TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PERKAWINAN TELECONFERENCE Oleh : DEDE YUSIPA NIM : 103044128068 KONSENTRASI PERADILAN AGAMA PROGRAM STUDI AHWAL SYAKHSHIYAH FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1431H/2010 M TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PERKAWINAN TELECONFERENCE Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) Oleh: Dede Yusipa NIM : 103044128068 Di Bawah Bimbingan &e Prof. Dr. Hasanuddin. AF. MA NIP. 1500s0917 KONSENTRA SI PERADILAN AGAMA PROGRAM STUDI AHWAL SYAKHSHIYAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA t43t H/2011 M PENGESAHAN PANITIA UJIAN TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PERKAWINAN TELECONFERENCE telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum SKTiPSi Yang beTJudul Universitas Islam Negeri ini ruf$ Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 3l Maret20lL Skripsi telah diterima sebagai salah sahr syarat memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.sy) pada program studi Ahwal al-Syakhsiyyah. Jakarta, 04 egustus 2011 Mengesahkan / -<<'D€kan F yariah dan Hukum NIP: 1955'0505 1982 0310 12 PANITIA UJIAN Ketua : Sekretaris Pembimbing ly---...4.... Drs.H.A.BasiqDjalil. SH. MA NIP : 19500306197 603 1001 : Hj..Rosdiana" MA NIP : I 96906102003 122001 : Prof. Dr. Hasanuddin.AF + ...........) ,,d' MA NIP : 150050917 Penguji I Penguji II : H. Jasir. SH. MH NIP : I 94407 09196604 1 001 : Hj. Rosdiana. MA NIP : 196906102003 122001 (, ( l#?, KATA PENGANTAR بسم اهلل الرّحمن الرّحيم Puji syukur kepada Allah SWT, yang telah memberikan kenikmatan berupa Ilmu kepada kita sebagai hamba-Nya, sehingga dengan ilmu itu kita bisa membedakan kebaikan dan keburukan di atas bumi ini. Dan patutlah kalimat Alhamdulillahi Rabbi Al-‘Alamin yang pertama kali terucap oleh penulis karena penulis telah dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta Salam semoga senantiasa dicurahkan kepada Rasulullah Muhammad SAW, keluarganya, para sahabatnya serta para pengikutnya dan mudah-mudahan kita termasuk di dalamnya. Dalam penulisan skripsi ini, tidak sedikit kesulitan dan hambatan yang penulis jumpai, namun syukur Alhamdulillah berkat rahmat dan dengan inayahNya serta kesungguhan, kerja keras dan kerja cerdas disertai dukungan dan bantuan dari berbagai pihak, baik langsung maupun tidak langsung, segala kesulitan dapat diatasi dengan sebaik-baiknya sehingga pada akhirnya skripsi ini dapat diselesaikan. Oleh sebab itu, sudah sepantasnya-lah pada kesempatan kali ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum, Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA., MM 2. Prof. Dr. Hasanuddin, AF, MA, sebagai dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan waktunya meyelesaikan skripsi ini. ii untuk membantu penulis dalam 3. Ketua Program Studi Al-Akhwalu As-syakhsiyah, Drs. H. A. Basiq Djalil, SH.,MA 4. Sekretaris Program Studi Al-Akhwalu As-syakhsiyah, Hj. Rosdiana. MA 5. Kepala unit perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan fasilitas kepada penulis untuk mengadakan studi kepustakaan sehingga selesainya skripsi ini. 6. Ayahanda Drs. Wildan A. Yus dan Ibunda Hj. Fatimah Nurlaelis yang senantiasa memberikan motivasi, arahan serta doa yang tiada hentihentinya dan bantuan moril maupun materiil. 7. Teman-teman diskusi Peradilan Agama Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Angkatan 2003 Mudah-mudahan jalinan persahabatan kita tak terhenti sampai di sini dan bisa terjalin sampai kapan pun dan di manapun kita berada. 8. Muhammad Yusuf Daulay, Andreansyah Syafi’i, Firman Assalamsyah sebagai sahabat pertama yang membantu penulis dalam berbagai permasalahan, dan banyak lagi yang lainnya yang tidak bisa penulis sebutkan satu-persatu. 9. Secara khusus, penulis haturkan terima kasih sebesar-besarnya kepada adinda Heryani Arman, yang telah memberikan motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, terima kasih atas segala bantuanya, Semoga Allah membalas kebaikannya. Semoga amal baik semua dibalas oleh Allah SWT dengan balasan yang berlipat ganda. Amin. iii Akhirnya, penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat, bagi penulis khususnya dan bagi pembaca pada umumnya. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun senantiasa penulis harapkan untuk kesempurnaan skripsi ini. Jakarta, 1 Maret 2011 Penulis, iv DAFTAR ISI KATA PENGANTAR .................................................................................... ii DAFTAR ISI .............................................................................................. v BAB I BAB II PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ............................................................ 1 B. Batasan dan Perumusan Masalah ................................................... 5 C. Maksud dan Tujuan Penelitian ................................................... 5 D. Kegunaan Penelitian……….……………………………………… 6 E. Kerangka Pemikiran………………………………………………. 6 F. Metode Penelitian………………………………………………… 9 G. Sistematika Penulisan Skripsi.......................................................... 12 TINJAUAN UMUM MENGENAI PERKAWINAN A. Perkawinan Menurut Undang-Undang…........................................ 14 B. Perkawinan Menurut Fiqih………………….…………………….. 31 BAB III PERKAWINAN JARAK JAUH A. Telekomunikasi Dan Perkembangannya…………......................... 51 B. Pengaruh Telekomunikasi Terhadap Perkawinan Di Indonesia… 56 C. Perkawinan Teleconference Di Indonesia…................................... 62 v BAB IV HUKUM PERKAWINAN TELECONFERENCE A. Pengaturan Perkawinan Teleconference…..……………………… 68 B. Prosedur Perkawinan Teleconference….…………………………. 78 C. Kendala-kendala Perkawinan Media Teleconference…..………… 85 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ……………………………………………………….. 88 B. Saran ……………………………………………………………… 90 DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... vi 91 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia merupakan mahluk yang paling sempurna diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa, yang dikaruniai akal dan pikiran, kesempurnaan untuk berjalan serta kemampuan berkomunikasi dan berbicara yang membedakan manusia dengan mahluk lain yang ada di muka bumi ini. Bertambahnya jumlah populasi manusia di muka bumi menyebabkan tersebarnya manusia ke berbagai tempat yang dipisahkan oleh jarak, sedangkan manusia itu sendiri merupakan mahluk sosial yang membutuhkan manusia lain di sekitarnya, yang dalam persepsi sosiologis diartikan sebagai mahluk yang tidak dapat hidup sendiri, oleh karena setiap manusia (secara individual) masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan serta membutuhkan individu lain, untuk dapat saling menutupi kekurangannya, sehingga timbul suatu motivasi agar sesama manusia itu dapat saling mencintai antar sesamanya tanpa mempermasalahkan perbedaan warna kulit, ras, etnis ataupun perbedaan fisik, dengan proporsi yang seimbang dalam arti adanya penyeimbangan antara cinta pada diri sendiri dengan cinta pada sesama manusia lain dengan membatasi penunjukan rasa cinta mereka.1 Rasa saling membutuhkan antar sesama manusia di ajarkan dalam agama Islam, bahwa setiap manusia itu diciptakan hidup berpasangan, guna melengkapi kekurangan dan membagi kelebihan yang dimiliki oleh masing-masing individu. 1 M. Munandar Sulaeman, Ilmu Budaya Dasar , Suatu Pengantar. PT. Eesco, Bandung. 1995. Hlm. 51 2 Setiap individu telah di gariskan takdirnya pasti mendapatkan pasangan hidup masing-masing, akan tetapi tidak dengan jalan yang melanggar norma-norma yang ada di dalam masyarakat, baik itu norma agama, kesopanan, kesusilaan maupun norma hukum, melainkan dengan melangsungkan perkawinan sebagai suatu ibadah. Agama Islam memberikan suatu himbauan bagi semua manusia pada umumnya dan umat Islam pada Khususnya, jika telah berkemampuan secara jasmani maupun rohani serta lahir maupun batin, untuk melangsungkan perkawinan sebagai jalan yang terbaik dalam membina suatu hubungan yang sah dari adanya pergaulan hidup antar manusia, yang semakin menunjukkan adanya kebebasan yang sebebas-bebasnya dalam pergaulan antara pria dan wanita, walaupun pada masyarakat Indonesia itu yang adat istiadat sangat menjunjung tinggi kesopanan dan kesusilaan dalam pergaulan hidup. Pengaruh globalisasi dan keterbukaan informasi yang mengakibatkan masuknya nilai-nilai budaya barat (yang sifatnya lebih objektif dengan penekanan kepada masalah rasio, berbeda dengan budaya timur yang sangat menjunjung perasaan atau intuisi yang lebih menekankan inti kepribadian pada hati)2, ke dalam beberapa sendi kehidupan masyarakat Indonesia yang sedikit demi sedikit mengubah pola tatanan ketimuran mengenai pentingnya makna dari suatu perkawinan. Perkawinan, menurut pandangan masyarakat adat di Indonesia, merupakan tahapan akhir atau stage along the life circle dalam rangkaian hidup seorang manusia dan bersifat sangat sakral, sehingga dalam pelaksanannnya harus dilalui 2 Ibid M. Munandar Sulaeman,. hlm. 36-38 3 dengan tahapan-tahapan upacara pelepasan status atau sering disebut Rites de Passage, hal ini tidak lain karena hakekat perkawinan sebagai penyatuan dua keluarga besar, yang bertujuan untuk3 : 1. melangsungkan hidup kelompoknya secara tertib – teratur ; 2. melahirkan generasi baru sebagai pelanjut garis hidup kelompoknya. 3. meneruskan garis keluarga tertentu yang termasuk dalam persekutuan tersebut. Banyaknya tata cara dan atau aturan yang harus dilalui untuk mencapai sahnya suatu perkawinan, menimbulkan pemikiran untuk menyederhanakan dan membuat praktis. Keinginan kuat penyederhanaan sahnya perkawinan ini semakin terwujud, dengan adanya perubahan sahnya perkawinan secara adat menjadi secara agama. Sahnya suatu perkawinan secara agama semakin diperkuat dengan keluarnya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, terutama Pasal 2 ayat (1) yang berbunyi sebagai berikut : “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masingmasing agamanya dan kepercayaannya itu” Berdasarkan pada ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan (UU perkawinan) ini, maka suatu perkawinan itu tidak akan ada, jika dilakukan di luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945. Setelah dilakukan perkawinan sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1), segera dilanjutkan dengan pencatatan perkawinan tidak hanya sebagai suatu bentuk tata tertib administrasi, 3 Iman Sudiyat, Hukum Adat : Sketsa Asas. Liberty, Yogyakarta, 1981, Hlm. 107 4 akan tetapi adanya pencatatan perkawinan ini membuktikan telah dilaksanakan atau belum perbuatan hukum perkawinan yang ditentukan dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) tersebut di atas. Oleh karena itulah, pencatatan perkawinan sesuai ketentuan Pasal 2 ayat (2) UU perkawinan ini, sangat penting kedudukannya dalam hal terjadinya akibat hukum dari adanya perbuatan hukum perkawinan tersebut. Sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan (2) tersebut, maka timbul suatu hal yang menarik dalam masyarakat mengenai perkawinan dengan memanfaatkan teknologi telekomunikasi khususnya media teleconference, suatu hal yang dulu dirasakan tidak mungkin terjadi, akan tetapi pada saat ini telah dapat dilakukan. Hal ini tidak terlepas dari semakin canggih dan berkembangnya sarana teknologi telekomunikasi. Fenomena menarik berkaitan dengan pemanfaatan media teleconference dalam suatu perkawinan menimbulkan suatu kajian baru berkaitan dengan sah atau tidaknya perkawinan yang dilangsungkan secara jarak jauh, yang mendorong penulis melakukan penelitian mengenai : Tinjauan Hukum Islam Terhadap Perkawinan Teleconference 5 B. Batasan dan Rumusan Masalah 1. Batasan Masalah Agar pokok permasalahan dalam memahami skripsi ini tidak terlalu meluas dan tetap pada jalurnya, penulis membatasi ruang lingkup pembahasan dalam penulisan skripsi ini hanya berkisar pada “Hukum Perkawinan Teleconference”. 2. Rumusan Masalah Berdasarkan pada latar belakang penelitian tersebut maka dapat dimunculkan rumusan masalah sebagai berikut : 1. Bagaimana status hukum bagi pernikahan Teleconference? 2. Bagaimanakah prosedur perkawinan yang dilakukan melalui media teleconference? 3. Kendala-kendala apa saja yang timbul dalam pelaksanaan perkawinan melalui media teleconference? C. Maksud dan Tujuan Penelitian Untuk memperoleh gambaran yang sesungguhnya tentang bagaimana Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengatur tentang perkawinan teleconference. Adapun tujuan dapat dirinci sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui sejauh mana Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan mengatur tentang perkawinan khususnya mengenai perkawinan melalui media teleconference. 2. Untuk mengetahui prosedur perkawinan yang dilakukan dengan memanfaatkan 6 media teleconference secara hukum. 3. Untuk mengetahui kendala-kendala yang timbul dan bagaimana solusinya dalam menangani kendala-kendala tersebut. D. Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kegunaan dan manfaat bagi pihakpihak yang berkepentingan, baik secara : 1. Teoritis Yaitu dalam rangka pengembangan llmu Hukum Perdata pada umumnya dan Hukum Perkawinan pada khususnya 2. Praktis a. Memberikan suatu masukan bagi instansi yang terkait dalam bidang perkawinan dan juga masyarakat. b. Memberikan suatu alternatif atau terobosan baru dalam pelaksanaan proses perkawinan melalui media perantara. c. Penelitian ini dapat berguna untuk bahan rujukan atau acuan untuk penelitian yang diadakan berikutnya. E. Kerangka Pemikiran Berdasarkan penelitian yang berkaitan dengan adanya perkawinan melalui pemanfaatan media teleconference, berlandaskan pada teori atau pemikiran yang timbul dari Pasal 2 UU Perkawinan, pada ayat (1) dan (2) yang berbunyi : 7 (1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing masing agamanya dan kepercayaannya itu (2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang- undangan yang berlaku.” Selain kedua pasal di atas, landasan pemikiran lainnya adalah Pasal 10 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 19754, khususnya pada ayat (3), yang berbunyi: “Dengan mengindahkan tatacara perkawinan menurut masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, perkawinan dilaksanakan dihadapan pegawai pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi” Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) UU Perkawinan serta Pasal 10 ayat (3) PP No. 9/1975 tersebut, dapat diambil suatu kesimpulan bahwa peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perkawinan dan tatacara perkawinan tidak menentukan dengan cara bagaimanakah perkawinan itu harus dilangsungkan, karena tidak adanya ketentuan mengenai cara berlangsungnya suatu proses perkawinan, maka akan dapat dimunculkan dua penafsiran, yaitu apakah perkawinan harus dilangsungkan dengan mempertemukan kedua mempelai atau sebaliknya, bahwa proses perkawinan dapat dilangsungkan tanpa perlu kedua mempelai bertemu langsung. Untuk menjawab dua penafsiran di atas, jika mengacu pada ketentuan pasal tersebut, hanya akan mendapat jawaban yang sama. Hal ini tidak lain, karena Pasal 2 ayat (1) yang menentukan sahnya perkawinan hanya memberikan 4 Untuk selanjutnya disingkat menjadi PP No. 9/1975 8 arahan bahwa sahnya perkawinan itu kembali pada ketentuan hukum agama dan kepercayaannya yang dianut oleh ara pihak yang bersangkutan, sedangkan ketentuan Pasal 2 ayat (2) hanya merupakan ketentuan mengenai ketertiban administrasi saja. Begitu pula halnya Pasal 10 ayat (3) PP No. 9/1975 hanya menyatakan tatacara perkawinan dilangsungkan dihadapan Pegawai Pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi. Dengan demikian, karena masalah sahnya perkawinan itu kembali pada hukum agama, dapat dilihat pada agama islam, memberikan persyaratan berupa adanya : 1. Calon mempelai pria dan wanita ; 2. Wali nikah ; 3. Saksi ; 4. Ijab-kabul 5. Mahar. Keharusan mengenai ijab-kabul atau ucapan janji setia secara berkesinambungan yang kemudian menimbulkan penafsiran, bahwa proses perkawinan harus dilangsungkan dalam satu majelis atau satu tempat yang tidak terpisah oleh jarak. Namun jika dilakukan penafsiran terbalik, maka proses perkawinan yang dilakukan dengan jarak atau di sela oleh suatu perantara tetaplah memenuhi keempat keharusan tersebut di atas, hanya saja tidak dilakukan di satu majelis. Berkaitan dengan hal tersebut di atas maka dapat diketahui bahwa fungsi hukum adalah melindungi kepentingan manusia, sehingga dengan demikian 9 penemuan hukum yang mengacu kepada kepentingan pencari keadilan lebih diutamakan. Namun demikian Undang-undang tidak mengatur perkawinan dengan tata cara melalui media teleconference, oleh karena itu terdapat kekosongan hukum. Dalam hal kekosongan hukum yang demikian Mahkamah Agung berpendapat : “Bahwa tidaklah dapat dibenarkan kalau karena kekosongan hukum maka kenyataan dan kebutuhan sosial seperti tersebut diatas dibiarkan tidak terpecahkan secara hukum, karena membiarkan masalah tersebut berlarutlarut pasti akan menimbulkan dampak-dampak negatif di segi kehidupan bermasyarakat maupun beragama yang berupa penyelundupan- penyelundupan nilai-nilai sosial maupun agama dan atau hukum positif, maka Mahkamah Agung berpendapat haruslah dapat ditemukan dan ditentukan hukumnya”. F. Metode Penelitian Dalam skripsi ini penulis menggunakan metode penelitian sebagai berikut: 1. Spesifikasi Penelitian Penelitian yang digunakan dalam skripsi ini bersifat deskriptif analitis yaitu menggambarkan dan menganalisis fakta-fakta apa adanya sesuai dengan persoalan yang menjadi objek kajian penelitian5. 2. Metode Pendekatan Metode Pendekatan utama yang dilakukan adalah metode penelitian 5 Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1990 Halaman 97-98 10 secara Yuridis Normatif yaitu penelitian hukum yang menggunakan sumber data sekunder yang berupa penilaian kepustakaan, penelitian yang menekankan pada ilmu hukum, berusaha menelaah kaidah-kaidah hukum yang berlaku dalam masyarakat dan sebagai penunjang dilakukan metode penelitian secara Normatif6. 3. Jenis Penelitian Berkenaan dengan pendekatan yuridis normatif yang digunakan, maka penelitian dilakukan melalui dua jenis penelitian : a. Penelitian Kepustakaan Hal ini dimaksud untuk mendapat data sekunder, yaitu : 1) Bahan-bahan hukum primer, berupa Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.Bahan-bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisa dan memahami bahan hukum primer. 2) Bahan hukum sekunder ini berupa Peraturan Presiden, dan sumber pendukung lainnya. 3) Bahan-bahan tersier, yaitu bahan-bahan yang memberikan informasi tentang bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, berupa kamus hukum, kamus bahasa inggris, kamus bahasa Indonesia, surat kabar, internet. 6 Ibid Ronny Hanitijo Soemitro, Hlm 24 11 b. Alat Penelitian Alat penelitian yang dimaksud adalah dalam hal peraturan perundangundangan tidak jelas, maka dipakailah metode interpretasi atau metode penafsiran. Dalam hal ini penulis memakai metode Interpretasi Teologis dan atau dinamakan juga interpretasi sosiologis, metode ini dipakai apabila ketentuan undang-undang yang sudah usang digunakan sebagai sarana untuk memecahkan atau menyelesaikan sengketa yang terjadi sekarang, metode ini baru digunakan apabila kata-kata dalam undang-undang dapat ditafsirkan dengan pelbagai cara7. 4. Analisis Data Dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan terhadap bahan-bahan hukum primer (Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan) dan penelitian terhadap bahan-bahan hukum sekunder (buku, majalah, makalah, surat kabar). 5. Metode Analisis Data Dilakukan secara Normatif Kualitatif yaitu menganalisa masalah dari data-data yang telah dikumpulkan yang berkenaan dengan masalah yang sedang dibahas, lalu disusun permasalahannya dan selanjutnya dianalisa, apakah undang-undang sudah benar-benar dilaksanakan oleh penegak hukum. 7 Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, sebuah pengantar. Liberty, Yogyakarta. 2004. Hlm 61 12 6. Lokasi Penelitian Guna menyelesaikan skripsi ini penulis melakukan penelitian-penelitian sebagai berikut : a. Perpustakaan. b. Selain itu pun penulis juga melakukan penelitian dengan browsing internet. G. Sistematika Penulisan Skripsi Untuk memberikan gambaran yang jelas dan terarah, maka diperlukan suatu sistematika dalam penulisan skripsi. Oleh karena itu dalam sekripsi ini sistematika penulisannya adalah sebagai berikut : BAB I. PENDAHULUAN Dalam bab ini dibahas latar belakang permasalahan, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, kajian pustaka, kerangka konsep, metode penelitian dan tekhnik penulisan serta sistematika penulisan. BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERKAWINAN Dalam bab ini dibahas tentang tinjauan umum mengenai perkawinan yang meliputi perkawinan menurut undang-undang dan perkawinan menurut fiqih. BAB III PERKAWINAN JARAK JAUH Bab ini menjelaskan tentang telekomunikasi dan perkembangannya, pengaruh telekominikasi terhadap perkawinan di Indonesia dan perkawinan teleconference di Indonesia. 13 BAB IV STATUS HUKUM PERKAWINAN TELECONFERENCE Menjelaskan tentang pengaturan perkawinan teleconference, prosedur perkawinan teleconference teleconference. BAB V PENUTUP Mencakup kesimpulan dan saran DAFTAR PUSTAKA dan kendala-kendala dalam perkawinan BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN A. Perkawinan Menurut Undang-Undang 1. Pengertian Perkawinan Perkawinan merupakan hal yang penting dalam kaitannya dengan dasar pembentukan keluarga yang sejahtera dan merupakan lembaga yang akan menjamin halalnya pergaulan antara seorang pria dan wanita menjadi pasangan suami dan istri, karena dapat melampiaskan seluruh rasa cinta dengan media yang sah.1 Oleh karena pentingnya kedudukan perkawinan itu, maka pada saat terbentuk dan diundangkannya undang-undang perkawinan yang bersifat nasional yaitu Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang disahkan di Jakarta pada tanggal 2 Januari 1974, memasukkan pengertian perkawinan pada Bab I Pasal 1, yang berbunyi : “Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa” Berdasarkan pada pengertian perkawinan tersebut, maka perkawinan itu mengandung unsur-unsur, yaitu : a. Adanya landasan Ketuhanan Yang Maha Esa dalam membentuk 1 Abdurrahman Al-Mukaffi Pacaran Dalam Kacamata Islam, Media Dakwah, Jakarta, 1996, hal. 38 14 15 sebuah keluarga ; b. Adanya suatu ikatan, baik lahir maupun batin ; c. Adanya subjek pelaku, yaitu antara seorang pria dan wanita ; d. Adanya tujuan untuk membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal, guna mewujudkan suatu keluarga. Unsur-unsur yang terdapat dalam pengertian perkawinan tersebut dapat dilihat dari 3 segi pandangan, yaitu :2 1. Segi agama, bahwa perkawinan itu merupakan lembaga yang suci, karena adanya “ikatan batiniah” antara seorang pria dan wanita untuk membentuk suatu keluarga; 2. Segi hukum, bahwa perkawinan itu merupakan suatu perjanjian atau merupakan “ikatan lahir” yang terjadinya hubungan hukum atau formil nyata bagi yang mengikatkan dirinya ataupun bagi orang lain; 3. Segi sosial, bahwa dengan adanya perkawinan akan lebih mendapat kedudukan yang dihargai oleh masyarakat daripada yang belum melangsungkan perkawinan. Pengertian perkawinan dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, telah memberikan suatu ketentuan yang bersifat nasional. Dalam kaitannya menyaring pelbagai persepsi yang selama ini berkembang dalam membuat pengertian perkawinan yang timbul dari pluralisme hukum dalam masyarakat Indonesia yang berkaitan dengan masalah hukum keluarga, khususnya dalam hukum perkawinan. Pengertian perkawinan yang dimaksud adalah 2 Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia,. UI-Press, Jakarta. 1986. Hlm. 47-48 16 menurut: a. Hukum Adat Erat kaitannya dengan corak konkrit, kontan dan komunalnya bahwa perkawinan adalah mempersatukan anggota warganya yaitu antara seorang pria dan seorang wanita sebagai sarana untuk melangsungkan hidup kelompoknya secara tertib, sarana untuk melahirkan generasi baru sebagai pelanjut garis hidup kelompoknya dan juga sarana untuk meneruskan garis keluarga dari suatu persekutuan.3 b. Hukum positif Perkawinan adalah merupakan suatu hubungan hukum antara seorang pria dengan seorang wanita untuk hidup bersama dengan kekal, yang diakui oleh negara (pendapat Scholten dalam menterjemahkan pengertian menurut BW).4 Walaupun terdapat perbedaan, akan tetapi semuanya memuat materi yang sama dalam suatu pengertian perkawinan. Materi muatan yang mengandung kesamaan tersebut adalah dalam hal : 1. Subjeknya harus antara pria dan wanita, 2. Timbulnya suatu ikatan, 3. Dalam proses pengikatannya harus dilakukan sesuai dengan ketentuan atau peraturan yang berlaku dalam setiap sistem hukum tersebut, sehingga terdapat suatu pengakuan atas ikatan yang timbul. 3 4 Iman Sudiyat, Hukum Adat : Sketsa Asas. Liberty, Yogyakarta, 1981, hal 78 R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Asis Safioedin, Hukum Orang dan Keluarga, Alumni, 1982,hal 63 17 Dengan demikian terlihat secara jelas bahwa kesamaan yang terdapat dalam memberikan pengertian perkawinan itu telah pula diresepsi oleh undangundang perkawinan nasional yang diberlakukan bagi seluruh masyarakat Indonesia. 2. Tujuan Perkawinan Sehubungan dengan bunyi ketentuan Pasal 1 UU Perkawinan dapat dilihat bahwa tujuan perkawinan adalah untuk : “...membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” Berdasarkan ketentuan di atas, maka tujuan perkawinan yang dimaksudkan dalam Pasal 1 UU Perkawinan tersebut, meliputi beberapa aspek yang dikehendaki, yaitu : a. Perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga yang terdiri dari ayah, ibu dan anak, sehingga kehadiran anak itu menimbulkan hubungan-hubungan hukum dengan ayah maupun dengan ibu. b. Untuk menempatkan kedudukan yang seimbang antara suami dan istri dalam membentuk suatu rumah tangga, untuk itulah antara suami dan istri perlu dan harus saling membantu dan melengkapi dengan maksud agar kedua belah pihak dapat membantu dan mencapai kesejahteraan baik spirituil maupun materil. c. Oleh karena bertujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, maka tujuan lain yang dikehendaki adalah perkawinan yang berlangsung seumur hidup dengan menghindari sebesar mungkin terjadinya perceraian dan mempersulit terjadinya suatu perceraian. 18 3. Sahnya Perkawinan UU perkawinan, yang memuat mengenai sahnya perkawinan secara materiil dalam pasal 2 ayat (1) dan secara formil dalam pasal 2 ayat (2), maka secara nasional mengenai sahnya perkawinan tersebut berlaku bagi seluruh masyarakat Indonesia. Menurut Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan sebagai syarat materil suatu perkawinan, menentukan bahwa : “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum agamanya masing-masing dan kepercayaannya itu” Dengan perumusan pada Pasal 2 ayat (1) ini, tidak ada perkawinan diluar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, sesuai dengan Undangundang Dasar 1945. Yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam UU Perkawinan. Setelah perkawinan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1), maka untuk selanjutnya dilaksanakan pencatatan perkawinan sebagai syarat formil, sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat (2) yang berbunyi : “Tiap-tiap Perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku” Diberlakukannya undang-undang perkawinan yang bersifat nasional ini, secara perlahan telah berpengaruh dalam hal proses perkawinan. Serta membatasi berlakunya ketentuan hukum adat menyangkut perkawinan, apabila ada yang 19 bertentangan dengan ketentuan hukum agama dan ketentuan perundang-undangan dalam bidang hukum agama. Oleh sebab itulah, hukum adat yang biasanya berpengaruh dalam pelaksanaan proses perkawinan, semakin banyak ditinggalkan. Kesulitan dalam pelaksanaan perkawinan menurut adat, serta besarnya pengaruh hukum agama, yang kemudian diserap oleh undang-undang perkawinan memperbesar pergeseran pelaksanaan proses perkawinan. Walaupun dalam kenyataannya tidak mutlak hukum adat ditinggalkan, karena hukum adat sifatnya fleksibel dan plastis sehingga mampu untuk menerima intervensi dari hukum agama dan menyerap hukum agama tersebut (khususnya hukum agama Islam yang telah lama diserap oleh hukum adat dalam kaitannya dengan perkawinan, sehingga sahnya perkawinan dan syarat perkawinan menurut hukum agama juga telah diresepsi oleh hukum adat). Adanya resepsi hukum adat dalam ke dalam hukum agama (Islam) tidak menimbulkan perubahan yang besar atau drastis bagi seorang pemeluk agama Islam yang juga memegang teguh hukum adatnya. Untuk itulah, guna menghindari timbulnya persepsi yang berbeda diharuskan adanya Hukum Negara yang ditetapkan oleh pihak yang berwajib dengan syarat harus sinkron dengan hukum masing-masing agama dan kepercayaan, sesuai dengan penjelasan Pasal 1 UU Perkawinan : “Bahwa sebagai negara yang berdasarkan Pancasila, di mana sila yang pertama ialah Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan Agama/kerokhanian, sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir/jasmani, tetapi juga unsur bathin/rokhani juga mempunyai peranan yang penting membentuk 20 keluarga yang bahagia rapat hubungan dengan keturunan, yang pula merupakan tujuan perkawinan, pemeliharaan dan pendidikan menjadi hak dan kewajiban orangtua.” Juga seperti yang tercantum dalam butir ketiga dari penjelasan umum UU Perkawinan, yang berbunyi : “Sesuai dengan landasan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, maka Undang-undang ini di satu pihak harus dapat mewujudkan prinsip-prinsip yang terkandung dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, sedangkan di lain pihak harus dapat pula menampung segala kenyataan yang hidup dalam masyarakat dewasa ini. Undang-undang Perkawinan ini telah menampung di dalamnya unsur-unsur dan ketentuan-ketentuan Hukum Agamanya dan Kepercayaannya itu dari yang bersangkutan.” Terlepas dari adanya kelemahan Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan seperti yang telah diuraikan di atas. Maka sudah menjadi ketentuan yang pasti, bahwa sahnya suatu perkawinan harus dijalankan dengan agama masing-masing dan kepercayaannya itu. Dalam hal ini terlihat bahwa hukum negara, yaitu UU Perkawinan telah melakukan suatu bentuk sinkronisasi terhadap hukum agama yang berlaku di masyarakat. Atau dengan kata lain, menyerahkan sepenuhnya persyaratan yang timbul atau yang datangnya dari hukum agama dan kepercayaannya selama tidak bertentangan dengan hukum negara yang ada. Misalnya bagi penganut agama islam, untuk melangsungkan suatu pernikahan harus memenuhi rukun dan syarat nikah sesuai dengan yang ditentukan dalam agama Islam., maka hukum negara akan menguatkan atau mengukuhkan 21 perkawinan itu dengan mencatatkan perkawinan tersebut. Sesuai yang tercantum pada Pasal 2 PP No.9 Tahun 1975, yaitu pada Kantor Urusan Agama (KUA) bagi yang beragama Islam dan Kantor Catatan Sipil (KCS) bagi yang beragama di luar agama Islam, sebagai suatu syarat administrasi guna mengadakan suatu tertib administrasi bagi setiap perkawinan yang dilangsungkan. Sahnya suatu perkawinan yang berdasarkan hukum agama, tidak akan menimbulkan masalah jika kedua mempelai memiliki agama yang sama. Akan tetapi akan timbul masalah jika terdapat perbedaan agama. Untuk mengatasi permasalahan ini, maka Mahkamah Agung memberi kemungkinan, yaitu 5 adanya musyawarah antara suami dan istri untuk memilih hukum agama yang diberlakukan, sesuai dengan prinsip keseimbangan yang dianut dalam UU Perkawinan. Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka menurut UU Perkawinan, suatu perkawinan dianggap sah :6 a. Diselenggarakan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya, artinya perkawinan yang dilaksanakan menurut tata tertib aturan salah satu agama, agama calon suami atau calon istri, bukan perkawinan yang dilaksanakan oleh setiap agama yang dianut kedua calon suami istri dan atau keluarganya7 ; b. Dilaksanakan menurut tata tertib yang ditentukan oleh hukum masing-masing 5 Djuhaendah Hasan, Hukum Keluarga : Setelah Berlakunya UU No. 1 Tahun 1974 (Menuju Ke Hukum KeluargaNasional), Armico. Bandung, 1998. Hlm. 60-62 6 Martimah Prodjohamidjojo, Tanya Jawab UU Perkawinan dan Peraturan Pelaksanaan, PT. Pradnya Paramita Jakarta, 1991. Hlm. 23. 7 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama., Mandar Maju Bandung, 1990. Hlm. 26-27. 22 agama dan kepercayaan ; c. Dicatatkan menurut perundang-undangan, dengan dihadiri oleh pegawai pencatat nikah. 4. Syarat Perkawinan Suatu perkawinan yang sah, selain memenuhi ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan 2 ayat (2), maka harus pula memenuhi syarat-syarat perkawinan, baik materil maupun formil, yang ditentukan oleh undang-undang. Syarat-syarat perkawinan yang dimaksud adalah terdiri dari : a. Syarat Materil (Menurut UU Perkawinan) 1. Perkawinan harus dengan persetujuan kedua mempelai (Pasal 6 ayat (1)) guna menghindari terjadinya pemaksaan perkawinan ; 2. Bagi seorang pria telah diizinkan melakukan perkawinan pada usia 19 tahun sedangkan wanita 16 tahun (Pasal 7 ayat (1)), kecuali jika terdapat penyimpangan dapat dimintakan dispensasi kepada Pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk (Pasal 7 ayat (2)). Bagi yang berusia belum mencapai 21 tahun, sesuai ketentuan Pasal 6 ayat (1), harus mendapat izin dari kedua orangtua (kecuali kalau salah seorang telah meninggal atau tidak mampu menyatakan kehendak, maka dapat diwakilkan oleh orangtua yang masih ada) atau wali (jika kedua orang tua sudah tidak ada). 3. Ketiadaan halangan perkawinan sesuai dengan ketentuan Pasal 8, yaitu karena hubungan darah yang sangat dekat, hubungan semenda, hubungan susuan, hubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan 23 dari istri (dalam hal poligami), hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku terdapat suatu larangan. 4. Seseorang yang masih terikat perkawinan dengan orang lain, tidak dapat kawin lagi kecuali karena izin Pengadilan, sesuai Pasal 9. 5. Suami istri yang melakukan cerai untuk kedua kalinya, maka tidak boleh ada perkawinan lagi sepanjang tidak ditentukan lain oleh hukum agama dan kepercayaannya, sesuai dengan Pasal 10. 6. Bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu, untuk dapat melangsungkan perkawinan baru, sesuai ketentuan Pasal 11. b. Syarat Formil Syarat formil ini berkaitan dengan hal mengenai tatacara pelaksanaan perkawinan (Pasal 12 UU Perkawinan), yang diatur dalam Pasal 10 dan 11 PP. No 9/1975. 5. Tatacara Perkawinan Sejak diberlakukannya UU Perkawinan dan juga PP No. 9/1975, maka perkawinan diatur dengan kedua ketentuan di atas. Termasuk dalam hal yang berkaitan dengan tatacara perkawinan. Tatacara perkawinan merupakan syarat formil dalam perkawinan. Dalam kaitannya dengan syarat formil dalam suatu perkawinan, maka UU Perkawinan maupun peraturan pelaksanaanya yaitu PP No. 9/1975, mengatur mengenai tatacara perkawinan. Dengan tujuan supaya perkawinan sah secara hukum. 24 Ketentuan mengenai tatacara perkawinan dicantumkan dalam Pasal 12 UU Perkawinan, yang berbunyi : “Tata cara pelaksanaan perkawinan diatur dalam peraturan perundangundangan tersendiri” Sehubungan dengan ketentuan yang telah diberikan UU Perkawinan, maka ketentuan Pasal 12 UU Perkawinan, dilaksanakan melalui ketentuan PP. No. 9/1975, yang tercantum dalam Pasal 10, yang berbunyi : 1) Perkawinan dilangsungkan setelah hari kesepuluh sejak pengumuman kehendak perkawinan oleh Pegawai Pencatat seperti yang dimaksud dalam Pasal 8 Peraturan Pemerintah ini. 2) .Tatacara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. 3) Dengan mengindahkan tatacara perkawinan menurut masing-masing hukum agamnya dan kepercayaannya itu, perkawinan dilaksanakan dihadapan Pegawai Pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi Kemudian pada Pasal 11 menyebutkan : 1) Sesaat sesudah dilangsungkannya perkawinan sesuai dengan ketentuan pasal 10 Peraturan Pemerintah ini, kedua mempelai menandatangani akta perkawinan yang telah disiapkan oleh Pegawai Pencatat berdasarkan ketentuan yang berlaku. 2) Akta perkawinan yang telah ditandatangani oleh mempelai itu, selanjutnya ditandatangani pula oleh kedua saksi dan Pegawai Pencatat yang menghadiri perkawinan dan bagi yang melangsungkan menurut agama Islam, 25 ditandatangani pula oleh wali nikah atau yang mewakilinya. 3) Dengan penandatanganan akta perkawinan, maka perkawinan telah tercatat secara resmi. 6. Pencatatan Perkawinan Pencatatan perkawinan dalam pelaksanaanya diatur dengan PP. No.9/1975 dan Peraturan Menteri Agama No.3 dan 4 Tahun 1975 bab II Pasal 2 ayat (1) No.9/1975. mengenai Pencatatan Perkawinan dari mereka yang melangsungkannya menurut Agama Islam dilakukan oleh Pegawai Pencatat yang diangkat oleh menteri Agama atau oleh Pegawai yang ditunjuk olehnya, sesuai UU No. 32 Tahun 1954 tentang Nikah, Talak dan Rujuk. Pencatatan perkawinan harus dilakukan oleh Pegawai Pencatat perkawinan dan juga setiap perkawinan harus dilangsungkan di hadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah, karena apabila suatu perkawinan dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum sesuai dengan Pasal 5 dan Pasal 6 Kompilasi Hukum Islam. Maka berkaitan dengan ketentuan undangundang tersebut, Kementrian Agama melaksanakan secara vertikal sampai dengan KUA pada tingkat Kecamatan dalam kegiatannya untuk melaksanakan tugastugas sebagai Pencatat Perkawinan atau Pencatat Nikah, termasuk di dalam tugasnya adalah Pencatatan Talak, Cerai dan Rujuk. Bagi yang melakukan perkawinan dengan cara-cara yang ditentukan oleh agama selain agama Islam, maka pencatatan perkawinannya dilakukan oleh Pegawai Pencatatan Perkawinan pada KCS. 26 Sehubungan dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) UU Perkawinan, mengenai sahnya perkawinan dan pencatatan perkawinan. Terdapat 2 golongan sarjana hukum yang memberikan penafsiran, yaitu8 : a. Golongan Pertama Golongan ini lebih cenderung menafsirkan untuk memisahkan antara ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) UU Perkawinan. Oleh karena itulah perkawinan adalah telah sah apabila perkawinan tersebut dilaksanakan sesuai dengan ketentuan hukum agama. Sedangkan pencatatan perkawinan itu hanyalah merupakan bagian dari tertib administrasi. Atau dengan kata lain suatu perkawinan yang tidak dicatatkan bukan merupakan suatu cacat atau menyebabkan perkawinan menjadi tidak sah. b. Golongan Kedua Golongan ini cenderung memberikan penafsiran bahwa Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) tidak hanya dipandang dari segi yuridis semata, tetapi juga harus dipandang dari segi sosiologisnya. Oleh karena itulah, menurut pendapat golongan kedua ini, ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) tidak dapat dipisahkan sedemikian rupa karena merupakan satu kesatuan. Terlepas dari adanya perbedaan pendapat terhadap penafsiran Pasal 2 tersebut, maka perbedaan ini pada dasarnya dapat diambil jalan tengahnya dengan melihat dari sisi bahwa perkawinan itu merupakan suatu ikatan yang tentu saja akan menimbulkan akibat-akibat, seperti : 1. Halalnya hubungan seksual antara seorang pria dan wanita sebagai suami dan istri ; 2. Mahar (mas kawin) menjadi milik istri ; 3. Timbulnya hak-hak dan kewajiban-kewajiban suami maupun istri ; 4. Lahirnya anak-anak yang berstatus anak yang sah ; 5. Kewajiban suami dan istri untuk memelihara dan mendidik anak; 6. Hak bapak menjadi wali nikah bagi anak perempuannya ; 8 Idha Aprilyana, Keabsahan Suatu Perkawinan Melalui Pemanfaatan Media Telekomunikasi Dihubungkan Dengan Penetapan Pengadilan Agama Jakarta Selatan Nomor 1751/P/1989 Tanggal 20 April 1990 Mengenai Sahnya Perkawinan Melalui Telepon, Skripsi, 1997., Hlm. 43 27 7. Hak saling mewarisi antara suami, istri maupun anak yang dilahirkan dari perkawinan yang sah tersebut ; 8. Hak menjadi wali pengawas terhadap harta maupun anak-anak (kecuali hak tersebut dicabut oleh Pengadilan), apabila salah seorang suami atau istri meninggal dunia. Sehubungan dengan banyaknya timbul akibat hukum dari suatu perkawinan, maka perlu kiranya menjadi pertimbangan apabila perkawinan tersebut tidak dicatatkan. Banyak contoh buruk akibat tidak dicatatkannya perkawinan. Misalnya sebagai salah satu contoh kasus yang terjadi mengenai hilangnya hak waris seorang anak dari perkawinan kedua, karena ketiadaan akta nikah dari perkawinan ibunya (sebagai istri kedua) dan ayahnya. Mengingat kemungkinan timbul hal-hal yang tidak diinginkan seperti di atas, perlu kiranya untuk menghindari dilakukan perkawinan di bawah tangan atau perkawinan yang tidak dicatatkan yang selama ini banyak terjadi di masyarakat. Pentingnya pencatatan perkawinan ini dapat pula dikaji kembali dengan mendasarkan pada ketentuan agama, dalam hal ini adalah agama Islam. Analogi dari pentingnya pencatatan perkawinan ini terdapat dalam QS. Al-baqoroh :282, yaitu tentang utang-piutang dan perjanjian dalam waktu yang lama dibutuhkan kesaksian 2 (dua) orang saksi laki-laki yang adil dan dituliskan dengan seorang penulis yang dipercayai. Kalimat “dituliskan” yang disebutkan dalam QS. Al Baqarah : 282 tersebut, telah menekankan pentingnya pencatatan dalam suatu utang piutang maupun perjanjian disamping 2 saksi dan wali. 28 Berdasarkan pada surah Al Baqarah : 282 tersebut, dapat dilihat bahwa dalam suatu utang-piutang dan perjanjian yang terjadi dalam hitungan waktu saja, harus pula dicatatkan. Apalagi suatu perkawinan yang merupakan suatu perjanjian suci atau mitsaaghan ghaliizhan dan merupakan suatu perjanjian untuk waktu yang lama (abadi). Selain itu tidak lain bahwa fungsi dari adanya pencatatan perkawinan dalam suatu akta atau surat nikah adalah untuk mendapatkan kepastian hukum bagi generasi yang akan datang. Sesuai ketentuan Bab II PP No.9/1975, rangkaian kegiatan pelaksanaan perkawinan sampai dengan pencatatan perkawinan itu, terdiri dari beberapa tahapan, yaitu : a). Pemberitahuan Perkawinan Tahap ini merupakan tahapan pemberitahuan kehendak untuk menikah kepada Pegawai Pencatat di wilayah tempat berlangsungnya perkawinan, yang dilakukan 10 (sepuluh) hari sebelum perkawinan dilangsungkan. Namun jangka waktu 10 (sepuluh) hari ini dapat dikecualikan karena adanya alasan penting yang diberikan oleh camat atas nama Bupati Kepala Daerah (dalam praktik langsung, persetujuan Camat tidak sering digunakan, cukup dengan persetujuan Pegawai Pencatat bersangkutan). Pemberitahuan ini dapat dilakukan secara lisan maupun tertulis oleh calon mempelai, keluarga atau wakilnya, dengan memuat identitas dan keteranganketerangan lainnya (misal ; calon mempelai yang sudah pernah menikah harus pula mencantumkan nama suami atau istri terdahulunya). 29 b). Pemeriksaan oleh Pegawai Pencatat Tahapan ini merupakan tahapan pemeriksaan terhadap syarat-syarat perkawinan dan kemungkinan terjadinya halangan perkawinan. Selain itu dilakukan pemeriksaan terhadap kutipan akta lahir calon mempelai, identitas orangtua, izin tertulis dari pengadilan (apabila calon mempelai melakukan perkawinan poligami atau karena di bawah usia 21 tahun), surat kematian dari suami-istri terdahulu, izin Menhankam/Pangab apabila salah seorang mempelai atau keduanya anggota Angkatan Bersenjata, serta surat kuasa otentik atau di bawah tangan apabila terjadi perkawinan mewakilkan atau perkawinan yang tidak dihadiri oleh salah seorang calon mempelai. c). Pengumuman Kehendak Nikah Pengumuman ini dilakukan setelah terpenuhi semua persyaratan serta tidak terdapat halangan terhadap perkawinan yang akan dilangsungkan. Pengumuman kehendak nikah ini dilakukan dengan cara menempelkan surat pengumuman menurut formulir yang telah ditetapkan oleh Kantor Pencatatan Perkawinan yang kemudian ditempatkan pada tempat yang telah ditentukan dan mudah dibaca oleh umum. Sesuai dengan ketentuan Pasal 9 PP No.9/1975, maka Pengumuman ini disertai dengan identitas calon mempelai dan orangtua calon mempelai, serta hari, tanggal, jam dan tempat perkawinan yang akan dilangsungkan. Surat pengumuman ini tidak boleh diambil ataupun dirobek selama 10 (sepuluh) hari sejak ditempelkan, sesuai dengan ketentuan Pasal 8 dan 9 30 PP No.9/1975 jo. Pasal 10 PMA No.3 Tahun 1975. d). Pencatatan Perkawinan Apabila semua prosedur diatas telah terpenuhi, maka pelaksanaan perkawinan dilangsungkan setelah hari kesepuluh sejak diumumkan pengumuman kehendak nikah. Hal ini dilakukan untuk memberikan kesempatan bagi pihak ketiga yang hendak mengajukan keberatan dan memohon untuk dilakukan pencegahan perkawinan, dengan catatan pencegahan yang hendak dilakukan harus terlebih dulu diberitahukan pada Pegawai Pencatat. Yang nantinya memberitahukan pada para calon mempelai dan kemudian dapat diajukan ke Pengadilan pada daerah hukum tempat dilangsungkannya perkawinan. Sesaat setelah perkawinan yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan agama yang dianut oleh calon mempelai dan keluarga, serta dilakukan di hadapan Pegawai Pencatat dan dihadiri dua (2) orang saksi. Maka dilakukan pencatatan perkawinan dengan menandatangani akta perkawinan yang telah ditetapkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan, yang juga ditandatangani oleh saksi-saksi, wali nikah dan Pegawai Pencatatnya sendiri. Setelah selesainya keseluruhan penandatanganan, maka secara resmi pula perkawinan yang dilangsungkan tercatat. Akta Perkawinan merupakan sebuah Daftar Besar, yang memuat identitas pada pihak yaitu mempelai (suami dan istri), wali nikah, orangtua mempelai (suami dan istri), saksi-saksi, wakil atau kuasa jika perkawinan dilakukan dengan seorang kuasa serta mencantumkan pula surat-surat yang diperlukan lainnya seperti izin kawin, izin dari 31 Menhamkan/Pangab, sesuai dengan ketentuan Pasal 12 PP No.9/1975. Akta perkawinan ini dibuat rangkap dua, yang akan dipegang oleh Kantor Pencatatan Perkawinan dan Pengadilan yang daerah hukumnya mewilayahi pula wilayah Kantor Pencatatan Perkawinan tersebut. Bagi suami dan istri sendiri, akan diberikan berupa salinan akta yang disebut buku nikah. Buku nikah hanya memuat catatan yang sifatnya penting, akan tetapi buku nikah ini juga mempunyai kekuatan pembuktian yang sifatnya otentik bagi para pihak yang bersangkutan, oleh karena dibuat oleh Pegawai Umum. B. PERKAWINAN MENURUT FIQIH 1. Pengertian Nikah secara Bahasa Para ulama' berbeda pendapat mengenai pengertian nikah secara bahasa. Al-'A'sya' berpendapat bahwa kata ) (ّنخbermakna ) (ذضوّجAl-Azhary menguatkan pendapat ini dengan menyatakan bahwa makna kata ) (ّنخadalah ) (ذضوّجSeperti dalam Firman-Nya: ..... اىضاّي ال ينكح إال ص اّيح ومزىل واىضاّيح ال ينكها إال صاُ أوٍششك... Sehingga takwil ayat tersebut menjadi seperti ini: ..... اليتزوج اىضاّي إال اىضاّيح ومزىل اىضاّيح ال يتزوجها إال اىضاّي.... Dijumpai pula pendapat yang menyatakan bahwa makna ) (اىْناحyang terdapat pada ayat ini adalah ) (اىىطءSehingga takwilnya menjadi seperti ini: ...... ُ ال يطا إال صاّيح ال يطؤها إال صا.... 32 Tapi menurut Al-Azhary pendapat tersebut harus dijauhi, karena setiap ayat dalam Al-Quran yang memuat kata ) (اىْناحini selalu bermakna )(اىرضوج Seperti dalam Firman-Nya pula: ....... ٌ وأنكحىا األ ياٍى ٍزم..... Tidak ada keraguan mengenai pengertian kata )(اىْناح di sini yang bermakna ) (اىرضوجAl-Azhary juga menyatakan bahwa secara asal memang orang Arab memakai kata ) (اىْناحuntuk maksud ) (اىىطءDan sebaliknya, kata )(ذضوّج bermakna ) (ّناحkarena dengan melaksanakan akad ) (ذضوّجmenjadi sebab halalnya Bersenggama )(اىىطء Lalu ada pendapat lain yang datang dari Al-Jauhary. Menurut beliau, makna ) (اىْناحadalah ) (اىىطءSedangkan makna اىعقذdipakai apabila konteks kalimatnya memberikan qarinah kepada makna tersebut. 2. Pengertian Nikah secara Istilah Secara istilah, pengertian nikah , ulama' berselisih paham. Berikut adalah pendapat para Imam Madzhab tentang pengertian nikah: a. Golongan Hanafiyah berpendapat bahwa pengertian nikah adalah: اىْناح تأّه عقذ يفيذ ٍيل اىَرعح قصذا "Nikah itu adalah akad yang berguna untuk menguasai dan bersenangsenang dengan sengaja". b. Lalu golongan Syafi'iyah mendefinisikan nikah sebagai: اىْناح تأّه عقذ يرضَِ ٍيل وطء تيفظ اىْناح أو ذضويج أوٍعْا ٍعزا هَا 33 "Nikah adalah akad yang mengandung hak watha' dengan lafaz nikah atau tazwij atau kata yang semakna dengan dua kata tersebut". c. Kemudian golongan Malikiyah memberikan pengertian nikah sebagai: اىخ.... اىْناح تأّه عقذ عيى ٍجشد ٍرعح اىريز ر "Nikah adalah akad yang semata-mata membolehkan bersenang-senang (dengan wanita)...dst" d. Selanjutnya golongan Hanabilah memberikan definisi nikah sebagai: هى عقذ تيفظ اىْناح أوذضويج عيى ٍرقعح اال سرَراع "Nikah adalah akad (dengan memakai) lafaz nikah atau tazwij atas guna bersenang-senang/ menikmati (wanita)6". Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa para ulama' zaman dahulu memandang nikah hanya dari satu segi saja, yaitu kebolehan hukum antara seorang laki-laki dengan seorang wanita untuk berhubungan yang semula dilarang. Mereka tidak memperhatikan tujuan, akibat atau pengaruh nikah tersebut terhadap hak dan kewajiban suami isteri yang timbul.9 Berbeda pula dengan ulama' mutaakhirin. Mereka mendefinisikan nikah dengan memasukkan unsur hak dan kewajiban suami isteri. Selain itu, mereka juga memasukkan unsur tujuan pernikahan, yaitu membentuk keluarga dan memperoleh keturunan. Seperti pengertian yang dikemukakan oleh Muhammad Abu Ishrah berikut ini: ٍِ عقذ يفيذ عششج تيِ اىشجو واىَشأج وذعاوّهَا ويجذ ٍا ىنيهَا ٍِ دقىق وٍا عييه واجثاخ 9 Djamaan Nuur, Fiqh Munakahat, Dina Utama, Semarang, tt, hlm. 3 34 "Nikah adalah akad yang memberikan faedah hukum kebolehan mengadakan hubungan keluarga (suami isteri) antara pria dan wanita dan mengadakan tolong-menolong serta memberi batas hak bagi pemiliknya dan pemenuhan kewajiban masing-masing".10 Dan pengertian yang dilontarkan oleh Syaikh Shalih Al-Utsaimin berikut ini:. عقذ يعصذته اإلصدواج تيِ سجو واٍشاج ىال سرَراع واىعششجو اإليالد "Nikah adalah akad yang bertujuan untuk mengumpulkan/ menjodohkan antara laki-laki dan wanita untuk saling menikmati, membangun keluarga dan memperoleh keturunan".11 3. Nash-nash Pensyari’atan perkawinan Ulama' bersepakat tentang pensyariatan perkawinan dalam Islam. Berikut ini adalah nash-nash dari Al-Quran dan Al-Hadits yang memiliki kandungan syariat perkawinan dalam Islam: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaanNya, ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri supaya, kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.”(QS. Ar-Ruum:21) “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanitawanita (lain) yang kamu senangi; dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, 10 11 Ibid Djamaan Nuur, hlm 4 Al-Utsaimin, At-Tafsir wa Ushuluhu, Wizarah At-Ta'lim Al-Aly, Riyadh, 1980, hal. 63 35 atau budakbudak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”(QS. An-Nisaa':3) “Dan kawinilah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orangorang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki danhamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. An-Nuur:32) ياٍعششاىشثاب ٍِ اسرطاع ٍْنٌ اىثاءج فييرضوج وٍِ ىٌ يسرطع فعييه تاىصىً فائه ىه وجاء “Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian yang sanggup untuk menikah, maka menikahlah. Dan barangsiapa yang tidak sanggup maka berpuasalah, karena (puasa) itu (adalah sebagai) penahan baginya”. (HR.Bukhary No. 4778) ىنْي أصيى وأّاً واصىً وأذضوج اىْساء فٌَ سغة عِ سْري فييس ٍْي... “Sedangkan aku shalat, aku tidur, aku puasa, aku berbuka, aku menikahi wanita, maka barangsiapa yang membenci sunnahku bukanlah termasuk umatku.”(HR. Muslim No. 1401) ٌٍذضوجىا اىىدود اىىىىد فإّي ٍناثش تنٌ األ “Nikahilah perempuan yang penyayang dan subur, karena aku akan menjadi umat yang paling banyak dengan kalian.” (HR. Abu Daud No. 2050) 4. Rukun Perakawinan Pada dasarnya, sebuah perkawinan terbangun atas dua hal, yang tanpa dua hal ini maka sebuah perkawinan tidak akan sempurna dan terwujud. Hal yang pertama adalah ijab, yaitu lafadz yang diucapkan oleh wali atau orang yang mewakilinya. Dan yang kedua adalah qabul, yaitu lafadz yang diucapkan oleh 36 calon suami atau yang mewakilinya. Dan ini menurut kalangan Hanafy.12 Kedua hal ini memerlukan lagi satu hal, sehingga sebuah akad perkawinan terdiri dari tiga unsur, dua yang pertama adalah unsur yang kongkrit dan nampak, yaitu ijab dan qabul, sedangkan unsur terakhir yang abstrak dan tak nampak adalah keterikatan antara ijab dan qabul. Sebelum memaparkan rukun perkawinan, perlu diberikan arti dari rukun itu sendiri. Pengertian rukun adalah: “Sesuatu yang hakikat syariat tidak terwujud kecuali dengannya”.13 Kemudian, berikut ini adalah berbagai pendapat mengenai rukun perkawinan : a. Menurut Madzhab Maliki Menurut madzhab Maliki, rukun perkawinan terdiri dari lima perkara, yaitu: Wali si perempuan. Sehingga, sebuah perkawinan tidak sah tanpa wali. As-Shadaq (mahar). Yaitu pemberian sukarela yang mutlak dan harus ada dalam sebuah perkawinan. Tapi penyebutannya tidak disyaratkan ketika dilangsungkannya akad. Calon suami. Calon istri yang terbebas dari larangan syariat. Semisal: ihram dan iddah. Sighat, yaitu kalimat ijab qabul. Jadi, sebuah akad perkawinan haruslah terdiri atas 'aaqidain (dua pelaku akad); yakni calon suami dan wali si perempuan, maq'ud alaihi (obyek yang diakadkan); yakni si perempuan dan mahar -walaupun tidak mengapa apabila tidak disebutkan, karena mahar 12 Al-Jaziri, Al-Fiqh 'Ala Madzahib Al-Arba'ah, Al-Maktabah As-Syamilah Ver. 1.0, jilid 4 hal. 11 13 Ibid Al-Jaziri, hal. 11 37 adalah sebuah kelaziman sebuah perkawinan dan yang terakhir adalah sighat yang berupa lafadz khusus yang dengannya akad sebuah perkawinan diwujudkan menurut syariat Islam. Ada pula dijumpai pendapat yang menyatakan bahwa shadaq (mahar) tidak termasuk rukun, juga tidak termasuk syarat, karena sebuah akad tetap sah tanpa keberadaannya.14 b. Menurut Madzhab Syafi'i Sedangkan menurut kalangan Syafi'iyah, mereka berpendapat bahwa rukun perkawinan ada lima, yaitu: calon suami, calon istri, wali calon istri, dua saksi dan sighat. Dan ada pula pendapat yang menganggap bahwa dua saksi adalah syarat, bukan rukun, dengan beralasan bahwa keberadaan dua saksi itu keluar dari hakikat akad.15 5. Syarat Perkawinan Perkawinan mempunyai syarat-syarat tertentu. Kadangkala keberadaan syarat ini dihitung sebagai rukun bagi sebagian madzhab dan kadang-kadang sebagian madzhab memasukkannya sebagai syarat. Penjelasan lebih lanjut akan dipaparkan berikut ini: a. Menurut Madzhab Hanafi Menurut kalangan Hanafiyah, perkawinan mempunyai syarat-syarat yang 14 15 Ibid Al-Jaziri hal 11 Ibid Al-Jaziri hal 11 38 terkait dengan tiga hal, yakni sighat, pelaku akad dan saksi. 1. Syarat Sighat Akad Menurut madzhab Hanafy, nikah dianggap sah bila sighat akad memenuhi kriteria sebagai berikut: Memakai lafadz khusus, baik sharih (kata yang jelas) atau kinayah (kata kiasan). Lafadz sharih yang jamak dipakai dalam sebuah perkawinan adalah kata ) (ذضويجAtau ) (اىْناحSedangkan apabila memakai lafadz kinayah, maka disyaratkan lafadz tersebut terucap dibarengi niat dan maksud untuk menikahkan, serta ada qarinah (bukti) atas niat tersebut. Dan disyaratkan pula para saksi paham maksud lafadz kinayah tersebut. Berikut ini adalah empat macam dan jenis kinayah: Lafadz kinayah tanpa perselisihan atas keabsahan akad dengannya, yaitu kata-kata ) (ىصذقح) (اىجعو،) (اىهيحdan )(اىجعو Lafadz kinayah dengan perselisihan atas keabsahan akad dengannya, yaitu kata-kata ) (اىششاءdan )(اىثيع Lafadz kinayah dengan perselisihan atas kebatilan akad dengannya, yaitu kata- kata ) (اىىصيحdan )(اإل يجاسج Lafadz kinayah tanpa perselisihan atas kebatilan akad dengannya, yaitu katakata ) (اإلداله,)ِ (اىشه,) (اىرَرع,) (اإلقاىح,) (اىخيع,) (اإلعاسجdan )(اإلتادح Lalu syarat sighat selanjutnya adalah Sighat akad berupa ijab qabul harus ada dalam satu majelis. Tidak ada 39 perselisihan antara konteks ijab dan qabul. Misal: Seorang wali mengucapkan akad, “Aku nikahkan engkau dengan putriku dengan mahar 1000 dirham”, lalu si calon suami menjawab, “Aku terima nikahnya, dan aku tidak menerima mahar sejumlah itu”, maka akad seperti ini tidak sah. Sighat akad harus bisa didengar oleh kedua pelaku akad. Harus ada kepastian bahwa kedua pihak pelaku akad mendengar lafadz masingmasing secara hakikat (berbentuk suara bila si pelaku akad hadir) atau secara tertulis (bila si pelaku akad ghaib). Karena pembacaan akad tertulis dapat menjadi ganti lafadz yang diucapkan/ dibunyikan. Sighat tidak boleh terikat waktu. Misal: bila seorang laki-laki mengucapkan, aku nikahi kamu sebulan dengan mahar sekian, lalu si perempuan menjawab, aku kau nikahi, maka hal ini batil, dan ini adalah nikah mut'ah. 2. Syarat untuk Pelaku Akad Berakal. Dengan ini maka tidak sah akad orang gila atau anak kecil. Baligh dan merdeka. Khusus untuk calon istri, sedang dalam keadaan halal dinikahi dan melakukan akad. Misal: tidak sedang berakad dengan orang lain, tidak dalam keadaan iddah, tidak berstatus sebagai istri orang. Untuk suami dan istri, disyaratkan jelas identitasnya. Misal: Seorang bapak mempunyai dua putri, lalu ia menikahkan salah satu putrinya tanpa menyebutkan nama, maka akad seperti ini tidak sah. Kecuali bila 40 salah satu nya sudah menikah, maka yang dimaksudkan tentu putrinya yang belum menikah. Misal lain: Seorang bapak yang mempunyai putri bernama Fatimah, tapi ketika mengakadkan putrinya tersebut dengan nama Aisyah, maka akad tidak sah. Menyandarkan sighat kepada kata perempuan atau bagian tubuh yang mewakili seluruh tubuh (semisal kepala atau leher). Selain itu maka tidak sah. Misal: Seorang wali berakad dengan kalimat “Aku nikahkan engkau dengan tangan anakku”, maka akadnya tidak sah. 3. Syarat untuk Saksi Saksi harus berjumlah dua orang, tidak sah bila kurang dari itu. Tidak disyaratkan harus dua laki-laki, tapi sah bila saksinya satu laki-laki disertai dua perempuan. Hal ini karena sebuah perkawinan tidak sah bila disaksikan dengan dua perempuan saja, karena itu harus ada seorang laki-laki yang menyertai dua perempuan itu. Tidak disyaratkan saksi tidak sedang ihram. Maka akad tetap sah bila saksi sedang ihram. Saksi secara personal harus memenuhi kriteria berikut, yakni: berakal, baligh, merdeka dan beragama Islam. Maka akad tidak sah dengan kesaksian orang gila atau anak kecil maupun budak. Akad tidak sah pula bila disaksikan kafir dzimmy, kecuali saksi kafir dzimmy tersebut perempuan, maka tidak mengapa selama ada saksi laki-laki yang muslim. Bila hal ini terjadi maka akad sah, baik dua saksi kafir dzimmy tersebut mempunyai agama yang sama atau berbeda. Akad boleh disaksikan oleh orang buta atau orang yang mendapat had akibat 41 menuduh atau berzina.Akad nikah seorang perempuan boleh disaksikan oleh dua anak kandungnya. Dan dengan dikiaskan dengan hal ini, maka boleh pula disaksikan dengan hubungan ke atas anak (bapak/kakek) dan ke bawah (cucu). Perlu diketahui bahwa saksi dihadirkan untuk menyaksikan dua hal yaitu keberadaan akad dan hal isbat. Mengenai keberadaan akad, maka kesaksian dapat dilakukan oleh orang buta, orang fasik maupun bapak dan anak. Tapi kesaksian untuk pengisbatan nikah tidak dapat dipenuhi oleh orang-orang tersebut di atas, dan harus dilakukan oleh orang lain. Misal: bila seorang laki-laki mewakilkan nikahnya pada orang lain, maka si wakil yang melakukan akad ini dapat dianggap merangkap sebagai saksi (saksi isbat akad), dan si wali dapat dianggap merangkap sebagai saksi pula (saksi keberadaan akad), maka akad semacam ini sah. Saksi harus mampu mendengar ucapan akad kedua pihak. Maka kesaksian orang tidur tidak sah. Akad juga sah bila disaksikan orang bisu selama mereka mendengar dan paham. Tidak disyaratkan bagi para saksi tersebut untuk paham lafadz akad secara khusus, selama mereka mengetahui bahwa yang sedang mereka dengar adalah lafadz yang dimaksudkan untuk akad. Perkawinan orang Arab sah dengan saksi orang 'Ajam (non Arab), selama mereka mengerti lafadz ijab qabul. Bahkan kesaksian orang mabuk atas sebuah akad dianggap sah, bila ia tahu yang sedang ia saksikan adalah akad. 42 Khiyar dalam perkawinan bukan merupakan syarat. Akad tetap sah walau ada perasaan tidak suka dari suami atau istri. Perkawinan mempunyai sifat yang sama seperti perceraian dan memerdekakan budak, tidak membutuhkan kerelaan dan kesungguh-sungguhan. Jadi akad dianggap sah walau dilakukan dengan bercanda.16 b. Menurut Madzhab Syafi'i Menurut kalangan Syafi'iyah, syarat-syarat perkawinan terkait dengan empat hal, yakni sighat, wali, kedua mempelai dan saksi-saksi. 1. Syarat untuk Sighat Syarat untuk sighat ada tiga belas macam seperti dalam sighat jual beli, diantaranya adalah: Tidak bergantung dengan syarat lain. Misal: sighat akad “Aku nikahkan kamu dengan putriku bila kamu memberiku rumah”, maka akad semacam ini tidak sah. Tidak boleh terikat dengan waktu. Misal: sighat akad “Aku nikahi kamu sekian bulan”, maka akad ini tidak boleh karena termasuk dalam nikah mut'ah. Perkawinan ini jelas terlarang seperti yang tercantum dalam hadits muttafaq alaihi. Tambahan syarat yang membedakan sighat jual beli dengan sighat akad nikah yakni keharusan pemakaian lafadz ) (ذضويجatau )( اىْناح 16 Ibid Al-Jaziri hal 13 43 Seperti dalam sighat berikut: ) (أّنذرل ٍىميريdan ) (صوجرل اتْريTapi pemakaian dua lafadz tersebut tidak boleh dalam bentuk mudhari' (kata kerja sedang/akan), karena mengandung unsur janji di dalamnya. Hal ini seperti yang terdapat dalam sighat berikut: ) (صوجرل اتْريTapi (صوجرل اتْري bila kata tersebut ditambah keterangan waktu semisal )ُ اآلmaka boleh. Boleh pula jika memakai bentuk isim fail (kata ganti subyek) disertai kata taukid (peneguhan) semisal: ) (إّي ٍضوجل اتْري Karena hakikat isim fail pada kalimat ini tidak mengandung unsur janji. Sah berakad dengan bahasa asing, walaupun saksi mengerti bahasa Arab, dengan syarat selama para saksi paham maknanya. Sighat tidak boleh menggunakan kalimat-kalimat seperti yang tertera berikut ini ) (ٍينرل اياها. ,) (وهثرها ىل,) (تعرها ىل,) (ادييد ىل ايْريdan semisalnya. Kemudian karena semua kalimat Allah yang dijumpai dalam Al-Quran hanyalah kata ) (اىْناحAtau )(ذضويج maka tidak dibenarkan mengkiaskannya dengan kata lain, dan tidak pula dengan kinayah. Sebab kinayah membutuhkan niat, sedangkan niat adalah hal yang abstrak. Untuk kalimat qabul, maka haruslah dengan ucapan )أوّنذها (قييد فيه صواجه atau ) (أدثيره, ) (سضيد ّنادهاdan ) (أسدذهTapi bila yang diucapkan qabiltu saja lalu diam, maka tidak sah. Qabul boleh 44 didahulukan dari ijab. 2. Syarat untuk Wali Orang yang dikehendaki, bukan orang yang dibenci. Laki-laki. Tidak sah bila perempuan ataupun khunsa (berkelamin ganda). Mahram si perempuan. Baligh. Berakal, tidak gila. Adil, tidak fasik. Tidak mahjur (terhalang wali lain). Tidak buta. Tidak berbeda agama. Merdeka, bukan budak. 3. Syarat untuk Kedua Mempelai Syarat untuk suami, adalah: Bukan mahram si perempuan. Tidak sah bila berhubungan darah, semenda ataupun susuan dengan si calon istri. Orang yang dikehendaki. Mu'ayyin (nampak), dalam arti identitas jelas. Syarat untuk istri, adalah: Bukan mahram si laki-laki. Terbebas dari halangan nikah, semisal: sedang iddah atau berstatus istri orang. 45 4. Syarat untuk Saksi-Saksi Berjumlah dua, bukan budak, bukan perempuan dan bukan orang fasik. Wali tidak bisa merangkap sebagai saksi walaupun ia memenuhi kualifikasi sebagai saksi. Ini berlawanan dengan pendapat kalangan Hanafiyah. Disunnahkan saksi dalam keadaan rela dan tidak terpaksa, sehingga tidak ada pengingkaran atas akad yang terjadi.17 c. Menurut Madzhab Hambali Sedang menurut kalangan Hanabilah, perkawinan mempunyai lima syarat, yakni: 1. Syarat pertama: Ta'yiin (tertentu/pasti). Untuk syarat pertama ini, berikut penjelasan yang menyertainya: Misal: sighat akad sah bila memakai kalimat ) (صوجرل ايْري فالّح. Namun bila memakai kalimat ) (صوجرل اىثْريpadahal si wali mempunyai lebih dari satu putri, maka tidak sah. Penyebutan sifat atau nama untuk membedakan calon suami atau istri adalah sebuah keharusan untuk mencapai keabsahan akad. Untuk kalimat ijab, madzhab ini sepakat dengan pendapat Syafi'iyah, tapi untuk kalimat qabul cukup dengan kata ()سضيد. Tidak disyaratkan melengkapi kalimat qabul seperti pendapat Syafi'iyah. Dan bertentangan dengan Syafi'iyah, qabul tidak boleh mendahului ijab. Disyaratkan kesinambungan dalam ijab qabul. Bila terputus dan terpisah maka akad tidak 17 Ibid Al-Jaziri hal 14 46 sah. Tidak diwajibkan menggunakan bahasa Arab selama bahasa yang dipakai dimaksudkan untuk makna ijab dan qabul. Dan tidak boleh menyampaikannya dengan isyarat, kecuali bagi orang bisu, dan isyarat yang disampaikan dapat dipahami. 2. Syarat kedua: Ada kemauan dan kerelaan dari kedua pihak. 3. Syarat ketiga: Syarat khusus bagi wali, yaitu: laki-laki, sehat akal, baligh, merdeka, beragama sama, lurus beragama dan paham atas akad tersebut. 4. Syarat keempat: Syarat khusus bagi saksi, yaitu: berjumlah dua orang, lakilaki, baligh, sehat akal, adil (walau dzahirnya saja), tidak mesti merdeka (boleh budak), mampu berbicara, muslim, mampu mendengar (tidak boleh orang tuli, kafir), bukan dari keluarga bergaris keturunan ke atas dan ke bawah, tidak harus mempunyai penglihatan. 5. Syarat kelima: Tidak ada halangan syar'i antara si laki-laki dan si perempuan dalam melangsungkan perkawinan.18 d. Menurut Madzhab Maliki Menurut kalangan Malikiyah, setiap rukun nikah mempunyai syarat-syarat tersendiri, seperti yang terpapar berikut ini: 1. Syarat untuk Sighat Menggunakan lafadz khusus, misal: )(أمذد تْريdan )( صوجْي فيْح Qabul tidak mesti dengan lafadz khusus, semisal kalimat-kalimat berikut 18 Ibid Al-Jaziri hal 15 47 ini: ))قثيد, ()سضيد, ( )ّفزخdan ((أذََد Tidak disyaratkan berucap qabul dengan ) (قثيد ّنذها أوصاجهاberlawanan dengan pendapat Syafi'iyah terdahulu. Selain menggunakan kata ( )اىرضو يجdan ( ) اىْناحmaka akad tidak sah. Perkecualian untuk kata ) (اىهثحboleh dengan disyaratkan penyebutan shadaq (mahar) seperti dalam kalimat )(وهثد ىل اتْرى تصذق مزا Adapun bila menggunakan kata lain yang berarti memindahkan kepemilikan semisal ) (أدذا ىد,) (أعطايد,) (ذصذقد,) (ٍز دد,)(تعد dan ) (ٍيندdengan disertai penyebutan mahar, maka hal ini masih diperselisihkan. Tapi pendapat yang rajih adalah akad tidak sah. Bila katakata di atas tidak disertai penyebutan mahar, maka tidak ada perselisihan tentang kebatilan akad tersebut. Disyaratkan ijab qabul harus berkesinambungan dan segera. Bila terpisah antara ijab dan qabul namun hanya sebentar maka tidak mengapa. Semisal semisal terpisah dengan khutbah pendek. Kemudian akad tidak boleh tertentu batasan waktunya, dan bila terjadi, maka nikah termasuk nikah mut'ah yang telah diharamkan pelaksanaannya. Tidak mengandung syarat yang menyalahi akad seperti pendapat Syafi'iyah. 2. Syarat untuk Wali Laki-laki Merdeka 48 Sehat akal Baligh Tidak dalam keadaan ihram Beragama Islam Tidak bodoh (bila ternyata bodoh tapi mempunyai penglihatan, maka kebodohannya tidak membatalkan hak perwaliannya). Tidak fasik Mempunyai hak paksa atas perempuan yang berada dalam perwaliannya. 3. Syarat untuk Mahar Mahar adalah barang yang berhak dimiliki secara syar'i. Misal: Akad tidak sah bila mahar yang diberikan adalah khamr, atau bangkai. Mahar adalah barang yang dibolehkan diperjualbelikan menurut syar'i. Misal: Akad tidak sah bila mahar yang diberikan adalah seekor anjing. Bila akad terjadi dengan dua jenis mahar tersebut di atas, maka perkawinan wajib di fasakh (batal) sebelum hubungan intim terjadi. Bila hubungan intim terlanjur terjadi, maka si suami wajib memberikan mahar mistly (mas kawin yang umum di kalangan masyarakat). 4. Syarat untuk Saksi Sunnah menghadirkan saksi pada saat pelaksanaan akad. Bila tidak hadir,maka tidak mengapa. Bila pada saat akad tidak ada saksi, maka ketika dukhul wajib menghadirkan saksi. Bila dukhul terjadi tanpa saksi, maka perkawinan tersebut harus fasakh dengan talak ba'in. Dan ini untuk menghindari terbukanya pintu zina. 49 Kesaksian boleh berupa syahadatul abdaad (saksi silang), dan akad yang terjadi sah. Misal: Seorang wali berakad dengan seorang laki-laki tanpa saksi, lalu keduanya berpisah. Kemudian si wali menemui dua orang yang hendak ia jadikan saksi dengan cara menyatakan kesaksiannya atas terjadinya akad dengan kalimat seperti berikut: )(أشهذمَا يأّري صوجد فالّا ىفالّح “aku bersaksi pada kalian bahwa aku telah mengawinkan si Polan dengan si Polanah.” Di tempat lain, si laki-laki yang berakad dengan wali tersebut bertemu pula dengan dua orang yang hendak ia jadikan saksi dengan cara menyatakan kesaksiannya atas terjadinya akad dengan kalimat seperti berikut: أشهذ مَا صوجد فالّا ىفالّح “aku bersaksi pada kalian bahwa aku dikawinkan dengan si Polanah. “ Bila hal seperti di atas terjadi, namun orang yang dijadikan saksi oleh si wali dan si suami adalah orang yang sama, maka akad juga sah. Tapi kesaksian tidak lagi bernama syahadatul abdaad. Dan jumlahnya cukup dengan dua orang saja. Bila pada perkawinan yang akadnya tanpa saksi, kemudian si suami melakukan dhukul kepada istrinya tanpa saksi, maka jatuh had zina atas keduanya. 5. Syarat untuk Mempelai Untuk mempelai, disyaratkan bagi keduanya terbebas dari larang melakukan perkawinan, semisal: bagi calon istri tidak sedang ihram, bukan istri 50 orang, tidak sedang iddah. Dan bagi keduanya tidak mempunyai hubungan darah, hubungan susuan dan semenda.19 19 Ibid hal Al-Jaziri hal 16 BAB III PERKAWINAN JARAK JAUH A. Telekomunikasi dan Perkembangannya 1. Pengertian Telekomunikasi Secara Harfiah, kata telekomunikasi dapat dipisahkan menjadi 2 bagian, yaitu tele dan komunikasi. Komunikasi atau communication adalah pernyataan antar manusia yang bersifat umum dengan menggunakan lambang-lambang yang berarti1. Proses terjadinya suatu komunikasi itu harus memuat tiga unsur 2, yaitu adanya komunikator, pesan yang akan disampaikan, dan komunikan. a. Komunikator adalah orang yang menyampaikan /meneruskan pesan kepada orang lain dan atau penyebar pesan. b. Pesan adalah suatu gagasan atau ide yang telah dituangkan dalam lambang untuk disebarkan/diteruskan oleh komunikator. c. Komunikan adalah penerima pesan atau tujuan. Istilah tele yang berarti jarak jauh dan komunikasi yang berarti kegiatan menyampaikan informasi atau berita, kemudian diresepsi ke dalam Pasal 1 Undang-undang nomor 36 tahun 1999 tentang telekomunikasi, yang menetapkan bahwa3: “Telekomunikasi adalah setiap pemancaran, pengiriman, dan atau penerimaan dari setiap informasi dalam bentuk tanda-tanda, isyarat, tulisan, 1 Santoso Sastropoetro, Komunikasi Internasional : Sarana Interaksi antar Bangsa, Alumni, Bandung, 1984. hlm. 3 2 Ibid Santoso Sastropoetro. hlm. 5 3 Gouzali Saydam, Sistem Telekomunikasi di Indonesia, Penerbit Angkasa, Bandung, 1995. hlm. 5 51 52 gambar, suara dan bunyi melalui sistem kawat, optik, radio, atau sistem elektromagnetik lainnya.” 2. Perkembangan Telekomunikasi Pada mulanya, komunikasi jarak jauh yang sering dilakukan oleh manusia berupa pemanfaatan bunyi-bunyian dan alat lainnya. Sejak ditemukannya sinyal listrik atau elektro optik lebih memungkinkan manusia melakukan komunikasi dalam jarak yang tidak terbatas serta keefisienan penyampaian informasi karena kecepatannya yang sangat tinggi. Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas, maka dapat dibuat sistematik dari sejarah perkembangan telekomunikasi, yaitu4 : a. Komunikasi berita dan gambar Jenis informasi yang dikirimkan di dalam komunikasi ini adalah berbentuk gambar hidup dan gambar diam. Komunikasi ini terdiri dari telegraf, telex, faksimilie, televisi. b. Komunikasi suara Komunikasi ini adalah bentuk komunikasi yang paling umum digunakan, serta mempunyai suatu kelebihan dibandingkan dengan komunikasi gambar yaitu dalam hal kecepatan dan juga jumlah penyampaian informasinya. Contoh telepon dan radio c. Komunikasi Data Komunikasi data merupakan bentuk khusus dari komunikasi pada umumnya. Jenis komunikasi ini merupakan jenis komunikasi yang mulai mendominasi jaringan telekomunikasi. Dalam komunikasi data ini diadakan penggabungan atau kombinasi dari komunikasi gambar dengan komunikasi suara, sehingga dalam satu waktu yang sama penerima informasi akan menerima informasi atau berita sekaligus gambar dari pengirim, dikenal dengan istilah Integrated Service Digital Network (ISDN) atau Jaringan Digital Layanan Terpadu.5 4 Lukas Tanutama, Pengantar Komunikasi Data, PT. Elex Media Komputindo, Jakarta, 1997. Hlm. 4-8 5 Dedi Supriadi, Era Baru Bisnis Telekomunikasi, STT Telkom dan PT. Rosda Jayaputra, Bandung, 1996. Hlm. 7 53 Kombinasi dalam komunikasi data terdiri dari dua macam tekhnik, yaitu tekhnik telekomunikasi dengan tekhnik pengolahan data. Tekhnik telekomunikasi merupakan kegiatan penyaluran informasi dari titik ke titik yang lain, sedangkan pengolahan data merupakan kegiatan mengolah suatu data. Dua kombinasi tekhnik ini pula yang memberi nilai lebih bagi komunikasi data. Terdapat 3 komponen dasar dalam komunikasi ini, yaitu6 : 1.) Sumber pengirim informasi atau terminal, yaitu komputer. 2.) Medium transmisi, yaitu yang menyalurkan infromasi dan dapat berupa kabel, udara maupun cahaya. 3.) Penerima, bisa berupa sistem komputer lain atau printer. Sistem kerja komunikasi data yang dikembangkan saat ini, merupakan penggunaan jaringan atau network (internet). Yaitu suatu komunikasi yang dapat terjadi dengan melibatkan beberapa pemancar, sehingga memudahkan terjadinya komunikasi multi arah atau multi point. Jenis perangkat komunikasi data yang semakin banyak dipergunakan dan dikembangkan saat ini, antara lain adalah : a.) Video-Phone atau Point to Point Perangkat komunikasi data yang dihubungkan dengan Sambungan Telepon Langsung Internasional (SLI) TELKOM sebagai penyalur datadata yang disampaikan sumber ke penerima di tempat lain, dengan pemakaian pulsa telepon internasional. Komunikasi video-phone ini menghasilkan tampilan visual pengirim dan penerima berita dari penghubungan kamera video dengan komputer dan tampilan suara yang 6 Lukas Tanutama, Opcit. Hlm. 13-22 54 jelas dengan menghubungkan komputer dengan speaker. b.) Video-Conference atau Multi Point (Internet) Berbeda dengan Video-phone yang hanya menghasilkan hubungan komunikasi searah, maka dengan Video-conference akan menghasilkan hubungan komunikasi multi arah, yaitu penyaluran melalui telepon yang disambungkan ke internet, setelah itu disalurkan ke seluruh pemancar penerima yang diinginkan di berbagai tempat berbeda. Kelebihan Videoconference ini adalah karena penyaluran teleponnya melalui internet sehingga tidak menggunakan SLI dan juga menghasilkan tampilan visual serta suara dari penerima dan pengirim berita. 3. Perkembangan Telekomunikasi Di Dalam Hukum Pemerintah berpandangan bahwa dalam mewujudkan peranan telekomunikasi tidak dapat lagi dipisahkan dari hakekat telekomunikasi yang berdimensi global dan berkembang dengan sangat pesat. Dengan demikian pengaruh global sangat terasa dan tidak mungkin ditolak. Maka dibuatlah undangundang No. 3 Tahun 1989 tentang Telekomunikasi. Tetapi karena perkembangan tekhnologi terutama dalm hal ini di bidang telekomukasi, sehingga undangundang mengenai tekomunikasi ini mengalami perubahan menjadi Undangundang No. 36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi. Kemajuan tekhnologi khususnya dalam bidang telekomunikasi berkembangan sangat pesat. Dari awalnya hanya surat menyurat menjadi telepon kemudian muncul teleconference, yang selain bisa mendengarkan secara audio 55 juga bisa melihat secara visual siapa yang menjadi lawan bicara. Dengan kemajuan tekhnologi yang sedemikian pesat, maka UndangUndang No. 3 Tahun 1989 Tentang Telekomunikasi yang dahulu dirasa telah cukup oleh pemerintah Indonesia dalam menangani masalah mengenai telekomunikasi mengalami perubahan menjadi Undang-Undang No. 36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi. Setidaknya ada lima landasan filosofis, yang sekaligus menjadi alasan kuat mengapa Undang-undang Nomor 3 Tahun 1989 tentang Telekomunikasi diubah7 Pertama, bahwa tujuan pembangunan nasional antara lain memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa guna mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata material dan spritual berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Kedua, bahwa penyelenggaraan telekomunikasi mempunyai arti strategis dalam upaya memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa, memperlancar kegiatan pemerintahan dan mendukung terciptanya tujuan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi nasional, serta meemperkuat hubungan antar bangsa. Ketiga, bahwa pengaruh era globalisasi dan perkembangan teknologi telekomunikasi yang sangat pesat telah mengakibatkan perubahan yang sangat mendasar dalam penyelenggaraan dan cara pandang terhadap telekomunikasi. Keempat, bahwa segala sesuatu yang berkaitan dengan perubahan mendasar dalam penyelenggaraan dan cara pandang terhadap tele-komunikasi tersebut, perlu dilakukan pengaturan kembali penyelenggaraan telekomunikasi nasional. Kelima, bahwa sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas, maka UU 7 Hinca IP Pandjaitan, Undang-undang Telekomunikasi. Partisipasi Publik dan Pengaturan Setengah Hati, Internews Indonesia, Februari 2000, Hlm. 20 . 56 Nomor 3 Tahun 1989 tentang Telekomunikasi tidak sesuai lagi, sehingga perlu disusun Undang-Undang Telekomunikasi yang baru. Dilihat dari filosofis pertama yang mengatakan bahwa tujuan dari pembangunan nasional adalah guna mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata material dan spiritual berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Spiritual disini dapat diartikan salah satunya adalah mengenai perkawinan, karena perkawinan selain merupakan hubungan antar sesama manusia juga merupakan suatu ibadah. Dan juga perkawinan merupakan salah satu hak asasi bagi setiap manusia, sesuai dengan Pasal 10 ayat (1) Undang-undang No. 36 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang mengatakan bahwa : Setiap orang berhak membentuk suatu keluarga dan melanjutkan keturunan melalui pernikahan yang sah. B. Pengaruh Telekomunikasi Terhadap Perkawinan Di Indonesia Dengan semakin banyaknya penduduk di dalam satu negara, terutama di Indonesia dan juga karena semakin globalnya dunia. Maka penyebaran penduduk Indonesia semakin meluas, karena tidak memungkinkan apabila seluruh penduduk Indonesia tinggal di dalam satu pulau saja yang ada di Indonesia. Penyebaran penduduk ini tidak hanya tersebar di dalam negeri saja, tetapi juga meluas ke luar negeri. Banyak alasan orang melakukan Transmigrasi (perpindahan penduduk dari kota ke desa) ataupun Urbanisani (perpindahan penduduk dari desa ke kota). Tetapi umumnya masyarakat melakukan perpindahan ini dikarenakan untuk 57 mengubah nasib mereka untuk mencari penghidupan yang layak, ataupun untuk menimba ilmu. Karena jumlah pencari kerja lebih banyak dibandingkan dengan lowongan pekerjaan yang ada, maka banyak pulalah penduduk Indonesia yang berpindah ke luar negeri untuk mencari pekerjaan. Dengan berbagai konsekuensi, yaitu diantaranya berpisah jauh dengan keluarga ataupun kerabat dan teman yang berada di Indonesia. Tetapi dengan perkembangan jaman, hal itu tidak terlalu terasa sekarang. Apabila dahulu diperlukan waktu berhari-hari untuk bertukar kabar melalui surat, maka sekarang hanya perlu mengangkat telepon untuk mendengarkan suara kerabatnya ataupun melalui SMS (short message service) untuk mengetahui keadaan satu sama lain. Dahulu diperlukan biaya dan waktu yang sangat besar untuk berbicara tatap muka, karena harga tiket dan waktu perjalan pesawat atau alat tranportasi yang lain membutuhkan biaya dan waktu yang tidak sedikit. Maka sekarang dalam hal tersebut manusia dapat melakukannya melalui internet, dengan cara chatting memakai webcam ataupun melalui media teleconference sehingga kedua belah pihak dapat saling mendengar suara sekaligus melihat wajah secara langsung. Dengan begitu manusia dapat menghemat biaya dan waktu yang dibutuhkan. Dengan banyaknya cara untuk berkomunikasi ini pula, membuat banyak orang memakai sarana telepon dan lain sebagainya ini selain dipakai berkomunikasi dengan teman dan keluarga tetapi juga untuk melakukan bisnis 58 jual beli, bahkan melakukan pernikahan atau biasa disebut perkawinan. Melakukan perkawinan memakai sarana telepon pun sampai sekarang masih dianggap aneh oleh sebagian besar masyarakat Indonesia karena dianggap tidak wajar. Bahkan dapat menimbulkan perdebatan di antara para pakar atau aparat hukum dalam hubungannya untuk menetapkan keabsahan perkawinan memakai media telepon ataupun teleconference. Tetapi meskipun begitu, perkawinan yang dilakukan melalui media telepon ataupun teleconference ini sudah mulai sering dilakukan oleh masyarakat Indonesia. Selama ini, perkawinan biasanya dilangsungkan dalam satu majelis atau satu tempat. Namun seiring dengan perkembangan tekhnologi komunikasi, terdapat kemungkinan dilangsungkannya perkawinan tidak dalam satu majelis. Salah satu kasus menarik serta merupakan terobosan pertama dalam mengatasi permasalahan ketidakmungkinan perkawinan satu majelis, adalah perkawinan yang pada saat pengucapan ijab dan kabul antara mempelai pria dan mempelai wanita dilakukan melalui telepon yang dilakukan oleh pasangan Aria dan Noer pada tanggal 13 Mei 19898. Aria Sutarto bin Drs. Suroso Darmoatmojo atau biasa dipanggil Aria menjalin cinta dengan Nurdiani binti Prof. Dr. Baharudin Harahap atau biasa dipanggil Noer, keduanya adalah pemeluk agama Islam. Pada mulanya Aria, seorang dosen di Unversitas Terbuka (UT) dan Noer mereka berdua bertempat tinggal di Jakarta. Tetapi kemudian Aria ditugasbelajarkan ke Amerika Serikat (USA) untuk memperdalam ilmu yang 8 Majalah Varia Peradilan Tahun VI No.62 Tahun 1990, Hlm. 5. 59 menjadi bidangnya. Setelah beberapa tahun ditugasbelajarkan di USA, Aria meminta agar segera dilangsungkan perkawinan antara dirinya dengan Noer yang masih menetap di Jakarta, seperti yang telah direncanankan sebelumnya yaitu pada tanggal 13 Mei 1989. Akan tetapi muncul suatu hambatan, yaitu Aria sebagai calon mempelai pria, tidak dapat pulang ke Indonesia. Karena tugas belajar tersebut akan gugur atau batal jika peserta tugas belajar tersebut pulang ke negara asalnya. Adanya hambatan ini kemudian ditanggulangi oleh pihak keluarga Noer dengan meminta nasehat ke Pejabat KUA dan Kanwil Departemen Agama Jakarta. Kedua instansi ini memberikan jalan keluar yaitu dengan pengiriman surat taukil oleh Aria. Surat Taukil adalah surat yang menerangkan bahwa salah satu mempelai akan diwakilkan pada saat perkawinan berlangsung karena berhalangan hadir. Maka terjadilah korespondensi antara Jakarta-USA, dengan maksud agar dari calon mempelai pria mengirimkan surat taukil yang dimaksud oleh KUA tersebut ke Indonesia. Setelah sekian lama menunggu, yang datang bukanlah surat taukil, melainkan Surat Kuasa untuk menandatangani Akta Nikah. Karena tiadanya surat taukil yang diharapkan itu, sedangkan pendaftaran untuk rencana pernikahan di KUA sudah dilaksanakan dan dengan makin mendekatnya hari dan tanggal serta bulan dilangsungkannya pernikahan, maka pihak ayah mempelai wanita menemukan jalan keluar, yaitu acara pernikahan Ijab dan Kabul antara wali mempelai wanita dengan mempelai pria akan dilaksanakan melalui sarana telepon Internasional Jakarta-USA. 60 Usulan ini kemudian disampaikan orang tua Noer ke KUA Kecamatan Kebayoran Baru dan juga ke KASI URAIS Kodya Jakarta Selatan. Pihak KASI URAIS sendiri hanya memberi jawaban “dapat dilaksanakan, walaupun tidak sesuai dengan undang-undang, dan ketiadaan surat taukil itu dapat menyusul setelah proses perkawinan”. Alasan yang membenarkan dilaksanakan perkawinan melalui telepon ini adalah karena telah terpenuhinya syarat-syarat perkawinan selain yang berkaitan dengan kehadiran mempelai pria dalam satu majelis. Pernyataan pemberian izin dari KASI URAIS merupakan langkah awal bagi KUA Kecamatan Kebayoran Baru dan juga sebagai jalan keluar bagi keluarga Noer, untuk segera melaksanakan proses ijab-kabul tanpa adanya surat taukil dan orang tua Noer segera menghubungi Aria untuk menyetel telepon terus sampai selesai pada hari Sabtu tanggal 13 Mei 1989, pukul 10.00 WIB atau hari jum’at pukul 22.00 waktu Indianan, Amerika, untuk menyelenggarakan proses Ijab-Kabul. Perkawinan tersebut benar-benar dilaksanankan pada tanggal 13 Mei 1989 melalui telepon yang disambungkan dengan pengeras suara (menurut surat keterangan Perumtel No. 137/KP.))/W04.100/90, ditandatangani Iwan Krisnadi MBA. PH, bahwa telepon yang disambungkan dengan pengeras suara akan didengar oleh orang-orang yang berada di sekitarnya), disaksikan oleh kurang lebih 100 undangan di Jakarta, termasuk juga pejabat dari KUA Kecamatan Kebayoran Baru, yang hadir pada saat itu, bertindak untuk mengawasi dan menyaksikan proses tersebut dan 10 sampai dengan 15 orang saksi di Amerika. 61 Proses ijab-kabul itu sendiri berjalan lancar, diawali dengan adanya percakapan antara ayah Noer, sebagai wali, dengan Aria, sebagai cara untuk memastikan suara maupun kesiapan dari Aria. Dan juga percakapan dengan saksisaksi yang ada di Amerika, termasuk yang menjadi saksi dari pengantin pria. Setelah pemastian suara dan kesiapan masing-masing pihak, proses ijab-kabul ini dilanjutkan dengan percobaan pengucapan ijab oleh wali Noer dan kabul oleh Aria. Dan setelah semua benar, baru diadakan ijab-kabul yang sebenarnya. Pada akhir dari upacara akad nikah itu terdengar ucapan takbir oleh sebagian yang hadir, termasuk kepala KUA Kecamatan Kebayoran Baru dan wali Noer, dilanjutkan dengan pembacaan doa yang dipimpin oleh ayah Noer. Namun masalah yang kemudian timbul adalah pada saat dimintakan pencatatan nikah di buku nikah, pihak KUA Kecamatan Kebayoran Baru menolak dilakukan pencatatan dan juga menolak memberikan buku nikah. Karena beranggapan bahwa proses ijab-kabul yang dilakukan di tempat yang berjauhan atau dengan kata lain, tidak terjadi pertemuan yang langsung antara kedua mempelai, adalah tidak sah. Adanya penolakan pencatatan oleh KUA Kecamatan Kebayoran Baru ini, menyebabkan ayah Noer mengajukan permohonan ke Pengadilan Agama Jakarta Selatan untuk menetapkan sah perkawinan yang dilangsungkan melalui sarana telekomunikasi (dalam hal ini adalah melalui telepon), yang disebabkan keadaan yang tidak memungkinkan untuk mengadakan ijab-kabul dalam satu majelis. Untuk kemudian dapat kiranya perkawinan tersebut dicatatkan dan dibukukan ke dalam suatu buku nikah, sesuai dengan ketentuan yang telah diatur dalam undang- 62 undang perkawinan, khususnya Pasal 2 ayat (2) jo. Pasal 2 PP No. 9/1975 mengenai pencatatan perkawinan. C. Perkawinan Teleconference di Indonesia Kasus perkawinan yang dilakukan dengan jarak jauh (tidak dalam satu majelis) tidak hanya terjadi pada perkawinan Aria dan Noer saja. Apabila pada tahun 1989 mereka memakai sarana telepon. Dan untuk mengetahui bahwa yang berbicara di ujung saluran telepon adalah benar-benar calon mempelai pria dengan cara wali dari mempelai wanita berusaha melakukan dialog untuk memastikan bahwa suara tersebut adalah benar-benar suara dari calon mempelai pria. Maka dengan bertambah majunya tekhnologi dan perkembangan telekomunikasi yang semakin canggih, masyarakat mulai memakai sarana teleconference. Yaitu selain kita bisa mendengarkan suara (audio) dari ujung saluran telepon, kita juga bisa melihat secara kasat mata (visual) melalui video. Sehingga kita bisa secara langsung melihat siapa yang menjadi lawan bicara kita. Salah satu kasus ini terjadi pada tanggal 4 Desember 2004 pada pasangan Dewi Tarunawati dengan Syarif Aburahman Achmad9. Jarak Bandung, Indonesia – Pittsburgh, Amerika Serikat dengan perbedaan waktu 12 jam, tidak menghalangi mereka untuk melangsungkan pernikahan. Dewi yang berada di Bandung dan Syarif di 304 Oakland Ave Apt 9 Pittsburgh PA 15213 Amerika Serikat melangsungkan pernikahan di Kantor Indosat Landing Point Jln. Terusan Buah Batu Bandung. Hal ini terjadi dikarenakan calon mempelai pria tidak dapat 9 Koran Pikiran Rakyat, Minggu 5 Desember 2004 63 meninggalkan pekerjaannya di Amerika karena terikat kontrak dan begitupun calon mempelai wanita yang tidak dapat meninggalkan studi S2-nya di Indonesia. Pernikahan Dewi-Syarif sebenarnya hampir sama dengan pernikahan pada umumnya, ada mempelai wanita, wali nikah, dan dua saksi. Perbedaannya, mempelai pria hadir tidak secara fisik melainkan dalam bentuk gambar di televisi. Sehingga televisi ukuran 29 inci menjadi pusat perhatian puluhan kerabat yang hadir dalam acara tersebut, khususnya orang tua Dewi dan orang tua Syarif. Sementara hadirin yang hadir dalam acara tersebut bisa menyaksikan mempelai pria dari big screen (layar lebar) berukuran 1,5 m x 2 m. Tepat pukul 8.45 WIB, akad nikah Dewi Tarumawati, S.Psi, putri pertama H. Daddy S. Yudha Manggala dengan Syarif Aburahman Achmad Ph.D, putra keempat H. Memed Achmad Diat T, dimulai. Dipimpin Petugas Pencatat Nikah (PPN) Kec. Regol Syamsul Ma'arif dan Cecep Budiman, pembacaan ijab kabul berjalan lancar. Ijab dari H. Daddy (orang tua Dewi), "Saya nikahkan Dewi Tarumawati putri kandung bapak kepada ananda dengan mas kawin seperangkat alat salat dan uang Rp 5 juta dibayar tunai." Dijawab denga lancar oleh Syarif, "Saya terima nikahnya Dewi Tarumawati putri kandung bapak dengan memakai mas kawin seperangkat alat shalat dan uang Rp 5 juta rupiah dibayar tunai." Setelah ijab kabul, pengantin pria membacakan sighat taklik, "Saya Syarif Aburahman Achmad bin H. Memed berjanji dengan sesungguh hati, bahwa saya akan menepati kewajiban saya sebagai seorang suami. Saya akan pergauli istri saya bernama Dewi dengan baik (mu'asyarah bil ma'ruf) menurut syari'at Islam." 64 Kemudian, "Sewaktu-waktu saya meninggalkan istri saya dua tahun berturutturut, atau saya tidak memberi nafkah wajib kepadanya tiga bulan lamanya, atau saya menyakiti badan/jasmani istri saya, atau saya membiarkan (tidak mempedulikan) istri saya enam bulan lamanya, kemudian istri saya tidak rida dan mengadukan halnya kepada Pengadilan Agama dan pengaduannya dibenarkan serta diterima pengadilan, dan istri saya membayar uang sebesar Rp 1.000,00 sebagai iwadh (pengganti) kepada saya, maka jatuhlah talak satu saya kepadanya." Acara akad nikah diakhiri dengan sungkeman mempelai wanita kepada orang tua dan mertuanya. Sementara mempelai pria sungkeman dengan kata-kata. Syarif bersyukur kepada Allah SWT karena acara akad nikah berjalan lancar. Syarif berharap istrinya dapat segera menyelesaikan studi S2-nya sehingga bisa segera ke Amerika untuk secara bersama-sama membangun keluarga baru. Walaupun dalam kedua kasus perkawinan tersebut dilangsungkan di luar kebiasaan, yaitu dengan melalui media telekomunikasi atau jarak jauh, akan tetapi segala sesuatunya dilakukan dengan cara-cara seperti perkawinan yang biasa, yaitu10 : a. b. c. 10 Telah dilakukan pemberitahuan kehendak terlebih dahulu ke Pegawai Pencatat sesuai dengan ketentuan Pasal 3 PP No.9/1975. Telah terpenuhinya segala syarat sesuai Pasal 6 dan 7 Undangundang No.1/1974 jo. PP No.9/1975 dan tidak ada halangan perkawinan terhadap ketentuan persyaratan perkawinan mereka. Segala sesuatunya dilakukan dengan itikad baik. Tidak ada suatu maksud sebagai penyelundupan hukum, yaitu bermaksud untuk menghindari ketentuan undang-undang perkawinan yang berlaku atas diri para pihak dengan memilih menggunakan undang-undang perkawinan yang tidak berlaku atas para pihak. Semua tindakan dengan maksud itikad baik ini, dapat dilihat dari dipenuhinya segala sesuatu yang dipersyaratkan oleh peraturan yang berlaku. Hanya Ibid Idha Aprilyana, Hlm. 59. 65 saja kendala yang timbul adalah permohonan pencatatan perkawinan terkadang tidak dapat diterima karena tidak dilaksanakannya perkawinan dalam satu majelis. Yang menjadi pokok permasalahan dalam proses perkawinan yang dilakukan melalui media telepon ataupun teleconference adalah ketidak hadiran secara fisik mempelai pria di domisili mempelai wanita. Namun ketidakhadiran secara fisik ini tidak mengurangi keabsahan perkawinan, berdasarkan pada dalildalil11 : 1) Sesuai dengan pendapat ahli Fiqih di dalam Fiqhus Sunah halaman 34 jilid Iia, ijab-kabul tidak di sela-selai harus diartikan bahwa antara ijab dan kabul tidak diantarai dengan perkataan yang bukan berkenaan dengan nikah atau sesuatu yang menurut adat dianggap tidak mau atau telah membelah pada hal-hal yang lain selain nikah. 2) Hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Uqbah bin Amir R.A yang intinya adanya pernikahan antara seorang laki-laki dengan seorang wanita dengan perantaranya adalah Rasulallah SAW, walaupun dalam perkawinan ini dilakukan tanpa mahar dan tidak ada pertemuan sama sekali. Kedua mempelai tidak saling mewakilkan dirinya pada Rasulallah, akan tetapi rasulallah hanya bertindak sebagai perantara untuk menanyakan pernyataan kesepakatan dari kedua mempelai dan Rasulallah hanya menguatkan kesepakatan tersebut. 3) Hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Umi Habibah, yang intinya adalah perkawinan dilakukan di tempat yang berbeda dan berjauhan antara Rasul dan Umi Habibah. Berdasarkan pada dalil-dalil tersebut di atas, dapat dibuat suatu kesimpulan bahwa proses perkawinan itu dapat dilangsungkan dengan berbagai cara, asalkan telah memenuhi syarat, yaitu adanya : 1. Mempelai pria dan Wanita 2. Antara kedua mempelai bukanlah muhrim. 3. Antara kedua mempelai sama-sama rela atau telah sepakat untuk menikah. 4. Telah tercapainya usia Nikah bagi kedua mempelai (baligh). 11 Majalah Varia Peradilan Tahun VI No.62 Tahun 1990, Hlm. 9 66 5. Tidak adanya larangan Nikah antara kedua mempelai. 6. Adanya wali. 7. Adanya Saksi. 8. Pembayaran mahar sebagai pelengkap. 9. Didaftarkan secara resmi sesuai dengan prosedur undang-undang. 10. Adanya ijab-kabul, maka perkawinan adalah sah. Pemikiran bahwa, suatu perkawinan yang dilangsungkan menurut Hukum Agama Islam dan telah memenuhi syarat-syarat sesuai peraturan perundangundangan adalah perkawinan yang tidak sah, hanya dikarenakan ketidakhadiran mempelai pria secara fisik. Dalam hal perkawinan yang dilakukan melalui media telekomunikasi, ketidak hadiran secara fisik ini perlu kiranya tetap menjadi pertimbangan bahwa ijab-kabul melalui telepon/teleconference yang dilakukan secara langsung pada saat pernikahan, tidak hanya sekedar mewakili ketidakhadiran secara fisik mempelai pria, tetapi diucapkan langsung oleh mempelai prianya melalui sebuah media. Kedua kasus tersebut hanyalah merupakan sedikit dari contoh yang terjadi di masyarakat yang hidup di dunia yang semakin modern ini. Bukanlah tidak mungkin pada masa yang akan datang akan semakin banyak terjadinya pernikahan melalui media telekomunikasi khususnya teleconference. Sehingga dirasa perlunya aturan yang mengatur mengenai masalah perkawinan jarak jauh ini supaya tidak lagi ada perdebatan atau kesulitan dalam masalah pencatatan pernikahan. 67 Karena pencatatan perkawinan sangatlah penting, terutama untuk mendapatkan hak-hak seperti warisan dan nafkah bagi anak-anak hasil perkawinan. Akibat hukum tidak dicatatnya perkawinan adalah : a. Perkawinan Dianggap tidak Sah. Meski perkawinan dilakukan menurut agama dan kepercayaan, namun di mata negara perkawinan dianggap tidak sah jika belum dicatat oleh Kantor Urusan Agama b. Anak Hanya Mempunyai Hubungan Perdata dengan Ibu dan Keluarga Ibu. Anak-anak yang dilahirkan di luar perkawinan atau perkawinan yang tidak tercatat, selain dianggap anak tidak sah, juga hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu atau keluarga ibu (Pasal 42 dan 43 Undang-Undang Perkawinan). Sedang hubungan perdata dengan ayahnya tidak ada. c. Anak dan ibunya Tidak Berhak Mendapatkan Waris dan Nafkah. Akibat lebih jauh dari perkawinan yang tidak tercatat adalah, baik isteri maupun anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut tidak berhak menuntut nafkah ataupun warisan dari ayahnya. Namun demikian, Mahkamah Agung RI dalam perkara Nugraha Besoes melawan Desrina dan putusan Pengadilan Negeri Yogyakarta dalam perkara Heria Mulyani dan Robby Kusuma Harta, saat itu mengabulkan gugatan nafkah bagi anak hasil hubungan kedua pasangan tersebut. BAB IV HUKUM PERKAWINAN TELECONFERENCE A. Pengaturan Perkawinan Teleconference Perkawinan adalah suatu perbuatan hukum, merupakan suatu ikatan yang menentukan sah atau tidaknya pergaulan antara seorang pria dan wanita. Dalam hidup berumah tangga sudah tentu saja akan menimbulkan akibat hukum yang sangat bergantung pada sah atau tidaknya terhadap perkawinan yang dilangsungkan. Tentunya suatu hal yang riskan (bahaya), apabila perkawinan telah dilakukan atau dilangsungkan melalui media telepon atau teleconference, tetapi dianggap tidak sah secara hukum positif disebabkan ketiadaan bukti yang mendukung telah dilangsungkannya perkawinan tersebut. Dikatakan riskan karena perkawinan tidak saja hanya dilakukan secara agama tetapi harus pula sah menurut hukum positif. Oleh sebab itulah perlu kiranya suatu bukti yang dapat mendukung sahnya perkawinan yang telah dilakukan, sehingga dapat menjamin kepastian hukum terhadap keduanya, sehingga akibat hukum yang ditimbulkannya dapat terlindungi. Yang dimaksud dengan bukti dalam hal ini adalah surat nikah (akta nikah). Negara Indonesia sebagai negara hukum, menghendaki agar segala tindakan haruslah berdasarkan atas hukum. Oleh sebab itu pula dalam bidang perkawinan haruslah sesuai dengan perundang-undangan perkawinan yang berlaku. Sesuai dengan bunyi Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang No.1 68 69 Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka perkawinan yang sah dilakukan berdasarkan agama, dan masing-masing harus pula dicatatkan pada KUA. Adanya ketentuan yang ditetapkan ini menimbulkan suatu konsekuensi bahwa perkawinan yang sah menurut Hukum Positif itu haruslah dicatatkan di kantor Pencatatan Perkawinan. Hal ini tidak lain karena dalam suatu negara yang berdasar atas hukum, semua peristiwa hukum yang terjadi harus dapat dibuktikan. Menurut Hukum, akibat hukum yang ditimbulkannya dapat diakui oleh negara sehingga dapat menjamin kepastian hukum. Berdasarkan ketentuan itu maka KUA sebagai lembaga atau institusi yang bertugas untuk mencatatkan perkawinan, mempunyai kewajiban untuk mengetahui dan meneliti syarat-syarat perkawinan lebih dulu. Oleh karena kewajibannya sebagai pencatat perkawinan maka pegawai pencatat perkawinan yang ada di KUA maupun dapat melakukan penolakan hingga tindakan pembatalan terhadap perkawinan, hal ini tidak lain karena agar perkawinan tidak saja sah menurut agama tetapi juga sah menurut negara. Pencatatan perkawinan bertujuan untuk mewujudkan ketertiban perkawinan dalam masyarakat. Ini merupakan suatu upaya yang diatur melalui perundang-undangan, untuk melindungi martabat dan kesucian perkawinan, dan lebih khusus untuk melindungi hak-hak perempuan dalam kehidupan berumah tangga. Melalui pencatatan perkawinan yang dibuktikan dengan akta nikah, apabila terjadi perselisihan di dalam perkawinan, maka salah satu dari pihak suami ataupun istri dapat melakukan upaya hukum guna mempertahankan atau 70 memperoleh hak masing-masing. Karena dengan akta tersebut, suami istri memiliki bukti otentik atas perbuatan hukum yang telah mereka lakukan1. Dilihat dari uraian di atas tersebut, maka kedudukan pencatatan perkawinan semakin penting, khususnya apabila perkawinan tersebut dilaksanakan dengan jarak jauh, artinya calon mempelai pria dan wanita berlainan tempat. Atau pada pembahasan sekarang mengenai perkawinan yang dilangsungkan dengan memanfaatkan media telekomunikasi (telepon atau teleconference). Hal ini tidak lain karena adanya pencatatan perkawinan ini akan menentukan telah terjadinya perbuatan hukum. Sebagaimana diketahui, apabila dilakukan suatu perbuatan hukum maka akan menimbulkan akibat hukum. Dalam menghadapi suatu kasus yang belum ada peraturan tertulisnya di dalam undang-undang. Sudah sewajarnya petugas pencatat perkawinan ataupun hakim memakai pandangan modern, atau biasa disebut dengan aliran problem oriented. Pokok dari aliran problem oriented ialah bahwa bukan sistem perundangundangan yang merupakan titik tolak, tetapi masalah kemasyarakatan yang konkrit yang harus dipecahkan. Hukum (undang-undang) selalu ketinggalan dari peristiwanya, itu memang sifat hukum. Lebih-lebih dengan berkembang pesatnya tekhnologi dewasa ini maka hukum (undang-undang) akan jauh ketinggalan2. Menurut Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, S.H., LL.M. Hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup (the living law) dalam 1 Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1995. hlm. 107. 2 Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, sebuah pengantar. Liberty, Yogyakarta, 2004. Hlm.109. 71 masyarakat yang tentunya sesuai pula atau merupakan pencerminan dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat3. Undang-undang bukanlah penuh dengan kebenaran dan jawaban, yang paling tidak membutuhkan beberapa penafsiran untuk dapat dilaksanakan dalam situasi konkrit. Tetapi lebih merupakan usulan untuk penyelesaian masalah, suatu pedoman dalam menemukan hukum. Undangundang bukan merupakan satu-satunya sumber hukum, tetapi masih banyak faktor-faktor penting lainnya yang dapat digunakan untuk penyelesaian masalahmasalah hukum. Menurut aliran problem oriented diakui bahwa dalam penemuan hukum, unsur terhadap kebutuhan masyarakat adalah sentral atau penting. Aliran problem oriented pada umumnya menekankan bahwa masalah yuridis selalu berhubungan dengan masalah kemasyarakatan dan dari sinilah harus dicari penyelesaian yang paling dapat diterima dalam kenyataan yang berlangsung sehingga terdapat kepastian hukum. Harus diakui bahwa penyelesaian hukum merupakan salah satu cara untuk mengatur masalah kemasyarakatan. Dengan kata lain tujuan undangundang dapat digeser, dikoreksi, tetapi tidak boleh diabaikan. Di dalam Undangundang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan belum ada aturan yang mengatur secara jelas mengenai perkawinan melalui media telekomunikasi, sehingga disini terdapat kekosongan hukum. Maka apabila ada masalah yang menyangkut mengenai persoalan kemasyarakatan khususnya mengenai perkawinan melalui media teleconference, akan dapat diselesaikan dengan melihat hukum yang berlaku bagi kedua mempelai, karena persoalan perkawinan merupakan hal yang 3 Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-konsep Hukum Dalam Pembangungan, P.T. Alumni, Bandung, 2006. Hlm. 10. 72 sensitif. Tujuan dari problem oriented adalah supaya adanya kepastian hukum. Pemecahan masalah dengan mendasarkan pada sistem problem oriented terjadi melalui beberapa tahap. Dalam hal ini dapat dicontohkan, apabila persoalan hukum tersebut masuk dalam lingkup peradilan maka akan dapat diterapkan tahap-tahap sebagai berikut : Pertama hakim meneliti masalah yang diajukan kepadanya untuk diterjemahkan secara yuridis, maksudnya apabila hukum dapat memecahkan persoalan yang sedang diajukan kepadanya, maka terhadap peristiwa tersebut diterapkan peraturan yang sesuai dengannya sehingga relevan, sehingga antara peristiwa dan peraturan saling berhubungan. Peristiwa menentukan peraturan yang relevan, tetapi peraturannya menentukan peristiwa mana yang penting. Penelitian Hakim dari sejak tahap seleksi dan analisis awal peristiwa sampai dengan tahap penyelesaian akhir memegang peranan penting. Kalau bagian pertama penelitian ke arah penyelesaian hukum telah dilakukan, maka selanjutnya adalah nilai-nilai dan kepentingan yang harus ditelaah oleh hakim. Sesudah itu semua dilakukan, baru dapat dilihat keseluruhan konteks masalah sampai pada putusan, dimana hakim dapat menyesuaikan maksud pembentuk undang-undang dengan situasi konkrit yang terjadi di masyarakat4. Dalam perkawinan melalui media telekomunikasi sebagaimana diuraikan pada BAB III, diketahui bahwa pegawai pencatat perkawinan turut hadir dan mengikuti jalannya pelaksanaan perkawinan dengan ijab-kabul melalui media teleconference, maka secara tidak langsung telah mengetahui dan menyetujui 4 Ibid Sudikno Mertokusumo, Hlm. 106. 73 dilakukannya perkawinan yang ijab-kabulnya dilakukan melalui teleconference tersebut. Yang pada kenyataannya tata cara perkawinan yang demikian tersebut belum atau tidak secara tegas diatur dalam Undang-undang Perkawinan, artinya tata cara perkawinan diserahkan sepenuhnya kepada mereka. Hanya yang terpenting adalah perkawinan tersebut sah apabila dilakukan berdasarkan agama masing-masing dan dicatatkan di kantor pencatatan perkawinan. Merupakan kesalahan pihak mempelai apabila dalam perkawinan yang dilaksanakan dengan memanfaatkan media teleconference tersebut tanpa sepengetahuan pihak pencatat perkawinan, sehingga apabila terjadi penolakan atau tidak dicatatnya perkawinan mereka oleh pihak Pegawai Pencatat Perkawinan karena dirasa tidak mentaati ketentuan yang berlaku, adalah hal wajar. Sesuai dengan Pasal 6 Kompilasi Hukum Islam yang mengatakan bahwa perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum. Apabila menyimak isi Pasal 6 tersebut dapat ditafsirkan bahwa perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak diketahui oleh pihak Pegawai Pencatat Nikah maka perkawinan mereka tidak mempunyai kekuatan hukum positif, meskipun sah menurut agama. Dapat diartikan pula bahwa apabila perkawinan mereka tidak dicatatkan di Pegawai Pencatat Nikah maka perkawinan mereka tidak diakui oleh negara/Undang-undang. Maka dari itu, apabila ada orang yang hendak melangsungkan perkawinan secara teleconference hendaknya memberitahukan keinginan tersebut ke Pegawai Pencatat Nikah, agar Pegawai Pencatat Nikah mengetahui akan dilaksanakan perkawinan secara tertulis, sehingga tidak akan terjadi penolakan pencatatat perkawinan dengan alasan 74 Undang-undang belum mengatur tentang hal perkawinan melalui media telepon atau teleconference. Apabila hal ini terjadi, maka sudah menjadi tugas hakim untuk memberikan kepastian hukum bagi mereka yang menjalankan perkawinan, namun ditolak pencatatannya oleh pihak Pegawai Pencatat Nikah. Perkataan “agar Pegawai Pencatat Nikah mengetahui akan dilaksanakan perkawinan secara telepon” tersebut karena tugas Pegawai Pencatat Nikah menurut Pasal 2 ayat (2) Undang-undang Perkawinan adalah hanya mencatat perkawinan mereka, dan apabila Pegawai Pencatat Nikah menolak untuk mencatat maka berdasarkan Pasal 21 ayat (3) Undang-undang Perkawinan, para pihak (mempelai) dapat mengajukan permohonan ke Pengadilan Negeri agar supaya memberikan penetapan untuk memerintahkan Pegawai Pencatat Nikah mencatat perkawinannya. Hal ini dapat dilakukan oleh mempelai didasarkan pada peraturan perkawinan. Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Dapat ditartikan bahwa selama tidak bertentangan dengan agama dan atau kepercayaan dari kedua mempelai, maka perkawinan yang dilakukan melalui media telepon dan teleconference adalah sah apabila dilakukan oleh tata cara dan telah memenuhi syarat-syarat sahnya perkawinan menurut agamanya. Selanjutnya untuk membuktikan perkawinan tersebut, kedua mempelai harus mencatatkan ke Pegawai Pencatat Nikah agar mendapatkan Akta Nikah. Permasalahan yang muncul apabila membicarakan keabsahan perkawinan melalui media telekomunikasi, tidak lain oleh karena menurut Hukum Islam, 75 sebaiknya perkawinan dilakukan apabila dilaksanakan dalam satu majelis, sehingga menunjang berkesinambungan waktu pengucapan ijab dan kabul yang merupakan penentu sah atau tidaknya suatu perkawinan. Hal ini juga salah satu kebiasaan warga Indonesia yang bermayoritas agama Islam dalam melangsungkan perkawinan. Persoalan “satu majelis” diatas bukan merupakan suatu syarat sahnya perkawinan, tetapi hanya sekedar tata cara dan atau suatu kebiasaan yang telah lama dilakukan di Indonesia. Tata cara perkawinan melalui media telepon dan atau teleconference tidak diatur dalam Undang-undang, artinya diserahkan sepenuhnya kepada mereka yang hendak melaksanakan perkawinan tersebut. Hanya bagi sebagian orang ketentuan satu majelis dan kesinambungan waktu dapat menimbulkan keraguan sah atau tidaknya perkawinan yang dilaksanakan melalui media telekomunikasi. Keterkaitan antara kesinambungan waktu dan satu majelis sangat erat, oleh karena itulah terdapat 2 (dua) golongan besar fuquhua yang menafsirkan pengertian keterkaitan ini : Golongan fuquha pertama, dikemukakan oleh Syafi’i, Hanafi dan Hambali, menafsirkan keterkaitan antara kesinambungan waktu dan kesatuan majelis. Menurut golongan pertama ini, “berkesinambungan waktu” itu tidak lain pelaksanaan ijab dan kabul yang masih saling berkait dan tidak ada jarak yang memisahkan keduanya, oleh sebab itu perlu disaksikan secara langsung oleh para saksi karena tugasnya untuk memastikan secara yakin keabsahan ijab dan kabul tersebut secara redaksional maupun kepastiannya. Secara jelas terlihat bahwa dengan adanya kesinambungan waktu antara pengucapan ijab dan kabul, maka diperlukan adanya kesatuan majelis. 76 Golongan fuquha kedua, dikemukanan oleh Maliki, menafsirkan “berkesinambungan waktu” itu dapat diartikan ijab kabul tidak menjadi rusak dengan adanya pemisahan sesaat. Misal dengan adanya khutbah sebentar. Jadi dalam hal ini, pihak-pihak yang terlibat harus dalam satu majelis tidak menjadi persyaratan perkawinan. Di dalam dunia yang semakin maju dan modern maka alangkah lebih baiknya apabila kita mengikuti golongan fuquha kedua yang dikemukakan oleh Maliki yang intinya di dalam ijab kabul tidak diharuskan di dalam satu majelis, mengingat dunia saat ini semakin global. Dan lagi pula di dalam agama Islam mengenal dengan adanya surat Taukil sebagai surat mewakilkan dari pihak mempelai yang tidak dapat menghadiri pernikahan. Mengenai pertentangan yang ditimbulkan dengan adanya dua masalah perihal “satu majelis” dan “kesinambungan waktu” seperti tersebut di atas, justru dapat dikatakan bahwa kesinambungan waktu pengucapan ijab dan kabul itu tetap terjaga dalam hal perkawinan melalui media telekomunikasi. Hal ini didasarkan dan bisa dilihat pada kenyataan yang dapat ditemukan sehari-hari bahwa media telekomunikasi memberikan fasilitas sambungan langsung, sehingga menghasilkan percakapan berupa suatu dialog seperti halnya percakapan tanpa media. Bahkan pada jarak yang sangat jauh sekalipun. Apalagi bila dikaitkan dengan pemanfaatan media teleconference, selain kita dapat mendengarkan suara lawan bicara, kita dapat pula melihat secara langsung secara kasat mata yang menjadi lawan bicara kita. 77 Kemampuan teleconference sebagai sarana penghubung langsung jarak jauh, mempermudah untuk menilik hakekat satu majelis, seperti yang dikemukakan oleh Pasal 10 ayat (3) PP No.9/1975, melalui pendeskripsian suasana satu majelis dengan kalimat “dihadapan” dan “dihadiri”. Dari uraian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa hakekat satu majelis tetaplah ada dalam perkawinan yang memanfaatkan media telekomunikasi (telepon dan atau teleconference) atau perkawinan jarak jauh ini. Hal ini dapat terjadi apabila pemikiran mengenai “dihadapan” dan “dihadiri” dikembangkan dengan menterjemahkannya secara luas (umum), yaitu dengan mengartikannya sebagai : di bawah pengawasan, baik oleh Pegawai pencatat perkawinan maupun oleh saksi-saksi. Jadi dengan demikian kata “dihadapan” dan “dihadiri” di dalam Pasal 10 ayat (3) PP No.9/1975 tidak diartikan sempit, yaitu bahwa dalam tatacara perkawinan harus dilaksanakan dihadapan dan dihadiri oleh dua orang saksi di dalam satu majelis. Melalui perluasan pengertian ini, maka tatacara dan keabsahan perkawinan jarak jauh atau dengan memanfaatkan media telekomunikasi dapat tetap dianggap sah, karena perkawinan yang demikian itu dapat diketahui dan diawasi secara langsung, sehingga akan dapat pula dicatatkan. Sehingga dapat ditarik kesimpulan perkawinan yang ijab-kabulnya dilakukan melalui media teleconference adalah sah, apabila semua syarat formil dan materiil perkawinan yang diatur di dalam Undang-undang Perkawinan telah terpenuhi. Karena hal ini cukup memperhatikan Undang-Undang No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan, bila telah dipenuhi persyaratan secara agama, maka sah 78 pulalah di mata undang-undang5. Perkawinan yang demikian itu tampaknya sudah pernah dilakukan oleh beberapa orang yang saling berjauhan tempat tinggalnya yaitu perkawinan yang dilakukan melalui telepon sebagaimana penetapan Pengadilan Agama Jakarta Selatan nomor 1751/P/1989 tanggal 20 April 1990 yang menyatakan bahwa penikahan melalui telepon antara calon suami dan calon istri yang berjauhan tempat tinggalnya adalah sah6. B. Prosedur Perkawinan Teleconference Mengawali pembahasan prosedur perkawinan dengan pemanfaatan media telekomunikasi ditinjau dari segi hukum. UU Perkawinan maupun PP No. 9 Tahun 1975 tidak mengatur secara tegas dan jelas tentang prosedur perkawinan, yang diatur hanyalah sahnya bperkawinan mereka yang dilaksanakan mereka berdasarkan agama dan kepercayannya, yakni sebagaimana yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan, lebih lanjut perkawinan tersebut harus dicatatkan ke Kantor Pencatat Perkawinan (Pasal 2ayat (2) Jo. Pasal 2 ayat (1) PP No. 9 Tahun 1975). Selanjutnya dalam Pasal 10 ayat (2) PP No. 9 Tahun 1975 disebutkan bahwa “tata cara perkawinan dilakukan menurut hukum masing- masing agamanya dan kepercayaaannya itu”, maka dapat disimpulkan proses atau tata cara perkawinan tersebut secara mutatis mutandis diserahkan sepenuhnya kepada masing-masing ketentuan agama calon mempelai. Sebagaimana dikemukakan di atas, UU Perkawinan dan PP No. 9 Tahun 1975 tidak secara tegas mengatur tentang prosedur atau tata cara perkawinan, 5 6 Majalah Varia Peradilan Tahun VI No.62 Tahun 1990, Hlm. 8. Ibid Sudikno Mertokusumo, Hlm.109. 79 namun demikian apabila menyimak Pasal 20 UU Perkawinan dapat mengisaratkan bahwa bagi mereka yang hendak melakukan perkawinan seyogyanya dilakukan dalam satu tempat (satu majelis) yang sama, sehingga akan dapat diawasi, dihadiri dan diketahui secara langsung oleh petugas pencatat perkawinan. Hal ini berkaitan dengan akan diikutinya penandatangan Akta Nikah oleh ke dua belah pihak (mempelai) sebagai kelengkapan administrasi. Dalam perkembangannya terkadang pelaksanaan perkawinan tidak sebagaimana ditempuh dengan prosedur seperti di atas, yakni dalam mengucapkan ijab kabulnya tidak dilakukan dalam satu tempat (satu majelis). Setelah dilakukan penelitian, ternyata ketentuan agama pun tidak mengatur secara tegas tentang tata cara atau prosedur perkawinan harus dilakukan dalam satu majelis. Hal yang demikian itu dapat dibuktikan dengan adanya istilah Perkawinan Taukil yang dapat diartikan adalah suatu perkawinan yang pelaksanaannya tidak dihadiri oleh salah satu calon mempelai, akan tetapi ketidakhadiran calon mempelai tersebut diwakilkan dengan sebuah surat kuasa yang diberikan kepada seseorang wakil yang dapat dipercaya untuk membacakan surat kuasa tersebut. Dalam hal ini yang terpenting adalah bagi mereka yang hendak melaksanakan perkawinan haruslah memenuhi syarat dan rukun perkawinan sebagaimana dikemukakan dalam Kompilasi Hukum Islam yakni adanya wali nikah bagi mempelai wanita dan adanya saksi, serta dilakukan atau mengucapkan ijab qabul (akad nikah), meskipun ijab qabulnya dibacakan oleh wakil yang diberi kuasa untuk itu. Perkawinan yang tidak memenuhi syarat dan rukun perkawinan tersebut, maka perkawinan tersebut dianggap tidak sah. 80 Setelah dilakukan penelitian bahwa prosedur atau tata cara yang selama ini dilakukan oleh mereka yang akan melangsungkan perkawinan sebenarnya hanya berdasarkan kebiasaan yang berkembang di Indonesia. Kebiasaan atau lazimnya perkawinan dilakukan dalam satu majelis, artinya mempelai wanita, wali, saksi, pegawai pencatat perkawinan dan mempelai pria berada dalam satu tempat untuk melangsungkan dan atau mengucapkan ijab qabul (akad nikah) sebagai penentu sahnya perkawinan yang dilakukan secara berkesinambungan, dan biasanya setelah akad nikah tersebut selesai pengantin pria diminta untuk mengucapkan janji atau yang disebut dengan istilah sighat taklik talak dengan disaksikan oleh semua yang hadir dalam acara akad nikah tersebut. Prosedur atau tata cara yang demikian tersebut dimaksudkan tidak lain untuk mempermudah dan atau melancarkan administrasi, sehingga tidak ada hambatan kepastian terhadap keabsahan perkawinan mereka, baik berdasarkan agama maupun berdasarkan hukum positif. Apabila hal tersebut dikaitkan dengan Pasal 10 ayat (3) PP No.9/1975 yang menyebutkan “perkawinan dilaksanakan dihadapan pegawai pencatat” dan “dihadiri oleh dua orang saksi” , maka dapat disimpulkan meskipun menurut kelaziman sebagaimana dikemukakan di atas, namun dalam perkembangannya hal tersebut dapat dilakukan sebaliknya. Artinya tata cara perkawinan dapat dilakukan tidak dalam satu majelis dan hal demikian itu dapat dibenarkan, yang terpenting rukun dan syarat perkawinan tersebut dipenuhi serta perkawinan tersebut tidak terhalang sebagaimana dikemukakan dalam Pasal 21 UU Perkawinan. 81 Seiring dengan perkembangan teknologi dewasa, juga mempengaruhi perkembangan dan perubahan sistem hukum, yang semula kaku menjadi lebih luwes. Mengingat bahwa hukum bertujuan untuk melindungi kepentingan manusia, oleh karena itu perlu pula memperhatikan perkembangan masyarakat dan perkembangan teknologi, agar tidak terjadi kekosongan hukum. Mahkamah Agung berpendapat dalam hal perkawinan, bahwa “tidaklah dapat dibenarkan kalau karena kekosongan hukum maka kenyataan dan kebutuhan sosial tersebut di atas dibiarkan tidak terpecahkan secara hukum, karena membiarkan masalah tersebut berlarut-larut pasti akan menimbulkan dampakdampak negatif di segi kehidupan bermasyarakat maupun beragama yang berupa penyelundupan-penyelundupan nilai-nilai sosial maupun agama dan atau hukum positif, maka MA berpendapat haruslah dapat ditemukan dan ditentukan hukumnya. Maka dari itu perkawinan yang dilakukan dengan prosedur atau tata cara tidak satu majelis dikatakan tetap sah, sebagaimana dituangkan dalam Penetapan Pengadilan Jakarta Selatan No. 1751/P/1989 tertanggal 20 April 1990 yang pada intinya menyebutkan bahwa, “pernikahan melalui telepon antara calon suami dan calon istri yang berjauhan tempat tinggalnya (Indonesia-Amerika) itu sah”. Prosedur perkawinan melalui teleconfrence, harus tetap memenuhi syarat dan rukunnya perkawinan, hanya saja tidak dilakukan dalam satu tempat (Indonesia-Amerika). Apabila hal itu terjadi, maka pertama-tama yang dilakukan adalah di Indonesia (pihak wanitanya misalnya), maka yang harus dipersiapkan adalah wali, saksi dan pegawai pencatat perkawinan yang bertugas mencatat 82 perkawinan melalui telpun tersebut. Kemudian dipihak pria (Amerika) yang harus dipersiapkan adalah saksi, guna menyaksikan bahwa benar yang akan mengucapkan akad nikah itu adalah calon suami (bukan orang lain). Kemudian dari mempelai wanita harus meyakini dan mempercayai benar yang akan mengucapkan akad nikah tersebut adalah mempelai pria. Dalam pelaksanaan akad nikah yang dilakukan melalui telepon, meskipun tempatnya terpisah, namun dalam mengucapkan akad nikah tetap dilaksanakan berkesinambungan ucapan antara wali (mempelai wanita) dengan mempelai pria. Lebih rinci dapat dikemukakan bahwa, untuk memastikan kebenaran gambar dan suara dari calon mempelai yang berada di Amerika (perkawinan melalui teleconference), sehingga tidak terjadi keraguan keabsahan perkawinan yang tidak dilaksanakan dalam satu majelis, maka dalam hal ini diperlukan7 : 1. Kedua belah pihak sudah mengenal sebelumnya dalam kurun waktu yang lama, guna memastikan kebenaran suara dan gambar. 2. Diadakan pengujian Pengujian ini dimaksudkan untuk menguji apakah suara atau gambar yang ada di telepon/televisi merupakan sebuah rekaman atau langsung. pengujian ini bisa dilakukan dengan cara melakukan percakapan berupa dialog dari kedua pihak yang berjauhan. Apabila terjadi dialog yang tidak saling bersambung maka patut untuk dicurigai kebenaran/keaslian bahwa suara ataupun gambarnya tidak langsung. Atau ada orang yang mengaku sebagai pasangan dari 7 Ibid Idha Aprilyana, Hlm. 74. 83 mempelai. 3. Peranan saksi Peranan saksi dalam suatu perkawinan selain sebagai seorang yang menyiarkan telah terjadinya suatu perkawinan, seorang saksi juga sangat berperan dalam membuktikan atau sebagai alat bukti jika terjadi pengingkaran terhadap perkawinan yang dilangsungkan. Oleh karena saksi menjadi penting dalam suatu perkawinan, terutama bagi perkawinan yang dilangsungkan secara jarak jauh. Maka untuk itu pulalah persyaratan menjadi seorang saksi menjadi bertambah. Selain saksi harus seiman, laki-laki, adil, dewasa, tidak terganggu ingatan dan tuna rungu (tuli) ataupun buta, tetapi saksi juga harus seorang yang benar-benar jujur dan dapat dipercaya. Sehingga saksi benar-benar mampu untuk mempertanggungjawabkan kebenaran dan keabsahan perkawinan yang dilakukan melalui media telepon ataupun teleconference (jarak jauh). Di dalam PP No.9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan telah diatur mengenai tata cara perkawinan, yaitu di dalam Pasal 10 yang berbunyi : (1) Perkawinan dilangsungkan setelah hari kesepuluh sejak pengumuman kehendak perkawinan oleh Pegawai Pencatat seperti yang dimaksud dalm Pasal 8 Peraturan Pemerintah ini. (2) Tatacara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing 84 agamanya dan kepercayaannya itu. (3) Dengan mengindahkan tatacara perkawinan menurut masing-masing hukum agamanya dan kepercayaannya itu, perkawinan dilaksanakan dihadapan Pegawai Pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi. Dan juga di dalam Pasal 11 yang berbunyi : (1) Sesaat sesudah dilangsungkannya perkawinan sesuai dengan ketentuanketentuan Pasal 10 Peraturan Pemerintah ini, kedua mempelai menandatangani akta perkawinan yang telah disiapkan oleh Pegawai Pencatat berdasarkan ketentuan yang berlaku. (2) Akta perkawinan yang telah ditandatangani oleh mempelai itu, selanjutnya ditandatangani pula oleh kedua saksi dan Pegawai Pencatat yang menghadiri perkawinan dan bagi yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, ditandatangani pula oleh wali nikah atau yang mewakilinya. (3) Dengan penandatanganan akta perkawinan, maka perkawinan telah tercatat secara resmi. Oleh karena perkawinan (melalui teleconfrence) telah dicatat oleh pegawai pencatat perkawinan pada waktu pelaksanaan ijab qabul atau akad nikah, namun hanya dalam hal penandatanganan Akta Nikah yang belum dilaksanakan secara sempurna. Hal ini akan dapat dilakukan penandatanganan oleh mempelai pria setelah kemudian ia pulang ke Indonesia, agar dapat dijadikan bukti yang sah menurut hukum positif, meskipun Akta Nikah tersebut hanya sebagai bukti administratif. 85 C. Kendala-kendala Perkawinan Melalui Media Teleconference. Perkawinan melalui teleconfrence pada prakteknya jarang dilakukan meskipun ada juga yang melakukan perkawinan demikian, hal itu semata-mata hanya karena keadaan yang sifatnya terpaksa harus dilakukan dengan cara demikian. Meskipun undang-undang tidak melarang perkawinan melalui teleconfrence, namun pelaksanaannya banyak menemui kendala-kendala, terutama tentang tata cara atau prosedur pelaksanaan perkawinannya. Sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa kehendak akan menikah harus lebih dulu diberitahukan kepada Pegawai Pencatat di tempat Perkawinan tersebut akan dilangsungkan, kemudian kehendak tersebut diumumkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan hingga 10 hari setelah pengumuman tersebut barulah perkawinan dapat dilaksanakan (Pasal 10 dan Pasal 11 PP No. 9 tahun 1975). Perkawinan dilaksanakan dihadapan Pegawai Pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi. Tetapi akan timbul kendala apabila perkawinan tersebut dilakukan melalui teleconfrence. Perkawinan melalui teleconfrence tata caranya juga harus berdasarkan Pasal 8, 10 dan Pasal 11 PP No. 9 tahun 1975, perbedaannya hanya dalam pelaksanaan perkawinan tersebut, yakni akad nikahnya melalui telepon. Dalam hal melakukan perkawinan melalui teleconfrence selain pengucapan akad nikah melalui telepon juga harus adanya saksi baik yang di Indonesia maupun yang di luar Indonesia (Amerika) serta penandatangan Akta Nikah yang berdasarkan Pasal 11 dikemukakan “sesaat setelah dilangsungkan perkawinan, kedua mempelai, wali 86 dan para saksi menandatangani Akta Nikah yang telah disiapkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan”. Penandatangan inilah yang menjadi kendala karena kedudukan kedua mempelai dan saksi yang terpisah satu sama lain. Maka hal inilah yang akan dapat menghambat kepastian hukum bagi kedua mempelai, karena dengan belum adanya salah satu tandatangan dari mempelai, Akta Nikah tersebut belum dapat dikatakan sempuna atau mempunyai kekuatan hukum. Meskipun perkawinannya sendiri dapat dikatakan sah menurut agama dan kepercayaannya. Akta Nikah tersebut akan dapat menjadi sempurna dan mempunyai kekuatan hukum apabila telah ditandatangani oleh kedua mempelai dan para saksi serta wali mempelai wanita. Meskipun Akta Nikah tersebut hanya bersifat administratif, namun keberadaannya dapat membuktikan bahwa mereka itu berstatus suami istri yang sah menurut hukum negara. Pencatatan perkawinan selain memiliki kekuatan hukum sebagai pembuktian status seseorang khususnya dalam segi keperdataannya, juga berdimensi kewajiban negara dalam pelayanan publik yaitu melakukan pencatatan dan menerbitkan akta perkawinan. Lebih lanjut lagi, dimensi hukum dalam ikatan perkawinan yang sah, akan membawa kedudukan anak-anak yang dilahirkan dalam perkawinan tersebut menjadi anak dalam perkawinan pula, bukan sekedar anak dari seorang perempuan. Antara anak dan kedua orang tua, dan atau suami dan istri memiliki hubungan hukum yang jelas, dan akibat-akibat hukum lainnya. Pengakuan negara atas keseluruhan peristiwa penting seperti perkawinan, kelahiran, kematian, perceraian, dan sebagainya tidak boleh dibeda-bedakan atau 87 diskriminatif atas dasar etnis, agama, status sosial seseorang dan lain-lain. Adanya penolakan pencatatan oleh pihak KUA terhadap perkawinan melalui telepon yang dilakukan oleh pasangan Aria dan Noer yang menjadi pembuka awal mulanya perkawinan melalui media telekonukasi (jarak jauh) menunjukkan bahwa instansi yang seharusnya menjadi pencatat peristiwa penting, justru menjadi lembaga yang menghakimi8. Hal itu sebenarnya karena kekurang pengetahuan para Pegawai Pencatat Perkawinan, oleh karenanya perkawinan melalui telepon ini perlu disosialisasikan kepada para Pegawai Pencatat Perkawinan, sehingga tidak akan ada lagi yang merasa dipersulit dalam hal akan melaksanakan perkawinan 8 Ibid Idha Aprilyana, hal 79 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil pembahasan yang dilakukan serta diperkuat dengan data-data yang ditemukan di lapangan terhadap penelitian yang mengangkat permasalahan mengenai perkawinan yang dilakukan melaui media telekomunikasi (telepon dan teleconference), maka kesimpulannya adalah sebagai berikut : 1. Perkawinan melalui pemanfaatan media telekomunikasi merupakan perkawinan yang sah menurut hukum islam. Sepanjang dilaksanakan sesuai ketentuan dalam perundang-undangan perkawinan (yang mengembalikan keabsahan perkawinan pada ketentuan hukum agama), maka sahnya perkawinan harus sesuai dengan ketentuan hukum agama. Berkaitan dengan disahkannya perkawinan melalui media telepon dan teleconference ini menunjukkan kefleksibelitas hukum agama (khususnya agama Islam) dalam mengatisipasi perkembangan jaman. 2. Perkawinan yang ijab-kabulnya dilakukan melalui media telepon dan atau teleconference adalah sah menurut hukum islam, apabila semua syarat formil dan materiil perkawinan yang diatur di dalam Undangundang Perkawinan telah terpenuhi. Karena hal ini cukup memperhatikan Undang-Undang 88 No.1 tahun 1974 tentang 89 Perkawinan, bila telah dipenuhi persyaratan secara agama, maka sah pulalah menurut hukum positif. 3. Dalam hal melakukan perkawinan melalui teleconfrence selain pengucapan akad nikah melalui telepon juga harus adanya saksi baik yang di Indonesia maupun yang di luar Indonesia (Amerika) serta penandatangan Akta Nikah yang berdasarkan Pasal 11 dikemukakan “sesaat setelah dilangsungkan perkawinan, kedua mempelai, wali dan para saksi menandatangani Akta Nikah yang telah disiapkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan”. Penandatangan inilah yang menjadi kendala karena kedudukan kedua mempelai dan saksi yang terpisah satu sama lain. Maka dalam hal ini dapat melihat kepada Pasal 56 ayat (2) Undang-undang Perkawinan yang mengatakan “Dalam waktu 1 (satu) tahun setelah suami isteri itu kembali di wilayah Indonesia, surat bukti perkawinan mereka harus didaftarkan di Kantor Pencatatan perkawinan tempat tinggal mereka”. Maka dapat disimpulkan penandatanganan Akta Nikah dapat dilakukan ketika kedua mempelai telah ada di Indonesia dalam jangka waktu satu tahun setelah kedua mempelai berada di wilayah Indonesia. 90 B. Saran Menyikapi kemungkinan terjadinya perkawinan melalui media telekomunikasi di masa depan yang dapat dan mungkin banyak dilakukan oleh masyarakat, maka hal-hal yang penting untuk tetap dipahami adalah perkawinan dengan memanfaatkan media telekomunikasi harus didasari oleh alasan atau keadaan yang benar-benar dapat diterima dan memungkinkan dilaksanakan akad melalui media telekomunikasi. Tetapi tetap mematuhi peraturan perkawinan yang telah jelas tercantum di dalam Undang-undang Perkawinan. Pemerintah melengkapi dan atau merevisi Undang-undang Perkawinan yang bisa dibilang tidak mengikuti perkembangan yang terjadi di dalam masyarakat. Sehingga tidak lagi terdapat kebingungan atau pertentangan tentang sah tidaknya perkawinan jarak jauh melalui media telekomunikasi secara hukum (tidak terdapat kekosongan hukum dalam Undang-undang Perkawinan). Setelah Undang-undang Perkawinan direvisi dan dilengkapi maka langkah selanjutnya yang harus dilakukan adalah pensosialisasian kepada masyarakat luas, para aparat hukum agar supaya diketahui secara luas bahwa perkawinan melalui media teleconference telah ada aturan tertulisnya dan dianggap sah oleh negara. Terutama kepada para petugas Pencatat Perkawinan supaya tidak terjadi masalah ketika Pencatatan Perkawinan dilakukan seperti yang terjadi pada kasus AriaNoer. DAFTAR PUSTAKA Abdurahman Al-Mukaffi, Pacaran Dalam Kacamata Islam, Media Dakwah, Jakarta, 1996. Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1995. Chuzaimah T. Yanggo dan Hafiz Anshary AZ. Problematika Hukum Islam Kontemporer. PT. Pustaka Firdaus, Jakarta, 1996. Djuhaendah Hasan, Hukum Keluarga : Setelah Berlakunya UU No. 1 Tahun 1974 (Menuju Ke Hukum Keluarga Nasional), Armico. Bandung, 1998. Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama., Mandar Maju, Bandung, 1990. Idha Aprilyana, Keabsahan Suatu Perkawinan Melalui Pemanfaatan Media Telekomunikasi Dihubungkan Dengan Penetapan Pengadilan Agama Jakarta Selatan Nomor 1751/P/1989 Tanggal 20 April 1990 Mengenai Sahnya Perkawinan Melalui Telepon, Skripsi, 1997. Iman Sudiyat, Hukum Adat : Sketsa Asas. Liberty, Yogyakarta, 1981. Kompilasi Hukum Islam. Loudoe, John R, Menemukan hukum melalui tafsir dan fakta., Bina Aksara. Lukas Tanutama, Pengantar Komunikasi Data, PT. Elex Media Komputindo, Jakarta, 1997. 91 92 Martimah Prodjohamidjojo, Tanya Jawab UU Perkawinan dan Peraturan Pelaksanaan, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 1991. M. Munandar Sulaeman, Ilmu Budaya Dasar , Suatu Pengantar, PT. Eesco, Bandung, 1995. Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-konsep Hukum Dalam Pembangungan, P.T. Alumni, Bandung, 2006. Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam. Bumi Aksara, Jakarta, 1996. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1990. R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Asis Safioedin, Hukum Orang dan Keluarga, Alumni, 1982. R. Soetojo Prawirohamidjojo, Pluralisme Dalam Perundang-undangan Perkawinan di Indonesia, Airlangga University Press, 1988. Santoso Sastropoetro, Komunikasi Internasional : Sarana Interaksi antar Bangsa, Alumni, Bandung, 1984. Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia,. UI-Press, Jakarta. 1986. Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, sebuah pengantar. Liberty, Yogyakarta, 2004. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. 93 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi. Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan Di Indonesia. Sumur Bandung, Jakarta,1960.