proses pengembangan kepemimpinan profetik

advertisement
NASKAH PUBLIKASI
PROSES PENGEMBANGAN KEPEMIMPINAN PROFETIK
Oleh :
Andika Bima Taufan
Sus Budiharto
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI DAN ILMU SOSIAL BUDAYA
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
YOGYAKARTA
2008
2
NASKAH PUBLIKASI
PROSES PENGEMBANGAN KEPEMIMPINAN PROFETIK
Telah Disetujui Pada Tanggal
Dosen Pembimbing Utama
(Sus Budiharto S.Psi, M.Si, Psikolog)
3
PROSES PENGEMBANGAN KEPEMIMPINAN PROFETIK
Andika Bima Taufan
Sus Budiharto
Intisari
Meningkatnya jumlah pejabat yang tertangkap atas tuduhan kasus korupsi
dewasa ini menunjukkan rendahnya moralitas para pemimpin di negeri ini.
Pentingnya sebuah kajian yang mampu menghadirkan suatu pemecahan dalam
perbaikan moralitas pemimpin melatarbelakangi dilakukannya penelitian mengenai
kepemimpinan profetik. Kepemimpinan profetik adalah kemampuan seseorang dalam
mempengaruhi orang lain untuk mencapai tujuan bersama sebagaimana para nabi dan
rasul (prophet) melakukannya (Adz-Dzakiey, 2005). Dimensi kepemimpinan profetik
terdiri dari empat aspek, yaitu siddiq, amanah, tabligh, dan fathonah. (Budiharto dan
Himam, 2006). Pertanyaan penelitian yang diajukan adalah bagaimana proses
mengembangkan kepemimpinan kenabian?
Penelitian ini bertujuan untuk memahami fenomena proses mengembangkan
kepemimpinan profetik. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian
ini adalah wawancara mendalam. Data dianalisis dengan teknik analisis tematik
dengan langkah-langkah berupa penggolongan tema-tema untuk kemudian
memasukkannya ke dalam sub kategori dan kategori serta mengintegrasikannya.
Selanjutnya diperoleh model fenomena individu dalam mengembangkan
kepemimpinan kenabian. Wawancara mendalam dilakukan terhadap dua orang
pemimpin yang telah diakui oleh pengikut dan lingkungan sebagai seorang pemimpin
yang mampu menerapkan dimensi kenabian dalam kepemimpinannya. Responden
pertama adalah seorang laki-laki, pemimpin salah satu pondok pesantren di
Yogyakarta. Responden kedua adalah seorang perempuan, pimpinan beberapa usaha
ritel yang cukup sukses di Yogyakarta.
Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa ada dua metode mengembangkan
kepemimpinan profetik, yaitu peneladanan kepemimpinan Nabi Muhammad S.A.W.
serta pembiasaan sikap dan perilaku yang baik dalam memimpin. Pengembangan
kepemimpinan profetik tersebut diimplementasikan melalui metode vertikal yang
berupa keyakinan kepada Tuhan, ketaatan beribadah, dan kebersyukuran serta metode
horisontal dilakukan dengan membangun kepemimpinan demokratis, menyeru dalam
kebaikan, dan berusaha menjadi teladan. Kedua metode pengembangan
kepemimpinan profetik tersebut dilakukan dalam rangka meraih tujuan berupa usaha
perbaikan diri dan pengembangan potensi, mencapai kebahagiaan serta bermanfaat
bagi sesama. Setelah mencapai tujuan tersebut, ternyata semakin menguatkan
pengembangan kepemimpinan profetik dalam diri individu. Proses ini berjalan secara
terus-menerus dan berulang.
Kata Kunci : kepemimpinan profetik
4
PENGANTAR
Tragedi yang dialami bangsa Indonesia akhir-akhir ini, baik masalah politik,
ekonomi, moral, dan hukum merupakan potret dari penyalahgunaan pengaruh
(pemimpin yang tidak amanah). Keputusan dan kekuasaan yang dipegang oleh
sebagian (yang cukup banyak jumlahnya) pemimpin bangsa ini. Krisis yang dialami
bangsa Indonesia mendera berbagai bidang seakan tidak ada jalan keluar dari semua
krisis tersebut. Adapun salah satu krisis yang paling nyata kita hadapi adalah krisis
kepemimpinan. (Parikesit, 2008)
Meningkatnya jumlah pejabat yang tertangkap atas tuduhan kasus korupsi
dewasa ini menunjukkan rendahnya moralitas para pemimpin di negeri ini. Mereka
sering menjadikan rakyat kecil (grass root) sebagai modal utama yang ujungujungnya setelah ambisi mereka tercapai dijadikan tumpuan dari segenap kebohongan
mereka. Sebuah lembaga yang berbasis di Berlin (Transparency International)
menetapkan Indeks Persepsi Korupsi Indonesia sebesar 2,3 dan berada diurutan 143
dari 180 negara. Negara dengan tingkat korupsi tertinggi jika indeksnya mendekati
nol, dan sebaliknya semakin bersih (minim korupsi) apabila mendekati angka 10.
(www.infokito.net)
Fakta di atas menunjukkan betapa bangsa ini terpuruk karena sumber daya
manusianya yang gemar melakukan korupsi. Sumber daya manusia yang memiliki
jiwa kepemimpinan dengan moralitas yang rendah, tidak amanah, jauh dari nilainilai kepemimpinan sebagaimana yang dicontohkan oleh para Nabi. Kepemimpinan
yang dimaksud adalah kepemimpinan profetik, sebagaimana diungkapkan Budiharto
5
dan
Himam
(2006),
bahwa
kepemimpinan
profetik
adalah
kemampuan
mengendalikan diri dan mempengaruhi orang lain dengan tulus melalui kekuatan
pencerahan jiwa dan pembersihan ruhani untuk mencapai tujuan bersama
sebagaimana dilaksanakan oleh para nabi (prophet). Lebih lanjut Budiharto dan
Himam (2006) mengungkapkan empat dimensi dari kepemimpinan profetik ini, yaitu
shiddiq, amanah, tabligh, dan fathonah.
Sejauh pengamatan penulis, pengembangan kepemimpinan profetik di
Indonesia masih sangat minim. Berawal dari presiden Soekarno yang menerapkan
gaya kepemimpinan sangat populis, temperamennya meledak-ledak, tidak jarang
lembut dan menyukai keindahan (Danusubroto, 2005). Soekarno tidak pernah
berhasil menumbuhkan kemampuan rakyat untuk mandiri secara ekonomi. Sehingga
rakyat yang lelah menjadi miskin, mempunyai secercah harapan ketika Soeharto
berkuasa dengan sederet penasehat ekonomi yang pada waktu itu terlihat cemerlang
(www.hukumonline.com). Ketidakberhasilan Soekarno tersebut menunjukkan bahwa
beliau tidak mampu memberikan alternatif solusi bagi permasalahan perekonomian
rakyat. Hal tersebut berarti bahwa beliau dinilai belum mampu menerapkan nilai
Fathonah dalam kepemimpinannya sebagaimana dicontohkan oleh para Nabi.
Presiden Soeharto sebagai penerus estafet kepemimpinan pada waktu itu
adalah seorang yang mahir dalam strategi dan seorang detailis sekaligus pandai
menggunakan kesempatan, pembawaannya formal dan tidak hangat dalam bergaul.
Karim (2007) berpendapat bahwa, Soeharto yang terkesan
statusquo dalam
menerapkan gaya kepemimpinan merupakan penyebab kegagalannya. Soeharto
6
merusak sistem dan birokrasi yang dibangunnya dengan represi, kekerasan, kejahatan
kemanusiaan, dan korupsi kelompoknya sehingga menyebabkan kerusakan yang
diakibatkan menjadi begitu masif dan harus ditanggung oleh pemerintahanpemerintahan berikutnya. Hal tersebut menunjukkan bahwa Soeharto dinilai belum
bisa mengimplementasikan nilai shiddiq, amanah, tabligh, dan fathonah dalam
kepemimpinannya.
Karim (2007) menjelaskan bahwa Prof. Dr. BJ Habibie, Presiden ketiga
Republik Indonesia yang sangat terbuka dalam berbicara, tetapi tidak pandai untuk
mendengar, akrab dalam bergaul, dan tidak jarang eksplosif, sangat detailis, suka uji
coba, tetapi kurang tekun dalam menyelesaikan suatu pekerjaan. Beliau telah
menunjukkan keberhasilan dalam memajukan industri pesawat terbang di Jerman dan
berhasil memimpin IPTN, berhasil sebagai Menristek pada masa Soeharto, berhasil
pula mengembangkan kawasan otorita Batam, tetapi gagal sebagai Presiden karena
lepas pulau Timor-Timur hanya diakibatkan ia ingin bermain cantik dengan
demokrasi. Habibie berusaha mempertahankan gaya demokrasi pada situasi krisis,
yang seharusnya menuntut seseorang pimpinan bertindak tegas dan segera, kalau
perlu dengan gaya otokratik. Ketidakpandaiannya untuk mendengar aspirasi rakyat
dapat diartikan bahwa beliau belum mampu memahami dan dipahami oleh rakyatnya.
Ketidakmampuan menerapkan gaya kepemimpinan otokratik pada situasi krisis
membuat Indonesia kehilangan salah satu propinsi, yang menunjukkan bahwa beliau
kurang kompeten sebagai pemimpin bangsa. Berdasarkan penjelasan diatas terlihat
7
bahwa beliau dinilai belum bisa menerapkan nilai tabligh dan fathonah dalam
kepemimpinannya.
Lebih lanjut Karim (2007) mengungkapkan bahwa Abdurrahman Wahid
adalah seorang kiai yang sangat liberal dalam pemikirannya, penuh dengan ide dan
gagasan, sangat tidak disiplin, gaya kepemimpinannya ala LSM, serta gagal dalam
mengimplementasikan sila Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmah Kebijaksaaan
Dalam Permusyaratan/Perwakilan. Kesalahan yang dilakukannya juga disebabkan
ketidakmampuannya membaca situasi, pada waktu itu pintu demokrasi telah dibuka,
namun secara berani melakukan hal-hal yang inkonstitusional atau tidak demokratis.
Karakter yang kurang disiplin, penuh dengan ide dan gagasan namun tidak mampu
membaca situasi sehingga membuatnya salah dalam memilih gaya kepemimpinan
yang harus diterapkan pada waktu itu adalah gambaran pemimpin yang kurang
kompeten dalam memimpin bangsa. Hal tersebut menunjukkan bahwa beliau dinilai
belum mampu menerapkan nilai amanah dan fathonah dalam kepemimpinannya.
Sementara itu dalam tulisannya, Karim (2007) menegaskan bahwa Megawati
gagal dalam melaksanakan sila Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Lebih lanjut Muhammad (2004) mengungkapkan bahwa sebagai persiden keempat
Megawati tampak tenang dan kurang acuh dalam menghadapi berbagai persoalan
bangsa.
Tetapi
dalam
hal-hal
tertentu,
menunjukkan
determinasi
dalam
kepemimpinannya, misalnya mengenai persoalan-persoalan di BPPN, kenaikan harga
BBM dan pemberlakuan darurat militer di Aceh. Kegagalan beliau disebabkan karena
tidak konsisten dengan ucapannya yang ingin memperhatikan ‘wong cilik’, tetapi
8
beliau terpeleset karena ketika beliau menjadi Presiden kebijaksanaannya menaikkan
harga BBM dianggap kebijaksanaan yang tidak memihak kepada ‘wong cilik’
sehingga beliau kalah dalam Pemilihan Presiden langsung tahun 2004. Megawati
dinilai tidak konsisten dengan ucapannya, menunjukkan dirinya belum mampu
menerapkan nilai shiddiq dalam kepemimpinannya.
Djalal (2008) mengungkapkan bahwa Presiden saat ini Susilo Bambang
Yudhoyono adalah pemimpin yang berani mengambil risiko tidak populer
(Fathonah), selalu berpikir positif (Shiddiq), selalu tepat waktu (Amanah), akhlak dan
moralnya bagus, bermental tangguh, taat sistem, tidak mendewakan kekuasaan, serta
punya jiwa seni. Sekilas tampak bahwa Presiden Indonesia sekarang dinilai mampu
menerapkan nilai shiddiq, amanah, dan fathonah dalam kepemimpinannya.
Penerapan kepemimpinan profetik di Indonesia belum cukup terimplementasi
dari keenam presiden yang pernah menjabat. Dari sekian pemimpin yang pernah
menjabat sebagai pemimpin nomor satu di negeri ini, belum ada yang mampu
menerapkan gaya kepemimpinan profetik yang idealnya mencakup empat dimensi,
yaitu shiddiq, amanah, tabligh, dan fathonah dalam memimpin.
Prijosaksono (2002) mengemukakan bahwa kepemimpinan sesungguhnya
tidak ditentukan oleh pangkat atau pun jabatan seseorang. Kepemimpinan merupakan
sesuatu yang muncul dari dalam diri dan merupakan buah dari keputusan seseorang
untuk bersedia menjadi pemimpin, baik bagi dirinya sendiri, bagi keluarganya, bagi
lingkungan pekerjaannya, maupun bagi lingkungan sosial dan bahkan bagi negerinya.
Kepemimpinan cenderung kepada keputusan dan lebih merupakan hasil dari proses
9
perubahan karakter atau transformasi internal dalam diri seseorang. Bernard Shaw (Al
Banjari, 2008) menyatakan bahwa Muhammad membawakan agama yang dapat
menjadi tolak ukur mulia bagi perkembangan sejarah selanjutnya. Islamlah satusatunya agama yang memiliki kekuasaan terhadap fase-fase kehidupan yang berbedabeda. Muhammad pantas disebut sebagai juru penyelamat nilai-nilai kemanusiaan.
Sekiranya orang seperti dirinya ditetapkan sebagai pemimpin pada kurun ini, jelas
akan mampu memecahkan segala persoalannya.
Sanaky (2003) berpendapat bahwa kemampuan kepemimpinan yang dimiliki
Nabi Muhammad S.A.W. meliputi kemampuan memimpin diri sendiri, kemampuan
manajerial, konsep relasi, visinya Al-Qur’an, bersikap tawadhu’, dan memilki 4 sifat:
siddiq (benar), amanah (terpercaya), tabligh (menyampaikan apa adanya),
dan
fathonah (pandai). Konsep itulah yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad S.A.W.
dalam mengemban tugas sebagai rasul, kepala negara, panglima perang, sebagai
imam, serta sebagai pemimpin dalam rumah tangga. Dapat diartikan bahwa
kemampuan-kemampuan dan karakter (sifat-sifat) yang dimiliki oleh nabi
Muhammad S.A.W. mendukung terwujudnya kepemimpinan yang memiliki kualitas
maksimum. Allah S.W.T., berfirman :
”Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik
bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari
kiamat dan dia banyak menyebut nama Allah.” (Q.S. al-Ahzab: 21)
Ayat diatas menunjukkan bahwa Allah S.W.T. telah menurunkan seorang
manusia yang memiliki akhlak mulia dan bisa dijadikan suri tauladan bagi umat
manusia yaitu Rasulullah, Muhammad S.A.W.
10
Razak (2008) mengemukakan bahwa keunggulan dan popularitas kepribadian
Nabi Muhammad S.A.W. diakui oleh seorang penulis barat bernama Boudly dalam
bukunya, ”The Apostle, Life of Muhammad” menyebutkan bahwa tidak ada seorang
pemimpin dunia yang pernah ada tak selengkap dan tak secemerlang sejarah
kehidupan Nabi Muhammad S.A.W. yang dapat ditelusuri sosok kehidupannya mulai
dari lahir hingga akhir hayatnya dan tak ada satupun cacat dan kelemahan beliau
sehingga benar-benar diakui sebagai manusia pilihan.
Hasil penelitian Budiharto (2007) menunjukkan adanya siklus menumbuhkan
dan mengembangkan kepemimpinan profetik yang diawali dari fase Pre-Embrional,
fase Embrional, fase Pra-Natal, fase Post-Natal (parenting), fase Education, fase
Youth Activities, fase Leadership, dan fase Nation’s Wealth yang berlangsung terusmenerus dan berulang. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, mengembangkan
kepemimpinan profetik dimulai dari fase parenting (post-natal) atau pola asuh yang
diterapkan oleh orang tua kepada anaknya. Fase ini terjadi saat calon pemimpin
dilahirkan, yang kemudian dididik oleh lingkungan, hingga meninggal atau kembali
kepada Tuhan. Berdasarkan penjelasan di atas maka untuk dapat mewujudkan
generasi
yang
memiliki
kemampuan
memimpin
dengan
meneladani
pola
kepemimpinan para nabi diperlukan pembentukan kepemimpinan profetik sejak dini.
Dalam
konteks
ini
tentu
saja
yang
kali
pertama
dituntut
untuk
mengimplementasikan pola-pola dan sistem kepemimpinan profetik adalah para
penguasa di negeri ini, mulai pucuk teratas hingga yang terbawah, mulai presiden
hingga kepala rumah tangga. Kepedulian yang serentak dan holistik dari segenap
11
penguasa di negeri ini untuk menerapkan kepemimpinan yang ideal merupakan suatu
keniscayaan, tidak boleh ditawar-tawar, minimal kalau mereka menyadari bahwa
tanggung jawab sosial yang berat di negeri ini sepenuhnya berada ditangan mereka.
Diperlukannya pembentukan karakter kepemimpinan pada generasi muda sejak dini
yang memiliki kemampuan dalam meneladani kepemimpinan para Nabi khususnya
Nabi Muhammad S.A.W. dimulai dari kelompok terkecil yaitu keluarga mengingat
bangsa ini adalah bangsa yang besar dengan mayoritas penduduknya mengaku
muslim. Allah S.W.T., berfirman :
“Tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi
semesta alam”. (Q.S. Al-Anbiya: 107)
Ayat diatas menunjukkan bahwa Allah S.W.T. telah mengutus Nabi
Muhammad S.A.W. ke muka Bumi ini adalah untuk menjadi rahmat bagi semesta
alam. Ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad S.A.W. memandang
kepemimpinan sebagai tugas (amanah), ujian, tanggung jawab dari Tuhan, yang
pelaksanaannya tidak hanya dipertanggungjawabkan kepada para anggota yang
dipimpin, tetapi juga kepada Allah S.W.T. Pertanggungjawaban kepemimpinan
dalam Islam tidak hanya bersifat horisontal-formal kepada sesama manusia, tetapi
juga bersifat vertikal-moral, yaitu kepada Allah S.W.T. baik di dunia maupun di
akhirat. Kepemimpinan Nabi Muhammad S.A.W. mampu memberikan kemaslahatan
bagi seluruh umat, karena nilai-nilai islam yang diajarakan Nabi Muhammad S.A.W.
adalah agama yang rahmatan lil ‘alamin.
12
Peneliti tertarik dan mencoba untuk menggali lebih dalam lagi mengenai
bagaimana proses mengembangkan kepemimpinan profetik pada diri pemimpin dan
bagaimana dinamika psikologisnya sehingga terbentuk kepemimpinan profetik dalam
diri individu.
METODE PENELITIAN
Metode Pengumpulan Data
Penelitian ini mengambil dua orang responden sebagai subjek penelitian dan
menggunakan wawancara mendalam sebagai metode pengumpulan data. Wawancara
mendalam merupakan suatu metode yang digunakan dengan melakukan suatu
percakapan berdasarkan suatu maksud tertentu (Tubbs, 1996).
Metode Analisis Data
Analisis data dalam penelitian kualitatif adalah proses mencari dan
menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan
lapangan, dan dokumentasi, dengan cara mengkoordinasikan data kedalam kategori,
menjabarkannya kedalam unit-unit, melakukan sintesa, menyusun kedalam pola,
memilih mana yang penting dan akan dipelajari dan membuat kesimpulan sehingga
mudah difahami oleh diri sendiri maupun orang lain (Sugiyono, 2005). Jorgensen
(Poerwandari, 2005) menjelaskan yang dimaksud analisis adalah memecah,
memisahkan, atau menguraikan materi penelitian ke dalam potongan-potongan,
bagian-bagian, elemen-elemen atau unit-unit. Setelah data dipecah, peneliti memilah
13
dan menyaring data untuk memperoleh tipe, kelas, pola atau gambaran yang
menyeluruh.
Hasil Penelitian
Setelah melakukan proses pengumpulan data melalui wawancara dengan
seluruh responden ditemukan hasil penelitian seperti yang digambarkan melalui
bagan berikut ini :
14
15
PEMBAHASAN
Berdasarkan model gambar di atas tampak dinamika psikologis fenomena
pengembangan kepemimpinan profetik dimana terdapat 6 komponen yang terlibat
dalam proses pembentukannya yaitu, faktor penyebab (latar belakang pendidikan dan
keluarga), pernikahan (konteks pernikahan), strategi mengembangkan kepemimpinan
profetik, faktor pendukung, faktor penghambat, serta tujuan dalam mengembangkan
kepemimpinan profetik. Keenam komponen tersebut saling berhubungan satu sama
lain dalam pengembangan kepemimpinan profetik pada diri masing-masing
pemimpin.
Namun sebelum sampai pada penemuan fenomena proses mengembangkan
kepemimpinan profetik ini, terlebih dahulu kita bahas proses awal para responden
yang pada akhirnya memilih jalan hidup seperti yang muncul pada fenomena utama.
Semua responden mengakui bahwa perubahan hidupnya dipengaruhi oleh faktor
pernikahan. Pada responden pertama diketahui bahwa setelah responden pertama
menikah, dirinya diberi amanah oleh ayah mertuanya untuk meneruskan memimpin
pondok pesantren sehingga membuatnya harus siap untuk melanjutkan estafet
kepemimpinan tersebut. Sejak itu responden bertekad untuk membiasakan sikap dan
perilaku yang baik dalam hidupnya dengan harapan dapat menjaga amanah yang
diberikan kepadanya dengan baik.
Pengaruh pernikahan juga telah membuat hidup responden kedua berubah.
Responden kedua tidak menyangka bahwa dirinya akan menikah dengan seorang
ustadz. Responden sadar bahwa ada konsekuensi logis yang harus ditanggung ketika
16
dirinya memilih untuk menikah dengan seorang ustadz. Ketika melamar responden,
ustadz tersebut menyampaikan bahwa dirinya ingin agar responden kelak setelah
menjadi isterinya ikut membantu mencari nafkah bagi keluarga, selalu mengenakan
busana muslimah, dan ikhlas ketika ditinggal sendiri dirumah karena sering pergi
memberi ceramah pengajian dimana-mana (Widiyatno, 2006).
Responden menyikapi hal itu dengan pikiran terbuka, menyadari bahwa
permintaan calon suaminya bukan dimaksudkan untuk melimpahkan tanggung jawab
kepada dirinya dalam memenuhi kebutuhan keluarga. Responden mengerti bahwa
calon suaminya hanya ingin agar kelak isterinya bersedia bergotong-royong sehingga
kebutuhan rumah tangga dapat terpenuhi, mengingat peran calon suami sebagai
mubaligh muda yang memiliki kewajiban lebih luas terhadap umat. Responden juga
menyadari sebagai isteri mubaligh memang sudah selayaknya mengenakan busana
muslimah dan meninggalkan pakaian-pakaian terbuka yang menjadi mode pakaian
saat itu. Sementara terkait dengan kesediaan untuk ikhlas karena sering ditinggal
sendiri di rumah, responden merasa hal tersebut bukanlah suatu masalah dengan
menyadari status calon suami sebagai mubaligh tentu harus diisi dengan berbagai
kegiatan melayani umat.
Responden terkenang dengan cerita sosok isteri Nabi Muhammad S.A.W., Siti
Khadijah Ra. Saat calon suaminya mengajukan tiga permintaan tersebut. Responden
menyadari dengan adanya tiga permintaan itu tampaknya sang calon suami
mengharapkan dirinya untuk meneladani isteri Rasulullah SAW. (Siti Khadijah) yaitu
menjadi seorang wanita mandiri dan mampu memberi kedamaian bagi suaminya.
17
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut akhirnya responden menerima
seluruh permintaan yang diajukan calon suaminya hingga akhirnya resmi menikah.
Sejak itulah responden bertekad untuk selalu meneladani isteri Nabi Muhammad
S.A.W., Siti Khadijah Ra. Proses tersebut menunjukkan bahwa pengaruh pernikahan
membuat dirinya ingin meneladani isteri Rasulullah S.A.W., Siti Khadijah Ra.
Tekad yang ada dalam diri masing-masing responden tersebut didorong oleh
pengalaman masa lalunya. Faktor pendorong pengembangan kepemimpinan profetik
ini dilatarbelakangi oleh faktor keluarga dan faktor pendidikan. Faktor keluarga yang
terdiri dari pola asuh orang tua, pengaruh keluarga, role models, dan kematian ayah
melatarbelakangi kehidupan responden kedua sebelum pernikahan. Pola asuh orang
tua merupakan pendorong kedua responden dalam mengembangkan kepemimpinan
profetik seperti penanaman nilai-nilai keagamaan sejak kecil yang dilakukan oleh
orang tua, sebagaimana dikemukakan oleh Eisenberg dan Murpy (Rice, 2008) bahwa
orang tua memainkan peran penting dalam transisi masa remaja ke masa dewasa
dalam dasar perkembangan nilai sosial, politik dan agama.
Pada responden kedua, adanya pengaruh keluarga dengan latarbelakang
sebagai pengusaha banyak mengajarkan kepadanya tentang hidup kerja keras,
menghormati orang lain, dan semangat untuk belajar. Disamping itu, faktor
pendorong
role
mengembangkan
model
juga
kepemimpinan
melatarbelakangi
profetik.
kedua
Responden
responden
pertama
dalam
menjadikan
pengalaman kakek dan ayah mertuanya sebagai salah satu rujukan dalam mengatasi
suatu persoalan. Responden kedua meneladani kebiasaan hidup orang-orang
18
disekitarnya seperti kebiasaan pamannya dalam beramal (Shodaqoh), kebiasaan hidup
budhenya dalam menabung, dan meneladani kerja keras nenek. Dapat dikatakan
bahwa kemampuan kedua responden mengimplementasikan nilai-nilai hidup dalam
mengembangkan kepemimpinan profetik karena didorong oleh adanya faktor role
models, yaitu adanya peran orang lain yang menjadi panutan atau contoh. Faktor
kematian ayah juga membentuk responden kedua menjadi pribadi yang menghindari
hutang karena pengalaman responden sepeninggal sang ayah dengan menanggung
beban hutang yang dilakukan ayahnya.
Faktor pendidikan melatarbelakangi kehidupan responden pertama sebelum
pernikahan. Kebiasaan responden pertama semasa kecil yang sering menjadi ‘santri
kalong’ (sering mengikuti kegiatan pondok pesantren layaknya para santri)
membuatnya terbiasa hidup di lingkungan santri. Pengalamannya tinggal di pondok
pesantren selama tujuh tahun setelah selesai SMA juga memperdalam pemahaman
agamanya.
Kedua responden menyadari bahwa dalam mengembangkan kepemimpinan
profetik dalam dirinya dibutuhkan langkah-langkah strategis agar dapat tercapai
tujuan hidupnya seperti keyakinan kepada Tuhan, ketaatan beribadah dan bersyukur
(Hablumminallah). Namun juga tidak meninggalkan kewajiban terhadap sesama
(Hablumminannas) seperti halnya mengajak dalam kebaikan, mampu menjadi
teladan, serta menerapkan kepemimpinan yang demokratis dalam hubungan antara
atasan dan bawahan.
19
Strategi yang diterapkan oleh kedua responden tersebut didukung oleh faktorfaktor pendukung, seperti potensi diri yang termasuk didalamnya adalah kemandirian,
ketegasan, mudah mendapatkan ide, semangat untuk selalu belajar, dan kejujuran.
Dalam proses mengembangkan kepemimpinan profetik, dukungan sosial memberikan
pengaruhnya kepada para responden untuk terus mengembangkan kepemimpinan
profetik dalam dirinya. Menurut House (Smet, 1998) membedakan empat jenis
dukungan sosial, yaitu:
1. Dukungan emosional mencakup empati dan perhatian.
2. Dukungan penghargaan berupa ungkapan hormat atau penghargaan kepada
orang tersebut.
3. Dukungan Insrumental, berupa dana atau barang langsung.
4. Dukungan informatif mencakup memberi nasehat, petunjuk, saran atau umpan
balik.
Dukungan sosial pada responden pertama ini berupa dukungan dari santri,
pengurus pondok, dan masyarakat sekitar pondok pesantren tempat responden
pertama memimpin. Dukungan ini berupa dukungan penghargaan yang mencakup
ungkapan hormat atau penghargaan kepada responden. Santri, pengurus pondok, dan
masyarakat mengakui bahwa responden pertama adalah pemimpin yang mampu
menerapkan kepemimpinan kenabian yang tampak pada penerapan nilai-nilai
kejujuran, menjaga amanah, tabligh, dan fathonah dalam kepemimpinannya.
Sedangkan dukungan sosial pada responden kedua berupa dukungan pasangan.
Dukungan ini lebih kepada dukungan informatif yang mencakup memberi nasehat,
20
petujuk, saran atau umpan balik. Suami responden kedua banyak membimbing ilmu
keagamaan kepada responden, selain itu juga sebagai penasehat dalam hidup.
Usaha kedua responden dalam mengimplementasikan langkah-langkah
strategis ini bukan tanpa hambatan. Adanya tantangan-tantangan yang muncul
menjadi penghambat. Tantangan-tantangan tersebut seperti sifat pesimis dan mudah
terpengaruh sebagaimana tampak pada data yang diperoleh dari responden kedua.
Banyaknya tender dengan permintaan mark up harga atau nota kosong menjadi
tantangan bagi responden kedua sebagai seorang pemimpin dalam ’decision making’.
Tantangan lain muncul pada responden pertama seperti tidak semua orang menilai
positif sikap dan perilakunya.
Akhirnya sampailah pada hasil dan tujuan responden mengembangkan
kepemimpinan profetik. Peneliti membagi tujuan pengembangan kepemimpinan
profetik menjadi dua yaitu tujuan pribadi yang termasuk didalamnya perbaikan diri
dan pengembangan potensi, dan kebahagiaan hidup. Perbaikan diri dan
pengembangan potensi ini meliputi penerapan nilai-nilai shiddiq, amanah, tabligh,
dan fathonah dalam memimpin sebagaimana yang dilakukan oleh para Nabi dalam
memimpin umatnya. Kemudian tujuan yang ditujukan kepada masyarakat seperti
keinginan agar bisa bermanfaat bagi sesama. Tujuan ini hanya bisa diraih ketika
masing-masing responden memiliki komitmen yang kuat serta konsisten dalam
mengembangkan kepemimpinan profetik sebagaimana responden pertama konsisten
dalam membiasakan yang baik dalam hidup dan konsisten dalam meneladani Siti
Khadijah Ra. pada responden kedua.
21
Penelitian ini menyimpulkan bahwa terdapat dua metode pengembangan
kepemimpinan profetik yaitu peneladanan kepemimpinan Rasulullah S.A.W. dan
pembiasaan sikap serta perilaku yang baik dalam memimpin. Pembiasaan sikap serta
perilaku yang baik dalam memimpin ini akan mendorong orang lain / pengikut
berbuat hal yang sama. Hal ini terjadi karena tidak hanya interaksi antara individu
dan lingkungannya saja yang mempengaruhi perilaku, tetapi perilaku juga akan
mempengaruhi individu dan lingkungannya (Walgito 2005).
Sikap dan perilaku yang baik dalam memimpin pada responden pertama
terbentuk karena pengalaman pembiasaan sikap dan perilaku yang baik yang terjadi
secara terus menerus sejak kecil sebagaimana teori classical conditioning Pavlov. Hal
tersebut diperkuat dengan adanya pengakuan dari para santri, pengurus pondok, dan
masyarakat atas kepemimpinannya. Individu juga akan dapat memiliki kemampuan
belajar yang baik melalui proses pembiasaan (Shaleh dan Wahab, 2004). Organisme
yang terkondisi pada suatu conditioned stimulus tertentu akan memberikan reaksi
serupa (conditioned response) pada rangsang sejenis (Irwanto, 2002). Pembiasaan
sikap dan perilaku yang baik pada responden pertama melalui proses yang cukup
terkondisi sejak kecil. Kehidupan masa kecil dengan kebiasaan mengikuti kegiatan
pondok pesantren membuatnya hidup di lingkungan santri yang kental dengan nilainilai agama. Pengalaman responden pertama ketika tinggal menetap di pondok
pesantren setelah menyelesaikan pendidikan SMA menguatkan pemahaman dirinya
akan nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran agama islam. Pengalaman kehidupan
22
tersebut membuatnya terbiasa bersikap dan berperilaku sesuai dengan nilai-nilai
ajaran agama islam yang dipandang baik oleh lingkungan, sehingga ketika dirinya
menikah dan diberi amanah untuk memimpin pondok pesantren milik ayah mertua,
dirinya siap karena telah terbiasa menjaga sikap dan perilaku yang baik sesuai dengan
nilai-nilai ajaran islam. Disamping itu, kepemimpinannya juga dipandang baik oleh
lingkungan yang berupa dukungan sosial dari santri, pengurus pondok, dan
masyarakat.
Pada dasarnya pengembangan kepemimpinan profetik pada responden kedua
adalah peneladanan kepemimpinan Rasulullah S.A.W. karena responden kedua
adalah seorang wanita maka dirinya meneladani istri Rasulullah, Siti Khadijah Ra.
Responden kedua dapat mengembangkan kepemimpinan profetik dengan baik karena
dukungan pasangan. Pengalaman masa lalu dalam melihat role model dalam
keluarganya memudahkan dirinya dalam mengimplementasikan nilai-nilai yang ingin
diteladani. Dapat dikatakan perilaku yang muncul merupakan hasil dari interaksi yang
terjadi secara terus menerus antara dirinya dengan lingkungan keluarganya.
Lingkungan keluarga menjadi model dalam implementasi nilai-nilai kejujuran
(shiddiq),
profesionalisme
(amanah),
berkomunikasi
efektif
(tabligh),
dan
kompetensi (fathonah).
Responden kedua mengembangkan kepemimpinan profetik melalui proses
belajar dari lingkungan sosialnya. Mengamati sikap dan perilaku orang-orang di
sekelilingnya dalam hal ini keluarga (modelling atau observational learning,
23
Bandura). Belajar dengan mencontoh perilaku orang lain ini tidak serta-merta
membuatnya meniru semua perilaku yang dilihatnya. Responden cukup selektif
dalam mencontoh perilaku orang lain. Responden kedua mengaku tidak ingin
mencontoh perilaku berhutang seperti yang dilakukan ayahnya. Responden juga tidak
menuruti saran keluarga dekatnya untuk mengambil kredit Bank agar menjadi
motivasi dalam mencari uang. Meski hanya dengan mengamati perilaku orang lain
akan dapat mempengaruhi perilaku individu itu sendiri. Responden mengamati
konsekuensi perilaku dari orang-orang disekitarnya untuk memperbaiki perilakunya
sendiri (vicarious learning).
Responden pertama juga demikian, seringkali merujuk pada Al-Qur’an dan
Sunnah dalam mencari solusi permasalahan. Disamping itu, responden juga merujuk
pada pengalaman atau model ayah mertuanya ketika menjadi pemimpin dalam
mengatasi permasalahan. Hal ini menunjukkan bahwa responden juga meniru
perilaku ayah mertuanya (direct modeling) dalam memimpin sebagaimana teori
observasional learning atau social learning Bandura. Shaleh dan Wahab (2004),
berpendapat bahwa yang terpenting dalam belajar sosial adalah kemampuan
seseorang untuk mengabstraksikan informasi dari perilaku orang lain, mengambil
keputusan mengenai perilaku mana yang akan ditiru dan kemudian melakukan
perilaku-perilaku yang dipilih.
Penelitian ini masih memiliki banyak kekurangan, diantaranya proses
pemilihan sample yang masih kurang banyak serta wawancara yang dilakukan masih
24
kurang mendalam, sehingga masih ada pertanyaan-pertanyaan dalam interview guide
yang belum tergali secara optimal.
KESIMPULAN
Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa ada dua metode pengambangan
kepemimpinan profetik, yaitu peneladanan kepemimpinan Rasulullah S.A.W. dan
pembiasaan sikap dan perilaku yang baik dalam memimpin.
Metode pengambangan kepemimpinan profetik tersebut diimplementasikan
secara vertikal dan horisontal. Metode vertikal (hablumminallah) diwujudkan dengan
keyakinan kepada Tuhan Yang Maha Esa, ketaatan beribadah, dan rasa syukur.
Metode horisontal (Hablumminannas) dilakukan dengan membangun kepemimpinan
demokratis, menyeru dalam kebaikan, dan berusaha menjadi teladan. Implementasi
dari pengembangan kepemimpinan profetik tersebut didukung oleh potensi diri
pemimpin itu sendiri, dukungan pasangan, pengikut, dan masyarakat (dukungan
sosial). Namun juga menghadapi beberapa tantangan seperti sifat pesimis, mudah
terpengaruh, serta kenyataan bahwa ternyata tidak semua orang menilai positif sikap
dan perilaku pemimpin yang mengembangkan kepemimpinan profetik tersebut.
Kedua metode pengembangan kepemimpinan profetik tersebut dilakukan dalam
rangka meraih tujuan/outcomes yang berupa usaha perbaikan diri dan pengembangan
potensi, mencapai kebahagiaan serta bermanfaat bagi sesama. Perbaikan diri dan
pengembangan potensi tersebut meliputi penerapan nilai-nilai shiddiq, amanah,
tabligh dan fathonah dalam memimpin. Setelah melalui proses hingga mencapai
25
tujuan/outcomes tersebut, ternyata semakin menguatkan pembiasaan sikap/perilaku
yang baik dalam memimpin dan peneladanan kepemimpinan Rasulullah S.A.W.
dalam diri masing-masing pemimpin. Proses ini berjalan secara terus-menerus dan
berulang.
B. SARAN
1. Bagi Responden
Para pemimpin (responden) diharapkan tetap terus menjaga konsistensi
dalam mengembangkan kepemimpinan kenabian agar dapat menjadi contoh bagi
pemimpin-pemimpin yang lain mengingat moralitas para pemimpin bangsa ini
cukup memprihatinkan.
2. Bagi Peneliti Selanjutnya
Penelitian selanjutnya diharapkan mampu mendapatkan subjek yang lebih
populer sehingga masyarakat lebih mudah melihat dan meneladani sosok
pemimpin yang mampu menerapkan kepemimpinan profetik. Ada baiknya
mengambil sampel dari beberapa agama, mengingat semua agama memiliki nabi /
rasul / sosok panutan. Kemudian peneliti yang tertarik pada permasalahan yang
sama disarankan untuk mencari responden lebih banyak.
26
DAFTAR PUSTAKA
Adz-Dzakiey, H. B. 2005. Menumbuhkan dan Mengembangkan Potensi
Kepemimpinan melalui Prophetic Intelligence Management. Hand Out Mata
Kuliah Studi Kepemimpinan Islam. Yogyakarta: Universitas Cokroaminoto
Al-Banjari, R. R. 2008. Prophetic Leadership. Yogyakarta: DIVA Press
Budiharto, S. dan Himam, F. 2006. Konstruk Teoritis dan Pengukuran
Kepemimpinan Profetik. Jurnal Psikologi. Yogyakarta: Universitas Gajah
Mada. Th. 33, No. 2, 133
Budiharto, S. 2007. Menumbuhkan dan Mengembangkan Kepemimpinan Profetik.
Dipresentasikan dalam konferensi internasional Psikologi Industri dan
Organisasi. 9-11 Agustus 2007. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Danusubroto, S. 2005. Soekarno yang Saya Kenal. Dapat diakses
(http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0512/17/opini/)17/12/05
di
Djalal,
D. P. 2008. Strategi Kepemimpinan SBY. Dapat diakses di
(http://entertainmen.suaramerdeka.com/index.php?category=1) 13/07/08
Karim,
N. 2007. Implementasi Gaya Kepemimpinan. Dapat diakses di
(http://202.152.33.84/index.php?option=com_content&view=frontpage&ite
mid=34) 17/10/07
Muhammad, M. 2004. Gaya Kepemimpinan SBY-JK. Dapat diakses di
(http://www.transparansi.or.id/mti_db/mti_db-okt04.html) 11/10/04
Parikesit, A. A. 2008. Kepemimpinan Indonesia Masa Depan: Perpaduan Timur dan
Barat Gaya China. Netsains 07/08/08 (http://netsains.com/2008/08/
kepemimpinan-indonesia-masa-depan-perpaduan-timur-dan-barat-gayachina/)07/08/08
Poerwandari, K. 2005. Pendekatan Kualitatif Untuk Penelitian Perilaku Manusia.
Jakarta: Fakultas Psikologi UI
27
Prijosaksono, A. 2002. Kepemimpinan Sejati. (http://Sinarharapan.co.id/index. html)
Razak, A. A. 2008. Civil Society dalam Perspektif Islam. (http://tribun-timur.com28/03/2008)
Rice, F. P. 2008. The Adolescene (Development, Relationship, and Culture). Twelfth
Edition. Boston: Pearson
Sanaky.
2003. Kepemimpinan Prophetic. (http://ahmadyasserm.multiply.com/
journal/item/11/kepemimpinan_prophetic)
Shaleh, A. R., dan Wahab, M. A. 2004. Psikologi Dalam Perspektif Islam. Jakarta:
Prenada Media
Smet, B. 1994. Psikologi Kesehatan. Jakarta: Grasindo.
Sugiyono. 2005. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta.
Tubbs, S. L. dan Sylvia M. 1996. Human Communication Konteks-Konteks
Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Walgito, B. 2002. Psikologi Sosial (Suatu Pengantar). Yogyakarta: Andi Offset.
Widiyatno, E. 2006. Dengan Keluarga Sakinah Membangun Bisnis Barokah.
Yogyakarta : Matan
________. 2008. Kepemimpinan. (http://hukumonline.com/default.asp) 26/11/08
_________.
2007.
Indeks
(http://infokito.net) 27/09/07
Persepsi
Korupsi
Indonesia
di
Posisi 143.
Download