ANALISIS IMPLEMENTASI PERJANJIAN EKSTRADISI AUSTRALIA - INDONESIA Disusun untuk memenuhi tugas terstruktur mata kuliah Hubungan Internasioal kelas E yang dibimbing oleh Bapak Dr Hermawan S.IP, M,SI Nama Kelompok: Lutfian Bangkit Kadarusman (115030101111059) Resita Lendy Renora (115030101111070) Hartika (115030101111071) Yudith Restia Friosa (115030101111075) JURUSAN ILMU ADMINISTRASI PUBLIK FAKULTAS ILMU ADMINISTRASI UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG NOVEMBER 2013 KATA PENGANTAR Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan nikmat serta hidayahNya terutama nikmat kesempatan dan kesehatan sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah berjudul “Analisis Implementasi Perjanjian Ekstradisi Australia-Indonesia ”. Kemudian shalawat beserta salam kita sampaikan kepada Nabi besar kita Muhammad SAW yang telah memberikan pedoman hidup yakni al-qur’an dan sunnah untuk keselamatan umat di dunia. Makalah ini merupakan salah satu tugas mata kuliah Hubungan Internasional di program studi Ilmu Administrasi Publik Fakultas Ilmu Administrasi pada Universitas Brawijaya. Selanjutnya penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Dr Hermawan S.IP, M.SI .selaku dosen pembimbing mata kuliah dan kepada segenap pihak yang telah memberikan bimbingan serta arahan selama penulisan makalah ini. Akhirnya penulis menyadari bahwa banyak terdapat kekurangankekurangan dalam penulisan makalah ini, maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif dari para pembaca demi kesempurnaan makalah ini. Malang, November 2013 Penulis ii DAFTAR ISI KATA PENGANTAR .................................................................................... ii DAFTAR ISI ................................................................................................... iii BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang ............................................................................ 1 1.2 Rumusan Masalah ...................................................................... 3 1.3 Tujuan Penelitian ....................................................................... 3 BAB I KAJIAN PUSTAKA 2.1 Ekstradisi ................................................................................... 4 2.2 Kejahatan Transnasional .......................................................... 7 BAB III PEMBAHASAN 3.1 Urgensi Perjanjian Ekstradisi Indonesia dan Australia ............. 10 3.2 Penegakan Perjanjian Ekstradisi Indonesia dan Australia ........ 14 3.2.1 Kelebihan Perjanjian Ekstradisi bagi Indonesia ............... 14 3.2.2 Kelemahan Perjanjian Ekstradisi bagi Indonesia.............. 20 3.2.3 Tantangan Perjanjian Ekstradisi bagi Indonesia ............... 24 BAB IV PENUTUP 4.1 Kesimpulan .................................................................................... 28 4.2 Saran .............................................................................................. 29 iii BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hukum merupakan serangkaian sistem absolute yang mengikat segala peranan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dengan fungsi untuk melakukan pengaturan dan pengawasan sehingga tercapainya satu tujuan kehidupan berbangsa yaitu ketertiban, keamanan dan keadilan perkembangan berbagai aspek kehidupan bernegara. Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (rechtstaat), bukan berdasar atas kekuasaan (machstaat), dan merupakan pemerintahan yang berdasarkan sistem konstitusi dan bukan absolutisme. Sebagaimana yang dituang dalam Pasal 1 ayat (3) Bab I Amandemen Ketiga Undang-Undang Dasar 1945 yang menegaskan bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum. Apa yang dituangkan dalam Pasal tersebut tentunya merupakan tujuan dari sebuah pemerintahan yang harus didasarkan atas prinsip-prinsip yang harus dilaksanakan yaitu supremasi hukum dan penegakan hukum yang sesuai dengan kaedah-kaedah hukum yang diakui, sehingga apa yang harus dilakukan dalam bentuk tindakan, sikap dan pola pikir pada tiap warga negara, pemerintah dan negara itu sendiri harus berlandaskan atas hukum. Sejauh ini peranan hukum di Indonesia dalam pencapaian tujuannya dapat dicapai dengan sepenuhnya, dengan melihat keadaan situasi saat ini yang bersifat global dan terbuka. Indonesia juga turut aktif dalam penegakan hukum bersifat Internasional. Peranan Indonesia dalam mengatur dan mempengaruhi keadaan hukum terkait dengan hubungan bilateral dengan negara lain disebut dengan ekstradisi. Ekstradisi adalah sebuah proses formal di mana seorang tersangka kriminal ditahan oleh suatu pemerintah diserahkan kepada pemerintahan lain untuk menjalani persidangan atau, tersangka tersebut sudah disidang dan ditemukan bersalah, menjalani hukumnya. 1 Ekstradisi merupakan salah satu kebijakan Hukum internasional Indonesia. Hukum internasional merupakan bagian hukum yang mengatur aktivitas entitas berskala internasional. Hukum Internasional diartikan sebagai perilaku dan hubungan antarnegara. Dalam perkembangan pola hubungan internasional yang semakin kompleks, hukum internasional juga berkaitan dengan struktur dan perilaku organisasi internasional dan pada batas tertentu, perusahaan multinasional dan individu. Dalam hukum internasional suatu negara tidak memiliki suatu kewajiban untuk menyerahkan tersangka kriminal kepada negara asing, karena suatu prinsip sovereignty bahwa setiap negara memiliki otoritas hukum atas orang yang berada dalam batas negaranya. Karena ketiadaan kewajiban internasional tersebut dan keinginan untuk mengadili kriminal dari negara lain telah membentuk suatu jaringan persetujuan atau perjanjian ekstradisi. Indonesia telah memiliki UU yang mengatur terkait perjanjian ekstradisi Indonesia dengan negara-negara lain yang memiliki hubungan bilateral maupun multilateral yang baik dengan Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi. Salah satunya perjanjian ekstradisi antara Indonesia-Australia. Hubungan yang baik antara Indonesia-Australia sebagai negara yang bersahabat memungkinkan adanya kerjasama dalam perjanjian ekstradisi diantara keduanya. Landasan hukum ekstradisi Indonesia-Australia diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1994 tentang Pengesahan Perjanjian Ekstradisi Antara Republik Indonesia Dan Australia. Penulis akan mengulas lebih lanjut terkait sejauh mana pengimplementasian UU perjanjian ekstradisi Indonesia-Australia dalam mengatur hubungan hukum bilateral Indonesia-Australia. 2 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan maka rumusan masalah yang ada adalah 1. Bagaimana Urgensi Perjanjian Ekstradisi Indonesia dan Australia 2. Bagaimana Penegakan Perjanjian Ekstradisi Indonesia dan Australia 1.3 Tujuan Penulisan Berdasarkan rumusan masalah yang ada maka tujuan penulisan makalah ini adalah 1. Untuk mengetahui rgensi perjanjian ekstradisi Indonesia dan Australia 2. Untuk mengetahui penegakan perjanjian ekstradisi Indonesia dan Australia 3 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Ekstradisi Ekstradisi berasal dari kata latin “axtradere” (extradition = Inggris) yang berarti ex adalah keluar, sedangkan tradere berarti memberikan yang maksudnya ialah menyerahkan. Istilah ekstradisi ini lebih dikenal atau biasanya digunakan terutama dalam penyerahan pelaku kejahatan dari suatu negara kepada negara peminta. L. Oppenheim menyatakan: “Extradition is the delivery of an accused or confited individual to the state on whose teritory he is alleged to have committed, or to have been convicted of a crime by the state on whose territory the alleged criminal happens for the time to be”. Yang artinya ialah; ekstradisi adalah penyerahan seorang tertuduh oleh suatu negara diwilayah mana ia suatu waktu berada, kepada negara dimana ia disangka melakukan atau telah melakukan atau telah dihukum karena perbuatan kejahatan. J. G. Starke mendefinisikan ekstradisi sebagai berikut: “The term extradition denotes the process where by under treaty or upon a basis of reciprocity one state surrenders to another state at its request a person accused or convicted of a criminal offence comitted againts the law of the requesting state competent to try alleged offender”. Artinya ialah penyerahan ekstradisi menunjukkan suatu proses dimana suatu negara menyerahkan atas permintaan negara lainnya, seorang dituduh karena kriminal yang dilakukannya terhadap undang-undang negara pemohon yang berwenang untuk mengadili pelaku kejahatan tersebut. Praktek disebut ”Handing ekstradisi yang didasarkan Over” atau Disguished tata cara Extradition” tersebut (ekstradisi terselubung). Handing Over atau Disguished Extradition diartikan sebagai penyerahan pelaku kejahatan dengan cara terselubung atau dengan kata lain penyerahan pelaku kejahatan yang tidak sepenuhnya sesuai dengan proses dan prosedur ekstradisi sebagaimana ditentukan dalam pengaturannya 4 diekstradisi. Dalam memberikan definisi mengenai ekstradisi ini penulis hanya mengemukakan beberapa pendapat dari para sarjana, namun tidaklah berarti sarjana-sarjana termuka lainnya tidak memberikan definisi. Akan tetapi masih banyak lagi sarjana-sarjana yang memberikan batasan-batasan. Agar dapat dimengerti dan dipahami lebih dalam mengenai ekstradisi, maka haruslah diketahui hal-hal pokok-pokok atau unsur-unsur dari ekstradisi itu sendiri. ada beberapa unsur dari ekstradisi yakni: 1. Unsur Subjek. Yang dimaksud dengan unsur Subjek adalah negara. Dalam hal ini ada 2 (dua) negara yang terkait yakni: a. Negara yang memiliki yurisdiksi untuk mengadili atau menghukum sipelaku kejahatan. b. Negara tempat pelaku kejahatan (tersangka, tertuduh, terdakwa) atau siterhukum itu berada atau bersembunyi. Negara yang memiliki yurisdiksi untuk mengadili atau menghukum ini sangat berkepentingan untuk mendapatkan kembali orang tersebut untuk diadili atau dihukum atas kejahatan yang telah dilakukannya itu. Biasanya negara yang memiliki yurisdiksi untuk menghukum ini lebih dari satu. Untuk mendapatkan kembali orang yang bersangkutan, negara atau negara-negara tersebut mengajukan permintaan kepada negara tempat orang itu berada atau bersembunyi. Negara ini disebut negara peminta (the resqusthing state). Negara tempat pelaku kejahatan berada atau bersembunyi diminta oleh negara yang memiliki yurisdiksi untuk mengadili supaya menyerahkan orang yang berada dalam wilayahnya itu (tersangka, terhukum) yang dengan singkat disebut negara diminta (the resquithing State). 2. Unsur objek Yang dimaksud adalah sipelaku itu sendiri (tersangka, tertuduh, terhukum) yang diminta oleh negara peminta kepada negara diminta supaya diserahkan. Dengan perkataan lain disebut sebagai “orang yang diminta”. Walaupun sebagai objek namun sebagai manusia dia harus 5 diperlakukan sebagai subjek hukum dengan segala hak dan kewajibannya yang azasi, yang tidak boleh dilanggar oleh siapapun. 3. Unsur Tata cara dan Prosedur. Maksud dari pada unsur tata cara atau prosedur yakni bagaimana tata cara untuk mengajukan permintaan penyerahan maupun tata cara untuk menyerahkan atau menolak penyerahan itu sendiri serta segala hal yang ada hubungannya dengan itu. Penyerahan hanya dapat dilakukan apabila diajukan permintaan untuk menyerahkan oleh negara peminta kepada negara diminta. Permintaan itu haruslah didasarkan pada perjanjian ekstradisi yang telah ada sebelumnya antara kedua belah pihak atau apabila perjanjian itu belum ada juga bisa didasarkan pada azas timbal balik yang telah disepakati. Kalau tidak ada permintaan untuk menyerahkan dari negara peminta, maka sitersangka tidak boleh ditangkap atau diserahkan. Kecuali penangkapan atau penahanan itu didasarkan atas adanya yurisdiksi negara tersebut atau orang yang kejahatannya sendiri atau atas kejahatan lain yang dilakukan orang itu sendiri harus diajukan secara formal kepada negara yang bersangkutan sesuai dengan prosedur yang telah ditentukan atau menurut hukum kebiasan internasional. 4. Unsur Tujuan. Sedangkan yang dimaksud dengan unsur tujuan adalah untuk tujuan apa orang yang bersangkutan dimintakan penyerahan atau diserahkan. Hal ini tentunya melihat kepada bentuk kejahatan yang telah melakukan suatu kejahatan yang menjadi yurisdiksi negara atau negara diminta. Penyerahan atau ekstradisi yang dimaksudkan ialah untuk mengadili pelaku kejahatan tersebut dan menjatuhkan hukuman apabila terbukti bersalah dan agar sipelaku kejahatan menjalani hukuman yang telah dijatuhkan kepadanya yang telah mempunyai kekuatan hukum dinegara yang berwenang mengadilinya. Namun satu hal yang lebih penting bukan hanya menyeret pelaku kejahatan kedepan pengadilan untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya secara hukum, tetapi 6 lebih jauh lagi sebagai upaya mencegah makin meluasnya tindakan serupa yang akan mengancam keamanan dan ketertiban serta keselamatan internasional yang sudah menjadi tanggung jawab dari seluruh negara-negara didunia ini. Permintaan untuk menyerahkan itu harus dilakukan melalui saluran diplomatik. Demikian pula jika negara-diminta menyetujui atau menolak permintaan negara-perintah harus memberitahukannya kepada negarapeminta dengan melalui saluran diplomatik. Mengenai keputusan untuk mengabulkan ataupun menolak permintaan dari negara-peminta, pejabat tinggi dari negara-diminta seperti misalnya Jaksa Agung, Kepala Kepolisian, Menteri Kehakiman, maupun Menteri Luar Negeri ikut terlibat dalam memberikan pertimbangan-pertirnbangan, untuk pada akhirnya diambil keputusan oleh pejabat yang berwenang dari negara-diminta. Secara umum, ekstradisi adalah kepentingan politik dan merupakan sarana untuk mencapai tujuan kekuasaan, namun pada saat ini ekstradisi dipraktekkan guna menembus batas wilayah negara dalam arti agar hukum pidana nasional dapat diterapkan terhadap para penjahat yang melarikan diri ke negara lain atau agar keputusan pengadilan terhadap seorang penjahat yang melarikan diri ke luar negeri dapat dilaksanakan. Secara umum permintaan ekstradisi didasarkan pada perundang-undangan nasional, perjanjian ekstradisi, perluasan konvensi dan tata krama internasional. Tetapi bila terjadi permintaan ekstradisi diluar aturan-aturan tersebut, maka ekstradisi dapat dilakukan atas dasar hubungan baik antara suatu negara dengan negara lain, baik untuk kepentingan timbal balik maupun sepihak. 2.2 Kejahatan Transnasional Transnational Crime merupakan suatu kejahatan yang terjadi lintas Negara dalam pengertian bahwa suatu perbuatan dapat dikategorikan sebagai kejahatan apabila terdapat piranti hukum yang dilanggar sehingga bisa saja terjadi suatu perbuatan yang dirumuskan, dirancang , disiapkan , dilaksanakan dalam suatu Negara bisa saja bukan merupakan kejahatan namun ketika hasil 7 kejahatan yang diatur, disiapkan melakukan lintas batas Negara untuk masuk ke yuridiksi Negara yang berbeda lantas dikategorikan sebagai kejahatan Transnasional Crime. Isu isu penting dalam penanggulangan kejahatan lintas Negara adalah terkait dengan 1. Bahwa setiap Negara memiliki kedaulatan masing masing berupa kedaulatan hukum , wilayah dan pemerintahan , sehingga dengan adanya perbedaan system , struktur dan budaya hukum antar Negara dibutuhkan suatu pengaturan berupa , konvensi, perjanjian , traktat, bahkan pendekatan Government to government termasuk pendekatan Police to Police dalam konteks tertentu sebagai jembatan untuk memadukan kepentingan kedua Negara atau lebih agar dapat bekerja sama dalam penanggulangan Transnational crime 2. Tiap Negara memiliki nilai tawar ( bargaining Power ) yang selaras dengan kekuatan ekonomi, social budaya, hankam dan politik sebagai konsekuensi logis dari kedudukan suatu Negara dalam tataran Geostrategi dan Geopolitik di lingkungan regional maupun Internasional 3. mempelajari konsep dan teori dalam Hukum Internasional, , Humanitarian Law , dan Kejahatan Internasional untuk memahami secara mendalam international crime 4. Akibat adanya perbedaan kepentingan antar Negara sehingga dilingkungan regional maupun Internasional sehingga tidak semua kejahatan yang dikategorikan Transnational crime,dipersepsikan sebagai kejahatan yang sama oleh setiap Negara. 5. Korelasi antara Kejahatan transnasional dengan Hukum internasional dan kejahatan terorganisasi, bahwa wacana yang berkembang adalah adanya perbuatan yang dikategorikan sebagai kejahatan Internasional namun bukan merupakan suatu kejahatan Transnasional dengan actor melibatkan atau tidak melibatkan kelompok / organisasi kejahatan demikian sebaliknya , suatu perbuatan yang dikategorikan sebagai 8 kejahatan Transnasional namun bukan merupakan kejahatan terhadap Hukum Internasional dengan actor dilakukan oleh kelompok / organisasi maupun non organisasi kejahatan 6. Combating Terrorism terdapat beberapa metode : hard power ( Militer, penegakkan Hukum , intelijen ) dan Soft power ( Negosiasi , pembangunan ekonomi, dan Kontra Intelijen ) : hard power ( Military approach ) dengan metode perang terbuka ( kerap dilakukan oleh Amerika dengan menggunakan konsep perang “ War On terror “, Forum The 2nd Assean Annual Senior Officials Meeting On Transnational Crime dengan topik Work Programme to Implement The ASEAN Plan of Action to Combat Transnational Crime diperoleh kesepakatan terdapat delapan jenis kejahatan transnasional yaitu (ASEAN, 2002): · Perdagangan gelap narkotika (illicit drug trafficking) · Perdagangan manusia (trafficking in persons) · Perompakan di laut (sea piracy) · Penyelundupan senjata (arms smuggling) · Pencucian uang (money laundering) · Terorisme (terrorism) · Kejahatan ekonomi internasional (international economic crime) · Kejahatan dunia maya (cyber crime). 9 BAB III PEMBAHASAN 3.1 Urgensi Perjanjian Ekstradisi Indonesia dan Australia Kebutuhan adanya perjanjian esktradisi merupakan konsekuensi logis dari karakter transnasional dari kejahatan tertentu di mana pelakunya melarikan diri ke Luar Negeri sehingga dilakukan upaya untuk mengembalikannya ke negara asalnya dengan tujuan penuntutan atau menjalani pidana. Istilah ekstradisi ini lebih dikenal atau biasanya digunakan terutama dalam penyerahan pelaku kejahatan dari suatu negara kepada negara peminta. Keberhasilan kerjasama penegakan hukum tersebut pada umumnya tidak akan menjadi kenyataan jika tidak ada perjanjian bilateral atau multilateral dalam penyerahan pelaku kejahatan atau dalam kerjasama penyidikan,penuntutan dan peradilan. Prasyarat perjanjian tersebut tidak bersifat mutlak karena tanpa ada perjanjian itupun kerjasama penegakan hukum dapat dilaksanakan berlandaskan asas resiprositas (timbal balik) Globalisasi dan interdependensi ekonomi suatu negara dengan negara lain disamping melahirkan kesejahteraan dan kemajuan peradaban, membawa dampak negatif antara lain telah mendorong lahirnya kejahatan lintas batas di seluruh belahan dunia. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi informasi dan komunikasi, seolah mengaburkan batas-batas negara, mendorong semakin mudahnya perpindahan orang, barang dan jasa dari suatu negara ke negara lain. Perkembangan global telah mengubah karakteristik kejahatan yang semula dalam lingkup domestik bergeser menjadi lintas batas negara atau transnasional. Dengan demikian “nature” dari kejahatan transnasional, baik yang organized maupun yang tidak organized, tidak dapat dipisahkan dari fenomena globalisasi. Secara konsep, transnational crime merupakan tindak pidana atau kejahatan yang melintasi batas negara. Konsep ini diperkenalkan pertama kali secara internasional pada era tahun 1990-an dalam pertemuan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang membahas pencegahan kejahatan. Pada tahun 10 1995, PBB mengidentifikasi 18 jenis kejahatan transnasional yaitu money laundering, terrorism, theft of art and cultural objects, theft of intellectual property, illicit arms trafficking, aircraft hijacking, sea piracy, insurance fraud, computer crime, environmental crime, trafficking in persons, trade in human body parts, illicit drug trafficking, fraudulent bankruptcy, infiltration of legal business, corruption and bribery of public or party officials. Latar belakang Indonesia dalam melakukan adanya perjanjian ekstradisi dengan Negara tetangga adalah Indonesia memiliki kedudukan geografis yang sangat strategis, terletak pada posisi silang diantara dua benua, yakni Asia dan Australia. Disamping itu, Indonesia juga terletak diantara dua samudra, yakni Samudra Hindia dan Samudra Pasifik.. terletak di jalur perdagangan dunia (Indonesia memiliki 4 selat yang menjadi jalur utama lalu lintas perdagangan dunia yaitu: Selat Malaka, Selat Sunda, Selat Lombok dan Selat Makasar; memiliki jumlah penduduk yang besar (lebih dari 240 juta orang); memiliki kekayaan alam yang berlimpah; Posisi Indonesia yang strategis seperti ini membawa konsekwensi positif maupun negatif . Pengaruh positif karena bisa mendatangkan sejumlah keuntungan. Kapal niaga dari berbagai Negara yang berlayar melalui perairan Indonesia ini tentu saja bisa mendatangkan keuntungan ekonomis –finansial. Banyak komoditas Negara lain yang diperdagangkan di Indonesia; dan demikian pula sebaliknya. Tidak sedikit komoditas Indonesia yang diperdagangkan di Negara lain dengan menggunakan kapal niaga. Sejumlah pajak bisa masuk ke kas Negara Indonesia mengingat banyak kapal niaga yang datang dan pergi di negeri melalui wilayah perairan negara ini. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang terjadi di negara –negara lain bisa dibawa oleh berbagai sarana transportasi ke negeri ini. Diakui atau tidak, semua ini membawa pengaruh terhadap kemajuan Indonesia. Posisi silang Indonesia bisa juga membawa konsekwensi negatif. tidak jarang Indonesia dijadikan sebagai wilayah transit berkaitan dengan tindak kejahatan. Berbagai pelaku tindak kejahatan yang berasal dari Negara –negara di benua Asia, melakukan transit terlebih dahulu di Indonesia 11 sebelum mereka mencapai tujuan akhir di Australia. Tindak kejahatan tersebut bisa berkaitan dengan penyelundupan manusia, penyelundupan obat –obatan, penyelundupan senjata, money laundering dsb. Tidak menutup kemungkinan, tindak kejahatan itu berasal dari Australia kemudian transit di Indonesia dan kemudian diarahkan ke Negara –negara lain di Asia. Para pelaku tindak kejahatan ini tidak saja berasal dari Negara –negara sekitar, akan tetapi bisa juga berasal dari Negara –negara yang jauh dari Indonesia, seperti berasal dari benua Afrika, Amerika, Eropa dsb. Para pelaku kejahatan memanfaatkan wilayah Indonesia yang begitu luas dan belum terkontrol secara baik oleh aparat keamanan. Oleh karena itu, mereka melakukan tindak kejahatan dengan melakukan penyelundupan lewat wilayah laut, darat maupun udara dan kemudian memasuki daerah Indonesia. Perjanjian Ekstradisi menanggapi transnasional crime mutlak dilakukan karena : 1) Melemahkan sistem hukum karena apabila dilakukan oleh organized criminal group dapat mengancam integritas dan independensi penegak hukum dengan mempengaruhi proses penegakan hukum termasuk putusan hakim yang objektif dan berkeadilan, 2) Merusak sistem perekonomian karena pada umumnya kejahatan transnasional bertujuan mendapatkan uang dan keuntungan materil lainnya dalam jumlah signifikan yang berpotensi mengganggu pengendalian moneter (inflasi, jumlah uang beredar) dan kebijakan fiskal, penerimaan pajak, integritas lembaga keuangan, dan persaingan usaha yang sehat, 3) Mengganggu sistem sosial dan sistem budaya apabila kejahatan transnatsional tumbuh marak di tengah masyarakat dan merajalela tidak terkendali sehingga masyarakat menjadi permisif terhadap pelanggaran hukum dan yang paling parah tidak berani membela kebenaran dan keadilan, 4) Merusak tatanan pemerintah, kehidupan politik dan penyelenggaraan negara karena organized criminal group akan berusaha mempengaruhi 12 keputusan lembaga eksekutif dan legislatif untuk mengamankan eksistensinya, 5) Mengancam souvereignity (kedaulatan negara) karena organized criminal group dapat mengendalikan aktivitasnya dari luar jurisdiksi negara tanpa perlu eksis di negara yang bersangkutan. Aktivitas cross border ini kecil kemungkinan lolos dari jangkauan aparat negara, dan mengingat kejahatan yang dilakukan massive akan berdampak pada terancamnya kedaulatan negara. Merebaknya bentuk-bentuk kejahatan internasional atau transnasional saat ini telah membuat pemerintah Indonesia berusaha keras untuk mencari jalan keluar dalam mencegah maupun mengatasinya. Kita ketahui bahwa kejahatan transnasional seperti perdagangan manusia (trafficking), penyelundupan narkoba, terorisme atau kaburnya para koruptor keluar negeri sangatlah merugikan bangsa Indonesia. Kaburnya para koruptor misalnya telah membawa kerugian ekonomis yang sangat besar bagi bangsa Indonesia. Data dari Indonesian Corruption Watch (ICW) menyebutkan bahwa ada 17 buron kasus korupsi yang bermukim di Singapura. Bahkan total kekayaan orang Indonesia yang berada di Singapura mencapai US$ 87 miliar atau setara dengan Rp 750 triliun yang sebagian berasal dari para koruptor. Indonesia sebagai sebuah negara yang patuh terhadap hukum internasional tentu saja tidak bisa secara langsung menangkap para penjahat tersebut. Indonesia harus mengikuti prosedur hukum tertentu karena penjahat yang bersangkutan telah berada di luar wilayah teritorial dan yuridiksinya. Berada di luar wilaya yuridiksi berarti berada di luar wilayah cakupan wewenang/kekuasaan hukumnya (suryokusumo,2007:239). Oleh karena itu Indonesia perlu mencari cara yang diakui secara internasional untuk dapat menangkap dan mengadili penjahat tersebut di dalam negeri. Salah satu cara yang harus ditempuh Indonesia adalah mengadakan perjanjian internasional dengan Negara tetangga yaitu Australia. Hal tersebut merupakan salah satu cara yang dilakukan untuk penyerahan kembali 13 penjahat yang bersembunyi atau lari ke Australia. Adapun perjanjian tersebut tidak begitu saja berlaku tanpa adanya ratifikasi untuk menjamin kepastian hukumnya. Atas dasar perjanjian tersebut barulah Indonesia bisa menangani kasus pidana (pelaku kejahatan) yang berada di luar wilayah yuridiksinya. Di Indonesia, ketentuan mengenai ekstradisi telah diatur dalam UU No. 1 Tahun 1979. Dan UU No.8 Thn 1994 - Pengesahan Perjanjian Ekstradisi RI Australia. 3.2 Penegakan Perjanjian Ekstradisi Indonesia dan Australia 3.2.1 Kelebihan Perjanjian Ekstradisi bagi Indonesia Dalam era globalisasi masyarakat internasional seperti sekarang ini dengan didukung oleh kemajuan teknologi, khususnya teknologi informasi, telekomunikasi, dan transportasi, timbulnya kejahatan-kejahatan yang berdimensi internasional ini akan semakin meningkat baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Untuk mengatasinya tidaklah cukup hanya dilakukan oleh negara secara sendiri-sendiri, tetapi dibutuhkan kerjasama yang terpadu baik secara bilateral maupun multilateral. Salah satu lembaga hukum yang dipandang dapat menanggulangi kejahatan yang berdimensi internasional ini adalah ekstradisi. Oleh karena itu jika timbul suatu kasus kejahatan yang berdimensi internasional maka yang diperlukan adalah suatu kerjasa internasional berupa diplomasi bilateral maupun multilateral Kerjasama internasional penegakan telah keberhasilan penegakan hukum terbukti hukum dalam sangat nasional terhadap hubungan menentukan kejahatan transnasional. Keberhasilan kerjasama penegakan hukum tsb pada umumnya tidak akan menjadi kenyataan jika tidak ada perjanjian bilateral atau multilateral dalam penyerahan pelaku kejahatan atau dalam kerjasama penyidikan,penuntutan dan peradilan Perjanjian ekstradisi tersebut memberikan harapan kepada Indonesia untuk dapat 14 memulangkan para penjahat ekonomi seperti koruptor, pencuci uang, dsb. Perjanjian ini membuka babak baru dalam hubungan RI-Australia. Keuntungan yang didapat dari Perjanjian Ekstradisi tersebut adalah turut membantu pengembalian orang yang melakukan tindakan kejahatan transnasional yang merugikan Negara sehingga dapat dikembalikan ke dalam negeri dan diproses hukumnya. Perjanjian ekstradisi Australia dan Indonesia membahas beberapa poin penting yang tertulis, yaitu : 1. Kejahatan yang dapat diekstradisikan. Di dalam Perjanjian ini ditegaskan bahwa kejahatan-kejahatan yang dapat diekstradisikan adalah kejahatan yang dapat dihukum menurut hukum Indonesia ataupun hukum Australia dengan hukuman penjara minimal satu tahun atau dengan hukuman yang lebih berat. Dianutnya sistem bahwa tindak pidana yang dapat diekstradisikan haruslah merupakan tindakan yang diklasifikasikan tindak pidana di kedua negara merupakan pelaksanaan asas kriminalitas ganda (double criminality). Jenis kejahatan yang dapat diekstradisikan berjumlah 33 (tiga puluh tiga) jenis kejahatan. 1. Pembunuhan berencana, pembunuhan; 2. Kejahatan yang menyebabkan kematian orang; 3. Kejahatan terhadap hukum mengenai pengguguran kandungan; 4. Membantu atau membujuk atau menasehati atau memberikan sarana kepada orang lain untuk melakukan tindakan bunuh diri; 5. Dengan maksud jahat dan berencana melukai atau mengakibatkan luka berat, penyerangan yang menyebabkan luka; 6. Penyerangan terhadap Hakim/Magistrat, pejabat polisi atau pejabat umum; 15 7. penyerangan di kapal atau di pesawat udara denganmaksud membunuh atau menyebabkan luka berat; 8. perkosaan atau penyerangan seks; 9. perbuatan cabul dengan kekerasan; 10. memberi sarana, atau memperjualbelikan wanita atau orang muda dengan maksud amoral, hidup dari hasil pelacuran; setiap kejahatan lain terhadap hukum mengenai pelacuran; 11. bigami; 12. penculikan, melarikan wanita, memenjarakan secara tidak sah, perdagangan budak; 13. mencuri, menelantarkan, menawarkan atau menahan anak secara melawan hukum; 14. kejahatan terhadap hukum mengenai penyuapan; 15. memberikan sumpah palsu, membujuk memberikan sumpah palsu, menghalangi untuk atau menggagalkan jalannya peradilan; 16. perbuatan menimbulkan kebakaran; 17. kejahatan yang berhubungan dengan pemalsuan uang dan surat-surat berharga; 18. kejahatan terhadap hukum mengenai pemalsuan atau terhadap hukum mengenai penggunaan apa yang dipalsukan; 19. kejahatan terhadap hukum mengenai pajak, bea cukai, pengawasan devisa, atau mengenai pendapatan negara lainnya. 20. pencurian; penggelapan; penukaran secara curang; pembukuan palsu dan curang, mendapatkan barang, uang, surat berharga atau kredit melalui upaya palsu 16 atau cara penipuan lainnya; penadahan, setiap kejahatan lainnya yang berhubungan dengan penipuan; 21. pencurian dengan pemberatan; pencurian dengan mengrusakan rumah; setiap kejahatan yang sejenis; 22. perampokan; 23. pemerasan atau pemaksaan dengan ancaman atau dengan penyalahgunaan wewenang; 24. kejahatan terhadap hukum mengenai kepailitan dan keadaan pailit; 25. kejahatan terhadap hukum mengenai perusahaanperusahaan; 26. pengrusakan barang dengan maksud jahat dan berencana; 27. perbuatan yang membahayakan dilakukan keselamatan dengan maksud orang-orang yang bepergian dengan kereta api, kendaraan darat, kapal laut atau pesawat udara atau membahayakan atau merusak kereta api, kendaraan darat, kapal laut atau pesawat udara; 28. pembajakan; 29. perbuatan yang melawan hukum terhadap kekuasaan nakhoda kapal laut atau kapten pilot pesawat udara; 30. merampas secara melawan hukum, atau menguasai pengendalian atas kapal laut atau pesawat udara, dengan paksaan atau ancaman kekerasan atau dengan setiap bentuk intimidasi lainnya; 31. perbuatan yang melawan hukum dari salah satu perbuatan yang ditentukan dalam ayat 1 Pasal 1 Konvensi mengenai Pemberantasan tindakan-tindakan Melawan Hukum Penerbangan Sipil; 17 Yang Mengancam Keamanan 32. kejahatan terhadap hukum mengenai obat-obat berbahaya atau narkotika; 33. membantu, ikut serta, menasehati atau memberikan sarana, menjadi pembantu laku sebelum atau sesudah sesuatu perbuatan dilakukan, atau mencoba atau berkomplot melakukan suatu kejahatan yang disebutkan diatas. 2. Kejahatan yang berlatar belakang politik. Apabila tindak pidana yang dilakukan merupakan kejahatan yang berlatar belakang politik atau bersifat politik, maka pelaku tindak pidana tidak akan diekstradisikan. Menghilangkan atau mencoba menghilangkan nyawa Kepala Negara atau Kepala Pemerintahan dan keluarganya tidak dianggap sebagai kejahatan politik karena itu pelakunya dapat diekstradisikan. 3. Negara berhak menolak menyerahkan warganegaranya. Masing-masing Negara Pihak dalam Perjanjian berhak menolak untuk mengekstradisikan warganegaranya. Dalam Perjanjian Ekstradisi ini Negara yang Diminta untuk melakukan ekstradisi berhak untuk mempertimbangkan apakah akan menyerahkan atau tidak. Jika Negara yang Diminta tidak mengekstradisikan warga negaranya, Negara itu atas permintaan Negara Peminta wajib menyerahkan perkaranya kepada pejabat yang berwenang di Negara yang Diminta. 4. Pelaku tindak pidana yang telah diadili dan diputus bebas atau dilepas dari segala tuntutan. Apabila seseorang telah diadili dan diputus bebas atau dilepas dari segala tuntutan oleh pengadilan yang berwenang atau telah menjalani hukuman di Negara yang Diminta atau di Negara ketiga sehubungan dengan kejahatan yang dimintakan ekstradisinya, maka ekstradisi atas orang itu tidak akan dikenakan. 5. Tindak Pidana yang diancam dengan hukuman mati. 18 Perjanjian ini juga mengatur bahwa ekstradisi tidak akan diberikan terhadap kejahatan yang diancam dengan hukuman mati, kecuali jika Negara Peminta itu menjamin bahwa hukuman mati tersebut tidak akan dijatuhkan, atau dalam hal hukuman mati telah dijatuhkan, hukuman mati tersebut tidak akan dilaksanakan. 6. Tata cara ekstradisi. Ekstradisi akan ditempuh dengan cara Negara Peminta mengajukan permintaan ekstradisi kepada Negara yang Diminta. Permintaan harus tertulis dan disampaikan melalui saluran diplomatik disertai dokumen-dokumen otentik yang diperlukan. Apabila permintaan atas orang yang sama datang dari dua negara atau lebih maka Negara yang Diminta harus menentukan kepada negara mana ekstradisi itu akan dilakukan. 7. Berlakunya Perjanjian. Perjanjian akan mulai berlaku 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal Negara-negara Pihak saling memberitahukan secara tertulis bahwa masing-masing persyaratan untuk mulai berlakunya Perjanjian ini telah dipenuhi. Masing-masing Negara Pihak dapat mengakhiri berlakunya Perjanjian dengan memberitahukan secara tertulis kepada pihak lainnya yang akan berlaku efektif 180 (seratus delapan puluh) hari terhitung sejak surat pemberitahuan tersebut diberikan. Lemahnya system hokum yang mengatur keluar dan masuknya para pelaku kejahatan transnasional menunjukkan bahwa Indonesia masih sangat memerlukan suatu kerjasama bilateral maupun multilateral dalam melakukan pengembalian para terdakwa. Perjanjian ekstradisi sangat diperlukan agar pelaku dapat dikembalikan di Indonesia dan di proses hokum sehingga tidak bertambah para pelaku kejahatan yang lari keluar negeri. 19 3.2.2Kelemahan Perjanjian Ekstradisi bagi Indonesia Pemerintah Indonesia telah memiliki “undang-undang payung”(umbrella act) untuk ekstrradisi dengan Undang-undang Nomor 1 tahun 1979 tentang Ekstradisi, bahwa perjanjian esktradisi untuk tujuan penyerahan orang (pelaku kejahatan). Permintaan penyerahan pelaku kejahatan (ekstradisi) tidak serta merta merupakan pengembalian aset hasil kejahatan yang dibawa pelaku kejahatan. Hal ini berarti permintaan esktradisi wajib dilengkapi dengan permintaan bantuan timbale balik dalam masalah pidana terutama pengusutan dan pengembalian aset kejahatan dari pelaku kejahatan. Dalam perjanjian ekstradisi tidak dinyatakan secara tegas karena hanya bertujuan dalam penyerahan orang. Seperti termuat dalam pasal 1 : “Ekstradisi adalah penyerahan oleh suatunegara kepada negara yang meminta penyerahan seseorang yang disangka atau dipidanakarena melakukan suatu kejahatan di luar wilayah negara yang menyerahkan dan didalam yurisdiksi wilayah negara yang meminta penyerahan tersebut, karena berwenang untuk mengadili dan memidananya.” Dalam makalah ini telah dijelaskan mengenai Urgensi Perjanjian Ekstradisi antara Republik Indonesia dan Australia. Dari kesepakatan itu, bagi Indonesia, para penjahat transnasional yang lari dan bersembunyi serta menanamkan uang dan asset-asetnya di sana bisa ditangkap dan diproses hukum. Namun masih perlu adanya gabungan dari berbagai perjanjian yaitu perjanjian Ekstradisi, perjanjian pengembalian asset atau perjanjian timbal balik dalam masalah pidana. agar para penjahat transnasional tidaak berlindung pada Negara lain. Berdasarkan prinsip-prinsip umum perjanjian internasional yang berlaku, “pacta sunt servanda”(Pasal 26) dan ketentuan bahwa, suatu negara tidak boleh menolak pelaksanaan suatu perjanjian dengan alasan bertentangan dengan sistem hukum nasional (Pasal 27) maka permintaan ekstradisi wajib dipenuhi sebagai suatu kewajiban mutlak 20 bagi negara yang dimintakan ekstradisi. Namun di dalam praktik hubungan internasional, khususnya di dalam perjanjian ekstradisi bilateral, prinsip-prinsip umum tsb di atas dapat disimpangi sepanjang penyimpangan tersebut disepakati kedua belah pihak yang terikat ke dalam perjanjian esktradisi Penyimpangan tsb dapat diketahui dari ketentuan mengenai “penolakan”(refusal) atau “exception”(kekecualian) di dalam perjanjian ekstradisi.[11] Semakin banyak syarat penolakan suatu permintaan ekstradisi dimuat dalam suatu perjanjian ekstradisi maka semakin sulit perjanjian tersebut dapat diwujudkan secara efektif. Bila di tinjau dari segi penghormatan dan perlindungan atas hak-hak asasi manusia, dapat dikatakan bahwa ekstradisi adalah merupakan sebuah pranata hukum yang sangat ideal dengan pencegahan dan pemberantasan kejahatan. Dikatakan sangat ideal, oleh karna ekstradisi ini menentukan pembatasan yang sangat ketat dan berat dalam proses permintaan dan penyerahan pelaku kejahatan atau yang didalam ekstradisi yang lebih populer dengan istilah orang yang diminta. Hak-hak asasi manusia dari orang Yang diminta benarbenar di hormati dan dilindungi. Beberapa bukti dapat di kemukakan untuk mendukung pernyataan tersebubt di atas. Faktor penghambat dari pelaksanaan undang-undang ekstradisi adalah 1. konsepsi dari kejahatan Transnasional tiap Negara berbeda contohnya beberapa Negara menyebutkan bahwa korupsi adalah hanya tindakan suap, namun bukan tindakan lain yang merugikan Negara 2. ekstradisi tidak dapat langsung segera dilaksanakan karena masih harus menunggu parlemen masing-masing negara membuat undang-undang. Dalam konteks ini sebenarnya Indonesia sudah memiliki suatu Perundang-undangan nasional yang mengatur 21 permasalahan ekstradisi dengan cukup jelas, yaitu UndangUndang Nomor 1 Tahun 1979 Tentang Ekstradisi. Namun, masih terdapat beberapa kekurangan yang berkaitan mengenai proses pelaksanaan kegiatan ekstradisi, khususnya mengenai perjanjian kerjasama dalam bidang ekstradisi dengan negara-negara lain. Ini karena sampai saat ini pemerintah Indonesia baru memiliki perjanjian kerjasama ekstradisi dengan 6 negara saja. Jumlah itu sangat sedikit jika di perbandingkan dengan jumlah negara di dunia ini. Kekurangan tersebut berhubungan dengan masih adanya negara-negara di dunia yang hanya mau mengabulkan permintaan ekstradisi dari suatu negara hanya apabila negara tersebut telah memiliki perjanjian kerjasama ekstradisi dengan negara-peminta. 3. Ekstradisi hanya menjerat pelaku pidana yang berstatus sebagai tersangka dan terpidana. Berdasar pasal 1 UU 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi disebutkan bahwa yang dapat diekstradisi ialah orang yang oleh pejabat yang berwenang dari negara asing diminta karena disangka melakukan kejahatan atau untuk menjalani pidana atau perintah penahanan. Artinya, perjanjian ektradisi tidak akan menjangkau mereka yang masih masih diselidiki (dengan status calon tersangka). Padahal dalam kasus korupsi BLBI misalnya, ICW mencatat dari total 60 pelaku korupsi, sebanyak 36 orang masih dalam proses penyelidikan dan patut diduga umumnya sudah melarikan diri ke luar negeri. 4. ekstradisi hanya menjerat orang dan bukan aset hasil korupsi. Jika yang diekstradisi adalah orang atau pelaku korupsi namun tidak dengan aset hasil korupsi, maka hasil akhirnya menjadi tidak menguntungkan dan justru akan menjadi beban negara apabila akhirnya koruptor dipenjara. 22 5. Ketatnya syaraat-syarat yang harus di penuhi untuk dapat meminta, menyerahkan, dan mengadili orang yang diminta atau pelaku kejahatan yang pada hakikatnya semuanya itu demi menghormati dan melindungi hak-hak asasi orang yang bersangkutan. Syarat-sysarat tersebut antara lalin: kejahatan yang dituduhkan terhadapnya dan yang dijkadikan alasan untuk meminta/menyerahkan, haruslah merupakan kejahatan dan tindak pidana menurut hukum pidana kedua Negara (Negara peminta dan Negara yang diminta ) atau yang disebut dengan asas kejahatan ganda (double crimminality princyple); Negara peminta berjanji bahwa orang yang diminta hanya akan diadili dan atau di hukum hanya terbatas pada kejahatan yang di jadikan alasan untuk memintanya atau menyerahkannya (asas kekhususan/principle of speciality); si pelaku atau orang yang diminta tidak akan diserahkan jika kejahatan yang dijadikan alasan untuk meminta penyerahan tegolong kejahatan kejahatan politik (asas tidak menyerahkan pelaku politik/non ekstradision of political criminal); si pelaku tidak akan diserahkan jika ternyata akan dijatuhi hukuman mati, jika kejahatan yang dijadikan alasan untuk meminta/menyerahkannya tidak diancam dengan hukuman mati oleh hukum pidana dari Negara diminta. 6. Prosedur yang panjang dan birokratis. Dimaksudkan untuk menghormati dan melindungi hak-hak asasi manusia dari sipelaku atau orang yang diminta. Proses tersebut yaitu : Negara peminta mengumpulkan dokumen-dokumen yang berkaitan dengan orang yang diminta maupun kejahatan yang dijadikan alasan untuk memintanya, Evaluasi kelengkapan dokumen dalam pengajuan permintaaan atas orang yang bersangkutan kepada 23 Negara diminta Pengajuan permintaan ekstradisi kepada Negara diminta, m elalui saluran diplomatik. dari pemerintah ke pemerintah melalui menteri luar negri atau duta besar masing-masing Negara. Negara diminta akan mempertimbangkan permintaan dari Negara peminta tersebut melalui suatu proses atau prosedur yang berlaku dalam hukum nasionalnya, misalnya melalui pemeriksaan oleh badan peradilan dari tingkatan yang paling rendah hingga tertinggi. pihak pemerintah (eksekutif) mengambil keputusan mengenai persetujuan ekstradisi antara kedua Negara. 3.2.3 Tantangan Perjanjian Ekstradisi bagi Indonesia Abad ke 21 saat ini merupakan abad perdamaian dan kesejahteraan sebagaimana telah dicanangkan dalam Millenium Development Goals(MDG’s) yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan bangsa-bangsa dan menghapuskan kemiskinan umat manusia. Tantangan bagi seluruh negara abad ini semakin besar, serius dan nyata sehubungan dengan perkembangan kemajuan di bidang teknologi dan komunikasi. Abad ini dapat dikatakan sebagai abad memacu peradaban manusia sejalan dengan perkembangan kemajuan di bidang ilmu dan teknologi di satu sisi, dan di sisi lain juga dapat dikatakan sebagai abad kapitalisme modern yang semakin jauh dari nila-nilai agama dan semakin dekat dengan nilai-nilai duniawi. Pembentukan Badan Dunia seperti Perserikatan BangsaBangsa pada tahun 1945 merupakan upaya seluruh bangsa untuk menyelamatkan generasi penerus bangsa di dunia dari akibat perang dunia kedua dan sekaligus memberikan jaminan bahwa peristiwa 24 seperti itu (Perang Dunia II) tidak akan terulang lagi. Pasca Perang Dunia kedua, abad 21 menghadapi 5(lima) bentuk tantangan yaitu: Kemiskinan da Penyakit Menular; Konflik antar negara dan di dalam negara; Ancaman Senjata Nuklir, senjata Radiologi, senjata Kimia dan senjata biologi; Terorisme, dan Kejahatan Transnasional Terorganisasi.[16]. Ditegaskan dalam laporan tsb bahwa, dalam abad 21 era globalisasi saat ini, dapat dinyatakan tidak ada satu negarapun di dunia yang dapat hidup sendiri dan bekerja sendiri mencegah dan mengatasi masalah dalam negerinya sendri tanpa bantuan dan kerjasama negara lain. Tuntutan perkembangan abad 21 yang hampir tanpa batas-batas wilayah secara nyata karena pengaruh globalisasi dalam setiap sector kehidupan mengakibatkan perkembangan kelima bentuk ancaman sebagaimana disebutkan di atas akan semakin bertambah nyata dan berdampak sangat luar biasa terhadap kehidupan umat manusia. Dalam mengantisipasi masalah global dimaksud, Pemerintah Indonesia sudah seharusnya meningkatkan persiapan-persiapan dan perencanaan yang komprehensf dalam mencegah dan memberantas kelima bentuk ancaman tersebut. Dalam kaitan topic makalah ini, maka kejahatan transnasional (korupsi, pencucian uang, perdagangan manusia, penyelundupan migrant, dan penyelundupan senjata api)[17] dan terorisme merupakan musuh utama bangsa-bangsa di dunia dan seharusnya menjadi agenda pembaruan pembangunan dan penegakan hukum untuk 5(lima) atau 10 (sepuluh) tahun yang akan datang. Laporan penelitian ADB/OECD (2007) [18]mengenai implementasi dan efektivitas bentuk kerjasama penegakan hukum sebagaimana diuraikan di atas menunjukkan bahwa, prinsip-prinsip umum ekstradisi dan mutual assistance in criminal matters yang telah diakui dalam hukum internasional khusus tentang kedua bentuk 25 perjanjian kerjasama penegakan hukum, di dalam praktik hubungan baik bilateral maupun multilateral banyak mengalami hambatanhambatan tidak hanya bersifat teknis hukum melainkan juga bersifat teknis operasional. Selain hambatan tersebut juga dalam praktik, tidak banyak permintaan ekstradisi atau bantuan timbale balik dalam masalah pidana termasuk negara yang telah memiliki perjanjian tsb. Namun demikian kepentingan ada tidak adanya perjanjian ekstradisi dan atau bantuan timbale balik dalam masalah pidana bukan ditentukan oleh fakta kurangnya permintaan untuk penyerahan pelaku kejayan atau bantuan dalam penyidikan dan penuntutan akan tetapi juga ditentukan oleh kepentingan politik dan meningkatkan efektvitas dan efisiensi penegakan hukum di dalam negeri. Dalam era globalisasi saat ini, pelarian aset hasil kejahatan dan para pelaku kejahatan sangat mungkin terjadi dengan bantuan alat telekomunikasi modern dan sistem sistem online internasional terutama di bidang perbankan. Atas dasar pertimbangan tersebut maka sistem pencegahan yang bersifat komprehensif dengan dukungan teknologi informasi modern sangat menentukan keberhasilan sistem represif (penindakan) terhadap para pelaku kejahatan. Untuk memperkuat sistem pencegahan komprehensif dimaksud diperlukan perkuatan undang-undang pemberantasan korupsi; undang-undang pencucian uang , dan undang-undang kelembagaan anti korupsi dan anti pencucian uang yang terorganisasi dan terkoordinasi dengan baik. Penetapan Kementrian Hukum dan HAM sebagai “Central Authorithy” merupakan kunci keberhasilan dalam pelaksanaan perjanjian ekstradisi dan bantuan timbale balik dalam masalah pidana. Untuk tujuan tersebut, Kementrian Hukum dan HAM harus membentuk suatu task-force yang mewakili unsure kementrian yang relevan dan lembaga penegak hukum serta melibatkan seluruh 26 pakar hukum pidana dan hukum perbankan yang kredibel serte memiliki integritas. Penguatan sisi integritas aparatur penegak hukum dan aparatur kementrian hukum dan ham turut menentukan keberhasilan proses permintaan ekstradisi dan bantuan timbale balik dalam masalah pidana terutama untuk tujuan pengembalian aset hasil kejahatan. Penguatan ini sangat penting mengingat musuh utama negara dalam era globalisasi bukan perorangan atau “white collar crime” melainkan suatu organisasi internasional yang bergerak dalam korporasi dunia kejahatan dengan menggunakan legalitas dengan jaringan yang sangat luas, sebagai tempat persembunyian yang sangat aman dan terlindungi. 27 BAB IV PENUTUP 4.1 Kesimpulan Latar belakang Indonesia dalam melakukan adanya perjanjian ekstradisi dengan Negara tetangga adalah Indonesia memiliki kedudukan geografis yang sangat strategis, terletak pada posisi silang diantara dua benua, yakni Asia dan Australia. Disamping itu, Indonesia juga terletak diantara dua samudra, yakni Samudra Hindia dan Samudra Pasifik.. terletak di jalur perdagangan dunia (Indonesia memiliki 4 selat yang menjadi jalur utama lalu lintas perdagangan dunia yaitu: Selat Malaka, Selat Sunda, Selat Lombok dan Selat Makasar; memiliki jumlah penduduk yang besar (lebih dari 240 juta orang); memiliki kekayaan alam yang berlimpah; Posisi Indonesia yang strategis seperti ini membawa konsekwensi positif maupun negatif . Keuntungan yang didapat dari Perjanjian Ekstradisi tersebut adalah turut membantu pengembalian orang yang melakukan tindakan kejahatan transnasional yang merugikan Negara sehingga dapat dikembalikan ke dalam negeri dan diproses hukumnya. Kelemahan yang didapat dari Perjanjian Ekstradisi adalah permintaan penyerahan pelaku kejahatan (ekstradisi) tidak serta merta merupakan pengembalian aset hasil kejahatan yang dibawa pelaku kejahatan. Hal ini berarti permintaan esktradisi wajib dilengkapi dengan permintaan bantuan timbale balik dalam masalah pidana terutama pengusutan dan pengembalian aset kejahatan dari pelaku kejahatan. Dalam perjanjian ekstradisi tidak dinyatakan secara tegas karena hanya bertujuan dalam penyerahan orang. 28 4.2 Saran Dalam era globalisasi saat ini, pelarian aset hasil kejahatan dan para pelaku kejahatan sangat mungkin terjadi dengan bantuan alat telekomunikasi modern dan sistem sistem online internasional terutama di bidang perbankan. Atas dasar pertimbangan tersebut maka sistem pencegahan yang bersifat komprehensif dengan dukungan teknologi informasi modern sangat menentukan keberhasilan sistem represif (penindakan) terhadap para pelaku kejahatan. Untuk tujuan tersebut, Kementrian Hukum dan HAM harus membentuk suatu task-force yang mewakili unsure kementrian yang relevan dan lembaga penegak hukum serta melibatkan seluruh pakar hukum pidana dan hukum perbankan yang kredibel serte memiliki integritas. 29 DAFTAR PUSTAKA Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi Undang-undang Nomor 8 Tahun 1994 tentang Pengesahan Perjanjian Ekstradisi Antara Republik Indonesia dan Australia Anonim. 2011. Indonesia-Australia Sepakati Perjanjian Ekstradisi Koruptor. (online) . http://politikindonesia.com/index.php?k=politik&i=16802. Diakses pada tanggal 17 November 2013 BBC Indonesia.2013. Pengadilan Indonesia Tolak Permohonan Ekstradisi Australia.(online) http://www.bbc.co.uk/indonesia/ berita_indonesia/2013/07/130711_ preview_sidang_sayed_abas.shtml. Diakses pada 17 November 2013 IRDU. 2013. Kerjasama Indonesia dalam Menangani Kejahatan Transnasional. (online). http://hi.fisip.undip.ac.id/kerjasama-indonesia-dalam-menanganikejahatan-transnasional/. Diakses pada 17 November 2013 Inggrid. 2012. Ekstradisi (Pengertian, Sejarah dan Prinsip-Prinsip Umum). (online). http://internationaloflawupd.blogspot.com/2012/10/ekstradisipengertian-sejarah-dan.html . Diakses pada 17 November 2013 Republika. 2007. Memburu Koruptor Usai Perjanjian Ekstradisi. (online) http://www.antikorupsi.org/id/content/memburu-koruptor-usai-perjanjianekstradisi . Diakses pada 17 November 2013 Paripurna. T Garda. 2008 . Sekilas tentang Kejahatan Transnasional. (online). http://risethukum.blogspot.com. Diakses pada 17 November 2013 Zulkhairi. 2010. Pentingnya Ekstradisi dalam Menangani Kejahatan (online). http://zulkhairimhkeumumu.blogspot.com/2010/01/pentingnya-ekstradisidalam-mengatasi.html . Diakses pada 17 November 2013 30