada
tingkat kasasi, menguji peraturan perundangundangan di bawah undang-undang terhadap
undang-undang, dan mempunyai kewenangan
lainnya yang diberikan oleh undang-undang” 11 .
Sedangkan Pasal 24 C ayat (1) menyatakan :
“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili
pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk menguji
undang-undang terhadap Undang-Undang
Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga
negara yang kewenangannya diberikan oleh
Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran
partai politik, dan memutus perselisihan tentang
hasil pemilihan umum” 12 .
Dengan demikian, pengujian terhadap
materi peraturan oleh Mahkamah Konstitusi
hanya
dibatasi
menyangkut
konstitusionalitas undang-undang saja, dan
penyelesaian sengketa antara pusat dan
daerah ataupun antar pemerintah daerah
tidak ditentukan sebagai kewenangan
Mahkamah
Konstitusi.
Penyelesaian
sengketa yang diputus oleh Mahkamah
11 Republik Indonesia, Putusan Sidang
Tahunan MPR-RI Tahun 2001, Sekretariat
jenderal MPR-RI, 2001, hal.13.
12
Ibid.
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, ELSAM
7
Kursus HAM untuk Pengacara XI Tahun 2007
Bahan Bacaan
Materi : Mekanisme Judicial Review
Konstitusi dibatasi hanya menyangkut
sengketa kewenangan antar lembaga negara
yang kewenangannya diberikan oleh
Undang-Undang Dasar. Sebelum hakim
Mahkamah Konstitusi itu ada, kewenangan
melakukan pengujian itu dilimpahkan
kepada Mahkamah Agung. Beberapa
permasalahan
sehubungan
dengan
pelaksanaan kewenangan MK oleh MA
pada masa transisi tersebut akan dielaborasi
lebih lanjut.
BAB II
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, ELSAM
8
Kursus HAM untuk Pengacara XI Tahun 2007
Bahan Bacaan
Materi : Mekanisme Judicial Review
Judicial Review dalam Perundangan-Undangan
di Indonesia
Seperti dimaklumi, dalam sistem yang
dianut oleh UUD 1945 selama ini, MPR
diberi kedudukan sebagai lembaga tertinggi
negara. Dari lembaga tertinggi MPR itulah
cabang-cabang kekuasaan negara dibagikan
ke lembaga tinggi negara yang berada di
bawahnya sesuai dengan prinsip pembagian
kekuasaan. Karena itu, hubungan antar
cabang kekuasaan legislatif dan eksekutif
tidak didasarkan atas prinsip ‘checks and
balances’, dan karena itu, produk lembaga
legislatif bersama-sama eksekutif berupa
Undang-Undang
dinilai
tidak
dapat
dilakukan pengujian (judicial review) oleh
cabang kekuasaan kehakiman. Kalaupun hal
itu hendak dilakukan, maka pengujian itu
dilakukan oleh lembaga yang membuat
aturan itu sendiri.
Pengujian terhadap produk hukum di
Indonesia dibagi dua, yaitu terhadap
undang-undang
(legislative
acts)
dan
terhadap produk di bawah undang-undang
(executive acts). Yang kurang mendapat
perhatian dalam studi ilmu hukum selama
ini adalah pengujian terhadap produk atau
putusan hakim sendiri yang cenderung
tidak dipahami berada dalam konteks
pengertian ‘judicial review’ juga. Di Indonesia
sendiri dikenal adanya lembaga Peninjauan
Kembali (PK) oleh Mahkamah Agung,
bahkan terhadap putusan kasasi yang
dibuatnya sendiri. Di Jerman, dikenal pula
adanya kewenangan Mahkamah Konstitusi
untuk menguji kembali putusan Mahkamah
Agung dari segi konstitusionalitas tidaknya
putusan itu. Dengan perkataan lain, dalam
pengertian ‘judicial review’ itu terdapat pula
pengertian mengenai pengujian kembali,
tidak saja terhadap produk legislatif dan
eksekutif, tetapi juga terhadap produk
putusan judicial atau hakim sendiri.
Amandemen ketiga UUD 1945 telah
menetapkan kewenangan untuk mereview
UU ada di Mahkamah Konstitusi sedang
kewenangan
mereview
peraturan
perundang-undangan
di
bawah
UU
diserahkan ke MA. Hal ini potensial
menimbulkan
masalah.
Kemungkinan
munculnya
persengketaan
antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
atau lebih-lebih lagi antar Pemerintah
Daerah, sangat mungkin timbul karena
adanya keputusan-keputusan yang bersifat
mengatur (regeling) ataupun keputusankeputusan
penetapan
administratif
(beschikking) yang dianggap merugikan salah
satu pihak. Bentuk-bentuk keputusan
hukum tersebut dapat berbentuk keputusan
gubernur, keputusan bupati, ataupun
peraturan daerah. Padahal tingkatannya
jelas berada di bawah Undang-undang yang
seharusnya menjadi objek pengujian oleh
Mahkamah Agung, bukan Mahkamah
Konstitusi. Akibatnya sangat mungkin
terjadi dis-harmonisasi dalam putusan
Mahkamah
Agung
dan
Mahkamah
Konstitusi untuk hal-hal yang berkaitan
namun dengan yurisdiksi berbeda. Jika
keduanya dibedakan, maka secara teoritis
dapat saja terjadi dimana untuk satu perkara
yang terkait, putusan Mahkamah Agung
justru saling bertentangan dengan putusan
Mahkamah Konstitusi. Misalnya, oleh
Mahkamah
Agung,
suatu
Peraturan
Pemerintah
dinyatakan
bertentangan
dengan
Undang-undang,
tetapi
oleh
Mahkamah Konstitusi, Undang-undang
yang bersangkutan justru dinyatakan
bertentangan dengan Konstitusi.
1. PERMA NO. 2 TAHUN 2002
Pasal III Aturan Peralihan UUD 1945
menegaskan,
Mahkamah
Konstitusi
dibentuk selambat-lambatnya 17 Agustus
2003, dan sebelum dibentuk segala
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, ELSAM
9
Kursus HAM untuk Pengacara XI Tahun 2007
Bahan Bacaan
Materi : Mekanisme Judicial Review
kewenangannya
dilakukan
Mahkamah
Agung (MA). Konsekuesi dari ketentuan
Pasal III Aturan Peralihan UUD 1945 adalah
bahwa sebelum MK terbentuk, segala fungsi
dan kewenangan Mahkamah Konstitusi
(MK) dilaksanakan oleh MA. Untuk
melaksanakan kewenangan MK selama
masa transisi, MA telah mengeluarkan
Peraturan Mahkamah Agung (PERMA)
Nomor 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara
Penyelenggaraan Wewenang Mahkamah
Konstitusi dan Mahkamah Agung.
Meski sudah ada aturan di tingkat konstitusi
ternyata tidak mudah merumuskan MK ke
dalam bentuk yang lebih operasional.
Bahkan ada beberapa ketentuan PERMA
No. 2 Tahun 2002 yang harus mendapat
perhatian mendalam, terutama dalam
mewujudkan kehadiran MK dalam arti yang
sesungguhnya. Dari beberapa kelemahan
tersebut, beberapa hal yang berhubungan
dengan pelaksanaan kewenangan Judicial
Review antara lain adalah sebagai berikut :
Pertama, berdasar ketentuan Pasal 24 Ayat
(1) dan (2) UUD, MK memiliki berbagai
macam wewenang, namun PERMA No 2
Tahun 2002 tidak mampu memberi
perbedaan untuk tiap kewenangan MK
dalam merumuskan hukum acara yang
seharusnya memiliki kekhasan sendirisendiri. Misalnya hukum acara untuk
memberikan putusan mengenai pendapat
DPR tentang dugaan pelanggaran yang
dilakukan Presiden dan atau wakil Presiden
tidak dapat disamakan dengan hukum cara
untuk melakukan
Undang-Undang.
uji
materil
teradap
Kedua, pembatasan waktu untuk melakukan
Judicial Review undang-undang terhadap
Undang-Undang Dasar. Dalam pasal 2
huruf a PERMA No. 2 tahun 2002
ditegaskan bahwa permohonan tentang
menguji undang-undang terhadap UUD
diajukan dalam tenggang waktu 90 hari
sejak Undang-undang itu diundangkan.
Secara khusus pembatasan ini dapat
dikatakan tidak sejalan dengan ketentuan
yang ada dalam Pasal 24 C, dan secara
umum tidak sejalan dengan filosofi
pemberian kewenangan kepada MK untuk
menguji UU. Semestinya MA tidak
membatasai UU yang bisa dimohonkan
judicial review. Karena sesuai PERMA No. 2
Tahun 2002 berarti hanya UU baru saja yang
bisa diuji dan dikontrol publik melalui
mekanisme Judicial Review. Sejalan dengan
tahun-tahun Orde Baru dan reformasi yang
yang telah menghasilkan berbagai produk
peraturan yang seringkali tidak sesuai
dengan kebutuhan masyarakat banyak dan
seringkali lebih merupakan dorongan politis
dan kepentingan tertentu saja, maka
pembatasan ini terkesan lebih sebagai upaya
untuk mengamankan produk-produk politis
belaka. Selain itu kesadaran hukum
masyarakat yang dinamis dan selalu
berubah seharusnya juga perlu diberikan
ruang, sehingga justru penting untuk tidak
membatasi peraturan-peraturan yang dapat
diajukan pada proses Judicial Review.
2. PERMA NO. 1 TAHUN 1999
Seperti kita ketahui, bahwa selain
menjalankan kewenangan pada masa
transisi sebelum berdirinya MK, MA juga
berwenang untuk mengadili perkara judicial
review untuk peraturan-peraturan di bawah
Undang-Undang. UUD 1945 secara sengaja
tidak memberikan kewenangan kepada MA
untuk melakukan judicial review terhadap
UU. 13 Namun demikian, berdasarkan TAP
Moh. Yamin sempat mengusulkan
perlunya ada lembaga yang memiliki fungsi
13
MPR No. III Tahun 1978, kewenangan
tersebut diberikan ke MA secara terbatas,
yaitu hanya untuk me-review peraturan
perundang-undangan
yang
tingkatnya
untuk melakukan judicial review, namun hal
tersebut ditolak oleh Soepomo dengan alasan
utama bahwa ide tersebut hanya sesuai bagi
negara yang menganut sistem pemisahan
kekuasaan (trias politica) dan Indonesia tidak
menggunakan sistem tersebut.
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, ELSAM
10
Kursus HAM untuk Pengacara XI Tahun 2007
Bahan Bacaan
Materi : Mekanisme Judicial Review
berada di bawah UU (yaitu PP ke bawah). 14
Selain itu, kewenangan yang serupa diatur
pula dalam UU No. 14 Tahun 1970 (Pasal 26)
dan UU No. 14 Tahun 1985 (Pasal 31).
Ketentuan dalan kedua UU tersebut masih
bersifat umum. Kedua UU tersebut pada
intinya hanya menyatakan bahwa MA
berwenang untuk menyatakan tidak sah
peraturan perundang-undangan di bawah
UU yang bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi.
Putusan
tersebut
diambil
melalui
persidangan tingkat kasasi dan instansi
yang bersangkutan harus segera mencabut
peraturan
perundang-undangan
yang
dinyatakan bertentangan tersebut.
Karena sifat pengaturan dalam TAP MPR
dan UU di atas yang terlalu umum dan
(khususnya karena ketidakjelasan prosedur
judicial review), pada tahun 1993 MA
mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung
(PERMA) tentang Hak Uji Material (judicial
review). PERMA tersebut kemudian diubah
pada Tahun 1999 dengan dikeluarkannya
PERMA No. 1 Tahun 1999. Beberapa pokok
pengaturan dalam PERMA tersebut adalah :
-
-
-
MA memeriksa dan memutus judicial
review berdasarkan gugatan atau
permohonan (Pasal 1 ayat [1]);
Gugatan atau permohonan judicial
review diajukan langsung ke MA (Pasal 1
ayat [3] dan [4]. Hal ini berbeda dengan
ketentuan dalam TAP III/MPR/1978,
UU No. 14/1970 dan UU No. 14/1985
yang menyatakan bahwa putusan hak
uji material (judicial review) diambil
berhubungan dengan pemeriksaan di
tingkat kasasi. 15 Pemeriksaan kasasi
hanya dapat diajukan jika pemohon
telah menggunakan upaya hukum
banding kecuali ditentukan lain oleh
UU; 16
Yang dapat mengajukan gugatan adalah
badan
hukum
dan
kelompok
14
Pasal 11.
15 Pasal 31 ayat (3) UU No. 14/1985,
Pasal 26 ayat (2) UU No. 14/1970.
16 Pasal 43 UU No. 14/1985
-
-
masyarakat (Pasal 1 ayat [5]), sedang
yang dapat mengajukan permohonan
adalah kelompok masyarakat (Pasal 1
ayat [7]);
Tenggang waktu permohonan atau
gugatan judicial review adalah 180 hari
setelah peraturan perundang-undangan
tersebut berlaku (Pasal 2 ayat [4]);
Dalam pemeriksaan gugatan, tergugat
(pihak pembuat peraturan perundangundangan)
harus
didengar
keterangannya (Pasal 9 ayat [4]) sedang
dalam hal permohonan, pihak pembuat
peraturan perundang-undangan tidak
perlu didengar pendapatnya;
Bila MA mengabulkan gugatan atau
perhomonan judicial review maka pihak
yang membuat peraturan perundangundangan harus mencabutnya (Pasal 9
ayat [2] dan 10 ayat [2]) dan bila pihak
yang membuat peraturan perundangundangan tersebut tidak mencabutnya
maka 90 hari setelah putusan MA
tersebut,
peraturan
perundangundangan yang harus dicabut dianggap
tidak sah dan tidak berlaku umum
(Pasal 12 ayat [1] dan 13 ayat [1]).
Terdapat beberapa catatan kritis mengenai
PERMA No. 1 Tahun 1999 tersebut yang
masih memuat kelemahan-kelemahan yaitu
sebagai berikut :
Pertama, melanggar Pasal 6 Ketetapan MPR
III/MPR/2000, yang berbunyi sebagai
berikut : “Tata cara pembuatan peraturan
perundang-undangan, peraturan pemerintah,
peraturan daerah dan pengujian peraturan
perundang-undangan oleh Mahkamah Agung
serta pengaturan ruang lingkup keputusan
presiden diatur lebih lanjut dengan undangundang”.
Pengujian peraturan perundang-undangan
oleh Mahkamah Agung tidak dapat diatur
dengan Peraturan Mahkamah Agung tetapi
harus dengan undang-undang.
Kedua, Pasal 10 PERMA 1 Tahun 1999 tidak
mewajibkan hakim untuk mendengar pihak
Termohon.
Tidak
adanya
kewajiban
mendengar
pendapat
pihak
yang
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, ELSAM
11
Kursus HAM untuk Pengacara XI Tahun 2007
Bahan Bacaan
Materi : Mekanisme Judicial Review
mengeluarkan peraturan atau pihak yang
terkena dampak judicial review dalam hal
judicial review diajukan dengan mekanisme
permohonan dapat dikatakan melanggar
Asas Audi et Alteram Partem, yang artinya
keterangan pihak lawan juga harus
didengar.
Ketiga, dalam PERMA diatur mengenai
jangka waktu untuk mengajukan judicial
review yaitu 180 hari. Pembatasan waktu
setidaknya memiliki 2 implikasi yaitu (1)
pembatasan hak memohon di satu sisi (2)
bila tidak ada pembatasan waktu, maka
untuk sebuah UU yang telah lama berlaku
telah memberikan dampak yang bisa jadi
besar, akibatnya kepastian hukum tidak
dapat dijamin. Apalagi bila dampak tersebut
telah membawa kerugian sehingga akan ada
implikasi
keuangan negara (jika akan
dikenal adanya ganti rugi dari negara bila
ada
kerugian
pemohon
dengan
diundangkannya UU yang bertentangan
dengan konstitusi). Namun di sisi lain,
dengan menetapkan jangka waktu tertentu,
akibatnya akan banyak peraturan yang
sudah
berlaku
lama
dan
ternyata
menimbulkan permasalahan namun tidak
dapat diajukan judicial review.
Keempat, PERMA juga melanggar Asas
tentang Terminologi dan Sistematika (Het
Beginsel van duidelijke terminologie en
duidelijke systimatiek) karena dalam PERMA
No. 1 Tahun 1999 tidak dapat dibedakan
antara
terminologi
gugatan
dan
permohonan.
BAB III
Mekanisme Beracara dalam Judicial Review
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, ELSAM
12
Kursus HAM untuk Pengacara XI Tahun 2007
Bahan Bacaan
Materi : Mekanisme Judicial Review
1. Prinsip-Prinsip Hukum Acara
Proses judicial review dalam perumusan
hukum acaranya terikat oleh asas-asas
publik. Di dalam hukum acara dikenal dua
jenis proses beracara yaitu “contentious
procesrecht” atau hukum acara sengketa dan
“non-contentieus procesrecht” atau hukum
acara non-sengketa. Untuk judicial review,
selain
digunakan
hukum
sengketa
(berbentuk gugatan) juga digunakan hukum
acara non sengketa yang bersifat volunteer
(atau
tidak
ada
dua
pihak
bersengketa/berbentuk permohonan). Bila
menelaah asas-asas hukum publik yang
salah satunya tercermin pada asas hukum
acara peradilan administrasi, maka proses
beracara judicial review seharusnya juga
terikat pada asas tersebut. Asas tersebut
adalah :
a.
perkara yang bersangkutan tersebut untuk
ditinjau kembali.
b. Putusan memiliki kekuatan mengikat
(erga omnes)
Kewibawaan
suatu
putusan
yang
dikeluarkan institusi peradilan terletak pada
kekuatan mengikatnya. Putusan suatu
perkara judicial review haruslah merupakan
putusan yang mengikat para pihak dan
harus ditaati oleh siapapun. Dengan asas ini
maka tercermin bahwa putusan memiliki
kekuatan hukum mengikat dan karena sifat
hukumnya publik maka berlaku pada siapa
saja – tidak hanya para pihak yang
berperkara.
Asas Praduga Rechtmatig
Putusan pada perkara judicial review
seharusnya merupakan putusan akhir dan
mempunyai kekuatan hukum tetap pada
saat putusan dibacakan dan tidak berlaku
surut. Pernyataan tidak berlaku surut
mengandung makna bahwa sebelum
putusan dibacakan, obyek yang menjadi
perkara – misalnya peraturan yang akan
diajukan judicial review - harus selalu
dianggap sah atau tidak bertentangan
sebelum putusan Hakim atau Hakim
Konstitusi
menyatakan
sebaliknya.
Konsekuensinya, akibat putusan Hakim
adalah “ex nunc” yaitu dianggap ada sampai
saat
pembatalannya.
Artinya,
akibat
ketidaksahan suatu peraturan karena
bertentangan dengan peraturan yang lebih
tinggi tidaklah berlaku surut namun sejak
pernyataan bertentangan oleh lembaga
berwenang (MA atau MK) ke depan.
Namun perlu juga dipikirkan tentang
dampak yang sudah terjadi, terutama untuk
kasus-kasus
pidana,
misalnya
dimungkinkan untuk mengajukan kembali
2. Pengajuan Permohonan atau Gugatan
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, ELSAM
13
Kursus HAM untuk Pengacara XI Tahun 2007
Bahan Bacaan
Materi : Mekanisme Judicial Review
Dalam PERMA No. 1 Tahun 1999
disebutkan bahwa pengajuan judicial review
dapat dilakukan baik melalui gugatan
mapun permohonan. Sedangkan dalam
PERMA No. 2 Tahun 2002 untuk berbagai
kewenangan yang dimiliki oleh MK (dan
dijalankan oleh MA hingga terbentuknya
MK) tidak disebutkan pembedaan yang jelas
untuk perkara apa harus dilakukan melalui
gugatan dan perkara apa yang dapat
dilakukan melalui permohonan, atau dapat
dilakukan melalui dua cara tersebut.
Akibatnya
dalam
prakteknya
terjadi
kebingungan mengingat tidak diatur
pembedaan yang cukup signifikan dalam
dua terminologi ini.
PERMA No. 1 tahun 1999 mengatur batas
waktu 180 hari suatu putusan dapat
diajukan judicial review. Sedangkan dalam
PERMA No. 2 tahun 2002, jangka waktu
untuk mengajukan judicial review hanyalah
90 hari. Seperti telah dijelaskan sebelumnya,
pembatasan ini menimbulkan permasalahan
mengingat produk hukum yang potensial
bermasalah adalah produk hukum pada
masa orde baru dan masa transisi. Selain itu
pembatasan waktu ini juga menafikan
kesadaran hukum masyarakat yang tidak
tetap dan dinamis.
3. Alasan Mengajukan Judicial Review
Baik dalam Amandemen ke III UUD 1945
tentang wewenang MK dan MA atas hak uji
materiil, yang kemudian dituangkan lebih
lanjut sebelum keberadaan MK melalui
PERMA No. 2 Tahun 2002, maupun dalam
PERMA No. 1 Tahun 1999 tidak disebutkan
alasan yang jelas untuk dapat mengajukan
permohonan/gugatan judicial review. Dalam
PERMA hanya disebutkan bahwa MA
berwenang menguji peraturan perundangundangan di bawah undang-undang
terhadap undang-undang atau dalam hal
pengajuan keberatan adalah alasan dugaan
peraturan tersebut bertentangan dengan
undang-undang
yang
lebih
tinggi.
Sedangkan
Amandemen
hanya
menyebutkan obyek judicial review saja dan
siapa yang berwenang memutus.
Namun pada umumnya beberapa alasan
yang dapat dijadikan alasan untuk
pengajuan judicial review adalah sebagai
berikut :
ƒ
ƒ
ƒ
ƒ
ƒ
Bertentangan dengan UUD atau
peraturan lain yang lebih tinggi.
Dikeluarkan oleh institusi yang tidak
bewenang
untuk
mengeluarkan
peraturan perundang-undangan yang
bersangkutan.
Adanya kesalahan dalam proses
pembuatan
peraturan
perundangundangan yang bersangkutan.
Terdapat
perbedaan
penafsiran
terhadap suatu peraturan perundangundangan.
Terdapat ambiguitas atau keraguraguan dalam penerapan suatu dasar
hukum yang perlu diklarifikasi.
4. Pihak yang Berhak Mengajukan Judicial Review
Dalam PERMA No. 1 Tahun 1999 tentang
Hak Uji Materiil disebutkan bahwa
Penggugat atau Pemohon adalah badan
hukum, kelompok masyarakat. Namun
tidak dijelaskan lebih lanjut badan hukum
atau kelompok masyarakat yang dimaksud
dalam PERMA ini seperti apa. Yang
seharusnya dapat menjadi pihak (memiliki
legal
standing)
dalam
mengajukan
permintaan pengujian UU adalah mereka
yang memiliki kepentingan langsung dan
mereka yang memiliki kepentingan yang
tidak langsung. Rasionya karena sebenarnya
UU mengikat semua orang. Jadi sebenarnya
semua
orang
“harus”
dianggap
berkepentingan
atau
punya
potensi
berkepentingan atau suatu UU. Namun bila
semua orang punya hak yang sama, ada
potensi penyalahgunaan hak yang akhirnya
dapat merugikan hak orang lain. Namun
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, ELSAM
14
Kursus HAM untuk Pengacara XI Tahun 2007
Bahan Bacaan
Materi : Mekanisme Judicial Review
karena pengajuan perkara dapat dilakukan
oleh individu maka sangat mungkin
dampaknya adalah pada menumpuknya
jumlah perkara yang masuk
2.
3.
Untuk itu di masa mendatang idealnya
dalam pengajuan perkara hak uji materil
maka perlu diperhatikan bahwa yang
berhak mengajukan permohonan/gugatan
adalah kelompok masyarakat yang :
1.
4.
Berbentuk organisasi kemasyarakatan
dan berbadan hukum tertentu.
Dalam
Anggaran
Dasar-nya
menyebutkan bahwa pencapaian tujuan
mereka terhalang oleh perundangundangan.
Yang bersangkutan telah melaksanakan
kegiatan sesuai dengan Anggaran
Dasar-nya.
Dalam hal pribadi juga dapat memiliki
legal
standing,
maka
ia
harus
membuktikan bahwa dirinya memiliki
concern yang tinggi terhadap suatu
bidang tertentu yang terhalang oleh
perundang-undangan
yang
bersangkutan.
5. Putusan dan Eksekusi Putusan
Dalam PERMA No. 1 Tahun 1999
disebutkan bahwa bila dalam 90 hari setelah
putusan diberikan pada tergugat atau
kepada Badan/Pejabat TUN, dan mereka
tidak melaksanakan kewajibannya, maka
peraturan
perundang-undangan
yang
dimaksud batal demi hukum. Putusan
dibacakan di sidang yang terbuka untuk
umum, putusan yang sudah diambil
mengikat.
Dalam hal demikian maka dimungkinkan
dibuka kembali persidangan mengingat
tuduhan didasarkan pada peraturan yang
dianggap inkonstitusional; Alternatif kedua,
dapat diberikan kewenangan bagi MA
ataupun MK (nantinya) untuk memutus
dampak atas masing-masing putusan
apakah berdampak pada peraturan yang
timbul sejak pencabutan dilakukan (ex nunc)
atau berdampak retroaktif (ex tunc).
Hal ini dapat diartikan bahwa jika
dinyatakan suatu UU - baik seluruh
pasalnya (berhubungan dengan keseluruhan
jiwanya) atau pasal-pasal tertentunya saja
bertentangan dengan UUD, maka putusan
tersebut wajib dicabut oleh DPR dan
Presiden dalam waktu tertentu. Jika tidak,
maka UU tersebut otomatis batal demi
hukum.
Dalam hal pencabutan putusan secara ex
tunc, complaint individu terhadap suatu
peraturan
yang
bersangkutan
harus
memiliki dampak umum (erga omnes),
karena landasan hukum suatu putusan
pengadilan atau penetapan administratif
telah dinyatakan batal demi hukum atau
dalam proses pembatalan. Dengan demikian
peraturan yang berlaku individu yang
didasarkan pada landasan hukum yang
serupa juga menjadi tidak berlaku.
Kurang lebih ada dua alternatif yang dapat
ditawarkan untuk perbaikan di kemudian
hari, yaitu : Alternatif pertama, segala
peraturan atau kelengkapan dari peraturan
yang diputuskan tidak konstitusional
kehilangan pengaruhnya sejak hari dimana
putusan tersebut dibuat. Dengan catatan
peraturan atau kelengkapan darinya
sehubungan
dengan
hukum
pidana
kehilangan pengaruhnya secara retroaktif.
Di sini prinsip jaminan terhadap individu di
satu sisi dan prinsip kepastian hukum di sisi
lain harus berjalan seimbang. Setidaknya
putusan dalam perkara kriminal harus
dapat dibuka kembali oleh peradilan biasa
dengan berdasarkan adanya pembatalan
dari norma hukum pidana yang menjadi
dasar dari putusan tersebut.
BAB IV
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, ELSAM
15
Kursus HAM untuk Pengacara XI Tahun 2007
Bahan Bacaan
Materi : Mekanisme Judicial Review
Praktek Judicial Review di Indonesia
Mencermati perkembangan penerimaan
publik terhadap substansi produk hukum
yang dihasilkan dalam beberapa waktu
terakhir, judicial review menjadi pilihan yang
tidak
mungkin
dihindarkan
untuk
‘mengkoreksi’ kesalahan yang mungkin
terjadi dalam sebuah produk hukum.
Bahkan bagi banyak kalangan, pengajuan uji
materil menjadi kebutuhan yang mendesak.
Kecenderungan ke arah ini dapat dilihat
dari
keinginan
beberapa
kelompok
masyarakat untuk mengajukan permohonan
dan gugatan uji materiil berbagai produk
hukum yang mereka nilai mengandung
kontroversial kepada Mahakamah Agung.
Beberapa diantaranya adalah sebagai
berikut :
Pertama, Pengajuan hak uji materiil terhadap
Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang (Perpu) No. 1 Tahun 2002 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme
dan Perpu Nomor 2 Tahun 2002 tentang
Pemberlakuan Perpu Nomor 1 Tahun 2002
tentang Persitiwa Peledakan Bom Bali
(selanjutnya ditulis Perpu Antiterorisme)
oleh sejumlah tokoh organisasi nonpemerintah. Pengajuan ini dilakukan
dengan
pertimbangan
bahwa
Perpu
Antiterorisme
dianggap
tidak
layak
diterapkan karena banyak materinya dinilai
bertentangan dengan UUD 1945 dan
undang-undang.
Kedua, Hal yang sama juga dilakukan oleh
Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara
Negara (KPKPN) terhadap Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Koruspi (KPK). Langkah
hukum ini dilakukan oleh KPKPN karena
Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002
dinilai
telah
menghilangkan
amanat
Ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1998
dalam
mewujudkan
penyelenggaraan
negara yang bebas dan bersih korupsi,
kolusi dan nepotisme (KKN).
Untuk lebih mendalami bagaimana suatu
perkara Judicial Review berproses, maka
perlu dipaparkan beberapa contoh kasus
secara mendetail. Kasus di bawah ini dapat
dijadikan contoh bagaimana Mahkamah
Agung memutuskan permohonan uji
materiel atas satu Peraturan Pemerintah
terhadap
Undang-Undang.
Peraturan
Pemerintah No. 19 Tahun 2000 yang
menjadi
landasan
terbentuknya
Tim
Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi dinyatakan oleh Mahkamah Agung
bertentangan dengan Undang-Undang No.
31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.
Untuk melihat berbagai kelemahan dalam
pengajuan suatu kasus, maka akan dilihat
bagaimana suatu kasus dengan logika dan
latar belakang yang kurang lebih sama
ternyata diputus secara berbeda. Suatu
proses penyelesaian perkara tidak dapat
dilihat hanya dari perspektif hukum saja,
namun perlu dicermati lebih lanjut konteks
suatu
perkara
dan
hal-hal
yang
melatarbelakangi perkara tersebut. Kasus
judicial review yang dipaparkan berikut
selain menarik untuk dicermati dari
perspektif hukum juga mengandung
muatan non hukum yang cukup kompleks.
Berkaca dari perkara ini, maka dapat terlihat
bahwa proses penyelesaian suatu perkara
tidak murni bergantung pada aturan-aturan
normatif yang tersedia, namun lebih jauh
lagi bergantung juga pada kepentingan yang
bermain di dalamnya, dan kelemahan pada
sistem peradilan yang berpengaruh pada
kualitas putusan.
1. Kasus Indra Sahnun versus TGPTPK
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, ELSAM
16
Kursus HAM untuk Pengacara XI Tahun 2007
Bahan Bacaan
Materi : Mekanisme Judicial Review
Pada tanggal 4 September 2000, Indra
Sahnun
Lubis
dan
kawan-kawan
mengajukan permohonan hak uji materil
atas PP No. 19 Tahun 2000 tentang Tim
Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi 17 ke Mahkamah Agung yang
dianggap bertentangan dengan UU No. 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi 18 .
Ada dua dalil yang dipergunakan oleh
pemohon dalam permohonan pengujian
terhadap materi Peraturan Pemerintah
tersebut. Pertama, ketentuan dalam PP No.
19/2000 tersebut dinilai oleh pemohon
melanggar ketentuan Pasal 27 UU No. 31
Tahun 1999. Pasal ini berbunyi : “Dalam
menentukan tindak pidana yang sulit
pembuktiannya, maka dapat dibentuk tim
gabungan dalam koordinasi Jaksa Agung”.
Sedangkan dalam Konsideran PP No. 19
Tahun 2000 huruf ‘a’, dinyatakan : “Untuk
meningkatkan
efisiensi
dan
efektifitas
pemberantasan tindak pidana korupsi, Pasal 27
UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak
Pidana
Korupsi
memerintahkan
pembentukan Tim Gabungan di bawah
koordinasi Jaksa Agung”. Dalam Pasal 6 ayat
(2) PP tersebut juga ditegaskan bahwa
“Keanggotaan
Tim
Gabungan
bersifat
permanen”. Padahal, menurut ketentuan
Pasal 27 UU di atas, pembentukan tim
tersebut tidaklah mutlak dan sifatnya tidak
harus permanen, melainkan cukup bersifat
insidentil dan temporer.
Kedua, Pasal 43 ayat (1) UU No. 31 Tahun
1999 menyatakan : “Dalam waktu paling lama
2 (dua) tahun sejak UU ini mulai berlaku,
dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi”. Dalam rangka pelaksanaan
ketentuan tersebut Pasal 18 PP No. 19/2000
menyatakan : “Tim gabungan melaksanakan
tugas dan wewenangnya selama belum dibentuk
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 UU No.
31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
17
TLN-RI Tahun 2000 No. 3948.
18
LN-RI Tahun 1999 No. 140.
Pidana Korupsi”. Dengan demikian, Pasal 18
PP
telah
mengidentikkan
atau
menggantikan
Komisi
Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi untuk sementara
waktu
dengan
Tim
Gabungan
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pembentukan Komisi yang seharusnya
dilakukan dengan Undang-undang telah
direduksikan oleh Pemerintah dengan
membentuk
Tim
Gabungan
dengan
Peraturan Pemerintah.
Atas dasar kedua dalil tersebut, majelis
hakim Mahkamah Agung dimohon untuk :
(i)
mengabulkan
permohonan
para
pemohon seluruhnya, (ii) menyatakan PP
No. 19 Tahun 2000 tidak sah dan tidak
berlaku untuk umum, (iii) memerintahkan
Pemerintah/Presiden untuk mencabut PP
No. 19 Tahun 2000 dengan ketentuan
apabila dalam tempo 90 hari setelah putusan
dikirimkan (disampaikan) ternyata tidak
dilaksanakan pencabutan, demi hukum, PP
yang bersangkutan tidak mempunyai
kekuatan hukum, dan (iv) menghukum
pihak pemerintah untuk membayar biaya
perkara 19 . Dalam putusannya, Majelis
Hakim Mahkamah Agung mengabulkan
seluruh permohonan hak uji materil tersebut
dengan
pertimbangan
bahwa
dalam
membuat suatu peraturan, tidak cukup
hanya mendasarkan diri pada asas
kemanfaatan/ kebutuhan/tujuan tertentu,
tetapi juga harus sesuai dengan prinsip
supremasi hukum, yaitu suatu peraturan
baik secara formal maupun substansial tidak
melanggar asas-asas kaedah hukum atau
tidak bertentangan dengan peraturan yang
lebih tinggi. Tegasnya, penerapan asas
kemanfaatan
(doelmatigheid)
harus
didampingi dengan penerapan asas legalitas
(rechtsmatigheid), termasuk dalam kaitannya
dengan
prinsip
hirarki
peraturan
perundang-undangan yang tidak boleh
dilanggar. Sehubungan dengan itu, majelis
hakim berpendapat bahwa Peraturan
Pemerintah No. 19 Tahun 2000, baik dari
segi formal maupun substansial materiil,
19 Putusan Mahkamah Agung Republik
Indonesia No. 03P/HUM/2000, tertanggal 23
Maret 2001, Varia Peradilan, tahun 2001.
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, ELSAM
17
Kursus HAM untuk Pengacara XI Tahun 2007
Bahan Bacaan
Materi : Mekanisme Judicial Review
mengandung
materi
muatan
yang
bertentangan dengan Undang-undang.
Pertimbangan-pertimbangan yang diberikan
oleh majelis hakim mengenai hal tersebut
mencakup sembilan dalil sebagai berikut.
Pertama, Pasal 6 ayat (2) PP menyatakan :
“Keanggotaan tim gabungan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) bersifat tetap”. Pasal 7
ayat (1) menyatakan : “Tim gabungan dalam
melaksanakan tugas dan wewenangnya dibantu
oleh sekretariat tim gabungan”. Pasal 13 ayat
(1) menyatakan : “Dalam rangka melaksanakan
tugas tim gabungan, ketua tim gabungan dapat
mengusulkan pembentukan satuan tugas
penyidikan dan penuntutan kepada Jaksa
Agung”. Padahal, Pasal 27 UU No. 31/1999
mengandung makna bahwa tim gabungan
itu bersifat tidak tetap, temporer, insidentil,
fakultatif, kasuistis, dan bukanlah suatu
keharusan untuk dibentuk.
Kedua, Pasal 5 PP menyatakan bahwa
keanggotaan tim gabungan mencakup unsur
kepolisian, kejaksaan, instansi terkait dan
unsur masyarakat. Keikutsertaan unsur
masyarakat
memang
terkait
dengan
ketentuan Pasal 43 ayat (4) UU yang
menyatakan bahwa salah satu unsur
anggota komisi pemberantasan tindak
pidana korupsi berasal dari unsur
masyarakat, namun hal itu harus diatur
dengan undang-undang, bukan dengan
Peraturan Pemerintah. Keikutsertaan unsur
masyarakat dalam pelaksanaan fungsi
penyidikan harus dituangkan dalam bentuk
undang-undang,
karena
kewenangan
penyidikan itu sendiri diatur dengan
undang-undang.
Ketiga, Pasal 11 ayat (5) PP menentukan
penambahan dan pemekaran kewenangan
penyidik,
sehingga
mencakup
pula
berwenang untuk meminta keterangan
mengenai keuangan tersangka pada bank,
meminta
bank
memblokir
rekening
tersangka, membuka/memeriksa/menyita
surat
dan
kiriman
melalui
pos,
telekomunikasi atau alat lain yang
berhubungan
dengan
tindak
pidana
korupsi,
melakukan
penyadapan,
mengusulkan
pencekalan
dan
merekomendasikan
kepada
atasan
tersangka untuk pemberhentian sementara
tersangka
dari
jabatannya.
Padahal
Peraturan Pemerintah, secara hukum, tidak
dapat menambah ataupun mengurangi
kewenangan-kewenangan yang seharusnya
dituangkan dalam bentuk undang-undang.
Setiap hal yang dapat meniadakan ataupun
mengurangi hak-hak warga negara ataupun
yang membebani warga negara dengan
kewajiban-kewajiban keuangan ataupun
kewajiban lainnya yang kebebasannya
dijamin berdasarkan konstitusi, tidak boleh
ditetapkan sendiri oleh pemerintah tanpa
mendapat persetujuan rakyat melalui wakilwakilnya di parlemen. Karena itu,
pengaturan seperti itu harus dituangkan
dalam bentuk undang-undang, bukan
dalam bentuk Peraturan Pemerintah.
Keempat, di samping hal tersebut di atas,
perluasan kewenangan juga diberikan oleh
Pasal 12 ayat (4) PP yang menentukan
bahwa Ketua Tim Gabungan, dengan
persetujuan
Jaksa
Agung,
dapat
menetapkan Surat Penghentian Pemeriksaan
Perkara (SP3). Padahal, hal ini jelas
seharusnya diatur dalam undang-undang,
bukan dalam Peraturan Pemerintah. UU
telah menentukan sendiri secara eksklusif
tentang pejabat yang berwenang melakukan
penyidikan tersebut.
Kelima, Pasal 6 ayat (2), Pasal 11 ayat (5) dan
Pasal 12 ayat (4) PP memuat ketentuan yang
mencerminkan pengertian bahwa Tim
Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi yang dimaksud dalam PP No.
19/2000 tersebut merupakan badan yang
bersifat tetap, seakan-akan sudah menjadi
Komisi yang bersifat permanen, yang
seharusnya dituangkan pengaturannya
dalam undang-undang.
Keenam, tidak ada satu pasalpun dalam UU
No. 31/1999 yang mendelegasikan (delegated
legislation) perluasan dan pemekaran
kewenangan melalui Peraturan Pemerintah.
Ketujuh, majelis hakim berpendapat bahwa
UU No. 31 Tahun 1999 merupakan
ketentuan primer yang tidak dapat
dikesampingkan
baik
dalam
bentuk
penambahan, pengurangan ataupun dengan
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, ELSAM
18
Kursus HAM untuk Pengacara XI Tahun 2007
Bahan Bacaan
Materi : Mekanisme Judicial Review
membuat peraturan pelaksanaan yang tidak
sesuai dengan perintah UU tersebut dengan
ketentuan yang bersifat sekunder, yang
dalam hal ini melalui PP No. 19/2000.
Kedelapan, majelis hakim berpendapat
bahwa Pasal 18 PP No. 19 Tahun 2000 telah
menyisihkan hakikat Pasal 43 ayat (1) UU
No. 31 Tahun 1999 dan karenanya Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
menjadi benda yang terasing, karena telah
disubstitusikan keberadaannya oleh PP No.
19/2000 dengan Tim Gabungan.
Kesembilan, majelis hakim menimbang agar
hakikat UU No. 31/1999 tidak hilang maka
PP No. 19/2000 harus dicabut dan materi
kewenangan yang terdapat dalam PP
tersebut dilembagakan menjadi kewenangan
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi sebagaimana diamanatkan oleh UU
No. 31/1999 untuk segera dibentuk.
Hubungan Kepentingan yang Terlibat dan
Kedudukan Hakim
Dalil-dalil yang digunakan oleh majelis
hakim untuk memutuskan mengabulkan
permohonan pemohon, secara teknis hukum
memang dapat dinilai masuk akal dan
sesuai dengan prinsip legalitas atau
memenuhi unsur-unsur ‘rechtsmatigheid’
yang lazim dan diakui dalam hukum. Sudah
tentu, argumentasi yang bertentangan juga
dapat saja dibangun untuk melawan dalildalil yang dikembangkan oleh majelis
hakim. Misalnya, dapat ditelaah secara kritis
apakah benar TGPTPK identik atau
mengidentikkan
diri
dengan
Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana dipahami oleh majelis hakim.
Ketentuan mengenai Tim Gabungan itu
sendiri diatur jelas dalam Pasal 27 UU No.
31 Tahun 1999, sedangkan Komisi diatur
dalam Pasal 43 UU yang sama. Kesimpulan
majelis hakim yang menyatakan bahwa
TGPTPK berdasarkan ketentuan Pasal 6 ayat
(2) adalah badan yang bersifat tetap,
sepenuhnya merupakan penafsiran hakim
yang sifatnya sangat relatif. Lagi pula, jika
TGPTPK itu bersifat tetap sekalipun
tidaklah terlalu prinsipil, sehingga harus
dianggap bertentangan dengan UU. Apalagi
sifat keanggotaan TGPTPK yang tetap justru
diperlukan untuk membantu Jaksa Agung
berdasarkan kebutuhan yang penilaiannya
ditentukan oleh Jaksa Agung sendiri.
Banyak lagi argumen-argumen tandingan
yang juga masuk akal yang dapat diajukan
terhadap
pertimbangan-pertimbangan
majelis hakim tersebut.
Namun
demikian,
argumen
atau
pertimbangan-pertimbangan hukum yang
digunakan oleh majelis hakim dalam
memutus perkara pengujian materiel
terhadap PP No. 19 Tahun 2000 itu harus
diakui memang mempunyai dasar yang
logis, terutama jika pertimbangannya
melulu mendasarkan diri pada penerapan
prinsip ‘rechtsmatigheid’. Akan tetapi, seperti
diakui sendiri oleh majelis hakim, prinsip
‘rechtsmatigheid’ itu harus diterapkan secara
berimbang dengan prinsip ‘doelmatigheid’.
Setiap aturan hukum mengandung di dalam
dirinya tujuan yang hendak dicapai yang
diidealkan
memberi
manfaat
(asas
kemanfaatan) bagi kehidupan bersama
dalam masyarakat. Nilai tujuan atau
manfaat ini tidak boleh terganggu atau
diabaikan begitu saja hanya karena soal cara
dan prosedur yang bersifat teknis. Namun,
sebaliknya, tujuan juga tidak boleh
menghalalkan segala cara (the end may not
justify the means). Karena itu, penting sekali
menemukan titik keseimbangan di antara
keduanya.
Majelis Hakim dalam pertimbangannya
mengemukakan : “…suatu peraturan
perundang-undangan tidak cukup hanya
mendasarkan
pada
asas
kemanfaatan/kebutuhan/ tujuan tertentu,
namun juga harus sesuai dengan prinsip
supremasi hukum…”, dan juga menyatakan
: “…upaya pemberantasan korupsi harus
didukung sepenuhnya dan harus diberantas
secara tidak kepalang tanggung, tanpa
memandang siapapun pelakunya, sesuai
dengan asas kesamaan di depan hukum.
Namun, asas tujuan kemanfaatan harus
didampingi
dengan
penerapan
asas
“legalitas”. Dari kedua pernyataan tersebut
jelas bahwa majelis hakim berada dalam
posisi ingin memperjuangkan penerapan
asas legalitas di samping asas tujuan dan
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, ELSAM
19
Kursus HAM untuk Pengacara XI Tahun 2007
Bahan Bacaan
Materi : Mekanisme Judicial Review
kemanfaatan yang diasumsikan telah
menjadi landasan yang kokoh bagi
berdirinya Tim Gabungan Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi yang eksistensinya
berdasarkan PP No. 19 Tahun 2000 digugat
oleh Indra Sahnun Lubis dan kawan-kawan.
Dengan perkataan lain, secara psikologis,
majelis hakim mempunyai posisi dan
pandangan
yang
sejalan
dengan
kepentingan pemohon uji materiel dalam
upaya merumuskan keseimbangan antara
prinsip ‘doelmatigheid’ dan ‘rechtsmatigheid’.
Sebaliknya, para pembela PP No. 19 Tahun
2000 dapat pula mengemukakan argumen
sebaliknya, yaitu prosedur dan tata cara
teknis tidak seharusnya menjadi penghalang
untuk mencapai tujuan yang mulia
memberantas tindak pidana korupsi.
Kejahatan korupsi di Indonesia dinilai telah
berurat berakar dalam keseluruhan sendi
kehidupan masyarakat Indonesia. Karena
itu, bahayanya sudah melebihi dampak dan
bahaya pelanggaran terhadap hak asasi
manusia. Kejahatan korupsi itu bahkan
dapat disetarakan dengan jenis pelanggaran
hak asasi manusia yang berat (gross violation
of human rights), yang biasa disebut sebagai
kejahatan terhadap kemanusiaan. Jika,
penyelesaian
terhadap
kasus-kasus
pelanggaran terhadap hak asasi manusia
yang
berat
memerlukan
mekanisme
pengadilan yang bersifat khusus, yaitu
pengadilan hak asasi manusia, maka sudah
seyogyanya pemberantasan terhadap tindak
pidana korupsi ini dilakukan secara khusus
pula dengan dibentuknya pengadilan
khusus yang dilengkapi dengan institusi
penyidik yang bersifat khusus pula.
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi yang dimaksud dalam UndangUndang No. 31 Tahun 1999 dan Tim
Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi yang dimaksud dalam Peraturan
Pemerintah No. 19 Tahun 2000 tidak lain
merupakan wadah khusus yang diperlukan
dalam rangka penanganan kasus-kasus
tindak
pidana
korupsi
dengan
menggunakan cara-cara dan prosedur yang
tidak biasa dan tidak konvensional. Jika
penanganan masalah kejahatan korupsi
hanya dilakukan dengan tata cara dan
prosedur yang biasa, maka hasilnya dinilai
tidak akan maksimal, atau malah tidak akan
menghasilkan apa-apa. Apalagi, perkara
yang dihadapi menyangkut hukum pidana,
bukan perdata, yang dalam proses
pembuktiannyapun
cukup
ditemukan
kebenaran yang bersifat formil saja. Dalam
pembuktian perkara pidana, para hakim
perlu menggali dan menemukan kebenaran
materiel di balik alat-alat bukti yang
tersedia. Karena itu, majelis hakim sudah
seharusnya mengutamakan lebih dulu asas
kemanfaatan
dan
kemuliaan
tujuan
pemberantasan tindak pidana korupsi itu,
barulah mengimbanginya dengan jaminan
penerapan asas legalitas.
Kedua logika pemohon keberatan terhadap
PP No. 19/2000 dan logika pembela PP
tersebut, pada pokoknya, sama-sama dapat
dibenarkan secara hukum. Akan tetapi, para
hakim haruslah benar-benar berdiri di
tengah-tengah dan menyelesaikan perkara
yang
menyangkut
pertentangan
kepentingan di antara keduanya secara adil
(just), bebas (independent) dan tidak
memihak (impartial). Oleh karena itu,
penting sekali artinya untuk mendudukkan
lebih dulu secara proporsional mengenai
posisi hakimnya sendiri serta para pihak
yang
terlibat
dalam
persengketaan.
Siapakah pemohon dan siapakah para
hakimnya.
Apakah
ada
hubungan
kepentingan antara keduanya, dan apakah
hubungan kepentingan yang terdapat antara
kasus yang terjadi dengan para pemohon.
Pertama, apa sebenarnya yang menyebabkan
Indra Sahnun Lubis merasa sangat
berkepentingan
sehingga
mereka
mengajukan
permohonan
keberatan
terhadap PP No. 19 Tahun 2000 tersebut.
Atas dasar kepentingan apa sehingga
mereka
merasa
terdorong
untuk
mengajukan permohonan. Apakah murni
atas dasar kepentingan hukum dalam arti
norma yang bersifat umum (general norms)
atau atas dasar kepentingan membela dan
melindungi warga negara yang terancam
oleh
eksistensi
Tim
Gabungan
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
berdasarkan PP No. 19 Tahun 2000 tersebut.
Jika pilihannya adalah yang terakhir, berarti
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, ELSAM
20
Kursus HAM untuk Pengacara XI Tahun 2007
Bahan Bacaan
Materi : Mekanisme Judicial Review
kepentingan hukum yang terlibat di
dalamnya berkaitan dengan norma hukum
yang nyata-nyata -- dengan meminjam
istilah yang dipergunakan oleh Hans Kelsen
dalam pandangannya mengenai ‘stuffenbautheorie’ -- bersifat konkrit dan individual
(concrete and individual norms), bukan norma
hukum yang bersifat umum (general
norms) 20 .
Dipandang dari latar belakang pengajuan
permohonan keberatan atas PP No. 19
Tahun 2000 tersebut, kasus ini jelas-jelas
menyangkut kepentingan para pemohon
yang mewakili kepentingan 2 orang hakim
agung yang menjadi tersangka tindak
pidana korupsi oleh TGPTPK. Sangat boleh
jadi, kedua hakim agung tersebut memang
tidak bersalah. Akan tetapi, ditinjau dari
segi prosedur objektifnya, kepentingan
hukum yang terkait dalam kasus ini
menyangkut norma hukum yang bersifat
konkrit dan individual (conrete and individual
norm), yaitu kepentingan 2 orang hakim
agung yang disangka melakukan tindak
pidana korupsi, dan tidak secara langsung
berkaitan dengan materi muatan PP No.
19/2000 yang berisi norma yang berlaku
umum (general norms). Oleh karena itu,
penyelesaian perkara yang menyangkut
kepentingan hukum yang bersifat konkrit
dan individuil (concrete and individual norms)
ini seharusnya tidak diselesaikan melalui
pengujian terhadap PP yang berisi norma
umum (general norms), melainkan dilakukan
melalui proses peradilan biasa. Dalam
proses peradilan itu sudah dengan sendiri
majelis hakim juga dapat mengesampingkan
berlakunya suatu Peraturan Pemerintah
yang dinilai oleh hakim bertentangan
dengan Undang-Undang. Akan tetapi,
putusan mengenai hal itu diambil oleh
hakim dalam proses peradilan terhadap
kedua terdakwa hakim agung tersebut.
Upaya pengujian atas materi suatu
peraturan perundang-undangan malah
seharusnya dibatasi, sehingga mekanisme
20 Hans Kelsen, General Theory of Law and
State, Cambridge University Press, 1949. Lihat
juga Pure Theory of Law, (translation by Max
Knight), University of California Press, Berkeley,
LA, London, 1978, hal. 19.
‘judicial review’ tidak dimanfaatkan oleh
pihak-pihak tertentu yang telah dinyatakan
sebagai
terdakwa
atau
tersangka
berdasarkan
peraturan
perundangundangan tersebut. Dengan demikian,
‘judicial review’ benar-benar digunakan
sebagai upaya hukum yang dimaksudkan
untuk penataan sistem hukum agar
harmonis dan sinergis antara satu sama lain,
baik secara horizontal maupun vertikal. Jika
para pemohon terkait dengan kepentingan
yang menyangkut norma yang konkrit dan
individual, maka seyogyanya hakim
menolak permohonan yang bersangkutan,
dan
menganjurkannya
menyelesaikan
perkaranya terlebih dulu melalui proses
peradilan biasa. Dengan demikian tidak
timbul ‘conflict of interests’ dalam upaya
pembangunan dan penegakan sistem
hukum yang berkeadilan.
Kedua, ketua majelis hakim yang mengadili
perkara ‘judicial review’ atas PP No. 19 tahun
2000 itu adalah Prof. Dr. Paulus Effendi
Lotulung yang sebelumnya pernah berperan
sebagai penasehat hukum bagi kedua
tersangka. Karena itu, mudah diduga bahwa
majelis hakim ini yang diketuai Paulus
Effendi Lotulung akan berpihak dan tidak
netral. Lebih-lebih, karena para tersangka
adalah hakim agung, sudah tentu majelis
hakim Mahkamah Agung sendiri secara
diam-diam akan berusaha keras membela
kepentingan
rekan
sendiri
melalui
penyidangan permohonan uji materiel
terhadap materi PP No. 19/2000 tersebut,
sebelum perkara kedua hakim agung itu
sendiri disidangkan di pengadilan. Dengan
begitu, proses peradilan terhadap kedua
hakim agung tersebut dapat dihindarkan,
karena dasar hukum institusi penyidik
terhadap keduanya, yaitu PP No. 19 Tahun
2000 telah dinyatakan tidak berlaku secara
hukum.
Pasal 42 ayat (1) dan (2) UU No. 14 Tahun
1985 jelas menentukan : “…seorang hakim
tidak diperkenankan mengadili dimana ia
berkepentingan baik langsung maupun
tidak...”. Karena itu, Prof. Dr. Paulus Effendi
Lotulung,
SH
sebaiknya
tidak
diperkenankan mengadili perkara ‘judicial
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, ELSAM
21
Kursus HAM untuk Pengacara XI Tahun 2007
Bahan Bacaan
Materi : Mekanisme Judicial Review
review’ atas PP No. 19/2000 sebelum perkara
dua hakim agung itu sendiri diselesaikan.
Bahkan, majelis hakim dan Mahkamah
Agung
sendiri
seharusnya
menolak
permohonan pengujian materiel atas PP No.
19/2000 tersebut sebelum, perkara tuduhan
korupsi terhadap kedua orang hakim agung
yang terlibat itu diselesaikan secara hukum.
Bahkan selama status mereka berdua masih
sebagai hakim agung, maka Mahkamah
Agung sendiri tidak boleh dan tidak
mungkin bertindak sebagai hakim yang
akan menjamin keadilan yang sejati. Prinsipprinsip ini penting dijadikan pegangan
karena hakim haruslah bekerja secara
merdeka (independent) dan tidak memihak
(impartial).
Prinsip ‘Doelmatig’ dan ‘Rechtsmatig’ di
Era Transisional
Dalam rangka mencapai atau menemukan
titik
keseimbangan
antara
prinsip
‘doelmatigheid’ dan ‘rechtsmatigheid’ seperti
yang dikemukakan di atas, selain faktor
subjek yang terlibat, yang juga penting
diperhatikan
adalah
faktor
kondisi
lingkungan strategik yang mempengaruhi
proses penentuan keputusan yang adil dan
tepat. Di dalamnya terdapat konteks ruang
(space) dan waktu (time) yang sangat
mempengaruhi. Yang dimaksud dengan
ruang disini dapat berupa ruang keIndonesiaan, ruang kedaerahan, ruang
lokasi, ataupun ruang persidangan dimana
perkara pengujian materiel itu disidangkan.
Sedangkan yang dimaksud dengan konteks
waktu disini dapat berupa waktu pagi,
siang, sore, atau malam; dan waktu harinya,
bulannya ataupun waktu dalam arti era dan
zaman. Yang terakhir inilah yang saya
anggap paling relevan untuk dibahas disini,
berkenaan dengan kasus pengujian terhadap
materi PP No. 19 Tahun 2000 terhadap UU
No. 31 Tahun 1999.
Perkara ini disidangkan dalam suasana
zaman dimana pemerintahan negara kita
bersifat transisional dari otoritarian menuju
demokrasi, dan dari era ‘Rachtsstaat’ menuju
era ‘Rechtsstaat’. Dalam proses transisi itu,
sistem demokrasi yang dipraktekkan masih
harus disebut sebagai ‘transitional democracy’,
dan
prinsip-prinsip
keadilan
yang
ditegakkan masih bersifat ‘transitional
justice’. ‘Rule of the game’ yang dipakai
selama masa transisi itu juga bersifat
transisional, alias belum sepenuhnya ideal.
Sistem hukum dan konstitusi yang
seharusnya dijadikan standard pengambilan
keputusan untuk mewujudkan keadilan itu
juga sedang mengalami reformasi dan
penataan kembali secara bertahap. Inilah
yang menjadi hakikat era reformasi politik,
reformasi ekonomi, dan reformasi hukum
yang menjadi pesan gerakan reformasi
nasional sejak tahun 1998. Memang benar,
masa transisi haruslah dibatasi secara tegas
waktunya. Akan tetapi, dari segi hokum,
batas era transisi itu sangatlah jelas, yaitu
sampai dokumen hukum tertinggi, yaitu
naskah Undang-Undang Dasar selesai
diubah menjadi hukum dasar yang utuh.
Sejak tahun 1999 sampai dengan tahun 2001,
UUD 1945 telah diubah tiga kali. Akan
tetapi, perubahan itu dilakukan secara
cicilan dan sepenggal-sepenggal, sehingga
hasilnya belum belum bersifat utuh. Karena
itu, keseluruhan naskah UUD 1945 yang asli
ditambah tiga naskah Perubahan yang
sudah disahkan, belum dapat difungsikan
sebagai satu kesatuan konstitusi yang
mengandung hukum dasar yang utuh.
Sebelum konstitusi negara kita selesai
dirumuskan menjadi hukum dasar yang
utuh, sistem hukum Indonesia yang
berdasarkan
konstitusi
belum
dapat
dikatakan utuh, dan karena itu masih
bersifat transisional 21 .
21 Secara akademis, keadaan UndangUndang Dasar 1945 yang berlaku sekarang
setelah tiga kali diubah memang tepat disebut
bersifat transisional. Agak aneh jika ada
pendapat seperti yang dikemukakan oleh Dr.
Adnan Buyung Nasution bahwa istilah
‘konstitusi transisi’ tidak dikenal dalam hukum.
Istilah ‘transisi’ itu identik dengan istilah ‘interim’
atau ‘provisional’ untuk menunjuk pada sifat
sementara dan peralihan. Banyak sekali negara
yang menggunakan naskah peralihan atau
naskah sementara sebelum naskah final
disahkan. Dalam sejarah Republik Indonesiapun
istilah seperti itu pernah dipakai yaitu dengan
UUDS 1950 yang dipakai sambil Konstituante
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, ELSAM
22
Kursus HAM untuk Pengacara XI Tahun 2007
Bahan Bacaan
Materi : Mekanisme Judicial Review
Karena konstitusinya saja belum utuh dan
antara satu pasal dengan pasal lainnya
masih bersifat tumpang tindih dan bahkan
kadang-kadang ada yang bersifat saling
bertentangan satu sama lain, maka
peraturan
perundang-undangan
di
bawahnya juga masih belum bersifat utuh.
Sekarang ini, banyak Peraturan Pemerintah
yang
bertentangan
dengan
UndangUndang, baik karena kelemahan dalam
perumusan PP tersebut ataupun karena UU
nya sendiri dirumuskan lebih belakangan
daripada PP yang bersangkutan. Kadangkadang ada pula Peraturan Pemerintah yang
dirumuskan secara berbeda dari ketentuan
suatu UU karena adanya kebutuhan yang
nyata di lapangan yang materinya tidak
mungkin dimasukkan ke dalam UU karena
UU sendiri baru disahkan. Dalam kasuskasus demikian, Peraturan Pemerintah
tersebut memang dapat dinilai bertentangan
dengan Undang-Undang. Akan tetapi,
karena UUD sendiri juga sedangkan
mengalami perubahan besar-besaran, dapat
pula terjadi bahwa UU yang dijadikan dasar
untuk menilai Peraturan Pemerintah
tersebut di atas, juga ternyata bertentangan
dengan UUD yang baru saja diubah.
Sebagai contoh, cukup banyak Peraturan
Pemerintah
yang
ditetapkan
yang
bertentangan dengan UU No. 22 Tahun 1999
tentang Pemerintah Daerah. Misalnya PP
No. 109 Tahun 2000 dan PP No. 110 Tahun
2000. Akan tetapi, dengan adanya
perubahan terhadap ketentuan Pasal 18
UUD 1945 yang telah disahkan berdasarkan
Perubahan Kedua UUD 1945, maka dapat
dikatakan bahwa UU No.22 Tahun 1999
itupun sudah bertentangan dengan UUD.
Peraturan Pemerintah memang dapat diuji
oleh Mahkamah Agung. Tetapi, pengujian
terhadap materi UU, berdasarkan ketentuan
Pasal 24 C ayat (1) Perubahan Ketiga UUD
1945, merupakan kewenangan Mahkamah
Konstitusi. Akan tetapi, dalam waktu dekat,
Mahkamah Konstitusi itu sendiri belum
terbentuk,
karena
masih
menunggu
dibentuknya Undang-Undang yang khusus
berkenaan dengan itu. Jika berbagai PP yang
dibentuk dan bekerja sampai tahun 1959 untuk
mempersiapkan UUD yang baru.
dianggap
bertentangan
dengan
UU
dinyatakan tidak berlaku oleh Mahkamah
Agung, sedangkan UU belum dapat diuji
materiel dalam waktu dekat ini, maka dapat
saja terjadi bahwa banyak PP yang dianggap
bertentangan dengan ketentuan UU yang
memang
seharusnya
sudah
diubah
berdasarkan ketentuan UUD yang baru,
dapat dengan mudah dinyatakan tidak
berlaku oleh Mahkamah Agung. Padahal
mungkin saja Peraturan Pemerintah tersebut
justru sesuai dengan semangat UUD yang
baru. Jika hal ini terjadi, maka dapat timbul
kekacauan dalam sistem hukum Indonesia
yang sangat membahayakan masa depan
Negara Hukum kita.
Contoh lain berkenaan dengan kondisi
kekacauan dan tidak harmonis peraturan
perundang-undangan negara kita di masa
transisi ini yang berkaitan erat dengan kasus
yang dibahas disini adalah pertentangan
antara ketentuan UU No. 14 tahun 1985
dengan Peraturan Mahkamah Agung No. 1
tahun 1999 tentang tata cara pelaksanaan
hak uji materiel. Menurut ketentuan Pasal 31
ayat (3) UU No. 14 Tahun 1985, hak uji
materiel (judicial review) dilakukan melalui
pemeriksaan kasasi. Dengan demikian,
pengujian materiel dilakukan bertahap
mulai dari pengadilan negeri, pengadilan
tinggi, barulah sampai ke Mahkamah
Agung. Tetapi, Pasal 2 ayat (1) huruf ‘a’ dan
Pasal 5 ayat (1) huruf ‘a’ menyatakan bahwa
‘judicial review’ dapat dilakukan melalui
permohonan langsung ke Mahkamah
Agung.
Padahal
menurut
ketentuan
Ketetapan
MPR
No.
III/MPR/2000,
Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) jelas
tidak boleh bertentangan dengan UndangUndang. Selain itu, banyak pula hal-hal
yang diatur dalam Peraturan Mahkamah
Agung (PERMA) ini yang seharusnya
menjadi materi muatan Undang-Undang
ataupun
yang
bertentangan
dengan
ketentuan
Undang-Undang.
Misalnya,
PERMA ini menentukan pembatasan waktu
pengajuan hak uji, yang berkaitan dengan
hak asasi manusia yang tidak boleh
dikurangi oleh suatu peraturan yang
ditentukan sendiri oleh Mahkamah Agung.
Semua ketentuan yang bertentangan
ataupun yang seharusnya dituangkan dalam
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, ELSAM
23
Kursus HAM untuk Pengacara XI Tahun 2007
Bahan Bacaan
Materi : Mekanisme Judicial Review
UU tetapi ditentukan sendiri oleh
Mahkamah Agung dalam bentuk PERMA,
semata-mata didasarkan atas pertimbangan
asas
tujuan
dan
manfaat,
dengan
mengabaikan asas legalitas.
Oleh karena itu, dalam masa transisi
konstitusional dewasa ini, para hakim
seyogyanya mempertimbangkan aspekaspek yang menyangkut prinsip-prinsip
keadilan transisional (transitional justice),
termasuk dalam menguji materi Peraturan
Pemerintah No. 19 Tahun 2000 tentang Tim
Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi. Keseimbangan dalam penerapan
prinsip ‘doelmatigheid’ dan penerapan
prinsip ‘rechtsmatigheid’ dapat ditemukan,
jika majelis hakim dapat mengembangkan
penafsiran yang bersifat kontekstual. Sudah
sangat jelas bahwa di masa transisi ini,
sistem hukum Indonesia sedang mengalami
penataan kembali, maka sudah dengan
sendirinya
banyak
sekali
terdapat
kekurangan disana-sini, sehingga prinsip
‘rechtsmatigheid’ tidak dapat sepenuhnya
diandalkan atau dijadikan andalan dalam
mewujudkan keadilan. Karena itu, majelis
hakim sudah seharusnya mengutamakan
prinsip ‘doelmatigheid’ dulu sebagai prioritas
pertama, sambil tetap berusaha menerapkan
prinsip ‘rechtsmatigheid’ berdasarkan asas
legalitas. Dengan demikian, hakim tidak
hanya menjadi mulut undang-undang
dalam arti formal, tetapi lebih jauh lagi
merupakan mulut, tangan, mata dan telinga
serta sekaligus pencium rasa keadilan dalam
arti yang lebih sejati.
2. Kasus Judicial Review atas PP No. 17 Tahun 1999 tentang BPPN
Sebagai bahan perbandingan, disini dapat
pula dibahas logika yang digunakan oleh
majelis hakim Mahkamah Agung dalam
memutuskan permohonan hak uji materil
atas PP No. 17 Tahun 1999 tentang BPPN
(Badan Penyehatan Perbankan Nasional)
tertanggal 1 Desember 1999 yang diketuai
oleh Ketua Muda Mahkamah Agung M.
Yahya Harahap 22 . Dalam kasus ini, majelis
hakimnya dipimpin oleh Yahya Harapan,
SH. dengan hakim anggota yang terdiri atas
Achmad Syamsuddin, SH. dan Arbijoto, SH.
Posisi Yahya Harahap sebagai ketua majelis
hakim dalam kasus ini sangat berbeda dari
posisi Yahya Harahap, yang dalam kasus
permohonan uji materil atas PP No. 19
Tahun
2000,
tersangkut
dengan
kedudukannya sebagai tersangka tindak
pidana korupsi.
Dalam kasus pengujian atas PP No. 17
Tahun 1999, Mahkamah Agung menolak
permohonan keberatan hak uji materil yang
diajukan oleh DPP Asosiasi Advokat
Indonesia (AAI) yang menuntut agar
Mahkamah Agung menyatakan Peraturan
22
22.
Lihat Varia Peradilan No. 173, hal. 5-
Pemerintah No. 17 Tahun 1999 tentang
Badan Penyehatan Perbankan Nasional
bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang lebih tinggi, dan dinyatakan
tidak berlaku umum serta tidak mempunyai
kekuatan hukum yang mengikat dan
memerintahkan agar PP tersebut dicabut.
Sedangkan dalam kasus pengujian atas PP
No. 19 Tahun 2000, Mahkamah Agung
mengabulkan
permohonan
keberatan
pemohon seluruhnya, menyatakan PP No.
19 Tahun 2000 tidak sah dan tidak berlaku
untuk umum, memerintahkan Presiden
untuk segera mencabut PP No. 19 Tahun
2000, dengan ketentuan apabila dalam
tempo 90 hari ternyata PP tersebut PP
tersebut belum dicabut, maka demi hukum
PP tersebut tidak mempunyai kekuatan
hukum, dan menghukum pemerintah
membayar biaya perkara.
Alasan penolakan terhadap permohonan
keberatan dari pemohon hak uji materil atas
PP No. 17/1999 tersebut adalah : Pertama,
meskipun PP No. 17 Tahun 1999
memberikan kewenangan yang agak
menyimpang dari ketentuan formal UU
yang lebih tinggi, tetapi jika dikaitkan
dengan “kebutuhan dalam keadaan darurat
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, ELSAM
24
Kursus HAM untuk Pengacara XI Tahun 2007
Bahan Bacaan
Materi : Mekanisme Judicial Review
dan bersifat ‘occasional’”, maka substansi
dan materi yang terkandung dalam PP No.
17 Tahun 1999 tersebut : (a) tidak sampai
mematikan hak perdata seseorang, (b) tidak
sampai melanggar hak asasi manusia, (c)
tidak mematikan hak seseorang untuk
mengajukan perlawanan atau gugatan
kepada pengadilan terhadap BPPN, (d)
tidak melanggar asas legalistik, (e) tidak
melanggar prinsip demokrasi dan prinsip
egalitarianisme
maupun
praktek
diskriminasi.
Kedua, kewenangan BPPN mengeluarkan
surat paksa - penyitaan, pelelangan, dan
pengosongan – masih mengacu kepada
Pasal 195 dan Pasal 200 Hukum Acara
Perdata (HIR). Kewenangan BPPN tersebut
jika diuji dengan prosedur Hukum Acara
Perdata, masih berada dalam kerangka
tertib hukum acara (scope of due process of
law).
Ketiga,
jika
dihubungkan
dengan
pertimbangan urgensi, emergensi dan
‘occasional demand’, pemberian wewenang
yang besar kepada BPPN bukan merupakan
pelanggaran yang dapat dikategorikan
bertentangan dengan ‘fundamental law’
(natural justice). Kewenangan yang besar
tersebut masih berada dalam batas-batas
toleransi hukum dan keadilan moral (moral
justice).
Keempat, di samping itu, melalui putusannya
itu, Mahkamah Agung menyampaikan
saran (advice) agar PP No. 17/1999 tersebut
secepatnya ditingkatkan menjadi UndangUndang, agar tidak menimbulkan hujatan
dan sekaligus memperkokoh kedudukan
hukum BPPN sendiri, sehingga kekuasaan
BPPN yang bersifat ‘extra-judicial’ dapat
terkait secara hukum sebagai ‘lex specialis’
berdasarkan Undang-Undang yang berlaku.
Dalam keadaan normal dan dengan
menerapkan prinsip ‘rechtsmatigheid’ yang
ketat pemberian kewenangan kepada suatu
badan untuk melakukan segala tindakan
yang dapat memaksa warga negara untuk
mengalihkan hak dan kewajibannya atau
membebani warga negara atau subjek
hukum lainnya dengan hak-hak dan
kewajiban-kewajiban
yang
bersifat
memaksa, haruslah dilakukan dengan
undang-undang. Karena itu, keberadaan
lembaga Badan Penyehatan Perbankan
Nasional dengan kewenangan yang sangat
besar, tetapi hanya dibentuk dengan
Peraturan Pemerintah tidaklah dapat
diterima secara hukum. Karena itu, saran
(advice) majelis hakim Mahkamah Agung
agar
PP
tersebut
ditingkatkan
kedudukannya menjadi Undang-Undang,
memang dinilai sangat tepat. Akan tetapi,
karena majelis hakim memberikan toleransi
yang besar terhadap kenyataan bahwa
pembentukan Badan Penyehatan Perbankan
Nasional tersebut sangat diperlukan dalam
keadaan yang bersifat mendesak atau
‘urgen’, darurat atau ‘emergensi’, dan bersifat
‘occasional demand’ dalam arti tidak
dimaksudkan bersifat permanen, melainkan
hanya bersifat sementara, maka majelis
hakim menganggap bahwa permohonan
keberatan atas PP No. 17/1999 tersebut
tidak dapat diterima. Pertimbangan urgensi,
emergensi, dan ‘occasional demand’ tersebut
di atas, jelas sekali lebih mengutamakan
prinsip ‘doelmatigheid’ daripada prinsip
‘rechtsmatigheid’.
Pada masa-masa transisi menuju demokrasi
yang penuh (‘transition towards constitutional
democracy’) seperti yang dialami bangsa
Indonesiia selama 4 tahun terakhir ini,
memang perlu disadari berlakunya prinsip
‘transitional justice’ dalam pemahaman kita
mengenai hukum dan sistem hukum yang
dewasa ini juga tengah mengalami
perubahan mendasar 23 . Oleh karena itu,
pertimbangan majelis hakim yang diketuai
oleh Hakim Agung Muda M. Yahya
Harahap dalam kasus pengujian materil atas
PP No. 17/1999 tersebut dapat dinilai
bijaksana. Oleh karena itu, seharusnya,
majelis hakim yang dipimpin oleh Prof. Dr.
Paulus Effendi Lotulung, SH. yang
memeriksa permohonan pengujian materil
atas PP No. 19 Tahun 2000 juga menerapkan
logika hukum yang sama, yaitu menolak
23
Contoh-contoh
lain
mengenai
penerapan prinsip keadilan transisional ini dapat
dibaca dalam buku terbitan Komisi Nasional Hak
Asasi Manusia berjudul : “Keadilan Dalam Masa
Transisi”, Jakarta : KOMNAS HAM, 2001.
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, ELSAM
25
Kursus HAM untuk Pengacara XI Tahun 2007
Bahan Bacaan
Materi : Mekanisme Judicial Review
permohonan keberatan yang diajukan oleh
Indra Sahnun Lubis dan kawan-kawan, dan
memberikan saran (advice) agar pemerintah
dan Dewan Perwakilan Rakyat meningkat
kedudukan materi yang diatur dalam PP
No. 19/2000 tersebut menjadi materi
Undang-Undang.
Sangat disayangkan bahwa prinsip logika
yang diterapkan dalam kasus pengujian
materil atas PP No. 17 Tahun 1999 dan
pengujian materil atas PP No. 19 Tahun
2000, berbeda satu sama lain. Dalam kasus
pertama, prinsip ‘doelmatigheid’ lebih
diutamakan, sedangkan dalam kasus kedua,
prinsip ‘rechtsmatigheid’lah yang lebih
diutamakan. Dalam kasus pertama, majelis
hakim
mempertimbangkan
dengan
sungguh-sungguh
perkembangan
kebutuhan hukum di masa transisi dengan
memberikan
pertimbangan
khusus
mengenai urgensi, emergensi, dan ‘occasional
demand’ berkenaan dengan keberadaan PP
No. 17 Tahun 1999, yang meskipun
mengandung kekurangan dan kelemahan
dari segi teknis hukum, dinilai oleh hakim
tetap konstitusional dan dinyatakan sah
berlaku sebagai hukum. Tetapi dalam kasus
kedua, hakim justru berpegang teguh pada
prinsip
‘rechtsmatigheid’ secara
kaku,
sehingga kelemahan teknis sedikit saja dari
PP No. 19 Tahun 2000 sudah cukup
dijadikan alasan bagi hakim untuk
menyatakannya
bertentangan
dengan
Undang-Undang dan karena itu dinyatakan
tidak berlaku mengikat untuk umum.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
majelis hakim Mahkamah Agung telah
menggunakan
standar
ganda
dalam
memberikan penilaian mengenai kedua
kasus pengujian materil atas kedua
Peraturan Pemerintah tersebut.
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, ELSAM
26
Kursus HAM untuk Pengacara XI Tahun 2007
Bahan Bacaan
Materi : Mekanisme Judicial Review
DAFTAR PUSTAKA
1.
Falakh, Fajrul Mohammad. “Menggagas “Constitutional Review” di Indonesia”. Kompas, 8
April 2000.
2.
Isra, Saldi. “Menggugat Undang-Undang Antiterorisme”. Kompas, 10 Maret 2003.
3.
Isra, Saldi. “Ihwal pengajuan Judicial Review”. Koran Tempo, 16 Januari 2003.
4.
Konsorsium Reformasi Hukum Nasional. Pokok-Pokok Pikiran dan Rancangan Undang-Undang
Mahkamah Konstitusi. KRHN dan Kemitraan untuk Tata Pemerintahan di Indonesia, 2003.
5.
Danielle E. Finck. Judicial Review : The United States Supreme Court versus the German
Cobstitutional Court. Boston College International & Comparative Law Review, 1997.
6.
Daniels S. Dengler. The Italian Costitutional Court : Safeguard of The Constitution. Dickinson
Kournal Law, 2001.
7.
Mahkamah Agung. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2002 tentang
Penyelenggaraan Wewenang Mahkamah Konstitusi oleh Mahkamah Agung. 2002.
8.
Mahkamah Agung. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1999 tentang Hak Uji
Materil. 1999.
9.
Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan. Draft Studi Pembaruan
Mahkamah Agung. Jakarta : 2003.
10.
Jimly Ashshdiqqie. ‘JUDICIAL REVIEW’ (Telaah atas Putusan Mahkamah Agung Republik
Indonesia tentang Peraturan Pemerintah No. 19/2000 yang Bertentangan dengan Undang-Undang
No. 31 TAHUN 1999). Dictum Edisi 1. Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi
Peradilan : 2002.
11.
Soemantri, Sri. Hak Uji Material di Indonesia. Alumni Bandung : 1997.
12.
Ferejohn, John, et all. Constitutional Culture and Democratic Rule. Cambridge University Press
: 2001.
13.
M. Superstone QC and J. Goudie QC. Judicial Review. Butterworths, London : 1992.
14.
F. Mount. The British Constitution Now. Mandarin, London, 1993.
15.
Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 03P/HUM/2000. Tertanggal 23 Maret
2001. Varia Peradilan : 2001.
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, ELSAM
27
Download