Analisis Pajanan Bising dan Faktor Risiko dalam Kejadian Gangguan Pendengaran PT.X Tahun 2014 Delfina Siagian, Syahrul M. Nasri Peminatan Keselamatan dan Kesehatan Kerja, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia Email: [email protected] Abstrak Kebisingan merupakan salah satu permasalahan di dunia industri. Kebisingan dapat menyebabkan gangguan kesehatan dan gangguan pendengaran. PT.X merupakan perusahaan yang bergerak di bidang perbaikan dan distribusi alat berat. Beberapa proses kerja di PT.X memiliki tingkat kebisingan yang cukup tinggi. Selain itu, hasil tes audiometri menunjukan bahwa beberapa pekerja di PT. X mengalami gangguan pendengaran. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis korelasi antara pajanan bising dan faktor risiko yang ada dengan kejadian gangguan pendengaran pada pekerja di PT.X tahun 2014. Penelitian ini dilakukan dengan metode cross sectional dengan cara menyebarkan kuesioner, observasi, pengukuran kebisingan dengan sound level meter (SLM), serta menganalisis hasil audiometri pekerja tahun 2013. Pekerja yang menjadi sampel dalam penelitian ini adalah 46 orang. Hasil penelitian menunjukkan terdapat 5 pekerja (10.9%) yang mengalami gangguan pendengaran ringan. Hasil pengukuran kebisingan lingkungan berkisar antara 73-103.6 dBA. Selain itu, pajanan bising efektif (L equivalent efektif) yang diterima pekerja masih dibawah NAB berkisar antara 71 – 83.2 dBA. Dari 5 pekerja yang mengalami gangguan pendengaran, seluruhnya memiliki masa kerja lebih dari 5 tahun. Terdapat 30.4% pekerja yang mengalami NIHL.Tidak ada hubungan yang signifikan pada setiap variabel, namun alat pelindung telinga mempengaruhi kejadian gangguan pendengaran dan NIHL. Kata kunci: Kebisingan, Gangguan Pendengaran, Faktor Risiko Gangguan Pendengaran Analysis of Noise Exposure and Risk Factors in Hearing Loss of Workers in PT. X in Year 2014 Abstract Noise is one of the problems in the industrial world. Noise can cause health problems and impaired hearing. PT.X is a company which business engaged in the reconditioning and distribution of heavy equipment. There are several work processes in PT.X which have high noise level. Besides, the result of audiometric test indicates that some of the workers in PT. X suffer hearing loss. The purpose of this study is to analyze the correlation between noise exposure and the existing risk factors with the incidence of hearing loss in workers PT.X in year 2014. This study uses cross sectional study design by filling out questionnaires by the workers, observation, measuring the noise level with a sound level meter (SLM ), and analyzing the results of audiometric test in 2013. There are 46 workers taken as samples in this study. The results of this study shows there are 5 workers (10.9%) who suffered a mild hearing loss. The results of environmental noise measurements between 73-103.6 dBA. Besides that, effective noise exposure (Effective L equivalent) received by workers is still below the TWA between 71 - 83.2 dBA. 5 workers with hearing loss have a working period of more than 5 years. There are 30.4% of workers who suffered NIHL (Noise Induced Hearing Loss). There are no correlation at all the variables, but ear protection devices influencing the occurrence of hearing loss and NIHL. Keywords: Noise, Hearing Loss, Hearing Loss Risk Factors. Analisis pajanan..., Delfina Siagian, FKM UI, 2014 Pendahuluan Pada negara-negara industri atau negara-negara berkembang, kebisingan merupakan salah satu permasalahan yang kerap kali terjadi bagi pekerja dan lingkungan. Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang dalam meningkatkan pembangunan tentunya banyak menggunakan peralatan industri yang dapat membantu proses industri. Akhirnya, proses industri yang berjalan dapat menimbulkan kebisingan. Menurut Kemenkes No 1405 Tahun 2002, kebisingan didefinisikan sebagai suatu bunyi atau suara yang tidak dikehendaki yang dapat mengganggu atau membahayakan kesehatan. Setiap pekerja yang terpajan bising tentunya akan memiliki risiko mengalami gangguan pendengaran. Terdapat beberapa kasus gangguan pendengaran yang terjadi di dunia. Pada tahun 2001, WHO menyatakan bahwa penderita gangguan pendengaran di seluruh dunia mencapai 222 juta jiwa usia dewasa (Suwento, 2007). Selanjutnya, penelitian di India, dari lima puluh pekerja yang terpajan kebisingan terdapat 90% pekerja mengalami kehilangan pendengaran khususnya pada frekuensi 4000 Hz (Tekriwal, 2011). Di Amerika, berdasarkan Occupational Health and Safety Administration (OSHA), 5 hingga 10 juta penduduk Amerika berisiko NIHL karena terpajan bising lebih dari 85 dBA di tempat kerja. Hal ini menunjukkan bahwa kasus gangguan pendengaran yang terjadi di dunia cukup tinggi dan sebagian besar akibat pajanan bising. NIHL banyak ditemukan pada pekerja negara berkembang dan industri. Kasus gangguan pendengaran tidak hanya menjadi perhatian di dunia melainkan juga pada Asia Tenggara. Pada tahun 2000, hasil survei dari Multi Center Study (MCS) menyatakan penduduk di Asia Tenggara yang mengalami gangguan pendengaran sekitar 50%nya (75-140 juta). Karena besarnya permasalahan tersebut, saat ini NIOSH (National Occupational and Health Community) menempatkan permasalahan penurunan pendengaran sebagai salah satu dari 21 bidang prioritas untuk penelitian pada abad ini (NJCLA, 2008). Selain itu, di Indonesia, kasus gangguan pendengaran juga menjadi permasalahan yang terjadi. Seluruh ketulian pada penduduk di Indonesia mencapai 4.6% (Soetjipto, 2007). Prevalensi tersebut menduduki peringkat nomor 4 setelah Sri Lanka, Myanmar, dan India. Selain itu, gangguan pendengaran khususnya akibat pajanan bising dapat dilihat pada penelitian yang yang dilakukan di perusahaan baja di Indonesia yang dilakukan pada tahun 2000, ditemukan Analisis pajanan..., Delfina Siagian, FKM UI, 2014 kejadian NIHL pada pekerja sebesar 43.6% dengan tingkat kebisingan lingkungan antara 88.3112.8 dB (Tana dkk, 2002). Selain berefek pada kesehatan pekerja, kebisingan juga dapat menyebabkan kerugian finansial bagi perusahaan. Salah satu dampak dari kebisingan adalah banyaknya kompensasi yang harus diberikan pada pekerja yang terkena gangguan. Pada tahun 2010, Safe Work Australia menyebutkan bahaya bising di tempat kerja tidak hanya menjadi permasalahan kesehatan kerja melainkan permasalahan ekonomi karena banyaknya pengajuan klaim pekerja akibat pajanan bising. Di Amerika Serikat, sekitar $242 juta diberikan setiap tahunnya untuk para pekerja yang mengalami penurunan pendengaan (NIOSH, 2011a). Hal ini menunjukkan bahwa penurunan pendengaran akibat bising terus menerus menjadi hal yang penting bukan hanya dalam bidang keselamatan dan kesehatan kerja tetapi juga dapat berdampak pada permasalahan ekonomi. PT. X merupakan perusahaan yang bergerak dalam bidang alat berat, pertambangan, dan energi serta telah mengimplementasikan program keselamatan dan kesehatan kerja. Dalam bidang alat berat, selain sebagai distribusi alat berat, perusahaan juga bergerak dalam perbaikan, re-manufacturing atau rekondisi komponen-komponen alat berat yang rusak di workshop perusahaan serta melakukan maintenance terhadap alat berat. Karena itu, dalam proses kerja yang dilakukan, dihasilkan kebisingan dengan intensitas tertentu yang dapat memajani pekerja selama bekerja. Proses-proses kerja yang menjadi sumber bising, antara lain menggerindera, fabrikasi, washing, melakukan pengetesan mesin, dll. Semakin tingginya tingkat kebisingan maka semakin tinggi risiko mengalami gangguan pendengaran. Dari kondisi tersebut, perusahaan juga telah melakukan perlindungan kesehatan bagi pekerja dengan melakukan medical check up setiap tahunnya. Dari hasil audiometri, didapat bahwa terdapat beberapa pekerja yang mengalami penurunan pendengaran. Akan tetapi, belum diketahui apakah penurunan pendengaran yang terjadi disebakan karena kebisingan di tempat kerja atau karena faktor risiko lainnya. Oleh karena itu, dilakukan penelitian mengenai tingkat kebisingan dalam kejadian gangguan pendengaran di PT. X tahun 2014. Tinjauan Teoritis Pengertian kebisingan berdasarkan Permenaker No. 13 Tahun 2011 adalah semua suara yang tidak dikehendaki yang bersumber dari alat-alat proses produksi dan/atau alat-alat kerja yang dapat menyebabkan gangguan pendengaran jika pada intensitas tertentu. Analisis pajanan..., Delfina Siagian, FKM UI, 2014 Selain itu, menurut National Institute of Occupational and Health (NIOSH) kebisingan terjadi jika intensitas suara lebih dari 85 dBA selama lebih dari 8 jam kerja. Dari beberapa definisi diatas, dapat disimpulkan kebisingan merupakan suatu bunyi atau suara yang tidak dikehendaki yang bersumber dari proses produksi dan/ atau alat-alat kerja yang dapat menyebabkan gangguan kesehatan dan pendengaran jika melebihi intensitas yang diijinkan. Gangguan pendengaran merupakan gangguan yang tidak hanya disebabkan oleh pajanan bising. Terdapat faktor-faktor risiko lainnya yang dapat menyebabkan seseorang dapat mengalami gangguan pendengaran. Dalam buku Fundamentals of Industrial Hygiene 5th Edition, terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi gangguan pendengaran, antara lain tipe bunyi, intensitas bunyi, lama pajanan per hari, usia pekerja, masa kerja, kerentanan individu, penyakit telinga, kondisi lingkungan yang menimbulkan bising, serta jarak sumber bising dan posisi telinga saat terpajan (Standard, 2002). Selain faktor tersebut, menurut penelitian terdapat beberapa faktor lainnya yang mempermudah seseorang mengalami gangguan pendengaran. Menurut Buchari, faktor lainnya antara lain usia, jenis kelamin, status kesehatan, keadaan sistem pendengaran, serta obat-obatan ototoksik. Karena itu, banyak faktor yang mempengaruhi seseorang mengalami gangguan pendengaran. Noise Induced Hearing Loss adalah salah satu gangguan pendengaran yang diakibatkan oleh kebisingan. Gangguan ini sering dijumpai pada pekerja industri , terutama industri yang belum menerapkan sistem perlindungan pendengaran dengan baik. Pekerja yang terkena NIHL umumnya akan mengalami kesulitan untuk memahami suara-suara yang mengandung frekuensi cukup tinggi namun bisa jadi masih mampu mendengar ucapan orang lain (Tambunan, 2005). Dalam menentukan diagnosis NIHL harus mempertimbangkan riwayat individu, pemeriksaan individu, serta hasil audiometri (idealnya selama bertahun-tahun). Ini dilakukan untuk mengetahui apakah pekerja terkena kebisingan di luar pekerjaan atau saat bekerja. Untuk melihat gangguan pendengaran, hasil audiometri menunjukkan lekukan pada frekuensi 4000 Hz, dan ditandai takik berbentuk huruf “V” pada hasil audiometrinya. Pada tahap awal gangguan ini hanya dapat dideteksi dengan pemeriksaan audiometri. Gajala awal ialah biasanya adanya keluhan berdenging di telinganya. Metode Penelitian Analisis pajanan..., Delfina Siagian, FKM UI, 2014 Penelitian ini merupakan penelitian analitik kuantitatif. Desain penelitian ini menggunakan desain studi cross sectional yang merupakan studi yang bertujuan untuk meneliti hubungan variabel independen dengan variabel dependen dalam waktu yang bersamaan. Penelitian ini mempelajari korelasi antara faktor-faktor risiko dengan efek. Populasi dari penelitian ini adalah seluruh pekerja di area workshop dan yard berjumlah. 61 orang. Kemudian, sampel yang diambil adalah pekerja yang memenuhi kriteria inklusi dalam penelitian ini, antara lain: Pekerja yang telah bekerja selama satu tahun lebih pada tahun 2014, pekerja yang terpajan dengan bising di tempat kerja, dan pekerja yang memiliki hasil audiometri tahun 2013. Dari kriteria tersebut, didapatkan sampel sebanyak 46 orang. Penelitian ini dilakukan di PT. X. Pengambilan data dilakukan pada bulan Februari - April 2014. Data yang digunakan adalah data primer dan sekunder yang dikumpulkan dari perusahaan. Data tersebut antara lain: 1) Data Pengukuran Kebisingan Lingkungan Perusahaan Pengukuran kebisigan dilakukan dengan mengukur setiap area di workshop A, workshop B, dan yard. Alat ukur level kebisingan yang digunakan adalah SLM merk Lutron tipe SL-4010 yang sudah dikalibrasi. Peneliti juga melakukan wawancara untuk mengetahui informasi mengenai lama pajanan di suatu tempat, dan kemana saja dalam 1 hari kerja. 2) Data-Data Terkait Variabel Perancu yang Dilakukan dengan Kuesioner dan Observasi. Kuesioner dibagikan untuk mengetahui apakah responden memiliki faktor risiko lainnya selain pajanan bising. Peneliti juga melakukan observasi untuk melihat gambaran pemakaian APT. Sedangkan, data yang didapatkan dari perusahaan adalah data pengukuran fungsi pendengaran (tes audiometri) pekerja untuk mengetahui gangguan pendengaran atau tidak, data job description/task, NRR APT, dan data informasi perusahaan untuk mengetahui gambaran umum perusahaan. Untuk mendapatkan data dosis pajanan bising dilakukan perhitungan Leq 8 jam kerja/hari sesuai dengan similar exposure froup (SEG). Nilai Leq efektif diperoleh dari selisih Leq dan NRR efektif. Nilai Leq dihitung dengan rumus: Leq = 10 log {1/8[t1 x antilog (L1/10) + t2 x antilog (L2/10) +..............+ tn x antilog (Ln/10)]} L1 = Pressure Level pada periode waktu t1 T = Total waktu (t1 + t2 + … + tn) Leq = Pressure Level yang setara Analisis pajanan..., Delfina Siagian, FKM UI, 2014 Dari perhitungan tersebut didapatkan besaran L equivalent pekerja. Sedangkan untuk menghitung nilai NRR efektif adalah NRR = 50% (NRR produk) Nilai NRR diperoleh dari spesifikasi APT (Alat Pelindung Telinga) yang tertulis pada produk. Selain itu, variabel usia, masa kerja, pemakaian APT, hobi, dan tempat tinggal didapatkan dari pengisian kuesioner. Untuk status pendengaran, menghitung HTL (Hearing Treshold Limit) yaitu rata-rata frekuensi 500 Hz, 1000 Hz, 2000 Hz, dan 4000 Hz. Untuk kejadian NIHL melihat HTL frekuensi 4000 Hz saja. Data akan dianalisis dengan metode univariat dan bivariat. Analisis univariat dilakukan untuk melihat gambaran data dan distribusi frekuensi untuk mendeskripsikan variabel independen dan dependen yang diteliti. Sedangkan, analisis bivariat dilakukan untuk melihat hubungan antara variabel independen dan dependen. Analisa bivariat dilakukan dengan dengan uji statistik chi square untuk melihat hubungan antar variabel. Dalam analisa bivariat ini, peneliti menggunakan nilai α= 0.05. Hasil Penelitian Analisis Univariat Hasil pengukuran menunjukkan di workshop A, area kerja pada bays 1-3 memiliki tingkat kebisingan 73 dBA, pada bays 4-6 dan bays 7-10 memiliki tingkat kebisingan 74.5 dBA dan 92 dBA, serta pada bays 11-13 adalah 94 dBA. Selain itu, tingkat pajanan bising pada workshop B berkisar antara 73.1-103.6 dBA dan di yard berkisar 92 dBA. Perhitungan L equivalent efektif pekerja didapatkan dari hasil L equivalent efektif dikurangi dengan NRR APT efektif. NRR earplug yang digunakan adalah 26 dB dan NRR earmuff yang digunakan adalah 23 dB. NRR efektif menurut NIOSH dihitung dengan 50% dari spesifikasi produk. Sehingga satuannya menjadi dBA. Berikut ini adalah hasil dari perhitungan dosis bising (L equivalent efektif) harian masing-masing fungsi kerja berdasarkan similar exposure group (SEG). Analisis pajanan..., Delfina Siagian, FKM UI, 2014 Tabel 1 Hasil Perhitungan L equivalent Efektif di PT. X Tahun 2014 Fungsi Kerja/ Mekanik Leq (8 jam/hari) dBA NRR Efektif (50% Spec) Earplug Earmuff Leq Efektif dBA (Tingkat Pajanan Bising saat menggunakan APT) NIHL 3 orang Test bench engine 94.7 (dBA) 13 (dBA) - 81.7 Test bench engine Washing Disassy Sub Assy 1 FIP 94.7 93.4 85 80.1 90 13 13 13 13 11.5 - 83.2 80.4 72 67.1 77 PPM PPM Assembly Shortblock Power train Hyd Test bench Sub Assy 3 Fabrikasi Mekanik Yard 80.3 80.3 79.8 83.6 77.6 86 93.9 92.6 84.5 84 13 13 13 13 13 13 13 13 13 11.5 - 67.3 68.8 66.8 70.6 64.6 73 80.9 79.6 71.5 71 Gangguan Pendengaran 1 orang 1 orang 2 orang 1 orang 6 orang 2 orang 3 orang Berdasarkan tabel diatas, L equivalent efektif yang diterima pekerja berkisar antara 71 – 83.2 dBA. Oleh karena itu, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa seluruh pekerja memiliki L equivalent efektif dibawah NAB dimana tidak melebihi dosis pajanan yang diijinkan oleh Permenaker. Jika dilihat dari distribusi gangguan pendengaran, yang mengalami gangguan pendengaran terdapat pada fungsi kerja fabrikasi dan yard, sedangkan untuk NIHL dominan terdapat pada pekerja yard, fabrikasi, dan test bench. Dilihat distribusi pekerja yang terpajan bising dominan L equivalent ≤85 dBA (65.2%), pekerja dominan berusia ≤40 Tahun (80.4%), pekerja dominan bekerja selama >5 Tahun (71.7%), pekerja memakai alat pelindung telinga (52.2%), pekerja tidak memiliki hobi terkait bising (58.7%), pekerja dominan tidak tinggal di tempat bising (78.3%). Didapatkan pekerja yang mengalami gangguan pendengaran derajat ringan sebanyak 5 pekerja (10.9%) dan pekerja yang mengalami NIHL sebanyak 14 orang (30.4%). Distribusi frekuensi pekerja yang mengalami NIHL (tabel 3) memiliki masa kerja lebih dari 5 tahun terdapat sebanyak 13 orang, jarang menggunakan alat pelindung telinga sebanyak 9 orang, dan memiliki hobi terkait bising serta Analisis pajanan..., Delfina Siagian, FKM UI, 2014 tinggal di kawasan bising sebanyak 3 orang dari total 14 orang mengalami NIHL. Selain itu, dari 5 orang yang mengalami gangguan pendengaran, 4 orang diantaranya juga mengalami NIHL (Tabel 4). Mereka berasal dari divisi fabrikasi dan yard. Tabel 2. Analisis Univariat Distribusi Frekuensi Pekerja di PT.X Tahun 2014 Variabel L equivalent Status Pendengaran NIHL Usia Masa Kerja Pemakaian APT Hobi terkait Bising Tempat Tinggal Bising Kategori ≤85 dBA >85 dBA Pendengaran Normal GangguanPendengaran Gangguan Telinga Kanan Gangguan Telinga Kiri Gangguan Kedua Telinga Normal ≤40 Tahun >40 Tahun ≤5 Tahun >5 Tahun Dipakai Jarang dipakai Tidak Ya Tidak Bising Bising Jumlah 30 16 41 5 7 6 1 32 37 9 13 33 24 22 27 19 36 10 Presentase 65.2 34.8 89.1 10.9 15.2 13.0 2.2 69.6 80.4 19.6 28.3 71.7 52.2 47.8 58.7 41.3 78.3 21.7 Tabel 3. Distribusi Frekuensi Pekerja yang Mengalami NIHL di PT.X Tahun 2014 Variabel Masa Kerja Pemakaian APT Hobi terkait Bising Tempat Tinggal Kategori Pekerja yang mengalami NIHL ≤ 5 Tahun 1 > 5 Tahun 13 Selalu Dipakai 5 Jarang Dipakai 9 Tidak Ya Tidak Bising Bising 11 3 11 3 Tabel 4 Distribusi Frekuensi Fungsi Kerja, HTL Rata-Rata, dan NIHL Pada Responden yang Mengalami Gangguan Pendengaran Fungsi Kerja Reponden yang mengalami gangguan pendengaran Fabrikasi HTL Rata-Rata NIHL Tuli Ringan Kedua Telinga - Analisis pajanan..., Delfina Siagian, FKM UI, 2014 Fabrikasi Yard Yard Yard Tuli Ringan Telinga Kanan Tuli Ringan Telinga Kiri Tuli Ringan Telinga Kanan Tuli Ringan Telinga Kiri Gangguan Telinga Kanan Sedang Gangguan Telinga Kanan Ringan Gangguan Telinga Kanan Ringan Gangguan Telinga Kiri Ringan Analisis Bivariat Tabel 5 Analisis Bivariat Pajanan Bising dan Faktor Risiko dalam Kejadian Gangguan Pendengaran Pada Pekerja di PT. X Tahun 2014 Variabel L equivalent Usia Masa Kerja Pemakaian APT Hobi Tempat Tinggal Kategori >85 dBA ≤85 dBA Status Pendengaran Gangguan Normal 2 (12.5%) 14 (87.5%) 3 (10%) 27 (90%) PR (95% CI) P value 1.029 (0.8251.282) 1.000 >40 Tahun ≤40 Tahun 4 (44.4%) 1 (2.7%) 5 (55.6%) 36 (97.3%) 1.751 (0.9743.149) 0.003 >5 Tahun ≤5 Tahun Jarang Dipakai Sering dipakai Ada Tidak Ada Bising Tidak Bising 5 (15.2%) 0 (0%) 2 (9.1%) 28 (84.8%) 13 (100%) 19 (90.9%) 1.179 (1.0201.361) 0.963 (0.7871.177) 0.301 3 (12.5%) 21 (87.5%) 2 (10.5%) 3 (11.1) 3 (30.0%) 2 (5.6%) 17 (89.5%) 24 (88.9%) 7 (70.0%) 34 (94.4%) 0.993 (0.8101.218 1.349 (0.8922.040) 1.000 1.000 0.061 Tabel 5 menunjukkan bahwa tidak ada variabel yang berhubungan dengan kejadian gangguan pendengaran. Namun jika dilihat pada proporsi kejadiannya, gangguan pendengaran lebih banyak terjadi pada pekerja yang terpajan bising >85 dBA (12.5%), pekerja yang berusia >40 tahun (44.4%), memiliki masa kerja >5 tahun (15.2%), sering memakai APT (12.5%), tidak memiliki hobi terkait bising (11.1%), dan tinggal di kawasan bising (30%). Pembahasan Jenis kebisingan yang ada di PT. X ini merupakan kebisingan jenis intermitten karena proses kerja tidak menghasilkan bising terus menerus atau ada fase tenang pada saat bekerja. Pada workshop A, area yang masuk dalam tingkat kebisingan yang berada diatas NAB adalah Analisis pajanan..., Delfina Siagian, FKM UI, 2014 area fabrikasi dan undercarriage. Area ini memiliki kebisingan tinggi karena dalam proses kerjanya terdapat pekerjaaan, seperti menggerindera, memukul komponen dengan palu, welding, pemasangan track shoe pada unit, dlll. Dalam proses kerja fabrikasi, pekerja dapat melakukan pekerjaan dengan tingkat kebisingan mencapai 94 dBA. Jika mengacu pada regulasi yang ada, pekerja yang terpajan 94 dBA hanya boleh bekerja selama sejam. Karena itu, pengendalian yang dapat dilakukan agar pajanan tidak melebihi batas yang diperbolehkan adalah pekerja menggunakan alat pelindung telinga (APT) dengan disiplin dan benar karena APT yang digunakan dapat mereduksi kebisingan hingga dibawah standar yang diperbolehkan jika digunakan dengan baik dan benar. Selain itu, pada bays 1-6, tingkat kebisingan masih dibawah NAB. Hal ini disebabkan pekerjaan di area tersebut lebih banyak pekerjaan manual handling. Pada workshop B, didapatkan hasil bahwa area yang masuk dalam tingkat kebisingan diatas NAB adalah area washing, sub assy 3, FIP room, dan area test bench engine. Hal ini disebabkan oleh area yang memiliki tingkat kebisingan melebihi NAB mayoritas terdapat suara yang dihasilkan oleh mesin-mesin pengetesan mayoritas memiliki kebisingan tinggi. Pada area-area tersebut, tingkat kebisingan yang dihasilkan tergantung dengan ukuran komponen yang diperbaiki. Semakin besar ukuran komponen alat, maka akan semakin tinggi tingkat kebisingan yang dihasilkan. Selain itu, area lainnya yang memiliki kebisingan yang tinggi adalah area test bench. Di area tersebut, pekerja ada yang berada di ruang operator (ruang tertutup) dan berada di depan sumber bising yang jaraknya hanya 2 meter dari sumber. Oleh karena itu, pekerja yang paling beresiko mengalami gangguan pendengaran adalah yang berada di depan sumber bising karena jarak yang sangat dekat dengan mesin. Pekerja yang berada di area test bench mengatakan bahwa pekerja dalam sehari dapat bekerja di area tersebut selama 8 jam. Pekerja yang bekerja di berada di depan mesin test bench juga telah mengalami gangguan pada frekuensi 4000 Hz (Penurunan awal 4000 Hz). Berdasarkan perhitungan L equivalent efektif, seluruh responden masih berada dibawah NAB. L equivalent efektif,tertinggi terdapat pada fungsi kerja test bench engine. Hal ini disebabkan sebagian besar waktu mekanik test bench engine bekerja di area tersebut dengan mesin yang nyala. Sedangkan, L equivalent efektif terendah terdapat pada fungsi kerja assembly dan power train. Namun, hasil ini tergantung bagaimana pemakaian APT yang dilakukan pekerja. Nilai ini mungkin dapat tidak sesuai dengan kondisi lapangan apabila ternyata para pekerja tidak selalu memakai APT dengan benar dan disiplin. Dari hasil analisis, jika tanpa Analisis pajanan..., Delfina Siagian, FKM UI, 2014 menggunakan reduksi dari penggunaan APT, maka estimasi L equivalent efektif yang diterima beberapa pekerja dapat melebihi standar yang diperbolehkan oleh Permenaker. Dari hasil penelitian menunjukkan terdapat 5 pekerja yang mengalami gangguan pendengaran. 2 pekerja yang mengalami gangguan pendengaran tersebut berasal dari fabrikasi dan 3 pekerja lainnya berasal dari yard. Hal ini diperkuat dengan tingkat kebisingan pada area fabrikasi dan yard yang melebihi NAB walaupun dalam perhitungan L eq efektif masih dibawah NAB. Selain itu, dari hasil audiometri, dari 5 pekerja yang mengalami gangguan pendengaran, 4 pekerja diantaranya juga diduga mengalami NIHL atau gangguan pada frekuensi 4000 Hz. Jadi, dapat disimpulkan pekerja tersebut juga mengalami gangguan pendengaran dari kebisingan. Menurut NIOSH, gangguan pendengaran akibat bising dengan intensitas tinggi dapat merusak sel-sel rambut pada koklea. Jika dilihat dari masa kerja, seluruh pekerja yang mengalami gangguan pendengaran bekerja selama lebih dari 5 tahun. Hal ini menunjukkan pekerja tersebut mengalami gangguan setelah bekerja terus menerus di tempat bising. Selain itu, jika dilihat dari hobi terdapat 2 pekerja yang mengalami gangguan pendengaran. Selanjutnya, dilihat dari tempat tinggal, dominan pekerja tinggal di kawasan bising. Hal ini menunjukkan adanya paparan kebisingan dari tempat kerja, masa kerja, dan tempat tinggal yang menyebabkan pekerja mengalami gangguan pendengaran. Noise Induced Hearing Loss adalah gangguan pendengaran akibat bising. Gangguan ini dilihat dengan adanya takik atau lekukan dengan bentuk „V‟ pada frekuensi 4000 Hz dari hasil audiometrinya. Dari hasil analisis audiogram 46 pekerja dan telah dikoreksi usia, terdapat 14 pekerja yang mengalami gangguan pendengaran NIHL. Dari 14 pekerja ini, mereka berada dominan di fungsi kerja yang memiliki tingkat bising yang tinggi, yaitu test bench, fabrikasi, dan yard. Selain itu, semua pekerja NIHL memiliki masa kerja lebih dari sama dengan 3 tahun dan bekerja di area bising. Hal ini sesuai dengan teori yang ada bahwa pekerja yang bekerja sekitar 35 tahun dan terpajan bising terus menerus akan mulai terjadi kerusakan pada organ pendengaran, biasanya hanya terjadi pada frekuensi 4000 Hz (Oedono, 1990). Jika dilihat dari pemakaian APT, terdapat 9 pekerja yang mengalami NIHL mengakui jarang menggunakan APT. Hal ini menunjukkan pekerja yang mengalami NIHL dominan disebabkan oleh pemakaian APT yang jarang sehingga menyebabkan pajanan bising yang diterima oleh pekerja melebihi nilai ambang batas yang diijinkan. Namun, jika dilihat dari hobi dan tempat tinggal pekerja, pekerja yang mengalami NIHL sebanyak 3 orang. Selain itu, gangguan ini juga merupakan indikasi awal dari Analisis pajanan..., Delfina Siagian, FKM UI, 2014 status pendengaran pekerja yang normal (perhitungan HTL rata-rata) dapat berubah menjadi tuli ringan nantinya jika terpajan bising terus-menerus. Karena itu, perlu dilakukan pengendalian dan evaluasi secara berkala khususnya pada frekuensi 4000 Hz untuk mencegah menjadi tuli ringan. Kejadian NIHL di dalam penelitian ini hanya melihat penurunan ambang dengar diatas 25 dB pada frekuensi 4000 Hz dan gambar lekukan pada hasil audiogram (Penurunan awal NIHL). Oleh karena itu, perlu diagnosis lebih lanjut. Hasil analisis pada penelitian ini juga menyatakan dari 5 pekerja yang mengalami gangguan pendengaran ringan, 4 pekerjanya juga termasuk dalam pekerja yang mengalami NIHL. Jika demikian, tidak menutup kemungkinan dari 14 pekerja yang mengalami NIHL lama kelamaan akan menjadi tuli ringan seperti 5 pekerja yang sekarang telah mengalami tuli. 14 orang tersebut juga mayoritas berasal dari fungsi kerja yang memiliki tingkat bising yang tinggi. Dari penelitian ini didapatkan hasil bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara L equivalent dengan gangguan pendengaran. Akan tetapi, menurut penelitian yang telah ada sebelumnya, terdapat hubungan yang signifikan antara pajanan bising dengan kejadian gangguan pendengaran. Hal itu terjadi karena kemungkinan ada faktor penyebab lainnya, seperti sebagian besar pekerja yang mengalami penurunan terpajan pajanan bising yang terdahulu. Berdasarkan informasi dari pekerja, beberapa tahun yang lalu saat belum memiliki sistem K3 yang baik, pekerja terpajan bising dahulu dengan tidak menggunakan APT dan waktu kerja yang berlebihan. Walaupun begitu, jika dilakukan analisis statistik dengan pekerja yang pendengarannya menurun, maka didapatkan hasil bahwa proporsi kejadian gangguan pendengaran pada pekerja yang memiliki L equivalent diatas NAB lebih besar dibandingkan proporsi kejadian gangguan pendengaran pada pekerja yang memiliki L equivalent kurang dari sama dengan NAB. Berdasarkan hasil penelitian, terdapat empat pekerja yang yang mengalami penurunan pada kelompok pekerja yang berusia lebih dari 40 tahun dan satu pekerja mengalami penurunan pada kelompok yang berusia kurang dari sama dengan 40 tahun. Namun secara statistik tidak ada hubungan yang bermakna antara usia dengan gangguan pendengaran. Hal ini tidak sejalan dengan penelitian National Instistute on Deafness and Other Communication Dissorder, ada hubungan yang kuat antara umur dan gangguan pendengaran. Terdapat 18% orang dewasa Amerika berumur 45-64 tahun mengalami gangguan pendengaran (NIDCD, 2014). Akan tetapi, jika dilihat dari proporsi kejadian gangguan pendengaran pada pekerja yang berusia lebih dari 40 tahun lebih besar daripada proporsi pada pekerja yang berusia kurang dari sama dengan 40 tahun. Dalam Analisis pajanan..., Delfina Siagian, FKM UI, 2014 Fundamental of Industrial Hygiene, menyatakan bahwa usia diatas 40 tahun terjadi penurunan ambang dengar sebesar 0.5 dBA setiap tahunnya (Standard, 2002). Ini disebabkan fungsi-fungsi dari organ pendengaran mengalami degenerasi atau penurunan. Setelah dilakukan koreksi faktor usia terhadap pekerja yang mengalami gangguan pendengaran, lima pekerja mengalami gangguan pendengaran. Hal ini menunjukkan, bahwa pekerja yang mengalami penurunan pendengaran tersebut kemungkinan memiliki kontribusi faktor lainnya selain usia sehingga mengalami gangguan pendengaran. Kelima responden ini juga memiliki masa kerja melebihi 15 tahun baik di dalam maupun di luar PT. X. Hal ini menunjukkan bahwa faktor usia dan masa kerja pekerja dapat berkontribusi dalam kejadian gangguan pendengaran pada responden tersebut. Berdasarkan hasil penelitian, seluruh responden yang mengalami gangguan pendengaran memiliki masa kerja lebih dari 5 tahun. Selain itu, hasil statistik menunjukkan tidak terdapat hubungan yang bermakna antara masa kerja dengan kejadian gangguan pendengaran. Namun, dilihat dari proporsi kejadian gangguan pendengaran yang ada, seluruh pekerja yang memiliki gangguan pendengaran, memiliki masa kerja diatas 5 tahun. Hal ini sesuai dengan teori yang ada yang menyatakan bahwa jika pekerja semakin lama bekerja di tempat bising (lima tahun atau lebih), maka risiko mengalami penurunan pendengaran akan semakin besar (Bashiruddin, 2001). Gangguan pendengaran pada pekerja yang terpajan bising biasanya terjadi setelah masa kerja 5 10 tahun setelahnya. Ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan, setelah 5 tahun kerja pada 85 dBA, 1% pekerja akan memperlihatkan gangguan pendengaran minor. Setelah 10 tahun kerja, 3% pekerja mengalami kehilangan pendengaran dan setelah 15 tahun meningkat menjadi 5%, Pada tingkat 90 dBA, bahkan presentasenya berturut-turut dapat mencapai 4%, 10%, dan 14% (WHO, 1993). Selain masa kerja terkait kebisingan di PT. X, terdapat 3 responden yang mengalami gangguan pendengaran memiliki riwayat bekerja di tempat bising sebelum bekerja di PT. X. Walaupun responden tersebut memiliki riwayat bekerja di tempat bising kurang dari 5 tahun, namun hal ini kemungkinan dapat berkontribusi juga dalam terjadinya gangguan pendengaran pada responden tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara pemakaian APT dengan gangguan pendengaran. Dari pengisian kuesioner, mayoritas pekerja sering menggunakan APT selama bekerja. APT yang para pekerja gunakan adalah earplug dengan NRR 26 dBA dan earmuff dengan NRR 23 dBA. Dalam proporsi kejadian gangguan pendengaran pekerja yang sering menggunakan APT seharusnya lebih kecil, namun sebaliknya. Hal ini dapat disebabkan Analisis pajanan..., Delfina Siagian, FKM UI, 2014 belum adanya pengukuran dampak dan efektifitas pada saat pekerja menggunakan APT. Hal ini dapat tergantung dengan faktor kedisiplinan dan faktor kesesuaian pekerja dalam menggunakan APT. Dari pemakaian APT, kekurangannya ialah sulitnya memantau terus menerus apakah pekerja sudah memakai secara sesuai dan disiplin (Maltby, 2005). Karena itu, perlu dilakukannya pengawasan secara berkala. Walaupun dalam kuesioner, responden menjawab menggunakan APT namun dampak pemakaiannya juga dapat mempengaruhi perlindungan pendengaran. Hobi atau kebiasaan terkait bising dapat memberikan kontribusi bagi pendengaran. Hasil penelitian ini menunjukkan antara hobi dengan gangguan pendengaran tidak memiliki hubungan yang signifikan. Proporsi kejadian gangguan pendengaran pada kelompok pekerja yang memiliki hobi terkait bising juga lebih kecil dibandingkan dengan proporsi kejadian gangguan pendengaran pada pekerja yang tidak memiliki hobi terkait bising. Hal ini disebabkan distribusi frekuensi pekerja yang memiliki hobi terkait bising lebih kecil. Dari kelompok pekerja yang memiliki hobi, mayoritas memiliki hobi mendengar musik dengan headset yang intensitasnya dapat dilakukan setiap hari. Hobi yang berkaitan dengan suara yang keras atau kebisingan merupakan hal yang dapat berkontribusi dalam gangguan pendengaran. Dari dua responden yang mengalami gangguan pendengaran dan tinggal di kawasan bising menyatakan bahwa mereka telah tinggal dikawasan tersebut selama 15 tahun dan 20 tahun. Dari hasil uji statistik, menunjukkan tidak adanya hubungan yang signifikan antara tempat tinggal dengan gangguan pendengaran. Namun, jika dilihat dari proporsi kejadian penurunan pendengaran pada kelompok pekerja dengan kawasan bising lebih besar dari kelompok pekerja dengan kawasan tidak bising. Hasil penelitian ini juga sejalan dengan hasil penelitian yang diakukan Adenan menemukan sebanyak 50% menderita tuli saraf akibat bising pada penduduk dengan rata-rata lama tinggal 17 tahun (Adenan dalam Bashiruddin, 2009). Kesimpulan Penelitian ini menemukan bahwa Leq pajanan yang diterima pekerja berkisar antara 77.6 dBA94.7 dBA. Leq pajanan efektif yang diterima seluruh pekerja masih dibawah NAB seperti yang diatur pada Permenaker No. 13 Tahun 2011. Dari hasil audiometri, didapatkan status pendengaran pada pekerja di PT.X adalah sebanyak 89.1% pekerja memiliki pendengaran normal dan 10.9% pekerja memiliki gangguan pendengaran. Terdapat 14 pekerja (30.4%) yang Analisis pajanan..., Delfina Siagian, FKM UI, 2014 mengalami gangguan NIHL. Dari 14 pekerja yang mengalami NIHL, dominan peerja memiliki masa kerja > 5 tahun, dan jarang menggunakan APT (9 orang). Dari 5 pekerja yang mengalami gangguan pendengaran, 4 pekerja diantaranya mengalami NIHL. Secara statistik menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan setiap variabel dengan gangguan pendengaran, namun pekerja yang tidak fit atau jarang dalam menggunakan APT dapat menyebabkan pajanan bising pada pekerja melebihi nilai ambang batas sehingga mempengaruhi kejadian gangguan pendengaran. Saran Peneliti menyarankan perusahaan untuk meningkatkan kegiatan maintenance atau pemeliharaan mesin secara berkala supaya tingkat kebisingan tidak meningkat. Hal ini disebabkan kondisi mesin atau alat yang kurang dipelihara dengan baik dapat meningkatkan kebisingan. Melakukan survey kebisingan secara berkala menggunakan SLM (Sound Level Meter) untuk kebisingan lingkungan kerja pada setiap area kerja bising serta noise dosimeter untuk mengukur pajanan personal pekerja. Survey pengukuran ini dilakukan untuk dapat mengevaluasi bahaya bising yang dapat memajani pekerja. Bila memungkinkan, sebaiknya lakukan pemeriksaan pra kerja pada calon pekerja yang bekerja di area bising baik itu berasal dari kontraktor maupun perusahaan. Selalu melakukan pemeriksaan dan evaluasi audiometri pada frekuensi 4000 Hz supaya dapat melihat apakah ada pekerja yang mengalami penurunan pada frekuensi 4000 Hz yang nantinya dapat berpotensi menjadi tuli ringan. Sebaiknya pihak manajemen memastikan apakah pemeriksaan audiometri yang dilaksanakan oleh vendor yang bekerja sama sudah sesuai atau belum dengan standar prosedur pemeriksaan audiometri yang seharusnya. Selain itu, pekerja dengan usia yang cukup tua atau sensitifitas pendengarannya sudah mulai menurun karena faktor usia, sebaiknya frekuensi untuk terpajan bisingnya lebih diringankan sehingga penurunan pendengaran yang dialami tidak semaknin parah. Memberikan training kepada para pekerja mengenai area-area kerja mana saja yang memiliki tingkat kebisingan dan wajib menggunakan APT saat bekerja di tempat bising serta bagaimana cara penggunaan APT yang efektif. Memberikan sign/ tanda wajib menggunakan APT di area-area bising di tempat kerja. Meningkatkan pengawasan kepada para pekerja untuk mengoptimalkan penggunaan APT yang efektif, salah satunya melakukan inspeksi APD. Dalam inspeksi dapat melakukan observasi dan intervensi jika terdapat pekerja yang tidak sesuai atau tidak disiplin Analisis pajanan..., Delfina Siagian, FKM UI, 2014 dalam menggunakan APT. Perusahaan menyimpan dan mendokumentasi data hasil pengukuran kebisingan dan pemeriksaan audiometri (berupa audiogram pekerja) dengan baik. Data yang ada dapat digunakan sebagai dasar untuk mengembangkan program kerja yang ada. Kepustakaan Bashiruddin, Jenny. (2001). “Obat Ototoksik dan Gangguan Pendengaran. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Bagian Telinga Hidung dan Tenggorokkan”. Majalah Kedokteran Indonesia. 2001:37-39. Bashiruddin, Jenny. (2009). “Program Konservasi Pendengaran Pada Pekerja yang Terpajan Bising Industri”. Majalah Kedokteran Indonesia. Vol 59 No.1:14-19 Buchari. (2008). Kebisingan. Diunduh dari: http://library.usu.ac.id/download/ft/07002749.pdf. Diakses pada 28 April 2014, Pukul 17:54 WIB. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2002). Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1405/Menkes/SK/XI/2002 Tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Kerja, Perkantoran dan Industri. Jakarta : Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia. (2011). Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Per.13/Men/X/2011 Tahun 2011 Tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika dan Faktor Kimia di Tempat Kerja. Jakarta : Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia. Maltby M. (2005). Occupational Audiometric, Monitoring, dan Proctecting Hearing at Work, Elseiver, Great Britain. NIDCD. (2014). Statistics and Epidemiology of Hearing Loss. Diunduh http://www.nidcd.nih.gov/health/statistics/quick.htm (22 Mei 2014, 02.10 WIB). dari NIOSH. (2011). Noise and Hearing Loss Prevention. Diunduh dari http://www.cdc.gov/niosh/topics/noise/. Diakses pada tanggal 15 April 2014, pukul 18:32 WIB. NJCLA (New Jersey Landscape Contractors Association). (2008). Noise and Hearing Loss Prevention. Diunduh dari: http://www.njlca.org/pages/Safety/Noise%20and%20Hearing%20Loss%20Prevention.pdf. Diakses pada tanggal 15 April 2014, pukul 19:21 WIB. Occupational Health & Safety Administration (OSHA). (2008). Hearing Conservation Program (HCP). Washington, DC: Author. Oedono, Tedjo.(1990). Pengaruh Bising Lingkungan Kerja Pada Pendengaran Karyawan Pertamina. Biro Kesehatan Pertamina. Yogyakarta. Analisis pajanan..., Delfina Siagian, FKM UI, 2014 Suwento, Ronny. (2007). Standar Pelayanan Kesehatan Indera Pendengaran di Puskesmas. Komnas PGPKT. Jakarta Soetjipto, Damayanti. (2007). “Gangguan Pendengaran dan Ketulian”. Komnas Penanggulangan Gangguan Pendengaran dan Ketulian, Jakarta. Standard, John J. (2002). Chapter 9: Industrial Noise, dalam Barbara A. Plog dan Patricia J. Quinlan (editor), Fundamentals of Industrial Hygiene 5th Edition. United States of America : National Safety Council. Tambunan, Sinar Tigor. (2005). Kebisingan di Tempat Kerja (Occupational Health). Penerbit Andi. Yogyakarta. Tana, Lusianawaty, et al. (2002). “Gangguan Pendengaran Akibat Bising Pada Pekerja Perusahaan Baja di Pulau Jawa”. Jurnal Kedokteran Trisakti Vol 21 No. 3, September-Desember 2002, 84-90. Tekriwal, Rini, et al. 2. (2011). Noise Induced Hearing Loss – A Comparison Between Speech Frequency and 4000 Hz Frequency. National Journal of Physiology, Pharmacy & Pharmacology, Vol 1, Issue 2, 79-85, India. Diunduh dari ://www.scopemed.org/?mno=8539. Diakses pada 15 April 2014, pukul 19:07 WIB. . WHO. (1993). Deteksi Dini Penyakit Akibat Kerja. Alih Bahasa: Joko Suyono. Editor: Caroline, Wijaya. Penerbit Buku Kedokteran EGC: Jakarta. Analisis pajanan..., Delfina Siagian, FKM UI, 2014