Membaca Realitas Politik Ibukota Ditulis oleh Administrator Rabu, 19 September 2012 19:16 - <p style="text-align: justify;"><img src="images/stories/pilkada.jpg" border="0" align="left" />PROSES demokrasi pertarungan politik lokal di Daerah Khusus Ibukota Jakarta sangat dinamis. Tahapan formal prosedural dalam memperebutkan posisi politik Gubernur ibukota republik indonesia kini telah memasuki tahap final (putaran kedua).</p> <p style="text-align: justify;">Kontestasi politik pada putaran pertama secara elektoral telah menuai hasil dan menempatkan dua kontestan Joko Widodo dan Basuki Tjahaja Purnama versus Fauzi Bowo Nacrowi Ramli.</p> <p style="text-align: justify;">Secara geopolitik Jakarta menempati posisi strategis sebagai episentrum perpolitikan nasional. Pameo yang menjadi rumus politik di indonesia adalah �jika anda ingin menguasai indonesia maka kuasai jawa, dan jika ingin menguasai jawa maka kuasailah Jakarta�.</p> <p style="text-align: justify;">Terlepas dari pameo tadi kita tentu harus memahami bagaimana membaca kontestasi Pemilihan Gubernur DKI ini dan pengaruhnya dalam perpolitikan nasional. Walaupun derajat Gubernur diposisikan di bawah eksekutif atau Presiden, namun posisi Kepala Daerah yang berstatus Khusus adalah sesuatu yang eksklusif.</p> <p style="text-align: justify;">Ekslusifitas geopolitik Jakarta yang memiliki pembobotan tersendiri karena denyutnya dapat dirasakan secara nasional. Sebagaimana kita perhatikan bahwa tahapan formal prosedural putaran pertama telah berlalu tanpa kejutan signifikan. Walaupun kontestasi di ikuti enam kandidat calon gubernur empat berasal dari partai politik, serta dua kandidat berasal dari perorangan atau independen.</p> <p style="text-align: justify;">Kekuatan partai politik sebagai saluran untuk mengagregasi kepentingan terlihat dominan. Kemenangan secara elektoral dua kandidat di putaran pertama bisa sedikit menggambarkan artikulasi dan agregasi partai politik masih dominan.</p> <p style="text-align: justify;">Selain itu kita bisa melihat dari manufer-manufer elit-elit politik lokal maupun nasional untuk melakukan bargaining politik sebelum atau sesudah putaran pertama.</p> <p style="text-align: justify;">Fakta dalam proses Pemilukada tersebut seakan menjadi konfiguratis dari proses politis dengan segala dinamikanya. Sebelum dan sesudah proses politik hanya menjadi urusan elit politik, dan ujung dari hasil pilihan masyarakat menjadi anomali yang akan menyandera kesadaran politik masyarakat.</p> <p style="text-align: justify;">Kita masih perlu mencatat dengan keras peran partai di era demokrasi seperti sekarang, partai sering tidak simetris dengan konsituen. Selain itu perlu diingat bahwa faktanya masa mengambang lebih banyak dominan dari pada konsituen partai.</p> <p style="text-align: justify;">Partai politik pun absen dalam melakukan pendidikan politik masyarakat, dan sering terjebak pilihan pragmatis dan kolutif.</p> <p style="text-align: justify;"><em>Sumber : pelitaonline.com</em></p> 1/1