I. PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Luka jaringan lunak rongga mulut banyak dijumpai pada pasien di klinik gigi. Luka adalah hilang atau rusaknya sebagian jaringan tubuh. Keadaan ini dapat disebabkan oleh proses patologis, trauma fisik, benda tajam atau tumpul, perubahan suhu, zat kimia, ledakan, sengatan listrik, atau gigitan hewan. Penyebab trauma fisik pada jaringan lunak rongga mulut antara lain, penyikatan gigi yang salah, penggunaan tusuk gigi yang ceroboh, potongan makanan yang tajam, serta makanan dan minuman panas (Manson, 1993; Suntar dkk., 2012). Luka pada jaringan lunak rongga mulut akan diikuti proses penyembuhan yang kompleks terdiri dari beberapa tahap yang saling berhubungan. Proses tersebut diawali dengan terjadinya perdarahan yang disebabkan adanya kerusakan jaringan. Darah akan mengisi jaringan cedera dan terjadi degranulasi trombosit serta pengaktifan faktor hageman. Proses selanjutnya adalah fase inflamasi, proliferasi dan remodeling. Proses tersebut diikuti migrasi epitel dekat luka, proliferasi fibroblas dan regenerasi kapiler untuk menghasilkan jaringan granulasi baru (Dovi dkk., 2004; Hamamoto dkk., 2009; Robbin dan Kumar, 1995; Su dkk., 2010). Proses inflamasi diperlukan sebagai pertahanan tubuh untuk menghilangkan atau membatasi agen penyebab jejas dan pemulihan jaringan yang rusak. Inflamasi merupakan mekanisme penting dalam keseluruhan proses penyembuhan karena mengawali dan memicu terjadinya proses penyembuhan luka (Hamamoto, 2009; Robbin dan Kumar, 1995). Inflamasi ditandai adanya vasokonstriksi singkat pada pembuluh darah, diikuti vasodilatasi pembuluh darah lokal yang mengakibatkan terjadinya peningkatan aliran darah setempat, kenaikan permeabilitas kapiler, disertai dengan keluarnya protein plasma dan neutrofil ke dalam jaringan. Penimbunan sel darah putih, terutama neutrofil dan monosit pada lokasi jejas merupakan aspek penting dalam reaksi inflamasi untuk menghilangkan atau membatasi agen penyebab jejas. Neutrofil akan melakukan marginasi, migrasi, kemotaksis dan fagositosis (Robins dan Kumar, 1995). Keberadaan neutrofil pada fase inflamasi sangat diperlukan untuk eliminasi bakteri atau agen penyebab jejas, meskipun demikian keadaan ini tidak boleh dibiarkan terus berlangsung karena akan menyebabkan penghambatan proses penyembuhan luka. Fase inflamasi biasanya berlangsung mulai hari 1 – 3 setelah terjadinya luka (Dovi dkk., 2004; Hamamoto dkk., 2009). Inflamasi menyebabkan dikeluarkannya zat-zat secara endogen, yang dikenal sebagai mediator inflamasi. Asam arakidonat merupakan salah satu mediator inflamasi yang penting, sebab asam arakidonat berperan dalam biosintesis prostaglandin. Asam arakidonat dapat mengalami metabolisasi melalui 2 jalur yang berbeda, yaitu jalur siklooksigenase dan jalur lipooksigenase. Kedua jalur tersebut menghasilkan mediator inflamasi berupa prostaglandin, tromboksan dan leukotrin. Melalui jalur siklooksigenase, awalnya dibentuk suatu endoperoksida siklik prostaglandin G2 (PgG2), selanjutnya dikonversi menjadi prostaglandin H2 (PgH2) oleh peroksidase. Prostaglandin H2 akan menginduksi produksi prostasiklin (PgI2), prostaglandin D2, prostaglandin E2, prostaglandin F2 dan tromboksan sebagai hasil akhir dari biologi aktif jalur siklooksigenase. Prostaglandin E2, prostaglandin D2 dan prostasiklin merupakan vasodilator yang kuat, hal ini akan menyebabkan adanya peningkatan permeabilitas vaskular, sehingga memperkuat pembentukan edema dan rasa sakit (Katzung, 1995; Price,1995; Robbins dan Kumar, 1995). Luka pada jaringan lunak akan menginduksi ekspresi mRNA dan protein COX-2 pada lapisan basal epidermis, sel-sel perifer di dekat folikel akar rambut, fibroblas dan kapiler dekat epidermis tepi luka (Futagami, 2002). Ekspresi COX-2 tergantung adanya rangsangan pada jaringan perifer yang mengalami inflamasi atau keadaan patologis lainnya. Enzim ini berperan sebagai katalisator pembentukan mediator inflamasi, seperti prostaglandin dan tromboksan (Lelo, 2004; Katzung, 1995; Melzack´s, 2006). Kontrol terhadap rasa sakit dan edema akan meningkatkan respon imun dalam penyembuhan luka sehingga penyembuhan luka berlangsung lebih baik. Penggunaan obat anti inflamasi non steroid bertujuan untuk mengurangi atau menghilangkan rasa sakit dan edema. Salah satu cara mengontrol rasa sakit dan edema adalah dengan menghambat enzim siklooksigenase. Enzim siklooksigenase merupakan target utama obat anti inflamasi non steroid (Prempeh dan Attipoe, 2008; Su dkk., 2010). Obat anti inflamasi non steroid, contohnya ibuprofen bekerja sebagai antiinflamasi dengan cara menghambat enzim siklooksigenase ,menghambat migrasi sel-sel inflamasi dan menghambat ekspresi adhesi molekulmolekul sel (Greenberg, 2008; Goodman dan Gilman, 2001; Katzung, 1995; Prempeh dan Attipoe, 2008) Obat anti inflamasi non steroid diindikasikan untuk luka pada jaringan lunak, fraktur, ekstraksi gigi, vasektomi, pasca melahirkan, dan pasca operasi, sehingga dapat menekan terjadinya inflamasi. Penggunaan obat antiinflamasi non steroid dapat menimbulkan efek samping, diantaranya dapat menyebabkan terjadinya perdarahan gastrointestinal, memperlama waktu perdarahan, serta dapat merusak fungsi ginjal (Greenberg, 2008; Katzung, 1995). Obat yang berasal dari tanaman secara umum dinilai lebih aman daripada obat kimiawi sintetis. Hal ini disebabkan obat yang berasal dari tanaman memiliki efek samping yang relatif lebih sedikit daripada obat kimiawi sintetis. Salah satu tanaman obat yang banyak digunakan di berbagai negara adalah rosela (Hibiscus sabdariffa). Ekstrak bunga rosela mempunyai toksisitas yang sangat rendah, dosis toksis akut (LD 50) pada tikus adalah 5000 mg/kg BB (Okasha, 2008). Pemanfaatan rosela di Indonesia sebagai tanaman obat masih sedikit. Kandungan komponen-komponen kimia alami seperti fenol, alkaloid, tanin, flavanoid, saponin dan antioksidan tinggi dalam rosela sehingga bunga ini memiliki khasiat untuk mencegah berbagai penyakit seperti kanker, hipertensi, diabetes, kolesterol, gangguan liver, asam urat, anti virus, anti bakteri dan anti inflamasi (Mardiah, 2009; Maryani, 2008; Mungole, 2011; Cuhnie, 2005; Mills dan Bone, 2001). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa antioksidan dalam flavanoid tumbuhan dapat mengurangi atau bahkan menghilangkan inflamasi dengan beberapa mekanisme yaitu mengikat radikal bebas secara langsung, antara lain melalui penghambatan induksi nitrit oksida, menurunkan adhesi leukosit pada pembuluh darah, mencegah degranulasi neutrofil dan interaksi dengan sistem enzim lainnya (Nijveltdt dkk.,2001). Penelitian tentang kemampuan ekstrak rosela sebagai anti inflamasi pernah dilakukan. Hasilnya menunjukkan bahwa ekstrak rosela dosis 500 mg/kg BB mempunyai kemampuan sebagai anti inflamasi (Ali dkk., 2011). Penelitian sebelumnya telah dilakukan untuk mengkaji potensi tentang antioksidan dan daya hambat aktivitas siklooksigenase bunga rosela secara in vitro. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa kandungan ekstrak bunga rosela dengan pelarut senyawa ethyl acetat dan metanol, mampu menghambat enzim siklooksigenase. Pada penelitian tersebut daya anti inflamasi ekstrak bunga rosela telah dibuktikan, namun demikian masih perlu diteliti, apakah mekanisme tersebut melibatkan hambatan aktivitas COX-2 dan infiltrasi neutrofil. B. Rumusan masalah Berdasarkan uraian tersebut diatas, timbul bagaimana ekspresi COX-2 dan jumlah neutrofil suatu permasalahan fase inflamasi pada proses penyembuhan luka mukosa bukal setelah pemberian sistemik ekstrak etanolik rosela ? C. Keaslian penelitian Penelitian yang pernah dilakukan pada tanaman rosela antara lain : sebagai herba anti kanker, anti hipertensi, antidiabetes, anti kolesterol dan terapi gangguan liver (Mardiah, 2009: Maryani, 2008: Khaghani dkk., 2011: Yang dkk., 2010: Odigie dkk., 2003). Rosela mengandung banyak senyawa metabolit sekunder, sehingga rosela mempunyai berbagai khasiat sebagai anti virus, anti bakteri, anti inflamasi, dan antioksidan (Mungole, 2011; Cuhnie, 2005; Mills dan Bone, 2001). Penelitian sebelumnya tentang antioksidan dan daya hambat aktivitas siklooksigenase bunga rosela secara in vitro sudah ada. Hasil penelitian menunjukkan kandungan ekstrak bunga rosela dengan pelarut senyawa ethyl acetat dan metanol, mampu menghambat enzim siklooksigenase hal ini sama dengan mekanisme aspirin dalam menghambat enzim siklooksigenase (Christian, 2006). Penelitian tentang kemampuan ekstrak rosela sebagai anti inflamasi pada tikus sudah ada, hasilnya ekstrak rosela dengan dosis 250 mg/kg BB dan 500 mg/kg BB mempunyai kemampuan sebagai anti inflamasi (Ali dkk., 2011) Penelitian sebelumnya, tentang antioksidan dan daya hambat aktivitas siklooksigenase bunga rosela secara in vitro sudah ada, hasilnya ekstrak rosela dengan senyawa ethyl acetat dan methanol, mampu menghambat enzim siklooksigenase Penelitian tentang ekspresi siklooksigenase-2 dan jumlah neutrofil setelah pemberian sistemik ekstrak rosela pada fase inflamasi, sepengetahuan penulis belum pernah dilakukan. D. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ekspresi COX-2 dan jumlah neutrofil fase inflamasi pada proses penyembuhan luka mukosa bukal setelah pemberian sistemik ekstrak etanolik rosela. E. Manfaat penelitian Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah : a. Mengetahui peran COX-2 dan infiltrasi neutrofil pada mekanisme penghambatan inflamasi ekstrak etanolik rosela pada fase inflamasi proses penyembuhan luka mukosa bukal. b. Meningkatkan pemanfaatan obat tradisional menjadi obat modern.