panduan penulisan - Universitas Sumatera Utara

advertisement
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Gagal Jantung Kronis
2.1.1
Definisi dan Epidemiologi Penyakit Gagal Jantung Kronis
Gagal jantung adalah sindrom klinis yang kompleks yang timbul disebabkan
kelainan sekunder dari abnormalitas struktur jantung dan atau fungsi (yang diwariskan
atau didapat) yang merusak kemampuan ventrikel kiri untuk mengisi atau
mengeluarkan darah (Braunwald, 2007).
Menurut National Heart Lung and Blood Institute insidensi penyakit gagal
jantung semakin meningkat setiap tahun dan rata-rata 5 juta penduduk United States
menderita gagal jantung. Penyakit gagal jantung adalah punca hospitalisasi yang
utama dikalangan pasien U.S yang berumur lebih daripada 65 tahun dan
menyebabkan lebih kurang 300,000 kematian dalam setahun (Goldberg, 2010).
Walaupun perbaikan dalam terapi, angka kematian pada pasien dengan gagal jantung
tetap sangat tinggi. Pembaruan 2010 dari American Heart Association (AHA)
memperkirakan bahwa terdapat 5,8 juta orang dengan gagal jantung di Amerika
Serikat pada tahun 2006 dan juga terdapat 23 juta orang dengan gagal jantung di
seluruh dunia (Ramachandran, 2010).
2.1.2
Klasifikasi dan Gejala Klinis
Tahapan Gagal Jantung - Klasifikasi NYHA
Dalam rangka untuk menentukan arah terbaik terapi, dokter sering menilai
tahap gagal jantung menurut sistem klasifikasi New York Heart Association (NYHA)
fungsional. Sistem ini berkaitan dengan kegiatan sehari-hari gejala dan kualitas hidup
pasien.
Kelas
Gejala
Kelas I (Mild)
Tidak ada gejala pada setiap tingkat tenaga dan tidak ada
Universitas Sumatera Utara
pembatasan dalam kegiatan fisik biasa.
Kelas II (Mild)
Gejala ringan dan keterbatasan sedikit selama kegiatan rutin.
Nyaman saat istirahat.
Kelas III
Akibat gejala terlihat keterbatasan, bahkan selama aktivitas
(Moderate)
minimal. Nyaman hanya saat istirahat.
Kelas IV (berat)
Keterbatasan aktivitis. Pengalaman gejala bahkan sementara
pada saat istirahat (duduk di kursi atau menonton TV).
Tabel 2.1
(The Heart Hope, 2011)
Framingham Kriteria untuk Gagal Jantung Kronis
Kriteria Mayor:
• Paroksismal nokturnal dispnea
• Distensi vena pada leher
• Ronkhi basah
• Kardiomegali
• Edema paru akut
• Gallop S3
• Peningkatan tekanan vena jugularis
• Refluks hepatojugular
Kriteria Minor:
• Edema ekstremitas
• Batuk malam hari
• Dispnea d’ effort
• Hepatomegali
• Efusi pleura
• Penurunan kapasitas vital 1/3 dari normal
• Takikardia(>120/menit)
Universitas Sumatera Utara
Major atau minor
Penurunan BB≥4.5kg dalam 5 hari pengobatan.
Diagnosis gagal jantung ditegakkan minimal ada 1 kriteria major dan 2 kriteria minor.
(Marulam M Panggabean, 2009).
2.1.3
Etiologi
Gagal jantung kronis (CHF) disebabkan oleh penyakit lain atau kondisi yang
merusak atau kebanyakan kerja otot jantung. Seiring waktu, otot jantung melemah
dan tidak mampu memompa darah yang seharusnya. Gagal jantung kronis yang
terkemuka adalah:
• Penyakit
arteri koroner (CAD)
• Tekanan darah tinggi
( hipertensi )
• Diabetes
Arteri koroner penyakit, termasuk angina dan serangan jantung , merupakan
penyebab paling umum yang mendasari gagal jantung kronis. Orang yang memiliki
serangan jantung beresiko tinggi mengembangkan gagal jantung kronis. Kebanyakan
orang dengan gagal jantung juga memiliki tinggi tekanan darah, dan sekitar satu dari
setiap tiga orang dengan gagal jantung juga memiliki diabetes.
PENYEBAB LAIN
Kondisi-kondisi lain dan faktor-faktor yang dapat menyebabkan gagal jantung
kronis meliputi:
a) Kardiomiopati (penyakit dari otot jantung)
b) Penyakit katup jantung
c) Abnormal detak jantung atau aritmia
d) Bawaan penyakit jantung
e) Pengobatan untuk kanker, seperti radiasi dan obat kemoterapi tertentu
f) Gangguan tiroid
Universitas Sumatera Utara
g) Penyalahgunaan alkohol
h) HIV / AIDS
i) Kokain dan penggunaan narkoba ilegal lain
2.1.4
Manifestasi klinis dan Pemeriksaan Fisik
2.1.4.1 Manifestasi klinis
1.
Dispnea dengan tenaga (awal) atau pada saat istirahat (akhir)
2.
Orthopnea
a) Dispnea ketika berbaring; bantuan dengan tegak duduk atau
menggunakan beberapa bantal
b) Batuk nokturnal
3.
Paroksismal nokturnal dispnea
a) Serangan sesak napas berat dan batuk pada malam hari, biasanya
membangunkan pasien
b) Batuk dan mengi sering bertahan bahkan dengan duduk tegak.
c) Asma kardiale : dispnea nokturnal, mengi, dan batuk karena
bronkospasme
4.
Respirasi Cheyne-Stokes
a) Respirasi respirasi periodik atau siklik
b) Umum di gagal jantung maju dan biasanya berhubungan dengan
output jantung yang rendah
c) Pada tahap apneic, P arteri O 2 jatuh, dan P arteri CO 2 meningkat.
•
Hal ini merangsang pusat pernapasan tertekan, menyebabkan
hiperventilasi dan hipokapnia.
•
Pusat pernafasan depresi, pesat pernafasan yang berulang fase
apneic, dan siklus berulang.
d) Mungkin dirasakan oleh pasien atau keluarga pasien sebagai sesak
parah
atau sebagai penghentian sementara pernapasan
5.
Kelelahan dan kelemahan
6.
Gejala Gastrointestinal
a) Anoreksia
b) Mual
Universitas Sumatera Utara
c) Sakit perut dan kepenuhan
d) Nyeri kuadran kanan atas (kongesti hati dan peregangan kapsulnya)
7.
Gejala Cerebral
a) Status mental berubah karena perfusi serebral berkurang
8.
•
Kebingungan
•
Disorientasi
•
Kesulitan berkonsentrasi
•
Gangguan memori
•
Sakit kepala
•
Insomnia
•
Kegelisahan
•
Mood swing
Nokturia
(Schoenstadt Arthur, 2008)
2.1.4.2 Pemeriksaan fisik
1. Umum penampilan dan tanda-tanda vital
a. Tekanan darah sistolik
i. Normal atau tinggi pada gagal jantung awal
ii. Umumnya berkurang pada gagal jantung lanjut
b. Tekanan nadi dapat berkurang
c. Sinus tachycardia
d. Akral dingin
e. Sianosis pada bibir dan kuku tempat tidur
2. Vena jugularis
a. Distensi vena jugularis
b. Peningkatan tekanan atrium kanan
c. Positif abdominojugular refluks
i. Pada tahap awal gagal jantung, tekanan vena jugularis
mungkin tampak normal pada saat istirahat tetapi mungkin
menjadi abnormal meningkat dengan berkelanjutan (~1
menit) tekanan pada perut
3. Pemeriksaan Paru
Universitas Sumatera Utara
a. Paru crackles (rales atau crepitations) dengan atau tanpa mengi
ekspirasi
b. Efusi pleura
i. Sering bilateral
ii. Ketika unilateral, mereka terjadi lebih sering pada ruang
pleura kanan.
4. Pemeriksaan jantung
a. Titik
impuls
maksimum
(PMI)
dapat
dipindahkan
dan
berkelanjutan (seperti pada hipertensi) atau lemah, seperti dalam
kardiomiopati membesar idiopatik.
b. Ketiga dan suara jantung keempat: sering ada tapi tidak spesifik
c. Murmur regurgitasi mitral dan trikuspid yang sering hadir pada
pasien dengan gagal jantung lanjut.
5. Perut dan ekstremitas
a. Hepatomegali
b. Asites (tanda akhir)
c. Penyakit kuning (menemukan akhir)
d. Peripheral edema
i. Terjadi terutama di pergelangan kaki dan wilayah pretibial
pada pasien rawat jalan
ii. Pada pasien sakit, edema dapat ditemukan di daerah
sacral (edema presacral) dan skrotum.
iii. Lama edema dapat berhubungan dengan kulit indurated
dan berpigmen.
6. Cardiac cachexia
a. Ditandai berat badan dan cachexia (dengan gagal jantung kronis
parah)
7. Depresi
8. Disfungsi Seksual
9. Pulsus alternans
a. Reguler irama dengan pergantian dalam kekuatan pulsa perifer
b. Paling umum di kardiomiopati, hipertensi, dan penyakit jantung
iskemik
10. Penurunan output urin
Universitas Sumatera Utara
(McGraw Hill, 1978)
2.1.5
Patofisiologi
2.1.5.1 Mekanisme Dasar
Kelainan intrinsik pada kontraktilitas miokardium yang khas pada gagal
jantung iskemik, mengganggu kemampuan pengosongan ventrikel yang efektif.
Kontraktilitas ventrikel kiri yang menurun mengurangi curah sekuncup, dan
meningkatkan volume residu ventrikel. Dengan meningkatnya EDV (volume akhir
diastolik ventrikel), maka terjadi pula peningkatan tekanan akhir diastolik ventrikel
kiri (LVEDP). Derajat peningkatan tekanan tergantung dari kelenturan ventrikel.
Dengan meningkatnya LVEDP, maka terjadi pula peningkatan tekanan atrium kiri
(LAP) karena atrium dan ventrikel berhubungan langsung selama diastol. Peningkatan
LAP diteruskan ke belakang ke dalam anyaman vaskular paru-paru, meningkatkan
tekanan kapiler dan vena paru. Jika tekanan hidrostatik dari anyaman kapiler paruparu melebihi tekanan onkotik vaskular, maka akan terjadi transudasi cairan ke dalam
intertisial. Jika kecepatan transudasi cairan melebihi kecepatan drainase limfatik,
maka akan terjadi edema intertisial. Peningkatan tekanan lebih lanjut dapat
mengakibatkan cairan merembes ke dalam alveoli dan terjadilah edema paru-paru.
Tekanan arteri paru-paru dapat meningkat sebagai respon terhadap
peningkatan kronis tekanan vena paru. Hipertensi pulmonari meningkatkan tahanan
terhadap ejeksi ventrikel kanan. Serentetan kejadian seperti yang terjadi pada jantung
kiri, juga akan terjadi pada jantung kanan, di mana akhirnya akan terjadi kongesti
sistemik dan edema.
Perkembangan dari kongesti sistemik atau paru-paru dan edema dapat
dieksaserbasi oleh regurgitasi fungsional dari katup-katup trikuspidalis atau mitralis
bergantian. Regurgitasi fungsional dapat disebabkan oleh dilatasi dari katup
atrioventrikularis, atau perubahan-perubahan pada orientasi otot papilaris dan korda
tendinae yang terjadi sekunder akibat dilatasi ruang.
Universitas Sumatera Utara
2.1.5.2 Respon Kompensatorik
Sebagai respon terhadap gagal jantung, ada tiga mekanisme primer yang dapat
dilihat :
1. Meningkatnya aktivitas adrenergik simpatik
2. Meningkatnya beban awal akibat aktivitas system renin-angiotensinaldosteron
3. Hipertrofi ventrikel
Ketiga respon kompensatorik ini mencerminkan usaha untuk mempertahankan
curah jantung. Mekanisme-mekanisme ini mungkin memadai untuk mempertahankan
curah jantung pada tingkat normal atau hampir normal pada gagal jantung dini, dan
pada keadaan istirahat. Tetapi, kelainan pada kerja ventrikel dan menurunnya curah
jatung biasanya tampak pada keadaan beraktivitas. Dengan berlanjutnya gagal
jantung, maka kompensasi akan menjadi semakin kurang efektif (Branch et al, 2000).
2.1.6
Diagnosis
Secara klinis pada penderita gagal jantung dapat ditemukan gejala dan tanda
seperti sesak nafas saat aktivitas, edema paru, peningkatan JVP, hepatomegali, edema
tungkai. Pemeriksaan penunjang yang dapat dikerjakan untuk mendiagnosis adanya
gagal jantung antara lain foto thorax, EKG 12 lead, ekokardiografi, pemeriksaan
darah, pemeriksaan radionuklide, angiografi dan tes fungsi paru.
Pada pemeriksaan foto dada dapat ditemukan adanya pembesaran siluet jantung
(cardio thoraxic ratio > 50%), gambaran kongesti vena pulmonalis terutama di zona
atas pada tahap awal, bila tekanan vena pulmonal lebih dari 20 mmHg dapat timbul
gambaran cairan pada fisura horizontal dan garis Kerley B pada sudut kostofrenikus.
Bila tekanan lebih dari 25 mmHg didapatkan gambaran batwing pada lapangan paru
yang menunjukkan adanya udema paru bermakna. Dapat pula tampak gambaran efusi
pleura bilateral, tetapi bila unilateral, yang lebih banyak terkena adalah bagian kanan.
Pada elektrokardiografi 12 lead didapatkan gambaran abnormal pada hampir
seluruh penderita dengan gagal jantung, meskipun gambaran normal dapat dijumpai
pada 10% kasus. Gambaran yang sering didapatkan antara lain gelombang Q,
abnormalitas ST – T, hipertrofi ventrikel kiri, bundle branch block dan fibrilasi
Universitas Sumatera Utara
atrium. Bila gambaran EKG dan foto dada keduanya menunjukkan gambaran yang
normal, kemungkinan gagal jantung sebagai penyebab dispneu pada pasien sangat
kecil kemungkinannya.
Ekokardiografi merupakan pemeriksaan non-invasif yang sangat berguna pada
gagal jantung. Ekokardiografi dapat menunjukkan gambaran obyektif mengenai
struktur dan fungsi jantung. Penderita yang perlu dilakukan ekokardiografi adalah
semua pasien dengan tanda gagal jantung, susah bernafas yang berhubungan dengan
murmur, sesak yang berhubungan dengan fibrilasi atrium, serta penderita dengan
risiko disfungsi ventrikel kiri (infark miokard anterior, hipertensi tidak terkontrol, atau
aritmia). Ekokardiografi dapat mengidentifikasi gangguan fungsi sistolik, fungsi
diastolik, mengetahui adanya gangguan katup, serta mengetahui risiko emboli.
Pemeriksaan darah perlu dikerjakan untuk menyingkirkan anemia sebagai
penyebab susah bernafas, dan untuk mengetahui adanya penyakit dasar serta
komplikasi. Pada gagal jantung yang berat akibat berkurangnya kemampuan
mengeluarkan air sehingga dapat timbul hiponatremia dilusional, karena itu adanya
hiponatremia menunjukkan adanya gagal jantung yang berat. Pemeriksaan serum
kreatinin perlu dikerjakan selain untuk mengetahui adanya gangguan ginjal, juga
mengetahui adanya stenosis arteri renalis apabila terjadi peningkatan serum kreatinin
setelah pemberian angiotensin converting enzyme inhibitor dan diuretik dosis tinggi.
Pada gagal jantung berat dapat terjadi proteinuria. Hipokalemia dapat terjadi pada
pemberian diuretic tanpa suplementasi kalium dan obat potassium sparring.
Hiperkalemia timbul pada gagal jantung berat dengan penurunan fungsi ginjal,
penggunaan ACE-inhibitor serta obat potassium sparring. Pada gagal jantung
kongestif tes fungsi hati (bilirubin, AST dan LDH) gambarannya abnormal karena
kongesti hati. Pemeriksaan profil lipid, albumin serum fungsi tiroid dianjurkan sesuai
kebutuhan. Pemeriksaaan penanda BNP sebagai penanda biologis gagal jantung
dengan kadar BNP plasma 100pg/ml dan plasma NT-proBNP adalah 300pg/ml.
Pemeriksaan radionuklide atau multigated ventriculography dapat mengetahui
fraksi ejeksi, laju pengisian sistolik, laju pengosongan diastolik, dan abnormalitas dari
pergerakan dinding. Angiografi dikerjakan pada nyeri dada berulang akibat gagal
jantung. Angiografi ventrikel kiri dapat mengetahui gangguan fungsi yang global
maupun segmental serta mengetahui tekanan diastolik, sedangkan kateterisasi jantung
kanan untuk mengetahui tekanan sebelah kanan (atrium kanan, ventrikel kanan dan
Universitas Sumatera Utara
arteri pulmonalis) serta pulmonary artery capillary wedge pressure. (Mariyono HH,
2007)
2.1.7
Komplikasi
a. Kerusakan atau kegagalan ginjal. Gagal jantung dapat mengurangi aliran
darah ke ginjal, bisa yang akhirnya menyebabkan gagal ginjal jika tidak
ditangani Kerusakan ginjal dari gagal jantung dapat membutuhkan dialisis
untuk pengobatan.
b. Masalah katup jantung. Katup jantung yang membuat darah mengalir dalam
arah yang benar melalui jantung, dapat menjadi rusak dari darah dan
penumpukan cairan dari gagal jantung.
c. Kerusakan hati. Gagal jantung dapat menyebabkan penumpukan cairan yang
menempatkan terlalu banyak tekanan pada hati. Hal ini cadangan cairan dapat
menyebabkan jaringan parut, yang membuatnya lebih sulit bagi hati berfungsi
dengan benar.
d. Serangan jantung dan stroke. Karena aliran darah melalui jantung lebih
lambat pada gagal jantung daripada di jantung yang normal, maka semakin
besar kemungkinan akan mengembangkan pembekuan darah, yang dapat
meningkatkan risiko terkena serangan jantung atau stroke (Mayoclinic, 2009).
2.2 Anemia
2.2.1
Definisi
Anemia adalah keadaan dimana serum kadar hemoglobin atau hematokrit
kurang dari nilai yang diharapkan untuk usia dan mengikut seks yang normal.
Definisi anemia, menurut kriteria Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)
Laki-laki dewasa
a)
•
kadar hemoglobin darah <130 g / L (<13 g / dL)
Wanita dewasa
b)
•
kadar hemoglobin darah <120 g / L (<12 g / dL)
(McGraw Hill, 1978)
Universitas Sumatera Utara
2.2.2
Derajat Anemia
Klasifikasi Derajat Anemia Menurut WHO
1. Ringan sekali Hb 10,00 g / dL -13,00 g / dL
2. Ringan Hb 8,00 g / dL -9,90 g / dL
3. Sedang Hb 6,00 g / dL -7,90 g / dL
4. Berat Hb < 6,00 g / dL
2.2.3
Klasifikasi Anemia
Klasifikasi Anemia oleh Penyebab
Mekanisme
Contoh
Kehilangan darah
Akut
Perdarahan GI
Luka-luka
Persalinan
Operasi
Kronis
Tumor kandung kemih
Kanker atau polip di saluran GI
Berat perdarahan haid
Tumor ginjal
Borok di perut atau usus kecil
Kekurangan eritropoiesis *
Mikrositik
Defisiensi besi
Transportasi kekurangan zat besi
Besi pemanfaatan cacat
Besi pemanfaatan kembali cacat
Thalassemia (juga
diklasifikasikan dalam hemolisis
berlebihan karena cacat intrinsik
Universitas Sumatera Utara
RBC)
Normokromik-normositik
Anemia aplastik
Hypoproliferation
Dalam penyakit ginjal
Pada gagal endokrin (tiroid,
hipofisis)
Dalam deplesi protein
Myelodysplasia
Myelophthisis
Makrositik
Defisiensi tembaga
Folat kekurangan
Kekurangan vitamin B 12
Kekurangan vitamin C
Hemolisis berlebihan karena kerusakan RBC ekstrinsik
Retikuloendotelial hiperaktif
Hipersplenisme
dengan splenomegali
Kelainan imunologi
Hemolisis autoimun
Dingin antibodi hemolisis
(hemoglobinuria dingin
paroksismal)
Warm antibodi hemolisis
Isoimmune (isoagglutinin)
hemolisis
Mekanik cedera
Infeksi
Trauma
Hemolisis berlebihan karena kerusakan RBC intrinsik
Universitas Sumatera Utara
Membran perubahan,
mengakuisisi
Hypophosphatemia
Paroksismal nokturnal
hemoglobinuria
Stomatocytosis
Membran perubahan, bawaan
Herediter elliptocytosis
Herediter spherocytosis
Gangguan metabolism
Embden-Meyerhof jalur cacat
(kekurangan enzim)
Defisiensi G6PD
Hemoglobinopathies
Hb C penyakit
Penyakit Hb E
Hb SC penyakit
Hb S-β-penyakit talasemia
Penyakit sel sabit (Hb S)
Thalassemia (β, β - δ, dan α)
Tabel 2.2
(Lichtin, 2008)
2.3
Anemia pada penyakit gagal jantung kronis
2.3.1
Epidemiologi
Anemia adalah umum pada pasien dengan gagal jantung kronis (CHF) dengan
kejadian berkisar antara 4% sampai 55% tergantung pada populasi diteliti. Beberapa
studi telah menyoroti bahwa prevalensi anemia meningkat dengan memburuknya
Universitas Sumatera Utara
gagal jantung seperti tercermin dari klasifikasi New York Heart Association (Sandhu
et al, 2010). Anemia paling sering pada pasien dengan klasifikasi NHYA kelas III
atau kelas IV dan pasien gangguan ginjal (Murphy, 2008).
Pasien dengan gagal jantung kronis (CHF) memiliki masalah anemia, penurunan
jumlah sel darah merah (RBC), komponen darah yang membawa oksigen (Romeo et
al, 2010).
2.3.2
Hubungan gagal jantung kronis dengan anemia
Patofisiologi anemia adalah multifaktorial dan berhubungan dengan berbagai
faktor seperti; hemodilusi, kerugian besi dari obat anti-platelet, aktivasi dari kaskade
inflamasi, kerugian urin erythropoietin dan insufisiensi ginjal terkait (Sandhu et al,
2010). Angiotensin-converting enzyme inhibitors (ACE inhibitor) yang dipreskripsi
pada pasien gagal jantung juga berkaitan dengan kekurangan hemoglobin melalui
supresi produksi eritropoietin. Selain itu, sitokin proinflamasi seperti interleukin-1
dan -6 dan juga tumor nekrosis faktor-a dapat elevasi pada gagal jantung yang kronis
dimana dapat menyebabkan pengurangan eritropoietin (Murphy, 2008). Bahkan,
seperti tingkat keparahan CHF berlangsung, temuan kenaikan anemia, dan anemia
berat karena sebab apapun bisa memperburuk CHF (Romeo et al, 2010).
Universitas Sumatera Utara
2.3.3
Patofisiologi anemia pada gagal jantung kronis
GAGAL
JANTUNG
Peningkatan
inflamasi
\
(interleukin 6,
tumor necrosis
factor alpha)
Peningkatan
volume
Kurang perfusi
Reninangiotensin
sistem
activation
SUMSUM
TULANG
GINJAL
Peningkatan
atau kekurangan
produksi EPO
Kurang sekresi
erythropoietin
(EPO)
TERAPI
ACEINHIBITOR
HEMODILUSI
Kekurangan
precursor
eritroid
Kurang efek
EPO
ANEMIA
Anemia pada CHF kemungkinan disebabkan oleh kombinasi dari beberapa
faktor,termasuk:
1. Gagal ginjal kronis di mana produksi EPO di ginjal tidak tepat rendah untuk
tingkat anemia.
2. Peningkatan sitokin diuraikan dalam CHF seperti alpha faktor tumor nekrosis
dan IL6, yang menyebabkan empat kelainan hematologi: mengurangi produksi
EPO di ginjal, kegiatan berkurangnya EPO dalam sumsum tulang, hepcidindiinduksi kegagalan penyerapan zat besi dari usus, dan hepcidin- diinduksi
perangkap besi di makrofag. Hepcidin adalah suatu protein dilepaskan dari
hati oleh IL6. Menghambat ferroportin protein, yang ditemukan dalam usus
Universitas Sumatera Utara
dan di makrofag dan bertanggung jawab untuk pelepasan besi dari kedua jenis
sel ke dalam darah. Karena itu, jika ferroportin ini dihambat, zat besi tidak
diserap dari usus dan tidak dibebaskan dari penyimpanan dalam makrofag.
Hasilnya adalah zat besi serum rendah dan penurunan pengiriman besi ke
sumsum tulang, sehingga menyebabkan anemia kekurangan zat besi.
3. Penggunaan ACE inhibitor dan angiotensin reseptor blockers, yang keduanya
dapat menyebabkan penurunan aktivitas EPO dalam sumsum tulang karena
angiotensin adalah stimulator dari erythropoiesis. ACE inhibitor juga
meningkatkan tingkat erythropoietic inhibitor dalam darah, menghambat
eritropoiesis lebih lanjut.
4. Diabetes di mana sel-sel yang memproduksi EPO di ginjal dapat rusak dini
oleh glikosolasi.
5. Hemodilusi.
6. Masalah gastrointestinal seperti pendarahan dari aspirin, tumor ganas, polip
atau esophagitis, atau penyerapan zat besi berkurang akibat gastritis atrofi.
(Iyengar dan Abraham, 2005)
Universitas Sumatera Utara
Download