Jakarta, 7 September 2015 Giliran Bursa Jepang Meriang Perkembangan inflasi yang relatif terkendali tidak dapat menahan IHSG bebas dari sentimen negatif yang terus membelenggu negara berkembang. Penyebabnya kali ini adalah penurunan tajam indeks NKY sebesar 7% selama pekan lalu. Penurunan itu terjadi setelah pengumuman indeks produksi industri, belanja modal perusahaan dan aktivitas sektor perumahan yang tidak secerah yang diharapkan. Bila hal terkait produsen ini terus berlanjut, maka ada risiko dapat memukul berbagai kegairahan belanja konsumen yang sejauh ini lumayan bagus. Seperti halnya Amerika Serikat, kegiatan produksi di Jepang nampaknya juga terpengaruh perlambatan ekonomi global. Hal ini terbilang ironis mengingat perusahaan Jepang sudah ditopang oleh pelemahan tajam yen yang semestinya mengangkat daya saing. Peraga dibawah ini menunjukkan pengalaman 20 tahun terakhir dimana pelemahan yen (warna biru) cenderung memacu kenaikan indeks NKY (warna coklat). Sangat bisa jadi insentif nominal melalui pelemahan mata uang secara sengaja (currency wars) tidak cukup memacu kegiatan produksi di Jepang. Bloomberg memberitakan bahwa Jepang terus mengalami kelangkaan tenaga kerja yang memicu kenaikan tingkat upah tertinggi sejak tahun 2005. Pandangan Asian Development Bank Bloomberg melansir pernyataan Deputy ChiefEconomist ADB, Juzhong Zhuang, bahwa perekonomian ekonomi sejumlah negara Asia nampaknya lebih rendah dari yang diproyeksikan bulan Juli lalu. ADB memproyeksikan pertumbuhan ekonomi China untuk lima tahun mendatang hanya berkisar 6%‐7% per tahun. Mereka juga menilai dampak volatilitas bursa China terhadap kegiatan ekonomi sector riil relative terbatas. Bursa saham China diharapkan akan stabil setelah koreksi tajam selama ini. 1 ADB menyakkini risiko terrulang krisis keuangan di Asia relativve rendah mengingat perrekonomian relative kuaat A dan berbagaai langkah yang y pentingg telah ditempuh banyaak negara. ADB A menilaii bank sentrral sebaiknya merelakan pasar meneentukan nilai tukar. Inteervensi bank sentral seebaiknya dittujukan untu uk meredam m volatilitas daan bukan unttuk mengonttrol nilai tukaar. Kombin nasi penguatan dollaar global dan kejattuhan hargaa di penyebab b komodiitas menjad sejumlaah negara berkembangg pengekkspor enerrgy, sepertti Russia dan Brazil,, mengalam mi depresiiasi tajam mata uangg. Bahkan n lembaga pemeringkaat S&P telah menurun nkan outlook Brazil m menjadi negaative. Sebagaai akibatn nya, seperrti terlihaat melaluii peraga Bloombergg dibawah ini,, angka credit default sw wap Brazil (w warna magen nta berbintikk) terus melaambung jauh h lebih tingggi dibanding ketika the Feed mengindikkasikan tapeering‐off pad da Mei 2013 3. Selama tah hun berjalan n, mata uangg Brazil Lira melemah m sekkitar 29%. CD DS Indonesiaa (warna me erah) juga memburuk m w walah tidak setinggi Brazil dan Turki (w warna hijau). Terlihat CDSS yang relativve rendah dinikmati oleh h Filipina (waarna biru). Inflasi Relatif Terkend dali Inflasi sepanjang Agusttus dilaporkkan sebesar 0,39% atau u h dari dugaaan 0,8%. Akiibatnya sepaanjang tahun n lebih rendah berjalan kum mulatif inflasi hanya seb besar 2,29%. Lihat tabel. Seperti Juli 2015, pemiccu inflasi selama Agustus 2015 tetap p naikan harga daging disaamping biayaa pendidikan n seputar ken terkait dimulainya tahun ajaran baru. Penurunan hargaa di emas, biayaa transportasi dan harga minyak saayur menjad penahan inflasi. man mengin ndikasikan inflasi diharrapkan terus Pola musim menurun hingga bulan Oktober seb belum kembali naik padaa mber dan Deesember. Yaang unik tahun ini adalah h bulan Novem 2 dampak fenomena El Nino yang terjadi di musim kemarau sehingga menyebabkan meluasnya kekeringan. Fenomena ini akan terus melandasi kenaikan harga pangan walau di sejumlah daerah sudah mengalami musim panen padi. Setelah fenomena El Nino ini berlalu, sejumlah ahli meramalkan musim hujan akan datang dengan intensitas yang lebih tinggi sehinga berisiko memicu banjir. Pemerintah nampaknya mengantisipasi dengan mempercepat perbaikan bendungan dan drainase. Inflasi tahun ini berpeluang hanya berkisar 4,1% dengan asumsi sisa bulan hingga akhir tahun diproyeksi menggunakan rata‐rata bulanan selama tujuh tahun terakhir. Rata‐rata inflasi selama tujuh tahun sendiri, kami hitung sebesar 5,3%. Dengan relative terkendalinya inflasi yang bersamaan dengan perlambatan ekonomi serta terkendalinya deficit neraca berjalan sebetulnya terbuka peluang bagi BI untuk menurunkan bunga. Bacaan inflasi ini melandasi pemikiran kami bahwa terbuka peluang “cuan” untuk berinvestasi di obligasi negara yang untuk tenor 10 tahun memberikan yield to maturity mendekati 9%. Salam Budi Hikmat Chief Economist and Director for Investor Relation 3