NAMA : LIA NUR ANDRIANI NIM : 15-160-0078 KELAS : AKUNTANSI-D / 2015 B Kebijakan APBN 2015 dalam Pengendalian Perekonomian APBN menjadi alat atau instrumen Pemerintah untuk melakukan intervensi ke dalam perekonomian dalam rangka mencapai sasaran pembangunan nasional. Peran tersebut tercermin antara lain pada pembagian belanja Pemerintah Pusat menurut fungsi, dan dukungan anggaran terhadap 4 Pro (pro growth, pro job, pro poor, pro environment). Kebijakan terkait pajak progresif, stimulus fiskal, juga merupakan pencerminan dari peran APBN bagi pelaksanan fungsi Pemerintah. Fungsi APBN dalam mengatasi masalah atau mencapai berbagai tujuan ekonomi makro (pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, menurunkan pengangguran dan kemiskinan, mengendalikan inflasi) digunakan dalam beberapa tahun terakhir. Kebijakan fiskal dalam kenyataannya lebih digunakan untuk mengatasi defisit APBN. Besaran dan komposisi belanja negara mengakibatkan dampak atas permintaan agregat sebagai penentu kualitas output nasional, juga terkait dengan tiga fungsi anggaran belanja pemerintah, yaitu fungsi alokasi, fungsi distribusi, dan fungsi stabilisasi. Tahun 2015 adalah tahun pertama Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) ketiga. Kebijakan terkait pelaksanaan APBN yang menjadi trend dari 2010 dalam menghadapi kendala perekonomian yang ada meliputi: (1) peningkatan produktivitas belanja melalui pengurangan belanja yang bersifat konsumtifdengan penerapan flat policy belanja operasional dan mempertajam alokasi belanjauntuk mendukung pembangunan infrastruktur untuk mendukung upaya debottlenecking,domestic connectivity, ketahanan pangan, ketahanan energi, dan kesejahteraan masyarakat; (2) peningkatan alokasi anggaran dan cakupan program perlindungan sosial, pemberdayaanmasyarakat, dan penanggulangan bencana; (3) pengendalian subsidi, khususnya subsidi energymelalui kebijakan penyesuaian harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi dan tarif tenagalistrik, serta pengendalian volume konsumsi BBM bersubsidi; (4) penghematan berbagaikegiatan yang kurang produktif seperti pelaksanaan seminar, rapat kerja, dan workshop; serta (5) perluasan sumber-sumber pendanaan pembangunan. Tahun 2015 juga merupakan awal pemerintahan baru. Masih teringat di akhir 2014 sangat hangat dengan polemik kenaikan harga BBM khususnya jenis premium, sebagai konsekuensi rencana pencabutan subsidi BBM yang membebani belanja negara. Penetapan APBN tahun 2015 dihadapkan pada isu besar pengurangan subsidi BBM. Penetapannya mengandung isu krusial, karena menjadi anggaran belanja yang pertama pada pemerintahan baru. Anggapan umum terhadap penaikan harga BBM yaitu akan memicu gejolak sosial, menaikkan angka, menambah angka kemiskinan, meningkatnya biaya hidup alias inflasi. Anggapan tersebut menjadi bayangan hitam sebelum kebijakan tersebut diambil. Dan jelas menjadi bahan perkara menarik di meja politik, namun penulis tidak bermaksud membahasnya disini. Kekhawatiran tersebut cukup beralasan apabila ternyata realokasi anggaran subsidi BBM belum diarahkan pada sektor-sektor yang menjadi beban rakyat seperti kesehatan, pendidikan, pengentasan kemiskinan, transportasi, dan infrastruktur dasar. Pertanyaan berikutnya yang muncul adalah, dapatkah alokasi ke sektor-sektor tersebut direalisasikan tanpa mengganggu pertumbuhan ekonomi. Pemerintah akhirnya memutuskan kenaikan harga BBM (premium) bersubsidi sebesar Rp.2000,- per liter, dari harga Rp6.500,00 menjadi Rp8.500,00 dengan harapan tercipta ruang fiskal sebesar lebih Rp 90 triliun. Pikirkan jika kenaikan harga BBM disertai pengetatan anggaran belanja kementerian, maka terjadi ruang fiskal sekitar Rp 200 triliun. Akan sangat banyak program yang memihak langsung pada kebutuhan rakyat bisa direalisasikan dengan dana sebesar itu. Pada saat bersamaan untuk maksud efisiensi anggaran, pemerintah memberi himbauan keras untuk tidak menyelenggarakan rapat/pertemuan di hotel. Muncul juga wacana moratorium dalam rekrutmen PNS sampai lima tahun ke depan, bahkan konsumsi rapat/pertemuan dianjurkan diselenggarakan cara dan bahan sederhana. Nampaknya perhatian pemerintah untuk mewujudkan ruang fiskal tersebut sangat besar. Tetapi perlu diperhatikan bahwa, pada saat kenaikan Rp 1.000,- saja akan menambah inflasi sebesar 1,2 persen. Oleh karena itu, kebijakan menaikkan harga BBM bersubsidi harus secara simultan perlu diikuti dengan kebijakan pengendalian inflasi oleh Bank Indonesia. Tantangan Global Tahun 2015 sesungguhnya adalah tahun yang berat bagi perkonomian Indonesia. Di tahun ini, bank sentral Amerika Serikat, The Fed, memulai normalisasi kebijakan moneternya. Normalisasi itu akan berdampak terhadap pasar keuangan di sejumlah negara, termasuk Indonesia. The Fed diperkirakan akan meningkatkan suku bunga acuan hingga 100 basis poin. Peningkatan suku bunga acuan the Fed akan menekan pasar keuangan karena harga surat utang AS akan meningkat. Akibatnya harga surat utang negara-negara berkembang akan turun. Kondisi ini akan jadi persoalan bagi Indonesia yang memerlukan utang untuk menutup defisit Fiskal atau APBN. Jika suku bunga The Fed naik, dampaknya adalah modal asing di Indonesia mengalir ke luar. Kemudian akan disusul melemahnya nilai tukar rupiah. Dan itu telah kita rasakan gejalanya akhir 2014 lalu. Jika the Fed menaikkan suku bunga pada semester I 2015, maka pemerintah RI hanya punya waktu beberapa bulan saja. Itulah sebabnya sebagai antisipasi, pemerintah membuat kebijakan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi naik sebelum normalisasi suku bunga Bank Sentral Amerika Serikat, The Fed (sumber : metronews.com). Manuver non subsidi Pemerintah mulai mengantisipasi pengetatan likuiditas di pasar keuangan global yang akan menyulitkan Indonesia mendapatkan utang guna menutup defisit. Yaitu dengan cara diversifikasi sumber pembiayaan untuk menutup defisit. Diantaranya dibangun kerjasama dengan BPJS agar bersedia membeli Surat Utang Negara. Semakin banyak investor lokal yang membeli SUN, pemerintah tidak perlu lagi terlalu bergantung pada investor asing. Saat likuiditas di pasar keuangan global mengetat, pemerintah juga masih memiliki alternatif lain untuk membiayai defisit fiskal. Beberapa negara melakukan koreksi pertumbuhan perekonomiannya. Pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2015 diperkirakan berkisar 5,4 – 5,8 persen, sementara pertumbuhan kredit-yang mengikuti pertumbuhan ekonomi-diperkirakan sebesar 16-17 persen. Beban berat pemerintahan baru pada 2015 adalah meningkatnya beban kontribusi penerimaan pajak, padahal target pajak jelas tidak tercapai. Perekonomian global diduga akan melambat, sementara Indonesia akan semakin tertinggal dalam kompetisi komoditi. APBN 2015 Ruang fiskal APBN 2015 sangat tipis. Anggaran belanja yang mencapai Rp.2.019 triliun itu masih berorientasi pada program-program lama. Rencana utang Rp.257,6 triliun atau 2,32 persen terhadap PDB. Ini karena belanja negara tidak cukup dibiayai dari pendapatan yang ditargetkan Rp 1.762 triliun atau naik Rp 126,9 triliun dibandingkan APBN-P 2014. Besaran utang untuk menutup defisit anggaran sesuai undang-undang tidak boleh melebihi jumlah 3% dari PDB. Dengan asumsi defisit seluruh APBD sebesar 0,5 persen terhadap PDB, dan defisit APBN sebesar 2,32 persen terhadap PDB, ini artinya hanya tersedia ruang sebesar 0,18 persen untuk utang. Ditetapkan kenaikan target penerimaan perpajakan yang dari Rp 124,7 triliun menjadi Rp 1.370,9 triliun dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang naik dari Rp 1,1 triliun menjadi Rp 388 triliun. Penerimaan hibah naik dari Rp 1,1 triliun menjadi Rp 3,4 triliun. Anggaran belanja meningkat untuk belanja rutin dan mengikat. Subsidi bahan bakar minyak naik dari Rp44,6 triliun menjadi Rp291,1 triliun. Pembayaran bunga utang naik dari Rp 18,5 trilun menjadi Rp154 triliun. Transfer daerah naik dari Rp34,4 triliun menjadi Rp 630,9 triliun. Dana transfer ini tidak termasuk dana desa sebesar Rp 9,1 triliun. Lalu terhadap kenaikan kenaikan tersebut , bagaimana alokasi pada anggaran kesehatan, infrastruktur, serta mengentaskan rakyat miskin? Subsidi tetap BBM Cukup mengejutkan bagi publik, dengan diberlakukannya subsidi tetap BBM. Rakyat sekarang menikmati harga BBM secara fluktuatif mengikuti harga pasar dunia. Desain ini diharapkan mampu menjawab tantangan. Kejutan harga memang terasa pada penaikan harga premium dari Rp6.500,00 ke Rp8.500,00. Harga barang kebutuhan pokok ikut merambat naik. Dengan skema subsidi tetap BBM, pemerintah memberikan besaran subsidi di setiap liternya. Sehingga penetapan angka subsidi lebih realistis, namun tidak melanggar undang-undang, dimana pemerintah dilarang menyerahkan harga BBM bersubsidi kepada mekanisme pasar. Kebutuhan minyak Indonesia yang 40%-nya berasal dari impor, menjadikan skema subsidi tetap BBM ini menguntungkan. Resistensi yang muncul dari masyarakatpun relatif kecil dan cukup terkendali setelah 2 bulan ditetapkannya kebijakan ini. Kebijakan Pelaksanaan APBN Pengaturan terhadap pelaksanaan APBN telah ditingkatkan dalam beberapa tahun terakhir ini. DIPA pada Kementerian/Lembaga telah diserahkan di bulan Desember. Proses lelang bahkan dapat dimulai sebelum dokumen anggaran diterima, saat ditetapkan pagu definitif. Di awal 2015, ditetapkan beberapa peraturan untuk menyederhanakan proses tender, utamanya melalui e-tendering. Kebijakan ini dibuat karena berimplikasi pada penyerapan anggaran. Proses lelang/tender yang rumit hanya akan memperlambat penyerapan anggaran. Sebagaimana diketahui, penyerapan anggaran dapat dijadikan sebagai salah satu indikator efisiensi alokasi. Penyerapan anggaran yang optimal mengindikasikan pengalokasian yang efisien dan sebaliknya, walaupun terdapat beberapa indikator lainnya. Sejauh ini evaluasi yang dilakukan pemerintah masih di sekitar persoalan penyerapan belanja semata. Penumpukan belanja pada akhir tahun mengindikasikan adanya persoalan, sebagai pemicu inflasi dan berpotensi mengurangi kualitas output/outcome. Lalu bagaimana bila dikaitkan dengan fungsi kebijakan fiskal untuk redistribusi pendapatan dan perlindungan sosial, atau dalam rangka pelayanan publik ?? Nampaknya pola penyerapan yang menumpuk pada akhir tahun menjadi tidak sejalan dengan tujuan menjaga keseimbangan internal. Harapan pengalihan pengalihan alokasi subsidi untuk kepentingan rakyat bisa sia-sia, karena menumpuk di akhir tahun yang mampu memicu inflasi atau ekses lainnya. Pemerintah juga menghimbau untuk tidak melakukan rapat/kegiatan di hotel, serta mengurangi perjalanan dinas yang tidak strategis. Kebijakan ini juga memberi keuntungan cukup nyata pada APBN, dengan memperhatikan kontribusi belanja perjalanan dinas dan rapat yang komposisinya mencapai 83% dari total belanja. Simpulan Pada tahun 2015, nampaknya pemerintah masih disibukkan dengan upaya menciptakan ruang fiskal. Pengurangan dan pengaturan subsidi BBM belum mengarah secara signifikan bagi pengembangan infrastruktur maupun pengentasan kemiskinan. Namun demikian, kebijakan subsidi tetap BBM terbukti mampu merubah perilaku pasar di Indonesia yang latah terhadap kenaikan harga BBM. Hal tersebut menjadi indikasi positif perbaikan. Perlu diingat pula bahwa utang pemerintah sudah sebesar Rp 2.501 triliun, apakah cara gali lubang tutup lubang akan menjadi pilihan pemerintah? Pada RAPBN 2015, defisit primersaja telah mencapai 103,5 triliun. Terobosan untuk menciptakan ruang fiskal perlu dilakukan berhati-hati, dan sebaiknya tidak terpaku dengan mengutak-atik pola subsidi.