TINJAUAN PUSTAKA Kesiapan menikah Duvall

advertisement
7
TINJAUAN PUSTAKA
Kesiapan menikah
Duvall (1971) menyatakan bahwa kesiapan menikah adalah laki-laki
maupun perempuan yang telah menyelesaikan masa remajanya dan siap secara
fisik, emosi, finansial, tujuan, keuangan, dan kepribadian untuk bertanggung
jawab dalam pernikahannya. Komitmen bagi mereka yang ingin menikah timbul
dari keterkaitan emosi, salah satunya rasa cinta. Namun tidak semua orang yang
sangat ingin menikah memiliki kesiapan-kesiapan sebelum menikah (Blood
1962). Knox (1985) menyebutkan tiga faktor yang mempengaruhi kesiapan
menikah, yaitu umur, pendidikan, dan rencana karir. Lain halnya dengan Rice
(1983) yang menyebutkan bahwa dari beberapa penelitian didapatkan bahwa
faktor yang menentukan seseorang siap atau tidak menikah antara lain usia,
lamanya pasangan saling mengenal, kematangan sosial, motivasi untuk menikah,
pengertian cinta menurut pasangan, kesiapan pasangan dan kemauan untuk
tanggung jawab dalam pernikahan, kesiapan untuk setia terhadap satu pasangan,
kesiapan emosi untuk menjadi orangtua, telah menyelesaikan pendidikan, serta
kesiapan dan kemauan orangtua untuk menikahkan anaknya.
Usia merupakan faktor yang paling penting dalam mengukur kesiapan
menikah menurut Rice (1983). Maka dari itu, seseorang yang menikah pada usia
muda memiliki masalah dan ketidakpuasaan dibandingkan seseorang yang
menikah pada usia lebih tua (Lee 1977 diacu dalam Rice 1983). Berkebalikan
dengan penelitian yang dilakukan Oktaviani (2010) yang menyebutkan bahwa
umur berhubungan negatif dengan pengetahuan yang dimiliki mengenai
pernikahan. Semakin tua usia seseorang saat menikah, semakin
sedikit pula
pengetahuan yang dimilikinya yang diduga karena keterpaparan informasi yang
masih sedikit dan tidak sesuai dengan kebutuhan. Selain usia, faktor lain yang
diperlukan dalam mengenali pasangan yakni menyadari perbedaan-perbedaan
yang dimiliki oleh pasangan karena perbedaan inilah yang mengganggu
ketenangan dan suasana aman dalam berkeluarga (Gunarsa dan Gunarsa 2002).
Sebelum memasuki gerbang pernikahan, individu harus menyiapakan
beberapa kesiapan. Apabila tidak menyiapakan keterampilan-leterampilan tersebut
maka akan berdampak pada gagalnya fungsi keluarga. Dijelaskan dalam Burgess
8
dan Locke (1960) bahwa seseorang yang akan menikah harus memenuhi
sumberdaya ekonomi, sumberdaya manusia, dan kematangan pribadinya. Menurut
Rapaport dalam Duvall (1971), terdapat sepuluh kriteria kesiapan menikah, antara
lain:
1.
Siap untuk menjadi pasangan setia
2.
Siap untuk berubah dari kehidupan yang bebas menjadi hubungan yang
mendalam dengan pasangannya
3.
Memiliki kelembutan dan kasih sayang untuk pasangannya
4.
Peka terhadap emosi dan kehidupan orang lain
5.
Berbagi keintiman dengan orang lain
6.
Menyatukan rencana yang dimilikinya dengan pasangannya
7.
Memiliki penilaian yang realistis mengenai pasangannya
8.
Berkontribusi dalam pemenuhan kebutuhan kehidupan keluarganya kelak
9.
Memiliki rancangan atau rencana mengenai masalah keuangan
10.
Siap untuk menjadi istri atau suami
Blood (1962) menyebutkan bahwa kedewasaan emosi adalah konsep yang
paling penting dalam kesiapan seseorang untuk menikah. Artinya, ketika
seseorang sudah mencapai kematangan emosinya maka ia telah mencapai masa
kedewasaannya. Namun, tidak semua orang yang telah dewasa adalah orang yang
matang secara emosi. Perbedaan kematangan emosional inilah yang menyebabkan
wanita lebih siap menjalankan peran dan tugasnya dirumah, sedangkan pria lebih
mencari sukses di luar rumah (Gunarsa dan Gunarsa 2002). Seseorang dikatakan
matang secara emosi ketika telah mengembangkan kemampuan untuk
membangun dan menjaga hubungan personal (Blood 1962). Kedewasaan akan
datang sendirinya sebagai hasil dari keberhasilan dalam bersosialisasi di rumah
maupun diluar rumah (peer group, sekolah, tempat kerja, dan pasangan).
Seseorang yang sudah matang akan memungkinkan dirinya untuk menghasilkan
pernikahan dan pengasuhan yang sukses pula. Blood (1962) mengukur
kematangan emosi dari empati, stabilitas, dan tanggung jawab. Namun adapula
seseorang yang sudah matang secara emosi namun tidak memiliki pengalaman
yang cukup dalam kehidupan remajanya tapi sudah siap untuk menikah. Tidak
hanya kematangan emosi, kematangan sosial pun menjadi aspek kesiapan
9
menikah. Blood (1962) mengartikan kematangan sosial sebagai salah satu aspek
kesiapan menikah yang berasal dari terpenuhinya aspek-aspek kehidupan seorang
remaja. Kematangan sosial dapat terlihat dari seberapa lama mengenal orang lain
dan memiliki kehidupan yang mandiri. Mengenal orang lain merupakan salah satu
cara untuk mematangkan sosial seorang remaja. Bagi remaja yang hanya
mengenal sedikit orang, akan lebih lama merasa cocoknya karena masih mencari
kepribadian baru dari temannya. Mengenal tidak hanya dari banyaknya orang
yang dikenal, tapi juga kemampuan untuk bersosialisasi dengan orang lain.
Saat seseorang sudah matang secara emosi dan sosial, maka ia dapat
melanjutkan hubungannya dengan pasangan ke jenjang yang lebih serius, yaitu
pernikahan. Duvall dan Miller (1985) mengatakan bahwa ketika seseorang siap
untuk
menikah
maka
ia
harus
sudah
menyelesaikan
semua
tugas
perkembangannya yang sesuai dengan umur pada saat ia akan menikah.
Pernikahan memiliki tiga fungsi penting menurut Landis dan Landis (1970), yaitu
menyediakan keadaan fisik untuk anak dan keluarga, mengembangkan
kepribadian secara alami seperti menyediakan fasilitas untuk anak agar dapat
sukses dalam kehidupan sosialnya, dan mempertemukan emosi antara orangtua
dan anak dalam keluarga. Beberapa penelitian dilakukan untuk mengetahui alasan
seseorang
menikah.
Bagi
perempuan
didapatkan
alasan
seperti
untuk
mendapatkan rasa aman dalam keuangan, dukungan emosi, dan prestis. Alasan
menikah bagi laki-laki antara lain menciptakan kehidupan normal, kehidupan
rumah, dan kepemimpinan.
Keberfungsian Keluarga
Konsep keberfungsian keluarga pertama kali muncul untuk melakukan
terapi pada keluarga dan salah satu model keberfungsian keluarga yang digunakan
hingga saat ini adalah McMaster Model of Family Functioning. Model ini
menggunakan teori struktural fungsional yang mellihat keluarga sebagai suatu
sistem sosial namun lebih menekankan pada fungsi keluarga seperti menyediakan
kebutuhan fisik dan psikologi keluarga (Toly 2009). Megawangi (2005)
mengatakan bahwa teori struktural fungsional merupakan sebuah pendekatan yang
dikembangkan oleh sosiolog yang diterapkan dalam keluarga. Teori ini
dikembangkan pada abad ke-20 oleh William F. Ogburn dan Talcot Parson, dua
10
orang sosiolog ternama. Pendekatan ini mengakui adanya keberagaman dalam
masyarakat yang menjadi sumber dalam struktur masyarakat.
Model fungsi keluarga McMaster merupakan model yang menggunakan
pendekatan struktur dan organisasi. Toly (2009) menyebutkan fokus pada model
ini ada tiga, yaitu tugas dasar seperti makan dan rumah, tugas perkembangan yang
terjadi selama tahap perkembangan hidup keluarga, dan tugas krisis seperti cara
keluarga dalam menangani masalah. Sejalan dengan model fungsi keluarga
McMaster, the procces of family functioning, dikembangkan dari teori sistem yang
menjelaskan bahwa fungsi keluarga merupakan kemampuan keluarga dalam
menyelesaikan tugas dasar, krisis, dan perkembangan karena fokus dalam model
ini adalah penyelesaian ketiga tugas tersebut baik secara fisik, biologi, maupun
sosial. Model ini mengidentifikasi tujuh objek yang dapat menunjukkan
berhasilnya keluarga dalam menyelesaikan tugas dasar, krisis, dan perkembangan.
Tujuh objek tersebut adalah penyelesaian tugas, peran yang jelas, komunikasi,
interkasi langsung dalam keluarga, keterlibatan, pengawasan, serta nilai dan
norma (Trangkasombat 2006). Perbedaan dalam model ini dengan model
McMaster adalah model ini digunakan untuk memahami tentang keluarga
sedangkan McMaster untuk terapi keluarga.
Tugas Dasar merupakan hal-hal dasar yang perlu dipenuhi oleh keluarga.
kebutuhan ini termasuk dalam istirahat, tidur, makan, minum, sex, dan oksigen.
Menurut Maslow (1970), manusia berusaha untuk memenuhi kebutuhannya yang
paling rendah, yaitu kebutuhan dasar, sebelum memenuhi kebutuhan yang paling
tinggi, yaitu aktualisasi diri. Kebutuhan-kebutuhan ini umumnya muncul ketika
ada sebuah motivasi dari luar (lapar, haus, panas, atau dingin) sehingga muncul
kebutuhan. Misalnya saat seseorang lapar, maka ia akan mencari cara apapun
yang dapat memenuhi memenuhi rasa laparnya. Selama belum terpenuhi
kebutuhannya, maka ia akan selalu memikirkan keinginannya. Setelah
terpenuhinya salah satu kebutuhan, maka kebutuhan lainnya akan mucul dan
begitu seterusnya (Maslow 1970). Setiap orang dapat dan berkeinginan untuk
mencapai tingkat aktualisasi diri, namun sering terhambat dengan kejadiankejadian ditingkat paling rendah. Kejadian seperti perceraian atau kehilangan
11
pekerjaan menjadi penyebab hambatan individu untuk menuju ke tingkat
selanjutnya.
BKKBN membagi kategori kesejahteraan keluarga ke dalam tiga
tingkatan, yaitu pra KS, KS I, KS II, KS III, dan KS III plus. Keluarga pra KS
adalah keluarga yang hanya dapat memenuhi kebutuhan dasar keluarga saja yang
termasuk dalam sandang, pangan, papan, kesehatan, dan pendidikan. Keluarga KS
I adalah keluarga yang belum dapat memenuhi kebutuhan sosial psikologis.
Keluarga KS II adalah keluarga yang belum dapat memenuhi kebutuhan
pengenbangannya, sedangkan KS III adalah keluarga yang belum dapat
memberikan suambangan maksimal kepada masyarakat. Keluarga yang dapat
memenuhi kebutuhan semua kebutuhan merupakan keluarga dengan golongan KS
III plus.
Tugas
Krisis
merupakan
periode
krusial
pada
setiap
tahapan
perkembangan keluarga. Sunarti (2007) menjelaskan bahwa krisis keluarga datang
saat masalah yang diterima keluarga lebih banyak dari sumberdaya dan perilaku
koping keluarga. Sumberdaya yang digunakan untuk koping berupa fisik dan
materi
(pendapatan,
peralatan,
ruang,
tabungan,
kesehatan,
pendidikan,
pengalaman, ide, dan intelektual), integrasi keluarga (komunikasi, tujuan, nilai,
loyalitas, dan kerjasama), dan kemampuan adaptasi keluarga dalam menghadapi
masalah atau krisis. Sumberdaya didapatkan keluarga dari keluarga besar dan
teman yang berupa dukungan, bantuan, serta kemampuan pemecah masalah
(Smart dan Smart 1980).
Masalah atau stressor yang menghadang keluarga diharapkan dapat
meningkatkan keterampilan dan sumberdaya yang dimiliki keluarga. Keberhasilan
keluarga dalam menghadapi krisis dipengaruhi kemampuan keluarga dalam
menghadapi masalah/krisis sebelumnya. Stressor merupakan kejadian atau transisi
yang mempengaruhi kehidupan keluarga, seperti perceraian, kematian, atau
kesulitan lainnya yang membuat keluarga semakin dalam keadaan yang sulit.
Namun tidak semua stressor akan berdampak buruk pada kehidupan keluarga,
tergantung dari tipologi keluarga, sumberdaya, kemampuan koping strategi dan
penyelesaian masalah, harapan, serta kerentanan keluarga.
12
McCubbin dan Thompson (1987) menjelaskan bahwa keluarga yang
tertimpa krisis dapat terlihat dari kadaan keluarga yang mulai tidak stabil. Untuk
mengembalikan kestabilan itu, keluarga akan melakukan trial and error untuk
mengurangi ketegangan yang ada dalam keluarga sehingga dapat dikatakan bahwa
krisis keluarga merupakan masa transisi keluarga dari situasi yang tidak stabil
menjadi situasi stabil dan di dalamnya terdapat usaha keluarga untuk memperbaiki
dan
beradaptasi
dengan
perubahan.
Ketidakmampuan
keluarga
dalam
menyesuaikan perilaku terhadap perubahan dalam masyarakat akan menimbulkan
ketegangan emosi yang akan berakibat pada perpisahan atau perceraian. Keluarga
modern lebih berpengalaman menghadapi krisis daripada keluarga terdahulu
karena memiliki karakteristik yang kompleks walaupun tekanan yang dihadapinya
lebih besar (Locke dan Burgess 1960).
Krisis terjadi disepanjang siklus hidup keluarga dan terjadi ketika keluarga
tidak mampu memenuhi tugas perkembangan individu maupun keluarganya
(Duvall 1971). Begitupula dengan keluarga anak prasekolah, masing-masing
memiliki tugas perkembangan dirinya maupun keluarganya. Krisis pada masa
prasekolah umumnya tidak mampu melakukan koping terhadap hilangnya energi,
perhatian, dan waktu terhadap kebutuhan anak prasekolah dan hilangnya privacy
antara pasangan (Duvall 1971). Penelitian yang dilakukan Lee et al. (2010)
menyebutkan bahwa konflik yang terjadi antarpasangan antara lain masalah
hubungan dengan pasangan, anak, keuangan, tanggung jawab dalam rumah
tangga, kesehatan, keluarga besar, rahasia, dan perpindahan rumah.
McCubin (1987) menyebutkan masa parsekolah merupakan masa yang
membutuhkan kedisiplinan sehingga anak dapat melakukan kegiatannya secara
disiplin. Hurlock (1980) membedakan ke dalam dua kelompok bahaya atau krisis
bagi anak usia prasekolah, yaitu dampak psikologis dan fisik. Adapaun yang
termasuk dalam bahaya psikologis antara lain bahaya dalam berbicara, emosi,
sosial, bermain, perkembangan konsep, moral, penggolongan jenis kelamin,
kepribadian, dan hubungan keluarga. Bahaya fisik di antaranya adalah kematian,
penyakit, kecelakaan, penampilan fisik yang kurang menarik, dan kegemukan.
Tugas Perkembangan merupakan tugas-tugas yang selalu muncul
disetiap tahapan perkembangan hidup seseorang atau selama seseorang hidup
13
(Duvall 1971). Pemenuhan tugas-tugas perkembangan ini akan membawa
kebahagiaan dan kesiapan seseorang untuk memenuhi tugas perkembangan
selanjutnya. Apabila seseorang gagal untuk memenuhi kebutuhannya, maka akan
mempengaruhi pemenuhan tugas perkembangan selanjutnya, ketidakbahagiaan,
dan ditolak oleh masyarakat (Duvall 1971).
Sama seperti tugas krisis, tugas perkembangan membutuhkan dukungan
dari pihak lain. Dukungan tersebut umunya datang dari dalam diri individu
tersebut, namun dipengaruhi dari apa yang diharapkan oleh orang lain atas
perilaku seorang individu tersebut. Permasalahan umumnya terjadi pada
pemenuhan tugas perkembangan adalah belum matanganya seseorang, tekanan
dari lingkungan, ambisi, dan orientasi nilai (Duvall 1971). Tugas perkembangan
sejatinya akan terus dihadapi oleh seseorang selama ia hidup. Maka dari itu,
terdapat tugas perkembangan sesuai dengan umur yang diselaraskan dengan
pencapaian kematangan/kedewasaan. Duvall (1971) menyebutkan bahwa terdapat
empat asumsi mengenai tugas perkembangan. Adapun asumsi tersebut ialah
inidvidu menerima perilaku baru yang dihasilkan dari apa yang diharapkan orang
lain maupun ketika melihat orang lain lebih dewasa, membentuk konsep diri yang
baru, melakukan koping secara efektif terhap permasalahan-permasalahan yang
akan dihadapi, dan berkeinginan keras untuk mencapai tugas perkembangan
selanjutnya.
Tidak
perkembangan.
hanya
individu,
Sejalan
dengan
namun
tugas
juga
keluarga
memilliki
tugas
perkembangan
individu,
tugas
perkembanagn keluarga akan selalu dihadapi selama rentang hidup keluarga
tersebut. Keluarga memiliki tanggung jawab, tujuan, dan tugas perkembangan
yang sejalan dengan perkembangan anggota keluarganya. Duvall (1971)
mengatakan bahwa tugas perkembangan keluarga muncul ketika anggota keluarga
dapat memenuhi semua kebutuhannya dan merasa puas sehingga akan
melanjutkan ke tugas perkembangan yang selanjutnya.
Download