5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 BATERAI Baterai adalah unit mandiri yang menyimpan energi kimia dan pada proses charging, mengubahnya langsung menjadi energi listrik untuk daya berbagai aplikasi. Ada dua jenis baterai, yaitu baterai primer dan baterai sekunder atau disebut juga non-isi ulang dan isi ulang (Armand, 2008). Baterai primer adalah sel, atau sekelompok sel, untuk pembangkitan energi listrik yang dimaksudkan untuk penggunaan sampai habis dan kemudian dibuang. Baterai primer dirakit untuk melepaskan beban yang banyak hal tersebut adalah proses primer selama operasi. Baterai sekunder adalah kelompok sel dari sel untuk pembangkit energi listrik dimana sel, setelah keluar, dapat dikembalikan ke posisi semula disebabkan oleh arus listrik mengalir dalam arah berlawanan dengan aliran arus ketika arus itu dikembalikan ke semula. Istilah lain untuk baterai isi ulang atau akumulator. Baterai sekunder biasanya dirakit di suatu tempat penghabisan, lalu harus diisi terlebih dahulu sebelum dapat menjalani pengembalian dalam proses sekunder (Winter, 2004). 2.2 BATERAI LITHIUM Baterai lithium pertama kali diusulkan pada tahun 1976 dan telah banyak digunakan dalam aplikasi portable sejak awal 1990-an. Dalam beberapa tahun terakhir, tingginya harga minyak telah memberikan inisiatif bagi para peneliti untuk melihat ke dalam teknologi baterai baru yang dapat digunakan dalam aplikasi kendaraan listrik. http://digilib.mercubuana.ac.id/z 6 Baterai Lithium telah dipertimbangkan sebagai sebuah sumber tenaga listrik yang digunakan untuk berbagai aplikasi seperti telepon seluler, laptop, kamera, kendaraan listrik hybrid karena energi densitas yang tinggi, potensial kerja yang tinggi, dan umur pemakaian yang panjang. Baterai Lithium biasanya dibuat seperti bentuk uang logam atau disebut juga dengan baterai koin. Bahan katoda baterai lithium yang ada pada saat ini antara lain Lithium Kobalt Oksida (Cao, dkk, 2007), Lithium Nikel Oksida (Xunhui, 2013), Lithium Mangan Oksida (Seung-Taek, 2002) dan Lithium Besi Fosfat (Chunwen, 2011). Baterai lithium terdiri lebih dari satu sel. Setiap sel terdiri dari empat komponen, yaitu: Elektroda positif (katoda), Elektroda negatif (anoda), Separator dan Elektrolit. 2.2.1 Katoda Katoda merupakan elektroda positif, dimana terjadi reaksi setengah sel yaitu reaksi reduksi yang menerima elektron dari sirkuit luar sehingga reaksi kimia reduksi terjadi pada elektroda ini (Subhan, 2011). Pada dasarnya katoda merupakan elektroda yang fungsinya sama seperti anoda yaitu berfungsi sebagai tempat pengumpulan ion lithium serta merupakan tempat bagi material aktif, dimana lembaran pada katoda biasanya adalah aluminium (Al foil). Beberapa karakteristik yang harus dipenuhi suatu material yang digunakan sebagai katoda antara lain material tersebut terdiri dari ion yang mudah melakukan reaksi reduksi dan oksidasi, memiliki konduktifitas yang tinggi seperti logam, memiliki kapasitas energi yang tinggi, memiliki kestabilan yang tinggi (tidak mudah berubah strukturnya atau terdegradasi baik saat pemakaian maupun pengisian ulang), harganya murah dan ramah lingkungan. Tabel 2.1 menunjukkan beberapa jenis material yang dapat digunakan untuk katoda dengan besar kapasitas energinya yang dapat disimpan. http://digilib.mercubuana.ac.id/z 7 Tabel 2.1 Beberapa jenis material yang digunakan untuk katoda (Ni’mah, 2016). Beda potensial Kapasitas spesific Energi spesific rata-rata (V) (mAh/g) (kWh/kg) LiCoO2 3,7 140 0,518 LiMn2O4 4,0 100 0,400 LiNiO2 3,5 180 0,360 LiFePO4 3,3 150 0,495 LiCo1/3Ni1/3Mn1/3O2 3,6 160 0,576 Material 2.2.2 Anoda Anoda merupakan elektroda negatif yang berkaitan dengan reaksi oksidasi setengah sel yang melepaskan elektron ke dalam sirkuit eksternal (Subhan, 2011). Anoda berfungsi sebagai tempat pengumpulan ion lithium serta merupakan tempat bagi material aktif. Material yang dapat dipakai sebagai anoda harus memiliki karakteristik antara lain memiliki kapasitas energi yang besar, memiliki profil kemampuan menyimpan dan melepas muatan/ion yang baik, memiliki tingkat siklus pemakaian yang lama, mudah untuk di proses, aman dalam pemakaian (tidak mengandung racun) dan harganya murah. Lithium metal merupakan bahan anoda ideal untuk baterai isi ulang karena kapasitas secara teoritis memiliki spesifik sangat tinggi 3.86 Ah/g, memiliki tegangan kerja rendah. Selain itu Keuntungan menggunakan logam lithium sebagai anoda adalah pereduksi yang baik, sangat elektropositif, stabilitas mekanik yang baik, dan mudah fabrikasi (Wakihara, dkk, 1998). http://digilib.mercubuana.ac.id/z 8 Tabel 2.2 Beberapa material yang digunakan untuk anoda (Ni’mah, 2016). Beda potensial Kapasitas Energi spesific rata-rata (V) spesific (mAh/g) (kWh/kg) 0,1-0,2 372 0,0372-0,0744 1-2 160 0,16-0,32 Si (Li4, 4Si) 0,5-1 4212 2,106-4,212 Ge(Li4,4Ge) 0,7-1,2 1624 1,137-1,949 Material Grafit (LiC6) Titanate (Li4Ti5O12) 2.2.3 Separator Separator adalah material berpori yang terletak di antara anoda dan katoda dan diaplikasikan sebagai penjamin faktor keamanan baterai. Material ini berfungsi sebagai barrier antara elektroda untuk menjamin tidak terjadinya hubungan pendek yang bisa menyebabkan kegagalan dalam baterai. Separator dapat berupa elektrolit yang berbentuk gel, atau plastik film microporous (nanopori), atau material inert berpori yang diisi dengan elektrolit cair. Sifat listrik separator ini mampu dilewati oleh ion tetapi juga mampu memblokir elektron, jadi bersifat konduktif ionik sekaligus tidak konduktif elektron (Subhan, 2011). Karakteristik yang penting untuk dijadikan separator pada baterai yaitu bersifat insulator, memiliki hambatan listrik yang kecil, kestabilan mekanik (tidak mudah rusak), memiliki sifat hambatan kimiawi untuk tidak mudah terdegradasi dengan elektrolit serta memiliki ketebalan lapisan yang seragam atau sama diseluruh permukaan. Persyaratan umum separator yang dapat digunakan untuk baterai ion lithium dapat di lihat pada Tabel 2.3. http://digilib.mercubuana.ac.id/z 9 Tabel 2.3 Persayaratan umum untuk separator baterai ion lithium (Jun, 2010). Parameter pada separator Nilai parameter Standar Ketebalan <25µm ASTM D5957-96 Hambatan listrik <2 Ωcm2 US 4.464.238 Ukuran pori <1 µm ASTM 128-99 Porositas + 40% ASTM 128-99 Wettabilitas Basah keseluruhan pada elektrolit Stabilitas kimia Stabil dalam baterai untuk penggunaan yang lama Penyusutan < 5% Titik leleh + 130 °C Tegangan rusak >20 V 2.2.4 ASTM D1204 Elektrolit Elektrolit merupakan material yang bersifat penghantar ionik. Fungsi elektrolit ialah sebagai media untuk mentransfer ion lithium antara katoda dan anoda. Ada beragam jenis elektrolit seperti cair, padat, polimer dan komposit elektrolit. Elektrolit yang banyak digunakan pada baterai lithium adalah elektrolit cair yang terdiri dari garam lithium yang dilarutkan dalam pelarut berair. Hal yang paling penting dalam suatu elektrolit adalah interaksi antara elektrolit dan elektroda pada baterai. Hubungan dua bahan ini akan mempengaruhi kinerja baterai secara signifikan (Fadhel, 2009). 2.3 Material Katoda Dalam teknologi baterai lithium, tegangan sel dan kapasitasnya sangat ditentukan oleh bahan katoda yang juga merupakan faktor pembatas dalam laju migrasi lithium. Untuk setiap berat material katoda, jumlah ion lithium yang dilepaskan material katoda saat charge dan jumlah ion lithium yang kembali dalam waktu tertentu ke material katoda saat discharge menggambarkan densitas energi dan densitas power sel baterai (Triwibowo, 2011). Semakin banyak ion Lithium dipindahkan dari katoda ke anoda maka semakin besar pula densitas energi sel baterai. Semakin banyak ion lithium yang http://digilib.mercubuana.ac.id/z 10 kembali ke katoda dari anoda setiap detiknya, maka semakin besar densitas power-nya. Performa/rate capability sel baterai sangat bergantung pada kondisi transfer muatan/charge transfer. Mekanisme ini berkaitan erat dengan proses difusi dan konduktifitas elektronik dan ionik dari komponen pembentuk sel baterai. Berbeda dengan material elektrolit yang semata-mata hanya memfasilitasi ion lithium menyeberang dari katoda ke anoda dan sebaliknya, hingga harus bersifat konduktif ionik saja ( Triwibowo,2011). Material katoda tidak saja harus bersifat konduktif ionik, namun juga harus bersifat konduktif elektronik. Saat proses charge ion lithium akan dilepaskan dari kathoda ke anoda melalui elektrolit, dengan begitu katoda harus bersifat konduktif ionik. Bersamaan dengan itu elektron akan dilepaskan melewati rangkaian luar menuju anoda, ini berarti katoda juga harus bersifat konduktif elektronik. Proses ini diilustrasikan pada Gambar 2.1. Gambar 2.1 Fenomena Konduktifitas Ionik dan Elektronik pada Material Katoda (Park, 2010) Material katoda yang sering digunakan pada baterai ion lithium yaitu LiCoO2, LiMnO4, LiFePO4. Ketiga material tersebut memiliki bentuk struktur host yang berbeda yang dapat dilihat pada Gambar 2.2. http://digilib.mercubuana.ac.id/z 11 Gambar 2.2 Ilustrasi Skematis pada Struktur Host dari (a) LiCoO2 (Struktur Layered), (b) LiMn2O4 (Struktur Spinel), dan (c) LiFePO4 (Struktur Olivine) (Julien, 2014). Pada struktur host layered, ion lithium berinterkalasi dalam dua arah, pada struktur host spinel interkalasi ion lithium dalam tiga arah, sedangkan pada struktur host olivine interkalasi dalam satu arah. Masing-masing material memiliki karakteristik sendiri sebagai contoh, LiCoO2 yang mahal, beracun, dan sumber daya yang tidak lagi melimpah (Ritchie, 2001). LiMn2O4 memiliki kapasitas yang jauh lebih rendah dan stabilitas siklus rendah (Gao, dkk, 1996). Senyawa berbasis besi ini menjadi menarik karena Fe yang berlimpah, murah, dan kurang beracun daripada Co, Ni, Mn. LiFePO4 saat ini sedang dalam penelitian yang luas karena biaya rendah, toksitas rendah, stabilitas termal tinggi dan spesifik kapasitas 170 mAh/g (Padhi, dkk, 1997). Beberapa karakteristik yang harus dipenuhi suatu material yang digunakan sebagai katoda antara lain: a. Material tersebut terdiri dari ion yang mudah melakukan reaksi reduksi dan oksidasi. b. Memiliki konduktifitas yang tinggi seperti logam. c. Memiliki kerapatan dan kapasitas energi yang tinggi. d. Memiliki kestabilan yang tinggi (tidak mudah berubah strukturnya atau terdegradasi baik saat pemakaian maupun pengisian ulang), harganya murah dan ramah lingkungan ( Ohzuku, 1994). http://digilib.mercubuana.ac.id/z 12 Material katoda yang sedang banyak dilakukan penelitian salah satunya adalah senyawa phosphate (LiMPO4). Contoh dari senyawa ini adalah LiFePO4. senyawa ini memiliki kestabilan yang baik pada temperature tinggi, relatif lebih murah dibandingkan material katoda lainnya. Senyawa phosphate lainnya adalah LiMnPO4 dan LiNiPO4. Material ini dilaporkan mampu menghasilkan voltase yang tinggi, yaitu masing-masing 4.1 dan 5 V, lebih tinggi dibandingkan LiFePO4 (3.5 V), namun sayangnya memiliki kapasitas energi yg rendah (Padhi, dkk,1997). Berbagai cara dilakukan untuk meningkatkan konduktifitas sekaligus memperbaiki performa baterai, termasuk didalamnya untuk mencapai nilai teoritik kapasitas baterai. Cara yang umum dilakukan diantaranya adalah: 1. Memberikan lapisan karbon pada butir serbuk material katoda/carbon coating. Dengan cara ini konduktifitas elektronik akan meningkat. 2. Doping dengan elemen hingga terbentuk defects dalam struktur kristal dimana lithium ion dapat dengan mudah berinterkalasi dalam jumlah yang besar kedalam host material. 3. Pemilihan material matriks yang tepat sesuai dengan peruntukannya, apakah konduktif ionik atau elektronik (Padhi, dkk, 1997). 2.4 BAHAN PEMBENTUKAN LEMBARAN KATODA Material komposit merupakan gabungan dari dua material yang memiliki fasa yang berbeda menjadi sebuah material yang baru dengan properties yang lebih baik dari keduanya (Gibson, 1994). Material komposit terdiri dari dua bagian utama yang saling menyatu menjadi satu kesatuan yaitu : 1. Matriks, dapat berasal dari logam, keramik, atau polimer. Matriks berfungsi sebagai pengikat dari penguat, melindungi penguat dari kerusakan permukaan, dan juga memisahkan penguat yang satu dengan yang lainnya. Matriks polimer yang digunakan harus bersifat penghantar listrik, memiliki struktur dan senyawa yang stabil terhadap bahan elektroda dan elektrolit (Gibson, 1994). http://digilib.mercubuana.ac.id/z 13 2. Penguat/filler merupakan suatu fasa yang dapat menguatkan komposit yang terdapat dalam komposit. Dengan adanya penambahan penguat pada material komposit maka sifat mekanis dari material komposit tersebut akan meningkat (Gibson, 1994). Pada penelitian ini lembaran katoda terdiri dari serbuk LiFePO4 sebagai filler, AB sebagai zat aditif, SBR sebagai matriks polimer, dan CMC sebagai pelarut. Gambar 2.3 Ikatan Partikel Komposit Baterai Ion Lithium (Whittingham, 2008) 2.4.1 Lithium Iron Phosphate ( LiFePO4 ) Bahan katoda yang sangat menjanjikan adalah LiFePO4 dengan struktur phospoolivine dengan kapasitas teoritis 170 mAh/g, energi spesifik 0,59 Wh/g, dan densitas 3,60 g/cm3, voltage rata-rata 3,5 V, harga murah, tidak beracun, ramah terhadap lingkungan, dan memiliki stabilitas termal yang baik (Gunawan, 2007). Namun kelemahan dari material ini adalah konduktifitas listrik rendah yaitu berorde 10-9 S/cm dan difusi ion lithium yang lamban. Dua kelemahan tersebut membatasi aplikasi LiFePO4 sebagai material katoda. Difusi ion lithium yang rendah dapat diatasi dengan menurunkan dimensi partikel sampai skala nanometer. Untuk mengatasi konduktifitas listrik yang rendah dapat diatasi juga dengan conductive agent seperti penambahan karbon dan polimer yang dapat meningkatkan performance LiFePO4 (Anies, dkk, 2011). http://digilib.mercubuana.ac.id/z 14 2.4.2 Styrene-butadiena Rubber (SBR) Karet dihasilkan dari sumber alam ataupun sintesis. Karet alam dihasilkan dari cairan getah putih disebut latek sedangkan karet sintesis dihasilkan dari proses polimerisasi. SBR termasuk dalam kategori elastomer yang bagian dari material polimer selain plastik. SBR tersusun dari 68-70% butadiene dan 30-32% styrene (Shodiq, 2012). SBR berfungsi tidak hanya untuk mengikat serbuk elektroda tetapi juga adhesi pada lembaran elektroda untuk current collector, tetapi SBR tersedia dalam bentuk emulsi berair yang memiliki viskositas yang sangat rendah (Chia, 2013). Tabel 2.4 Sifat umum Styrene-butadine Rubber (Robinson, 2005). Sifat Nilai Densitas (gr/cm3) 1,65 Kekuatan Tarik (Psi) 500 – 3000 Kekuatan Tekan (Psi) 5400 - 7000 Kekuatan Lentur (Psi) 3000 - 4800 Elongation 450% - 600% Suhu Operasional (oC) -40 – 180 Daya Serap Air 0,01% 2.4.3 Carbon Black ( CB ) Elektroda pada baterai ion lithium terdiri dari material aktif, pengikat, dan zat aditif. Material aktif yang dipanaskan dengan pelarut dan dicampur dengan karbon yang bersifat zat aditif konduktif untuk meningkatkan konduktifitas elektronik sehingga elektron dapat diangkut ke bahan aktif. Luas spesifik permukaan dari carbon black setidaknya sepuluh kali lebih besar dari bahan material aktif agar dapat mengumpulkan arus listrik pada konsentrasi yang lebih rendah dan membentuk jaringan karbon konduktif. Besar nilai konduktifitas pada carbon black adalah 5,7 x 10-4 (Shin, 2006). Penambahan carbon black pada material katoda dapat meningkatkan nilai konduktifitas listrik secara efisien dengan penambahan yang minimum, karena partikel tersebut memiliki struktur yang bulat berlubang dan bercabang, luas permukaan yang tinggi dan ukuran partikel yang kecil. http://digilib.mercubuana.ac.id/z 15 Jumlah karbon biasanya digunakan adalah di bawah 10% berat dari total massa elektroda. Sifat umum dari carbon black dapat dilihat pada Tabel 3.5. Tabel 2.5 Sifat Umum Carbon Black (Continentalcarbon, 2012). Rumus Molekul C Densitas (20°C) 1,7-1,9 g/ml Bentuk Serbuk Hitam Ukuran 35 – 45 nm Kelarutan Dalam Air Tidak Larut Hambatan 1,8 Ω.cm 2.4.4 Carboxy Methyl Cellulose (CMC) Carboxy Methyl Cellulose adalah turunan dari selulosa dan sering dipakai dalam industri makanan untuk mendapatkan tekstur yang baik. Fungsi CMC yang terpenting adalah sebagai pengental, stabilisator, pembentuk gel, sebagai pengemulsi dan dalam beberapa hal dapat meratakan penyebaran antibiotik (Winarno, 1997). Emulsifier memiliki kemampuan untuk menyatukan dua jenis bahan yang tidak saling melarut karena molekulnya terdiri dari gugus hidrofilik dan lipofilik sekaligus. Gugus hidrofilik mampu berikatan dengan air atau bahan lain yang bersifat polar, sedangkan gugus lipofilik mampu berikatan dengan minyak atau bahan lain yang bersifat non polar. CMC berupa serbuk atau butiran, putih atau putih gading, tidak berbau, higroskopik, natrium CMC mudah terdispersi dalam air, membentuk suspensi koloidal, tidak larut dalam etanol 95% P. dalam eter P, dan pelarut organik lain. Penggunaan Na CMC sebagai gelling agent adalah 4-6% (Rowe, 2009). Sifat CMC yang biodegradable dan food grade relatif aman untuk digunakan dalam aplikasi berbagai produk makanan atau minuman. CMC sebagai pengemulsi sangat baik untuk memperbaiki kenampakan tekstur sedangkan sebagai pengental sifatnya mampu mengikat air sehingga molekulmolekul air terperangkap dalam struktur gel yang dibentuk oleh CMC (Menifie, 1989). http://digilib.mercubuana.ac.id/z 16 2.5 KARAKTERISASI DAN PENGUJIAN PERFORMA BATERAI Karakterisasi dilakukan dengan X-Ray Diffraction (XRD), Scanning Electron Microscope (SEM), Electrochemical Impedance Spectrometry (EIS) dan Charge/ Discharge. 2.5.1 Karakterisasi X-Ray Diffraction (XRD) Pengamatan struktur kristal dengan XRD merupakan tahap awal karakterisasi untuk mengidentifikasi jenis fasa yang terbentuk seperti yang diharapkan dan fasa lainnya yang tidak diharapkan. Kegunaan XRD dapat membedakan antara material yang bersifat kristal dengan amorf, karakterisasi material kristal dan penentuan dimensidimensi sel satuan. Gambar 2.4 Pola Difraksi Sinar-X yang Terhambur oleh Kisi dalam Bidang Kristal (Triwibowo, 2011) Sinar-X datang membentuk sudut θ terhadap permukaan sampel, kemudian dipantulkan dengan sudut yang sama. Begitu juga selanjutnya sinar-X kedua yang jatuh pada bidang dibawahnya dengan berjarak d. Sinar ini akan dipantulkan dengan sudut θ, namun memiliki beda fase. Jika perbedaan fasa sama dengan kelipatan panjang gelombang, makan akan menghasilkan persamaan Bragg. SinarX ini bersifat collimated dan mengarahkan ke sampel. Saat sampel dan detektor diputar, intensitas sinar-X pantul itu direkam. Detektor akan merekam dan memproses isyarat penyinaran ini dan mengkonversi isyarat itu menjadi suatu arus yang akan dikeluarkan pada printer atau layar komputer. http://digilib.mercubuana.ac.id/z 17 Perhitungan ukuran kristal menggunakan rumus Scherrer dengan menggunakan data FWHM yang dihasilkan. Persamaan perhitungan rumus Scherrer’s (Monshi, 2012) adalah: L= 0,9𝜆 (2.1) (𝛽𝑐𝑜𝑠θ) L = Ukuran kristal (nm) λ = Panjang gelombang sinar-X yang digunakan (λ= 0,15406 nm) 𝛽 = Lebar dari setengah puncak gelombang tertinggi (rad) θ = Sudut puncak (°) Selain crystallite size terdapat juga persamaan untuk menghitung besaran lattice strain yang diambil dari persamaan Scherrer’s (Monshi, 2012). Persamaan tersebut menghasilkan besaran perbedaan ukuran crystallite size setelah mendapatkan perlakuan milling. Persamaan sebagai berikut: 𝜀= βn (2.2) 4tanθ 𝜀 = Lattice Strain βn = Lebar dari setengah puncak gelombang tertinggi (rad) θ = Sudut puncak (°) XRD dapat diaplikasikan untuk mengetahui profil dari suatu material. Profil tersebut digambarkan dalam bentuk peak-peak yang memiliki ketinggian tertentu. Profil kandungan suatu material akan menghasilkan peak yang harus dikomparasikan dengan suatu referensi penelitian yang sudah dilaksanakan oleh peneliti-peneliti sebelumnya. 2.5.2 Particle Size Analyzer (PSA) Particle Size Analyzer (PSA). Terdapat duah buah metode dalam pengukuran menggunakan antara lain metode basah dan kering. Metode basah, metode ini menggunakan media pendispersi untuk mendispersikan material uji. Sedangkan metode kering, merupakan metode yang memanfaatkan udara atau aliran udara yang berfungsi untuk melarutkan partikel dan membawanya ke sensing zone. Metode ini baik digunakan untuk ukuran yang kasar, dimana hubungan antar partikel lemah dan kemungkinan untuk beraglomerasi kecil. http://digilib.mercubuana.ac.id/z 18 Pengukuran partikel dengan menggunakan PSA biasanya menggunakan metode basah. Metode ini dinilai lebih akurat jika dibandingkan dengan metode kering ataupun pengukuran partikel dengan metode ayakan dan analisa gambar. Terutama untuk sampel-sampel dalam orde nanometer yang cenderung memiliki aglomerasi yang tinggi. Hal ini dikarenakan partikel didispersikan ke dalam media sehingga partikel tidak saling aglomerasi. Dengan demikian, ukuran partikel yang terukur adalah ukuran dari single particle. Selain itu hasil pengukuran ditampilkan dalam bentuk distribusi, sehingga hasil pengukuran dapat diasumsikan sudah menggambarkan keseluruhan kondisi sampel. Melalui analisis Particle Size Analyzer (PSA) diharapkan distribusi ukuran nanopartikel LiFePO4 yang dihasilkan berada pada rentang nanometer dengan keseragaman ukuran yang baik. Keunggulan penggunaan Particle Size Analyzer (PSA) untuk mengetahui ukuran partikel adalah : a) Lebih akurat dan mudah digunakan, pengukuran partikel dengan menggunakan PSA lebih akurat jika dibandingkan dengan pengukuran partikel dengan alat lain seperti TEM ataupun SEM. Hal ini dikarenakan partikel dari sampel yang akan diuji didispersikan ke dalam sebuah media sehingga ukuran partikel yang terukur merupakan ukuran partikel tunggal. b) Hasil pengukuran dalam bentuk distribusi, sehingga dapat menggambarkan keseluruhan kondisi sampel, dalam artian penyebaran ukuran rata-rata partikel dalam suatu sampel. c) Rentang pengukuran dari 0,6 nanometer hingga 7 mikrometer (Rusli, 2011). 2.5.3 Scanning Electron Microscope (SEM) SEM (Scanning Electron Microscope) adalah salah satu jenis Mikroscop Elektron yang menggunakan berkas elektron untuk menggambarkan bentuk permukaan dari material yang dianalisis dengan gambar tiga dimensi. SEM memiliki empat komponen pokok yaitu kolom elektron, ruang sampel, sistem pompa vakum, kontrol elektron dan sistem magnetik. Didalam kolom elektron terdapat penembak elektron yang terdiri dari katoda dan anoda. Elektron yang terlepas dari katoda bergerak ke arah anoda yang dalam http://digilib.mercubuana.ac.id/z 19 perjalannya berkas elektron ini dipengaruhi oleh lensa magnetik hingga di dapatkan berkas elektron yang terfokus ke arah sampel. Prinsip kerja SEM adalah difraksi elektron, yaitu dengan cara menembakkan permukaan benda dengan berkas elektron berenergi tinggi pada permukaan sampel. Kemudian berkas elektron yang mengenai permukaan sampel akan menghasilkan pantulan berupa berkas elektron sekunder yang memancarkan kesegala arah. Berkas elektron sekunder yang memancar kesegala arah ini akan tertangkap oleh detektor. Kemudian informasi dari detektor dilanjutkan ke transducer yang berfungsi mengubah signal menjadi image. Image yang tergambar diperoleh dari berkas elektron sekunder yang terpancar secara acak sehingga dapat memberikan informasi morfologi permukaan (Prihandoko, 2008). Gambar 2.5 Skema Scanning Elektron Microscope (SEM) (Triwibowo, 2011) 2.5.4 Electrochemical Impedance Spectrometry (EIS) EIS (Electrochemical Impedance Spectrometry) adalah sebuah teknik analisis yang digunakan untuk mempelajari sifat elektrik dari sistem elektroda-elektrolit. EIS telah banyak digunakan secara luas dalam bidang elektrokimia seperti pelapisan material (coating), baterai, sel bahan bakar (fuel cell) dan lainnya. Impedansi adalah ukuran http://digilib.mercubuana.ac.id/z 20 penolakan terhadap arus bolak balik, satuannya adalah ohm. Jumlah seluruh hambatan serta impedansi seluruh induktor dan kapasitor yang akan memberikan jumlah penolakan yang bervariasi terhadap arus tergantung pada perubahan arus. Impedansi di lambangkan dengan simbol Z dan memiliki satuan Ohm (Ω). Impedansi dapat mengukur impedansi rangkaian atau komponen elektrik apapun. Hasil pengukurannya akan memberi informasi seberapa besar rangkaian tersebut menghambat aliran elektron (arus). Ada dua variabel berbeda yang memperlambat laju arus, yaitu resistansi (R) atau hambatan adalah perlambatan arus yang disebabkan oleh bahan dan bentuk dari komponen. Variabel ini paling besar terdapat di resistor, meski seluruh komponen pasti memiliki setidaknya sedikit hambatan. Reaktansi (X) adalah perlambatan arus dikarenakan bidang elektrik dan magnetis yang menolak perubahan arus atau tegangan. Variabel reaktansi paling signifikan terhadap kapasitor dan induktor. Variabel resistansi dan reakstansi berkontribusi terhadap impedansi (Guntur, 2016). Perhitungan konduktifitas dilakukan dengan melakukan interpretasi dari ukuran busur. Dimana akan didapatkan nilai impedansi Rbahan dan Rion. Nilai Rbahan menunjukkan karakteristik dari bahan material yang bersifat ohmik, sementara Rion menunjukkan karakteristik kualitatif dari transfer ion antar elektroda. Karakteristik Rbahan selalu nampak pada data berfrekuensi tinggi, sementara Rion teramati pada frekuensi rendah (Triwibowo, 2011). Untuk mendapatkan nilai Rtot, maka kita harus mendapatkan Z = 0 dengan cara melakukan ekstrapolasi membentuk setengah lingkaran seperti gambar diatas. Rtot merupakan penjumlahan dari Rbahan dan Rion. Dari nilai Z = Rtot ini, kita dapat menentukan konduktifitas bahan dengan menggunakan persamaan : σ= 𝑡 𝐴 Rtotal (2.3) dengan : Rtotal = Jumlah impedansi reel (ohm) t = Tebal bahan (cm) A = Luas penampang bahan (cm2) Apabila telah didapatkan nilai konduktansi dari hasil pengujian EIS maka untuk dapat mendapatkan nilai konduktivitas dengan menggunakan persamaan: http://digilib.mercubuana.ac.id/z 21 σ=G 𝑡 𝐴 (2.4) dengan : σ = Konduktivitas (S/cm) atau (Ω-1.cm-1) G = Konduktansi (ohm) t = Tebal bahan (cm) A = Luas penampang bahan (cm2) 2.5.5 Charge – Discharge (CD) Pengujian sel baterai dilakukan dengan proses charging dan discharging. Untuk mendapatkan performasi sebuah baterai maka diperlukan pengujian charge/discharge sehingga didapatkan kapasitas pada sel baterai. Hal yang diutamakan dalam menentukan performa sel baterai terletak pada aspek kimia permukaan yang menghasilkan kontak permukaan yang bagus sehingga menjamin proses interkalasi dan deinterkalasi berjalan dengan baik. Kapasitas baterai dimaksudkan sebagai besarnya energi listrik yang dapat dikeluarkan baterai pada waktu tertentu. Kapasitas baterai tergantung pada jenis aktif material yang digunakan dan kecepatan reaksi elektrokimia pada saat baterai di charge atau discharge. Luasnya kontak permukaan antar material aktif juga akan memperbesar kapasitas baterai. Dalam sistem baterai sekunder lithium, material katoda memegang peranan penting dalam pencapaian kapasitas baterai. Material ini yang nantinya harus dapat melepaskan ion lithiun (deinterkalasi), bergerak menuju anoda dan berinterkalasi didalam struktur anoda saat charging. Makin besar jumlah ion lithum yang dapat dipindahkan ke anoda, maka makin besar pula arus listrik yang dihasilkan saat discharging nantinya (Triwibowo, 2011). Kapasitas sel baterai semakin menurun ketika dilakukan pengujian cycle berikutnya. Penurunan kapasitas yang terjadi mengindikasikan ion lithium yang berinterkalasi/ deinterkalasi mengalami jumlah yang terus menurun. Ketika performa baterai mengalami penurunan drastis maka kemampuan cycling times masih rendah (Subhan, 2011). http://digilib.mercubuana.ac.id/z