tinjauan hukum islam terhadap perkawinan

advertisement
TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP
PERKAWINAN TELECONFERENCE
Oleh :
DEDE YUSIPA
NIM : 103044128068
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA
PROGRAM STUDI AHWAL SYAKHSHIYAH
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1431H/2010 M
TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP
PERKAWINAN TELECONFERENCE
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh:
Dede Yusipa
NIM : 103044128068
Di Bawah Bimbingan
&e
Prof. Dr. Hasanuddin. AF. MA
NIP. 1500s0917
KONSENTRA SI PERADILAN AGAMA
PROGRAM STUDI AHWAL SYAKHSHIYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
t43t H/2011 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PERKAWINAN
TELECONFERENCE telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum
SKTiPSi Yang beTJudul
Universitas Islam Negeri
ini
ruf$
Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal
3l Maret20lL Skripsi
telah diterima sebagai salah sahr syarat memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.sy) pada
program studi Ahwal al-Syakhsiyyah.
Jakarta, 04 egustus 2011
Mengesahkan
/ -<<'D€kan F
yariah dan Hukum
NIP: 1955'0505 1982 0310
12
PANITIA UJIAN
Ketua
:
Sekretaris
Pembimbing
ly---...4....
Drs.H.A.BasiqDjalil. SH. MA
NIP : 19500306197 603 1001
: Hj..Rosdiana" MA
NIP : I 96906102003 122001
: Prof. Dr. Hasanuddin.AF
+
...........)
,,d'
MA
NIP : 150050917
Penguji
I
Penguji
II
: H. Jasir. SH. MH
NIP : I 94407 09196604 1 001
:
Hj. Rosdiana. MA
NIP : 196906102003 122001
(,
(
l#?,
KATA PENGANTAR
‫بسم اهلل الرّحمن الرّحيم‬
Puji syukur kepada Allah SWT, yang telah memberikan kenikmatan
berupa Ilmu kepada kita sebagai hamba-Nya, sehingga dengan ilmu itu kita bisa
membedakan kebaikan dan keburukan di atas bumi ini. Dan patutlah kalimat
Alhamdulillahi Rabbi Al-‘Alamin yang pertama kali terucap oleh penulis karena
penulis telah dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta Salam semoga
senantiasa dicurahkan kepada Rasulullah Muhammad SAW, keluarganya, para
sahabatnya serta para pengikutnya dan mudah-mudahan kita termasuk di
dalamnya.
Dalam penulisan skripsi ini, tidak sedikit kesulitan dan hambatan yang
penulis jumpai, namun syukur Alhamdulillah berkat rahmat dan dengan inayahNya serta kesungguhan, kerja keras dan kerja cerdas disertai dukungan dan
bantuan dari berbagai pihak, baik langsung maupun tidak langsung, segala
kesulitan dapat diatasi dengan sebaik-baiknya sehingga pada akhirnya skripsi ini
dapat diselesaikan.
Oleh sebab itu, sudah sepantasnya-lah pada kesempatan kali ini penulis
ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum, Prof. Dr. H. Muhammad Amin
Suma, SH, MA., MM
2. Prof. Dr. Hasanuddin, AF, MA, sebagai dosen pembimbing yang telah
banyak
meluangkan
waktunya
meyelesaikan skripsi ini.
ii
untuk
membantu
penulis
dalam
3. Ketua Program Studi Al-Akhwalu As-syakhsiyah, Drs. H. A. Basiq Djalil,
SH.,MA
4. Sekretaris Program Studi Al-Akhwalu As-syakhsiyah, Hj. Rosdiana. MA
5. Kepala unit perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan fasilitas kepada penulis
untuk mengadakan studi kepustakaan sehingga selesainya skripsi ini.
6. Ayahanda Drs. Wildan A. Yus dan Ibunda Hj. Fatimah Nurlaelis yang
senantiasa memberikan motivasi, arahan serta doa yang tiada hentihentinya dan bantuan moril maupun materiil.
7. Teman-teman diskusi Peradilan Agama Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta Angkatan 2003 Mudah-mudahan jalinan
persahabatan kita tak terhenti sampai di sini dan bisa terjalin sampai kapan
pun dan di manapun kita berada.
8. Muhammad Yusuf Daulay, Andreansyah Syafi’i, Firman Assalamsyah
sebagai sahabat pertama yang membantu penulis dalam berbagai
permasalahan, dan banyak lagi yang lainnya yang tidak bisa penulis
sebutkan satu-persatu.
9. Secara khusus, penulis haturkan terima kasih sebesar-besarnya kepada
adinda Heryani Arman, yang telah memberikan motivasi kepada penulis
dalam
menyelesaikan skripsi ini, terima kasih atas segala bantuanya,
Semoga Allah membalas kebaikannya.
Semoga amal baik semua dibalas oleh Allah SWT dengan balasan yang
berlipat ganda. Amin.
iii
Akhirnya, penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat, bagi
penulis khususnya dan bagi pembaca pada umumnya. Oleh karena itu, kritik dan
saran yang membangun senantiasa penulis harapkan untuk kesempurnaan skripsi
ini.
Jakarta, 1 Maret 2011
Penulis,
iv
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ....................................................................................
ii
DAFTAR ISI ..............................................................................................
v
BAB I
BAB II
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................................
1
B. Batasan dan Perumusan Masalah ...................................................
5
C. Maksud dan Tujuan Penelitian ...................................................
5
D. Kegunaan Penelitian……….………………………………………
6
E. Kerangka Pemikiran……………………………………………….
6
F. Metode Penelitian…………………………………………………
9
G. Sistematika Penulisan Skripsi..........................................................
12
TINJAUAN UMUM MENGENAI PERKAWINAN
A. Perkawinan Menurut Undang-Undang…........................................
14
B. Perkawinan Menurut Fiqih………………….……………………..
31
BAB III PERKAWINAN JARAK JAUH
A. Telekomunikasi Dan Perkembangannya………….........................
51
B. Pengaruh Telekomunikasi Terhadap Perkawinan Di Indonesia…
56
C. Perkawinan Teleconference Di Indonesia…...................................
62
v
BAB IV HUKUM PERKAWINAN TELECONFERENCE
A. Pengaturan Perkawinan Teleconference…..………………………
68
B. Prosedur Perkawinan Teleconference….………………………….
78
C. Kendala-kendala Perkawinan Media Teleconference…..…………
85
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ………………………………………………………..
88
B. Saran ………………………………………………………………
90
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................
vi
91
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia merupakan mahluk yang paling sempurna diciptakan oleh Tuhan
Yang Maha Esa, yang dikaruniai akal dan pikiran, kesempurnaan untuk berjalan
serta kemampuan berkomunikasi dan berbicara yang membedakan manusia
dengan mahluk lain yang ada di muka bumi ini.
Bertambahnya jumlah populasi manusia di muka bumi menyebabkan
tersebarnya manusia ke berbagai tempat yang dipisahkan oleh jarak, sedangkan
manusia itu sendiri merupakan mahluk sosial yang membutuhkan manusia lain di
sekitarnya, yang dalam persepsi sosiologis diartikan sebagai mahluk yang tidak
dapat hidup sendiri, oleh karena setiap manusia (secara individual) masing-masing
memiliki kelebihan dan kekurangan serta membutuhkan individu lain, untuk dapat
saling menutupi kekurangannya, sehingga timbul suatu motivasi agar sesama
manusia itu dapat saling mencintai antar sesamanya tanpa mempermasalahkan
perbedaan warna kulit, ras, etnis ataupun perbedaan fisik, dengan proporsi yang
seimbang dalam arti adanya penyeimbangan antara cinta pada diri sendiri dengan
cinta pada sesama manusia lain dengan membatasi penunjukan rasa cinta mereka.1
Rasa saling membutuhkan antar sesama manusia di ajarkan dalam agama
Islam, bahwa setiap manusia itu diciptakan hidup berpasangan, guna melengkapi
kekurangan dan membagi kelebihan yang dimiliki oleh masing-masing individu.
1
M. Munandar Sulaeman, Ilmu Budaya Dasar , Suatu Pengantar. PT. Eesco, Bandung.
1995. Hlm. 51
2
Setiap individu telah di gariskan takdirnya pasti mendapatkan pasangan hidup
masing-masing, akan tetapi tidak dengan jalan yang melanggar norma-norma
yang ada di dalam masyarakat, baik itu norma agama, kesopanan, kesusilaan
maupun norma hukum, melainkan dengan melangsungkan perkawinan sebagai
suatu ibadah.
Agama Islam memberikan suatu himbauan bagi semua manusia pada
umumnya dan umat Islam pada Khususnya, jika telah berkemampuan secara
jasmani maupun rohani serta lahir maupun batin, untuk melangsungkan
perkawinan sebagai jalan yang terbaik dalam membina suatu hubungan yang sah
dari adanya pergaulan hidup antar manusia, yang semakin menunjukkan adanya
kebebasan yang sebebas-bebasnya dalam pergaulan antara pria dan wanita,
walaupun pada masyarakat Indonesia itu yang adat istiadat sangat menjunjung
tinggi kesopanan dan kesusilaan dalam pergaulan hidup. Pengaruh globalisasi dan
keterbukaan informasi yang mengakibatkan masuknya nilai-nilai budaya barat
(yang sifatnya lebih objektif dengan penekanan kepada masalah rasio, berbeda
dengan budaya timur yang sangat menjunjung perasaan atau intuisi yang lebih
menekankan inti kepribadian pada hati)2, ke dalam beberapa sendi kehidupan
masyarakat Indonesia yang sedikit demi sedikit mengubah pola tatanan ketimuran
mengenai pentingnya makna dari suatu perkawinan.
Perkawinan, menurut pandangan masyarakat adat di Indonesia, merupakan
tahapan akhir atau stage along the life circle dalam rangkaian hidup seorang
manusia dan bersifat sangat sakral, sehingga dalam pelaksanannnya harus dilalui
2
Ibid M. Munandar Sulaeman,. hlm. 36-38
3
dengan tahapan-tahapan upacara pelepasan status atau sering disebut Rites de
Passage, hal ini tidak lain karena hakekat perkawinan sebagai penyatuan dua
keluarga besar, yang bertujuan untuk3 :
1. melangsungkan hidup kelompoknya secara tertib – teratur ;
2. melahirkan generasi baru sebagai pelanjut garis hidup kelompoknya.
3. meneruskan garis keluarga tertentu yang termasuk dalam persekutuan
tersebut.
Banyaknya tata cara dan atau aturan yang harus dilalui untuk mencapai
sahnya suatu perkawinan, menimbulkan pemikiran untuk menyederhanakan dan
membuat praktis. Keinginan kuat penyederhanaan sahnya perkawinan ini semakin
terwujud, dengan adanya perubahan sahnya perkawinan secara adat menjadi
secara agama. Sahnya suatu perkawinan secara agama semakin diperkuat dengan
keluarnya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, terutama Pasal 2 ayat (1) yang
berbunyi sebagai berikut :
“Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masingmasing agamanya dan kepercayaannya itu”
Berdasarkan pada ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang perkawinan (UU perkawinan) ini, maka suatu perkawinan itu
tidak akan ada, jika dilakukan di luar hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945. Setelah dilakukan
perkawinan sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1), segera dilanjutkan dengan
pencatatan perkawinan tidak hanya sebagai suatu bentuk tata tertib administrasi,
3
Iman Sudiyat, Hukum Adat : Sketsa Asas. Liberty, Yogyakarta, 1981, Hlm. 107
4
akan tetapi adanya pencatatan perkawinan ini membuktikan telah dilaksanakan
atau belum perbuatan hukum perkawinan yang ditentukan dalam ketentuan Pasal
2 ayat (1) tersebut di atas. Oleh karena itulah, pencatatan perkawinan sesuai
ketentuan Pasal 2 ayat (2) UU perkawinan ini, sangat penting kedudukannya
dalam hal terjadinya akibat hukum dari adanya perbuatan hukum perkawinan
tersebut.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan (2) tersebut, maka timbul
suatu hal yang menarik dalam masyarakat mengenai perkawinan dengan
memanfaatkan teknologi telekomunikasi khususnya media teleconference, suatu
hal yang dulu dirasakan tidak mungkin terjadi, akan tetapi pada saat ini telah
dapat dilakukan. Hal ini tidak terlepas dari semakin canggih dan berkembangnya
sarana teknologi telekomunikasi.
Fenomena menarik berkaitan dengan pemanfaatan media teleconference
dalam suatu perkawinan menimbulkan suatu kajian baru berkaitan dengan sah
atau tidaknya perkawinan yang dilangsungkan secara jarak jauh, yang mendorong
penulis melakukan penelitian mengenai : Tinjauan Hukum Islam Terhadap
Perkawinan Teleconference
5
B. Batasan dan Rumusan Masalah
1. Batasan Masalah
Agar pokok permasalahan dalam memahami skripsi ini tidak terlalu
meluas dan tetap pada jalurnya, penulis membatasi ruang lingkup pembahasan
dalam penulisan skripsi ini hanya berkisar pada “Hukum Perkawinan
Teleconference”.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan pada latar belakang penelitian tersebut maka dapat
dimunculkan rumusan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana status hukum bagi pernikahan Teleconference?
2. Bagaimanakah prosedur perkawinan yang dilakukan melalui media
teleconference?
3. Kendala-kendala apa saja yang timbul dalam pelaksanaan perkawinan
melalui media teleconference?
C. Maksud dan Tujuan Penelitian
Untuk memperoleh gambaran yang sesungguhnya tentang bagaimana
Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengatur tentang
perkawinan teleconference. Adapun tujuan dapat dirinci sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui sejauh mana Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan mengatur tentang perkawinan khususnya mengenai perkawinan
melalui media teleconference.
2. Untuk mengetahui prosedur perkawinan yang dilakukan dengan memanfaatkan
6
media teleconference secara hukum.
3. Untuk mengetahui kendala-kendala yang timbul dan bagaimana solusinya
dalam menangani kendala-kendala tersebut.
D. Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kegunaan dan manfaat bagi pihakpihak yang berkepentingan, baik secara :
1. Teoritis
Yaitu dalam rangka pengembangan llmu Hukum Perdata pada umumnya
dan Hukum Perkawinan pada khususnya
2. Praktis
a. Memberikan suatu masukan bagi instansi yang terkait dalam bidang
perkawinan dan juga masyarakat.
b. Memberikan suatu alternatif atau terobosan baru dalam pelaksanaan
proses perkawinan melalui media perantara.
c. Penelitian ini dapat berguna untuk bahan rujukan atau acuan untuk
penelitian yang diadakan berikutnya.
E. Kerangka Pemikiran
Berdasarkan penelitian yang berkaitan dengan adanya perkawinan melalui
pemanfaatan media teleconference, berlandaskan pada teori atau pemikiran yang
timbul dari Pasal 2 UU Perkawinan, pada ayat (1) dan (2) yang berbunyi :
7
(1)
Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing
masing agamanya dan kepercayaannya itu
(2)
Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang- undangan
yang berlaku.”
Selain kedua pasal di atas, landasan pemikiran lainnya adalah Pasal 10
Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 19754, khususnya pada ayat (3), yang
berbunyi:
“Dengan mengindahkan tatacara perkawinan menurut masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu, perkawinan dilaksanakan dihadapan pegawai
pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi”
Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) UU Perkawinan serta
Pasal 10 ayat (3) PP No. 9/1975 tersebut, dapat diambil suatu kesimpulan bahwa
peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perkawinan dan tatacara
perkawinan tidak menentukan dengan cara bagaimanakah perkawinan itu
harus
dilangsungkan,
karena
tidak
adanya
ketentuan
mengenai
cara
berlangsungnya suatu proses perkawinan, maka akan dapat dimunculkan dua
penafsiran,
yaitu
apakah
perkawinan
harus
dilangsungkan
dengan
mempertemukan kedua mempelai atau sebaliknya, bahwa proses perkawinan
dapat dilangsungkan tanpa perlu kedua mempelai bertemu langsung.
Untuk menjawab dua penafsiran di atas, jika mengacu pada ketentuan
pasal tersebut, hanya akan mendapat jawaban yang sama. Hal ini tidak lain,
karena Pasal 2 ayat (1) yang menentukan sahnya perkawinan hanya memberikan
4
Untuk selanjutnya disingkat menjadi PP No. 9/1975
8
arahan bahwa sahnya perkawinan itu kembali pada ketentuan hukum agama dan
kepercayaannya yang dianut oleh ara pihak yang bersangkutan, sedangkan
ketentuan Pasal 2 ayat (2) hanya merupakan ketentuan mengenai ketertiban
administrasi saja. Begitu pula halnya Pasal 10 ayat (3) PP No. 9/1975 hanya
menyatakan tatacara perkawinan dilangsungkan dihadapan Pegawai Pencatat dan
dihadiri oleh dua orang saksi. Dengan demikian, karena masalah sahnya
perkawinan itu kembali pada hukum agama, dapat dilihat pada agama islam,
memberikan persyaratan berupa adanya :
1. Calon mempelai pria dan wanita ;
2. Wali nikah ;
3. Saksi ;
4. Ijab-kabul
5. Mahar.
Keharusan
mengenai
ijab-kabul
atau
ucapan
janji
setia
secara
berkesinambungan yang kemudian menimbulkan penafsiran, bahwa proses
perkawinan harus dilangsungkan dalam satu majelis atau satu tempat yang tidak
terpisah oleh jarak. Namun jika dilakukan penafsiran terbalik, maka proses
perkawinan yang dilakukan dengan jarak atau di sela oleh suatu perantara tetaplah
memenuhi keempat keharusan tersebut di atas, hanya saja tidak dilakukan di satu
majelis.
Berkaitan dengan hal tersebut di atas maka dapat diketahui bahwa fungsi
hukum adalah melindungi kepentingan manusia, sehingga dengan demikian
9
penemuan hukum yang mengacu kepada kepentingan pencari keadilan lebih
diutamakan. Namun demikian Undang-undang tidak mengatur perkawinan
dengan tata cara melalui media teleconference, oleh karena itu terdapat
kekosongan hukum. Dalam hal kekosongan hukum yang demikian Mahkamah
Agung berpendapat :
“Bahwa tidaklah dapat dibenarkan kalau karena kekosongan hukum maka
kenyataan dan kebutuhan sosial seperti tersebut diatas dibiarkan tidak
terpecahkan secara hukum, karena membiarkan masalah tersebut berlarutlarut pasti akan menimbulkan dampak-dampak negatif di segi kehidupan
bermasyarakat
maupun
beragama
yang
berupa
penyelundupan-
penyelundupan nilai-nilai sosial maupun agama dan atau hukum positif,
maka Mahkamah Agung berpendapat haruslah dapat ditemukan dan
ditentukan hukumnya”.
F. Metode Penelitian
Dalam skripsi ini penulis menggunakan metode penelitian sebagai berikut:
1. Spesifikasi Penelitian
Penelitian yang digunakan dalam skripsi ini bersifat deskriptif analitis
yaitu menggambarkan dan menganalisis fakta-fakta apa adanya sesuai
dengan persoalan yang menjadi objek kajian penelitian5.
2. Metode Pendekatan
Metode Pendekatan utama yang dilakukan adalah metode penelitian
5
Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1990
Halaman 97-98
10
secara Yuridis Normatif yaitu penelitian hukum yang menggunakan
sumber data sekunder yang berupa penilaian kepustakaan, penelitian
yang menekankan pada ilmu hukum, berusaha menelaah kaidah-kaidah
hukum yang berlaku dalam masyarakat dan sebagai penunjang dilakukan
metode penelitian secara Normatif6.
3. Jenis Penelitian
Berkenaan dengan pendekatan yuridis normatif yang digunakan, maka
penelitian dilakukan melalui dua jenis penelitian :
a. Penelitian Kepustakaan
Hal ini dimaksud untuk mendapat data sekunder, yaitu :
1) Bahan-bahan hukum primer, berupa Undang-Undang No. 1
Tahun
1974
tentang
Perkawinan.Bahan-bahan
hukum
sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai
bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisa dan
memahami bahan hukum primer.
2) Bahan hukum sekunder ini berupa Peraturan Presiden, dan
sumber pendukung lainnya.
3) Bahan-bahan tersier, yaitu bahan-bahan yang memberikan
informasi tentang bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder, berupa kamus hukum, kamus bahasa inggris, kamus
bahasa Indonesia, surat kabar, internet.
6
Ibid Ronny Hanitijo Soemitro, Hlm 24
11
b. Alat Penelitian
Alat penelitian yang dimaksud adalah dalam hal peraturan perundangundangan tidak jelas, maka dipakailah metode interpretasi atau
metode penafsiran. Dalam hal ini penulis memakai metode
Interpretasi Teologis dan atau dinamakan juga interpretasi sosiologis,
metode ini dipakai apabila ketentuan undang-undang yang sudah
usang
digunakan
sebagai
sarana
untuk
memecahkan
atau
menyelesaikan sengketa yang terjadi sekarang, metode ini baru
digunakan apabila kata-kata dalam undang-undang dapat ditafsirkan
dengan pelbagai cara7.
4. Analisis Data
Dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan terhadap bahan-bahan
hukum primer (Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan) dan penelitian terhadap bahan-bahan hukum sekunder (buku,
majalah, makalah, surat kabar).
5. Metode Analisis Data
Dilakukan secara Normatif Kualitatif yaitu menganalisa masalah dari
data-data yang telah dikumpulkan yang berkenaan dengan masalah yang
sedang dibahas, lalu disusun permasalahannya dan selanjutnya dianalisa,
apakah undang-undang sudah benar-benar dilaksanakan oleh penegak
hukum.
7
Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, sebuah pengantar. Liberty, Yogyakarta.
2004. Hlm 61
12
6. Lokasi Penelitian
Guna menyelesaikan skripsi ini penulis melakukan penelitian-penelitian
sebagai berikut :
a. Perpustakaan.
b. Selain itu pun penulis juga melakukan penelitian dengan
browsing internet.
G. Sistematika Penulisan Skripsi
Untuk memberikan gambaran yang jelas dan terarah, maka diperlukan
suatu sistematika dalam penulisan skripsi. Oleh karena itu dalam sekripsi ini
sistematika penulisannya adalah sebagai berikut :
BAB I. PENDAHULUAN
Dalam bab ini dibahas latar belakang permasalahan, pembatasan dan
perumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, kajian pustaka, kerangka
konsep, metode penelitian dan tekhnik penulisan serta sistematika penulisan.
BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERKAWINAN
Dalam bab ini dibahas tentang tinjauan umum mengenai perkawinan yang
meliputi perkawinan menurut undang-undang dan perkawinan menurut fiqih.
BAB III PERKAWINAN JARAK JAUH
Bab ini menjelaskan tentang telekomunikasi dan perkembangannya,
pengaruh telekominikasi terhadap perkawinan di Indonesia dan perkawinan
teleconference di Indonesia.
13
BAB IV STATUS HUKUM PERKAWINAN TELECONFERENCE
Menjelaskan tentang pengaturan perkawinan teleconference, prosedur
perkawinan
teleconference
teleconference.
BAB V PENUTUP
Mencakup kesimpulan dan saran
DAFTAR PUSTAKA
dan
kendala-kendala
dalam
perkawinan
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN
A. Perkawinan Menurut Undang-Undang
1. Pengertian Perkawinan
Perkawinan merupakan hal yang penting dalam kaitannya dengan dasar
pembentukan keluarga yang sejahtera dan merupakan lembaga yang akan
menjamin halalnya pergaulan antara seorang pria dan wanita menjadi pasangan
suami dan istri, karena dapat melampiaskan seluruh rasa cinta dengan media yang
sah.1
Oleh karena pentingnya kedudukan perkawinan itu, maka pada saat
terbentuk dan diundangkannya undang-undang perkawinan yang bersifat nasional
yaitu Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang disahkan di
Jakarta pada tanggal 2 Januari 1974, memasukkan pengertian perkawinan pada
Bab I Pasal 1, yang berbunyi :
“Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa”
Berdasarkan pada pengertian perkawinan tersebut, maka perkawinan itu
mengandung unsur-unsur, yaitu :
a. Adanya landasan Ketuhanan Yang Maha Esa dalam membentuk
1
Abdurrahman Al-Mukaffi Pacaran Dalam Kacamata Islam, Media Dakwah, Jakarta, 1996,
hal. 38
14
15
sebuah keluarga ;
b. Adanya suatu ikatan, baik lahir maupun batin ;
c. Adanya subjek pelaku, yaitu antara seorang pria dan wanita ;
d. Adanya tujuan untuk membentuk rumah tangga yang bahagia dan
kekal, guna mewujudkan suatu keluarga.
Unsur-unsur yang terdapat dalam pengertian perkawinan tersebut dapat
dilihat dari 3 segi pandangan, yaitu :2
1. Segi agama, bahwa perkawinan itu merupakan lembaga yang suci, karena
adanya “ikatan batiniah” antara seorang pria dan wanita untuk membentuk
suatu keluarga;
2. Segi hukum, bahwa perkawinan itu merupakan suatu perjanjian atau
merupakan “ikatan lahir” yang terjadinya hubungan hukum atau formil
nyata bagi yang mengikatkan dirinya ataupun bagi orang lain;
3. Segi sosial, bahwa dengan adanya perkawinan akan lebih mendapat
kedudukan yang dihargai oleh masyarakat daripada yang belum
melangsungkan perkawinan.
Pengertian perkawinan dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, telah memberikan suatu ketentuan yang bersifat nasional. Dalam
kaitannya menyaring pelbagai persepsi yang selama ini berkembang dalam
membuat pengertian perkawinan yang timbul dari pluralisme hukum dalam
masyarakat Indonesia yang berkaitan dengan masalah hukum keluarga, khususnya
dalam hukum perkawinan. Pengertian perkawinan yang dimaksud adalah
2
Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia,. UI-Press, Jakarta. 1986. Hlm. 47-48
16
menurut:
a. Hukum Adat
Erat kaitannya dengan corak konkrit, kontan dan komunalnya bahwa
perkawinan adalah mempersatukan anggota warganya yaitu antara seorang
pria dan seorang wanita sebagai sarana untuk melangsungkan hidup
kelompoknya secara tertib, sarana untuk melahirkan generasi baru sebagai
pelanjut garis hidup kelompoknya dan juga sarana untuk meneruskan garis
keluarga dari suatu persekutuan.3
b. Hukum positif
Perkawinan adalah merupakan suatu hubungan hukum antara seorang pria
dengan seorang wanita untuk hidup bersama dengan kekal, yang diakui
oleh negara (pendapat Scholten dalam menterjemahkan pengertian
menurut BW).4
Walaupun terdapat perbedaan, akan tetapi semuanya memuat materi yang
sama dalam suatu pengertian perkawinan. Materi muatan yang mengandung
kesamaan tersebut adalah dalam hal :
1. Subjeknya harus antara pria dan wanita,
2. Timbulnya suatu ikatan,
3. Dalam proses pengikatannya harus dilakukan sesuai dengan ketentuan
atau peraturan yang berlaku dalam setiap sistem hukum tersebut,
sehingga terdapat suatu pengakuan atas ikatan yang timbul.
3
4
Iman Sudiyat, Hukum Adat : Sketsa Asas. Liberty, Yogyakarta, 1981, hal 78
R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Asis Safioedin, Hukum Orang dan Keluarga, Alumni,
1982,hal
63
17
Dengan demikian terlihat secara jelas bahwa kesamaan yang terdapat
dalam memberikan pengertian perkawinan itu telah pula diresepsi oleh undangundang perkawinan nasional yang diberlakukan bagi seluruh masyarakat
Indonesia.
2. Tujuan Perkawinan
Sehubungan dengan bunyi ketentuan Pasal 1 UU Perkawinan dapat dilihat
bahwa tujuan perkawinan adalah untuk :
“...membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”
Berdasarkan ketentuan di atas, maka tujuan perkawinan yang dimaksudkan
dalam Pasal 1 UU Perkawinan tersebut, meliputi beberapa aspek yang
dikehendaki, yaitu :
a. Perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga yang terdiri dari ayah, ibu
dan anak, sehingga kehadiran anak itu menimbulkan hubungan-hubungan
hukum dengan ayah maupun dengan ibu.
b. Untuk menempatkan kedudukan yang seimbang antara suami dan istri dalam
membentuk suatu rumah tangga, untuk itulah antara suami dan istri perlu dan
harus saling membantu dan melengkapi dengan maksud agar kedua belah pihak
dapat membantu dan mencapai kesejahteraan baik spirituil maupun materil.
c. Oleh karena bertujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, maka
tujuan lain yang dikehendaki adalah perkawinan yang berlangsung seumur
hidup dengan menghindari sebesar mungkin terjadinya perceraian dan
mempersulit terjadinya suatu perceraian.
18
3. Sahnya Perkawinan
UU perkawinan, yang memuat mengenai sahnya perkawinan secara
materiil dalam pasal 2 ayat (1) dan secara formil dalam pasal 2 ayat (2), maka
secara nasional mengenai sahnya perkawinan tersebut berlaku bagi seluruh
masyarakat Indonesia.
Menurut Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan sebagai syarat materil suatu
perkawinan, menentukan bahwa :
“Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum agamanya
masing-masing dan kepercayaannya itu”
Dengan perumusan pada Pasal 2 ayat (1) ini, tidak ada perkawinan diluar
hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, sesuai dengan Undangundang Dasar 1945. Yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya
dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku
bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan
atau tidak ditentukan lain dalam UU Perkawinan. Setelah perkawinan
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1), maka untuk selanjutnya
dilaksanakan pencatatan perkawinan sebagai syarat formil, sesuai dengan
ketentuan Pasal 2 ayat (2) yang berbunyi :
“Tiap-tiap Perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku”
Diberlakukannya undang-undang perkawinan yang bersifat nasional ini,
secara perlahan telah berpengaruh dalam hal proses perkawinan. Serta membatasi
berlakunya ketentuan hukum adat menyangkut perkawinan, apabila ada yang
19
bertentangan dengan ketentuan hukum agama dan ketentuan perundang-undangan
dalam bidang hukum agama. Oleh sebab itulah, hukum adat yang biasanya
berpengaruh dalam pelaksanaan proses perkawinan, semakin banyak ditinggalkan.
Kesulitan dalam pelaksanaan perkawinan menurut adat, serta besarnya pengaruh
hukum agama, yang kemudian diserap oleh undang-undang perkawinan
memperbesar pergeseran pelaksanaan proses perkawinan. Walaupun dalam
kenyataannya tidak mutlak hukum adat ditinggalkan, karena hukum adat sifatnya
fleksibel dan plastis sehingga mampu untuk menerima intervensi dari hukum
agama dan menyerap hukum agama tersebut (khususnya hukum agama Islam
yang telah lama diserap oleh hukum adat dalam kaitannya dengan perkawinan,
sehingga sahnya perkawinan dan syarat perkawinan menurut hukum agama juga
telah diresepsi oleh hukum adat). Adanya resepsi hukum adat dalam ke dalam
hukum agama (Islam) tidak menimbulkan perubahan yang besar atau drastis bagi
seorang pemeluk agama Islam yang juga memegang teguh hukum adatnya.
Untuk itulah, guna menghindari timbulnya persepsi yang berbeda
diharuskan adanya Hukum Negara yang ditetapkan oleh pihak yang berwajib
dengan syarat harus sinkron dengan hukum masing-masing agama dan
kepercayaan, sesuai dengan penjelasan Pasal 1 UU Perkawinan :
“Bahwa sebagai negara yang berdasarkan Pancasila, di mana sila yang
pertama ialah Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan mempunyai
hubungan yang erat sekali dengan Agama/kerokhanian, sehingga
perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir/jasmani, tetapi juga unsur
bathin/rokhani juga mempunyai peranan yang penting membentuk
20
keluarga yang bahagia rapat hubungan dengan keturunan, yang pula
merupakan tujuan perkawinan, pemeliharaan dan pendidikan menjadi hak
dan kewajiban orangtua.”
Juga seperti yang tercantum dalam butir ketiga dari penjelasan umum UU
Perkawinan, yang berbunyi :
“Sesuai dengan landasan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945,
maka Undang-undang ini di satu pihak harus dapat mewujudkan prinsip-prinsip
yang terkandung dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, sedangkan di
lain pihak harus dapat pula menampung segala kenyataan yang hidup dalam
masyarakat dewasa ini. Undang-undang Perkawinan ini telah menampung di
dalamnya
unsur-unsur
dan
ketentuan-ketentuan
Hukum
Agamanya
dan
Kepercayaannya itu dari yang bersangkutan.”
Terlepas dari adanya kelemahan Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan seperti
yang telah diuraikan di atas. Maka sudah menjadi ketentuan yang pasti, bahwa
sahnya suatu perkawinan harus dijalankan dengan agama masing-masing dan
kepercayaannya itu. Dalam hal ini terlihat bahwa hukum negara, yaitu UU
Perkawinan telah melakukan suatu bentuk sinkronisasi terhadap hukum agama
yang berlaku di masyarakat. Atau dengan kata lain, menyerahkan sepenuhnya
persyaratan yang timbul atau yang datangnya dari hukum agama dan
kepercayaannya selama tidak bertentangan dengan hukum negara yang ada.
Misalnya bagi penganut agama islam, untuk melangsungkan suatu pernikahan
harus memenuhi rukun dan syarat nikah sesuai dengan yang ditentukan dalam
agama Islam., maka hukum negara akan menguatkan atau mengukuhkan
21
perkawinan itu dengan mencatatkan perkawinan tersebut. Sesuai yang tercantum
pada Pasal 2 PP No.9 Tahun 1975, yaitu pada Kantor Urusan Agama (KUA) bagi
yang beragama Islam dan Kantor Catatan Sipil (KCS) bagi yang beragama di luar
agama Islam, sebagai suatu syarat administrasi guna mengadakan suatu tertib
administrasi bagi setiap perkawinan yang dilangsungkan.
Sahnya suatu perkawinan yang berdasarkan hukum agama, tidak akan
menimbulkan masalah jika kedua mempelai memiliki agama yang sama. Akan
tetapi akan timbul masalah jika terdapat perbedaan agama. Untuk mengatasi
permasalahan ini, maka Mahkamah Agung memberi kemungkinan, yaitu 5 adanya
musyawarah antara suami dan istri untuk memilih hukum agama yang
diberlakukan, sesuai dengan prinsip keseimbangan yang dianut dalam UU
Perkawinan.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka menurut UU Perkawinan, suatu
perkawinan dianggap sah :6
a. Diselenggarakan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya,
artinya perkawinan yang dilaksanakan menurut tata tertib aturan salah satu
agama, agama calon suami atau calon istri, bukan perkawinan yang
dilaksanakan oleh setiap agama yang dianut kedua calon suami istri dan atau
keluarganya7 ;
b. Dilaksanakan menurut tata tertib yang ditentukan oleh hukum masing-masing
5
Djuhaendah Hasan, Hukum Keluarga : Setelah Berlakunya UU No. 1 Tahun 1974 (Menuju
Ke Hukum KeluargaNasional), Armico. Bandung, 1998. Hlm. 60-62
6
Martimah Prodjohamidjojo, Tanya Jawab UU Perkawinan dan Peraturan Pelaksanaan,
PT. Pradnya Paramita Jakarta, 1991. Hlm. 23.
7
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat,
Hukum Agama., Mandar Maju Bandung, 1990. Hlm. 26-27.
22
agama dan kepercayaan ;
c. Dicatatkan menurut perundang-undangan, dengan dihadiri oleh pegawai
pencatat nikah.
4. Syarat Perkawinan
Suatu perkawinan yang sah, selain memenuhi ketentuan Pasal 2 ayat (1)
dan 2 ayat (2), maka harus pula memenuhi syarat-syarat perkawinan, baik materil
maupun formil, yang ditentukan oleh undang-undang. Syarat-syarat perkawinan
yang dimaksud adalah terdiri dari :
a. Syarat Materil (Menurut UU Perkawinan)
1. Perkawinan harus dengan persetujuan kedua mempelai (Pasal 6 ayat (1))
guna menghindari terjadinya pemaksaan perkawinan ;
2. Bagi seorang pria telah diizinkan melakukan perkawinan pada usia 19 tahun
sedangkan wanita 16 tahun (Pasal 7 ayat (1)), kecuali jika terdapat
penyimpangan dapat dimintakan dispensasi kepada Pengadilan atau pejabat
lain yang ditunjuk (Pasal 7 ayat (2)). Bagi yang berusia belum mencapai 21
tahun, sesuai ketentuan Pasal 6 ayat (1), harus mendapat izin dari kedua
orangtua (kecuali kalau salah seorang telah meninggal atau tidak mampu
menyatakan kehendak, maka dapat diwakilkan oleh orangtua yang masih
ada) atau wali (jika kedua orang tua sudah tidak ada).
3. Ketiadaan halangan perkawinan sesuai dengan ketentuan Pasal 8, yaitu
karena hubungan darah yang sangat dekat, hubungan semenda, hubungan
susuan, hubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan
23
dari istri (dalam hal poligami), hubungan yang oleh agamanya atau
peraturan lain yang berlaku terdapat suatu larangan.
4. Seseorang yang masih terikat perkawinan dengan orang lain, tidak dapat
kawin lagi kecuali karena izin Pengadilan, sesuai Pasal 9.
5. Suami istri yang melakukan cerai untuk kedua kalinya, maka tidak boleh
ada perkawinan lagi sepanjang tidak ditentukan lain oleh hukum agama dan
kepercayaannya, sesuai dengan Pasal 10.
6. Bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu
tunggu, untuk dapat melangsungkan perkawinan baru, sesuai ketentuan
Pasal 11.
b. Syarat Formil
Syarat formil ini berkaitan dengan hal mengenai tatacara pelaksanaan
perkawinan (Pasal 12 UU Perkawinan), yang diatur dalam Pasal 10 dan 11 PP.
No 9/1975.
5. Tatacara Perkawinan
Sejak diberlakukannya UU Perkawinan dan juga PP No. 9/1975, maka
perkawinan diatur dengan kedua ketentuan di atas. Termasuk dalam hal yang
berkaitan dengan tatacara perkawinan.
Tatacara perkawinan merupakan syarat formil dalam perkawinan. Dalam
kaitannya dengan syarat formil dalam suatu perkawinan, maka UU Perkawinan
maupun peraturan pelaksanaanya yaitu PP No. 9/1975, mengatur mengenai
tatacara perkawinan. Dengan tujuan supaya perkawinan sah secara hukum.
24
Ketentuan mengenai tatacara perkawinan dicantumkan dalam Pasal 12 UU
Perkawinan, yang berbunyi :
“Tata cara pelaksanaan perkawinan diatur dalam peraturan perundangundangan tersendiri”
Sehubungan dengan ketentuan yang telah diberikan UU Perkawinan, maka
ketentuan Pasal 12 UU Perkawinan, dilaksanakan melalui ketentuan PP. No.
9/1975, yang tercantum dalam Pasal 10, yang berbunyi :
1) Perkawinan dilangsungkan setelah hari kesepuluh sejak pengumuman
kehendak perkawinan oleh Pegawai Pencatat seperti yang dimaksud dalam
Pasal 8 Peraturan Pemerintah ini.
2) .Tatacara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya
dan kepercayaannya.
3) Dengan mengindahkan tatacara perkawinan menurut masing-masing hukum
agamnya dan kepercayaannya itu, perkawinan dilaksanakan dihadapan
Pegawai Pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi
Kemudian pada Pasal 11 menyebutkan :
1) Sesaat sesudah dilangsungkannya perkawinan sesuai dengan ketentuan pasal
10 Peraturan Pemerintah ini, kedua mempelai menandatangani akta
perkawinan yang telah disiapkan oleh Pegawai Pencatat berdasarkan
ketentuan yang berlaku.
2) Akta perkawinan yang telah ditandatangani oleh mempelai itu, selanjutnya
ditandatangani pula oleh kedua saksi dan Pegawai Pencatat yang menghadiri
perkawinan dan bagi yang melangsungkan menurut agama Islam,
25
ditandatangani pula oleh wali nikah atau yang mewakilinya.
3) Dengan penandatanganan akta perkawinan, maka perkawinan telah tercatat
secara resmi.
6. Pencatatan Perkawinan
Pencatatan perkawinan dalam pelaksanaanya diatur dengan PP. No.9/1975
dan Peraturan Menteri Agama No.3 dan 4 Tahun 1975 bab II Pasal 2 ayat (1)
No.9/1975.
mengenai
Pencatatan
Perkawinan
dari
mereka
yang
melangsungkannya menurut Agama Islam dilakukan oleh Pegawai Pencatat yang
diangkat oleh menteri Agama atau oleh Pegawai yang ditunjuk olehnya, sesuai
UU No. 32 Tahun 1954 tentang Nikah, Talak dan Rujuk. Pencatatan perkawinan
harus dilakukan oleh Pegawai Pencatat perkawinan dan juga setiap perkawinan
harus dilangsungkan di hadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat
Nikah, karena apabila suatu perkawinan dilakukan di luar pengawasan Pegawai
Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum sesuai dengan Pasal 5 dan
Pasal 6 Kompilasi Hukum Islam. Maka berkaitan dengan ketentuan undangundang tersebut, Kementrian Agama melaksanakan secara vertikal sampai dengan
KUA pada tingkat Kecamatan dalam kegiatannya untuk melaksanakan tugastugas sebagai Pencatat Perkawinan atau Pencatat Nikah, termasuk di dalam
tugasnya adalah Pencatatan Talak, Cerai dan Rujuk.
Bagi yang melakukan perkawinan dengan cara-cara yang ditentukan oleh
agama selain agama Islam, maka pencatatan perkawinannya dilakukan oleh
Pegawai Pencatatan Perkawinan pada KCS.
26
Sehubungan dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) UU
Perkawinan, mengenai sahnya perkawinan dan pencatatan perkawinan. Terdapat 2
golongan sarjana hukum yang memberikan penafsiran, yaitu8 :
a. Golongan Pertama
Golongan ini lebih cenderung menafsirkan untuk memisahkan antara
ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) UU Perkawinan. Oleh karena itulah
perkawinan adalah telah sah apabila perkawinan tersebut dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan hukum agama. Sedangkan pencatatan perkawinan
itu hanyalah merupakan bagian dari tertib administrasi. Atau dengan kata
lain suatu perkawinan yang tidak dicatatkan bukan merupakan suatu cacat
atau menyebabkan perkawinan menjadi tidak sah.
b. Golongan Kedua
Golongan ini cenderung memberikan penafsiran bahwa Pasal 2 ayat (1)
dan ayat (2) tidak hanya dipandang dari segi yuridis semata, tetapi juga
harus dipandang dari segi sosiologisnya. Oleh karena itulah, menurut
pendapat golongan kedua ini, ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) tidak
dapat dipisahkan sedemikian rupa karena merupakan satu kesatuan.
Terlepas dari adanya perbedaan pendapat terhadap penafsiran Pasal 2
tersebut, maka perbedaan ini pada dasarnya dapat diambil jalan tengahnya dengan
melihat dari sisi bahwa perkawinan itu merupakan suatu ikatan yang tentu saja
akan menimbulkan akibat-akibat, seperti :
1. Halalnya hubungan seksual antara seorang pria dan wanita sebagai suami
dan istri ;
2. Mahar (mas kawin) menjadi milik istri ;
3. Timbulnya hak-hak dan kewajiban-kewajiban suami maupun istri ;
4. Lahirnya anak-anak yang berstatus anak yang sah ;
5. Kewajiban suami dan istri untuk memelihara dan mendidik anak;
6. Hak bapak menjadi wali nikah bagi anak perempuannya ;
8
Idha Aprilyana, Keabsahan Suatu Perkawinan Melalui Pemanfaatan Media Telekomunikasi
Dihubungkan Dengan Penetapan Pengadilan Agama Jakarta Selatan Nomor 1751/P/1989
Tanggal 20 April 1990 Mengenai Sahnya Perkawinan Melalui Telepon, Skripsi, 1997., Hlm. 43
27
7. Hak saling mewarisi antara suami, istri maupun anak yang dilahirkan dari
perkawinan yang sah tersebut ;
8. Hak menjadi wali pengawas terhadap harta maupun anak-anak (kecuali
hak tersebut dicabut oleh Pengadilan), apabila salah seorang suami atau
istri meninggal dunia.
Sehubungan dengan banyaknya timbul akibat hukum dari suatu
perkawinan, maka perlu kiranya menjadi pertimbangan apabila perkawinan
tersebut tidak dicatatkan. Banyak contoh buruk akibat tidak dicatatkannya
perkawinan. Misalnya sebagai salah satu contoh kasus yang terjadi mengenai
hilangnya hak waris seorang anak dari perkawinan kedua, karena ketiadaan akta
nikah dari perkawinan ibunya (sebagai istri kedua) dan ayahnya.
Mengingat kemungkinan timbul hal-hal yang tidak diinginkan seperti di
atas, perlu kiranya untuk menghindari dilakukan perkawinan di bawah tangan atau
perkawinan yang tidak dicatatkan yang selama ini banyak terjadi di masyarakat.
Pentingnya pencatatan perkawinan ini dapat pula dikaji kembali dengan
mendasarkan pada ketentuan agama, dalam hal ini adalah agama Islam. Analogi
dari pentingnya pencatatan perkawinan ini terdapat dalam QS. Al-baqoroh :282,
yaitu tentang utang-piutang dan perjanjian dalam waktu yang lama dibutuhkan
kesaksian 2 (dua) orang saksi laki-laki yang adil dan dituliskan dengan seorang
penulis yang dipercayai. Kalimat “dituliskan” yang disebutkan dalam QS. Al
Baqarah : 282 tersebut, telah menekankan pentingnya pencatatan dalam suatu
utang piutang maupun perjanjian disamping 2 saksi dan wali.
28
Berdasarkan pada surah Al Baqarah : 282 tersebut, dapat dilihat bahwa
dalam suatu utang-piutang dan perjanjian yang terjadi dalam hitungan waktu saja,
harus pula dicatatkan. Apalagi suatu perkawinan yang merupakan suatu perjanjian
suci atau mitsaaghan ghaliizhan dan merupakan suatu perjanjian untuk waktu
yang lama (abadi). Selain itu tidak lain bahwa fungsi dari adanya pencatatan
perkawinan dalam suatu akta atau surat nikah adalah untuk mendapatkan
kepastian hukum bagi generasi yang akan datang.
Sesuai ketentuan Bab II PP No.9/1975, rangkaian kegiatan pelaksanaan
perkawinan sampai dengan pencatatan perkawinan itu, terdiri dari beberapa
tahapan, yaitu :
a). Pemberitahuan Perkawinan
Tahap ini merupakan tahapan pemberitahuan kehendak untuk menikah
kepada Pegawai Pencatat di wilayah tempat berlangsungnya perkawinan,
yang dilakukan 10 (sepuluh) hari sebelum perkawinan dilangsungkan.
Namun jangka waktu 10 (sepuluh) hari ini dapat dikecualikan karena
adanya alasan penting yang diberikan oleh camat atas nama Bupati Kepala
Daerah (dalam praktik langsung, persetujuan Camat tidak sering digunakan,
cukup dengan persetujuan Pegawai Pencatat bersangkutan). Pemberitahuan
ini dapat dilakukan secara lisan maupun tertulis oleh calon mempelai,
keluarga atau wakilnya, dengan memuat identitas dan keteranganketerangan lainnya (misal ; calon mempelai yang sudah pernah menikah
harus pula mencantumkan nama suami atau istri terdahulunya).
29
b). Pemeriksaan oleh Pegawai Pencatat
Tahapan ini merupakan tahapan pemeriksaan terhadap syarat-syarat
perkawinan dan kemungkinan terjadinya halangan perkawinan. Selain itu
dilakukan pemeriksaan terhadap kutipan akta lahir calon mempelai,
identitas orangtua, izin tertulis dari pengadilan (apabila calon mempelai
melakukan perkawinan poligami atau karena di bawah usia 21 tahun),
surat kematian dari suami-istri terdahulu, izin Menhankam/Pangab apabila
salah seorang mempelai atau keduanya anggota Angkatan Bersenjata, serta
surat kuasa otentik atau di bawah tangan apabila terjadi perkawinan
mewakilkan atau perkawinan yang tidak dihadiri oleh salah seorang calon
mempelai.
c). Pengumuman Kehendak Nikah
Pengumuman ini dilakukan setelah terpenuhi semua persyaratan serta
tidak terdapat halangan terhadap perkawinan yang akan dilangsungkan.
Pengumuman kehendak nikah ini dilakukan dengan cara menempelkan
surat pengumuman menurut formulir yang telah ditetapkan oleh Kantor
Pencatatan Perkawinan yang kemudian ditempatkan pada tempat yang
telah ditentukan dan mudah dibaca oleh umum.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 9 PP No.9/1975, maka Pengumuman ini
disertai dengan identitas calon mempelai dan orangtua calon mempelai,
serta hari, tanggal, jam dan tempat perkawinan yang akan dilangsungkan.
Surat pengumuman ini tidak boleh diambil ataupun dirobek selama 10
(sepuluh) hari sejak ditempelkan, sesuai dengan ketentuan Pasal 8 dan 9
30
PP No.9/1975 jo. Pasal 10 PMA No.3 Tahun 1975.
d). Pencatatan Perkawinan
Apabila semua prosedur diatas telah terpenuhi, maka pelaksanaan
perkawinan dilangsungkan setelah hari kesepuluh sejak diumumkan
pengumuman kehendak nikah. Hal ini dilakukan untuk memberikan
kesempatan bagi pihak ketiga yang hendak mengajukan keberatan dan
memohon untuk dilakukan pencegahan perkawinan, dengan catatan
pencegahan yang hendak dilakukan harus terlebih dulu diberitahukan pada
Pegawai Pencatat. Yang nantinya memberitahukan pada para calon
mempelai dan kemudian dapat diajukan ke Pengadilan pada daerah hukum
tempat dilangsungkannya perkawinan. Sesaat setelah perkawinan yang
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan agama yang dianut oleh calon
mempelai dan keluarga, serta dilakukan di hadapan Pegawai Pencatat dan
dihadiri dua (2) orang saksi. Maka dilakukan pencatatan perkawinan
dengan menandatangani akta perkawinan yang telah ditetapkan oleh
Pegawai Pencatat Perkawinan, yang juga ditandatangani oleh saksi-saksi,
wali nikah dan Pegawai Pencatatnya sendiri. Setelah selesainya
keseluruhan penandatanganan, maka secara resmi pula perkawinan yang
dilangsungkan tercatat. Akta Perkawinan merupakan sebuah Daftar Besar,
yang memuat identitas pada pihak yaitu mempelai (suami dan istri), wali
nikah, orangtua mempelai (suami dan istri), saksi-saksi, wakil atau kuasa
jika perkawinan dilakukan dengan seorang kuasa serta mencantumkan pula
surat-surat yang diperlukan lainnya seperti izin kawin, izin dari
31
Menhamkan/Pangab, sesuai dengan ketentuan Pasal 12 PP No.9/1975.
Akta perkawinan ini dibuat rangkap dua, yang akan dipegang oleh Kantor
Pencatatan
Perkawinan
dan
Pengadilan
yang
daerah
hukumnya
mewilayahi pula wilayah Kantor Pencatatan Perkawinan tersebut. Bagi
suami dan istri sendiri, akan diberikan berupa salinan akta yang disebut
buku nikah. Buku nikah hanya memuat catatan yang sifatnya penting, akan
tetapi buku nikah ini juga mempunyai kekuatan pembuktian yang sifatnya
otentik bagi para pihak yang bersangkutan, oleh karena dibuat oleh
Pegawai Umum.
B. PERKAWINAN MENURUT FIQIH
1. Pengertian Nikah secara Bahasa
Para ulama' berbeda pendapat mengenai pengertian nikah secara bahasa.
Al-'A'sya' berpendapat bahwa kata )‫ (ّنخ‬bermakna )‫ (ذضوّج‬Al-Azhary menguatkan
pendapat ini dengan menyatakan bahwa makna kata )‫ (ّنخ‬adalah )‫ (ذضوّج‬Seperti
dalam Firman-Nya:
.....‫ اىضاّي ال ينكح إال ص اّيح ومزىل واىضاّيح ال ينكها إال صاُ أوٍششك‬...
Sehingga takwil ayat tersebut menjadi seperti ini:
..... ‫اليتزوج اىضاّي إال اىضاّيح ومزىل اىضاّيح ال يتزوجها إال اىضاّي‬....
Dijumpai pula pendapat yang menyatakan bahwa makna )‫ (اىْناح‬yang terdapat
pada ayat ini adalah )‫ (اىىطء‬Sehingga takwilnya menjadi seperti ini:
...... ُ‫ ال يطا إال صاّيح ال يطؤها إال صا‬....
32
Tapi menurut Al-Azhary pendapat tersebut harus dijauhi, karena setiap
ayat dalam Al-Quran yang memuat kata )‫ (اىْناح‬ini selalu bermakna )‫(اىرضوج‬
Seperti dalam Firman-Nya pula:
....... ٌ‫ وأنكحىا األ ياٍى ٍزم‬.....
Tidak ada keraguan mengenai pengertian kata )‫(اىْناح‬
di sini yang
bermakna )‫ (اىرضوج‬Al-Azhary juga menyatakan bahwa secara asal memang orang
Arab memakai kata )‫ (اىْناح‬untuk maksud )‫ (اىىطء‬Dan sebaliknya, kata )‫(ذضوّج‬
bermakna )‫ (ّناح‬karena dengan melaksanakan akad )‫ (ذضوّج‬menjadi sebab
halalnya Bersenggama )‫(اىىطء‬
Lalu ada pendapat lain yang datang dari Al-Jauhary. Menurut beliau,
makna )‫ (اىْناح‬adalah )‫ (اىىطء‬Sedangkan makna ‫ اىعقذ‬dipakai apabila konteks
kalimatnya memberikan qarinah kepada makna tersebut.
2. Pengertian Nikah secara Istilah
Secara istilah, pengertian nikah , ulama' berselisih paham. Berikut adalah
pendapat para Imam Madzhab tentang pengertian nikah:
a. Golongan Hanafiyah berpendapat bahwa pengertian nikah adalah:
‫اىْناح تأّه عقذ يفيذ ٍيل اىَرعح قصذا‬
"Nikah
itu
adalah
akad
yang
berguna
untuk
menguasai
dan
bersenangsenang dengan sengaja".
b. Lalu golongan Syafi'iyah mendefinisikan nikah sebagai:
‫اىْناح تأّه عقذ يرضَِ ٍيل وطء تيفظ اىْناح أو ذضويج أوٍعْا ٍعزا هَا‬
33
"Nikah adalah akad yang mengandung hak watha' dengan lafaz nikah
atau tazwij atau kata yang semakna dengan dua kata tersebut".
c. Kemudian golongan Malikiyah memberikan pengertian nikah sebagai:
‫ اىخ‬.... ‫اىْناح تأّه عقذ عيى ٍجشد ٍرعح اىريز ر‬
"Nikah adalah akad yang semata-mata membolehkan bersenang-senang
(dengan wanita)...dst"
d. Selanjutnya golongan Hanabilah memberikan definisi nikah sebagai:
‫هى عقذ تيفظ اىْناح أوذضويج عيى ٍرقعح اال سرَراع‬
"Nikah adalah akad (dengan memakai) lafaz nikah atau tazwij atas guna
bersenang-senang/ menikmati (wanita)6".
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa para ulama' zaman
dahulu memandang nikah hanya dari satu segi saja, yaitu kebolehan hukum antara
seorang laki-laki dengan seorang wanita untuk berhubungan yang semula
dilarang. Mereka tidak memperhatikan tujuan, akibat atau pengaruh nikah tersebut
terhadap hak dan kewajiban suami isteri yang timbul.9
Berbeda pula dengan ulama' mutaakhirin. Mereka mendefinisikan nikah
dengan memasukkan unsur hak dan kewajiban suami isteri. Selain itu, mereka
juga memasukkan unsur tujuan pernikahan, yaitu membentuk keluarga dan
memperoleh keturunan. Seperti pengertian yang dikemukakan oleh Muhammad
Abu Ishrah berikut ini:
ٍِ ‫عقذ يفيذ عششج تيِ اىشجو واىَشأج وذعاوّهَا ويجذ ٍا ىنيهَا ٍِ دقىق وٍا عييه‬
‫واجثاخ‬
9
Djamaan Nuur, Fiqh Munakahat, Dina Utama, Semarang, tt, hlm. 3
34
"Nikah adalah akad yang memberikan faedah hukum kebolehan mengadakan
hubungan keluarga (suami isteri) antara pria dan wanita dan mengadakan
tolong-menolong serta memberi batas hak bagi pemiliknya dan pemenuhan
kewajiban masing-masing".10
Dan pengertian yang dilontarkan oleh Syaikh Shalih Al-Utsaimin berikut ini:.
‫عقذ يعصذته اإلصدواج تيِ سجو واٍشاج ىال سرَراع واىعششجو اإليالد‬
"Nikah adalah akad yang bertujuan untuk mengumpulkan/ menjodohkan
antara laki-laki dan wanita untuk saling menikmati, membangun keluarga dan
memperoleh keturunan".11
3.
Nash-nash Pensyari’atan perkawinan
Ulama' bersepakat tentang pensyariatan perkawinan dalam Islam. Berikut
ini adalah nash-nash dari Al-Quran dan Al-Hadits yang memiliki kandungan
syariat perkawinan dalam Islam:
             
       
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaanNya, ialah Dia menciptakan untukmu
isteri-isteri dari jenismu sendiri supaya, kamu cenderung dan merasa
tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi
kaum yang berfikir.”(QS. Ar-Ruum:21)
               
             
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah
wanitawanita (lain) yang kamu senangi; dua, tiga atau empat. Kemudian jika
kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja,
10
11
Ibid Djamaan Nuur, hlm 4
Al-Utsaimin, At-Tafsir wa Ushuluhu, Wizarah At-Ta'lim Al-Aly, Riyadh, 1980, hal. 63
35
atau budakbudak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat
kepada tidak berbuat aniaya.”(QS. An-Nisaa':3)
            
     
“Dan kawinilah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orangorang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki
danhamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan
memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas
(pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. An-Nuur:32)
‫ياٍعششاىشثاب ٍِ اسرطاع ٍْنٌ اىثاءج فييرضوج وٍِ ىٌ يسرطع فعييه تاىصىً فائه ىه وجاء‬
“Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian yang sanggup untuk
menikah, maka menikahlah. Dan barangsiapa yang tidak sanggup maka
berpuasalah, karena (puasa) itu (adalah sebagai) penahan baginya”.
(HR.Bukhary No. 4778)
‫ ىنْي أصيى وأّاً واصىً وأذضوج اىْساء فٌَ سغة عِ سْري فييس ٍْي‬...
“Sedangkan aku shalat, aku tidur, aku puasa, aku berbuka, aku menikahi
wanita, maka barangsiapa yang membenci sunnahku bukanlah termasuk
umatku.”(HR. Muslim No. 1401)
ٌٍ‫ذضوجىا اىىدود اىىىىد فإّي ٍناثش تنٌ األ‬
“Nikahilah perempuan yang penyayang dan subur, karena aku akan menjadi
umat yang paling banyak dengan kalian.” (HR. Abu Daud No. 2050)
4. Rukun Perakawinan
Pada dasarnya, sebuah perkawinan terbangun atas dua hal, yang tanpa dua
hal ini maka sebuah perkawinan tidak akan sempurna dan terwujud. Hal yang
pertama adalah ijab, yaitu lafadz yang diucapkan oleh wali atau orang yang
mewakilinya. Dan yang kedua adalah qabul, yaitu lafadz yang diucapkan oleh
36
calon suami atau yang mewakilinya. Dan ini menurut kalangan Hanafy.12 Kedua
hal ini memerlukan lagi satu hal, sehingga sebuah akad perkawinan terdiri dari
tiga unsur, dua yang pertama adalah unsur yang kongkrit dan nampak, yaitu ijab
dan qabul, sedangkan unsur terakhir yang abstrak dan tak nampak adalah
keterikatan antara ijab dan qabul.
Sebelum memaparkan rukun perkawinan, perlu diberikan arti dari rukun
itu sendiri. Pengertian rukun adalah: “Sesuatu yang hakikat syariat tidak terwujud
kecuali dengannya”.13
Kemudian, berikut ini adalah berbagai pendapat mengenai rukun perkawinan :
a. Menurut Madzhab Maliki
Menurut madzhab Maliki, rukun perkawinan terdiri dari lima perkara, yaitu:
 Wali si perempuan. Sehingga, sebuah perkawinan tidak sah tanpa wali.
 As-Shadaq (mahar). Yaitu pemberian sukarela yang mutlak dan harus ada
dalam sebuah perkawinan. Tapi penyebutannya tidak disyaratkan ketika
dilangsungkannya akad.
 Calon suami.
 Calon istri yang terbebas dari larangan syariat. Semisal: ihram dan iddah.
 Sighat, yaitu kalimat ijab qabul. Jadi, sebuah akad perkawinan haruslah
terdiri atas 'aaqidain (dua pelaku akad); yakni calon suami dan wali si
perempuan, maq'ud alaihi (obyek yang diakadkan); yakni si perempuan dan
mahar -walaupun tidak mengapa apabila tidak disebutkan, karena mahar
12
Al-Jaziri, Al-Fiqh 'Ala Madzahib Al-Arba'ah, Al-Maktabah As-Syamilah Ver. 1.0, jilid 4
hal. 11
13
Ibid Al-Jaziri, hal. 11
37
adalah sebuah kelaziman sebuah perkawinan dan yang terakhir adalah
sighat yang berupa lafadz khusus yang dengannya akad sebuah perkawinan
diwujudkan menurut syariat Islam. Ada pula dijumpai pendapat yang
menyatakan bahwa shadaq (mahar) tidak termasuk rukun, juga tidak
termasuk syarat, karena sebuah akad tetap sah tanpa keberadaannya.14
b. Menurut Madzhab Syafi'i
Sedangkan menurut kalangan Syafi'iyah, mereka berpendapat bahwa rukun
perkawinan ada lima, yaitu: calon suami, calon istri, wali calon istri, dua saksi dan
sighat. Dan ada pula pendapat yang menganggap bahwa dua saksi adalah syarat,
bukan rukun, dengan beralasan bahwa keberadaan dua saksi itu keluar dari
hakikat akad.15
5. Syarat Perkawinan
Perkawinan mempunyai syarat-syarat tertentu. Kadangkala keberadaan
syarat ini dihitung sebagai rukun bagi sebagian madzhab dan kadang-kadang
sebagian madzhab memasukkannya sebagai syarat. Penjelasan lebih lanjut akan
dipaparkan berikut ini:
a. Menurut Madzhab Hanafi
Menurut kalangan Hanafiyah, perkawinan mempunyai syarat-syarat yang
14
15
Ibid Al-Jaziri hal 11
Ibid Al-Jaziri hal 11
38
terkait dengan tiga hal, yakni sighat, pelaku akad dan saksi.
1. Syarat Sighat Akad
Menurut madzhab Hanafy, nikah dianggap sah bila sighat akad
memenuhi kriteria sebagai berikut:
Memakai lafadz khusus, baik sharih (kata yang jelas) atau kinayah (kata
kiasan). Lafadz sharih yang jamak dipakai dalam sebuah perkawinan adalah
kata )‫ (ذضويج‬Atau )‫ (اىْناح‬Sedangkan apabila memakai lafadz kinayah, maka
disyaratkan lafadz tersebut terucap dibarengi niat dan maksud untuk
menikahkan, serta ada qarinah (bukti) atas niat tersebut. Dan disyaratkan pula
para saksi paham maksud lafadz kinayah tersebut. Berikut ini adalah empat
macam dan jenis kinayah:

Lafadz kinayah tanpa perselisihan atas keabsahan akad dengannya,
yaitu kata-kata )‫ (ىصذقح) (اىجعو‬،)‫ (اىهيح‬dan )‫(اىجعو‬

Lafadz kinayah dengan perselisihan atas keabsahan akad dengannya,
yaitu kata-kata )‫ (اىششاء‬dan )‫(اىثيع‬

Lafadz kinayah dengan perselisihan atas kebatilan akad dengannya,
yaitu kata- kata )‫ (اىىصيح‬dan )‫(اإل يجاسج‬

Lafadz kinayah tanpa perselisihan atas kebatilan akad dengannya, yaitu
katakata )‫ (اإلداله‬,)ِ‫ (اىشه‬,)‫ (اىرَرع‬,)‫ (اإلقاىح‬,)‫ (اىخيع‬,)‫ (اإلعاسج‬dan
)‫(اإلتادح‬
Lalu syarat sighat selanjutnya adalah

Sighat akad berupa ijab qabul harus ada dalam satu majelis. Tidak ada
39
perselisihan antara konteks ijab dan qabul. Misal: Seorang wali
mengucapkan akad, “Aku nikahkan engkau dengan putriku dengan
mahar 1000 dirham”, lalu si calon suami menjawab, “Aku terima
nikahnya, dan aku tidak menerima mahar sejumlah itu”, maka akad
seperti ini tidak sah.

Sighat akad harus bisa didengar oleh kedua pelaku akad. Harus ada
kepastian bahwa kedua pihak pelaku akad mendengar lafadz masingmasing secara hakikat (berbentuk suara bila si pelaku akad hadir) atau
secara tertulis (bila si pelaku akad ghaib). Karena pembacaan akad
tertulis dapat menjadi ganti lafadz yang diucapkan/ dibunyikan.

Sighat tidak boleh terikat waktu. Misal: bila seorang laki-laki
mengucapkan, aku nikahi kamu sebulan dengan mahar sekian, lalu si
perempuan menjawab, aku kau nikahi, maka hal ini batil, dan ini
adalah nikah mut'ah.
2. Syarat untuk Pelaku Akad

Berakal. Dengan ini maka tidak sah akad orang gila atau anak kecil.

Baligh dan merdeka.

Khusus untuk calon istri, sedang dalam keadaan halal dinikahi dan
melakukan akad. Misal: tidak sedang berakad dengan orang lain, tidak
dalam keadaan iddah, tidak berstatus sebagai istri orang.

Untuk suami dan istri, disyaratkan jelas identitasnya. Misal: Seorang
bapak mempunyai dua putri, lalu ia menikahkan salah satu putrinya
tanpa menyebutkan nama, maka akad seperti ini tidak sah. Kecuali bila
40
salah satu nya sudah menikah, maka yang dimaksudkan tentu putrinya
yang belum menikah. Misal lain: Seorang bapak yang mempunyai
putri bernama Fatimah, tapi ketika mengakadkan putrinya tersebut
dengan nama Aisyah, maka akad tidak sah.

Menyandarkan sighat kepada kata perempuan atau bagian tubuh yang
mewakili seluruh tubuh (semisal kepala atau leher). Selain itu maka
tidak sah. Misal: Seorang wali berakad dengan kalimat “Aku nikahkan
engkau dengan tangan anakku”, maka akadnya tidak sah.
3. Syarat untuk Saksi

Saksi harus berjumlah dua orang, tidak sah bila kurang dari itu. Tidak
disyaratkan harus dua laki-laki, tapi sah bila saksinya satu laki-laki
disertai dua perempuan. Hal ini karena sebuah perkawinan tidak sah
bila disaksikan dengan dua perempuan saja, karena itu harus ada
seorang laki-laki yang menyertai dua perempuan itu. Tidak disyaratkan
saksi tidak sedang ihram. Maka akad tetap sah bila saksi sedang ihram.

Saksi secara personal harus memenuhi kriteria berikut, yakni: berakal,
baligh, merdeka dan beragama Islam. Maka akad tidak sah dengan
kesaksian orang gila atau anak kecil maupun budak. Akad tidak sah
pula bila disaksikan kafir dzimmy, kecuali saksi kafir dzimmy tersebut
perempuan, maka tidak mengapa selama ada saksi laki-laki yang
muslim. Bila hal ini terjadi maka akad sah, baik dua saksi kafir dzimmy
tersebut mempunyai agama yang sama atau berbeda. Akad boleh
disaksikan oleh orang buta atau orang yang mendapat had akibat
41
menuduh atau berzina.Akad nikah seorang perempuan boleh
disaksikan oleh dua anak kandungnya. Dan dengan dikiaskan dengan
hal ini, maka boleh pula disaksikan dengan hubungan ke atas anak
(bapak/kakek) dan ke bawah (cucu). Perlu diketahui bahwa saksi
dihadirkan untuk menyaksikan dua hal yaitu keberadaan akad dan hal
isbat. Mengenai keberadaan akad, maka kesaksian dapat dilakukan
oleh orang buta, orang fasik maupun bapak dan anak. Tapi kesaksian
untuk pengisbatan nikah tidak dapat dipenuhi oleh orang-orang
tersebut di atas, dan harus dilakukan oleh orang lain. Misal: bila
seorang laki-laki mewakilkan nikahnya pada orang lain, maka si wakil
yang melakukan akad ini dapat dianggap merangkap sebagai saksi
(saksi isbat akad), dan si wali dapat dianggap merangkap sebagai saksi
pula (saksi keberadaan akad), maka akad semacam ini sah.

Saksi harus mampu mendengar ucapan akad kedua pihak. Maka
kesaksian orang tidur tidak sah. Akad juga sah bila disaksikan orang
bisu selama mereka mendengar dan paham. Tidak disyaratkan bagi
para saksi tersebut untuk paham lafadz akad secara khusus, selama
mereka mengetahui bahwa yang sedang mereka dengar adalah lafadz
yang dimaksudkan untuk akad.

Perkawinan orang Arab sah dengan saksi orang 'Ajam (non Arab),
selama mereka mengerti lafadz ijab qabul. Bahkan kesaksian orang
mabuk atas sebuah akad dianggap sah, bila ia tahu yang sedang ia
saksikan adalah akad.
42

Khiyar dalam perkawinan bukan merupakan syarat. Akad tetap sah
walau ada perasaan tidak suka dari suami atau istri. Perkawinan
mempunyai sifat yang sama seperti perceraian dan memerdekakan
budak, tidak membutuhkan kerelaan dan kesungguh-sungguhan. Jadi
akad dianggap sah walau dilakukan dengan bercanda.16
b. Menurut Madzhab Syafi'i
Menurut kalangan Syafi'iyah, syarat-syarat perkawinan terkait dengan
empat hal, yakni sighat, wali, kedua mempelai dan saksi-saksi.
1. Syarat untuk Sighat
Syarat untuk sighat ada tiga belas macam seperti dalam sighat jual beli,
diantaranya adalah:

Tidak bergantung dengan syarat lain. Misal: sighat akad “Aku
nikahkan kamu dengan putriku bila kamu memberiku rumah”, maka
akad semacam ini tidak sah.

Tidak boleh terikat dengan waktu. Misal: sighat akad “Aku nikahi
kamu sekian bulan”, maka akad ini tidak boleh karena termasuk dalam
nikah mut'ah. Perkawinan ini jelas terlarang seperti yang tercantum
dalam hadits muttafaq alaihi.

Tambahan syarat yang membedakan sighat jual beli dengan sighat
akad nikah yakni keharusan pemakaian lafadz )‫ (ذضويج‬atau )‫( اىْناح‬
16
Ibid Al-Jaziri hal 13
43
Seperti dalam sighat berikut: ) ‫ (أّنذرل ٍىميري‬dan ) ‫ (صوجرل اتْري‬Tapi
pemakaian dua lafadz tersebut tidak boleh dalam bentuk mudhari'
(kata kerja sedang/akan), karena mengandung unsur janji di dalamnya.
Hal ini seperti yang terdapat dalam sighat berikut: ) ‫ (صوجرل اتْري‬Tapi
‫(صوجرل اتْري‬
bila kata tersebut ditambah keterangan waktu semisal
)ُ‫ اآل‬maka boleh. Boleh pula jika memakai bentuk isim fail (kata ganti
subyek) disertai kata taukid (peneguhan) semisal: ) ‫(إّي ٍضوجل اتْري‬
Karena hakikat isim fail pada kalimat ini tidak mengandung unsur
janji.

Sah berakad dengan bahasa asing, walaupun saksi mengerti bahasa
Arab, dengan syarat selama para saksi paham maknanya.

Sighat tidak boleh menggunakan kalimat-kalimat seperti yang tertera
berikut ini ) ‫(ٍينرل اياها‬. ,) ‫ (وهثرها ىل‬,)‫ (تعرها ىل‬,) ‫ (ادييد ىل ايْري‬dan
semisalnya.

Kemudian karena semua kalimat Allah yang dijumpai dalam Al-Quran
hanyalah kata )‫ (اىْناح‬Atau )‫(ذضويج‬
maka tidak dibenarkan
mengkiaskannya dengan kata lain, dan tidak pula dengan kinayah.
Sebab kinayah membutuhkan niat, sedangkan niat adalah hal yang
abstrak.

Untuk kalimat qabul, maka haruslah dengan ucapan
)‫أوّنذها‬
‫(قييد فيه صواجه‬
atau )‫ (أدثيره‬, )‫ (سضيد ّنادها‬dan )‫ (أسدذه‬Tapi bila yang
diucapkan qabiltu saja lalu diam, maka tidak sah. Qabul boleh
44
didahulukan dari ijab.
2. Syarat untuk Wali

Orang yang dikehendaki, bukan orang yang dibenci.

Laki-laki. Tidak sah bila perempuan ataupun khunsa (berkelamin
ganda).

Mahram si perempuan.

Baligh.

Berakal, tidak gila.

Adil, tidak fasik.

Tidak mahjur (terhalang wali lain).

Tidak buta.

Tidak berbeda agama.

Merdeka, bukan budak.
3. Syarat untuk Kedua Mempelai
Syarat untuk suami, adalah:

Bukan mahram si perempuan. Tidak sah bila berhubungan darah,
semenda ataupun susuan dengan si calon istri.

Orang yang dikehendaki.

Mu'ayyin (nampak), dalam arti identitas jelas.
Syarat untuk istri, adalah:

Bukan mahram si laki-laki.

Terbebas dari halangan nikah, semisal: sedang iddah atau berstatus
istri orang.
45
4. Syarat untuk Saksi-Saksi

Berjumlah dua, bukan budak, bukan perempuan dan bukan orang fasik.

Wali tidak bisa merangkap sebagai saksi walaupun ia memenuhi
kualifikasi sebagai saksi. Ini berlawanan dengan pendapat kalangan
Hanafiyah.

Disunnahkan saksi dalam keadaan rela dan tidak terpaksa, sehingga
tidak ada pengingkaran atas akad yang terjadi.17
c. Menurut Madzhab Hambali
Sedang menurut kalangan Hanabilah, perkawinan mempunyai lima syarat,
yakni:
1. Syarat pertama: Ta'yiin (tertentu/pasti). Untuk syarat pertama ini, berikut
penjelasan yang menyertainya:
Misal: sighat akad sah bila memakai kalimat ) ‫(صوجرل ايْري فالّح‬. Namun bila
memakai kalimat ) ‫ (صوجرل اىثْري‬padahal si wali mempunyai lebih dari satu
putri, maka tidak sah. Penyebutan sifat atau nama untuk membedakan calon
suami atau istri adalah sebuah keharusan untuk mencapai keabsahan akad.
Untuk kalimat ijab, madzhab ini sepakat dengan pendapat Syafi'iyah, tapi
untuk kalimat qabul cukup dengan kata (‫)سضيد‬. Tidak disyaratkan
melengkapi kalimat qabul seperti pendapat Syafi'iyah. Dan bertentangan
dengan Syafi'iyah, qabul tidak boleh mendahului ijab. Disyaratkan
kesinambungan dalam ijab qabul. Bila terputus dan terpisah maka akad tidak
17
Ibid Al-Jaziri hal 14
46
sah. Tidak diwajibkan menggunakan bahasa Arab selama bahasa yang dipakai
dimaksudkan untuk makna ijab dan qabul. Dan tidak boleh menyampaikannya
dengan isyarat, kecuali bagi orang bisu, dan isyarat yang disampaikan dapat
dipahami.
2. Syarat kedua: Ada kemauan dan kerelaan dari kedua pihak.
3. Syarat ketiga: Syarat khusus bagi wali, yaitu: laki-laki, sehat akal, baligh,
merdeka, beragama sama, lurus beragama dan paham atas akad tersebut.
4. Syarat keempat: Syarat khusus bagi saksi, yaitu: berjumlah dua orang, lakilaki,
baligh, sehat akal, adil (walau dzahirnya saja), tidak mesti merdeka (boleh
budak), mampu berbicara, muslim, mampu mendengar (tidak boleh orang tuli,
kafir), bukan dari keluarga bergaris keturunan ke atas dan ke bawah, tidak
harus mempunyai penglihatan.
5. Syarat kelima: Tidak ada halangan syar'i antara si laki-laki dan si perempuan
dalam melangsungkan perkawinan.18
d. Menurut Madzhab Maliki
Menurut kalangan Malikiyah, setiap rukun nikah mempunyai syarat-syarat
tersendiri, seperti yang terpapar berikut ini:
1. Syarat untuk Sighat
 Menggunakan lafadz khusus, misal: )‫(أمذد تْري‬dan )‫( صوجْي فيْح‬
 Qabul tidak mesti dengan lafadz khusus, semisal kalimat-kalimat berikut
18
Ibid Al-Jaziri hal 15
47
ini: )‫)قثيد‬, (‫)سضيد‬, (‫ )ّفزخ‬dan (‫(أذََد‬
 Tidak disyaratkan berucap qabul dengan ) ‫(قثيد ّنذها أوصاجها‬berlawanan
dengan pendapat Syafi'iyah terdahulu.
 Selain menggunakan kata (‫ )اىرضو يج‬dan (‫ ) اىْناح‬maka akad tidak sah.
Perkecualian untuk kata )‫ (اىهثح‬boleh dengan disyaratkan penyebutan
shadaq (mahar) seperti dalam kalimat )‫(وهثد ىل اتْرى تصذق مزا‬
 Adapun bila menggunakan kata lain yang berarti memindahkan
kepemilikan semisal )‫ (أدذا ىد‬,)‫ (أعطايد‬,)‫ (ذصذقد‬,)‫ (ٍز دد‬,)‫(تعد‬
dan )‫ (ٍيند‬dengan disertai penyebutan mahar, maka hal ini masih
diperselisihkan. Tapi pendapat yang rajih adalah akad tidak sah. Bila katakata di atas tidak disertai penyebutan mahar, maka tidak ada perselisihan
tentang kebatilan akad tersebut.
 Disyaratkan ijab qabul harus berkesinambungan dan segera. Bila terpisah
antara ijab dan qabul namun hanya sebentar maka tidak mengapa. Semisal
semisal terpisah dengan khutbah pendek.
 Kemudian akad tidak boleh tertentu batasan waktunya, dan bila terjadi,
maka
nikah
termasuk
nikah
mut'ah
yang
telah
diharamkan
pelaksanaannya.
 Tidak mengandung syarat yang menyalahi akad seperti pendapat
Syafi'iyah.
2. Syarat untuk Wali
 Laki-laki
 Merdeka
48
 Sehat akal
 Baligh
 Tidak dalam keadaan ihram
 Beragama Islam
 Tidak bodoh (bila ternyata bodoh tapi mempunyai penglihatan, maka
kebodohannya tidak membatalkan hak perwaliannya).
 Tidak fasik
 Mempunyai hak paksa atas perempuan yang berada dalam perwaliannya.
3. Syarat untuk Mahar
 Mahar adalah barang yang berhak dimiliki secara syar'i. Misal: Akad tidak
sah bila mahar yang diberikan adalah khamr, atau bangkai.
 Mahar adalah barang yang dibolehkan diperjualbelikan menurut syar'i.
Misal: Akad tidak sah bila mahar yang diberikan adalah seekor anjing.
 Bila akad terjadi dengan dua jenis mahar tersebut di atas, maka
perkawinan wajib di fasakh (batal) sebelum hubungan intim terjadi. Bila
hubungan intim terlanjur terjadi, maka si suami wajib memberikan mahar
mistly (mas kawin yang umum di kalangan masyarakat).
4. Syarat untuk Saksi
 Sunnah menghadirkan saksi pada saat pelaksanaan akad. Bila tidak
hadir,maka tidak mengapa.
 Bila pada saat akad tidak ada saksi, maka ketika dukhul wajib menghadirkan
saksi. Bila dukhul terjadi tanpa saksi, maka perkawinan tersebut harus
fasakh dengan talak ba'in. Dan ini untuk menghindari terbukanya pintu zina.
49
 Kesaksian boleh berupa syahadatul abdaad (saksi silang), dan akad yang
terjadi sah. Misal: Seorang wali berakad dengan seorang laki-laki tanpa
saksi, lalu keduanya berpisah. Kemudian si wali menemui dua orang yang
hendak ia jadikan saksi dengan cara menyatakan kesaksiannya atas
terjadinya akad dengan kalimat seperti berikut:
)‫(أشهذمَا يأّري صوجد فالّا ىفالّح‬
“aku bersaksi pada kalian bahwa aku telah mengawinkan si Polan dengan si
Polanah.”
Di tempat lain, si laki-laki yang berakad dengan wali tersebut bertemu pula
dengan dua orang yang hendak ia jadikan saksi dengan cara menyatakan
kesaksiannya atas terjadinya akad dengan kalimat seperti berikut:
‫أشهذ مَا صوجد فالّا ىفالّح‬
“aku bersaksi pada kalian bahwa aku dikawinkan dengan si Polanah. “
Bila hal seperti di atas terjadi, namun orang yang dijadikan saksi oleh si
wali dan si suami adalah orang yang sama, maka akad juga sah. Tapi
kesaksian tidak lagi bernama syahadatul abdaad. Dan jumlahnya cukup
dengan dua orang saja.
 Bila pada perkawinan yang akadnya tanpa saksi, kemudian si suami
melakukan dhukul kepada istrinya tanpa saksi, maka jatuh had zina atas
keduanya.
5. Syarat untuk Mempelai
Untuk mempelai, disyaratkan bagi keduanya terbebas dari larang
melakukan perkawinan, semisal: bagi calon istri tidak sedang ihram, bukan istri
50
orang, tidak sedang iddah. Dan bagi keduanya tidak mempunyai hubungan
darah, hubungan susuan dan semenda.19
19
Ibid hal Al-Jaziri hal 16
BAB III
PERKAWINAN JARAK JAUH
A. Telekomunikasi dan Perkembangannya
1. Pengertian Telekomunikasi
Secara Harfiah, kata telekomunikasi dapat dipisahkan menjadi 2 bagian,
yaitu tele dan komunikasi. Komunikasi atau communication adalah pernyataan
antar manusia yang bersifat umum dengan menggunakan lambang-lambang yang
berarti1. Proses terjadinya suatu komunikasi itu harus memuat tiga unsur 2, yaitu
adanya komunikator, pesan yang akan disampaikan, dan komunikan.
a. Komunikator adalah orang yang menyampaikan /meneruskan pesan kepada
orang lain dan atau penyebar pesan.
b. Pesan adalah suatu gagasan atau ide yang telah dituangkan dalam lambang
untuk disebarkan/diteruskan oleh komunikator.
c. Komunikan adalah penerima pesan atau tujuan.
Istilah tele yang berarti jarak jauh dan komunikasi yang berarti kegiatan
menyampaikan informasi atau berita, kemudian diresepsi ke dalam Pasal 1
Undang-undang nomor 36 tahun 1999 tentang telekomunikasi, yang menetapkan
bahwa3:
“Telekomunikasi adalah setiap pemancaran, pengiriman, dan atau
penerimaan dari setiap informasi dalam bentuk tanda-tanda, isyarat, tulisan,
1
Santoso Sastropoetro, Komunikasi Internasional : Sarana Interaksi antar Bangsa, Alumni,
Bandung, 1984. hlm. 3
2
Ibid Santoso Sastropoetro. hlm. 5
3
Gouzali Saydam, Sistem Telekomunikasi di Indonesia, Penerbit Angkasa, Bandung, 1995.
hlm. 5
51
52
gambar, suara dan bunyi melalui sistem kawat, optik, radio, atau sistem
elektromagnetik lainnya.”
2. Perkembangan Telekomunikasi
Pada mulanya, komunikasi jarak jauh yang sering dilakukan oleh manusia
berupa pemanfaatan bunyi-bunyian dan alat lainnya. Sejak ditemukannya sinyal
listrik atau elektro optik lebih memungkinkan manusia melakukan komunikasi
dalam jarak yang tidak terbatas serta keefisienan penyampaian informasi karena
kecepatannya yang sangat tinggi.
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas, maka dapat dibuat
sistematik dari sejarah perkembangan telekomunikasi, yaitu4 :
a. Komunikasi berita dan gambar
Jenis informasi yang dikirimkan di dalam komunikasi ini adalah
berbentuk gambar hidup dan gambar diam. Komunikasi ini terdiri dari
telegraf, telex, faksimilie, televisi.
b. Komunikasi suara
Komunikasi ini adalah bentuk komunikasi yang paling umum
digunakan, serta mempunyai suatu kelebihan dibandingkan dengan
komunikasi gambar yaitu dalam hal kecepatan dan juga jumlah
penyampaian informasinya. Contoh telepon dan radio
c. Komunikasi Data
Komunikasi data merupakan bentuk khusus dari komunikasi pada
umumnya. Jenis komunikasi ini merupakan jenis komunikasi yang
mulai mendominasi jaringan telekomunikasi. Dalam komunikasi data
ini diadakan penggabungan atau kombinasi dari komunikasi gambar
dengan komunikasi suara, sehingga dalam satu waktu yang sama
penerima informasi akan menerima informasi atau berita sekaligus
gambar dari pengirim, dikenal dengan istilah Integrated Service Digital
Network (ISDN) atau Jaringan Digital Layanan Terpadu.5
4
Lukas Tanutama, Pengantar Komunikasi Data, PT. Elex Media Komputindo, Jakarta, 1997.
Hlm. 4-8
5
Dedi Supriadi, Era Baru Bisnis Telekomunikasi, STT Telkom dan PT. Rosda Jayaputra,
Bandung, 1996. Hlm. 7
53
Kombinasi dalam komunikasi data terdiri dari dua macam tekhnik, yaitu
tekhnik telekomunikasi dengan tekhnik pengolahan data. Tekhnik telekomunikasi
merupakan kegiatan penyaluran informasi dari titik ke titik yang lain, sedangkan
pengolahan data merupakan kegiatan mengolah suatu data. Dua kombinasi
tekhnik ini pula yang memberi nilai lebih bagi komunikasi data. Terdapat 3
komponen dasar dalam komunikasi ini, yaitu6 :
1.) Sumber pengirim informasi atau terminal, yaitu komputer.
2.) Medium transmisi, yaitu yang menyalurkan infromasi dan dapat
berupa kabel, udara maupun cahaya.
3.) Penerima, bisa berupa sistem komputer lain atau printer.
Sistem kerja komunikasi data yang dikembangkan saat ini, merupakan
penggunaan jaringan atau network (internet). Yaitu suatu komunikasi yang dapat
terjadi dengan melibatkan beberapa pemancar, sehingga memudahkan terjadinya
komunikasi multi arah atau multi point. Jenis perangkat komunikasi data yang
semakin banyak dipergunakan dan dikembangkan saat ini, antara lain adalah :
a.) Video-Phone atau Point to Point
Perangkat komunikasi data yang dihubungkan dengan Sambungan
Telepon Langsung Internasional (SLI) TELKOM sebagai penyalur datadata yang disampaikan sumber ke penerima di tempat lain, dengan
pemakaian pulsa telepon internasional. Komunikasi video-phone ini
menghasilkan tampilan visual pengirim dan penerima berita dari
penghubungan kamera video dengan komputer dan tampilan suara yang
6
Lukas Tanutama, Opcit. Hlm. 13-22
54
jelas dengan menghubungkan komputer dengan speaker.
b.) Video-Conference atau Multi Point (Internet)
Berbeda dengan Video-phone yang hanya menghasilkan hubungan
komunikasi searah, maka dengan Video-conference akan menghasilkan
hubungan komunikasi multi arah, yaitu penyaluran melalui telepon yang
disambungkan ke internet, setelah itu disalurkan ke seluruh pemancar
penerima yang diinginkan di berbagai tempat berbeda. Kelebihan Videoconference ini adalah karena penyaluran teleponnya melalui internet
sehingga tidak menggunakan SLI dan juga menghasilkan tampilan visual
serta suara dari penerima dan pengirim berita.
3.
Perkembangan Telekomunikasi Di Dalam Hukum
Pemerintah
berpandangan
bahwa
dalam
mewujudkan
peranan
telekomunikasi tidak dapat lagi dipisahkan dari hakekat telekomunikasi yang
berdimensi global dan berkembang dengan sangat pesat. Dengan demikian
pengaruh global sangat terasa dan tidak mungkin ditolak. Maka dibuatlah undangundang No. 3 Tahun 1989 tentang Telekomunikasi. Tetapi karena perkembangan
tekhnologi terutama dalm hal ini di bidang telekomukasi, sehingga undangundang mengenai tekomunikasi ini mengalami perubahan menjadi Undangundang No. 36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi.
Kemajuan
tekhnologi
khususnya
dalam
bidang
telekomunikasi
berkembangan sangat pesat. Dari awalnya hanya surat menyurat menjadi telepon
kemudian muncul teleconference, yang selain bisa mendengarkan secara audio
55
juga bisa melihat secara visual siapa yang menjadi lawan bicara.
Dengan kemajuan tekhnologi yang sedemikian pesat, maka UndangUndang No. 3 Tahun 1989 Tentang Telekomunikasi yang dahulu dirasa telah
cukup oleh pemerintah Indonesia dalam menangani masalah mengenai
telekomunikasi mengalami perubahan menjadi Undang-Undang No. 36 Tahun
1999 Tentang Telekomunikasi.
Setidaknya ada lima landasan filosofis, yang sekaligus menjadi alasan kuat
mengapa Undang-undang Nomor 3 Tahun 1989 tentang Telekomunikasi diubah7
Pertama, bahwa tujuan pembangunan nasional antara lain memajukan
kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa guna mewujudkan
masyarakat adil dan makmur yang merata material dan spritual berdasarkan
Pancasila dan UUD 1945. Kedua, bahwa penyelenggaraan telekomunikasi
mempunyai arti strategis dalam upaya memperkukuh persatuan dan kesatuan
bangsa, memperlancar kegiatan pemerintahan dan mendukung terciptanya tujuan
pembangunan dan pertumbuhan ekonomi nasional, serta meemperkuat hubungan
antar bangsa. Ketiga, bahwa pengaruh era globalisasi dan perkembangan
teknologi telekomunikasi yang sangat pesat telah mengakibatkan perubahan yang
sangat
mendasar
dalam
penyelenggaraan
dan
cara
pandang
terhadap
telekomunikasi. Keempat, bahwa segala sesuatu yang berkaitan dengan perubahan
mendasar dalam penyelenggaraan dan cara pandang terhadap tele-komunikasi
tersebut, perlu dilakukan pengaturan kembali penyelenggaraan telekomunikasi
nasional. Kelima, bahwa sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas, maka UU
7
Hinca IP Pandjaitan, Undang-undang Telekomunikasi. Partisipasi Publik dan Pengaturan
Setengah Hati, Internews Indonesia, Februari 2000, Hlm. 20 .
56
Nomor 3 Tahun 1989 tentang Telekomunikasi tidak sesuai lagi, sehingga perlu
disusun Undang-Undang Telekomunikasi yang baru.
Dilihat dari filosofis pertama yang mengatakan bahwa tujuan dari
pembangunan nasional adalah guna mewujudkan masyarakat adil dan makmur
yang merata material dan spiritual berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Spiritual
disini dapat diartikan salah satunya adalah mengenai perkawinan, karena
perkawinan selain merupakan hubungan antar sesama manusia juga merupakan
suatu ibadah. Dan juga perkawinan merupakan salah satu hak asasi bagi setiap
manusia, sesuai dengan Pasal 10 ayat (1) Undang-undang No. 36 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia yang mengatakan bahwa : Setiap orang berhak
membentuk suatu keluarga dan melanjutkan keturunan melalui pernikahan yang
sah.
B. Pengaruh Telekomunikasi Terhadap Perkawinan Di Indonesia
Dengan semakin banyaknya penduduk di dalam satu negara, terutama di
Indonesia dan juga karena semakin globalnya dunia. Maka penyebaran penduduk
Indonesia semakin meluas, karena tidak memungkinkan apabila seluruh penduduk
Indonesia tinggal di dalam satu pulau saja yang ada di Indonesia. Penyebaran
penduduk ini tidak hanya tersebar di dalam negeri saja, tetapi juga meluas ke luar
negeri.
Banyak alasan orang melakukan Transmigrasi (perpindahan penduduk dari
kota ke desa) ataupun Urbanisani (perpindahan penduduk dari desa ke kota).
Tetapi umumnya masyarakat melakukan perpindahan ini dikarenakan untuk
57
mengubah nasib mereka untuk mencari penghidupan yang layak, ataupun untuk
menimba ilmu.
Karena jumlah pencari kerja lebih banyak dibandingkan dengan lowongan
pekerjaan yang ada, maka banyak pulalah penduduk Indonesia yang berpindah ke
luar negeri untuk mencari pekerjaan. Dengan berbagai konsekuensi, yaitu
diantaranya berpisah jauh dengan keluarga ataupun kerabat dan teman yang
berada di Indonesia.
Tetapi dengan perkembangan jaman, hal itu tidak terlalu terasa sekarang.
Apabila dahulu diperlukan waktu berhari-hari untuk bertukar kabar melalui surat,
maka sekarang hanya perlu mengangkat telepon untuk mendengarkan suara
kerabatnya ataupun melalui SMS (short message service) untuk mengetahui
keadaan satu sama lain.
Dahulu diperlukan biaya dan waktu yang sangat besar untuk berbicara
tatap muka, karena harga tiket dan waktu perjalan pesawat atau alat tranportasi
yang lain membutuhkan biaya dan waktu yang tidak sedikit. Maka sekarang
dalam hal tersebut manusia dapat melakukannya melalui internet, dengan cara
chatting memakai webcam ataupun melalui media teleconference sehingga kedua
belah pihak dapat saling mendengar suara sekaligus melihat wajah secara
langsung. Dengan begitu manusia dapat menghemat biaya dan waktu yang
dibutuhkan.
Dengan banyaknya cara untuk berkomunikasi ini pula, membuat banyak
orang memakai sarana telepon dan lain sebagainya ini selain dipakai
berkomunikasi dengan teman dan keluarga tetapi juga untuk melakukan bisnis
58
jual beli, bahkan melakukan pernikahan atau biasa disebut perkawinan.
Melakukan perkawinan memakai sarana telepon pun sampai sekarang
masih dianggap aneh oleh sebagian besar masyarakat Indonesia karena dianggap
tidak wajar. Bahkan dapat menimbulkan perdebatan di antara para pakar atau
aparat hukum dalam hubungannya untuk menetapkan keabsahan perkawinan
memakai media telepon ataupun teleconference. Tetapi meskipun begitu,
perkawinan yang dilakukan melalui media telepon ataupun teleconference ini
sudah mulai sering dilakukan oleh masyarakat Indonesia.
Selama ini, perkawinan biasanya dilangsungkan dalam satu majelis atau
satu tempat. Namun seiring dengan perkembangan tekhnologi komunikasi,
terdapat kemungkinan dilangsungkannya perkawinan tidak dalam satu majelis.
Salah satu kasus menarik serta merupakan terobosan pertama dalam mengatasi
permasalahan ketidakmungkinan perkawinan satu majelis, adalah perkawinan
yang pada saat pengucapan ijab dan kabul antara mempelai pria dan mempelai
wanita dilakukan melalui telepon yang dilakukan oleh pasangan Aria dan Noer
pada tanggal 13 Mei 19898.
Aria Sutarto bin Drs. Suroso Darmoatmojo atau biasa dipanggil Aria
menjalin cinta dengan Nurdiani binti Prof. Dr. Baharudin Harahap atau biasa
dipanggil Noer, keduanya adalah pemeluk agama Islam.
Pada mulanya Aria, seorang dosen di Unversitas Terbuka (UT) dan Noer
mereka
berdua
bertempat
tinggal
di
Jakarta.
Tetapi
kemudian
Aria
ditugasbelajarkan ke Amerika Serikat (USA) untuk memperdalam ilmu yang
8
Majalah Varia Peradilan Tahun VI No.62 Tahun 1990, Hlm. 5.
59
menjadi bidangnya.
Setelah beberapa tahun ditugasbelajarkan di USA, Aria meminta agar
segera dilangsungkan perkawinan antara dirinya dengan Noer yang masih
menetap di Jakarta, seperti yang telah direncanankan sebelumnya yaitu pada
tanggal 13 Mei 1989. Akan tetapi muncul suatu hambatan, yaitu Aria sebagai
calon mempelai pria, tidak dapat pulang ke Indonesia. Karena tugas belajar
tersebut akan gugur atau batal jika peserta tugas belajar tersebut pulang ke negara
asalnya.
Adanya hambatan ini kemudian ditanggulangi oleh pihak keluarga Noer
dengan meminta nasehat ke Pejabat KUA dan Kanwil Departemen Agama
Jakarta. Kedua instansi ini memberikan jalan keluar yaitu dengan pengiriman
surat taukil oleh Aria. Surat Taukil adalah surat yang menerangkan bahwa salah
satu mempelai akan diwakilkan pada saat perkawinan berlangsung karena
berhalangan hadir. Maka terjadilah korespondensi antara Jakarta-USA, dengan
maksud agar dari calon mempelai pria mengirimkan surat taukil yang dimaksud
oleh KUA tersebut ke Indonesia. Setelah sekian lama menunggu, yang datang
bukanlah surat taukil, melainkan Surat Kuasa untuk menandatangani Akta Nikah.
Karena tiadanya surat taukil yang diharapkan itu, sedangkan pendaftaran
untuk rencana pernikahan di KUA sudah dilaksanakan dan dengan makin
mendekatnya hari dan tanggal serta bulan dilangsungkannya pernikahan, maka
pihak ayah mempelai wanita menemukan jalan keluar, yaitu acara pernikahan Ijab
dan Kabul antara wali mempelai wanita dengan mempelai pria akan dilaksanakan
melalui sarana telepon Internasional Jakarta-USA.
60
Usulan ini kemudian disampaikan orang tua Noer ke KUA Kecamatan
Kebayoran Baru dan juga ke KASI URAIS Kodya Jakarta Selatan. Pihak KASI
URAIS sendiri hanya memberi jawaban “dapat dilaksanakan, walaupun tidak
sesuai dengan undang-undang, dan ketiadaan surat taukil itu dapat menyusul
setelah proses perkawinan”. Alasan yang membenarkan dilaksanakan perkawinan
melalui telepon ini adalah karena telah terpenuhinya syarat-syarat perkawinan
selain yang berkaitan dengan kehadiran mempelai pria dalam satu majelis.
Pernyataan pemberian izin dari KASI URAIS merupakan langkah awal
bagi KUA Kecamatan Kebayoran Baru dan juga sebagai jalan keluar bagi
keluarga Noer, untuk segera melaksanakan proses ijab-kabul tanpa adanya surat
taukil dan orang tua Noer segera menghubungi Aria untuk menyetel telepon terus
sampai selesai pada hari Sabtu tanggal 13 Mei 1989, pukul 10.00 WIB atau hari
jum’at pukul 22.00 waktu Indianan, Amerika, untuk menyelenggarakan proses
Ijab-Kabul.
Perkawinan tersebut benar-benar dilaksanankan pada tanggal 13 Mei 1989
melalui telepon yang disambungkan dengan pengeras suara (menurut surat
keterangan Perumtel No. 137/KP.))/W04.100/90, ditandatangani Iwan Krisnadi
MBA. PH, bahwa telepon yang disambungkan dengan pengeras suara akan
didengar oleh orang-orang yang berada di sekitarnya), disaksikan oleh kurang
lebih 100 undangan di Jakarta, termasuk juga pejabat dari KUA Kecamatan
Kebayoran Baru, yang hadir pada saat itu, bertindak untuk mengawasi dan
menyaksikan proses tersebut dan 10 sampai dengan 15 orang saksi di Amerika.
61
Proses ijab-kabul itu sendiri berjalan lancar, diawali dengan adanya
percakapan antara ayah Noer, sebagai wali, dengan Aria, sebagai cara untuk
memastikan suara maupun kesiapan dari Aria. Dan juga percakapan dengan saksisaksi yang ada di Amerika, termasuk yang menjadi saksi dari pengantin pria.
Setelah pemastian suara dan kesiapan masing-masing pihak, proses ijab-kabul ini
dilanjutkan dengan percobaan pengucapan ijab oleh wali Noer dan kabul oleh
Aria. Dan setelah semua benar, baru diadakan ijab-kabul yang sebenarnya. Pada
akhir dari upacara akad nikah itu terdengar ucapan takbir oleh sebagian yang
hadir, termasuk kepala KUA Kecamatan Kebayoran Baru dan wali Noer,
dilanjutkan dengan pembacaan doa yang dipimpin oleh ayah Noer.
Namun masalah yang kemudian timbul adalah pada saat dimintakan
pencatatan nikah di buku nikah, pihak KUA Kecamatan Kebayoran Baru menolak
dilakukan pencatatan dan juga menolak memberikan buku nikah. Karena
beranggapan bahwa proses ijab-kabul yang dilakukan di tempat yang berjauhan
atau dengan kata lain, tidak terjadi pertemuan yang langsung antara kedua
mempelai, adalah tidak sah.
Adanya penolakan pencatatan oleh KUA Kecamatan Kebayoran Baru ini,
menyebabkan ayah Noer mengajukan permohonan ke Pengadilan Agama Jakarta
Selatan untuk menetapkan sah perkawinan yang dilangsungkan melalui sarana
telekomunikasi (dalam hal ini adalah melalui telepon), yang disebabkan keadaan
yang tidak memungkinkan untuk mengadakan ijab-kabul dalam satu majelis.
Untuk kemudian dapat kiranya perkawinan tersebut dicatatkan dan dibukukan ke
dalam suatu buku nikah, sesuai dengan ketentuan yang telah diatur dalam undang-
62
undang perkawinan, khususnya Pasal 2 ayat (2) jo. Pasal 2 PP No. 9/1975
mengenai pencatatan perkawinan.
C. Perkawinan Teleconference di Indonesia
Kasus perkawinan yang dilakukan dengan jarak jauh (tidak dalam satu
majelis) tidak hanya terjadi pada perkawinan Aria dan Noer saja. Apabila pada
tahun 1989 mereka memakai sarana telepon. Dan untuk mengetahui bahwa yang
berbicara di ujung saluran telepon adalah benar-benar calon mempelai pria dengan
cara wali dari mempelai wanita berusaha melakukan dialog untuk memastikan
bahwa suara tersebut adalah benar-benar suara dari calon mempelai pria.
Maka dengan bertambah majunya tekhnologi dan perkembangan
telekomunikasi yang semakin canggih, masyarakat mulai memakai sarana
teleconference. Yaitu selain kita bisa mendengarkan suara (audio) dari ujung
saluran telepon, kita juga bisa melihat secara kasat mata (visual) melalui video.
Sehingga kita bisa secara langsung melihat siapa yang menjadi lawan bicara kita.
Salah satu kasus ini terjadi pada tanggal 4 Desember 2004 pada pasangan Dewi
Tarunawati dengan Syarif Aburahman Achmad9. Jarak Bandung, Indonesia –
Pittsburgh, Amerika Serikat dengan perbedaan waktu 12 jam, tidak menghalangi
mereka untuk melangsungkan pernikahan. Dewi yang berada di Bandung dan
Syarif di 304 Oakland Ave Apt 9 Pittsburgh PA 15213 Amerika Serikat
melangsungkan pernikahan di Kantor Indosat Landing Point Jln. Terusan Buah
Batu Bandung. Hal ini terjadi dikarenakan calon mempelai pria tidak dapat
9
Koran Pikiran Rakyat, Minggu 5 Desember 2004
63
meninggalkan pekerjaannya di Amerika karena terikat kontrak dan begitupun
calon mempelai wanita yang tidak dapat meninggalkan studi S2-nya di Indonesia.
Pernikahan Dewi-Syarif sebenarnya hampir sama dengan pernikahan pada
umumnya, ada mempelai wanita, wali nikah, dan dua saksi. Perbedaannya,
mempelai pria hadir tidak secara fisik melainkan dalam bentuk gambar di televisi.
Sehingga televisi ukuran 29 inci menjadi pusat perhatian puluhan kerabat yang
hadir dalam acara tersebut, khususnya orang tua Dewi dan orang tua Syarif.
Sementara hadirin yang hadir dalam acara tersebut bisa menyaksikan mempelai
pria dari big screen (layar lebar) berukuran 1,5 m x 2 m.
Tepat pukul 8.45 WIB, akad nikah Dewi Tarumawati, S.Psi, putri pertama
H. Daddy S. Yudha Manggala dengan Syarif Aburahman Achmad Ph.D, putra
keempat H. Memed Achmad Diat T, dimulai. Dipimpin Petugas Pencatat Nikah
(PPN) Kec. Regol Syamsul Ma'arif dan Cecep Budiman, pembacaan ijab kabul
berjalan lancar.
Ijab dari H. Daddy (orang tua Dewi), "Saya nikahkan Dewi Tarumawati
putri kandung bapak kepada ananda dengan mas kawin seperangkat alat salat dan
uang Rp 5 juta dibayar tunai." Dijawab denga lancar oleh Syarif, "Saya terima
nikahnya Dewi Tarumawati putri kandung bapak dengan memakai mas kawin
seperangkat alat shalat dan uang Rp 5 juta rupiah dibayar tunai."
Setelah ijab kabul, pengantin pria membacakan sighat taklik, "Saya Syarif
Aburahman Achmad bin H. Memed berjanji dengan sesungguh hati, bahwa saya
akan menepati kewajiban saya sebagai seorang suami. Saya akan pergauli istri
saya bernama Dewi dengan baik (mu'asyarah bil ma'ruf) menurut syari'at Islam."
64
Kemudian, "Sewaktu-waktu saya meninggalkan istri saya dua tahun berturutturut, atau saya tidak memberi nafkah wajib kepadanya tiga bulan lamanya, atau
saya menyakiti badan/jasmani istri saya, atau saya membiarkan (tidak
mempedulikan) istri saya enam bulan lamanya, kemudian istri saya tidak rida dan
mengadukan halnya kepada Pengadilan Agama dan pengaduannya dibenarkan
serta diterima pengadilan, dan istri saya membayar uang sebesar Rp 1.000,00
sebagai iwadh (pengganti) kepada saya, maka jatuhlah talak satu saya kepadanya."
Acara akad nikah diakhiri dengan sungkeman mempelai wanita kepada orang tua
dan mertuanya. Sementara mempelai pria sungkeman dengan kata-kata. Syarif
bersyukur kepada Allah SWT karena acara akad nikah berjalan lancar. Syarif
berharap istrinya dapat segera menyelesaikan studi S2-nya sehingga bisa segera
ke Amerika untuk secara bersama-sama membangun keluarga baru.
Walaupun dalam kedua kasus perkawinan tersebut dilangsungkan di luar
kebiasaan, yaitu dengan melalui media telekomunikasi atau jarak jauh, akan tetapi
segala sesuatunya dilakukan dengan cara-cara seperti perkawinan yang biasa,
yaitu10 :
a.
b.
c.
10
Telah dilakukan pemberitahuan kehendak terlebih dahulu ke
Pegawai Pencatat sesuai dengan ketentuan Pasal 3 PP No.9/1975.
Telah terpenuhinya segala syarat sesuai Pasal 6 dan 7 Undangundang No.1/1974 jo. PP No.9/1975 dan tidak ada halangan
perkawinan terhadap ketentuan persyaratan perkawinan mereka.
Segala sesuatunya dilakukan dengan itikad baik. Tidak ada suatu
maksud sebagai penyelundupan hukum, yaitu bermaksud untuk
menghindari ketentuan undang-undang perkawinan yang berlaku
atas diri para pihak dengan memilih menggunakan undang-undang
perkawinan yang tidak berlaku atas para pihak. Semua tindakan
dengan maksud itikad baik ini, dapat dilihat dari dipenuhinya segala
sesuatu yang dipersyaratkan oleh peraturan yang berlaku. Hanya
Ibid Idha Aprilyana, Hlm. 59.
65
saja kendala yang timbul adalah permohonan pencatatan perkawinan
terkadang tidak dapat diterima karena tidak dilaksanakannya
perkawinan dalam satu majelis.
Yang menjadi pokok permasalahan dalam proses perkawinan yang
dilakukan melalui media telepon ataupun teleconference adalah ketidak hadiran
secara fisik mempelai pria di domisili mempelai wanita. Namun ketidakhadiran
secara fisik ini tidak mengurangi keabsahan perkawinan, berdasarkan pada dalildalil11 :
1) Sesuai dengan pendapat ahli Fiqih di dalam Fiqhus Sunah halaman 34
jilid Iia, ijab-kabul tidak di sela-selai harus diartikan bahwa antara ijab
dan kabul tidak diantarai dengan perkataan yang bukan berkenaan
dengan nikah atau sesuatu yang menurut adat dianggap tidak mau atau
telah membelah pada hal-hal yang lain selain nikah.
2) Hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Uqbah bin Amir R.A yang intinya
adanya pernikahan antara seorang laki-laki dengan seorang wanita
dengan perantaranya adalah Rasulallah SAW, walaupun dalam
perkawinan ini dilakukan tanpa mahar dan tidak ada pertemuan sama
sekali. Kedua mempelai tidak saling mewakilkan dirinya pada
Rasulallah, akan tetapi rasulallah hanya bertindak sebagai perantara
untuk menanyakan pernyataan kesepakatan dari kedua mempelai dan
Rasulallah hanya menguatkan kesepakatan tersebut.
3) Hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Umi Habibah, yang intinya adalah
perkawinan dilakukan di tempat yang berbeda dan berjauhan antara
Rasul dan Umi Habibah.
Berdasarkan pada dalil-dalil tersebut di atas, dapat dibuat suatu
kesimpulan bahwa proses perkawinan itu dapat dilangsungkan dengan berbagai
cara, asalkan telah memenuhi syarat, yaitu adanya :
1.
Mempelai pria dan Wanita
2.
Antara kedua mempelai bukanlah muhrim.
3.
Antara kedua mempelai sama-sama rela atau telah sepakat untuk menikah.
4.
Telah tercapainya usia Nikah bagi kedua mempelai (baligh).
11
Majalah Varia Peradilan Tahun VI No.62 Tahun 1990, Hlm. 9
66
5.
Tidak adanya larangan Nikah antara kedua mempelai.
6.
Adanya wali.
7.
Adanya Saksi.
8.
Pembayaran mahar sebagai pelengkap.
9.
Didaftarkan secara resmi sesuai dengan prosedur undang-undang.
10. Adanya ijab-kabul, maka perkawinan adalah sah.
Pemikiran bahwa, suatu perkawinan yang dilangsungkan menurut Hukum
Agama Islam dan telah memenuhi syarat-syarat sesuai peraturan perundangundangan adalah perkawinan yang tidak sah, hanya dikarenakan ketidakhadiran
mempelai pria secara fisik. Dalam hal perkawinan yang dilakukan melalui media
telekomunikasi, ketidak hadiran secara fisik ini perlu kiranya tetap menjadi
pertimbangan bahwa ijab-kabul melalui telepon/teleconference yang dilakukan
secara langsung pada saat pernikahan, tidak hanya sekedar mewakili
ketidakhadiran secara fisik mempelai pria, tetapi diucapkan langsung oleh
mempelai prianya melalui sebuah media.
Kedua kasus tersebut hanyalah merupakan sedikit dari contoh yang terjadi
di masyarakat yang hidup di dunia yang semakin modern ini. Bukanlah tidak
mungkin pada masa yang akan datang akan semakin banyak terjadinya pernikahan
melalui media telekomunikasi khususnya teleconference. Sehingga dirasa
perlunya aturan yang mengatur mengenai masalah perkawinan jarak jauh ini
supaya tidak lagi ada perdebatan atau kesulitan dalam masalah pencatatan
pernikahan.
67
Karena pencatatan perkawinan sangatlah penting, terutama untuk
mendapatkan hak-hak seperti warisan dan nafkah bagi anak-anak hasil
perkawinan. Akibat hukum tidak dicatatnya perkawinan adalah :
a. Perkawinan Dianggap tidak Sah. Meski perkawinan dilakukan menurut
agama dan kepercayaan, namun di mata negara perkawinan dianggap
tidak sah jika belum dicatat oleh Kantor Urusan Agama
b. Anak Hanya Mempunyai Hubungan Perdata dengan Ibu dan Keluarga
Ibu. Anak-anak yang dilahirkan di luar perkawinan atau perkawinan
yang tidak tercatat, selain dianggap anak tidak sah, juga hanya
mempunyai hubungan perdata dengan ibu atau keluarga ibu (Pasal 42
dan 43 Undang-Undang Perkawinan). Sedang hubungan perdata dengan
ayahnya tidak ada.
c. Anak dan ibunya Tidak Berhak Mendapatkan Waris dan Nafkah. Akibat
lebih jauh dari perkawinan yang tidak tercatat adalah, baik isteri maupun
anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut tidak berhak
menuntut nafkah ataupun warisan dari ayahnya. Namun demikian,
Mahkamah Agung RI dalam perkara Nugraha Besoes melawan Desrina
dan putusan Pengadilan Negeri Yogyakarta dalam perkara Heria
Mulyani dan Robby Kusuma Harta, saat itu mengabulkan gugatan
nafkah bagi anak hasil hubungan kedua pasangan tersebut.
BAB IV
HUKUM PERKAWINAN TELECONFERENCE
A. Pengaturan Perkawinan Teleconference
Perkawinan adalah suatu perbuatan hukum, merupakan suatu ikatan yang
menentukan sah atau tidaknya pergaulan antara seorang pria dan wanita. Dalam
hidup berumah tangga sudah tentu saja akan menimbulkan akibat hukum yang
sangat bergantung pada sah atau tidaknya terhadap perkawinan yang
dilangsungkan.
Tentunya suatu hal yang riskan (bahaya), apabila perkawinan telah
dilakukan atau dilangsungkan melalui media telepon atau teleconference, tetapi
dianggap tidak sah secara hukum positif disebabkan ketiadaan bukti yang
mendukung telah dilangsungkannya perkawinan tersebut. Dikatakan riskan karena
perkawinan tidak saja hanya dilakukan secara agama tetapi harus pula sah
menurut hukum positif. Oleh sebab itulah perlu kiranya suatu bukti yang dapat
mendukung sahnya perkawinan yang telah dilakukan, sehingga dapat menjamin
kepastian hukum terhadap keduanya, sehingga akibat hukum yang ditimbulkannya
dapat terlindungi. Yang dimaksud dengan bukti dalam hal ini adalah surat nikah
(akta nikah).
Negara Indonesia sebagai negara hukum, menghendaki agar segala
tindakan haruslah berdasarkan atas hukum. Oleh sebab itu pula dalam bidang
perkawinan haruslah sesuai dengan perundang-undangan perkawinan yang
berlaku. Sesuai dengan bunyi Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang No.1
68
69
Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka perkawinan yang sah dilakukan
berdasarkan
agama, dan masing-masing harus pula dicatatkan pada KUA.
Adanya ketentuan yang ditetapkan ini menimbulkan suatu konsekuensi bahwa
perkawinan yang sah menurut Hukum Positif itu haruslah dicatatkan di kantor
Pencatatan Perkawinan.
Hal ini tidak lain karena dalam suatu negara yang berdasar atas hukum,
semua peristiwa hukum yang terjadi harus dapat dibuktikan. Menurut Hukum,
akibat hukum yang ditimbulkannya dapat diakui oleh negara sehingga dapat
menjamin kepastian hukum.
Berdasarkan ketentuan itu maka KUA sebagai lembaga atau institusi yang
bertugas
untuk
mencatatkan
perkawinan,
mempunyai
kewajiban
untuk
mengetahui dan meneliti syarat-syarat perkawinan lebih dulu. Oleh karena
kewajibannya sebagai pencatat perkawinan maka pegawai pencatat perkawinan
yang ada di KUA maupun dapat melakukan penolakan hingga tindakan
pembatalan terhadap perkawinan, hal ini tidak lain karena agar perkawinan tidak
saja sah menurut agama tetapi juga sah menurut negara.
Pencatatan
perkawinan
bertujuan
untuk
mewujudkan
ketertiban
perkawinan dalam masyarakat. Ini merupakan suatu upaya yang diatur melalui
perundang-undangan, untuk melindungi martabat dan kesucian perkawinan, dan
lebih khusus untuk melindungi hak-hak perempuan dalam kehidupan berumah
tangga. Melalui pencatatan perkawinan yang dibuktikan dengan akta nikah,
apabila terjadi perselisihan di dalam perkawinan, maka salah satu dari pihak
suami ataupun istri dapat melakukan upaya hukum guna mempertahankan atau
70
memperoleh hak masing-masing. Karena dengan akta tersebut, suami istri
memiliki bukti otentik atas perbuatan hukum yang telah mereka lakukan1.
Dilihat dari uraian di atas tersebut, maka kedudukan pencatatan
perkawinan
semakin
penting,
khususnya
apabila
perkawinan
tersebut
dilaksanakan dengan jarak jauh, artinya calon mempelai pria dan wanita berlainan
tempat.
Atau
pada
pembahasan
sekarang
mengenai
perkawinan
yang
dilangsungkan dengan memanfaatkan media telekomunikasi (telepon atau
teleconference). Hal ini tidak lain karena adanya pencatatan perkawinan ini akan
menentukan telah terjadinya perbuatan hukum. Sebagaimana diketahui, apabila
dilakukan suatu perbuatan hukum maka akan menimbulkan akibat hukum.
Dalam menghadapi suatu kasus yang belum ada peraturan tertulisnya di
dalam undang-undang. Sudah sewajarnya petugas pencatat perkawinan ataupun
hakim memakai pandangan modern, atau biasa disebut dengan aliran problem
oriented.
Pokok dari aliran problem oriented ialah bahwa bukan sistem perundangundangan yang merupakan titik tolak, tetapi masalah kemasyarakatan yang
konkrit yang harus dipecahkan. Hukum (undang-undang) selalu ketinggalan dari
peristiwanya, itu memang sifat hukum. Lebih-lebih dengan berkembang pesatnya
tekhnologi dewasa ini maka hukum (undang-undang) akan jauh ketinggalan2.
Menurut Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, S.H., LL.M. Hukum yang baik
adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup (the living law) dalam
1
Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1995. hlm.
107.
2
Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, sebuah pengantar. Liberty, Yogyakarta, 2004.
Hlm.109.
71
masyarakat yang tentunya sesuai pula atau merupakan pencerminan dari nilai-nilai
yang berlaku dalam masyarakat3. Undang-undang bukanlah penuh dengan
kebenaran dan jawaban, yang paling tidak membutuhkan beberapa penafsiran
untuk dapat dilaksanakan dalam situasi konkrit. Tetapi lebih merupakan usulan
untuk penyelesaian masalah, suatu pedoman dalam menemukan hukum. Undangundang bukan merupakan satu-satunya sumber hukum, tetapi masih banyak
faktor-faktor penting lainnya yang dapat digunakan untuk penyelesaian masalahmasalah hukum.
Menurut aliran problem oriented diakui bahwa dalam penemuan hukum,
unsur terhadap kebutuhan masyarakat adalah sentral atau penting. Aliran problem
oriented pada umumnya menekankan bahwa masalah yuridis selalu berhubungan
dengan masalah kemasyarakatan dan dari sinilah harus dicari penyelesaian yang
paling dapat diterima dalam kenyataan yang berlangsung sehingga terdapat
kepastian hukum. Harus diakui bahwa penyelesaian hukum merupakan salah satu
cara untuk mengatur masalah kemasyarakatan. Dengan kata lain tujuan undangundang dapat digeser, dikoreksi, tetapi tidak boleh diabaikan. Di dalam Undangundang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan belum ada aturan yang mengatur
secara jelas mengenai perkawinan melalui media telekomunikasi, sehingga disini
terdapat kekosongan hukum. Maka apabila ada masalah yang menyangkut
mengenai persoalan kemasyarakatan khususnya mengenai perkawinan melalui
media teleconference, akan dapat diselesaikan dengan melihat hukum yang
berlaku bagi kedua mempelai, karena persoalan perkawinan merupakan hal yang
3
Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-konsep Hukum Dalam Pembangungan, P.T. Alumni,
Bandung, 2006. Hlm. 10.
72
sensitif.
Tujuan dari problem oriented adalah supaya adanya kepastian hukum.
Pemecahan masalah dengan mendasarkan pada sistem problem oriented terjadi
melalui beberapa tahap. Dalam hal ini dapat dicontohkan, apabila persoalan
hukum tersebut masuk dalam lingkup peradilan maka akan dapat diterapkan
tahap-tahap sebagai berikut : Pertama hakim meneliti masalah yang diajukan
kepadanya untuk diterjemahkan secara yuridis, maksudnya apabila hukum dapat
memecahkan persoalan yang sedang diajukan kepadanya, maka terhadap peristiwa
tersebut diterapkan peraturan yang sesuai dengannya sehingga relevan, sehingga
antara peristiwa dan peraturan saling berhubungan. Peristiwa menentukan
peraturan yang relevan, tetapi peraturannya menentukan peristiwa mana yang
penting. Penelitian Hakim dari sejak tahap seleksi dan analisis awal peristiwa
sampai dengan tahap penyelesaian akhir memegang peranan penting. Kalau
bagian pertama penelitian ke arah penyelesaian hukum telah dilakukan, maka
selanjutnya adalah nilai-nilai dan kepentingan yang harus ditelaah oleh hakim.
Sesudah itu semua dilakukan, baru dapat dilihat keseluruhan konteks masalah
sampai pada putusan, dimana hakim dapat menyesuaikan maksud pembentuk
undang-undang dengan situasi konkrit yang terjadi di masyarakat4.
Dalam perkawinan melalui media telekomunikasi sebagaimana diuraikan
pada BAB III, diketahui bahwa pegawai pencatat perkawinan turut hadir dan
mengikuti jalannya pelaksanaan perkawinan dengan ijab-kabul melalui media
teleconference, maka secara tidak langsung telah mengetahui dan menyetujui
4
Ibid Sudikno Mertokusumo, Hlm. 106.
73
dilakukannya perkawinan yang ijab-kabulnya dilakukan melalui teleconference
tersebut. Yang pada kenyataannya tata cara perkawinan yang demikian tersebut
belum atau tidak secara tegas diatur dalam Undang-undang Perkawinan, artinya
tata cara perkawinan diserahkan sepenuhnya kepada mereka. Hanya yang
terpenting adalah perkawinan tersebut sah apabila dilakukan berdasarkan agama
masing-masing dan dicatatkan di kantor pencatatan perkawinan.
Merupakan kesalahan pihak mempelai apabila dalam perkawinan yang
dilaksanakan dengan memanfaatkan media teleconference tersebut tanpa
sepengetahuan pihak pencatat perkawinan, sehingga apabila terjadi penolakan
atau tidak dicatatnya perkawinan mereka oleh pihak Pegawai Pencatat Perkawinan
karena dirasa tidak mentaati ketentuan yang berlaku, adalah hal wajar. Sesuai
dengan Pasal 6 Kompilasi Hukum Islam yang mengatakan bahwa perkawinan
yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai
kekuatan hukum. Apabila menyimak isi Pasal 6 tersebut dapat ditafsirkan bahwa
perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak diketahui oleh pihak Pegawai
Pencatat Nikah maka perkawinan mereka tidak mempunyai kekuatan hukum
positif, meskipun sah menurut agama. Dapat diartikan pula bahwa apabila
perkawinan mereka tidak dicatatkan di Pegawai Pencatat Nikah maka perkawinan
mereka tidak diakui oleh negara/Undang-undang. Maka dari itu, apabila ada orang
yang hendak melangsungkan perkawinan secara teleconference hendaknya
memberitahukan keinginan tersebut ke Pegawai Pencatat Nikah, agar Pegawai
Pencatat Nikah mengetahui akan dilaksanakan perkawinan secara tertulis,
sehingga tidak akan terjadi penolakan pencatatat perkawinan dengan alasan
74
Undang-undang belum mengatur tentang hal perkawinan melalui media telepon
atau teleconference. Apabila hal ini terjadi, maka sudah menjadi tugas hakim
untuk memberikan kepastian hukum bagi mereka yang menjalankan perkawinan,
namun ditolak pencatatannya oleh pihak Pegawai Pencatat Nikah.
Perkataan “agar Pegawai Pencatat Nikah mengetahui akan dilaksanakan
perkawinan secara telepon” tersebut karena tugas Pegawai Pencatat Nikah
menurut Pasal 2 ayat (2) Undang-undang Perkawinan adalah hanya mencatat
perkawinan mereka, dan apabila Pegawai Pencatat Nikah menolak untuk mencatat
maka berdasarkan Pasal 21 ayat (3) Undang-undang Perkawinan, para pihak
(mempelai) dapat mengajukan permohonan ke Pengadilan Negeri agar supaya
memberikan penetapan untuk memerintahkan Pegawai Pencatat Nikah mencatat
perkawinannya. Hal ini dapat dilakukan oleh mempelai didasarkan pada peraturan
perkawinan.
Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu. Dapat ditartikan bahwa selama tidak
bertentangan dengan agama dan atau kepercayaan dari kedua mempelai, maka
perkawinan yang dilakukan melalui media telepon dan teleconference adalah sah
apabila dilakukan oleh tata cara dan telah memenuhi syarat-syarat sahnya
perkawinan menurut agamanya. Selanjutnya untuk membuktikan perkawinan
tersebut, kedua mempelai harus mencatatkan ke Pegawai Pencatat Nikah agar
mendapatkan Akta Nikah.
Permasalahan yang muncul apabila membicarakan keabsahan perkawinan
melalui media telekomunikasi, tidak lain oleh karena menurut Hukum Islam,
75
sebaiknya perkawinan dilakukan apabila dilaksanakan dalam satu majelis,
sehingga menunjang berkesinambungan waktu pengucapan ijab dan kabul yang
merupakan penentu sah atau tidaknya suatu perkawinan. Hal ini juga salah satu
kebiasaan warga Indonesia yang bermayoritas agama Islam dalam melangsungkan
perkawinan. Persoalan “satu majelis” diatas bukan merupakan suatu syarat sahnya
perkawinan, tetapi hanya sekedar tata cara dan atau suatu kebiasaan yang telah
lama dilakukan di Indonesia. Tata cara perkawinan melalui media telepon dan
atau teleconference tidak diatur dalam Undang-undang, artinya diserahkan
sepenuhnya kepada mereka yang hendak melaksanakan perkawinan tersebut.
Hanya bagi sebagian orang ketentuan satu majelis dan kesinambungan waktu
dapat menimbulkan keraguan sah atau tidaknya perkawinan yang dilaksanakan
melalui media telekomunikasi. Keterkaitan antara kesinambungan waktu dan satu
majelis sangat erat, oleh karena itulah terdapat 2 (dua) golongan besar fuquhua
yang menafsirkan pengertian keterkaitan ini :
Golongan fuquha pertama, dikemukakan oleh Syafi’i, Hanafi dan
Hambali, menafsirkan keterkaitan antara kesinambungan waktu dan kesatuan
majelis. Menurut golongan pertama ini, “berkesinambungan waktu” itu tidak lain
pelaksanaan ijab dan kabul yang masih saling berkait dan tidak ada jarak yang
memisahkan keduanya, oleh sebab itu perlu disaksikan secara langsung oleh para
saksi karena tugasnya untuk memastikan secara yakin keabsahan ijab dan kabul
tersebut secara redaksional maupun kepastiannya. Secara jelas terlihat bahwa
dengan adanya kesinambungan waktu antara pengucapan ijab dan kabul, maka
diperlukan adanya kesatuan majelis.
76
Golongan fuquha kedua, dikemukanan oleh Maliki, menafsirkan
“berkesinambungan waktu” itu dapat diartikan ijab kabul tidak menjadi rusak
dengan adanya pemisahan sesaat. Misal dengan adanya khutbah sebentar. Jadi
dalam hal ini, pihak-pihak yang terlibat harus dalam satu majelis tidak menjadi
persyaratan perkawinan.
Di dalam dunia yang semakin maju dan modern maka alangkah lebih
baiknya apabila kita mengikuti golongan fuquha kedua yang dikemukakan oleh
Maliki yang intinya di dalam ijab kabul tidak diharuskan di dalam satu majelis,
mengingat dunia saat ini semakin global. Dan lagi pula di dalam agama Islam
mengenal dengan adanya surat Taukil sebagai surat mewakilkan dari pihak
mempelai yang tidak dapat menghadiri pernikahan.
Mengenai pertentangan yang ditimbulkan dengan adanya dua masalah
perihal “satu majelis” dan “kesinambungan waktu” seperti tersebut di atas, justru
dapat dikatakan bahwa kesinambungan waktu pengucapan ijab dan kabul itu tetap
terjaga dalam hal perkawinan melalui media telekomunikasi. Hal ini didasarkan
dan bisa dilihat pada kenyataan yang dapat ditemukan sehari-hari bahwa media
telekomunikasi
memberikan
fasilitas
sambungan
langsung,
sehingga
menghasilkan percakapan berupa suatu dialog seperti halnya percakapan tanpa
media. Bahkan pada jarak yang sangat jauh sekalipun. Apalagi bila dikaitkan
dengan pemanfaatan media teleconference, selain kita dapat mendengarkan suara
lawan bicara, kita dapat pula melihat secara langsung secara kasat mata yang
menjadi lawan bicara kita.
77
Kemampuan teleconference sebagai sarana penghubung langsung jarak
jauh, mempermudah untuk menilik hakekat satu majelis, seperti yang
dikemukakan oleh Pasal 10 ayat (3) PP No.9/1975, melalui pendeskripsian
suasana satu majelis dengan kalimat “dihadapan” dan “dihadiri”. Dari uraian
tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa hakekat satu majelis tetaplah ada dalam
perkawinan yang memanfaatkan media telekomunikasi (telepon dan atau
teleconference) atau perkawinan jarak jauh ini. Hal ini dapat terjadi apabila
pemikiran mengenai
“dihadapan” dan “dihadiri” dikembangkan dengan
menterjemahkannya secara luas (umum), yaitu dengan mengartikannya sebagai :
di bawah pengawasan, baik oleh Pegawai pencatat perkawinan maupun oleh
saksi-saksi. Jadi dengan demikian kata “dihadapan” dan “dihadiri” di dalam Pasal
10 ayat (3) PP No.9/1975 tidak diartikan sempit, yaitu bahwa dalam tatacara
perkawinan harus dilaksanakan dihadapan dan dihadiri oleh dua orang saksi di
dalam satu majelis.
Melalui perluasan pengertian ini, maka tatacara dan keabsahan perkawinan
jarak jauh atau dengan memanfaatkan media telekomunikasi dapat tetap dianggap
sah, karena perkawinan yang demikian itu dapat diketahui dan diawasi secara
langsung, sehingga akan dapat pula dicatatkan.
Sehingga dapat ditarik kesimpulan perkawinan yang ijab-kabulnya
dilakukan melalui media teleconference adalah sah, apabila semua syarat formil
dan materiil perkawinan yang diatur di dalam Undang-undang Perkawinan telah
terpenuhi. Karena hal ini cukup memperhatikan Undang-Undang No.1 tahun 1974
tentang Perkawinan, bila telah dipenuhi persyaratan secara agama, maka sah
78
pulalah di mata undang-undang5. Perkawinan yang demikian itu tampaknya sudah
pernah dilakukan oleh beberapa orang yang saling berjauhan tempat tinggalnya
yaitu perkawinan yang dilakukan melalui telepon sebagaimana penetapan
Pengadilan Agama Jakarta Selatan nomor 1751/P/1989 tanggal 20 April 1990
yang menyatakan bahwa penikahan melalui telepon antara calon suami dan calon
istri yang berjauhan tempat tinggalnya adalah sah6.
B. Prosedur Perkawinan Teleconference
Mengawali pembahasan prosedur perkawinan dengan pemanfaatan media
telekomunikasi ditinjau dari segi hukum. UU Perkawinan maupun PP No. 9
Tahun 1975 tidak mengatur secara tegas dan jelas tentang prosedur perkawinan,
yang diatur hanyalah sahnya bperkawinan mereka yang dilaksanakan mereka
berdasarkan agama dan kepercayannya, yakni sebagaimana yang diatur dalam
Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan, lebih lanjut perkawinan tersebut harus dicatatkan
ke Kantor Pencatat Perkawinan (Pasal 2ayat (2) Jo. Pasal 2 ayat (1) PP No. 9
Tahun 1975). Selanjutnya dalam Pasal 10 ayat (2) PP No. 9 Tahun 1975
disebutkan
bahwa “tata cara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-
masing agamanya dan kepercayaaannya itu”, maka dapat disimpulkan proses atau
tata cara perkawinan tersebut secara mutatis mutandis diserahkan sepenuhnya
kepada masing-masing ketentuan agama calon mempelai.
Sebagaimana dikemukakan di atas, UU Perkawinan dan PP No. 9 Tahun
1975 tidak secara tegas mengatur tentang prosedur atau tata cara perkawinan,
5
6
Majalah Varia Peradilan Tahun VI No.62 Tahun 1990, Hlm. 8.
Ibid Sudikno Mertokusumo, Hlm.109.
79
namun demikian apabila menyimak Pasal 20 UU Perkawinan dapat mengisaratkan
bahwa bagi mereka yang hendak melakukan perkawinan seyogyanya dilakukan
dalam satu tempat (satu majelis) yang sama, sehingga akan dapat diawasi, dihadiri
dan diketahui secara langsung oleh petugas pencatat perkawinan. Hal ini berkaitan
dengan akan diikutinya penandatangan Akta Nikah oleh ke dua belah pihak
(mempelai)
sebagai
kelengkapan
administrasi.
Dalam
perkembangannya
terkadang pelaksanaan perkawinan tidak sebagaimana ditempuh dengan prosedur
seperti di atas, yakni dalam mengucapkan ijab kabulnya tidak dilakukan dalam
satu tempat (satu majelis).
Setelah dilakukan penelitian, ternyata ketentuan agama pun tidak mengatur
secara tegas tentang tata cara atau prosedur perkawinan harus dilakukan dalam
satu majelis. Hal yang demikian itu dapat dibuktikan dengan adanya istilah
Perkawinan Taukil yang dapat diartikan adalah suatu perkawinan yang
pelaksanaannya tidak dihadiri oleh salah satu calon mempelai, akan tetapi
ketidakhadiran calon mempelai tersebut diwakilkan dengan sebuah surat kuasa
yang diberikan kepada seseorang wakil yang dapat dipercaya untuk membacakan
surat kuasa tersebut. Dalam hal ini yang terpenting adalah bagi mereka yang
hendak melaksanakan perkawinan haruslah memenuhi syarat dan rukun
perkawinan sebagaimana dikemukakan dalam Kompilasi Hukum Islam yakni
adanya wali nikah bagi mempelai wanita dan adanya saksi, serta dilakukan atau
mengucapkan ijab qabul (akad nikah), meskipun ijab qabulnya dibacakan oleh
wakil yang diberi kuasa untuk itu. Perkawinan yang tidak memenuhi syarat dan
rukun perkawinan tersebut, maka perkawinan tersebut dianggap tidak sah.
80
Setelah dilakukan penelitian bahwa prosedur atau tata cara yang selama ini
dilakukan oleh mereka yang akan melangsungkan perkawinan sebenarnya hanya
berdasarkan kebiasaan yang berkembang di Indonesia. Kebiasaan atau lazimnya
perkawinan dilakukan dalam satu majelis, artinya mempelai wanita, wali, saksi,
pegawai pencatat perkawinan dan mempelai pria berada dalam satu tempat untuk
melangsungkan dan atau mengucapkan ijab qabul (akad nikah) sebagai penentu
sahnya perkawinan yang dilakukan secara berkesinambungan, dan biasanya
setelah akad nikah tersebut selesai pengantin pria diminta untuk mengucapkan
janji atau yang disebut dengan istilah sighat taklik talak dengan disaksikan oleh
semua yang hadir dalam acara akad nikah tersebut.
Prosedur atau tata cara yang demikian tersebut dimaksudkan tidak lain
untuk mempermudah dan atau melancarkan administrasi, sehingga tidak ada
hambatan kepastian terhadap keabsahan perkawinan mereka, baik berdasarkan
agama maupun berdasarkan hukum positif.
Apabila hal tersebut dikaitkan dengan Pasal 10 ayat (3) PP No.9/1975
yang menyebutkan “perkawinan dilaksanakan dihadapan pegawai pencatat” dan
“dihadiri oleh dua orang saksi” , maka dapat disimpulkan meskipun menurut
kelaziman sebagaimana dikemukakan di atas, namun dalam perkembangannya hal
tersebut dapat dilakukan sebaliknya. Artinya tata cara perkawinan dapat dilakukan
tidak dalam satu majelis dan hal demikian itu dapat dibenarkan, yang terpenting
rukun dan syarat perkawinan tersebut dipenuhi serta perkawinan tersebut tidak
terhalang sebagaimana dikemukakan dalam Pasal 21 UU Perkawinan.
81
Seiring dengan
perkembangan teknologi dewasa, juga mempengaruhi
perkembangan dan perubahan sistem hukum, yang semula kaku menjadi lebih
luwes. Mengingat bahwa hukum bertujuan untuk melindungi kepentingan
manusia, oleh karena itu perlu pula memperhatikan perkembangan masyarakat
dan perkembangan teknologi, agar tidak terjadi kekosongan hukum.
Mahkamah Agung berpendapat dalam hal perkawinan, bahwa “tidaklah
dapat dibenarkan kalau karena kekosongan hukum maka kenyataan dan kebutuhan
sosial tersebut di atas dibiarkan tidak terpecahkan secara hukum, karena
membiarkan masalah tersebut berlarut-larut pasti akan menimbulkan dampakdampak negatif di segi kehidupan bermasyarakat maupun beragama yang berupa
penyelundupan-penyelundupan nilai-nilai sosial maupun agama dan atau hukum
positif, maka MA berpendapat haruslah dapat ditemukan dan ditentukan
hukumnya. Maka dari itu perkawinan yang dilakukan dengan prosedur atau tata
cara tidak satu majelis dikatakan tetap sah, sebagaimana dituangkan dalam
Penetapan Pengadilan Jakarta Selatan No. 1751/P/1989 tertanggal 20 April 1990
yang pada intinya menyebutkan bahwa, “pernikahan melalui telepon antara calon
suami dan calon istri yang berjauhan tempat tinggalnya (Indonesia-Amerika) itu
sah”.
Prosedur perkawinan melalui teleconfrence, harus tetap memenuhi syarat
dan rukunnya perkawinan, hanya saja tidak dilakukan dalam satu tempat
(Indonesia-Amerika). Apabila hal itu terjadi, maka pertama-tama yang dilakukan
adalah di Indonesia (pihak wanitanya misalnya), maka yang harus dipersiapkan
adalah wali, saksi dan pegawai pencatat perkawinan yang bertugas mencatat
82
perkawinan melalui telpun tersebut. Kemudian dipihak pria (Amerika) yang harus
dipersiapkan adalah saksi, guna menyaksikan bahwa benar yang akan
mengucapkan akad nikah itu adalah calon suami (bukan orang lain). Kemudian
dari mempelai wanita harus meyakini dan mempercayai benar yang akan
mengucapkan akad nikah tersebut adalah mempelai pria. Dalam pelaksanaan akad
nikah yang dilakukan melalui telepon,
meskipun tempatnya terpisah, namun
dalam mengucapkan akad nikah tetap dilaksanakan berkesinambungan ucapan
antara wali (mempelai wanita) dengan mempelai pria.
Lebih rinci dapat dikemukakan bahwa, untuk memastikan kebenaran
gambar dan suara dari calon mempelai yang berada di Amerika (perkawinan
melalui teleconference), sehingga tidak terjadi keraguan keabsahan perkawinan
yang tidak dilaksanakan dalam satu majelis, maka dalam hal ini diperlukan7 :
1.
Kedua belah pihak sudah mengenal sebelumnya dalam kurun waktu
yang lama, guna memastikan kebenaran suara dan gambar.
2.
Diadakan pengujian
Pengujian ini dimaksudkan untuk menguji apakah suara atau
gambar yang ada di telepon/televisi merupakan sebuah rekaman
atau langsung. pengujian ini bisa dilakukan dengan cara melakukan
percakapan berupa dialog dari kedua pihak yang berjauhan. Apabila
terjadi dialog yang tidak saling bersambung maka patut untuk
dicurigai kebenaran/keaslian bahwa suara ataupun gambarnya tidak
langsung. Atau ada orang yang mengaku sebagai pasangan dari
7
Ibid Idha Aprilyana, Hlm. 74.
83
mempelai.
3.
Peranan saksi
Peranan saksi dalam suatu perkawinan selain sebagai seorang yang
menyiarkan telah terjadinya suatu perkawinan, seorang saksi juga
sangat berperan dalam membuktikan atau sebagai alat bukti jika
terjadi pengingkaran terhadap perkawinan yang dilangsungkan.
Oleh karena saksi menjadi penting dalam suatu perkawinan,
terutama bagi perkawinan yang dilangsungkan secara jarak jauh.
Maka untuk itu pulalah persyaratan menjadi seorang saksi menjadi
bertambah. Selain saksi harus seiman, laki-laki, adil, dewasa, tidak
terganggu ingatan dan tuna rungu (tuli) ataupun buta, tetapi saksi
juga harus seorang yang benar-benar jujur dan dapat dipercaya.
Sehingga
saksi
benar-benar
mampu
untuk
mempertanggungjawabkan kebenaran dan keabsahan perkawinan
yang dilakukan melalui media telepon ataupun teleconference (jarak
jauh).
Di dalam PP No.9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan telah diatur mengenai tata cara
perkawinan, yaitu di dalam Pasal 10 yang berbunyi :
(1) Perkawinan dilangsungkan setelah hari kesepuluh sejak pengumuman
kehendak perkawinan oleh Pegawai Pencatat seperti yang dimaksud dalm
Pasal 8 Peraturan Pemerintah ini.
(2) Tatacara
perkawinan
dilakukan
menurut
hukum
masing-masing
84
agamanya dan kepercayaannya itu.
(3) Dengan mengindahkan tatacara perkawinan menurut masing-masing
hukum agamanya dan kepercayaannya itu, perkawinan dilaksanakan
dihadapan Pegawai Pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi.
Dan juga di dalam Pasal 11 yang berbunyi :
(1) Sesaat sesudah dilangsungkannya perkawinan sesuai dengan ketentuanketentuan Pasal 10 Peraturan Pemerintah ini, kedua mempelai
menandatangani akta perkawinan yang telah disiapkan oleh Pegawai
Pencatat berdasarkan ketentuan yang berlaku.
(2) Akta perkawinan yang telah ditandatangani oleh mempelai itu,
selanjutnya ditandatangani pula oleh kedua saksi dan Pegawai Pencatat
yang menghadiri perkawinan dan bagi yang melangsungkan perkawinan
menurut agama Islam, ditandatangani pula oleh wali nikah atau yang
mewakilinya.
(3) Dengan penandatanganan akta perkawinan, maka perkawinan telah
tercatat secara resmi.
Oleh karena perkawinan (melalui teleconfrence) telah dicatat oleh pegawai
pencatat perkawinan pada waktu pelaksanaan ijab qabul atau akad nikah, namun
hanya dalam hal penandatanganan Akta Nikah yang belum dilaksanakan secara
sempurna. Hal ini akan dapat dilakukan penandatanganan oleh mempelai pria
setelah kemudian ia pulang ke Indonesia, agar dapat dijadikan bukti yang sah
menurut hukum positif, meskipun Akta Nikah tersebut hanya sebagai bukti
administratif.
85
C. Kendala-kendala Perkawinan Melalui Media Teleconference.
Perkawinan melalui teleconfrence pada prakteknya jarang dilakukan
meskipun ada juga yang melakukan perkawinan demikian, hal itu semata-mata
hanya karena keadaan yang sifatnya terpaksa harus dilakukan dengan cara
demikian. Meskipun undang-undang tidak melarang perkawinan melalui
teleconfrence,
namun
pelaksanaannya banyak menemui
kendala-kendala,
terutama tentang tata cara atau prosedur pelaksanaan perkawinannya.
Sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa kehendak akan menikah
harus lebih dulu diberitahukan kepada Pegawai Pencatat di tempat Perkawinan
tersebut akan dilangsungkan, kemudian kehendak tersebut diumumkan oleh
Pegawai Pencatat Perkawinan hingga 10 hari
setelah pengumuman tersebut
barulah perkawinan dapat dilaksanakan (Pasal 10 dan Pasal 11 PP No. 9 tahun
1975). Perkawinan dilaksanakan dihadapan Pegawai Pencatat dan dihadiri oleh
dua orang saksi. Tetapi akan timbul kendala apabila perkawinan tersebut
dilakukan melalui teleconfrence.
Perkawinan melalui teleconfrence tata caranya juga harus berdasarkan
Pasal 8, 10 dan Pasal 11 PP No. 9 tahun 1975, perbedaannya hanya dalam
pelaksanaan perkawinan tersebut, yakni akad nikahnya melalui telepon. Dalam hal
melakukan perkawinan melalui teleconfrence selain pengucapan akad nikah
melalui telepon juga harus adanya saksi baik yang di Indonesia maupun yang di
luar Indonesia (Amerika) serta penandatangan Akta Nikah yang berdasarkan Pasal
11 dikemukakan “sesaat setelah dilangsungkan perkawinan, kedua mempelai, wali
86
dan para saksi menandatangani Akta Nikah yang telah disiapkan oleh Pegawai
Pencatat Perkawinan”. Penandatangan inilah
yang menjadi kendala karena
kedudukan kedua mempelai dan saksi yang terpisah satu sama lain. Maka hal
inilah yang akan dapat menghambat kepastian hukum bagi kedua mempelai,
karena dengan belum adanya salah satu tandatangan dari mempelai, Akta Nikah
tersebut belum dapat dikatakan sempuna atau mempunyai kekuatan hukum.
Meskipun perkawinannya sendiri dapat dikatakan sah menurut agama dan
kepercayaannya.
Akta Nikah tersebut akan dapat menjadi sempurna dan mempunyai
kekuatan hukum apabila telah ditandatangani oleh kedua mempelai dan para saksi
serta wali mempelai wanita. Meskipun Akta Nikah tersebut hanya bersifat
administratif, namun keberadaannya dapat membuktikan bahwa mereka itu
berstatus suami istri yang sah menurut hukum negara.
Pencatatan perkawinan selain memiliki kekuatan hukum sebagai
pembuktian status seseorang khususnya dalam segi keperdataannya, juga
berdimensi kewajiban negara dalam pelayanan publik yaitu melakukan pencatatan
dan menerbitkan akta perkawinan. Lebih lanjut lagi, dimensi hukum dalam ikatan
perkawinan yang sah, akan membawa kedudukan anak-anak yang dilahirkan
dalam perkawinan tersebut menjadi anak dalam perkawinan pula, bukan sekedar
anak dari seorang perempuan. Antara anak dan kedua orang tua, dan atau suami
dan istri memiliki hubungan hukum yang jelas, dan akibat-akibat hukum lainnya.
Pengakuan negara atas keseluruhan peristiwa penting seperti perkawinan,
kelahiran, kematian, perceraian, dan sebagainya tidak boleh dibeda-bedakan atau
87
diskriminatif atas dasar etnis, agama, status sosial seseorang dan lain-lain. Adanya
penolakan pencatatan oleh pihak KUA terhadap perkawinan melalui telepon yang
dilakukan oleh pasangan Aria dan Noer yang menjadi pembuka awal mulanya
perkawinan melalui media telekonukasi (jarak jauh) menunjukkan bahwa instansi
yang seharusnya menjadi pencatat peristiwa penting, justru menjadi lembaga yang
menghakimi8. Hal itu sebenarnya karena kekurang pengetahuan para Pegawai
Pencatat Perkawinan, oleh karenanya perkawinan melalui telepon ini perlu
disosialisasikan kepada para Pegawai Pencatat Perkawinan, sehingga tidak akan
ada lagi yang merasa dipersulit dalam hal akan melaksanakan perkawinan
8
Ibid Idha Aprilyana, hal 79
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan yang dilakukan serta diperkuat dengan
data-data yang ditemukan di lapangan terhadap penelitian yang mengangkat
permasalahan
mengenai
perkawinan
yang
dilakukan
melaui
media
telekomunikasi (telepon dan teleconference), maka kesimpulannya adalah
sebagai berikut :
1.
Perkawinan melalui pemanfaatan media telekomunikasi merupakan
perkawinan yang sah menurut hukum islam. Sepanjang dilaksanakan
sesuai ketentuan dalam perundang-undangan perkawinan (yang
mengembalikan keabsahan perkawinan pada ketentuan hukum
agama), maka sahnya perkawinan harus sesuai dengan ketentuan
hukum agama. Berkaitan dengan disahkannya perkawinan melalui
media telepon dan teleconference ini menunjukkan kefleksibelitas
hukum agama (khususnya agama Islam) dalam mengatisipasi
perkembangan jaman.
2.
Perkawinan yang ijab-kabulnya dilakukan melalui media telepon dan
atau teleconference adalah sah menurut hukum islam, apabila semua
syarat formil dan materiil perkawinan yang diatur di dalam Undangundang Perkawinan telah terpenuhi. Karena hal ini cukup
memperhatikan
Undang-Undang
88
No.1
tahun
1974
tentang
89
Perkawinan, bila telah dipenuhi persyaratan secara agama, maka sah
pulalah menurut hukum positif.
3.
Dalam hal melakukan perkawinan melalui teleconfrence selain
pengucapan akad nikah melalui telepon juga harus adanya saksi baik
yang di Indonesia maupun yang di luar Indonesia (Amerika) serta
penandatangan Akta Nikah yang berdasarkan Pasal 11 dikemukakan
“sesaat setelah dilangsungkan perkawinan, kedua mempelai, wali dan
para saksi menandatangani Akta Nikah yang telah disiapkan oleh
Pegawai Pencatat Perkawinan”. Penandatangan inilah yang menjadi
kendala karena kedudukan kedua mempelai dan saksi yang terpisah
satu sama lain. Maka dalam hal ini dapat melihat kepada Pasal 56 ayat
(2) Undang-undang Perkawinan yang mengatakan “Dalam waktu 1
(satu) tahun setelah suami isteri itu kembali di wilayah Indonesia, surat
bukti perkawinan mereka harus didaftarkan di Kantor Pencatatan
perkawinan tempat tinggal mereka”. Maka dapat disimpulkan
penandatanganan Akta Nikah dapat dilakukan ketika kedua mempelai
telah ada di Indonesia dalam jangka waktu satu tahun setelah kedua
mempelai berada di wilayah Indonesia.
90
B. Saran
Menyikapi
kemungkinan
terjadinya
perkawinan
melalui
media
telekomunikasi di masa depan yang dapat dan mungkin banyak dilakukan oleh
masyarakat, maka hal-hal yang penting untuk tetap dipahami adalah perkawinan
dengan memanfaatkan media telekomunikasi harus didasari oleh alasan atau
keadaan yang benar-benar dapat diterima dan memungkinkan dilaksanakan akad
melalui media telekomunikasi. Tetapi tetap mematuhi peraturan perkawinan yang
telah jelas tercantum di dalam Undang-undang Perkawinan.
Pemerintah melengkapi dan atau merevisi Undang-undang Perkawinan
yang bisa dibilang tidak mengikuti perkembangan yang terjadi di dalam
masyarakat. Sehingga tidak lagi terdapat kebingungan atau pertentangan tentang
sah tidaknya perkawinan jarak jauh melalui media telekomunikasi secara hukum
(tidak terdapat kekosongan hukum dalam Undang-undang Perkawinan).
Setelah Undang-undang Perkawinan direvisi dan dilengkapi maka langkah
selanjutnya yang harus dilakukan adalah pensosialisasian kepada masyarakat luas,
para aparat hukum agar supaya diketahui secara luas bahwa perkawinan melalui
media teleconference telah ada aturan tertulisnya dan dianggap sah oleh negara.
Terutama kepada para petugas Pencatat Perkawinan supaya tidak terjadi masalah
ketika Pencatatan Perkawinan dilakukan seperti yang terjadi pada kasus AriaNoer.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurahman Al-Mukaffi, Pacaran Dalam Kacamata Islam, Media
Dakwah, Jakarta, 1996.
Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, PT. RajaGrafindo Persada,
Jakarta, 1995.
Chuzaimah T. Yanggo dan Hafiz Anshary AZ. Problematika Hukum Islam
Kontemporer. PT. Pustaka Firdaus, Jakarta, 1996.
Djuhaendah Hasan, Hukum Keluarga : Setelah Berlakunya UU No. 1
Tahun 1974 (Menuju Ke Hukum Keluarga Nasional), Armico. Bandung, 1998.
Hilman
Hadikusuma,
Hukum
Perkawinan
Indonesia
Menurut
Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama., Mandar Maju, Bandung, 1990.
Idha Aprilyana, Keabsahan Suatu Perkawinan Melalui Pemanfaatan
Media Telekomunikasi Dihubungkan Dengan Penetapan Pengadilan Agama
Jakarta Selatan Nomor 1751/P/1989 Tanggal 20 April 1990 Mengenai Sahnya
Perkawinan Melalui Telepon, Skripsi, 1997.
Iman Sudiyat, Hukum Adat : Sketsa Asas. Liberty, Yogyakarta, 1981.
Kompilasi Hukum Islam.
Loudoe, John R, Menemukan hukum melalui tafsir dan fakta., Bina
Aksara.
Lukas Tanutama, Pengantar Komunikasi Data, PT. Elex Media
Komputindo, Jakarta, 1997.
91
92
Martimah Prodjohamidjojo, Tanya Jawab UU Perkawinan dan Peraturan
Pelaksanaan, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 1991.
M. Munandar Sulaeman, Ilmu Budaya Dasar , Suatu Pengantar, PT.
Eesco, Bandung, 1995.
Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-konsep Hukum Dalam Pembangungan,
P.T. Alumni, Bandung, 2006.
Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam. Bumi Aksara, Jakarta,
1996.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 9 Tahun 1975 Tentang
Pelaksanaan Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian hukum, Ghalia Indonesia,
Jakarta, 1990.
R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Asis Safioedin, Hukum Orang dan
Keluarga, Alumni, 1982.
R. Soetojo Prawirohamidjojo, Pluralisme Dalam Perundang-undangan
Perkawinan di Indonesia, Airlangga University Press, 1988.
Santoso Sastropoetro, Komunikasi Internasional : Sarana Interaksi antar
Bangsa, Alumni, Bandung, 1984.
Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia,. UI-Press, Jakarta. 1986.
Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, sebuah pengantar. Liberty,
Yogyakarta, 2004.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan.
93
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 1999 Tentang Hak
Asasi Manusia.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 1999 Tentang
Telekomunikasi.
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan Di Indonesia. Sumur Bandung,
Jakarta,1960.
Download