Makalah Kelompok 9 - Blog UB

advertisement
ANALISIS IMPLEMENTASI
PERJANJIAN EKSTRADISI AUSTRALIA - INDONESIA
Disusun untuk memenuhi tugas terstruktur mata kuliah Hubungan Internasioal
kelas E yang dibimbing oleh Bapak Dr Hermawan S.IP, M,SI
Nama Kelompok:
Lutfian Bangkit Kadarusman (115030101111059)
Resita Lendy Renora
(115030101111070)
Hartika
(115030101111071)
Yudith Restia Friosa
(115030101111075)
JURUSAN ILMU ADMINISTRASI PUBLIK
FAKULTAS ILMU ADMINISTRASI
UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG
NOVEMBER 2013
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan nikmat serta hidayahNya terutama nikmat kesempatan dan kesehatan sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah berjudul “Analisis Implementasi Perjanjian Ekstradisi
Australia-Indonesia ”. Kemudian shalawat beserta salam kita sampaikan kepada
Nabi besar kita Muhammad SAW yang telah memberikan pedoman hidup yakni
al-qur’an dan sunnah untuk keselamatan umat di dunia.
Makalah ini merupakan salah satu tugas mata kuliah Hubungan
Internasional di program studi Ilmu Administrasi Publik Fakultas Ilmu
Administrasi pada Universitas Brawijaya. Selanjutnya penulis mengucapkan
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Dr Hermawan S.IP, M.SI
.selaku dosen pembimbing mata kuliah dan kepada segenap pihak yang telah
memberikan bimbingan serta arahan selama penulisan makalah ini.
Akhirnya penulis menyadari bahwa banyak terdapat kekurangankekurangan dalam penulisan makalah ini, maka dari itu penulis mengharapkan
kritik dan saran yang konstruktif dari para pembaca demi kesempurnaan makalah
ini.
Malang, November 2013
Penulis
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .................................................................................... ii
DAFTAR ISI ................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar belakang ............................................................................ 1
1.2
Rumusan Masalah ...................................................................... 3
1.3
Tujuan Penelitian ....................................................................... 3
BAB I KAJIAN PUSTAKA
2.1
Ekstradisi ................................................................................... 4
2.2
Kejahatan Transnasional .......................................................... 7
BAB III PEMBAHASAN
3.1
Urgensi Perjanjian Ekstradisi Indonesia dan Australia ............. 10
3.2
Penegakan Perjanjian Ekstradisi Indonesia dan Australia ........ 14
3.2.1 Kelebihan Perjanjian Ekstradisi bagi Indonesia ............... 14
3.2.2 Kelemahan Perjanjian Ekstradisi bagi Indonesia.............. 20
3.2.3 Tantangan Perjanjian Ekstradisi bagi Indonesia ............... 24
BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan .................................................................................... 28
4.2 Saran .............................................................................................. 29
iii
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Hukum merupakan serangkaian sistem absolute yang mengikat segala
peranan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dengan fungsi untuk
melakukan pengaturan dan pengawasan sehingga tercapainya satu tujuan
kehidupan berbangsa yaitu ketertiban, keamanan dan keadilan perkembangan
berbagai aspek kehidupan bernegara.
Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara yang berdasar atas
hukum (rechtstaat), bukan berdasar atas kekuasaan (machstaat), dan
merupakan pemerintahan yang berdasarkan sistem konstitusi dan bukan
absolutisme. Sebagaimana yang dituang dalam Pasal 1 ayat (3) Bab I
Amandemen Ketiga Undang-Undang Dasar 1945 yang menegaskan bahwa
Negara Indonesia adalah Negara hukum. Apa yang dituangkan dalam Pasal
tersebut tentunya merupakan tujuan dari sebuah pemerintahan yang harus
didasarkan atas prinsip-prinsip yang harus dilaksanakan yaitu supremasi
hukum dan penegakan hukum yang sesuai dengan kaedah-kaedah hukum
yang diakui, sehingga apa yang harus dilakukan dalam bentuk tindakan, sikap
dan pola pikir pada tiap warga negara, pemerintah dan negara itu sendiri
harus berlandaskan atas hukum.
Sejauh ini peranan hukum di Indonesia dalam pencapaian tujuannya
dapat dicapai dengan sepenuhnya, dengan melihat keadaan situasi saat ini
yang bersifat global dan terbuka. Indonesia juga turut aktif dalam penegakan
hukum bersifat Internasional. Peranan Indonesia dalam mengatur dan
mempengaruhi keadaan hukum terkait dengan hubungan bilateral dengan
negara lain disebut dengan ekstradisi. Ekstradisi adalah sebuah proses formal
di mana seorang tersangka kriminal ditahan oleh suatu pemerintah diserahkan
kepada pemerintahan lain untuk menjalani persidangan atau, tersangka
tersebut sudah disidang dan ditemukan bersalah, menjalani hukumnya.
1
Ekstradisi merupakan salah satu kebijakan Hukum internasional
Indonesia. Hukum internasional merupakan bagian hukum yang mengatur
aktivitas entitas berskala internasional. Hukum Internasional diartikan sebagai
perilaku dan hubungan antarnegara. Dalam perkembangan pola hubungan
internasional yang semakin kompleks, hukum internasional juga berkaitan
dengan struktur dan perilaku organisasi internasional dan pada batas tertentu,
perusahaan multinasional dan individu.
Dalam hukum internasional suatu negara tidak memiliki suatu
kewajiban untuk menyerahkan tersangka kriminal kepada negara asing,
karena suatu prinsip sovereignty bahwa setiap negara memiliki otoritas
hukum atas orang yang berada dalam batas negaranya. Karena ketiadaan
kewajiban internasional tersebut dan keinginan untuk mengadili kriminal dari
negara lain telah membentuk suatu jaringan persetujuan atau perjanjian
ekstradisi.
Indonesia telah memiliki UU yang mengatur terkait perjanjian
ekstradisi Indonesia dengan negara-negara lain yang memiliki hubungan
bilateral maupun multilateral yang baik dengan Indonesia yang diatur dalam
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1979 tentang
Ekstradisi. Salah satunya perjanjian ekstradisi antara Indonesia-Australia.
Hubungan yang baik antara Indonesia-Australia sebagai negara yang
bersahabat memungkinkan adanya kerjasama dalam perjanjian ekstradisi
diantara keduanya. Landasan hukum ekstradisi Indonesia-Australia diatur
dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1994 tentang
Pengesahan Perjanjian Ekstradisi Antara Republik Indonesia Dan Australia.
Penulis akan mengulas lebih lanjut terkait sejauh mana pengimplementasian UU
perjanjian ekstradisi Indonesia-Australia dalam mengatur hubungan hukum
bilateral Indonesia-Australia.
2
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan maka rumusan
masalah yang ada adalah
1. Bagaimana Urgensi Perjanjian Ekstradisi Indonesia dan Australia
2. Bagaimana Penegakan Perjanjian Ekstradisi Indonesia dan Australia
1.3 Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah yang ada maka tujuan penulisan makalah
ini adalah
1. Untuk mengetahui rgensi perjanjian ekstradisi Indonesia dan Australia
2. Untuk mengetahui penegakan perjanjian ekstradisi Indonesia dan
Australia
3
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Ekstradisi
Ekstradisi berasal dari kata latin “axtradere” (extradition = Inggris)
yang berarti ex adalah keluar, sedangkan tradere berarti memberikan yang
maksudnya ialah menyerahkan. Istilah ekstradisi ini lebih dikenal atau
biasanya digunakan terutama dalam penyerahan pelaku kejahatan dari suatu
negara kepada negara peminta.
L. Oppenheim menyatakan: “Extradition is the delivery of an accused
or confited individual to the state on whose teritory he is alleged to have
committed, or to have been convicted of a crime by the state on whose
territory the alleged criminal happens for the time to be”. Yang artinya ialah;
ekstradisi adalah penyerahan seorang tertuduh oleh suatu negara diwilayah
mana ia suatu waktu berada, kepada negara dimana ia disangka melakukan
atau telah melakukan atau telah dihukum karena perbuatan kejahatan.
J. G. Starke mendefinisikan ekstradisi sebagai berikut: “The term
extradition denotes the process where by under treaty or upon a basis of
reciprocity one state surrenders to another state at its request a person
accused or convicted of a criminal offence comitted againts the law of the
requesting state competent to try alleged offender”. Artinya ialah penyerahan
ekstradisi menunjukkan suatu proses dimana suatu negara menyerahkan atas
permintaan negara lainnya, seorang dituduh karena kriminal yang
dilakukannya terhadap undang-undang negara pemohon yang berwenang
untuk mengadili pelaku kejahatan tersebut.
Praktek
disebut ”Handing
ekstradisi
yang
didasarkan
Over” atau Disguished
tata
cara
Extradition”
tersebut
(ekstradisi
terselubung). Handing Over atau Disguished Extradition diartikan sebagai
penyerahan pelaku kejahatan dengan cara terselubung atau dengan kata lain
penyerahan pelaku kejahatan yang tidak sepenuhnya sesuai dengan proses
dan prosedur ekstradisi sebagaimana ditentukan dalam pengaturannya
4
diekstradisi. Dalam memberikan definisi mengenai ekstradisi ini penulis
hanya mengemukakan beberapa pendapat dari para sarjana, namun tidaklah
berarti sarjana-sarjana termuka lainnya tidak memberikan definisi. Akan
tetapi masih banyak lagi sarjana-sarjana yang memberikan batasan-batasan.
Agar dapat dimengerti dan dipahami lebih dalam mengenai ekstradisi,
maka haruslah diketahui hal-hal pokok-pokok atau unsur-unsur dari ekstradisi
itu sendiri. ada beberapa unsur dari ekstradisi yakni:
1. Unsur Subjek.
Yang dimaksud dengan unsur Subjek adalah negara. Dalam hal
ini ada 2 (dua) negara yang terkait yakni:
a. Negara yang memiliki yurisdiksi untuk mengadili atau menghukum
sipelaku kejahatan.
b. Negara tempat pelaku kejahatan (tersangka, tertuduh, terdakwa) atau
siterhukum itu berada atau bersembunyi.
Negara
yang
memiliki
yurisdiksi
untuk
mengadili
atau
menghukum ini sangat berkepentingan untuk mendapatkan kembali
orang tersebut untuk diadili atau dihukum atas kejahatan yang telah
dilakukannya itu. Biasanya negara yang memiliki yurisdiksi untuk
menghukum ini lebih dari satu. Untuk mendapatkan kembali orang yang
bersangkutan,
negara
atau
negara-negara
tersebut
mengajukan
permintaan kepada negara tempat orang itu berada atau bersembunyi.
Negara ini disebut negara peminta (the resqusthing state). Negara tempat
pelaku kejahatan berada atau bersembunyi diminta oleh negara yang
memiliki yurisdiksi untuk mengadili supaya menyerahkan orang yang
berada dalam wilayahnya itu (tersangka, terhukum) yang dengan singkat
disebut negara diminta (the resquithing State).
2. Unsur objek
Yang dimaksud adalah sipelaku itu sendiri (tersangka, tertuduh,
terhukum) yang diminta oleh negara peminta kepada negara diminta
supaya diserahkan. Dengan perkataan lain disebut sebagai “orang yang
diminta”. Walaupun sebagai objek namun sebagai manusia dia harus
5
diperlakukan sebagai subjek hukum dengan segala hak dan kewajibannya
yang azasi, yang tidak boleh dilanggar oleh siapapun.
3. Unsur Tata cara dan Prosedur.
Maksud dari pada unsur tata cara atau prosedur yakni bagaimana
tata cara untuk mengajukan permintaan penyerahan maupun tata cara
untuk menyerahkan atau menolak penyerahan itu sendiri serta segala hal
yang ada hubungannya dengan itu. Penyerahan hanya dapat dilakukan
apabila diajukan permintaan untuk menyerahkan oleh negara peminta
kepada negara diminta. Permintaan itu haruslah didasarkan pada
perjanjian ekstradisi yang telah ada sebelumnya antara kedua belah pihak
atau apabila perjanjian itu belum ada juga bisa didasarkan pada azas
timbal balik yang telah disepakati.
Kalau tidak ada permintaan untuk menyerahkan dari negara
peminta, maka sitersangka tidak boleh ditangkap atau diserahkan.
Kecuali penangkapan atau penahanan itu didasarkan atas adanya
yurisdiksi negara tersebut atau orang yang kejahatannya sendiri atau atas
kejahatan lain yang dilakukan orang itu sendiri harus diajukan secara
formal kepada negara yang bersangkutan sesuai dengan prosedur yang
telah ditentukan atau menurut hukum kebiasan internasional.
4. Unsur Tujuan.
Sedangkan yang dimaksud dengan unsur tujuan adalah untuk
tujuan apa orang yang bersangkutan dimintakan penyerahan atau
diserahkan. Hal ini tentunya melihat kepada bentuk kejahatan yang telah
melakukan suatu kejahatan yang menjadi yurisdiksi negara atau negara
diminta. Penyerahan atau ekstradisi yang dimaksudkan ialah untuk
mengadili pelaku kejahatan tersebut dan menjatuhkan hukuman apabila
terbukti bersalah dan agar sipelaku kejahatan menjalani hukuman yang
telah dijatuhkan kepadanya yang telah mempunyai kekuatan hukum
dinegara yang berwenang mengadilinya. Namun satu hal yang lebih
penting bukan hanya menyeret pelaku kejahatan kedepan pengadilan
untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya secara hukum, tetapi
6
lebih jauh lagi sebagai upaya mencegah makin meluasnya tindakan
serupa yang akan mengancam keamanan dan ketertiban serta
keselamatan internasional yang sudah menjadi tanggung jawab dari
seluruh negara-negara didunia ini.
Permintaan untuk menyerahkan itu harus dilakukan melalui saluran
diplomatik. Demikian pula jika negara-diminta menyetujui atau menolak
permintaan negara-perintah harus memberitahukannya kepada negarapeminta dengan melalui saluran diplomatik. Mengenai keputusan untuk
mengabulkan ataupun menolak permintaan dari negara-peminta, pejabat
tinggi dari negara-diminta seperti misalnya Jaksa Agung, Kepala Kepolisian,
Menteri Kehakiman, maupun Menteri Luar Negeri ikut terlibat dalam
memberikan pertimbangan-pertirnbangan, untuk pada akhirnya diambil
keputusan oleh pejabat yang berwenang dari negara-diminta.
Secara umum, ekstradisi adalah kepentingan politik dan merupakan
sarana untuk mencapai tujuan kekuasaan, namun pada saat ini ekstradisi
dipraktekkan guna menembus batas wilayah negara dalam arti agar hukum
pidana nasional dapat diterapkan terhadap para penjahat yang melarikan diri
ke negara lain atau agar keputusan pengadilan terhadap seorang penjahat
yang melarikan diri ke luar negeri dapat dilaksanakan. Secara umum
permintaan ekstradisi didasarkan pada perundang-undangan nasional,
perjanjian ekstradisi, perluasan konvensi dan tata krama internasional. Tetapi
bila terjadi permintaan ekstradisi diluar aturan-aturan tersebut, maka
ekstradisi dapat dilakukan atas dasar hubungan baik antara suatu negara
dengan negara lain, baik untuk kepentingan timbal balik maupun sepihak.
2.2 Kejahatan Transnasional
Transnational Crime merupakan suatu kejahatan yang terjadi lintas
Negara dalam pengertian bahwa suatu perbuatan dapat dikategorikan sebagai
kejahatan apabila terdapat piranti hukum yang dilanggar sehingga bisa saja
terjadi suatu perbuatan yang dirumuskan, dirancang , disiapkan , dilaksanakan
dalam suatu Negara bisa saja bukan merupakan kejahatan namun ketika hasil
7
kejahatan yang diatur, disiapkan melakukan lintas batas Negara untuk masuk
ke yuridiksi Negara yang berbeda lantas dikategorikan sebagai kejahatan
Transnasional Crime.
Isu isu penting dalam penanggulangan kejahatan lintas Negara adalah
terkait dengan
1.
Bahwa setiap Negara memiliki kedaulatan masing masing berupa
kedaulatan hukum , wilayah dan pemerintahan , sehingga dengan
adanya perbedaan system , struktur dan budaya hukum antar Negara
dibutuhkan suatu pengaturan berupa , konvensi, perjanjian , traktat,
bahkan pendekatan Government to government termasuk pendekatan
Police to Police dalam konteks tertentu sebagai jembatan untuk
memadukan kepentingan kedua Negara atau lebih agar dapat bekerja
sama dalam penanggulangan Transnational crime
2.
Tiap Negara memiliki nilai tawar ( bargaining Power ) yang selaras
dengan kekuatan ekonomi, social budaya, hankam dan politik sebagai
konsekuensi logis dari kedudukan suatu Negara dalam tataran
Geostrategi
dan
Geopolitik
di
lingkungan
regional
maupun
Internasional
3.
mempelajari konsep dan teori dalam Hukum Internasional, ,
Humanitarian Law , dan Kejahatan Internasional untuk memahami
secara mendalam international crime
4.
Akibat adanya perbedaan kepentingan antar Negara sehingga
dilingkungan regional maupun Internasional sehingga tidak semua
kejahatan
yang
dikategorikan
Transnational
crime,dipersepsikan
sebagai kejahatan yang sama oleh setiap Negara.
5.
Korelasi antara Kejahatan transnasional dengan Hukum internasional
dan kejahatan terorganisasi, bahwa wacana yang berkembang adalah
adanya perbuatan yang dikategorikan sebagai kejahatan Internasional
namun bukan merupakan suatu kejahatan Transnasional dengan actor
melibatkan atau tidak melibatkan kelompok / organisasi kejahatan
demikian sebaliknya , suatu perbuatan yang dikategorikan sebagai
8
kejahatan Transnasional namun bukan merupakan kejahatan terhadap
Hukum Internasional dengan actor dilakukan oleh kelompok /
organisasi maupun non organisasi kejahatan
6.
Combating Terrorism terdapat beberapa metode : hard power ( Militer,
penegakkan Hukum , intelijen ) dan Soft power ( Negosiasi ,
pembangunan ekonomi, dan Kontra Intelijen ) : hard power ( Military
approach ) dengan metode perang terbuka ( kerap dilakukan oleh
Amerika dengan menggunakan konsep perang “ War On terror “,
Forum The 2nd Assean Annual Senior Officials Meeting On
Transnational Crime dengan topik Work Programme to Implement The
ASEAN Plan of Action to Combat Transnational Crime diperoleh
kesepakatan terdapat delapan jenis kejahatan transnasional yaitu (ASEAN,
2002):
·
Perdagangan gelap narkotika (illicit drug trafficking)
·
Perdagangan manusia (trafficking in persons)
·
Perompakan di laut (sea piracy)
·
Penyelundupan senjata (arms smuggling)
·
Pencucian uang (money laundering)
·
Terorisme (terrorism)
·
Kejahatan ekonomi internasional (international economic crime)
·
Kejahatan dunia maya (cyber crime).
9
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Urgensi Perjanjian Ekstradisi Indonesia dan Australia
Kebutuhan adanya perjanjian esktradisi merupakan konsekuensi logis
dari karakter transnasional dari kejahatan tertentu di mana pelakunya
melarikan
diri
ke
Luar
Negeri
sehingga
dilakukan
upaya
untuk
mengembalikannya ke negara asalnya dengan tujuan penuntutan atau
menjalani pidana. Istilah ekstradisi ini lebih dikenal atau biasanya digunakan
terutama
dalam penyerahan pelaku kejahatan dari suatu negara kepada
negara peminta. Keberhasilan kerjasama penegakan hukum tersebut pada
umumnya tidak akan menjadi kenyataan jika tidak ada perjanjian bilateral
atau multilateral dalam penyerahan pelaku kejahatan atau dalam kerjasama
penyidikan,penuntutan dan peradilan. Prasyarat perjanjian tersebut tidak
bersifat mutlak karena tanpa ada perjanjian itupun kerjasama penegakan
hukum dapat dilaksanakan berlandaskan asas resiprositas (timbal balik)
Globalisasi dan interdependensi ekonomi suatu negara dengan negara
lain disamping melahirkan kesejahteraan dan kemajuan peradaban, membawa
dampak negatif antara lain telah mendorong lahirnya kejahatan lintas batas di
seluruh belahan dunia. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi informasi
dan komunikasi, seolah mengaburkan batas-batas negara, mendorong
semakin mudahnya perpindahan orang, barang dan jasa dari suatu negara ke
negara lain. Perkembangan global telah mengubah karakteristik kejahatan
yang semula dalam lingkup domestik bergeser menjadi lintas batas negara
atau transnasional. Dengan demikian “nature” dari kejahatan transnasional,
baik yang organized maupun yang tidak organized, tidak dapat dipisahkan
dari fenomena globalisasi.
Secara konsep, transnational crime merupakan tindak pidana atau
kejahatan yang melintasi batas negara. Konsep ini diperkenalkan pertama kali
secara internasional pada era tahun 1990-an dalam pertemuan Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) yang membahas pencegahan kejahatan. Pada tahun
10
1995, PBB mengidentifikasi 18 jenis kejahatan transnasional yaitu money
laundering, terrorism, theft of art and cultural objects, theft of intellectual
property, illicit arms trafficking, aircraft hijacking, sea piracy, insurance
fraud, computer crime, environmental crime, trafficking in persons, trade in
human body parts, illicit drug trafficking, fraudulent bankruptcy, infiltration
of legal business, corruption and bribery of public or party officials.
Latar belakang Indonesia dalam melakukan adanya perjanjian
ekstradisi dengan Negara tetangga adalah Indonesia memiliki kedudukan
geografis yang sangat strategis, terletak pada posisi silang diantara dua benua,
yakni Asia dan Australia. Disamping itu, Indonesia juga terletak diantara dua
samudra, yakni Samudra Hindia dan Samudra Pasifik.. terletak di jalur
perdagangan dunia (Indonesia memiliki 4 selat yang menjadi jalur utama lalu
lintas perdagangan dunia yaitu: Selat Malaka, Selat Sunda, Selat Lombok dan
Selat Makasar; memiliki jumlah penduduk yang besar (lebih dari 240 juta
orang); memiliki kekayaan alam yang berlimpah; Posisi Indonesia yang
strategis seperti ini membawa konsekwensi positif maupun negatif .
Pengaruh positif karena bisa mendatangkan sejumlah keuntungan.
Kapal niaga dari berbagai Negara yang berlayar melalui perairan Indonesia
ini tentu saja bisa mendatangkan keuntungan ekonomis –finansial. Banyak
komoditas Negara lain yang diperdagangkan di Indonesia; dan demikian pula
sebaliknya. Tidak sedikit komoditas Indonesia yang diperdagangkan di
Negara lain dengan menggunakan kapal niaga. Sejumlah pajak bisa masuk ke
kas Negara Indonesia mengingat banyak kapal niaga yang datang dan pergi di
negeri melalui wilayah perairan negara ini. Perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi yang terjadi di negara –negara lain bisa dibawa oleh berbagai
sarana transportasi ke negeri ini. Diakui atau tidak, semua ini membawa
pengaruh terhadap kemajuan Indonesia.
Posisi silang Indonesia bisa juga membawa konsekwensi negatif.
tidak jarang Indonesia dijadikan sebagai wilayah transit berkaitan dengan
tindak kejahatan. Berbagai pelaku tindak kejahatan yang berasal dari Negara
–negara di benua Asia, melakukan transit terlebih dahulu di Indonesia
11
sebelum mereka mencapai tujuan akhir di Australia. Tindak kejahatan
tersebut bisa berkaitan dengan penyelundupan manusia, penyelundupan obat
–obatan, penyelundupan senjata, money laundering dsb. Tidak menutup
kemungkinan, tindak kejahatan itu berasal dari Australia kemudian transit di
Indonesia dan kemudian diarahkan ke Negara –negara lain di Asia. Para
pelaku tindak kejahatan ini tidak saja berasal dari Negara –negara sekitar,
akan tetapi bisa juga berasal dari Negara –negara yang jauh dari Indonesia,
seperti berasal dari benua Afrika, Amerika, Eropa dsb. Para pelaku kejahatan
memanfaatkan wilayah Indonesia yang begitu luas dan belum terkontrol
secara baik oleh aparat keamanan. Oleh karena itu, mereka melakukan tindak
kejahatan dengan melakukan penyelundupan lewat wilayah laut, darat
maupun udara dan kemudian memasuki daerah Indonesia.
Perjanjian Ekstradisi
menanggapi
transnasional
crime mutlak
dilakukan karena :
1)
Melemahkan sistem hukum karena apabila dilakukan oleh organized
criminal group dapat mengancam integritas dan independensi penegak
hukum dengan mempengaruhi proses penegakan hukum termasuk
putusan hakim yang objektif dan berkeadilan,
2)
Merusak sistem perekonomian karena pada umumnya kejahatan
transnasional bertujuan mendapatkan uang dan keuntungan materil
lainnya dalam jumlah signifikan yang berpotensi mengganggu
pengendalian moneter (inflasi, jumlah uang beredar) dan kebijakan
fiskal, penerimaan pajak, integritas lembaga keuangan, dan persaingan
usaha yang sehat,
3)
Mengganggu sistem sosial dan sistem budaya apabila kejahatan
transnatsional tumbuh marak di tengah masyarakat dan merajalela
tidak terkendali sehingga masyarakat menjadi permisif terhadap
pelanggaran hukum dan yang paling parah tidak berani membela
kebenaran dan keadilan,
4)
Merusak tatanan pemerintah, kehidupan politik dan penyelenggaraan
negara karena organized criminal group akan berusaha mempengaruhi
12
keputusan lembaga eksekutif dan legislatif untuk mengamankan
eksistensinya,
5)
Mengancam souvereignity (kedaulatan negara) karena organized
criminal group dapat mengendalikan aktivitasnya dari luar jurisdiksi
negara tanpa perlu eksis di negara yang bersangkutan. Aktivitas cross
border ini kecil kemungkinan lolos dari jangkauan aparat negara, dan
mengingat kejahatan yang dilakukan massive akan berdampak pada
terancamnya kedaulatan negara.
Merebaknya bentuk-bentuk kejahatan internasional atau transnasional
saat ini telah membuat pemerintah Indonesia berusaha keras untuk mencari
jalan keluar dalam mencegah maupun mengatasinya. Kita ketahui bahwa
kejahatan
transnasional
seperti
perdagangan
manusia
(trafficking),
penyelundupan narkoba, terorisme atau kaburnya para koruptor keluar negeri
sangatlah merugikan bangsa Indonesia. Kaburnya para koruptor misalnya
telah membawa kerugian ekonomis yang sangat besar bagi bangsa Indonesia.
Data dari Indonesian Corruption Watch (ICW) menyebutkan bahwa ada 17
buron kasus korupsi yang bermukim di Singapura. Bahkan total kekayaan
orang Indonesia yang berada di Singapura mencapai US$ 87 miliar atau
setara dengan Rp 750 triliun yang sebagian berasal dari para koruptor.
Indonesia sebagai sebuah negara yang patuh terhadap hukum
internasional tentu saja tidak bisa secara langsung menangkap para penjahat
tersebut. Indonesia harus mengikuti prosedur hukum tertentu karena penjahat
yang bersangkutan telah berada di luar wilayah teritorial dan yuridiksinya.
Berada di luar wilaya yuridiksi berarti berada di luar wilayah cakupan
wewenang/kekuasaan hukumnya (suryokusumo,2007:239). Oleh karena itu
Indonesia perlu mencari cara yang diakui secara internasional untuk dapat
menangkap dan mengadili penjahat tersebut di dalam negeri.
Salah satu cara yang harus ditempuh Indonesia adalah mengadakan
perjanjian internasional dengan Negara tetangga yaitu Australia. Hal tersebut
merupakan salah satu cara yang dilakukan untuk penyerahan kembali
13
penjahat yang bersembunyi atau lari ke Australia. Adapun perjanjian tersebut
tidak begitu saja berlaku tanpa adanya ratifikasi untuk menjamin kepastian
hukumnya. Atas dasar perjanjian tersebut barulah Indonesia bisa menangani
kasus pidana (pelaku kejahatan) yang berada di luar wilayah yuridiksinya. Di
Indonesia, ketentuan mengenai ekstradisi telah diatur dalam UU No. 1 Tahun
1979. Dan UU No.8 Thn 1994 - Pengesahan Perjanjian Ekstradisi RI Australia.
3.2 Penegakan Perjanjian Ekstradisi Indonesia dan Australia
3.2.1 Kelebihan Perjanjian Ekstradisi bagi Indonesia
Dalam
era
globalisasi
masyarakat
internasional
seperti
sekarang ini dengan didukung oleh kemajuan teknologi, khususnya
teknologi informasi, telekomunikasi, dan transportasi, timbulnya
kejahatan-kejahatan yang berdimensi internasional ini akan semakin
meningkat
baik
secara
kuantitatif
maupun
kualitatif.
Untuk
mengatasinya tidaklah cukup hanya dilakukan oleh negara secara
sendiri-sendiri, tetapi dibutuhkan kerjasama yang terpadu baik secara
bilateral maupun multilateral.
Salah
satu
lembaga
hukum
yang dipandang dapat
menanggulangi kejahatan yang berdimensi internasional ini adalah
ekstradisi. Oleh karena itu jika timbul suatu kasus kejahatan yang
berdimensi internasional maka yang diperlukan adalah suatu kerjasa
internasional berupa diplomasi bilateral maupun multilateral
Kerjasama
internasional
penegakan
telah
keberhasilan penegakan
hukum
terbukti
hukum
dalam
sangat
nasional
terhadap
hubungan
menentukan
kejahatan
transnasional. Keberhasilan kerjasama penegakan hukum tsb pada
umumnya tidak akan menjadi kenyataan jika
tidak ada perjanjian
bilateral atau multilateral dalam penyerahan pelaku kejahatan atau
dalam kerjasama penyidikan,penuntutan dan peradilan Perjanjian
ekstradisi tersebut memberikan harapan kepada Indonesia untuk dapat
14
memulangkan para penjahat ekonomi seperti koruptor, pencuci uang,
dsb. Perjanjian ini membuka babak baru dalam hubungan RI-Australia.
Keuntungan yang didapat dari Perjanjian Ekstradisi tersebut
adalah turut membantu pengembalian orang yang melakukan tindakan
kejahatan transnasional yang merugikan Negara sehingga dapat
dikembalikan ke dalam negeri dan diproses hukumnya. Perjanjian
ekstradisi Australia dan Indonesia membahas beberapa poin penting
yang tertulis, yaitu :
1. Kejahatan yang dapat diekstradisikan.
Di dalam Perjanjian ini ditegaskan bahwa kejahatan-kejahatan
yang dapat diekstradisikan adalah kejahatan yang dapat dihukum
menurut hukum Indonesia ataupun hukum Australia dengan
hukuman penjara minimal satu tahun atau dengan hukuman yang
lebih berat. Dianutnya sistem bahwa tindak pidana yang dapat
diekstradisikan
haruslah
merupakan
tindakan
yang
diklasifikasikan tindak pidana di kedua negara merupakan
pelaksanaan asas kriminalitas ganda (double criminality). Jenis
kejahatan yang dapat diekstradisikan berjumlah 33 (tiga puluh
tiga) jenis kejahatan.
1.
Pembunuhan berencana, pembunuhan;
2.
Kejahatan yang menyebabkan kematian orang;
3.
Kejahatan terhadap hukum mengenai pengguguran
kandungan;
4.
Membantu atau membujuk atau menasehati atau
memberikan sarana kepada orang lain untuk melakukan
tindakan bunuh diri;
5.
Dengan maksud jahat dan berencana melukai atau
mengakibatkan
luka
berat,
penyerangan
yang
menyebabkan luka;
6.
Penyerangan terhadap Hakim/Magistrat, pejabat polisi
atau pejabat umum;
15
7.
penyerangan
di
kapal
atau
di
pesawat
udara
denganmaksud membunuh atau menyebabkan luka
berat;
8.
perkosaan atau penyerangan seks;
9.
perbuatan cabul dengan kekerasan;
10.
memberi sarana, atau memperjualbelikan wanita atau
orang muda dengan maksud amoral, hidup dari hasil
pelacuran; setiap kejahatan lain terhadap hukum
mengenai pelacuran;
11.
bigami;
12.
penculikan, melarikan wanita, memenjarakan secara
tidak sah, perdagangan budak;
13.
mencuri, menelantarkan, menawarkan atau menahan
anak secara melawan hukum;
14.
kejahatan terhadap hukum mengenai penyuapan;
15.
memberikan
sumpah
palsu,
membujuk
memberikan
sumpah
palsu,
menghalangi
untuk
atau
menggagalkan jalannya peradilan;
16.
perbuatan menimbulkan kebakaran;
17.
kejahatan yang berhubungan dengan pemalsuan uang
dan surat-surat berharga;
18.
kejahatan terhadap hukum mengenai pemalsuan atau
terhadap hukum mengenai penggunaan apa yang
dipalsukan;
19.
kejahatan terhadap hukum mengenai pajak, bea cukai,
pengawasan devisa, atau mengenai pendapatan negara
lainnya.
20.
pencurian; penggelapan; penukaran secara curang;
pembukuan palsu dan curang, mendapatkan barang,
uang, surat berharga atau kredit melalui upaya palsu
16
atau cara penipuan lainnya; penadahan, setiap kejahatan
lainnya yang berhubungan dengan penipuan;
21.
pencurian dengan pemberatan; pencurian dengan
mengrusakan rumah; setiap kejahatan yang sejenis;
22.
perampokan;
23.
pemerasan atau pemaksaan dengan ancaman atau
dengan penyalahgunaan wewenang;
24.
kejahatan terhadap hukum mengenai kepailitan dan
keadaan pailit;
25.
kejahatan terhadap hukum mengenai perusahaanperusahaan;
26.
pengrusakan
barang
dengan
maksud
jahat
dan
berencana;
27.
perbuatan
yang
membahayakan
dilakukan
keselamatan
dengan
maksud
orang-orang
yang
bepergian dengan kereta api, kendaraan darat, kapal laut
atau pesawat udara atau membahayakan atau merusak
kereta api, kendaraan darat, kapal laut atau pesawat
udara;
28.
pembajakan;
29.
perbuatan yang melawan hukum terhadap kekuasaan
nakhoda kapal laut atau kapten pilot pesawat udara;
30.
merampas secara melawan hukum, atau menguasai
pengendalian atas kapal laut atau pesawat udara,
dengan paksaan atau ancaman kekerasan atau dengan
setiap bentuk intimidasi lainnya;
31.
perbuatan yang melawan hukum dari salah satu
perbuatan yang ditentukan dalam ayat 1 Pasal 1
Konvensi mengenai Pemberantasan tindakan-tindakan
Melawan
Hukum
Penerbangan Sipil;
17
Yang
Mengancam
Keamanan
32.
kejahatan
terhadap
hukum
mengenai
obat-obat
berbahaya atau narkotika;
33.
membantu, ikut serta, menasehati atau memberikan
sarana, menjadi pembantu laku sebelum atau sesudah
sesuatu perbuatan dilakukan, atau mencoba atau
berkomplot melakukan suatu kejahatan yang disebutkan
diatas.
2. Kejahatan yang berlatar belakang politik.
Apabila tindak pidana yang dilakukan merupakan kejahatan yang
berlatar belakang politik atau bersifat politik, maka pelaku tindak
pidana tidak akan diekstradisikan. Menghilangkan atau mencoba
menghilangkan nyawa Kepala Negara atau Kepala Pemerintahan
dan keluarganya tidak dianggap sebagai kejahatan politik karena
itu pelakunya dapat diekstradisikan.
3. Negara berhak menolak menyerahkan warganegaranya.
Masing-masing Negara Pihak dalam Perjanjian berhak menolak
untuk mengekstradisikan warganegaranya. Dalam Perjanjian
Ekstradisi ini Negara yang Diminta untuk melakukan ekstradisi
berhak untuk mempertimbangkan apakah akan menyerahkan atau
tidak. Jika Negara yang Diminta tidak mengekstradisikan warga
negaranya, Negara itu atas permintaan Negara Peminta wajib
menyerahkan perkaranya kepada pejabat yang berwenang di
Negara yang Diminta.
4. Pelaku tindak pidana yang telah diadili dan diputus bebas atau
dilepas dari segala tuntutan.
Apabila seseorang telah diadili dan diputus bebas atau dilepas dari
segala tuntutan oleh pengadilan yang berwenang atau telah
menjalani hukuman di Negara yang Diminta atau di Negara ketiga
sehubungan dengan kejahatan yang dimintakan ekstradisinya,
maka ekstradisi atas orang itu tidak akan dikenakan.
5.
Tindak Pidana yang diancam dengan hukuman mati.
18
Perjanjian ini juga mengatur bahwa ekstradisi tidak akan diberikan
terhadap kejahatan yang diancam dengan hukuman mati, kecuali
jika Negara Peminta itu menjamin bahwa hukuman mati tersebut
tidak akan dijatuhkan, atau dalam hal hukuman mati telah
dijatuhkan, hukuman mati tersebut tidak akan dilaksanakan.
6.
Tata cara ekstradisi.
Ekstradisi
akan
ditempuh
dengan
cara
Negara
Peminta
mengajukan permintaan ekstradisi kepada Negara yang Diminta.
Permintaan harus tertulis dan disampaikan melalui saluran
diplomatik disertai dokumen-dokumen otentik yang diperlukan.
Apabila permintaan atas orang yang sama datang dari dua negara
atau lebih maka Negara yang Diminta harus menentukan kepada
negara mana ekstradisi itu akan dilakukan.
7.
Berlakunya Perjanjian.
Perjanjian akan mulai berlaku 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal
Negara-negara Pihak saling memberitahukan secara tertulis bahwa
masing-masing persyaratan untuk mulai berlakunya Perjanjian ini
telah dipenuhi. Masing-masing Negara Pihak dapat mengakhiri
berlakunya Perjanjian dengan memberitahukan secara tertulis
kepada pihak lainnya yang akan berlaku efektif 180 (seratus
delapan puluh) hari terhitung sejak surat pemberitahuan tersebut
diberikan.
Lemahnya system hokum yang mengatur keluar dan
masuknya para pelaku kejahatan transnasional menunjukkan bahwa
Indonesia masih sangat memerlukan suatu kerjasama bilateral maupun
multilateral dalam melakukan pengembalian para terdakwa. Perjanjian
ekstradisi sangat diperlukan agar pelaku dapat dikembalikan di
Indonesia dan di proses hokum sehingga tidak bertambah para pelaku
kejahatan yang lari keluar negeri.
19
3.2.2Kelemahan Perjanjian Ekstradisi bagi Indonesia
Pemerintah Indonesia telah memiliki
“undang-undang
payung”(umbrella act) untuk ekstrradisi dengan Undang-undang
Nomor 1 tahun 1979 tentang Ekstradisi, bahwa perjanjian esktradisi
untuk tujuan penyerahan orang (pelaku kejahatan). Permintaan
penyerahan pelaku kejahatan (ekstradisi) tidak serta merta merupakan
pengembalian aset hasil kejahatan yang dibawa pelaku kejahatan. Hal
ini berarti permintaan esktradisi wajib dilengkapi dengan permintaan
bantuan timbale balik dalam masalah pidana terutama pengusutan dan
pengembalian aset kejahatan dari pelaku kejahatan. Dalam perjanjian
ekstradisi tidak dinyatakan secara tegas karena hanya bertujuan dalam
penyerahan orang. Seperti termuat dalam pasal 1 : “Ekstradisi adalah
penyerahan
oleh
suatunegara
kepada
negara
yang
meminta
penyerahan seseorang yang disangka atau dipidanakarena melakukan
suatu kejahatan di luar wilayah negara yang menyerahkan dan
didalam yurisdiksi wilayah negara yang meminta penyerahan tersebut,
karena berwenang untuk mengadili dan memidananya.”
Dalam makalah ini telah dijelaskan mengenai Urgensi
Perjanjian Ekstradisi antara Republik Indonesia dan Australia. Dari
kesepakatan itu, bagi Indonesia, para penjahat transnasional yang lari
dan bersembunyi serta menanamkan uang dan asset-asetnya di sana
bisa ditangkap dan diproses hukum. Namun masih perlu adanya
gabungan dari berbagai perjanjian yaitu perjanjian Ekstradisi,
perjanjian pengembalian asset atau perjanjian timbal balik dalam
masalah pidana. agar para penjahat transnasional tidaak berlindung
pada Negara lain.
Berdasarkan prinsip-prinsip umum perjanjian internasional
yang berlaku, “pacta sunt servanda”(Pasal 26) dan ketentuan bahwa,
suatu negara tidak boleh menolak pelaksanaan suatu perjanjian dengan
alasan bertentangan dengan sistem hukum nasional (Pasal 27) maka
permintaan ekstradisi wajib dipenuhi sebagai suatu kewajiban mutlak
20
bagi negara yang dimintakan ekstradisi. Namun di dalam praktik
hubungan internasional, khususnya di dalam perjanjian ekstradisi
bilateral, prinsip-prinsip umum tsb di atas
dapat disimpangi
sepanjang penyimpangan tersebut disepakati kedua belah pihak yang
terikat ke dalam perjanjian esktradisi Penyimpangan tsb dapat
diketahui
dari
ketentuan
mengenai
“penolakan”(refusal)
atau
“exception”(kekecualian) di dalam perjanjian ekstradisi.[11] Semakin
banyak syarat penolakan suatu permintaan ekstradisi dimuat dalam
suatu perjanjian ekstradisi maka semakin sulit perjanjian tersebut
dapat diwujudkan secara efektif.
Bila di tinjau dari segi penghormatan dan perlindungan atas
hak-hak asasi manusia, dapat dikatakan bahwa ekstradisi adalah
merupakan sebuah pranata hukum yang sangat ideal dengan
pencegahan dan pemberantasan kejahatan. Dikatakan sangat ideal,
oleh karna ekstradisi ini menentukan pembatasan yang sangat ketat
dan berat dalam proses permintaan dan penyerahan pelaku kejahatan
atau yang didalam ekstradisi yang lebih populer dengan istilah orang
yang diminta. Hak-hak asasi manusia dari orang Yang diminta benarbenar di hormati dan dilindungi. Beberapa bukti dapat di kemukakan
untuk mendukung pernyataan tersebubt di atas.
Faktor
penghambat
dari
pelaksanaan
undang-undang
ekstradisi adalah
1.
konsepsi dari kejahatan Transnasional tiap Negara berbeda
contohnya beberapa Negara menyebutkan bahwa korupsi
adalah hanya tindakan suap, namun bukan tindakan lain yang
merugikan Negara
2.
ekstradisi tidak dapat langsung segera dilaksanakan karena
masih harus menunggu parlemen masing-masing negara
membuat undang-undang.
Dalam konteks ini sebenarnya Indonesia sudah
memiliki suatu Perundang-undangan nasional yang mengatur
21
permasalahan ekstradisi dengan cukup jelas, yaitu UndangUndang Nomor 1 Tahun 1979 Tentang Ekstradisi. Namun,
masih
terdapat
beberapa
kekurangan
yang
berkaitan
mengenai proses pelaksanaan kegiatan ekstradisi, khususnya
mengenai perjanjian kerjasama dalam bidang ekstradisi
dengan negara-negara lain. Ini karena sampai saat ini
pemerintah Indonesia baru memiliki perjanjian kerjasama
ekstradisi dengan 6 negara saja. Jumlah itu sangat sedikit jika
di perbandingkan dengan jumlah negara di dunia ini.
Kekurangan tersebut berhubungan dengan masih adanya
negara-negara di dunia yang hanya mau mengabulkan
permintaan ekstradisi dari suatu negara hanya apabila negara
tersebut telah memiliki perjanjian kerjasama ekstradisi
dengan negara-peminta.
3. Ekstradisi hanya menjerat pelaku pidana yang berstatus sebagai
tersangka dan terpidana. Berdasar pasal 1 UU 1 Tahun 1979
tentang Ekstradisi disebutkan bahwa yang dapat diekstradisi
ialah orang yang oleh pejabat yang berwenang dari negara
asing diminta karena disangka melakukan kejahatan atau
untuk menjalani pidana atau perintah penahanan.
Artinya, perjanjian ektradisi tidak akan menjangkau mereka
yang masih masih diselidiki (dengan status calon tersangka).
Padahal dalam kasus korupsi BLBI misalnya, ICW mencatat
dari total 60 pelaku korupsi, sebanyak 36 orang masih dalam
proses penyelidikan dan patut diduga umumnya sudah
melarikan diri ke luar negeri.
4.
ekstradisi hanya menjerat orang dan bukan aset hasil korupsi.
Jika yang diekstradisi adalah orang atau pelaku korupsi
namun tidak dengan aset hasil korupsi, maka hasil akhirnya
menjadi tidak menguntungkan dan justru akan menjadi beban
negara apabila akhirnya koruptor dipenjara.
22
5.
Ketatnya syaraat-syarat yang harus di penuhi untuk dapat
meminta, menyerahkan, dan mengadili orang yang diminta
atau pelaku kejahatan yang pada hakikatnya semuanya itu
demi menghormati dan melindungi hak-hak asasi orang yang
bersangkutan. Syarat-sysarat tersebut antara lalin: kejahatan
yang dituduhkan terhadapnya dan yang dijkadikan alasan
untuk meminta/menyerahkan, haruslah merupakan kejahatan
dan tindak pidana menurut hukum pidana kedua Negara
(Negara peminta dan Negara yang diminta ) atau yang
disebut dengan asas kejahatan ganda (double crimminality
princyple); Negara peminta berjanji bahwa orang yang
diminta hanya akan diadili dan atau di hukum hanya terbatas
pada kejahatan yang di jadikan alasan untuk memintanya atau
menyerahkannya (asas kekhususan/principle of speciality); si
pelaku atau orang yang diminta tidak akan diserahkan jika
kejahatan yang dijadikan alasan untuk meminta penyerahan
tegolong kejahatan kejahatan politik (asas tidak menyerahkan
pelaku politik/non ekstradision of political criminal); si
pelaku tidak akan diserahkan jika ternyata akan dijatuhi
hukuman mati, jika kejahatan yang dijadikan alasan untuk
meminta/menyerahkannya tidak diancam dengan hukuman
mati oleh hukum pidana dari Negara diminta.
6.
Prosedur yang panjang dan birokratis. Dimaksudkan untuk
menghormati dan melindungi hak-hak asasi manusia dari
sipelaku atau orang yang diminta.
Proses tersebut yaitu :

Negara peminta mengumpulkan dokumen-dokumen
yang berkaitan dengan orang yang diminta maupun
kejahatan yang dijadikan alasan untuk memintanya,

Evaluasi kelengkapan dokumen dalam pengajuan
permintaaan atas orang yang bersangkutan kepada
23
Negara diminta

Pengajuan
permintaan ekstradisi kepada Negara
diminta, m elalui saluran diplomatik. dari pemerintah
ke pemerintah melalui menteri luar negri atau duta
besar masing-masing Negara.

Negara diminta akan mempertimbangkan permintaan
dari Negara peminta tersebut melalui suatu proses
atau
prosedur
yang
berlaku
dalam
hukum
nasionalnya, misalnya melalui pemeriksaan oleh
badan peradilan dari tingkatan yang paling rendah
hingga tertinggi.

pihak pemerintah (eksekutif) mengambil keputusan
mengenai
persetujuan
ekstradisi
antara
kedua
Negara.
3.2.3 Tantangan Perjanjian Ekstradisi bagi Indonesia
Abad ke 21 saat ini merupakan abad perdamaian dan
kesejahteraan sebagaimana telah dicanangkan dalam Millenium
Development
Goals(MDG’s)
yang
bertujuan
meningkatkan
kesejahteraan bangsa-bangsa dan menghapuskan kemiskinan umat
manusia. Tantangan bagi seluruh negara abad ini semakin besar,
serius dan nyata sehubungan dengan perkembangan kemajuan di
bidang teknologi dan komunikasi. Abad ini dapat dikatakan sebagai
abad memacu peradaban manusia sejalan dengan perkembangan
kemajuan di bidang ilmu dan teknologi di satu sisi, dan di sisi lain
juga dapat dikatakan sebagai abad kapitalisme modern yang semakin
jauh dari nila-nilai agama dan semakin dekat dengan nilai-nilai
duniawi. Pembentukan Badan Dunia seperti Perserikatan BangsaBangsa pada tahun 1945 merupakan upaya seluruh bangsa untuk
menyelamatkan generasi penerus bangsa di dunia dari akibat perang
dunia kedua dan sekaligus memberikan jaminan bahwa peristiwa
24
seperti itu (Perang Dunia II) tidak akan terulang lagi.
Pasca Perang Dunia kedua, abad 21 menghadapi 5(lima)
bentuk tantangan yaitu: Kemiskinan da Penyakit Menular; Konflik
antar negara dan di dalam negara; Ancaman Senjata Nuklir, senjata
Radiologi, senjata Kimia dan senjata biologi; Terorisme, dan
Kejahatan Transnasional Terorganisasi.[16]. Ditegaskan dalam
laporan tsb bahwa, dalam abad 21 era globalisasi saat ini, dapat
dinyatakan tidak ada satu negarapun di dunia yang dapat hidup
sendiri dan bekerja sendiri mencegah dan mengatasi masalah dalam
negerinya sendri tanpa bantuan dan kerjasama negara lain. Tuntutan
perkembangan abad 21 yang hampir tanpa batas-batas wilayah
secara nyata karena pengaruh globalisasi dalam setiap sector
kehidupan mengakibatkan perkembangan kelima bentuk ancaman
sebagaimana disebutkan di atas akan semakin bertambah nyata dan
berdampak sangat luar biasa terhadap kehidupan umat manusia.
Dalam mengantisipasi masalah global dimaksud, Pemerintah
Indonesia sudah seharusnya meningkatkan persiapan-persiapan dan
perencanaan yang komprehensf dalam mencegah dan memberantas
kelima bentuk ancaman tersebut.
Dalam kaitan topic makalah ini, maka kejahatan
transnasional (korupsi, pencucian uang, perdagangan manusia,
penyelundupan migrant, dan penyelundupan senjata api)[17] dan
terorisme merupakan musuh utama bangsa-bangsa di dunia dan
seharusnya
menjadi
agenda
pembaruan
pembangunan
dan
penegakan hukum untuk 5(lima) atau 10 (sepuluh) tahun yang akan
datang.
Laporan penelitian ADB/OECD (2007) [18]mengenai
implementasi dan efektivitas bentuk kerjasama penegakan hukum
sebagaimana diuraikan di atas menunjukkan bahwa, prinsip-prinsip
umum ekstradisi dan mutual assistance in criminal matters yang
telah diakui dalam hukum internasional khusus tentang kedua bentuk
25
perjanjian kerjasama penegakan hukum, di dalam praktik hubungan
baik bilateral maupun multilateral banyak mengalami hambatanhambatan tidak hanya bersifat teknis hukum melainkan juga bersifat
teknis
operasional.
Selain
hambatan
tersebut
juga
dalam
praktik, tidak banyak permintaan ekstradisi atau bantuan timbale
balik dalam masalah pidana termasuk negara yang telah memiliki
perjanjian tsb. Namun demikian kepentingan ada tidak adanya
perjanjian ekstradisi dan atau bantuan timbale balik dalam masalah
pidana bukan ditentukan oleh fakta kurangnya permintaan untuk
penyerahan pelaku kejayan atau bantuan dalam penyidikan dan
penuntutan akan tetapi juga ditentukan oleh kepentingan politik dan
meningkatkan efektvitas dan efisiensi penegakan hukum di dalam
negeri.
Dalam era globalisasi saat ini, pelarian aset hasil kejahatan
dan para pelaku kejahatan sangat mungkin terjadi dengan bantuan
alat telekomunikasi modern dan sistem sistem online internasional
terutama di bidang perbankan. Atas dasar pertimbangan tersebut
maka sistem pencegahan yang bersifat komprehensif dengan
dukungan
teknologi
informasi
modern
sangat
menentukan
keberhasilan sistem represif (penindakan) terhadap para pelaku
kejahatan. Untuk memperkuat sistem pencegahan komprehensif
dimaksud diperlukan perkuatan undang-undang pemberantasan
korupsi; undang-undang pencucian uang , dan undang-undang
kelembagaan
anti
korupsi
dan
anti
pencucian
uang
yang
terorganisasi dan terkoordinasi dengan baik. Penetapan Kementrian
Hukum dan HAM sebagai “Central Authorithy” merupakan kunci
keberhasilan dalam pelaksanaan perjanjian ekstradisi dan bantuan
timbale balik dalam masalah pidana.
Untuk tujuan tersebut, Kementrian Hukum dan HAM
harus membentuk suatu task-force yang mewakili unsure kementrian
yang relevan dan lembaga penegak hukum serta melibatkan seluruh
26
pakar hukum pidana dan hukum perbankan yang kredibel serte
memiliki integritas. Penguatan sisi integritas aparatur penegak
hukum dan aparatur kementrian hukum dan ham turut menentukan
keberhasilan proses permintaan ekstradisi dan bantuan timbale balik
dalam masalah pidana terutama untuk tujuan pengembalian aset hasil
kejahatan. Penguatan ini sangat penting mengingat musuh utama
negara dalam era globalisasi bukan perorangan atau “white collar
crime” melainkan suatu organisasi internasional yang bergerak
dalam
korporasi
dunia
kejahatan
dengan
menggunakan
legalitas
dengan jaringan yang sangat luas, sebagai tempat
persembunyian yang sangat aman dan terlindungi.
27
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Latar belakang Indonesia dalam melakukan adanya perjanjian
ekstradisi dengan Negara tetangga adalah Indonesia memiliki kedudukan
geografis yang sangat strategis, terletak pada posisi silang diantara dua benua,
yakni Asia dan Australia. Disamping itu, Indonesia juga terletak diantara dua
samudra, yakni Samudra Hindia dan Samudra Pasifik.. terletak di jalur
perdagangan dunia (Indonesia memiliki 4 selat yang menjadi jalur utama lalu
lintas perdagangan dunia yaitu: Selat Malaka, Selat Sunda, Selat Lombok dan
Selat Makasar; memiliki jumlah penduduk yang besar (lebih dari 240 juta
orang); memiliki kekayaan alam yang berlimpah; Posisi Indonesia yang
strategis seperti ini membawa konsekwensi positif maupun negatif .
Keuntungan yang didapat dari Perjanjian Ekstradisi tersebut adalah
turut membantu pengembalian orang yang melakukan tindakan kejahatan
transnasional yang merugikan Negara sehingga dapat dikembalikan ke dalam
negeri dan diproses hukumnya. Kelemahan yang didapat dari Perjanjian
Ekstradisi adalah permintaan penyerahan pelaku kejahatan (ekstradisi) tidak
serta merta merupakan pengembalian aset hasil kejahatan yang dibawa pelaku
kejahatan. Hal ini berarti permintaan esktradisi wajib dilengkapi dengan
permintaan bantuan timbale balik dalam masalah pidana terutama pengusutan
dan pengembalian aset kejahatan dari pelaku kejahatan. Dalam perjanjian
ekstradisi tidak dinyatakan secara tegas karena hanya bertujuan dalam
penyerahan
orang.
28
4.2 Saran
Dalam era globalisasi saat ini, pelarian aset hasil kejahatan dan para
pelaku kejahatan sangat mungkin terjadi dengan bantuan alat telekomunikasi
modern dan sistem sistem online internasional terutama di bidang perbankan.
Atas dasar pertimbangan tersebut maka sistem pencegahan yang bersifat
komprehensif dengan dukungan teknologi informasi modern sangat
menentukan keberhasilan sistem represif (penindakan) terhadap para pelaku
kejahatan. Untuk tujuan tersebut, Kementrian Hukum dan HAM harus
membentuk suatu task-force yang mewakili unsure kementrian yang relevan
dan lembaga penegak hukum serta melibatkan seluruh pakar hukum pidana
dan hukum perbankan yang kredibel serte memiliki integritas.
29
DAFTAR PUSTAKA
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1994 tentang Pengesahan Perjanjian Ekstradisi
Antara Republik Indonesia dan Australia
Anonim. 2011. Indonesia-Australia Sepakati Perjanjian Ekstradisi Koruptor.
(online)
.
http://politikindonesia.com/index.php?k=politik&i=16802.
Diakses pada tanggal 17 November 2013
BBC Indonesia.2013. Pengadilan Indonesia Tolak Permohonan Ekstradisi
Australia.(online)
http://www.bbc.co.uk/indonesia/
berita_indonesia/2013/07/130711_
preview_sidang_sayed_abas.shtml.
Diakses pada 17 November 2013
IRDU. 2013. Kerjasama Indonesia dalam Menangani Kejahatan Transnasional.
(online). http://hi.fisip.undip.ac.id/kerjasama-indonesia-dalam-menanganikejahatan-transnasional/. Diakses pada 17 November 2013
Inggrid. 2012. Ekstradisi (Pengertian, Sejarah dan Prinsip-Prinsip Umum).
(online).
http://internationaloflawupd.blogspot.com/2012/10/ekstradisipengertian-sejarah-dan.html . Diakses pada 17 November 2013
Republika. 2007. Memburu Koruptor Usai Perjanjian Ekstradisi. (online)
http://www.antikorupsi.org/id/content/memburu-koruptor-usai-perjanjianekstradisi . Diakses pada 17 November 2013
Paripurna. T Garda. 2008 . Sekilas tentang Kejahatan Transnasional. (online).
http://risethukum.blogspot.com. Diakses pada 17 November 2013
Zulkhairi. 2010. Pentingnya Ekstradisi dalam Menangani Kejahatan (online).
http://zulkhairimhkeumumu.blogspot.com/2010/01/pentingnya-ekstradisidalam-mengatasi.html . Diakses pada 17 November 2013
30
Download