1 PERKEMBANGAN BELI SEWA SEBAGAI

advertisement
1
PERKEMBANGAN BELI SEWA SEBAGAI PERJANJIAN TAK BERNAMA
MENURUT PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
(Rohmat, Hakim PA Kendal)
ABSTRACT
Economic development in Indonesia is accompanied by the
development of various forms of transaction, such as rent purchase, leasing,
and purchase by installment. This is because consumers have limited fund to
own goods immediately.
Movable goods purchasing like motor vehicles by rent-purchase basis
helps the buyer much and is flexible with their financial control to buy goods.
The system offers installment basis in a long period and such system makes
rent-purchase. Become popular in the society regardless of the legal issues
which may come up with.
Generally, the practice of rent purchase involves standard form of
contract bonding the buyer and the seller. The clauses in the contract have
been set up by the seller without involving the buyer. The buyer just need to
sign the contract.
Standard contract means that all of the clauses have been set up and
printed out in a ready to use form without other parties approval. This kind of
contract can been seen in bill forms, tickets, invoice, insurance police,
banking loan contract, and others.
In contracts in which the form, the terms and conditions or the
contents manifested in the clauses have been set up, the legal position of the
buyers is restricted. This is because the buyers don not have bargaining
power.
The conditions or clauses in rent-purchase contract put in the contract
buy the seller are actually a way to maintain his ownership of the goods to
avoid losses. In indicates imbalance of rights and responsibility.
Contract purchase will lead to pressure for buyers because of the
clauses, and therefore legal protection for buyers, in form of contracts
freedom restriction, is needed. Governmental policy is needed in regard to it.
Research conducted in this thesis is a combination of on-field
observation and literature study was conducted at several high learning
institutions libraries and Kantor Pengadilan Agama (religion Affair and Law
office) of Kendal. On field observation was conducted at several leasing
companies in Semarang.
Keyword :
Rent Purchase in standard contract, restricted legal position of buyers,
governmental policy
2
A. Latar Belakang
Perkembangan
perekonomian
Indonesia,
diikuti
pula
oleh
perkembangan berbagai bentuk transaksi misalnya : sewa beli, sewa guna
usaha (leasing), dan jual beli angsuran.
Hal ini terjadi karena konsumen
memiliki dana yang terbatas untuk segera memiliki sesuatu.
Pembelian barang bergerak seperti kendaraan bermotor, dengan
sistem beli sewa dipandang sangatlah membantu pembeli dan sesuai dengan
kemampuan keuangan mereka untuk dapat memiliki barang yang diinginkan
tersebut.
Sistem ini menawarkan cara pembayaran angsuran dalam
beberapa kali, dalam waktu yang relatif panjang, yang tidak dijumpai pada
sistem pembayaran tunai. Inilah yang menyebabkan pranata beli sewa
semakin populer di masyarakat, tanpa terpikirkan persoalan-persoalan hukum
yang mungkin timbul.
Pada umumnya pranata beli sewa menggunakan bentuk perjanjian
baku (standard form contract) yang mengikat kepada penjual dan pembeli.
Klausul-klausul dalam perjanjian tersebut telah dibuat sebelumnya oleh pihak
penjual tanpa melibatkan pembeli, dan pembeli tinggal menandatangani saja.
Pembeli yang membutuhkan kendaraan harus menerima dan memenuhi
klausul-klausul yang dipersiapkan oleh penjual. Calon pembeli yang tidak
menyetujui klausul-klausul dalam perjanjian tersebut akan menanggung
resiko
tidak
memperoleh
kendaraan
bermotor,
barang-barang
yang
diinginkan.
Secara khusus perundang-undangan yang melandasi pranata jual beli
tunai dan pranata sewa menyewa adalah sama, keduanya memiliki dasar
3
hukum yang diatur dalam KUH Perdata disebut sebagai perjanjian bernama
(benoemde contract). Namun berbeda halnya dengan beli sewa dan beli
angsuran keduanya tidak diatur dalam KUH Perdata.
Yang dalam hal ini
disebut juga sebagai perjanjian tak bernama (onbenoemde contract).
Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa dalam KUH Perdata
dikenal adanya asas kebebasan berkontrak (vide Pasal 1338 KUH Perdata)
berdasarkan asas tersebut para pihak dapat mengadakan persetujuanpersetujuan yang sama sekali tidak diatur dalam KUH Perdata maupun KUHD
dan undang-undang lain. Berdasarkan asas inilah maka lahir pranata beli
sewa sebagai terobosan dari pranata jual beli tunai dan merupakan varian
dari jual beli angsuran.
Dalam
penulisan
tesis
ini
penulis
lebih
menekankan
dengan
penyebutan beli sewa, meskipun pada umumnya dalam masyarakat dan
ataupun dalam Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi Nomor
34/KP/II/80, menyebutnya dengan sewa beli. Hal ini karena tujuan dan niat
utama dalam mengadakan kontrak di antara para pihak adalah adanya
peralihan hak dan
bukan hanya sekedar untuk menikmati dari obyek
perjanjian, sehingga orientasi yang lebih menonjol adalah membeli bukan
menyewa.
Pranata beli sewa ini dalam masa pembayaran mengangsur hak milik
masih ada pada penjual, sehingga selama masa pembayaran angsuran
dianggap sewa, sampai seluruh harga dipenuhi, baru kepemilikan beralih dari
penjual ke pembeli secara otomatis. Kaitannya dengan hal ini penulis lebih
menekankan pada pembeliannya bukan penjualannya.
4
Antara jual beli dan sewa menyewa meskipun sama-sama diatur dalam
KUH perdata, namun keduanya berbeda satu sama lain. Dalam hal jual beli
tunai hak pemilikan terhadap barang dialihkan dari penjual ke pembeli,
sedangkan dalam sewa menyewa pihak pemilik hanya memberikan
kenikmatan atas suatu barang setelah penyewa memenuhi prestasi berupa
pembayaran sejumlah uang yang telah ditetapkan oleh pemilik, tanpa ada
peralihan hak kepada penyewa. Sedangkan dalam beli sewa tidaklah
demikian halnya, karena tidak ada undang-undang yang mengatur,
ketentuan-ketentuan
dalam beli sewa diserahkan kepada pihak yang
biasanya dituangkan dalam perjanjian baku.
Dalam perjanjian di mana bentuk, syarat atau isi yang dituangkan
dalam klausul-klausul telah dibuat secara baku, maka posisi hukum pembeli
tidak leluasa atau bebas dalam mengutarakan kehendaknya. Hal ini bisa
terjadi karena pembeli tidak mempunyai kekuatan menawar (bargaining
power).
Pada umumnya dalam perjanjian baku hak-hak penjual lebih menonjol
dibandingkan dengan hak-hak pembeli, karena pada umumnya syarat-syarat
atau klausul bagi pembeli merupakan kewajiban-kewajiban saja. Sehingga
dengan demikian antara hak-hak dan kewajiban antara penjual dan pembeli
tidak seimbang.
Persoalan lain yang sering timbul dalam beli sewa tentang adanya
klausul dapat dituntut dan harus dengan pembayaran sekaligus yang
merupakan persyaratan dari pihak penjual yang memberatkan pihak pembeli.
5
Persyaratan ini berlaku jika pembeli melakukan wanprestasi, sehingga
ia dituntut untuk membayar sekaligus.
Sementara itu apabila pembeli
membayar dengan tertib dan telah membayar beberapa tahapan lagi agar
tercapai pelunasan, maka atas kewenangan penjual, obyek perjanjian
tersebut ditarik begitu saja tanpa memperhitungkan pembayaran yang telah
dilakukan oleh pembeli. Uang angsuran yang telah diterima dari pihak
pembeli dianggap sebagai pengganti kerugian atau sewa atas pemakaian
kendaraan sebelumnya.
Syarat-syarat atau klausul di dalam perjanjian beli sewa yang
dituangkan dalam perjanjian oleh penjual sesungguhnya merupakan cara
untuk mempertahankan hak kepemilikannya agar tidak mengalami resiko
kerugian
keadaan ini menunjukkan adanya ketidakseimbangan hak dan
kewajiban antara pembeli dan penjual dalam perjanjian beli sewa.
Kebiasaan berkontrak yang akhirnya menjurus kepada penekanan
pembeli seperti adanya klausul tersebut. Oleh karena itu perlu adanya
perlindungan
hukum
bagi
pembeli,
yaitu
perlu
adanya
pembatasan
kebebasan berkontrak. Untuk itu perlu campur tangan pemerintah.
tersebut
penting,
mengingat
pranata
beli
sewa
ini,
Hal
keberadaannya
menyangkut kepentingan rakyat banyak dan pembangunan ekonomi.
Tak dapat dipungkiri bahwa realita tumbuh berkembangnya kontrak
beli sewa dalam masyarakat itu dapat mempengaruhi roda perekonomian
masyarakat
dalam
suatu
negara.
Ekonomi
sebagai
suatu
usaha
mempergunakan sumber-sumber daya secara rasional untuk memenuhi
kebutuhan, sesungguhnya melekat pada watak manusia. Tanpa disadari
6
kehidupan manusia sehari-hari didominasi kegiatan ekonomi.
Sehingga
dalam Islam sejak diturunkannya Al-Qur’an telah membimbing manusia dalam
rangka berupaya pengalokasian sumber-sumber daya untuk memproduksi
barang dan jasa sesuai dengan petunjuk Qur’an tersebut.
Menurut ahli ekonomi Islam, ada tiga karakter yang melekat pada
ekonomi Islam, pertama Inspirasi dan petunjuknya diambil dari Al-Qur’an dan
Sunnah,
kedua
Persepektif
dan
pandangan-pandangan
ekonominya
mempertimbangkan peradaban Islam sebagai sumber, dan yang ketiga
bertujuan untuk menemukan dan menghidupkan kembali nilai-nilai, prioritas,
dan etika ekonomi komunitas muslim pada periode awal
Bila dikaji maka akan nampak bahwa ekonomi Islam mempunyai
perbedaan yang mendasar dengan ekonomi konvensional. Perbedaan yang
boleh dikatakan mendasar tersebut adalah pada landasan filosofinya dan
asumsi-asumsinya terhadap manusia. Ekonomi Islam dibangun atas empat
landasan filosofis yaitu : tauhid, keadilan, keseimbangan, kebebasan, dan
pertanggungjawaban.
Tauhid dalam hal ini berarti bahwa semua ciptaan Tuhan dan hanya
Dia yang mengatur segala sesuatunya. Oleh sebab itu manusia harus
mengikuti segala ketentuan Allah dalam segala aktivitasnya termasuk aktvitas
ekonomi. Ketentuan Allah yang harus dipatuhi dalam hal ini tidak hanya
bersifat mekanistik dalam alam dan kehidupan sosial, tetapi juga bersifat etis
dan moral.
Keadilan atau keseimbangan telah banyak disinggung oleh ayat-ayat
Al-Qur’an yang merupakan dasar kesejahteraan hidup manusia. Oleh karena
7
pesan yang telah disampaikan oleh Al-Qur’an maka hendaknya seluruh
kebijakan dan kegiatan ekonomi harus dilandasi paham keadilan dan
keseimbangan. Sistem ekonomi haruslah secara intrinsik membawa keadilan
dan keseimbangan.
Dalam ekonomi Islam misalnya, pertumbuhan dan
pemerataan merupakan dua dari satu entitas. Pada tingkat teknis, hal ini
nampak dalam praktek lost and profit sharing di mana pemilik modal dan
pekerja ditempatkan pada posisi yang sejajar dan adil.
Kebebasan berkontrak dalam Islam ini mengandung arti bahwa subyek
hukum bebas melakukan seluruh aktivitas ekonomi sepanjang tidak ada
ketentuan-ketentuan Tuhan yang memang melarangnya.
Ini menunjukkan
bahwa inovasi dan kreativitas dalam ekonomi adalah suatu keharusan.
Sedangkan pertanggungjawaban memiliki arti bahwa manusia sebagai
pemegang amanah memikul tanggung jawab atas segala putusannya.
Manusia dipandang sebagai makhluk yang mempunyai kebebasan memilih
berbagai alternatif yang ada di hadapannya. Pada gilirannya ia harus
bertanggung jawab kepada sang kholik.
Perbedaan-perbedaan terhadap asumsi dan hal-hal teknis ini akan
nampak dengan keempat landasan filosofis tersebut. Dari landasan teknis
misalnya, asumsi terhadap manusia akan berbeda dengan asumsi ekonomi
konvensional. Di sini manusia dipandang sebagai makhluk yang pada
kodratnya mempunyai kasih sayang, manusia akan senang memberi bantuan
kepada orang lain, bahkan sebagai rangsangan agar supaya muslim senang
membantu sesama, Rasulullah katakan bahwa perbuatan membantu sesama
sehari itu lebih baik dari pada beribadah satu bulan.
8
AjÈq ɯB¸N§A Å¿ jÎa B¿ÌÍ ÊBaA fJ¨»A Æ̧
Dengan adanya motifasi akidah tersebut maka kebijakan ekonomi dan
teknis operasional lembaga ekonomi seharusnya merangsang orang untuk
menumbuhkan fitrah kebaikannya, dengan sendirinya sikap eksploitatif
terhadap
sesama
akan
sirna
dalam
benak
pelaku
bisnis
dengan
menggantikan sikap ta’awun dan takaful.
B. Rumusan Masalah
1. bagaimana konsep beli sewa yang dianut masyarakat bisnis di
Semarang menurut sistem hukum Common Law maupun Civil
Law, serta menurut Hukum Islam.
2. Apakah diperlukan campurtangan negara untuk ikut menetapkan
klausula yang tak diperbolehkan atau yang diharuskan dalam
perjanjian beli sewa agar tidak merugikan salah satu pihak.
C. Metode Penelitian
Penelitian yang dilakukan dalam penulisan tesis ini adalah kombinasi
antara survey lapangan dan survey perpustakaan, survey perpustakaan
dilakukan di sejumlah perpustakaan kampus dan Kantor Pengadilan Agama
Kendal. Sedangkan survey lapangan dilakukan dibeberapa kantor leasing di
semarang.
9
HASIL
D. KONSEP BELI SEWA YANG DIANUT MASYARAKAT BISNIS DALAM
PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN PERLINDUNGANNYA
Semua perjanjian Beli Sewa yang dipergunakan oleh perusahaan
dalam bentuk perjanjian baku atau standard contract,
kontrak baku ini
dirancang, dibuat, ditetapkan, digandakan oleh salah satu pihak, sedangkan
pihak yang lain hanya dapat menerima atau menolak (take it or leave it), di
mana perjanjian baku ini dituangkan secara tertulis baik berupa akta di bawah
tangan maupun akta notaris.
Perjanjian pembelian barang bergerak dengan pembayaran cicilan
antara lain kendaraan bermotor baik mobil maupun motor di Semarang,
hampir kesemuanya dapat dikelompokkan dalam
Consumer Finance,
dengan
Keuangan
landasan
yuridisnya
Surat
Menteri
Nomor
1251/KMK.013/1988. yaitu kegiatan pembiayaan yang melakukan kegiatan
pembiayaan untuk pengadaan barang berdasarkan kebutuhan konsumen
dengan sistem pembayaran angsuran atau berkala oleh konsumen.
Dari hasil penelitian, setatus pembeli sebelum melunasi pembayaran barang
yang diperjanjikan adalah sebagai peminjam atau penyewa.
Bila dilihat
jumlah nominal uang pembayaran sewa setiap bulannya seperti misalnya
yang dilakukan PT. Mandala Multifinance untuk pembayaran kendaraan
sepeda motor Suzuki Shogun Rp. 603.000 (enam ratus tiga ribu rupiah)
perbulan selama 24 (dua puluh empat) bulan ditambah dengan DP sebesar
10
Rp. 3.000.000, ini besar sekali dan sebenarnya pembayaran tersebut
bukanlah harga sewa melainkan harga jual.
Sebenarnya hakekat perjanjian ini adalah jual beli kendaraan bermotor
dengan pembayaran angsuran di mana hak milik baru beralih bila angsuran
tersebut lunas. Jika konstruksi ini menjadi patokan maka bila mana pihak
kedua (debitur) wanprestasi, kendaraan tersebut seharusnya dijual dan nilai
jual ditambah angsuran, maka kelebihannya seharusnya dikembalikan
kepada pihak kedua.
Meskipun dalam Pasal 4 huruf c dinyatakan akan
dikembalikan uang debitur tersebut yang dihasilkan dari hasil penjualan
kendaraan bermotor oleh kreditur, namun oleh karena mekanisme penjualan
dan pelelangan hanya ditetapkan sendiri oleh pihak kreditur tanpa campur
tangan debitur (vide Pasal 4 huruf (b), maka di sinilah letak ketidakadilannya.
Dari hasil penelitian di lapangan yang telah penulis lakukan pada
tanggal 10 dan 17 bulan April 2004, menunjukkan bahwa di dalam perjanjian
baik itu yang memakai format Sewa Beli, Jual Beli Angsuran, Penyerahan
Jaminan Fidusia maupun perjanjian kredit itu sendiri, ternyata hak dan
kewajiban antara para pihak tidak seimbang, dalam arti bahwa beberapa
ketentuan menguntungkan pihak kreditur, misalnya dalam penggunaan
klausul jatuh tempo, denda keterlambatan membayar, klausul Asuransi,
pengakiran perjanjian yang sepihak tanpa adanya putusan hakim.
Pada umumnya setiap usaha bisnis mempunyai salah satu tujuan
utama yang sama yaitu mendapatkan optimum profit dalam jangka waktu
panjang. Oleh sebab itu, hampir sebagian besar Management Control
System dirancang untuk mengukur tingkat profitability. Demikian pula dalam
11
bisnis beli sewa, ada beberapa klausula yang dirancang oleh penjual untuk
memperoleh profit yang sebesar-besarnya dan atau melindungi barangnya
dari adanya itikad tidak baik dari pembeli, yang pada akhirnya klausulaklausula itu merupakan hak dan kewajiban bagi Pihak Pertama dan Pihak
Kedua.
Adapun klausula tersebut di antaranya adalah klausul jatuh tempo,
klausul resiko, klausul penyerahan harta benda yang telah ada maupun yang
akan ada, kalusul denda, klausul asuransi, kalusul kuasa dengan hak
substitusi,, klausul memasuki pekarangan.
Awal mula ditimbulkannya perjanjian beli sewa dalam paraktek itu, adalah
untuk menampung persoalan bagaimanakah caranya memberikan jalan
keluar apabila pihak penjual menghadapi banyak permintaan atau hasrat
untuk membeli barangnya akan tetapi calon-calon pembeli itu tidak mampu
membayar harga barang barang sekaligus. Penjual bersedia untuk menerima
bahwa harga barang itu dicicil atau diangsur, tetapi ia memerlukan jaminan
bahwa barangnya sebelum harganya dibayar lunas tidak akan dijual lagi oleh
sipembeli.
Sebagai jalan keluar ditemukanlah suatu macam perjanjian di mana
selama harga belum dibayar lunas itu si pembeli menjadi penyewa dari
barang yang ingin dibelinya. Dengan dijadikannya penyewa, maka si pembeli
terancam pidana manakala ia sampai berani menggelapkan obyek perjanjian.
Pada umumnya pranata beli sewa menggunakan bentuk
perjanjian baku (standard form contract) yang mengikat kepada penjual dan
pembeli. Klausul-klausul dalam perjanjian tersebut telah dibuat sebelumnya
12
oleh pihak penjual tanpa melibatkan pembeli, dan pembeli tinggal
menandatangani saja. Pembeli yang membutuhkan kendaraan harus
menerima dan memenuhi klausul-klausul yang dipersiapkan
oleh penjual.
Calon pembeli yang tidak menyetujui klausul-klausul dalam perjanjian
tersebut akan menanggung resiko tidak memperoleh kendaraan bermotor,
atau barang-barang lain yang diinginkan.
Perjanjian beli sewa tidak terlepas dari prinsip kebebasan berkontrak
sebagai mana yang diatur dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, namun
dalam perkemabangannya, kebebasan berkontrak hanya bisa mencapai
tujuannya bila para pihak mempunyai bargaining power yang seimbang. Jika
salah satu lemah maka pihak yang memiliki bargaining power lebih kuat dapat
memaksakan kehendaknya untuk menekan pihak lain, demi keuntungan
dirinya sendiri.
Syarat-syarat atau ketentuan-ketentuan dalam kontrak
semacam itu akhirnya akan melanggar aturan-aturan yang adil dan layak. Di
dalam kenyataannya, tidak selalu para pihak memiliki bargaining power yang
seimbang sehingga negara perlu campur tangan untuk melindungi para pihak
yang lemah.
Kalau di dalam hukum Perdata terdapat jenis perjanjian yang memang
tidak diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (inominaat), maka
dalam hukum Islam pun juga dikenal adanya jenis perjanjian yang tidak diatur
(Ghoiru musmma) yaitu di mana akad ini berkembang berdasarkan
kebutuhan manusia dan perkembangan kemaslahatan masyarakat seperti
istishna’, bai’ul wafa’ dan bai’ al-istijrar.
13
Demikian pula dalam Hukum Islam, demi perkembangan yang
berdasarkan
kebutuhan
manusia
dan
perkembangan
kemaslahatan
masyarakat, maka timbul pula jenis perjanjian semacam beli sewa yaitu bai’
al-istijrar {iAjVNmÜA ©ÎI }. sebagai berikut:
BÈ·ÝÈNmA f¨I BÈÃBÀQA Ó¼§ ÉJmB÷ ÁQ,ªBÎJ»A Å¿ ÆBnÃÜA ÊjVNnÍ B¿ ÌÇ iAjVNmÜA ©ÎI
artinya: “ Beli Sewa adalah sesuatu yang dipersewakan kepada orang
sekaligus menjualnya dengan memperhitungkan harga yang
telah dibayarnya”
Menurut analisa penulis, bahwa meskipun bai’ al istijror tidak dikenal
baik dalam dua sumber hukum Qur’an Hadits dan juga dalam kitab fiqh
konvensional, namun itu bukan bebarti bahwa hukum harus mandeg, justru
sebaliknya dengan adanya pengaturan hukum Islam pada aspek muamalah
yang tidak serinci sebagaimana aspek ibadah, maka elaborasi dan
perkembangan hukum muamalat dapat dilakukan oleh setiap muslim, sebagai
pakar hukum Islam.
Dinamika hukum yang berkaitan dengan muamalah
dapat dipertahankan melalui sumber hukum Islam yang ke tiga yaitu ro’yu
(akal fikiran untuk menggali hukum/berijtihad).
Demikian pula kebebasan mengadakan kontrak yang merupakan asas
dalam perjanjian, maka bai’ al-istijrar yang dibangun atas asas kebebasan
berkontrak dalam pengertian bahwa subyek hukum bebas melakukan seluruh
aktifitas ekonomi sepanjang tidak ada ketentuan yang melarang, sehingga
bai’ al-istijror adalah bentuk perjanjian yang tidak menyimpang. Bahkan
sebaliknya itu merupakan inovasi dan kreativitas dalam ekonomi.
14
Dari kaluasula yang telah ditetapkan dalam kontrak beli sewa yang
selama ini berlaku baik dalam konstruksi sewa menyewa maupun jual beli,
kesemuanya orientasinya adalah keuntungan bagi pemilik barang (pihak
pertama, tanpa memperhatikan kondisi pihakk kedua. Namun dalam Islam
tidaklah
demikian,
hukum
islam
pada
prinsipnya
juga
memberikan
perlindungan hak pada setiap orang tanpa pandangbulu, namun dalam
penuntutan hak yang terjadi adanya pelanggaran itu, maka pemerintah atau
Hakimlah yang mewajibkan dan yang memaksa kepada orang yang
melakukan pelanggaran atas hak orang lain.
Perlindungan hak dalam ajaran Hukum Islam merupakan penjabaran
dari ajaran prinsip keadilan.
Demi keadilan diperlukan kekuatan atau
kekuasaan untuk melindungi dan menjamin terpenuhinya hak. Tanpa jaminan
seperti ini, pelanggaran hak akan berkembang pesat.
Demikian pula, demi keuntungan, maka dalam klausula juga nampak
akan adanya kuasa substitusi yang tidak dapat dicabut sekalipun oleh
pemberi kuasa dan ataupun karena hal lain sebagaimana yang diatur dalam
Pasal 1813 KUH Perdata. Ini sangat berbeda dengan hukum islam yang
menganal adanya kuasa, dan juga mengenal adanya pencabutan kuasa atau
tercabutnya kuasa tersebut dengan sendirinya seperti pemberi kuasa
meninggal dunia. Dan masih banyak lagi klausula yang merugikan pembeli,
yang pada akhirnya perjanjian tersebut tidak seimbang yang akan
menimbulkan ketidak adilan.
Oleh karena itu untuk menyeimbangkan perlu campur tangan negara
supaya ada penyeragaman syarat-syarat dalam kontrak perjanjian beli sewa.
15
Perhatian Islam terhadap hal ini adalah sangat serius, sehingga di
samping adanya bidang qodloiyah (yudikatif), tanfidiyah (ekskutif), dalam
Islampun dikenal adanya tasyri’iyah (legislasi).
Berkaitan dengan persoalan tidak adanya keseimbangan dalam
kontrak perjanjian beli sewa antara pihak pertama selaku penjual dan pihak
kedua selaku pembeli, maka sangat diperlukan adanya ijtihad ulama yang
selanjutnya dari hasil ijtihad tersebut disumbangkan kepada umara’ selaku
penguasa pemerintahan untuk ditetapkan sebagai aturan yang mengikat
semua pihak. Karena mustakhil dapat ditegakkan suatu hasil ijtihad ulama
baik itu ijtihad fardli maupun jama’i tanpa adanya keterlibatan negara.
Negara merupakan integrasi dari kekuasaan politik masyarakat yang
mempunyai kekuasaan untuk mengatur hubungan-hubungan manusia dalam
masyarakat dan menertibkan gejala-gejala kekuasaaan. Dengan adanya
negara yang merupakan suatu organisasi dalam sesuatu wilayah dapat
memaksakan
kekuasaannya
secara
syah
terhadap
semua
golongan
kekuasaan lainnya dan dapat menetapkan tujuan-tujuan dari kehidupan
bersama.
Negara terbentuk karena lanjutan dari keinginan manusia bergaul
antara seorang dengan lainnya dalam rangka menyempurnakan segala
kebutuhan hidupnya, baik itu mempertahankan diri maupun menolak musuh1.
Sehingga
kehidupan
bernegara
merupakan
suatu
keharusan
dalam
kehidupan manusia yang bermasyarakat guna mewujudkan keteraturan dan
merealisasikan kepentingan bersama dalam masyarakat.
1
Budi harjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik , PT Gramedia Jakarta 1981, hal. 39
Karena dengan
16
adanya negara dan perangkatnya mereka dapat memaksakan sesuatu
keinginan bersama demi kemaslahatan bersama.
Dengan saling bersatunya antara umara’ dan ulama yang diwujudkan
dengan hasil ijtihad para ulama yang membuahkan fiqh di satu sisi dan
umara’ di lain sisi sebagai pengatur dalam tatanan kehidupan bermasyarakat
dan bernegara maka akan melahirkan bentuk politik hukum yang baik bila
keduanya baik dan akan jelek bila keduanya jelek.
Hal ini sesuai dengan
sabda Rasulullah SAW. Sebagai berikut:
Cj¿ÜAË DÀ¼¨»A pBÄ»A fn¯ Afn¯ AgAË pBÄ»A \¼u BZ¼u AgA pBÄ»A Å¿ ÆB°Äu
artinya: “ ada dua golongan manusia jika kedunya baik, maka baiklah
manusia, dan jika keduanya rusak, maka rusaklah manusia, yaitu
ulama’ dan umaro”
Perpaduan dua golongan ulama dan umara’ akan menghasilkan bentuk
fiqh siyasah dusturiyah yaitu perbuatan kebijakan yang diwujudkan dalam
pengaturan, serta dilaksanakan dan diawasi untuk meraih sebanyak mungkin
kemaslakhatan bagi umat manusia di satu sisi dan di sisi lain menjauhkan
dari kemafsadatan.
Yang menjadi subyek bahasan fiqh siyasah adalah manusia yang
berfungsi sebagai makhluk sosial.
dengan hubungan antara
Oleh karenanya aspek yang berkaitan
pemimpin dan yang dipimpin, hubungan para
pemimpin, hubungan antar rakyat di alam kehidupan bermasyarakat,
khususnya di bidang politik dan ekonomi dalam suatu bangsa.
E. Kesimpulan
17
Ada beberapa simpulan yang dapat ditarik:
Pertama, Sistem Hukum Common Law mengkonstruksikan bei sewa sebagai
sewa menyewa dengan hak opsi, sedangkan sistem Hukum Civil Law
mengkonstruksikan beli sewa sebagai jual beli.
Kedua, Dalam sistem Hukum Islam, dalam hal hukum kontrak dikenal juga
dengan dua golongan dari segi penamaan yang dinyatakan oleh syara’. Yaitu
akad musamma dan akad ghoiru musamma. Akad musamma adalah akad
yang disebutkan oleh syara’ dengan terminologi tertentu beserta akibat
hukumnya, seperti akad bai’, ijarah, syirkah, hibah, kafalah, wakalah, rohn,
wasiat dan lain-lain.
Sedangkan akad ghoiru musamma adalah akad yang mana syara’ tidak
menyebutkan dengan terminologi tertentu dan tidak pula menerangkan akibat
hukum yang ditimbulkannya, akad ini berkembang berdasarkan kebutuhan
manusia dan perkembangan kemaslahatan masyarakat seperti istishna’,
bai’ul wafa’ dan bai’ al-istijrar.
Demi perkembangan yang berdasarkan kebutuhan manusia dan
perkembangan kemaslahatan masyarakat, maka timbul pula jenis perjanjian
semacam beli sewa yaitu bai’ al-istijrar {iAjVNmÜA ©ÎI }. Dalam Hukum Islam
kontrak beli sewa dikonstruksikan pada sewa menyewa dengan hak opsi.
Ketiga, perjanjian beli sewa dianggap seperti sewa menyewa dan pinjam
meminjam, sehingga hak milik masih ada pada Pihak Pertama (Kreditur),
sehingga manakala terjadi wanprestasi uang yang sudah dibayarkan
dianggap
sebagai
sewa
ataupun
pengganti
kerugian,
dan
tidak
18
diperhitungkan. Dan kalaupun toh ada yang memperhitungkan, namun oleh
karena obyek perjanjian yang dilelang itu dilakukan secara sepihak tanpa
keterlibatan Pihak Kedua (Debitur), maka Debitur tetap dirugikan.
Demikian pula dengan adanya klausul yang yang dituangkan dalam
perjanjian beli sewa oleh penjual kesemuanya itu sesungguhnya merupakan
cara untuk mempertahankan hak kepemilikannya agar tidak mengalami resiko
kerugian
keadaan ini menunjukkan adanya ketidakseimbangan hak dan
kewajiban antara pembeli dan penjual dalam perjanjian beli sewa.Kebiasaan
berkontrak yang akhirnya menjurus kepada penekanan pembeli seperti
adanya klausul tersebut. Oleh karena itu perlu adanya perlindungan hukum
bagi pembeli.
19
DAFTAR PUSTAKA
Didin Hafidhuddin, Islam Aplikatif, Gema Insani, Jakarta, , 2003
Jalaluddin Al-Suyuthi, Al-Jami’ al-Shoghir, Darul Qolam, Kairo, 1967
Jurnal Hukum Bisnis, Volume 22- No. 6- Tahun 2003
Khollaf Abdul Wahab, Ilmu Usul Fiqh, Kairo Mesir Syabab al-Azhar, 1968
Fazlur Rahman, Membuka Pintu Ijtihad, Bandung. Penerbit Pustaka, 1984
Mahkamah Agung, Pustaka Peradilan, Jakarta, Proyek Pembinaan Tehnis
Yustisial, 1995.
Mochtar Kusumah Atmadja, Hukum Masyarakat dan Pembinaan Hukum
Nasional, Jakarta, Bina Cipta, 1986
Munir Fuady, Hukum Kontrak dari Sudut Pandang Bisnis, Bandung, PT. Citra
Aditya Bakti, 2003
Muhtar Yahya, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Islam, bandung, al-Ma’arif,
1986
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, PT Citra aditya Bakti, Bandung,2000
Salim H.S, Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia, Jakarta,
Sinar Grafika.,2003
Sri
Gambir
Melati
Hatta,
1999,
takbernama:pandangan
Beli
Sewa
Masyarakat
dan
Sebagai
Perjanjian
Sikap
Mahkamah
Agung, Alumni, Bandung,2003.
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Bandung, Pembimbing Masa, tt. Hal
129
20
---------------, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, , Burgerliijk Wetboek,
Jakarta, Pradnya Paramita, 1985
Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Yogyakarta,
Liberty, 1996.
Sutan Remy Syahdeini, Kebebasan berkontrak dan Perlindungan yang
Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di
Indonesia, Jakarta, Institut Bankir Indonesia, 1993
H.M. Tahir Azhary, Bunga Rampai Hukum Islam, Jakarta, Ind-Hill-Co,2003,
Download