Bab II. Tinjauan Pustaka 2.1. Karakteristik Hidrometeorologi Penelitian karakteristik hidrometeorologi merupakan satu kajian yang menarik pada beberapa tahun terakhir ini (misalnya Bromley et al., 1999; Butterworth et al., 1999; Sivakumar, 2001a; Schertzer et al., 2002; Islam dan Sivakumar, 2002). Hasil dari sejumlah penelitian tersebut menunjukkan bahwa ada beberapa karakteristik penting pada komponen hidrometeorologi misalnya persistensi, variabilitas, kecenderungan, probabilitas nilai ekstrim, sifat fraktal, periode ulang, dan sensitivitas. Karakteristik hidrometeorologi di suatu wilayah sangat spesifik seperti ditunjukkan oleh hasil penelitian yang dilakukan di beberapa tempat, misalnya di kontinental Asia Selatan (Coe, 1994), kontinental Amerika Serikat (Roads et al., 1994), daerah tropis (Fan, 2003), wilayah Tien Shan Asia Tengah (Aizen et al., 1996), dan daerah aliran sungai La Plata Amerika Selatan (Berbery dan Barros, 2002). Karakteristik hidrometeorologi di daratan sangat berbeda dengan di lautan. Karakteristik hidrometeorologi di daratan sangat didominasi oleh curah hujan dan limpasan. Hal ini ditegaskan oleh Sivakumar (2000) dan Sivakumar et al. (2002) bahwa masalah yang paling penting dan menjadi tantangan pada hidrometeorologi adalah dinamika curah hujan dan limpasan karena keduanya merupakan proses yang chaotic. Komponen hidrometeorologi mempunyai variabilitas yang tinggi, baik secara temporal (musiman, tahunan, dan dekadal) maupun spasial (Zeng, 1999; Rogers et al., 2000). Variabilitas tersebut sangat dipengaruhi oleh fluktuasi curah hujan dan evapotranspirasi (Barron et al., 2003). Variabilitas hidrometeorologi regional dapat dipengaruhi fenomena global (seperti El Niño Southern Oscillation (ENSO) dan Indian Oceans Dipole Mode (IODM)), pemanasan global, dan perubahan iklim global (Ashok et al., 2001; Saji dan Yamagata, 2003). Variabilitas hidrometeorologi yang tinggi tersebut berdampak cukup signifikan terhadap variabilitas sumber air, kekeringan, dan banjir (Bayong et al., 2006). 7 Adanya variabilitas yang tinggi tersebut mengindikasikan bahwa proses hidrometeorologi bersifat tidak beraturan (irregular) dan chaotic. Berbagai penelitian mengindikasikan bahwa fenomena global di daerah tropis seperti ENSO dan Pasifik Decadal Oscillation (PDO) mempengaruhi iklim di Indonesia terutama curah hujan dan limpasan (Whiting et al., 2003; Chiew et al., 1998; Rizaldi dan Faqih, 2003). ENSO dapat diukur dari perbedaan tekanan atmosfer antara wilayah Indonesia-Australia dengan lautan Pasifik bagian timur. Kekuatan dan frekuensi ENSO selain digerakkan oleh anomali temperatur permukaan laut di Pasifik Timur, juga oleh adanya perbedaan tekanan permukaan antara Darwin (Australia) dan Tahiti (Kepulauan Hawaii) yang dinyatakan dalam besaran Indeks Osilasi Selatan atau Southern Oscillation Index (SOI). Kejadian ENSO dapat menyebabkan pergeseran pola sirkulasi sistem iklim di Indonesia. Adanya fenomena global tersebut dapat meningkatkan interaksi antara lautan dan atmosfer sehingga dapat menyebabkan perubahan variabilitas curah hujan dan limpasan di Indonesia. PDO merupakan gambaran dari persistensi temperatur permukaan laut di lautan Pasifik. hubungan Seperti halnya dengan ENSO, PDO juga diindikasikan mempunyai yang kuat dengan variabilitas dan persistensi komponen hidrometeorologi di Asia Tenggara, terutama curah hujan dan limpasan. Curah hujan di kawasan sebelah selatan Indonesia mengindikasikan adanya persistensi untuk skala bulanan (Simmonds dan Hope, 1997). Variabilitas dan persistensi komponen hidrometeorologi di Indonesia sebenarnya tidak hanya didominasi oleh pengaruh dua fenomena global ENSO, IODM, dan PDO, tetapi dapat juga dipengaruhi oleh fenomena global lainnya, yaitu Precipitable Water (PW), siklus matahari, dan lain-lain. Hal ini sangat mungkin terjadi mengingat bahwa proses hidrometeorologi terjadi pada sistem terbuka yang memungkinkan berbagai fenomena global dapat mempengaruhinya. Selain pengaruh ENSO, IODM, PDO, dan PW, variabilitas hidrometeorologi di Indonesia mengalami perubahan sebagai akibat dari perubahan iklim global (Peel, et al., 2001, Hendon, 2002). Pengaruh perubahan iklim global telah menyebabkan 8 perubahan curah hujan di Asia Tenggara secara signifikan (Burn dan Hag, 2002, Leon, 2002; Xua et al., 2003; Cheng et al., 2004). Perubahan curah hujan tersebut pada akhirnya berdampak terhadap perubahan hidrometeorologi. Perubahan iklim global telah mempengaruhi hampir semua komponen hidrometeorologi termasuk curah hujan, evapotranspirasi, kelembapan udara, dan limpasan (Burn, 1998; Gan, 1998, Yu, et al., 2002). Kajian mengenai curah hujan di Asia Tenggara selama 60 tahun terakhir menunjukkan penurunan yang cukup signifikan (Cheng et al., 2004; Yue et al., 2002). Hasil penelitian yang sama juga ditemukan di wilayah tropis lainnya yaitu Sahel Afrika (Leon, 2002). Penurunan karakteristik curah hujan tersebut berdampak langsung pada komponen hidrometeorologi, manajemen air, pertanian, dan ekosistem lainnya. Kajian lain mengenai kecenderungan limpasan telah dilakukan di Asia Tenggara pada 30 tahun terakhir (Dutha dan Herath, 2003). Hasil kajian tersebut menunjukkan bahwa limpasan di wilayah tersebut cenderung meningkat secara signifikan. Hal ini berbeda dengan limpasan di daerah Eropa yang cenderung menurun atau bahkan tidak mengalami perubahan karena konservasi hutannya cukup baik (Mudelsee et al., 2003; Ercan dan Serdar, 2004). Sementara itu, air tanah mempunyai kecenderungan menurun (Gutry, 2003). Indikasi adanya perubahan komponen hidrometeorologi di Asia Tenggara, Eropa, dan Afrika tersebut, tentu tidak dapat digeneralisasi untuk wilayah tertentu yang luasannya lebih kecil misalnya daerah aliran Sungai Citarum. Perubahan komponen hidrometeorologi di wilayah aliran Sungai Citarum bisa sejalan tetapi juga bisa berbeda dengan yang ada di daerah lainnya seperti yang ditunjukkan oleh hasil penelitian Yue et al. (2002). Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa curah hujan dari tahun 1950 hingga 1987 di daerah aliran Sungai Citarum cenderung meningkat walaupun besarannya tidak signifikan. Namun demikian penelitian tersebut tentu akan menghasilkan indikasi lain apabila menggunakan data curah hujan yang terbaru. 9 Fakta menunjukkan bahwa kecenderungan hidrometeorologi berbeda antara satu tempat dengan tempat lainnya. Tetapi pada umumnya hasil kajian kecenderungan hidrometeorologi di beberapa wilayah memberikan bukti bahwa ada penurunan yang signifikan untuk periode terakhir ini, terutama pada curah hujan dan limpasan (Karl, et al., 1999; Xua et al., 2001). Hal tersebut banyak dikaitkan dengan adanya fakta bahwa telah terjadi perubahan iklim baik secara lokal maupun global dan pergeseran penggunaan lahan yang pada beberapa tahun terakhir ini sangat drastis (Shinjiro et al., 2000; Braud, et al., 2001). Selain itu menurut Burn dan Hag (2003), perubahan komponen hidrometeorologi tersebut dapat dipacu oleh adanya fenomena global seperti ENSO dan pemanasan global. Analisis kecenderungan pada data observasi hidrometeorologi dapat menyediakan informasi mengenai karakteristik dan besarnya variasi hidrometeorologi selama periode waktu tertentu. Disamping itu dapat pula melihat kecenderungan jangka panjang munculnya fenomena iklim yang ekstrim dan langka, misalnya curah hujan tinggi, banjir, dan kekeringan (Xua, et al., 2003). Namun demikian dalam menginterpretasi kecenderungan komponen hidrometeorologi harus hati-hati, karena terkadang dalam mengkaji kecenderungan jangka panjang dari data observasi hidrometeorologi sering mengalami kesulitan akibat adanya variasi stokastik dalam data tersebut sehingga dapat mengurangi keakuratan dalam pengukurannya (Frei dan Schar, 2000). Ada dua kesulitan dalam menginterpretasi hasil analisis kecenderungan. Pertama, pendugaan kecenderungan diperoleh sebagai signal jangka panjang padahal nilai tersebut ditentukan oleh adanya variasi stokastik dalam data. Kedua, adanya kecenderungan jangka panjang dalam data hidrometeorologi terkadang sulit diidentifikasi akibat adanya variasi jangka pendek (variasi stokastik). Dengan demikian adanya variasi stokastik dapat membatasi akurasi penentuan kecenderungan hidrometeorologi. Kesalahan interpretasi terhadap hasil analisis kecenderungan hidrometeorologi dapat dikurangi dengan menggunakan metode analisis yang tepat misalnya regresi logistik linier. Model statistik tersebut menggunakan distribusi eksponensial. 10 Sifat fraktal dan periode ulang komponen hidrometeorologi berbeda antara satu tempat dengan tempat lainnya. Pada umumnya dari hasil kajian karakteristik hidrometeorologi tersebut di beberapa wilayah memberikan bukti bahwa ada dinamika yang signifikan untuk periode terkahir ini, terutama pada proses curah hujan dan limpasan (Xua et al., 2001). Hal tersebut banyak dikaitkan dengan adanya fakta bahwa telah terjadi perubahan iklim baik secara lokal maupun global dan pergeseran penggunaan lahan yang pada beberapa tahun terakhir ini sangat drastis. Menurut Sivakumar (2000) adanya sifat fraktal pada komponen hidrometeorologi memungkinkan untuk dilakukannya transformasi data hidrometeorologi dari satu skala ke skala yang lainnya untuk keperluan analisis statistik tertentu. Secara teoritis adanya sifat fraktal tersebut menunjukkan bahwa proses hidrometeorologi dapat bersifat mono-fraktal maupun multi-fraktal. Jika proses tersebut bersifat mono-fraktal berarti proses hidrometeorologi lebih didominasi proses deterministik dan sebaliknya apabila bersifat multi-fraktal menunjukkan proses hidrometeorologi lebih didominasi stokastik (random/chaotic). Oleh karena itu, penelitian sifat fraktal dari proses hidrometeorologi penting dilakukan untuk mengetahui apakah proses tersebut deterministik atau stokastik. Penelitian mengenai sifat fraktal dalam data deret waktu hidrometeorologi untuk mencoba mengkaji adanya sifat deterministik atau stokastik sangat jarang dilakukan. Penelitian sejenis pernah dilakukan oleh Sivakumar (2001b) di daerah aliran sungai Leaf (Mississipi), tetapi penelitian tersebut terbatas pada sifat multifraktal data deret waktu curah hujan. 2.2. Model Temporal Hidrometeorologi Pengetahuan mengenai dinamika temporal dari hidrometeorologi di suatu daerah aliran sungai multiguna sangat diperlukan untuk perencanaan yang optimal penyimpanan air dan jaringan drainase dan untuk pengelolaan kejadian cuaca ekstrim, seperti banjir dan kekeringan (Islam dan Sivakumar, 2002). Mekanisme fisis yang berkaitan dengan karakteristik dan dinamika hidrometeorologi sangat 11 kompleks, baik dalam skala temporal maupun spasial. Hidrometeorologi di suatu aliran sungai tidak hanya dipengaruhi perubahan iklim tetapi juga dipengaruhi oleh jenis dan kondisi dari daerah aliran sungai itu sendiri, seperti penutupan lahan bervegetasi, penggunaan lahan, dan lain-lain. Selain itu, semua mekanisme yang terlibat di dalam proses hidrometeorologi adalah tidak linier, sehingga permodelan dinamikanya tidak mudah. Walaupun penerapan pendekatan linier (stokastik) sangat umum dalam mengkaji sistem fisis alamiah yang kompleks, seperti hidrometeorologi, perkembangan yang drastis dalam pengetahuan nonlinier dan pertumbuhan yang cepat dari sejumlah alat untuk menganalisis data deret waktu nonlinier telah membawa kemajuan penting dalam perkembangan metodologi (Sveinsson et al.,2002). Di antara sejumlah penemuan penting dalam perkembangan metodologi analisis data deret waktu, analisis Adaptive Neuro-Fuzzy Inference System (ANFIS) mempunyai peranan penting dalam berbagai bidang pengetahuan fisis alamiah, termasuk bidang hidrometeorologi. Penerapan ANFIS untuk berbagai aspek permodelan hidrometeorologis telah banyak dilakukan dalam sejumlah kajian pada beberapa tahun terakhir ini (Franc dan Panigrahi, 1997; Mashudi, 2001; Ozelkan dan Duckstein. 2001). Seperti telah diketahui, ANFIS sangat sesuai untuk permodelan sistem nonlinier. Zhu (2000) dan Shapiro (2002) telah menunjukkan bahwa ANFIS merupakan metode permodelan terbaik untuk menganalisis data numerik, karena dalam proses training didasarkan minimalisasi nilai kesalahan atau root mean square error (RMSE) dari outputnya. Menurut penelitian Riyanto et al. (2000), ANFIS dapat memprediksi data deret waktu lebih akurat dibanding metode lainnya, seperti Back Propagation Multilayer Preceptron (BPMP) maupun autoregresi. Metode perhitungan ANFIS memberikan keuntungan dalam permodelan sistem fisis alamiah, terutama ketika hubungan fisis yang mendasarinya tidak dapat diketahui dengan pasti (Nayak et al., 2004; Cigizoglu, 2003; Tokar dan Markus, 2000). 12 Data numerik komponen hidrometeorologi dapat diekstrak menjadi model numerik yang dapat dipergunakan untuk barbagai keperluan, misalnya untuk keperluan irigasi dan regionalisasi (Boulet et al., 2000), evaluasi neraca air jangka panjang (Domingo et al., 2001), parameterisasi model hidrologi (Wooldridge dan Kalma, 2001), prediksi limpasan dan air tersedia (Toninelli et al., 2003). Contoh model numerik tersebut adalah model hidrometeorologi berbasis Neural Networks (Tokar dan Markus, 2000) dan berbasis Canadian Regional Climate Model (MacKay et al., 2003). Dinamika temporal hidrometeorologi dalam jangka panjang tidak konsisten (Kim dan Stricker, 1995). Hal ini sangat jelas dari penelitian hidrometeorologi dengan menggunakan model GCM di wilayah Amazon (White et al., 1998) dan sungai Mackenzie (Betts dan Viterbo, 1999). Adanya perubahan temporal hidrometeorologi di daerah aliran sungai, misalnya di Mississippi (Roads dan Betts, 1999) dan Fuji (Yao dan Terakawa, 1999), sangat dipengaruhi oleh adanya perubahan penggunaan lahan, perkembangan kota, dan perubahan iklim. Kajian dinamika temporal hidrometeorologi pada suatu daerah aliran sungai harus didukung oleh karakteristik fisis dan klimatologis daerah tersebut. Karakteristik fisis meliputi topografi, geologi, jenis tanah, jenis vegetasi, dan penggunaan lahan (Stieglitz et al., 1996; Niyogi et al., 2001; Bullock dan Arceman, 2003). Sedangkan karakteristik klimatologis melibatkan variasi radiasi (Lau et al., 1997), kelembapan atmosfer (Trenberth et al., 1998), temperatur permukaan (Yang et al., 2003), peningkatan gas rumah kaca (Arpe et al., 1999), ENSO (Soden, 1999), efek pembakaran anthropogenik dan perubahan iklim (Small et al., 2000), dan lain-lain. Selain kedua karakteristik tersebut, kajian dinamika dan mekanisme hidrometeorologi harus mempertimbangkan aspek pertumbuhan penduduk dan industri yang ada di kawasan tersebut (Bromley et al., 1999). 2.3. Daerah Aliran Sungai Citarum Daerah aliran sungai adalah suatu wilayah yang terletak di suatu kawasan sungai yang oleh batas-batas topografi mengalirkan air yang jatuh di atasnya ke dalam 13 sungai yang sama dan melalui titik yang sama pada sungai tersebut. Daerah aliran Sungai Citarum berada di wilayah Jawa Barat dengan luas 6.000 km2 yang terbagi ke dalam tiga bagian yaitu daerah aliran Sungai Citarum hulu (luas 2.341 km2), daerah aliran Sungai Citarum tengah, dan daerah aliran Sungai Citarum hilir. Pusat dari daerah aliran sungai Citarum adalah Sungai Citarum yang mengalir sepanjang 350 km mulai dari hulunya di Gunung Wayang Kabupaten Bandung hingga muaranya di Laut Jawa. Sungai Citarum mempunyai perananan yang sangat penting. Sejak tahun 2004, setidaknya, lebih dari delapan juta manusia hidup pada daerah aliran sungai tersebut. Sungai Citarum menyediakan kebutuhan air bagi jutaan penduduk Jawa Barat dan Jakarta, ratusan industri, sekitar 2.960 km2 lahan sawah, dan tiga pembangkit listrik hidro (Saguling, Cirata, dan Jatiluhur) yang memasok kebutuhan energi di Pulau Jawa dan Bali. Hasil beberapa kajian menunjukkan bahwa daerah aliran Sungai Citarum mengalami beberapa permasalahan yaitu kerusakan daerah aliran sungai; tingginya tingkat erosi dan sedimentasi; terbatasnya ketersediaan air; penurunan kualitas air; dan bahaya banjir atau kekeringan. Menurut Kusumandari (1994), Santoso dan Warrick (2003) kerusakan dan tingginya tingkat erosi dan sedimentasi di daerah aliran Sungai Citarum terutama disebabkan adanya perubahan penggunaan lahan dan penggundulan hutan di daerah aliran sungai tersebut. Selain itu, perubahan penggunaan lahan dan penggundulan hutan di daerah aliran Sungai Citarum bagian hulu juga mempengaruhi banjir dan kekeringan. Banjir dan kekeringan tersebut akan diperburuk oleh tingginya fluktuasi curah hujan yang jatuh di daerah aliran sungai tersebut. Hal ini ditunjukkan oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Apandi (2003). Banjir dan kekeringan merupakan bukti adanya perbedaan yang signifikan antara ketersediaan air musim hujan dan musim kemarau akibat tingginya limpasan dan rendahnya resapan air hujan di daerah aliran sungai tersebut. 14 Dampak dari perubahan iklim dan penggunaan lahan terhadap kuantitas dan variabilitas aliran Sungai Citarum telah dikaji dengan menggunakan Indoclim oleh Santoso dan Warrick (2003). Hasilnya menunjukkan bahwa perubahan penggunaan lahan dan iklim sangat mempengaruhi variabilitas aliran baik secara tahunan, musiman, maupun bulanan. Di mana dampak perubahan iklim lebih besar dibanding dampak perubahan penggunaan lahan terhadap variabilitas aliran tersebut. Ketersediaan air dan kualitas air di daerah aliran Sungai Citarum juga sangat dipengaruhi oleh perubahan penggunaan lahan (Karsidi, 1998; Soetrisno, 1998; Fares dan Ikhwan, 2001). Perubahan lahan dari hutan atau sawah menjadi daerah pemukiman dan kawasan industri menyebabkan berkurangnya kawasan resapan air hujan. Hal ini akan berdampak pada berkurangnya ketersedian air pada musim kemarau. Meningkatnya daerah pemukiman dan kawasan industri di cekungan Bandung menyebabkan tidak terkendalinya limbah domestik dan limbah industri yang masuk ke aliran Sungai Citarum sehingga kualitas airnya menjadi menurun. Sungai Citarum mengalami polusi berat oleh bahan organik, logam berat, dan bahan lainnya yang terjadi sejak tahun 1985 (Kirchhoff, 1993; Rosadi, 1993). Akibat terjadinya polusi berat tersebut, Sungai Citarum mengalami eutrofikasi atau ledakan gulma air terutama di Waduk Saguling (Djuangsih, 1995). Adanya penurunan kualitas air di daerah aliran Sungai Citarum juga diperkuat dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Terangna (1997) dan Hart et al. (2002). Penurunan ketersediaan air dan kualitas air di daerah aliran Sungai Citarum telah disadari sejak lama, sehingga para peneliti mencoba mengkaji berbagai upaya untuk meningkatkan konservasi air, baik air permukaan maupun air tanah. Penelitian konservasi air di daerah aliran sungai tersebut telah dilakukan misalnya oleh Terangna (1995) dan Supriyo et al. (1999). Hasilnya menunjukkan bahwa untuk mempertahankan ketersediaan air dan kualitas air perlu upaya mengembangkan metode-metode untuk meningkatkan resapan air ke dalam tanah dan mengembangkan jenis tanaman air yang dapat menetralisir polutan air. 15 Selain perlunya upaya konsevasi air tersebut, untuk mempertahankan ketersediaan air dan kualitas air di daerah aliran Sungai Citarum, perlu ditunjang oleh pengelolaan air secara baik yang responsif terhadap adanya peningkatan jumlah penduduk, peningkatan kebutuhan air bagi pertanian dan industri, perubahan penggunaan lahan, penggundulan hutan, perubahan berkurangnya air tanah (Wihardini et al., 1999; iklim, dan makin Fildebrandt et al., 2003). Pengelolaan air yang baik akan meningkatkan efisiensi penggunaan air untuk kebutuhan berbagai bidang dan menghindari konflik kepentingan. Hubungan antara sumber air yang tersedia dengan kebutuhan air bagi sektor rumah tangga, pertanian, dan industri di daerah aliran Sungai Citarum telah dikaji oleh Fares (2003). Studi lain yang telah dilakukan di daerah aliran Sungai Citarum adalah peramalan kebutuhan air bagi pembangkit listrik di Waduk Saguling, Cirata, dan Jatiluhur dengan menggunakan jaringan neural (Mashudi, 2001). Hasil studinya menunjukkan bahwa jaringan neural cukup potensial untuk dipergunakan dalam memprediksi kebutuhan air bagi pembangkit listrik di ketiga waduk tersebut. 16