BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 1. Konsep Nyeri 1.1 Pengertian Nyeri

advertisement
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
1. Konsep Nyeri
1.1 Pengertian Nyeri
Setiap orang membutuhkan rasa nyaman, dan setiap orang memiliki persepsi
yang berbeda-beda. Salah satu yang menyebabkan ketidaknyamanan pasien adalah rasa
nyeri. Nyeri merupakan sensasi yang tidak menyenangkan baik secara sensori maupun
emosional yang bersifat individual, sehingga pasien biasanya merespon rasa nyeri yang
dialaminya dengan cara yang berbeda-beda (Asmadi, 2008; Berman, Snyder, Kozier dan
Erb).
Reaksi dan persepsi yang berbeda-beda tersebut dipengaruhi oleh faktor
personal dan faktor sosial lingkungan. Faktor personal berupa pengetahuan mengenai
nyeri dan penyebabnya, makna nyeri, kemampuan mengontrol nyeri, tingkat kecemasan
dan stres, dan tingkat energi. Faktor sosial dan lingkungan terdiri dari interaksi dengan
orang lain, respon orang lain (keluarga, teman), penambahan nyeri sekunder, kelebihan
beban atau deprivasi sensori dan stresor. Pasien sering mengalami kesulitan untuk
mengkomunikasikan konsep nyeri yang mereka rasakan, sehingga menyebabkan
seorang perawat kesulitan membuat rencana untuk mengatasi nyeri. Walaupun
demikian penatalaksanaan nyeri yang efektif adalah aspek yang penting dalam asuhan
keperawatan dan perawat mesti peka terhadap sensasi nyeri yang dialami oleh para
pasien, dengan memiliki kemampuan untuk mengidentifikasikan dan mengatasi rasa
nyeri tersebut (Asmadi, 2008; Berman, Snyder, Kozier dan Erb., 2009; Carpenito, 2009).
Nyeri berhubungan dengan fisik dan psikologis. Nyeri secara psikis biasanya
karena adanya trauma psikologis. Sedangkan nyeri yang berhubungan dengan fisik
Universitas Sumatera Utara
biasanya disebabkan oleh trauma, neoplasma, peradangan, gangguan sirkulasi darah
dan lain-lain. Nyeri akibat faktor fisik berkaitan dengan terganggunya serabut saraf
reseptor, diantaranya trauma mekanik
yang disebabkan oleh benturan, gesekan,
ataupun luka, trauma termis akibat ransangan panas dan dingin, kimiawi akibat zat asam
atau basa yang kuat dan elektrik akibat aliran listrik, neoplasma menyebabkan reseptor
nyeri mengalami tekanan atau kerusakan jaringan, tarikan, dan jepitan (Asmadi, 2008).
1.2.Klasifikasi Nyeri
Nyeri dapat diklasifikasikan dalam beberapa golongan, berdasarkan sifat, berat
ringannya nyeri, tempat dan lamanya waktu serangan.
a. Nyeri berdasarkan sifat
Nyeri berdasarkan sifat terbagi atas: nyeri yang timbul sewaktu-waktu lalu
menghilang (incidental pain), nyeri yang dirasakan dalam waktu yang lama atau
menetap (steady pain), dan nyeri yang berintensitas tinggi dan kuat yang biasanya
terasa ± 10-15 menit lalu hilang (paroxymal pain).
b. Nyeri berdasarkan berat ringan intensitas
Nyeri berdasarkan berat ringannya terdiri dari intensitas rendah (nyeri ringan),
menimbulkan reaksi (nyeri sedang), dan intensitas tinggi (nyeri berat).
c. Nyeri berdasarkan tempat timbulnya nyeri
Nyeri berdasarkantempat timbulnya nyeri maka dapat dibedakan atas pheriperal
pain (permukaan tubuh), deep pain (permukaan tubuh yang lebih dalam), refered pain
(pada organ/struktur dalam tubuh yang ditranmisikan ke bagian tubuh di daerah yang
berbeda) dan central pain (pada sistem saraf pusat, spinal cord, batang otak, talamus
dana lain-lain).
Universitas Sumatera Utara
d. Nyeri berdasarkan lamanya serangan
Nyeri berdasarkan lamanya serangan diklasifikasikan atas nyeri akut dan nyeri
kronis. Nyeri akut merupakan nyeri atau ketidaknyamanan yang parah yang dirasakan
selama periode penyembuhan yang biasanya dari satu detik hingga enam bulan, baik
yang terjadi secara tiba-tiba maupun lambat tanpa memperhatikan intensitasnya. Di sisi
lain, nyeri kronis berlangsung berkempanjangan, biasanya nyeri menetap dan berulang
sampai enam bulan atau lebih, dan mengganggu fungsi tubuh (Asmadi, 2008; Berman,
Snyder, Kozier dan Erb., 2009; Carpenito, 2009).
1.3 Mekanisme Transmisi Nyeri
Mekanisme transmisi nyeri dapat diterangkan dengan beberapa teori, yaitu:
a. Teori spesifik
Teori spesifik menerangkan bahwa sensasi nyeri berhubungan dengan
pengaktifan ujung-ujung serabut saraf bebas olah pencetus nyeri, lalu informasi tersebut
diproyeksikan oleh spinotalamik ke spesifik pusat nyeri di talamus.
b. Teori Intensitas
Teori intensitas menjelaskan bahwa ransangan sensori berpotensi menimbulkan
nyeri jika intensitasnya cukup kuat. Sedangkan teori kontrol pintu menjelaskan bahwa
mekanisme transmisi nyeri bergantung pada aktivitas serat saraf aferen yang dapat
mempengaruhi sel saraf di substansia gelatinosa, jika serat saraf kecil akan
mempermudah transmisi (pintu dibuka), namun bila serat saraf berdiameter besar,
maka menghambat transmisi (pintu ditutup) (Asmadi, 2008).
1.4 Penatalaksanaan Nyeri
Penatalaksanaan nyeri yang efektif oleh seorang perawat memerlukan
pengkajian nyeri yang akurat. Pengkajian nyeri sangat luas dan frekuensinya bervariasi
Universitas Sumatera Utara
sesuai dengan situasi, namun biasanya perawat berfokus pada lokasi, kualitas,
keparahan, dan intervensi awal dari nyeri. Perawat harus memulai pengkajian nyeri
karena banyak pasien yang tidak memberitahu tentang nyeri yang dirasakannya, kecuali
ditanya. Banyak hal yang membuat pasien enggan untuk melaporkan nyeri yang mereka
rasakan, diantaranya, tidak ingin merepotkan petugas, takut terhadap pemberian
analgesik injeksi (terutama anak-anak), percaya bahwa nyeri yang dirasakan adalah
bagian normal, kesulitan mengekspresikan ketidaknyamanan, dan lain-lain. Pengkajian
nyeri tersebut terdiri dari riwayat nyeri dan observasi langsung terhadap respon perilaku
dan psikologi dari pasien, yang bertujuan untuk mendapatkan pemahaman objektif dari
pengalaman yang subjektif (Berman, Snyder, Kozier dan Erb., 2009).
1.5 Riwayat nyeri
Riwayat nyeri secara komprehensif terdiri dari lokasi nyeri, intensitas, kualitas,
pola, faktor presipitasi, faktor yang mengurangi, gejala terkait, pengaruh pada ADL,
pengalaman nyeri, makna nyeri, sumber koping dan respon afektif (Berman, Snyder,
Kozier dan Erb., 2009). Riwayat nyeri dapat dijabarkan sebagai berikut:
a. Lokasi
Penentuan lokasi nyeri dapat dilakukan dengan meminta pasien untuk
menunjukkan daerah yang dirasakan tidak nyaman. Pasien dapat menandai lokasi nyeri
pada peta gambar tubuh, sehingga memudahkan pasien untuk mengidentifikasi lokasi
nyeri tersebut, terutama bagi pasien yang memiliki lebihlokasi nyeri lebih dari satu.
b. Skala Intensitas Nyeri atau Tingkat nyeri
Perawat dapat meremehkan atau melebihkan intensitas nyeri seorang pasien,
bahkan ketika nyeri yang hebat cendrung ketidakakuratannya menjadi lebih besar. Oleh
karena itu, penggunaan skala intensitas nyeri merupakan suatu metode mudah dan
Universitas Sumatera Utara
dipercaya yang banyak digunakan untuk mengurangi ketidakakuratan penilaian
tersebut. Skala tersebut biasanya dengan rentang 0-5 atau 0-10, dengan 0
mengindikasikan “tidak nyeri” dan nomor yang tertinggi mengiidikasikan “kemungkinan
nyeri terhebat” bagi pasien. Skala seperti ini akan memberikan konsistensi bagi perawat
untuk berkomunikasi dengan pasien dan tenaga kesehatan lainnya. Skala intensitas nyeri
skala 10 dapat dilihat pada Gambar 2.1 di bawah ini.
Gambar 2.1 Skala Intensitas Nyeri Skala 10
Pasien diminta untuk menunjukkan skala nilai yang paling mewakili intensitas
nyeri yang dirasakan. Namun tidak semua pasien dapat menghubungkan nyeri yang
dirasakan dengan skala intensitas nyeri berdasarkan angka, terutama anak-anak, lansia
yang mengalami kerusakan komunikasi. Oleh karena itu dapat digunakan skala tingkat
nyeri wajah Wong-Baker dengan skala 0-5 seperti yang terlihat pada Gambar 2.2
(Berman, Snyder, Kozier dan Erb., 2009).
Gambar 2.2 Skala Tingkat Nyeri Wajah Wong-Baker Dengan Skala 0-5
Universitas Sumatera Utara
c. Pola
Perawat menetukan pola nyeri yang berkaitan dengan kapan nyeri dimulai,
durasi nyeri berlangsung, apakah nyeri berulang dan jika berulang ditentukan interval
tanpa nyeri dan waktu nyeri terakhir muncul.
d. Faktor Presipitasi
Pada faktor ini perawat menentukan aktivitas tertentu yang dapat
mengakibatkan rasa nyeri, seperti pengerahan tenaga fisik, aktivitas makan, kondisi
ekstrim, emosional dan lain-lain.
e. Kualitas Nyeri
Kualitas nyeri dikomunikasikan dengan kata sifat, perawat perlu mencatat katakata sebenarnya yang digunakan oleh pasien untuk menggambarkan nyeri. Beberapa
istilah sering digunakan secara umum seperti yang terlihat pada Tabel 2.1. Namun katakata dari pasien lebih akurat dan deskriptif dari pada interpretasi kata-kata perawat.
Tabel 2.1 Deskriptor Nyeri yang Umum Digunakan
Istilah
Kata Sensori
Kata Afektif
Nyeri
Terbakar
Tidak dapat ditahan
Tersiram air panas
Membunuh
Tajam
Hebat
Tajam-menusuk
Menyiksa
Bor
Menderita sekali
Terpelintir
Menakutkan
Tertembak
Melelahkan
Panas
Tercekik
Hancur berkeping-keping
Menakutkan
Tembus
Sengsara
Tersakiti
Berat
Sakit
Universitas Sumatera Utara
Tertusuk
Berdenyut
Tertekan
Luka tekan
Perih
Mati rasa
Mengganggu
Dingin
Khawatir
Kelap-kelip
Capek
Menyebar
Menyusahkan
Tumpul
Menggigit
Sakit sekali
Tidak nyaman
Sakit yang menetap
Muak
Kram
Rapuh
Sumber: Berman, Snyder, Kozier dan Erb., 2009
f. Faktor yang Meringankan
Perawat meminta pasien untuk menjelaskan hal-hal apa saja yang telah
dilakukan untuk membantu meringankan nyeri, misalnya: obat tradisional, istirahat,
penggunaan obat yang dijual bebas, panas, dingin,nonton TV dan lain-lain.
g. Gejala Terkait
Gejala yang termasuk pada penilaian klinis nyeri adalah mual, muntah, pusing,
dan diare, karena kemungkinan disebabkan oleh nyeri.
h. Respon Perilaku dan Fisiologi
Respon perilaku dapat dikontrol oleh pasien sehingga tidak menunjukkan
adanya nyeri, ekspresi wajah yang merupakan satu-satunya indikasi dari nyeri. Respon
fisiologis bervariasi sesuai dengan asal dan durasi nyeri berlangsung. Respon perilaku
dan fisiologis ini sulit ditentukan pada pasien dengan nyri kronis.
Universitas Sumatera Utara
i. Respon Afektif
Perawat perlu mengeksplorasi perasaan pasien, misalnya rasa cemas, takut, kelelahan,
depresi atau merasa gagal. Respon afektif ini bervariasi berdasarkan situasi, derajat dan
durasi nyeri, interpretasi nyeri dan faktor-faktor lainnya.
j. Efek Nyeri pada Aktivitas Sehari-hari
Perawat meminta pasien menjelaskan bagaimana nyeri telah mempengaruhi
aspek kehidupan mereka, seperti: tidur, selera, konsentrasi, kerja atau sekolah, dan lainlain.
k. Sumber Koping
Setiap individu dapat menunjukkan koping pribadi terhadap nyeri yang
berhubungan dengan pengalaman nyeri yang lau atau makna khusus dari nyeri tersebut.
1.6 Konsep Perilaku Nyeri
Perilaku nyeri merupakan perilaku yang muncul setelah mempersepsikan nyeri.
Selain perilaku nyeri, respon yang muncul adalah respon fisiologis. Mengobservasi
langsung perilaku nyeri merupakan cara pengukuran nyeri yang menghasilkan nilai yang
akurat (Fordyce, 1974 dalam Brannon dan Feist, 2007). Menurut Turk, Wack dan Kerns
(1985),
dalam DiMatteo (1991), perilaku nyeri yang dapat diobservasi yaitu : pernyataan verbal
(mengaduh, menangis, sesak nafas dan mendengkur), ekspresi wajah (meringis,
menggeletukkan gigi, dan menggigit bibir), gerakan tubuh (gelisah, immobilisasi,
ketegangan otot, peningkatan gerakan kaki
dan tangan), dan kontak/interaksi sosial (menghindari kontak sosial, penurunan rentang
perhatian, dan fokus pada aktifitas yang menghilangkan nyeri).
Universitas Sumatera Utara
Individu yang mengalami nyeri akut dapat menangis, merintih, tidak
menggerakan bagian tubuh, mengepal atau menarik diri (Smeltzer dan Bare, 2002).
Respon pasien terhadap nyeri akut dengan nyeri kronis biasanya berbeda, Pada pasien
nyeri kronik biasanya karena nyeri yang begitu lama yang dialami membuat pasien letih
untuk menangis atau merintih sehingga pasien dapat tidur dengan nyeri yang hebat
(Melzack & Wall, 1982 dalam DiMatteo, 1991).
Perilaku nyeri dapat dibagi menjadi dua yaitu, perilaku responden dan perilaku operant
(Harahap, 2006). Perilaku responden merupakan salah satu jenis perilaku refleks sebagai
respon terhadap stimulus yang muncul kapanpun. Stimulus yang muncul biasanya
spesifik dan dapat diprediksi. Perilaku responden merupakan perilaku secara spontan
ketika stimulus muncul dengan adequat seperti stimulus nosisetif, respon perilaku
kemungkinan akan terjadi. Perilaku nyeri operant adalah perilaku nyeri yang bersifat
volunteer. Pada perilaku operant penghargaan dan hukuman merupakan konsep kunci.
Perilaku nyeri sering dihubungkan dengan beberapa bentuk penghargaan yaitu sesuatu
yang diinginkan terjadi jika pasien menunjukkan perilaku nyeri, seperti perhatian dari
pasangan hidup (Niven, 1994).
Menurut Embree (2009) perbedaan perilaku responden dan perilaku operant,
yaitu:
1. Perilaku responden bersifat refleks/otomatis (automatically elicited); perilaku
operant bersifat volunter.
2. Pada kondisi responden, stimulus yang pertama kali muncul kemudian akan
muncul respon terhadap stimulus; pada kondisi operant respon pertama sekali
muncul konsekuensi dari respon tersebut.
Universitas Sumatera Utara
3. Tujuan kondisi responden untuk mengubah intensitas dan kekuatan atau
besarnya respon; tujuan kondisi operant yaitu mengubah frekwensi dan
kemungkinan respon.
2. Laparatomi
2.1 Pengertian
Laparotomi berasal dari kata laparo dan tomi, laparo artinya perut atau
abdomen dan tomi berarti penyayatan. Sehingga laparotomi dapat diartikan merupakan
perut dengan membuka selaput perut yaitu dinding abdomen dan peritoneum dengan
cara operasi (Wibowo, 2001; Soeparman, 1987; Lakaman, 2000). Laparotomi bertujuan
untuk menemukan organ viseral yang ada dalam ruang perut secara langsung. Terapi
laparotomi biasanya dilakukan pada penyakit yang sebelumnya telah diidentifikasi
penyebabnya, seperti ulkus peptikum, kanker usus besar, appendisitis dan lain-lain.
2.2 Indikasi
Tindakan laparotomi biasanya dipertimbangkan untuk pasien yang mengalami
nyeri pada bagian abdomen, baik abdomen akut maupun abdomen kronik. Nyeri
abdomen dapat diindikasikan pada penyakit apendicitis, hernia, kanker ovarium, kanker
lambung, kanker kolon, kanker kandung kemih, peritonitis, pankreatis dan lain-lain
(Britto dan Dalrymple-Hay, 2005).
2.3 Jenis Sayatan
Jenis sayatan yang paling umum untuk laparotomi adalah inisiasi garis tengah,
hal ini karena memungkinkan akses yang luas ke sebagian besar rongga perut. Sayatan
lainnya adalah: inisiasi Kocher (melintang, sedikit melengkung sekitar 2 cm), RockeyDavis ( otot membelah, biasanya untuk usus buntu), sayatan Pfannenstiel (melintang di
Universitas Sumatera Utara
bawah umbilukus, biasanya untuk bedah caesar), dan Lumbotomy (merupakan sayatan
yang memungkinkan akses ke urology) (Wikipedia, the free encyclopedia, 2013).
Ada beberapa faktor yang menentukan macam-macam irisan laparatomi:
a. Accessibility (keterdekatan)
Dalam memilih tempat irisan, harus diingat akan faktor keterdekatan dengan objek
yang dituju.
b. Ekstensibility (dapat diperluas)
Irisan harus dapat memungkinkan untuk diperluas bilamana diperlukan.
c. Security (keamanan)
Tempat irisan harus mempunyai kekuatan seperti sebelum operasi.
d. Kosmetik,
Bila dapat, luka irisan memberi cacat sebaik mungkin.
Universitas Sumatera Utara
Download