perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id EFEK TERATOGENIK PEMBERIAN ZAT WARNA RHODAMIN B PADA ORGANOGENESIS TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) GALUR WISTAR Skripsi Untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana Sains Oleh: Zuzun Handrianto M0408024 JURUSAN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA commit to user 2012 i perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user ii perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi ini adalah hasil penelitian saya sendiri dan tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, serta tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka. Apabila di kemudian hari dapat ditemukan adanya unsur penjiplakan maka gelar kesarjanaan yang telah diperoleh dapat ditinjau dan/atau dicabut. Surakarta, commit to user iii Juli 2012 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id EFEK TERATOGENIK PEMBERIAN ZAT WARNA RHODAMIN B PADA ORGANOGENESIS TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) GALUR WISTAR Zuzun Handrianto Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sebelas Maret Surakarta, Surakarta. ABSTRAK Banyak dijumpainya kasus penggunaan zat pewarna Rhodamin B pada zat makanan disebabkan kurangnya pengawasan oleh pemerintah. Zat pewarna ini sering digunakan pada jajanan dan saos. Rhodamin B merupakan zat warna sintetik yang umum digunakan sebagai pewarna tekstil. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek pemberian zat warna Rhodamin B pada organogenesis tikus putih (Rattus norvegicus). Penelitian ini menggunakan 28 tikus betina bunting dan dibagi secara acak ke dalam 4 kelompok dengan 7 tikus tiap kelompoknya. Tiap kelompok diberi dosis Rhodamin B yang berbeda, perlakuan kontrol diberi 0 mg/200gBB, perlakuan I diberi 6,75 mg/200gBB, perlakuan II diberi 12,5 mg/200gBB, perlakuan III diberi 25 mg/200gBB. Perlakuan ini diberikan pada hari ketujuh sampai ke tujuh belas masa kehamilan (organogenesis). Evaluasi yang dilakukan meliputi menghitung dan mencatat jumlah implantasi yang terdiri jumlah fetus yang hidup, jumlah fetus yang mati, jumlah fetus yang resorbsi, penimbangan berat badan, pengukuran panjang badan, pengamatan morfologi fetus, dan pengamatan struktur skeletonnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian zat zat Rhodamin B yang sering dijumpai pada jajanan dan pelengkap makanan dapat menimbulkan efek kematian intrauterus, dan besar kemungkinan menyebabkan resorb, gangguan pertumbuhan dan abnormalitas internal. Kata kunci : Rhodamin B, zat pewarna, efek teratogenik, tikus putih commit to user iv perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id TERATOGENIC EFFECTS OF RHODAMIN B SUBSTANCE TO THE RATS (Rattus norvegicus) GALUR WISTAR PHASE ORGANOGENESIS Zuzun Handrianto Departement of Biology, Faculty of Mathematics and Natural Sciences, Sebelas Maret University, Surakarta. ABSTRACT Encountered many cases the use of Rhodamin B dye in food substances due to lack of supervision by the government. These dyes are often used in snacks and sauces. Rhodamin B is a synthetic dye that is commonly used as textile dyes. This study aims to determine the effect of granting the dye Rhodamin B in the organogenesis of rats (Rattus norvegicus). This study used 28 pregnant female rats and were divided randomly into 4 groups with 7 mice per group. Each group was given different doses of Rhodamin B, 0 mg/200gBB given the control treatment, the treatment I was given 6.75 mg/200gBB, treatment II was given 12.5 mg/200gBB, and the treatment III was given 25 mg/200gBB. This treatment was given on seven to seventeen’ day during pregnancy (organogenesis). Evaluation includes the count and record the number of implantation comprising a number of live fetuses, the number of dead fetuses, fetal number resorbs, weight, measurement of body length, fetal morphological observations, and structure sceleton observations. The results showed that administration of substances Rhodamin B substances are often found in snack foods and supplements can cause the effects of intrauterine death, and most likely lead to resorb, impaired growth and internal abnormalities. Key words: Rhodamin B, dyes, teratogenic effects, rat commit to user v perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id MOTTO You have to get up when other people on sleep, you have to walk when others sit, you have to run when others walk, you have to fly when everyone else run. Berusahalah semaksimal yang kamu bisa!!! Karena kamu pasti BISA! commit to user vi perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id PERSEMBAHAN Persembahan sederhana ini untuk orang-orang yang tercinta, Bapak Susanto dan Ibu Sringatin yang selalu mendukung disaat senang dan sedih Saudara-Saudara yang ku sayangi Bagus Masdrianto, Bay Andi Lukman, Evinda Agustina, Dan Si Kecil Aid Vezarianto Teman-temanku yang selalu menjadi pelangi dalam hidupku... Serta UNS tercinta... commit to user vii perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id KATA PENGANTAR Alhamdulillahirabbil’aalamin penulis panjatkan kehadirat Allah Subhaanahu Wa Ta’aala yang selalu memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi yang berjudul :”Efek Teratogenik Pemberian Zat Warna Rhodamin B Pada Organogenesis Tikus Putih (Rattus norvegicus) Galur Wistar”. Penyusunan skripsi ini merupakan suatu syarat untuk memperoleh gelar kesarjanaan strata 1 (S1) pada Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sebelas Maret Surakarta. Dalam penulisan skripsi ini, tentunya banyak pihak yang telah memberikan bantuan baik moril maupun materil. Oleh karena itu penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih yang tiada hingganya kepada : Bapak Dr. Agung Budiharjo, M.Si, selaku Ketua Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan izin dalam pelaksannan skripsi ini. Ibu Prof. Dr. Okid Parama Astirin, M.S selaku Dosen Pembimbing I atas ketulusan hati dan kesabarannya dalam membimbing, mendukung dan mengarahkan penulis. Ibu Dra. Noor Soesanti H., M.Si selaku Dosen Pembimbing II atas segala masukan dan dukungan dalam mengarahkan penulis. Ibu Dra. Marti Harini, M.Si selaku Dosen Penelaah I atas segala koreksi dan masukan untuk perbaikan karya skripsi penulis. commit to user viii perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Bapak Tjahjadi Purwoko, M.Si selaku Dosen Penelaah II atas segala masukan dan dukungan untuk kemajuan karya skripsi penulis. Bapak Dr. Sunarto, M.S selaku Pembimbing Akademik yang selalu sabar mendukung penulis. Seluruh bapak dan ibu dosen Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan ilmunya dan dengan sabar memberikan pengarahan yang tiada henti-hentinya serta dorongan yang positif sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Bapak Samidi dan Wasino yang telah membantu dan mengarahkan selama penelitian di LPPT IV UGM. Teman penelitianku Umi fatimah dan Zainudin Al Wahid atas bantuannya secara moril maupun materiil. Teman-teman dan adek-adek kost IC tercinta Novi Setyaningrum, Asti Windarni, Dwi Ratih, Dwi Rahmawati, Fairuz Fajrianti Nur, Laila Nur Milati, Ai Sriwenda Rahman, Dewi Mustika, Hans Fitria Fajrin, Juliana Ekapuri atas semangat dan dukungannya. Teman-teman Tri Wulan S.O, Viana Ningsih, Luluk Muslimah, Anggun Wara Rahajeng, Anggun Wara Pangesti atas dukungan dan bantuannya. Teman-teman Biologi FMIPA UNS angkatan 2008 yang selalu mensupport penulis. Serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah memberikan bantuannya dalam penyelesaian skripsi ini. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, maka saran dan kritik yang konstruktif dari semua pihak sangat diharapkan demi penyempurnaan selanjutnya. Akhirnya hanya kepada Allah SWT kita kembalikan commit to user ix perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id semua urusan dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak, khususnya bagi penulis dan para pembaca pada umumnya, semoga Allah SWT meridhoi dan dicatat sebagai ibadah disisi-Nya, amin. Surakarta, Juli 2012 Penyusun commit to user x perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL................................................................................... i HALAMAN PENGESAHAN..................................................................... ii HALAMAN PERNYATAAN..................................................................... iii ABSTRAK................................................................................................... iv ABSTRACT................................................................................................ v MOTTO....................................................................................................... vi HALAMAN PERSEMBAHAN.................................................................. vii KATA PENGANTAR................................................................................. viii DAFTAR ISI................................................................................................ xi DAFTAR TABEL........................................................................................xiii DAFTAR GAMBAR...................................................................................xiv DAFTAR LAMPIRAN............................................................................... xv BAB 1. PENDAHULUAN.......................................................................... 1 A. Latar Belakang............................................................................ 1 B. Perumusan Masalah..................................................................... 4 C. Tujuan Penelitian......................................................................... 4 D. Manfaat Penelitian.......................................................................4 BAB II. LANDASAN TEORI..................................................................... 5 A. TINJAUAN PUSTAKA..............................................................5 1. Zat Pewarna Tekstil Rhodamin B.................................... 5 2. Teratologi......................................................................... 7 3. Embriologi........................................................................ 17 4. Organogenesis.................................................................. 19 5. Skeleton............................................................................ 20 6. Jalur Masuk Zat Asing Ke Dalam Embrio....................... 23 B. KERANGKA PEMIKIRAN........................................................28 C. HIPOTESIS................................................................................. 29 commit to user BAB III. METODE PENELITIAN..............................................................30 xi perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Halaman A. Waktu dan Tempat Penelitian..................................................... 30 B. Alat Dan Bahan........................................................................... 30 1. Alat................................................................................... 30 2. Bahan................................................................................30 C. Cara Kerja....................................................................................31 D. Analisis Data............................................................................... 35 BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN.................................................... 36 A. Efek Rhodamin B Terhadap Abnormalitas Eksternal...................... 37 1. Efek Rhodamin B Terhadap Berat Badan, Panjang Badan Fetus dan Pertumbuhan Fetus.......................................... 38 2. Kematian Intrauterus dan Fetus Hidup........................................ 43 3. Hemoragi (kulit transparan) dan Tubuh Bongkok (tulang punggung fleksi).......................................................................... 47 4. Ekor Bengkok.............................................................................. 51 B. Efek Rhodamin B Terhadap Abnormalitas Internal........................ 52 1. Keterlambatan Osifikasi.............................................................. 54 2. Kelainan pada Vertebrae............................................................. 56 3. Kelainan pada Costae.................................................................. 57 BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN......................................................60 A. Kesimpulan...................................................................................... 60 B. Saran................................................................................................. 61 DAFTAR PUSTAKA.................................................................................. 62 LAMPIRAN................................................................................................ 68 RIWAYAT HIDUP PENULIS.................................................................... 89 commit to user xii perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1. Zat warna sebagai bahan berbahaya dalam obat, makanan, dan kosmetika................................................................................ 7 Tabel 2. Tingkatan perkembangan embrio pada tikus putih........................ 18 Tabel 3. Fetus yang mengalami hambatan pertumbuhan.............................40 Tabel 4. Perkembangan eksternal fetus setelah pemberian Rhodamin B pada induk.................................................................................. 43 Tabel 5. Jumlah fetus yang mengalami hemoragi, tubuh bongkok, hambatan pertumbuhan dan ekor bengkok..................................................... 48 Tabel 6. Fetus yang mengalami hemoragi................................................... 48 Tabel 7. Fetus yang mengalami tubuh bongkok.......................................... 51 Tabel 8. Fetus yang mengalami ekor bengkok............................................ 51 Tabel 9. Perbandingan abnormalitas vertebrae fetus pada semua perlakuan........................................................................................ 57 commit to user xiii perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Halaman Rumus bangun Rhodamin B..................................................... 6 Gambar 2. Bagan kerangka Pemikiran Penelitian...................................... 28 Gambar 3. Morfologi fetus Rattus norvegicus setelah pemberian Rhodamin B.............................................................................. 41 Gambar 4. Perbandingan morfologi uterus................................................ 44 Gambar 5. Perbandingan morfologi fetus Rattus norvegicus.....................46 Gambar 6. Perbandingan fetus normal dengan fetus transparan................49 Gambar 7. Perbandingan fetus normal dan tubuh bongkok.......................50 Gambar 8. Perbandingan fetus ekor normal dengan ekor bengkok............52 Gambar 9. Perkembangan skeleton fetus Rattus norvegicus akibat pemberian Rhodamin B............................................................ 55 Gambar 10. Costae fetus.............................................................................. 58 Gambar 11. Wholemount fetus Rattus norvegicus...................................... 86 Gambar 12. Wholemount kelompok Kontrol............................................... 86 Gambar 13. Wholemount perlakuan I.......................................................... 87 Gambar 14. Wholemount perlakuan II......................................................... 87 Gambar 15. Wholemount perlakuan III........................................................ 87 commit to user xiv perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1. Hasil Analisis Varian.............................................................. 68 Lampiran 2. Wholemount fetus Rattus norvegicus..................................... 86 Lampiran 3. Tabel konversi dosis antar spesies untuk penetapan besaran dosis pada suatu spesies hewan atau manusia........................ 88 commit to user xv perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu kewajiban yang harus dilakukan oleh pemerintah adalah membentuk masyarakat Indonesia yang sehat diupayakan dengan peningkatan kualitas hidup serta konsumsi makanan yang baik. Keamanan bahan makanan yang dikonsumsi merupakan salah satu tolok ukur. Untuk mencapai hal tersebut diperlukan adanya kerjasama dari berbagai pihak, baik produsen, konsumen serta pemerintah sendiri, khususnya agar pemerintah selalu mengontrol keamanan pangan nasional. Sehingga bisa tercapai masyarakat Indonesia yang sehat. Semakin meningkatnya kebutuhan di dunia yang semakin modern ini, maka masyarakat dituntut untuk mengkonsumsi bahan makanan yang lebih tahan lama, lebih praktis serta efisien dalam segi harga. Namun dengan meninggalkan konsep utama keamanan pangan, yaitu menggunakan zat tambahan pewarna yang tidak seharusnya digunakan untuk makanan. Bahan tersebut bisa berupa bahan kimia yang berbahaya namun mudah didapat serta harganya yang terjangkau. Di sisi lain, dengan adanya penambahan zat pewarna tersebut, akan dapat meningkatkan nilai jual kepada konsumen. Karena warna merupakan faktor yang penting, dimana setiap orang akan melihat kelayakan sesuatu dari penampakan fisiknya. Zat pewarna yang masih sering dijumpai pada makanan adalah Rhodamin B, Methanil yellow, Citrus red, Violet, dan lain-lain. Pewarna tersebut dinyatakan berbahaya oleh Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 239 / Men.Kes / Per / V / 85. commit to user 1 perpustakaan.uns.ac.id 2 digilib.uns.ac.id Zat pewarna tekstil Rhodamin B sering dijumpai pada bahan makanan, terutama pada saos yang biasa disajikan sebagai pelengkap bakso ataupun mie ayam. Rhodamin B juga ditemukan dalam produk kerupuk, kembang gula, sirup, manisan, dawet, bubur, ikan asap, cendol, agar-agar, aromanis, dan minuman serta dalam terasi. Zat warna tersebut walaupun telah dilarang penggunaannya ternyata masih ada produsen yang sengaja menambahkan zat Rhodamin B untuk produk cabe giling merah sebagai pewarna merah (Djarismawati, 2004). Petugas Balai Besar Pengawasan Obat dan Makanan (BBPOM) Semarang pada Januari 2010, menemukan beberapa jajanan sekolah yang mengandung zat-zat berbahaya bagi manusia saat melakukan pemeriksaan rutin makanan di SD Negeri Pendrikan Tengah 01-02 di Jalan Sadewa Semarang dan SD Masehi di Jalan Imam Bonjol. Dari beberapa jajanan sekolah yang diperiksa ternyata ditemukan dua produk jajanan yang mengandung zat berbahaya, yaitu formalin yang ditemukan pada mie goreng dan Rhodamin B (pewarna tekstil) ditemukan pada kerupuk. Penelitian Paramita Erwin Budiyanto pada tahun 2008, juga telah menemukan Rhodamin B pada saos dan cabe giling di pasar Kecamatan Laweyan Kotamadya Surakarta. Hal ini menunjukkan Rhodamin B sebagai pewarna makanan sudah digunakan secara luas di beberapa kota di Indonesia. Rhodamin B merupakan zat warna sintetik yang umum digunakan sebagai pewarna tekstil. Menurut Peraturan Pemerintah RI No. 28 Tahun 2004, Rhodamin B merupakan zat warna tambahan yang dilarang penggunaannya dalam produkproduk pangan. Rhodamin B dapat menyebabkan iritasi saluran pernafasan, iritasi kulit, iritasi pada mata, iritasi pada saluran pencernaan, dan gangguan hati. commit to user 3 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Menurut Putri (2011), Rhodamin B dapat terakumulasi pada tubuh manusia dan bersifat karsinogenik yang dalam jangka panjang menyebabkan penyakit-penyakit seperti kanker dan tumor pada organ tubuh manusia. Banyak faktor yang menjadikan para pengusaha untuk menggunakan zat pewarna Rhodamin B ini antara lain karena harganya yang jauh lebih murah daripada menggunakan pewarna yang alami, disamping itu juga pengolahannya cukup sederhana tanpa memperhatikan baik buruknya untuk kesehatan manusia. Tujuan para pedagang hanya satu, yaitu mendapatkan laba atau keuntungan yang sebesar-besarnya. Dampak yang paling ditakutkan adalah jika makanan tersebut dikonsumsi oleh ibu hamil. Karena saat kehamilan merupakan masa untuk janin mengalami pembelahan dan pembentukan organ-organ vital tubuh. Semua itu tergantung dari nutrisi serta asupan makanan yang dikonsumsi oleh sang ibu. Jika yang mengkonsumsi manusia normal (tidak dalam kondisi hamil), kemungkinan regenerasi sel masih bisa terjadi. Namun akan lain halnya jika zat-zat kimia tersebut mengenai janin, bisa memperlambat proses, merusak organ-organ yang akan dibentuk, bahkan bisa berujung pada kematian janin. Penelitian yang dilakukan oleh Sabri dkk. (2006) menunjukkan bahwa jika janin diberi zat toksik selama perkembangannya, maka akan terjadi gangguan-gangguan seperti penurunan jumlah fetus yang hidup. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian mengenai pengaruh zat pewarna Rhodamin B terhadap perkembangan embrio, terutama untuk organogenesis. mengetahui pengaruhnya commit to user terhadap fetus selama masa 4 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah disebutkan, maka dapat dibuat rumusan masalah sebagai berikut : 1. Bagaimana pengaruh zat pewarna Rhodamin B terhadap prosentase fetus hidup, kematian intrauterus, berat badan, panjang badan, serta keadaan morfologis fetus tikus putih (Rattus norvegicus)? 2. Bagaimana pengaruh zat pewarna Rhodamin B terhadap struktur skeleton fetus tikus putih (Rattus norvegicus)? C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah : 1. Mengetahui pengaruh zat pewarna Rhodamin B terhadap prosentase fetus hidup, kematian intrauterus, berat badan, panjang badan, serta keadaan morfologis fetus tikus putih (Rattus norvegicus) 2. Mengetahui pengaruh zat pewarna Rhodamin B terhadap struktur skeleton fetus tikus putih (Rattus norvegicus) D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah mengenai Rhodamin B yang biasa digunakan dalam pewarna makanan terutama pada saos, memberi efek buruk terhadap perkembangan janin jika dikonsumsi oleh ibu hamil. Disamping itu, supaya masyarakat lebih berhati-hati lagi dalam memilih makanan yang mengandung zat berbahaya seperti Rhodamin B. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id BAB II LANDASAN TEORI A. 1. Tinjauan Pustaka Zat Pewarna Tekstil Rhodamin B Rhodamin B (C28H31N2O3Cl) adalah bahan kimia sebagai pewarna dasar untuk berbagai kegunaan, semula zat ini digunakan untuk kegiatan histologi dan sekarang berkembang untuk berbagai keperluan yang berhubungan dengan sifatnya yang berfluorensi dalam sinar matahari. Rhodamin B ini ditemukan bersifat racun dan dapat menyebabkan kanker. Bahan ini sekarang banyak disalahgunakan pada pangan dan kosmetik di beberapa negara (Djarismawati dkk., 2004). Data kimia dan fisika Rhodamin B IUPAC (International Union of Pure and Applied Chemistry) : [9-(2-carboxyphenyl)-6-diethylamino-3-xanthenylidene]diethylammonium chloride Sebutan lain : Rhodamine 610, C.I. Pigment Violet 1, Basic Violet 10, C.I. 45170 Berat : 479,02 g/mol Rumus molekul : C28H31N2O3Cl Titik Lebur : 1650C (http://en.wikipedia.org) commit to user 5 6 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Gambar 1. Rumus bangun Rhodamin B (Sumarlin, 2010) Rhodamin B termasuk salah satu zat pewarna yang diperuntukkan sebagai pewarna kertas atau tekstil serta dinyatakan sebagai zat pewarna berbahaya dan dilarang digunakan pada produk pangan (Syah et al.,2005). Rhodamin B adalah salah satu pewarna paling umum untuk industri tekstil yang terkenal dengan stabilitasnya dan digunakan juga untuk pewarnaan biologis. Rhodamin B ini larut dalam air dan pelarut organik, berwarna kebiruan hingga merah. Penggunaan senyawa ini sudah dilarang untuk makanan dan kosmetik karena ada indikasi karsinogenik (Ichou et al., 2007). Zat Rhodamin B ini ditetapkan sebagai zat yang dilarang penggunaannya pada makanan melalui Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No.239/Menkes/Per/V/85. Namun penggunaan Rhodamin B dalam makanan masih terdapat di lapangan. Contohnya, BPOM di Makassar berhasil menemukan zat Rhodamin B pada kerupuk, sambal botol, dan sirup melalui pemeriksaan pada sejumlah sampel makanan dan minuman (Herman, 2010). Sedangkan menurut European Parliamentand Council Directive, Rhodamin B termasuk zat yang tidak diperbolehkan untuk pewarna makanan dan termasuk zat yang dikontrol pemakaiannya oleh lembaga tersebut (Hajslova et al., 2007). commit to user 7 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Disamping itu, berdasarkan keputusan Dirjen POM Indonesia (Anonim, 1990 dalam Widana ), memasukkan Rhodamin B dalam kategori zat warna yang berbahaya untuk obat, makanan, maupun kosmetika, seperti yang disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Zat warna sebagai bahan berbahaya dalam obat, makanan, dan kosmetika No. Nama 1. Jingga K1 (C.I. Pigment Orange 5, D&C Orange No.17) Merah K3 (C.I. Pigment Red 53, D&C Red No.8) Merah K4 (C.I. Pigment Red 53 : 1, D&C Red No.9) Merah K10 (Rhodamin B, C.I. Food Red 15, D&C Red No.19) Merah K1. 2. 3. 4. 5. Nomor Indeks Warna 12075 15585 15585 : 1 45170 45170 : 1 Sumber : SKEP Dirjen POM No.00386/C/SK/II/90 2. Teratologi Teratologi berasal dari bahasa Yunani yang berarti menghasilkan monster, lebih tepat disebut dismorfogenik. Teratologi adalah ilmu yang mempelajari tentang perkembangan abnormal suatu embrio, penyebab, mekanisme, dan manifestasi dari perkembangan yang menyimpang dari sifat struktural dan fungsional (Loomis, 1978, Sadler, 2004). Faktor yang mempengaruhi teratogenesis meliputi kekurangan nutrisi, keseimbangan endokrin, faktor fisika, radiasi, bahanbahan kimia/obat, infeksi, logam-logam berat, pestisida, bahan makanan, zat bioaktif yaitu zat yang terkandung dalam tumbuhan atau hewan, kimia industri, serta polusi udara, air, dan tanah, trauma psikis serta gangguan plasenta (Goldstein et al., 1974, Wilson, 1973). commit to user perpustakaan.uns.ac.id 8 digilib.uns.ac.id Beberapa teratogen memiliki sifat letal yang menonjol sedang yang lainnya mampu menimbulkan kelainan pada fetus yang diakibatkan oleh satu atau lebih perubahan yaitu mutasi, penyimpangan kromosom, gangguan pembelahan sel, perubahan sintesis asam nukleat dan protein, penurunan jumlah senyawa yang penting dalam biosintesis, penurunan energi untuk perkembangan fetus, gangguan sistem enzim serta gangguan keseimbangan air dan elektrolit. Manisfetasi dari teratogenesis antara lain kematian sel, gangguan interaksi sel, penurunan biosintesis, gangguan pembentukan morfologi dan gangguan jaringan. Manifestasi ini akan menghasilkan kematian intrauterine, malformasi, gangguan pertumbuhan, dan disfungsional atau penurunan fungsi (Wilson, 1973, Loomis, 1978, Peters and Berkvens, 1996). Malformasi adalah abnormalitas (kelainan) anatomi pada waktu dilahirkan, baik makroskopik atau mikroskopik, dapat dipermukaan maupun di sebelah dalam badan. Ada interaksi tetap antara gen-gen dan bahan-bahan eksogen. Perbedaan reaksi terhadap bahan yang berbahaya antara individu, strain-strain hewan dan spesies yang disebabkan oleh kekhususan biokimia yang berhubungan dengan gen-gen. Penyebab malformasi dibagi menjadi dua, yaitu (1) faktor genetik (misal, kromosom abnormal) dan (2) faktor lingkungan (Loomis, 1978, Moore, 1988). Cacat lahir sering juga disebut malformasi kongenital atau anomali congenital adalah istilah yang digunakan untuk menerangkan kelainan struktur, perilaku, faal, dan kelainan metabolik yang ditemukan pada waktu lahir (Datu, 2005). Menurut Wilson (1973) terdapat enam prinsip dalam teratologi yaitu: 1. Kerentanan terhadap agen teratogenesis tergantung pada genotip dari embrio atau dari induknya dan interaksinya dengan faktor lingkungan. commit to user 9 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Prinsip ini berdasarkan bahwa tiap spesies atau strain yang berbeda akan memberikan respon yang berbeda pula. 2. Kerentanan terhadap agen teratogenik bervariasi menurut waktu saat embrio terpapar. 3. Agen teratogenik akan bereaksi dengan mekanisme yang spesifik pada sel atau jaringan yang sedang berkembang untuk menyebabkan kelainan. 4. Agen teratogen akan menimbulkan abnormalitas pada jaringan-jaringan yang sensitif. Efek ini berkaitan dengan asal agen dan jalur pemaparan. 5. Wujud dari perkembangan abnormal adalah: kematian, malformasi, pertumbuhan yang terhambat, dan kelainan fisiologis. 6. Wujud dari perkembangan abnormal akan meningkat sesuai peningkatan dosis. Bahan kimia yang mempengaruhi perkembangan fetus, dapat menyebabkan efek yang beraneka ragam mulai dari letalitas sampai kelainan bentuk (malformasi) dan pertumbuhan yang terhambat disebut teratogen dan secara kolektif respon-respon ini disebut sebagai efek embriotoksik (Loomis, 1978). Jika kematian sel terjadi pada perkembangan janin lebih lanjut yakni setelah terbentuk embrio yang tersusun dari sel dengan jumlah yang cukup, maka kehilangan sedikit sel tidak bersifat letal, meskipun demikian, organ tubuh yang terbentuk mungkin tersusun dengan jumlah sel yang lebih sedikit dan mengakibatkan terjadinya deformasi. Konsekuensi dari kematian sel terhadap kehidupan embrionik atau fetus meliputi: retardasi pertumbuhan intrauterus, retardasi setelah kelahiran, kematian embrionik, dan malformasi bawaan (Datu, 2005). Efek pada janin sangat bergantung pada umur kehamilan saat terpapar zat commit to user 10 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id teratogenik, dosis, dan laju dosis yang diterima. Perkembangan embrio mamalia dapat dibagi menjadi 3 tahapan, yaitu tahap pra-implantasi, tahap organogenesis, dan tahap fetogenesis. Dari segi toksikologi perkembangan, ketiganya memiliki kepekaan yang berbeda-beda. 1. Tahap pra-implantasi Tahap ini dimulai dari fertilisasi, pembelahan awal (cleavage), blastulasi, hingga gastrulasi awal (Hutahean, 2002 dalam Zahrah, 2008). Periode pra-implantasi terjadi pada umur kebuntingan kurang dari tiga minggu pada manusia atau 1-6 hari pada mencit atau tikus. Pengaruh buruk yang mungkin timbul pada periode ini menganut hukum all or nothing (Santoso, 1990). Adanya zat teratogen dapat menyebabkan kematian embrio akibat matinya sebagian besar sel embrio, atau tidak menimbulkan efek yang nyata (Lu, 1995). Pada tahap ini diferensiasi sel belum berlanjut, atau sering disebut tahap pradiferensiasi. Apabila satu atau kelompok sel rusak oleh gangguan agensia toksik, masih memungkinkan bagi sel-sel sehat disekitarnya untuk membelah dan menggantikan posisi serta peran sel yang rusak tadi. Dengan demikian, embrio pulih dan perkembangan dapat berlanjut tanpa ada efek gangguan yang menetap. Sebaliknya, jika embrio tidak dapat mentoleransi kerusakan itu, maka embrio tidak dapat melanjutkan perkembangan dan mati. Oleh karena itu, efek gangguan agensia toksik pada embrio pada tahap praimplantasi tidak menyebabkan (Hutahean, 2002 dalam Zahrah, 2008). commit to user kelainan perkembangan 11 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id 2. Tahap organogenesis Tahap organogenesis adalah tahap ketika sel secara intensif menjalani diferensiasi, mobilisasi, dan organisasi. Selama periode ini sebagian besar organogenesis terjadi (Lu, 1995). Pada tahap ini sel-sel mulai menampakkan perbedaan morfologi yang nyata karena terjadi diferensiasi intensif, sehingga adanya zat teratogen yang aktif pada tahapan ini dapat menyebabkan gangguan perkembangan organ dan menghasilkan banyak kemungkinan kelainan-kelainan atau cacat bawaan yang teramati waktu lahir. Jenis kelainan tergantung dari organ mana yang paling peka pada saat zat teratogen tersebut bekerja (Hutahean, 2002 dalam Zahrah, 2008). Tidak semua organ rentan pada saat yang sama dalam suatu kehamilan, pada hari ke-8 sampai hari ke-12 sebagian besar organ embrio tikus sangat rentan, tetapi palatum dan organ urogenital baru rentan pada tahap berikutnya (Lu, 1995). Periode ini bekisar antara 3-8 minggu kebuntingan pada manusia dan 6-15 hari kebuntingan pada mencit (Santoso, 1990). 3. Tahap fetogenesis Fetogenesis adalah tahap dimana sebagian besar organ-organ telah terbentuk. Pada tahap ini embrio sering disebut fetus. Periode fetal adalah ketika diferensiasi organ utama telah terjadi, tetapi diferensiasi genital eksterna, perkembangan susunan saraf pusat, dan penutupan rongga mulut (palate) sedang berlangsung. Selama masa ini adanya zat teratogen dapat menyebabkan kelainan otak, gangguan penutupan palate atau pseudohemaphroditisme (Herman dan Mutiatikum, 2008). Apabila commit to user 12 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id efek agensia toksik mengenai embrio ketika sebagian besar organ-organ telah terbentuk dan fetus tinggal melanjutkan pertumbuhan organ-organ itu, maka manifestasi gangguan seperti ini jarang terwujud menjadi kecacatan, melainkan berupa hambatan pertumbuhan dan gangguan fungsi (Hutahean, 2002 dalam Zahrah, 2008). Cacat morfologik umumnya mudah dideteksi pada saat kelahiran atau sesaat sesudah kelahiran, tetapi kelainan fungsi seperti gangguan susunan saraf pusat mungkin tidak dapat didiagnosa segera setelah kelahiran (Lu, 1995). Pengaruh langsung maupun tidak langsung oleh masuknya bahan kimia terhadap perkembangan organ fetus dapat mengakibatkan kematian fetus, pertumbuhan terhambat dan kelainan pembentukan tulang (Thaser and Kilburn, 2005). Menurut Lu (1995), pengaruh-pengaruh yang ditimbulkan oleh teratogen antara lain: a. Aberasi Yaitu kelainan morfologi meliputi struktur luar dan dalam serta kelainan fungsional. Misalnya: 1) Anomali minor : kelainan penulangan pada sternum, ekor keriting, kaki lurus, adanya tulang rusuk tambahan, malrotasi anggota badan atau cakar, lidah menonjol, kelainan pembentukan pelvis ginjal dan kulit transparan. 2) Anomali mayor : spina bifida dan hidrosepali yang akan mengganggu kelangsungan hidup, pertumbuhan, dan perkembangan, kesuburan, dan panjang usia hewan (Lu, 1995). commit to user 13 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id b. Resorbsi Merupakan manifestasi kematian hasil konsepsi (Lu, 1995). c. Toksisitas pada fetus Tampak dari berkurangnya berat badan fetus yang tidak dapat bertahan hidup (Lu, 1995). Penjelasan toksisitas tersebut adalah sebagai berikut: 1) Toksisitas pada masa perkembangan dan pertumbuhan Perkembangan embrio meliputi proliferasi, diferensiasi, migrasi sel dan organogenesis. Selama berlangsungnya proses embriogenesis, proses-proses tersebut secara berurutan dan saling berhubungan satu sama lain dan dikendalikan oleh isyarat yang berisi informasi yang dicetak oleh DNA (Ngatijan, 1990). 2) Penghambatan perkembangan embrio Embriogenesis yang normal berakhir dengan terbentuknya individu baru yang bentuk dan strukturnya sama seperti induknya, tapi embriogenesis yang abnormal berakhir dengan terbentuknya individu bervariasi (Wilson, 1973). Bentuk anggota tubuh normal dapat tercapai apabila kematian apoptotik terjadi pada lokasi-lokasi tertentu pada keping anggota tubuh (Zakeri dan Ahuja, 1994). Dasar dari perkembangan abnormal adalah sebagai berikut: a) Kelainan bentuk (malformasi) b) Pertumbuhan terhambat c) Penurunan fungsi d) Kematian commit to user 14 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Menurut Ritter (1977) embrio yang terkena pengaruh agensia toksik dapat mengalami perubahan-perubahan sitologis dan akhirnya menjadi fetus yang cacat. Hal tersebut dapat disebabkan oleh : 1. Gerakan morfogenesis terhalang Gerakan morfogenesis adalah gerakan sel dari satu bagian embrio menuju ke bagian tertentu sel sebagai organ, yang berperan dalam gerakan ini adalah mikrotubuli atau mikrofilamen sebagai sitoskeleton, yang menyebabkan gerakan morfogenesis terhenti, sehingga tidak terjadi agregasi sel yang mengakibatkan timbulnya kelainan perkembangan (Ritter, 1977). 2. Hambatan proliferasi sel (pembelahan sel) Proliferasi sel terjadi dengan jalan mitosis. Kecepatan proliferasi merupakan fungsi kecepatan pertumbuhan. Pembelahan sel yang terhambat menyebabkan pertumbuhan menjadi lambat. Sebaliknya bila pembelahan berlangsung cepat akan menyebabkan gigantisme bahkan jika proliferasi sel tidak terkendali dapat menyebabkan kanker (Ritter, 1977). 3. Biosintesis protein berkurang Dalam proses perkembangan, terjadi diferensiasi dari sel-sel yang sama menjadi bermacam-macam sel atau jaringan. Terjadinya diferensiasi karena adanya protein baru yang khusus untuk masingmasing sel atau jaringan. Sintesis protein melalui RNA yang menentukan jenis protein baru tersebut. Agen kimia yang dapat menghambat sintesis RNA atau protein, bekerja sebagai teratogen commit to user 15 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id karena menghambat diferensiasi sel dan dapat mengakibatkan kematian apoptotik (Umansky, 1996). 4. Kegagalan interaksi sel Dalam proses morfogenesis, terjadi interaksi antar sel atau interaksi antar jaringan, yang dikenal dengan istilah induksi. Apabila interaksi tidak terjadi secara normal karena adanya zat asing yang menghalangi, maka hal ini menyebabkan morfogenesis yang menyimpang. Penyimpangan morfogenesis yang berat menyebabkan kematian embrio (Ritter, 1977). 5. Kematian sel yang berlebih Kematian sel dalam tubuh embrio, menyebabkan pertumbuhan terhambat. Apabila terlalu banyak sel yang mati, dapat menyebabkan badan kerdil. Apabila sel yang mati hanya pada organ tertentu, maka organ tersebut tidak terbentuk sempurna. Apabila sel yang mati di satu sisi, maka hal ini dapat mengubah arah pertumbuhan. Misalnya kematian sel setempat dapat menyebabkan deformasi di bagian wajah, seperti bibir sumbing (Ritter, 1977). 6. Gangguan mekanis atau fisik Luka pada embrio dapat menyebabkan kelainan perkembangan. Tekanan hidrostatis cairan amnion, tekanan mekanik pada embrio, menyebabkan perubahan arah pertumbuhan (Ritter, 1977). Abnormalitas anggota tubuh itu terutama disebabkan oleh kematian sel yang terjadi secara intensif pada bagian mesoderm keping anggota (Sudarwati dkk., 1993). commit to user perpustakaan.uns.ac.id 16 digilib.uns.ac.id Menurut Wilson (1973) dan Hutahean (2002) dalam Zahrah (2008) terdapat 4 kelompok wujud gangguan perkembangan embrio (abnormalitas embrio), yaitu : 1. Kematian Kematian fetus terjadi jika kelainan yang ditimbulkan oleh agensia toksik parah (terjadi kelainan struktural maupun fungsional) sehingga fetus tidak mampu beradaptasi untuk bertahan hidup. 2. Kecacatan bentuk Kecacatan bentuk (malformasi) merupakan manisfetasi dari teratogen. Malformasi dapat berupa kelainan anatomik, histologi dan berkurang atau bertambahnya jumlah komponen penyusun tubuh fetus. 3. Hambatan pertumbuhan Ada beberapa faktor yang menyebabkan pertumbuhan fetus terhambat, anatara lain gangguan sintesis pada tingkat molekuler dari DNA, RNA, protein, karbohidrat, dan lemak. Pertumbuhan yang terhambat akan mengakibatkan fetus berukuran lebih kecil daripada fetus normal. 4. Gangguan fungsi Gangguan fungsi suatu organ pada fetus akan menyebabkan viabilitas atau daya tahan hidup menjadi lebih rendah, sehingga fetus berumur pendek (Wilson, 1973). Menurut Siswosudarmo (1988), sifat obat dapat digolongkan dalan 3 golongan besar yaitu: 1. Obat dengan zat teratogen pasti (known teratogens) misal Thalidomid, obat anti tumor. 2. Obat dengan kecurigaan kuat bersifat teratogenik (probable teratogen), misal alkohol, litium, wasparin. commit to user 17 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id 3. Obat dengan dugaan bersifat teratogenik (possible teratogen), misal salisilat, antasida, penekan nafsu makan, antidiabetika oral, dan obatobatan psikotropik. Robert (1971) dan Wilson (1973) melaporkan bahwa teratogenitas bersifat genetik dan bukan genetik. Teratogenitas genetik merupakan kelainan atau terjadi cacat bawaan yang disebabkan oleh adanya mutasi gen, kelainan kromosom, dan perubahan fungsi asam nukleat. Teratogenitas yang bukan bersifat genetik disebabkan kekurangan energi, hambatan yang bersifat enzimatik, perubahan permeabilitas membran dan tidak seimbangnya tekanan osmotik membran sel. Tuchmann-Duplesis (1975) mengatakan bahwa kelainan karena faktor luar, gen aslinya normal dan seimbang tetapi dirusak oleh faktor yang datangnya dari lingkungan perkembangan embrio dan mempunyai sifat dismorfogenik. 3. Embriologi Tikus merupakan spesies poliestrus yang mengulang siklusnya sepanjang tahun tanpa banyak variasi, panjang siklusnya 4-6 hari dengan mekanisme ovulasi yang spontan dengan 8-11 jam dari fase estrus (Hafez, 1970). Menurut Rugh (1968), pekembangan embrio di dalam uterus dibagi dalam 3 fase, yaitu: a. Perkembangan dasar dari fertilisasi yang berlanjut dengan lapisan germinal b. Organogenesis c. Diferensiasi jaringan dengan pemasakan fungsi dan integrasi organ. Eksistensi intra-uterine dari embrio dan fetus melewati 3 tahapan masa commit to masa user implantasi, dan masa fetus yang perkembangan, yaitu masa pra implantasi, 18 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id sebenarnya (Burki, 1986 dalam Astirin 1999). Sedangkan menurut Hafez (1970), waktu perkembangan embrio pada tikus putih ditunjukkan pada Tabel 2. Tabel 2. Tingkatan Perkembangan Embrio pada Tikus Putih Waktu (hari) 1 Tingkatan yang terjadi Stadium 1-2 sel, berada di bagian teratas dari oviduk 2 3 4-5 5 Stadium 2-16 sel, migrasi ke uterus Morula, berada di uterus bagian atas Balstula bebas dalam uterus, dilindungi zona pellucida Perpanjangan masa inti sel primitif streak jelas dan terbentuk rongga pro-amnion 6 Implantasi 7 Diferensiasi embrio dan terbentuk bagian ekstra embrionik 8 Diferensiasi tropoblast dengan cepat, primitif streak, primitif knot, head processus, awal pembentukan mesodem dan pemanjangan area embrionik 9 Terbentuk somit, neural plate dan awal neural folds 10-10,5 Terbentuk tabung neural, promordial hati, mata, dan telinga, diferensiasi endoderm ke dalam foregut, midgut, dan hindgut 11-11,5 Pemanjangan somit toraks, pembentukan tailbud, perkembangan tubulus mesonephridicus (terbentuknya embrio) 12-16 Pemanjangan somit belakang, mata terbentuk, osifikasi awal dari skeleton 16-20 Perkembangan fetus 20-21 Kelahiran (Sumber : Hafez, 1970) Embrio tahap preimplantasi merupakan salah satu bahan yang digunakan untuk penelitian di bidang bioteknologi embrio (IVF/IVM= in vitro fertilization/ maturation, transfer embrio, dan stem cells). Tahap preimplantasi embrio merupakan tahap perkembangan dasar sebelum tahap organogenesis, tahap ini merupakan tahap yang sangat tergantung pada nutrisi yang ada pada cairan oviduk. Kelangsungan hidup embrio pada tahap selanjutnya sangat tergantung dari keberhasilan hidup embrio pada tahap preimplantasi (Said dkk., 2011). commit to user 19 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Pada masa implantasi, embrio mengalami proses diferensiasi dengan melangsungkan kegiatan segregasi sel-sel embrio yang mengarah ke pembentukan sel-sel khusus yang akan berubah menjadi sistem tubuh serta organ-organnya. Masa ini dikenal sebagai periode organogenesis, yaitu periode proliferasi, migrasi, asosiasi, diferensiasi, dan pembentukan sel bersama-sama dengan proses pembentukan jaringan dan organ (Jawi, 1999). Menurut Kimball (1983), perkembangan embrio dimulai saat telur yang telah dibuahi dalam tuba fallopi, embrio yang sedang berkembang ini meneruskan perjalanannya ke uterus dan terjadi pembelahan yang berulang sehingga terbentuk bola berongga yang disebut blastosis, kira-kira satu minggu setelah fertilisasi blastosis tertanam dalam dinding mukosa uterus yang menebal. Peritiswa ini disebut implantasi. Perkembangan blastosis berlanjut dengan pembelahan sel yang cepat dan beberapa sel migrasi dari satu tempat ke tempat lain di dalam embrio yang sedang berkembang sehingga terbentuklah dua bagian utama sel atau jaringan embrio yang sebenarnya yang akan menjadi fetus dan membran ekstra embrional. 4. Organogenesis Menurut Lu (1995), tahap organogenesis adalah tahap ketika sel secara intensif menjalani diferensiasi, mobilisasi, dan organisasi. Selama periode ini sebagian besar organogenesis terjadi. Stadium ini terjadi pada umur kehamilan 38 minggu pada manusia atau 6-13 hari pada mencit. Menurut Santoso (2004) dan Jawi (1999), stadium ini paling aktif karena mulai terjadi diferensiasi sel-sel untuk commit to user 20 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id pembentukan organ tubuh. Fase ini sensitif terhadap zat teratogen sehingga bisa menyebabkan kelainan bentuk (malformasi). Kemungkinan pengaruh buruk yang terjadi adalah: a. Pengaruh letal yaitu terjadi kematian janin atau abortus b. Pengaruh sub letal yaitu tidak terjadi kematian tetapi terjadi malformasi anatomik (struktur) pertumbuhan organ atau pengaruh teratogenik. c. Gangguan fungsional yang permanen baru tampak kemudian, artinya tidak timbul pada saat kelahiran. Periode organogenesis merupakan periode pembentukan organ-organ dan sistem tubuh serta terjadi perubahan bentuk tubuh. Pada periode ini sel secara intensif mengalami diferensiasi, mobilisasi, dan organisasi sehingga embrio sangat rentan terhadap efek teratogen. Periode ini berakhir jika bentuk embrio sudah seperti induknya, yaitu pada hari ke-10 sampai ke-14 pada hewan pengerat dan pada minggu ke-14 pada manusia (Robert, 1971, Lu, 1995). 5. Skeleton Tulang adalah jaringan ikat yang terdiri dari materi intersel yang mengapur (matriks tulang), dan 3 jenis sel tulang yaitu osteosit (terdapat di rongga/ lakuna di dalam matriks), osteoblast (sel yang membentuk komponen organik dari matriks), osteoklas (sel raksasa yang berinti banyak yang berperan pada resorbsi dan pembentukan kembali jaringan tulang). Umumnya struktur commit to user 21 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id tulang adalah kaku dan merupakan penyusun utama sistem skeleton (Greep, 1966; Junqueira et al.,1998). Menurut Junqueira et al. (1998), tulang mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang disebut dengan istilah osifikasi. Awal dari proses osifikasi ini adalah terjadinya perubahan jaringan mesenkim pada fetus menjadi jaringan tulang atau menjadi kartilago yang selanjutnya akan menjadi jaringan tulang. Tulang berfungsi sebagai cadangan kalsium, fosfat, dan ion lain yang dapat dilepaskan atau disimpan secara terkendali untuk mempertahankan konsentrasi tetap ion-ion ini dalam cairan tubuh (Bloom and Faweett, 1978). Osifikasi dibagi menjadi 2 cara, yaitu osifikasi desmalis (intramembranosa) dan osifikasi endokondral (Junqueira et al., 1998). Osifikasi intramembranosa terjadi di dalam daerah-daerah pemadatan jaringan mesenkim. Pada osifikasi intramembranosa ini, tulang dibentuk melalui mineralisasi langsung pada matriks yang disertai oleh osteoblas. Osifikasi ini merupakan sumber sebagian besar tulang pipih cranium yaitu os-frontal, os-parietal, os-temporal, dan os-accipital. Selain itu, osifikasi ini juga mengatur pertumbuhan tulang-tulang pendek dan penebalan tulang panjang. Sedangkan osifikasi endokondralis terjadi di dalam tulang rawan hialin. Pertumbuhan tulang pada osifikasi ini melalui penimbunan matriks tulang rawan sebelumnya. a. Osifikasi endokondralis Ham and Cormack (1979) menyatakan bahwa osifikasi endokondralis terbagi dalam 2 tahap. Tahap pertama mencangkup hipertropi dan destruksi kondrosit. Pada tahap ini ditandai dengan commit to user 22 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id adanya pusat penulangan primer yang berupa pembesaran (hipertropi) dan kondrosit di tengah-tengah diafisis. Kondrosit mensekresikan bahan matriks kartilago ke ruang antar sel. Adanya hipertropi kondrosit menyebabkan matriks kartilago terdesak membentuk sekat-sekat tipis. Di dalam matriks kartilago terjadi pengendapan garam-garam kalsium, sehingga kondrosit akan terperangkap dalam matriks destruksi dan akhirnya mati, sehingga menghasilkan rongga-rongga bekas kondrosit yang saling berhubungan yang disebut lakuna. Tahap kedua, tunas ostogenik yang terdiri dari kapiler-kapiler darah masuk dari periosteum, kemudian membawa sel-sel osteoprogenitor menembus ke dalam lingkungan baru ini, pola diferensiasi sel-sel kondrogenik berubah, tidak menghasilkan kondrosit lagi tetapi menghasilkan osteoblas yang akan menjadi osteosit (Han and Cormack, 1979). Osifikasi pada setiap spesies hewan tidak sama. Pada tikus osifikasi dimulai pada hari ke-8 kebuntingan, dengan masa kritis pada hari ke-13 sampai 15 kebuntingan (Taylor, 1986). b. Pertumbuhan memanjang tulang panjang Menurut Junqueira et al. (1998), setelah penulangan sekunder berakhir, maka terdapat sisa-sisa kondrosit diantara epifisis dan diafisis yang tersusun berderet-deret. Deretan sel-sel ini dipisahkan oleh matriks tipis. Jaringan kartilago yang berada diantara epifis dan diafisis disebut kartilago epifisialis. Katilago ini dibagi berkaitan erat dengan commit to user 23 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id pertumbuhan tulang memanjang. Kartilago ini dibagi menjadi 5 zona, yaitu zona rehat, zona proliferasi, zona hipertropi, zona kalsifikasi dan zona osifikasi (Ham and Cormack, 1979). 6. Jalur Masuk Zat Asing Ke Dalam Embrio Howland (1975) menyatakan sel embrio masih sangat rentan terhadap pengaruh dari luar karena terjadinya mitosis berlanjut dan inti sel dalam keadaan tidak berselaput dan kromosom tersebar. Akibatnya zat asing dengan mudah berinteraksi sehingga menyebabkan kelainan perkembangan. Kemungkinan masuknya zat asing ke dalam tubuh ada berbagai jalan yaitu kontak langsung dengan kulit, lewat sistem pernafasan, lewat sistem pencernaan, secara eksperimen disuntikkan atau disinari, kemudian dibawa oleh sistem peredaran darah sampai ke dalam jaringan atau sel. Menurut Tuchmann-Duplessis (1975), apabila zat kimia diberikan secara oral dengan hasil metabolisme berberat molekul kecil, akan diabsorbsi oleh intestinum dan melalui barrier plasenta. Struktur molekul obat membutuhkan carrier membran yang spesifik, yaitu: a. Melalui pori membran Hanya untuk senyawa dengan berat molekul kurang dari 100 b. Pinositosis Untuk pengiriman sejumlah kecil makromolekul terutama virus dan substansi imunologik commit to user perpustakaan.uns.ac.id 24 digilib.uns.ac.id c. Difusi sederhana Proses penting untuk transfer obat melalui palsenta. Transfer berbagai macam obat melalui plasenta mengikuti hukum difusi melalui membran lipoprotein. Laju difusi tergantung pada konsentrasi obat, tidak ada kejenuhan, hanya membutuhkan energi thermal, dan tidak ada kompetisi diantara molekul yang berhubungan. Plasenta adalah organ sementara dan merupakan tempat berlangsungnya pertukaran fisiologik antara induk dan fetus dan bersifat permeabel (Junqueira et al., 1998). Plasenta adalah tenunan tubuh dari embrio dan hewan induknya, yang terjalin pada waktu pertumbuhan embrio untuk keperluan penyaluran makanan dari induk kepada anak dan zat buangan dari anak kepada induk (Elya dan Kusmana, 2002). Fungsi plasenta adalah menyediakan makanan untuk fetus yang diambil dari darah ibu, bekerja sebagai paru-paru fetus dengan menyediakan zat untuk oksigenasi darah fetus dan menyingkirkan bahan buangan fetus. Plasenta juga bekerja sebagai penghalang guna menghindarkan mikroorganisme penyakit mencapai fetus. Plasenta membantu ovarium dalam produksi hormon yang diperlukan untuk kelangsungan kehamilan dan memainkan peranan penting dalam hubungan dengan laktasi, yaitu dengan merangsang perkembangan jaringan kelenjar susu dan saluran-salurannya (Pearce, 1993). Tipe plasenta pada mencit sama dengan tipe plasenta pada manusia yaitu hemokorialis, karena darah induk dan darah fetus dipisahkan oleh selaput sinsitium yang berasal dari korion dan sel-sel endotel dari kapiler fetus (Kaufman, 1994). Jalur utama transfer obat melalui plasenta adalah dengan difusi sederhana. commit to user 25 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Obat-obat yang bersifat lipofilik lebih mudah menembus plasenta daripada zat nonlipofilik. Obat yang tidak terionisasi pada pH fisiologis akan lebih mudah berdifusi melalui plasenta dibandingkan obat-obat yang bersifat asam atau basa. Perubahan-perubahan pada aliran darah plasenta akibat keadaan patofisiologis sekunder (hipertensi dalam kehamilan) atau karena efek farmakologis obat dapat mempengaruhi transfer obat melalui plasenta (Jacobs, 1996). Pada masa kehamilan, terjadi berbagai perubahan pada fisiologi tubuh, misalnya menurunnya motilitas saluran pencernaan, menurunnya kadar protein darah, meningkatnya kecepatan aliran darah ginjal, dan terpacunya enzim-enzim metabolisme. Pada keadaan hamil, distribusi obat dalam tubuh menjadi sedikit kompleks, karena disini terdapat dua macam sirkulasi, yakni sirkulasi maternal (dalam tubuh ibu) dan sirkulasi fetal (dalam fetus) (Astirin dan Widiyani, 2010). Suatu senyawa yang diberikan secara ekstra vaskuler kepada ibu akan mengalami absorbsi dari tempat pemberiannya, untuk kemudian memasuki peredaran darah maternal. Dengan adanya sirkulasi fetal yang berhubungan secara langsung dengan sirkulasi maternal, maka molekul obat maupun metaboliknya kemungkinan dapat masuk ke dalam fetus (Astirin dan Widiyani, 2010). Perubahan fisiologis pada ibu yang terjadi selama kehamilan bisa mempengaruhi konsentrasi antibiotika dalam serum, sehingga bisa mempengaruhi efek obat. Perubahan-perubahan itu menurut Jawet (1998) adalah: 1. Kehamilan bisa merubah absorbsi obat yang diberikan peroral. commit to user