III. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2009 sampai Maret 2010. Lokasi pelaksanaan penelitian yaitu: Laboratorium Lingkungan Departemen Budidaya Perairan, Laboratorium Kesehatan Ikan Departemen Budidaya Perairan, dan Laboratorium Pengujian Departemen Teknologi Industri Pertanian, Institut Pertanian Bogor. 3.2 Bahan dan Alat Penelitian Bahan dan peralatan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas: 3.2.1 Bahan dan Ikan Uji Bahan kimia yang digunakan adalah nikel klorida (NiCl 2 ). Ikan uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah ikan nila GIFT (Oreochromis niloticus) dengan bobot 13 – 15 gram/ekor sebanyak 510 ekor. Ikan tersebut digunakan dalam tahap uji nilai kisaran sebanyak 180 ekor, tahap uji toksisitas akut sebanyak 150 ekor, dan tahap uji sub kronik sebanyak 180 ekor. 3.2.2 Media Media uji yang digunakan adalah air tawar yang berasal dari bak air tawar Laboratorium Lingkungan Akuakultur Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan Institut Pertanian Bogor, yang berkesadahan lunak (rata-rata 57,66 mg/L). 3.2.3 Alat Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah blower, aerator, termometer, selang plastik, timbangan elektrik, DO meter, dan pH meter. Alatalat yang digunakan untuk pembuatan preparat histologi antara lain: seperangkat alat bedah (disecting unit), inkubator, timer, kotak preparat, object glass, cover glass, botol sampel, peralatan gelas, baskom plastik, hotplate, mikroskop cahaya, mikroskop binokuler serta seperangkat peralatan fotomikroskop merek Olympus model PM-10 AD. 27 3.2.4 Wadah Penelitian Wadah yang digunakan dalam penelitian ini adalah bak penampungan air berukuran 100 x 95 x 110 cm sebanyak 2 buah, akuarium penampungan ikan stok berukuran 100 cm x 50 cm x 50 cm sebanyak 2 buah, dan akuarium yang digunakan untuk uji pendahuluan, uji toksisitas akut, dan uji sub kronik yang berukuran 50 cm x 30 cm x 30 cm sebanyak 18 buah. 3.3 Pelaksanaan Penelitian Penelitian ini dilaksanakan atas tiga tahap, yaitu: uji nilai kisaran, uji akut, dan uji sub-kronik. Ikan uji yang digunakan adalah ikan nila GIFT ukuran 13 – 15 gram/ekor, diperoleh dari Perusahaan Nurul Maulida Berkah yaitu perusahaan penyedia ikan konsumsi dan bibit ikan tawar. Logam berat nikel yang digunakan sebagai sumber toksisitas dalam penelitian adalah nikel klorida (NiCl 2 ) yang diperoleh dari Toko Setia Guna, Bogor. Wadah yang digunakan dalam penelitian berupa akuarium berukuran 50 cm x 30 cm x 30 cm, yang diisi air tawar sebanyak 30 liter. 3.3.1 Uji Nilai Kisaran Uji nilai kisaran bertujuan untuk mencari nilai konsentrasi batas bawah dan nilai konsentrasi batas atas nikel, yang digunakan terhadap ikan nila GIFT. Batas atas merupakan konsentrasi yang menyebabkan dampak kematian ikan nila 100 % dalam waktu 24 jam, sedangkan batas bawah adalah konsentrasi nikel pada saat 100% ikan nila yang dicobakan masih dapat hidup setelah 48 jam pemaparan. Tahap uji ini menggunakan 150 ekor ikan uji, kepadatan 1 ekor/3 L yang dibagi menjadi 4 taraf yaitu 0,6; 6; 60 ; dan 600 ppm dan 1 perlakuan kontrol negatif dengan masing-masing 3 ulangan. Penentuan konsentrasi nikel pada perlakuan dilakukan dengan membuat larutan stok (stock solution) 1000 ppm dan selanjutnya dikonversi menggunakan rumus pengenceran, sebagai berikut: N1 V1 = N2 V2 ……………….. (1) Keterangan: N 1 = Konsentrasi larutan Ni standar (ppm) V 1 = Volume air media yang digunakan (liter) N 2 = Konsentrasi Ni yang diinginkan (ppm) V 2 = Volume larutan standar yang digunakan (liter) 28 Tingkat kematian ikan nila GIFT dihitung pada jam ke-0, 2, 4, 6, 8, 10, 12, 14, 16 18, 20, 22, dan jam ke-24. Perhitungan berikutnya dilakukan setiap 6 jam sampai jam ke-48. Berdasarkan uji nilai kisaran diperoleh nilai ambang bawah yaitu 6 ppm dan nilai ambang atas yaitu 60 ppm. 3.3.2 Uji Toksisitas Akut Pada uji ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh toksik nikel terhadap tingkat mortalitas, akumulasi nikel dalam darah dan daging, frekuensi bukaan operculum, dan nilai Lc- 50 24, 48, 72, dan 96 jam. Penghitungan konsentrasi yang digunakan dalam uji akut dengan menggunakan rumus Wardoyo (1981), sebagai berikut: Log (N/n) = k (log a / log n) ……………….. (2) Dengan ketentuan : a/n = b/a = c/b = d/c = … = N/d ………… (3) Keterangan: N = nilai konsentrasi ambang atas (ppm) n = nilai konsentrasi ambang bawah (ppm) k = jumlah interval konsentrasi yang di uji (k=4) a = konsentrasi terkecil deret konsentrasi yang ditentukan (ppm) Dengan menggunakan persamaan (2) ditentukan konsentrasi terkecil dan dengan persamaan (3) ditentukan nilai konsentrasi untuk uji akut sebanyak 4 perlakuan, sehingga didapatkan konsentrasi 10,67 ppm untuk perlakuan B, konsentrasi 18,98 ppm untuk perlakuan C, konsentrasi 33,76 ppm untuk perlakuan D, dan konsentrasi 60,05 ppm untuk perlakuan E. Setiap perlakuan dilakukan dengan 3 ulangan dan 1 perlakuan kontrol negatif (perlakuan A). Kepadatan ikan uji 10 ekor per unit percobaan (1 ekor/liter). Selama uji akut, pada akuarium diberi aerasi. Feses dan sisa pakan di dasar akuarium disipon setiap hari dan dilakukan pergantian air dengan konsentrasi Ni sesuai perlakuan. Pengamatan terhadap perubahan tingkah laku dan mortalitas ikan nila GIFT dilakukan pada jam ke-0, 2, 4, 6, 8, 10, 12, 14, 16 18, 20, 22, dan jam ke-24. Perhitungan berikutnya dilakukan tiap 6 jam sekali sampai jam ke-96. Indikator yang diamati adalah frekuensi bukaan operkulum per menit, pola gerak renang dan refleksi (normal, diam di dasar, ke permukaan, tidak seimbang, gerakan seperti gerak terkejut, atau kehilangan gerak refleks) dan perubahan warna sisik. 29 Penghitungan gerak operculum dimulai 30 menit setelah pemberian bahan uji, penghitungan dilakukan selama 1 menit dan diulangi setiap 10 menit sampai menit ke 30 dan selanjutnya dibandingkan dengan kontrol. Pengukuran kualitas air media pada setiap unit percobaan, dilakukan pada jam ke-0, 24, 48, 72 dan ke-96. a. Tingkat Mortalitas Banyaknya populasi ikan nila yang mati dihitung dan ditampilkan dalam bentuk tabel dan gambar pada setiap pengamatan (jam ke-24, 48, 72, dan 96). b. Tingkat Akumulasi Logam Ni Untuk menganalisis tingkat akumulasi logam berat Ni oleh tubuh ikan nila, maka dilakukan pengukuran kandungan logam berat Ni di daging dan darah ikan nila tersebut. Metode yang digunakan adalah AAS (Atomic Absorption Spectroscopy). Diagram dari tahap proses pengukuran kandungan nikel dalam daging ikan nila dengan menggunakan metode AAS ini disajikan pada Lampiran 3. c. Frekuensi Bukaan Operculum Frekuensi bukaan operculum hewan uji pada setiap perlakuan dihitung rataratanya berdasarkan pembagian zona waktu yaitu pagi (08.00 – 09.00), siang (12.00 – 13.00), sore (15.00 – 16.00), malam (20.00 – 21.00), dan subuh( 04.00 – 05.00), selanjutnya dibandingkan menggunakan Anova dan uji Tukey. d. Lc- 50 Nilai Lc- 50 pada jam ke- 24, 48, 72, dan 96, didapatkan dengan cara analisis probit dengan membandingkan konsentrasi nikel pada setiap perlakuan dengan tingkat mortalitas rata-rata ikan nila GIFT pada setiap perlakuan. 3.3.3 Uji Sub-Kronik Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh toksisitas nikel terhadap tingkat konsumsi oksigen, kondisi sistem hematologi, kondisi sistem histopatologi, tingkat akumulasi nikel, laju pertumbuhan, dan tingkat kelangsungan hidup (SR) ikan nila GIFT. Uji sub-kronik ini dilakukan dengan 3 30 perlakuan dan 3 ulangan yaitu : perlakuan A (tanpa nikel) sebagai kontrol, perlakuan B (10% dari LC 50 -96 jam), perlakuan C (30% dari LC 50 -96 jam). Pada tahap ini, digunakan ikan uji sebanyak 180 ekor dengan masing-masing unit sebanyak 20 ekor. Percobaan dirancang mengikuti Rancangan Acak Lengkap (RAL). Uji sub-kronik dilakukan selama 32 hari. Variabel yang diamati, sebagai berikut : a. Tingkat Konsumsi Oksigen Tingkat konsumsi oksigen diukur dengan menghitung rasio oksigen terlarut pada awal dan akhir penelitian persatuan waktu. Botol respirasi yang digunakan diisi air sampai penuh, selanjutnya diaerasi dengan kuat (bubling) selama 2 hari agar kandungan oksigennya bertambah. Setelah diaerasi air media dibiarkan selama setengah jam, kemudian dilakukan pengukuran oksigen terlarut. Oksigen terlarut diukur dengan menggunakan DO-meter terkalibrasi. Ikan ditimbang kemudian dimasukkan kedalam botol respirasi, diukur DO awal, kemudian ditutup dan diukur setiap 1 jam dengan waktu pengukuran selama 3 – 4 jam. Kemudian diukur DO akhir, maka akan didapatkan tingkat konsumsi oksigen menggunakan rumus dibawah ini (Liao dan Huang 1975) : TKO = {(DO 0 – DO t )/W x t} x V……….(4) Keterangan: TKO = DO 0 = DO t = W = t = V = Tingkat Konsumsi oksigen (mg O 2 / g tubuh /jam) Oksigen terlarut pada awal pengamatan (ppm) Oksigen terlarut pada akhir pengamatan (ppm) Bobot ikan uji (g) Periode pengamatan (jam) Volume air dalam respirometer (L) Pengukuran konsumsi oksigen dilakukan sebanyak 5 kali yaitu pada hari ke-0, 8, 16, 24, dan 32. b. Kondisi Hematologi • Kadar Hematokrit (Ht) Pengukuran hematokrit menggunakan Microhematocrit method. Ujung mikrohematokrit/mikrokapiler berheparin (untuk mencegah pembekuan darah dalam tabung) ditempelkan pada tetesan darah dan dibiarkan mengalir sendiri memasuki ruangan sampai volume darah mencapai ¾ bagian tabung kemudian salah satu ujung tabung disumbat dengan crestaseal. Darah disentrifuge pada 31 kecepatan 5000 rpm selama 5 menit. Setelah itu akan terbentuk lapisan-lapisan yang terdiri dari lapisan plasma yang jernih di bagian atas, kemudian lapisan putih abu-abu (buffy coat) yang merupakan trombosit dan leukosit, serta lapisan eritrosit yang berwarna merah. Nilai hematokrit ditentukan dengan mengukur persentase volume eritrosit dari darah dengan menggunakan alat baca mikrohematokrit dan dinyatakan dalam persentase (% Ht). • Kadar Hemoglobin (Hb) Pengukuran kadar hemoglobin pada prinsipnya adalah mengkonversikan hemoglobin dalam darah ke dalam bentuk asam hematin oleh asam klorida. Mulamula darah diisap menggunakan pipet sahli hingga skala 20 mm3, kemudian dipindahkan ke dalam tabung Hb yang berisi HCl 0.1 N sampai skala 10 (kuning). Didiamkan selama 3–5 menit agar Hb bereaksi dengan HCl membentuk asam hematin, kemudian diaduk dan ditambahkan aquadestila (sedikit demi sedikit) hingga warnanya sama dengan standar. Pembacaan skala dilakukan dengan melihat tinggi permukaan larutan yang dikocok dengan skala lajur g% yang menunjukkan banyaknya Hb dalam gram setiap 100 ml darah dan dinyatakan dalam persentase (% Hb). • Eritrosit Sampel darah diencerkan dengan larutan Hayem untuk menghancurkan sel darah putih agar jumlah sel darah merah dapat dihitung. Pengenceran dilakukan dengan menggunakan piper pencampur berskala maksimum 101 yang dilengkapi pengaduk. Darah diisap hingga skala 0,5 pada pipet, ujung pipet dibersihkan dengan tissue, kemudian larutan hayem diisap dengan cepat dan hati-hati hingga skala 101 menggunakan pipet yang sama. Pipet dikocok selama 3 menit dengan hati-hati sehingga darah tercampur merata pada bagian yang bertanda 1–101. Larutan pada ujung pipet yang tidak tercampur dibuang dengan menggunakan tisu. Darah yang teraduk diteteskan ke dalam hemositometer yang dilengkapi dengan gelas penutup hingga memenuhi seluruh permukaan yang berskala. Selanjutnya dilakukan penghitungan di bawah mikroskop. Untuk menghitung jumlah eritrosit digunakan 5 kotak kecil yang terletak di bagian tengah kamar hitung yaitu empat kotak di sudut-sudutnya dan satu kotak 32 ditengah-tengah. Satu kotak kecil luasnya adalah 0.2 x 0.2 mm = 0.04 mm2, sehingga 5 kotak itu luasnya 5 x 0.04 mm2 = 0.2 mm2. Kedalaman kamar hitung adalah 0.1 mm, sehingga volume cairan di dalam kamar hitung yang diamati adalah 0.2 mm2 x 0.1 mm = 0.02 mm3 atau 2/100 mm3. Dengan demikian jumlah eritrosit per mm3 darah dapat diketahui yaitu 100/2 = 50 a butir. Karena menggunakan pengencer 0.5:100 atau 1:200, maka jumlah eritrosit di dalam mm3 darah dapat diketahui yaitu 50 x 200 x a butir atau a x 104 butir eritrosit. • Leukosit Sampel darah diencerkan dengan larutan Turks untuk menghancurkan sel darah merah agar jumlah sel darah putih dapat dihitung. Untuk mengencerkan leukosit digunakan pipet berskala maksimum 11 yang dilengkapi pengaduk. Mula-mula darah diisap dengan pipet hingga skala 1.0, ujung pipet dibersihkan dengan kertas tisu kemudian larutan Turks diisap dengan cepat dan hati-hati hingga skala 11 menggunakan pipet yang sama. Pencampuran dilakukan dengan menggoyang pipet selama 3 menit agar darah tercampur dengan homogen. Setelah pencampuran selesai, larutan pada ujung pipet yang tidak tercampur dibuang dengan menggunakan kertas tisu. Kemudian larutan diteteskan pada kamar hitung hemositometer dengan cara menempelkan ujung pipet pada pertemuan antara dasar kamar hitung dan kaca penutup. Perhitungan dilakukan dengan cara yang sama pada perhitungan eritrosit, tetapi yang digunakan 16 kotak pada setiap sudut. Jika jumlah semua butir darah putih pada keempat kotak itu adalah a, maka per mm3 larutan mengandung a x 10/4. Faktor pengenceran 200 kali, maka jumlah leukosit per mm3 darah adalah 200 x 10/4 x a = 500a butir. c. Kondisi Histopatologi Untuk mengetahui apakah terjadi kerusakan jaringan dilakukan pengamatan preparat histologis terhadap organ-organ ikan nila, seperti insang dan hati. Metode yang digunakan adalah Metode Histoteknik, dengan penguat (embedding material) parafin dan ketebalan preparat 5 mikron (Kiernan 1990, diacu dalam Siahaan 2003). Tahap kerja dari metode mikrometrik adalah sebagai berikut: pengambilan sampel, fiksasi, dehidrasi, penjernihan, (clearing), infiltrasi, penanaman (embedding), proses pemotongan, penempelan sayatan pada gelas 33 obyek (afixing), deparafinasi dan pewarnaan. Bahan-bahan yang digunakan untuk pembuatan preparat histologis antara lain: larutan fiksatif Bouin terdiri dari: asam pikrat jenuh, formalin dan asam asetat glasial; alkohol, xylol, akuades, parafin dan entelan. Pewarna yang digunakan adalah Hematoksilin-eosin dan pewarna khusus logam berat. - Pengambilan sampel (sampling) Pengambilan hati dan insang dari dalam tubuh ikan nila dilakukan dengan menggunakan pisau tajam yang selanjutnya akan dijadikan preparat histologis. Potongan tersebut dicuci sampai bersih dengan menggunakan larutan NaCl fisiologis dan selanjutnya diawetkan dalam larutan pengawet dan dimasukkan ke dalam wadah bekas rol film. - Pengawetan (fiksasi) Proses pengawetan dilakukan untuk menjaga agar tidak terjadi perubahan pasca mati pada jaringan, menjaga agar bagian padat dan bagian cair protoplasma sel tetap terpisah, merubah bagian-bagain sel agar menjadi bahan-bahan yang tidak larut pada proses berikutnya. Melindungi sel dari proses pengerutan saat dimasukkan ke dalam alkohol atau parafin panas serta meningkatkan kemampuan dari tiap-tiap bagian jaringan agar dapat diwarnai serta serta meningkatkan indeks refraksi jaringan sehingga visibilitasnya naik. Larutan fiksasi yang baik dapat melakukan penetrasi secara cepat untuk mencegah terjadinya perubahan pasca mati, mengkoagulasi substansi-substansi sel menjadi substansi yang tidak larut, melindungi jaringan dari pengerutan dan kerusakan baik pada saat dehidrasi, embedding, maupun pada saat pemotongan serta memudahkan pewarnaan bagian-bagian sel. Pada penelitian ini larutan pengawet yang digunakan adalah larutan pengawet Bouin. Organ yang difiksasi dalam larutan Bouin selanjutnya dicuci dalam alkohol 70%. Pencucian ini dimaksudkan untuk menghilangkan sisa bahan pengawet yang terdapat di dalam jaringan, yang dapat mengganggu proses mikroteknik selanjutnya. Organ yang telah dicuci kemudian disimpan dalam alkohol 70% sebelum proses selanjutnya. - Proses penghilangan air (Dehidrasi) 34 Proses ini merupakan proses penarikan air dari jaringan yang dilakukan dengan cara merendam jaringan ke dalam alkohol absolut. Penggunaan alkohol bertingkat ditujukan selain untuk menarik air, juga dapat mencegah terjadinya pengerutan. - Proses penjernihan (clearing) Untuk menghilangkan pengaruh alkohol yang terdapat di dalam jaringan, maka selanjutnya jaringan tersebut direndam dalam xylon. Setelah dilakukan proses penjernihan maka jaringan akan lebih transparan dan berwarna lebih tua. - Proses Infiltrasi (infilting) Jaringan yang telah mengalami proses penjernihan selanjutnya direndam ke dalam parafin secara bertingkat pada suhu 60 ˚C (parafin keras). Penggunaan parafin keras agar dapat dilakukan pemotongan yang tipis. - Proses penanaman (embedding) Proses ini merupakan kelanjutan dari proses infiltrasi, yaitu penanaman organ ke dalam parafin. Proses ini harus dilakukan di atas api (bunsen) sehingga seluruh alat-alat yang digunakan harus dalam keadaan hangat untuk mencegah agar parafin tidak mengeras sebelum pekerjaan selesai. Peletakan jaringan di dalam wadah harus sedemikian rupa sehingga memudahkan pada saat pemotongan dan pengenalan kembali jaringan. Wadah yang telah berisi jaringan bercampur parafin didinginkan untuk mengeraskan parafinnya. Blok yang sudah mengeras kemudian diletakkan pada blok kayu, untuk disimpan dalam kulkas minimal 6 jam sebelum dipotong. - Proses pemotongan blok jaringan Blok jaringan dipotong dengan menggunakan mikrotom. Ketebalan jaringan ditetapkan setebal 5 mikron. Hasil sayatan diapungkan terlebih dahulu pada air hangat (40˚C), lalu diletakkan di atas gelas obyek. Selanjutnya gelas obyek diletakkan di atas hot plate selama 10 sampai 15 menit sampai selruh air yang berada diantara jaringan dan gelas obyek menguap. Gelas obyek disimpan di dalam inkubator (37˚C – 40 ˚C) selama satu malam sebelum digunakan pada proses selanjutnya. 35 - Proses pewarnaan hematoksilin-eosin Sebelum dilakukan pewarnaan, permukaan gelas obyek dimana terdapat sayatan jaringan terlebih dahulu diberi tanda. Hal ini dilakukan agar pada saat gelas obyek dibersihkan dari sisa-sisa larutan, maka bagian yang dibersihkan adalah permukaan yang tidak bertanda. Proses pewarnaan ini terdiri atas beberapa tahap, yaitu: 1) Deparafinisiasi dengan xylol-dilakukan untuk menghilangkan parafin, yaitu dengan cara merendam gelas obyek berisi jaringan ke dalam larutan xylol secara bertahap mulai dari xylol III, II, dan I. 2) Rehidrasi- dilakukan untuk memasukkan air ke dalam jaringan, yaitu dengan cara merendam gelas obyek ke dalam alkohol secara menurun, mulai dari alkohol absolut III sampai ke alkohol 70%. Kemudian perendaman dilanjutkan ke dalam air mengalir dan akuades. 3) Pewarnaan hematoksilin. 4) Perendaman ke dalam air mengalir dengan ketentuan bahwa semakin lama berada di dalam air mengalir maka warna biru yang timbul akan semakin menyolok. 5) Perendaman ke dalam akuades untuk menghilangkan proses pewarnaan biru. 6) Pemeriksaan dibawah mikroskop, jika warna yang timbul terlalu tua maka dapat dipucatkan dengan cara mencelup secara cepat ke dalam larutan HCl 1 N, sebaliknya jika warna terlalu pucat maka dapat dicelupkan lagi ke dalam hematoksilin. 7) Pewarnaan eosin. 8) Dehidrasi dalam alkohol bertingkat secara cepat, mulai dari alkohol 70% sampai dengan 95%. Kemudian dilanjutkan perendaman ke dalam alkohol absolut I selama 1 – 2 menit. Dilakukan pemeriksaan di bawah mikroskop untuk melihat kontras warna biru dan merah. Jika warna merah kurang kontras maka dilakukan kembali pewarnaan eosin, sebaliknya jika warna tersebut sudah kontras maka perendaman dilanjutkan sampai pada alkohol absolut III. 9) Clearing dengan xylol secara bertingkat mulai dari xylol I sampai III. 36 10) Mounting-preparat diberi perekat dengan menggunakan kanada balsam, lalu ditutup dengan kaca penutup, dikeringkan dan diamati dibawah mikroskop. Preparat selanjutnya diberi label sesuai dengan perlakuan. Pengamatan kerusakan jaringan dilakukan dengan membuat preparat histologi insang dan hati. Pengamatan dilakukan sebanyak 2 kali yaitu pada hari ke-15 dan hari ke-30 (akhir penelitian). Metode yang digunakan adalah metode histoteknik. Tahapan kerja dari metode ini adalah pengambilan sampel, fiksasi, dehidrasi, penjernihan, infiltrasi, penanaman, proses pemotongan, penempelan sayatan pada gelas objek, deparafinisasi, dan pewarnaan (Kiernan 1990). Preparat yang dibuat selanjutnya diamati menggunakan mikroskop digital dengan perbesaran 40 kali, 100 kali, dan 200 kali. d. Laju Pertumbuhan Pertumbuhan ikan yang diukur meliputi pertambahan bobot (g) dengan menggunakan neraca digital dengan ketelitian 0,01 gram. Hasil pengukuran ini digunakan untuk menghitung laju pertumbuhan ikan nila, menggunakan rumus berikut : • Pertumbuhan mutlak Pertumbuhan bobot rata-rata tubuh ikan nila GIFT selama masa pemeliharaan dalam media terkontaminasi nikel dihitung dengan menggunakan rumus menurut Effendie (1997) yaitu: Wi = Wt – Wo Dimana: Wi = pertumbuhan mutlak berat tubuh rata-rata interval (gram) Wt = Bobot tubuh rata-rata pada waktu-t (gram) Wo = Bobot tubuh rata-rata pada awal penelitian (gram) • Laju pertumbuhan spesifik (LPS) Laju pertumbuhan spesifik rata-rata ikan nila GIFT pada media yang terkontaminasi logam berat nikel selama 32 hari masa pemeliharaan dihitung dengan menggunakan rumus menurut Effendie (1997) yaitu: 37 LPS = Ln (Wt) – Ln (Wo) t Keterangan : LPS Wt Wo t = = = = x 100% …………………….(7) Laju Pertumbuhan spesifik (g/hari) Rerata bobot individu pada akhir penelitian (g) Rerata bobot individu pada awal pemeliharaan (g) Waktu pemeliharaan (hari) e. Derajat Kelangsungan Hidup Kelangsungan hidup merupakan presentase dari perbandingan antara jumlah ikan yang hidup diakhir perlakuan dengan jumlah ikan yang ditebar dalam akuarium diawal perlakuan. Derajat kelangsungan hidup dihitung berdasarkan persamaan berikut : X 100% ……………..……(6) Keterangan : SR = derajat kelangsungan hidup ikan Nt = Jumlah ikan pada akhir penelitian No = Jumlah ikan pada awal pemeliharan f. Parameter Kualitas Air Parameter kualitas air yang diukur meliputi : suhu, pH, kesadahan, alkalinitas, karbondioksida, oksigen terlarut dan total amoniak nitrogen. Pengukuran suhu, salinitas, pH dan oksigen terlarut dilakukan setiap hari, sedangkan pengukuran karbondioksida, kesadahan, alkalinitas dan total amoniak nitrogen dilakukan setiap minggu. 3.4 Analisis Data Data yang diperoleh dan data gerak operkulum dianalisis dengan analisis ragam pada selang kepercayaan 95% (α = 0,05). Selanjutnya jika terdapat perlakuan yang memiliki pengaruh nyata dilanjutkan dengan uji Tukey untuk mengetahui pengaruh antar perlakuan (Gaspertz 1991). Nilai LC 50 dihitung dengan menggunakan analisis probit. Selanjutnya untuk data tingkah laku ikan uji pada uji akut, data pengamatan histopatologi serta hasil pengukuran kualitas air dianalisis secara deskriptif. 38