aacl bioflux - Portal Garuda

advertisement
Vol. 1 No. 2 Hal. 87 - 92
Juli – Desember 2013
ISSN (Print) : 2337-6198
ISSN (Online) : 2337-618X
Implementasi Pendidikan Karakter di Lembaga Pendidikan Formal
Hj. Deliani
Dosen Kopertis Wilayah I Dpk. FKIP UISU Medan Jl. Sisingamangaraja Medan
E-mail: [email protected]
ABSTRACT
Character education based on basic human character from the universal moral which is based on
religious values that are considered as “The Golden Rule”. Character education can have definite
goals when based on the core values of love of God and his creation, responsibility, honesty,
respect and courtesy, compassion, caring and cooperation, confidence, creativity, hard work and
perseverance, justice and leadership, good and humble, peace-loving, tolerance and love of unity.
Nowadays many people are demanding an increase in the intensity and quality of implementation
of character education in the formal education institution, these claims are based on a growing
social phenomenon, namely the rising juvenile delinquency in society, such as a mass brawl and a
variety of other cases of moral decadence. Even in some big cities, such symptoms has reached the
extent that disturbing. Therefore the formal educational institutions as the official youth coaching
containers is expected to boost its role in shaping the personality of teenagers through an increase
in the intensity and quality of character education.
Keywords : character education, formal education institution, moral, personality, teenagers.
A. Latar Belakang
Persoalan budaya dan karakter bangsa kini menjadi sorotan tajam masyarakat. Sorotan itu
mengenai berbagai aspek kehidupan, tentang dalam berbagai tulisan di media cetak, wawancara,
dialog, dan gelar wicara di media elektronik. Selain di media massa, para pemuka masyarakat,
para ahli, dan para pengamat pendidikan, dan pengamat sosial berbicara mengenai persoalan
budaya dan karakter bangsa di berbagai forum seminar, baik pada tingkat lokal, nasional,
maupun internasional. Persoalan yang muncul di masyarakat seperti korupsi, kekerasan,
kejahatan seksual, perusakan, perkelahian massa, kehidupan ekonomi yang konsumtif,
kehidupan politik yang tidak produktif, dan sebagainya menjadi topik pembahasan hangat di
media massa, seminar, dan di berbagai kesempatan. Berbagai alternatif penyelesaian diajukan
seperti peraturan, undang-undang, peningkatan upaya pelaksanaan dan penerapan hukum yang
lebih kuat.
Alternatif lain yang banyak dikemukakan untuk mengatasi, paling tidak mengurangi, masalah
budaya dan karakter bangsa yang dibicarakan itu adalah pendidikan. Pendidikan dianggap
sebagai alternatif yang bersifat preventif karena pendidikan membangun generasi baru bangsa
yang lebih baik. Sebagai alternative yang bersifat preventif, pendidikan diharapkan dapat
mengembangkan kualitas generasi muda bangsa dalam berbagai aspek yang dapat memperkecil
dan mengurangi penyebab berbagai masalah budaya dan karakter bangsa. Memang diakui
bahwa hasil dari pendidikan akan terlihat dampaknya dalam waktu yang tidak segera, tetapi
memiliki daya tahan dan dampak yang kuat di masyarakat.
B. Pembahasan
1. Pembangunan Karakter Siswa
Penegasan yang menyebutkan bahwa pendidikan berfungsi untuk mengembangkan pembinaan
watak sebagai tujuan (output) penyelenggaraan pendidikan tentu akan berkaitan dengan
seperangkat acuan nilai dan norma yang berkembang dan dijadikan pegangan oleh masyarakat.
Nilai sebagai sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan manusia dan norma yang berfungsi
mengatur hak dan kewajiban secara pembinaan peserta didik. Muara dari usaha tersebut
87
Hj. Deliani: Implementasi Pendidikan Karakter di Lembaga Pendidikan Formal
ditegaskan dengan segenap potensi yang dimiliki untuk menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,
mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Pendidikan dasar sebagai salah satu jenjang pendidikan dalam system pendidikan nasional
diibaratkan sebagai tiket masuk atau “paspor” untuk melanjutkan perjalanan berikutnya.
Gagalnya pendidikan pada tahap ini terutama dalam pembinaan sikap/nilai diyakini akan
berdampak sistemik terhadap pendidikan berikutnya. Orientasi penyelenggaraan pendidikan
dasar sangat menekankan pada pembinaan kepribadian, watak dan karakter anak. Karena itu,
integrasi pendidikan yang sarat dengan nilai dan pembentukan karakter diperlukan untuk
membekali peserta didik dalam mengantisipasi tantangan ke depan yang dipastikan akan
semakin berat dan kompleks. Guru sebagai pengembang kurikulum selanjutnya dituntut untuk
mampu secara terampil menghadirkan suasana dan aktivitas pembelajaran yang berorientasi
pada penanaman dan pembinaan kepribadian, watak dan karakter.
2. Hakikat Pendidikan Nilai
Kebutuhan akan penanaman pendidikan mulai Nampak dan dirasakan penting setelah maraknya
berbagai bentuk penyimpangan asusila dan amoral di tengah masyarakat. Hampir setiap hari ada
saja pemberitaan di media cetak dan elektronik tentang pembunuhan, pemerkosaan, seks bebas
di luar nikah, aborsi, peredaran dan pemakaian narkoba, bahkan pernah dilansir kasus
pemerasan yang dilakukan geng anak usia Sekolah Dasar (SD). Tentu hal ini membuat gelisah
dan cemas terutama akan dirasakan oleh para orangtua termasuk pihak lembaga sekolah yang
mengemban tugas melakukan untuk mendidik, melatih dan membimbing anak didiknya. Ini
persoalan serius dan perlu mendapat perhatian ekstra khusunya bagi pelaku-pelaku dunia
pendidikan.
Ketidakseimbangan desain pendidikan yang hanya memfokuskan pada pencapaian aspek
intelektual atau ranah kognitif semata dan mengabaikan aspek penanaman atau pembinaan
nilai/sikap diduga sebagai penyebab munculnya degradasi atau demoralisasi terutama yang
dialami oleh anak sekolah. Gaffar (Sauri:2009) menyebutkan bahwa pendidikan bukan hanya
sekedar menumbuhkan dan mengembangkan keseluruhan aspek kemanusiaan tanpa diikat oleh
nilai, tetapi nilai itu merupakan pengikat dan pengarah proses pertumbuhan dan perkembangan
tersebut.
Nilai sebagai suatu yang berharga, baik, luhur, diinginkan dan dianggap penting oleh
masyarakat pada gilirannya perlu diperkenalkan pada anak. Sanjaya (2007) mengartikan nilai
(value) sebagai norma-norma yang dianggap baik oleh setiap individu. Inilah yang menurutnya
selanjutnya akan menuntun setiap individu menjalankan tugas-tugasnya seperti nilai kejujuran,
nilai kesederhanaan dan lain sebagainya. Mulyana (2004) pendidikan nilai sebagai bantuan
terhadap peserta didik agar menyadarinya dan mengalami nilai-nilai serta menempatkannya
secara integral dalam keseluruhan hidupnya. Pendidikan nilai tidak hanya merupakan program
khusus yang diajarkan melalui sejumlah mata pelajaran, akan tetapi mencakup keseluruhan
program pendidikan. Nursid Sumaatmadja (2002) menambahkan bahwa pendidikan nilai ialah
upaya mewujudkan manusia seutuhnya yaitu manusia yang beriman dan berkepedulian terhadap
kebutuhan serta kepentingan orang lain; yang intinya menjadi manusia yang terdidik baik
terdidik dalam imannya, ilmunya maupun akhlaknya serta menjadi warga negara dan dunia
yang baik (well educated men and good citizenship).
Sebagai perbandingan, penerapan konsep-konsep pendidikan nilai menurut Sofyan Sauri (2007)
pernah diterapkan pada sebuah lembaga pendidikan di Thailand dengan menggunakan suku kata
yang terdapat dalam kata “EDUCATION” yang memiliki arti sebagai berikut:
88
Hj. Deliani: Implementasi Pendidikan Karakter di Lembaga Pendidikan Formal
E
D
U
C
A
T
I
O
N
: Singkatan untuk Englightenment (Pencerahan). Ini adalah proses pencapaian
pemahaman dari dalam diri atau batin melalui peningkatan kesadaran menuju pikiran
super sadar yang akan memunculkan intuisi, kebijaksanaan dan pemahaman.
: Singkatan untuk Duty and Devotion (Tugas dan Pengabdian). Pendidikan harus
membuat siswa menyadari tugasnya dalam hidup. Selain memiliki tugas atau kewajiban
yang terhadap orang tua dan keluarga, siswa juga memiliki kewajiban yang
berlandaskan cinta kasih dan belas kasih untuk melayani dan menolong semua orang di
masyarakat dan di dunia.
: Singkatan untuk Understanding (Pemahaman). Ini bukan hanya mengenai pemahaman
terhadap mata pelajaran yang diberikan dalam kurikulum nasional tetapi juga penting
untuk memahami diri sendiri.
: Singkatan untuk Character (Karakter). Guru mesti membentuk karakter yang baik pada
diri siswa. Seorang yang berkarakter adalah seseorang yang memiliki kekuatan moral
dan lima nilai kemanusiaan yaitu: Kebenaran, Kebajikan, Kedamaian, Kasih sayang dan
tanpa Kekerasan. Nilai kemanusiaan tersebut harus terpadu dalam pembelajaran di
kelas.
: Singkatan untuk Action (Tindakan). Para siswa jaman sekarang belajar dengan giat dan
menuangkan pengetahuan yang dipelajarinya dalam ruang ujian tetapi keluar kelas
dengan kepala kosong. Pengetahuan yang mereka peroleh jika tidak diterapkan dalam
tindakan tak akan berguna. Apapun yang dipelajari siswa mesti diterapkan dalam
praktik. Model pembelajaran yang baik mesti mengkomunikasikan antara yang
dipelajari dan situasi nyata dalam kehidupan nyata.
: Singkatan untuk Thanking (Berterima kasih). Siswa harus selalu berterima kasih kepada
orang-orang yang telah membantu mereka. Di atas segalanya adalah orang tua yang
telah melahirkan dan mengasuh mereka. Siswa harus mengasihi dan menghormati orang
tua mereka. Selanjutnya siswa harus berterima kasih kepada para guru karena siswa
memperoleh pengetahuan dan kebijaksanaan melalui mereka. Maka siswa harus
bersikap mengasihi dan menghormati guru. Demikian pula, siswa telah mendapatkan
banyak hal dari masyarakat, bangsa, dunia dan alam. Siswa mesti selalu berterima kasih
kepada semua hal dalam hidupnya.
: Singkatan untuk Integrity (Integritas). Integritas adalah sifat jujur dan karakter
menjunjung kejujuran. Siswa harus tumbuh menjadi seseorang yang memiliki integritas,
bisa dipercaya untuk menjadi pemimpin di bidangnya masing-masing.
: Singkatan untuk Oneness (Kesatuan). Pendidikan mesti membantu siswa melihat
kesatuan dalam keberagaman. Apakah kita memiliki agama atau kepercayaan berbeda,
warna kulit, suku atau ras yang berbeda dan lain-lain. Kita harus hidup damai dan
harmonis dengan dunia sekitar kita.
: Singkatan untuk Nobility (Kemuliaan). Kemuliaan adalah sifat yang muncul karena
memiliki karakter yang tinggi atau mulia. Kemuliaan tidak timbul dari lahir tetapi
muncul dari pendidikan. Jadi, kemuliaan terdiri dari semua nilai-nilai yang dijelaskan di
atas.
Berdasarkan konsep-konsep yang telah dikemukakan tadi, kunci pendidikan nilai terletak pada
penanaman nilai-nilai luhur ke dalam diri peserta didik.
Nilai-nilai tersebut yaitu:
a. Kecintaan kepada Tuhan dan segenap ciptaan-Nya (love God, trust, reverence, loyalty);
b. Tanggung jawab, kedisiplinan dan kemandirian (responsibility, excellence, self reliance,
discipline, orderliness);
c. Kejujuran/amanah dan arif (trustwortines, honesty and tactful);
d. Hormat dan santun (respect, courtesy, obedience);
e. Dermawan, suka menolong dan gotong royong/kerjasama (love, compassion, caring,
emphaty, generousity, moderation, cooperation);
89
Hj. Deliani: Implementasi Pendidikan Karakter di Lembaga Pendidikan Formal
f. Percaya diri, kreatif dan pekerja keras (confidence, assertiveness, creativity, resourcefulness,
courage, determination, enthusiasm);
g. Kepemimpinan dan keadilan (justice, fairness, mercy, leadership);
h. Baik dan rendah hati (kindness, friendliness, humility, modesty) toleransi, kedamaian dan
kesatuan (tolerance, flexibility, peacefulness, unity).
Penanaman nilai-nilai tersebut memerlukan pembiasan. Artinya sejak usia dini termasuk pada
tingkatan anak sekolah dasar, anak mulai dibiasakan mengenal mana prilaku atau tindakan yang
baik dan mana yang buruk, mana yang boleh dilakukan mana yang tidak sehingga diharapkan
pada gilirannya menjadi sebuah kebiasaan (habit). Perlahan-lahan sikap/nilai-nilai luhur yang
ditanamkan tersebut akan terinternalisasi ke dalam dirinya dan membentuk kesadaran sikap dan
tindakan sampai usia dewasa.
Hal pertama yang harus diketahui dalam penyelenggaraan pendidikan dasar ialah mengenal,
menggali dan mengembangkan potensi dasar yang dimiliki abak usia Sekolah Dasar (SD/MI).
Sumaatmadja, (2005) menjelaskan bahwa pada prinsipnya anak sebagai individu memiliki
empat dasar mental yaitu meliputi dorongan ingin tahu (sense of curiosity), minat (sense of
interest), dorongan ingin melihat (sense of reality), dorongan untuk menemukan diri sendiri halhal dan gejala-gejala dalam kehidupan (sense of discovery). Dasar mental tadi merupakan
modal yang sangat berharga bagi pelaksanaan dan penyelenggaraan pendidikan. Oleh karena
itu, harus dipupuk dan dikembangkan secara positif bagi kepentingan anak sendiri. Selanjutnya
sebagai anggota masyarakat, dasar mental yang dimiliki harus dibina kearah tanggungjawab
anak tersebut sebagai insan social. Kewajaran kehidupan mereka dapat dikatakan normal, bila
dasar mental mereka serasi dengan kondisi dan situasi kehidupan sosialnya.
Upaya yang dapat dilakukan guru untuk mengintegrasikan pendidikan nilai di Sekolah Dasar
dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa pendekatan diantaranya adalah sebagai berikut.
a. Pendekatan Penanaman Nilai
Pendekatan penanaman nilai (inculcation approach) ialah suatu pendekatan yang
menitikberatkan pada penanaman nilai-nilai social agar mampu terinternalisasi dalam diri
siswa. Metode pembelajaran yang dapat digunakan oleh guru saat menerapkan ke proses
kegiatan pembelajaran diantaranya melalui penanaman teladan, penguatan sikap positif dan
negatif, simlasim bermain peran, tindakan social dan lain-lain.
b. Pendekatan Perkembangan Kognitif
Lawrence Kohlberg (Dorothy J. Skeel:1995) menyatakan bahwa anak-anak akan mencapai
kemampuan untuk membuat keputusan nilai berdasarkan tingkatan dan tahapan
perkembangan moral. Pendekatan ini memandang bahwa siswa merupakan individu yang
memiliki potensi kognitif yang sedang dan akan terus tumbuh dan berkembang. Karena itu,
melalui pendekatan ini siswa didorong untuk membiasakan berpikir aktif tentang seputar
masalah-masalah moral yang hadir di sekeliling mereka dimana siswa dilatih untuk belajar
dalam membuat keputusan-keputusan moral. Melalui pendekatan ini, tujuan yang ingin
dicapai pertama, sesuai dengan tingkat perkembangannya, siswa dibantu untuk mampu
membuat pertimbangan moral mulai dari yang paling sederhana menuju tingkatan yang lebih
kompleks berdasarkan kepada tata nilai yang lebih tinggi. Kedua, siswa berikutnya didorong
untuk mendiskusikan rasionalisasi atau alas an-alasan terhadap nilai yang dipilih kaitannya
dengan masalah-masalah moral.
c. Pendekatan Klarifikasi Nilai
Orientasi pendekatan klarifikasi nilai (values clarification) ialah member penekanan untuk
membantu siswa mengkaji perasaan dan perbuatannya sendiri, kemudian secara bertahap
kemampuan kesadaran mereka ditingkatan terhadap nilai-nilai mereka sendiri. Tujuan
pendidikan nilai menurut pendekatan ini ada tiga pencapaian, yaitu: pertama, membantu
siswa untuk menggali, menemukan, menyadari serta mengidentifikasi nilai-nilai yang
terdapat pada diri mereka sendiri serta nilai-nilai orang lain. Kedua, mendorong siswa untuk
90
Hj. Deliani: Implementasi Pendidikan Karakter di Lembaga Pendidikan Formal
mampu berkomunikasi secara terbuka dan jujur dengan orang lain yang berkaitan dengan
nilai yang mereka miliki. Ketiga, memfasilitasi siswa agar mereka mampu secara bersamasama mengembangkan dan meningkatkan kemampuan berpikir rasional dengan disertai
kesadaran emosional dalam memahami hal-hal yang berhubungan dengan perasaan, nilainilai dan pola tingkah laku mereka sendiri.
d. Pendekatan Pembelajaran Berbuat
Karakteristik pendekatan pembelajaran berbuat (action learning approach) berupaya
menekankan pada usaha guru untuk memfasilitasi dengan memberikan kesempatan kepada
siswa untuk melakukan perbuatan-perbuatan moral yang dilakukan baik secara perseorangan
maupun berkelompok. Menurut pendekatan ini ada dua tujuan utama pendidikan moral yang
diharapkan dapat dimiliki oleh siswa, pertama, siswa terlebih dahulu diberi kesmpatan untuk
melakukan perbuatan moral sesuai dengan yang mereka pilih berdasarkan pertimbangan
alasan moral dan nilai-nilai mereka sendiri. Kedua, guru mengajak siswa untuk memahami
konsep diri (self concept), yaitu dengan membantu siswa untuk melihat diri mereka sendiri
sebagai makhluk individu dan makhluk social dalam berinteraksi sehari-hari di tengah
kehidupan masyarakat.
3. Pembangunan Karakter
Sekolah-sekolah di daerah harus membangun karater siswa yang positif sehinggat tidak hanya
mencetak generasi yang berhasil dalam bidang kognitif (nilai) tapi juga afektif (moral).
“Pembangunan bangsa dimulai dari pembangunan karakter pelajar dari usia dini sehingga untuk
memajukan bangsa ini diperlukan kurikulum yang tidak hanya mencetak siswa berprestasi
dalam nilai namun juga siswa yang berkarater berani, postif namun tetap sopan”.
Sekolah memiliki peran yang besar dalam pembentukan karakter siswa sebab selama delapan
jam siswa berada di sekolah untuk belajar. Sedangkan waktu dirumah lebih sedikit
dibandingkan dengan di sekolah sehingga pembentukan karakter siswa tersebut seharusnya
dapat dibentuk di sekolah melalui kurikulum pendidikan.
4. Upaya Peningkatan Karakter dan Prestasi Siswa
Saat ini, ada kecenderungan masyarakat maupun sekolah sekadar memacu siswa untuk memiliki
kemampuan akademik tinggi tanpa diimbangi pembentukan karakter yang kuat dan cerdas.
Terdapat dua strategi untuk membentuk guru yang berkarakter kuat dan cerdas. Strategi pertama
adalah strategi formal yang dilakukan pada saat calon pendidik mengikuti proses pendidikan.
Strategi kedua adalah program tindak lanjut dari strategi pertama yang dilakukan saat lulusan
telah menjadi pendidik. Pendidikan karakter juga tidak bisa diserap melalui sekadar ceramah,
akan tetapi harus berulang-ulang dilakukan.
5. Pendidikan Olahraga Dapat Membangun Karakter Siswa
Distorsi dalam segi moral yang melanda karakter masyarakat Indonesia dapat dibangun melalui
pendidikan olahraga. Pendekatan dengan pendidikan olahraga itu sendiri dapat dilakukan
keoada siswa di kelas, sekolah ataupun di dalam rumah. Pendidikan karakter dapat dilakukan
bersamaan dengan kegiatan belajar mengajar yang diintegrasikan dalam setiap mata pelajaran.
Sebab, pendidikan jasmani tersebut tidak sekadar gerak badam, tapi juga alat yang strategis
untuk membina karkater. Dalam olahraga mengandung nilai-nilai kejujuran dan sportivitas.
Karena itu, merupakan langkah yang sangat maju untuk memposisikan kembali olahraga dalam
pembentukan karakter.
6. Pentingnya Character Building
Pendidikan di sekolah bukan sekadar memberikan berbagai macam pengetahuan, namun
pendidikan juga harus bisa membentuk karakter siswanya. Hal inilah yang tidak terlalu
91
Hj. Deliani: Implementasi Pendidikan Karakter di Lembaga Pendidikan Formal
diabaikan oleh para pengajar di Indonesia. Para guru lebih mengedepankan pencapaian prestasi
akademis setinggi-tingginya tanpa memperhatikan hal lain seperti pembentukan karakter.
7. Peran Guru Dalam Character Building
Dalam memasukkan nilai-nilai karakter pada siswa, hal yang tidak dapat dipisahkan adalah
peran guru. Menurut Karen Bohlin, Deborah Farmer dan Kevin Ryan dalam Megawangi (2004,
ada tujuh kompetensi yang harus dimiliki oleh para pendidik atau giri dalam membangun
karakter siswa:
a. Para pendidik harus dapat menjadikan dirinya sebagai contoh berkarakter yang baik dan
mempunyai komitmen untuk menegakan kebenaran.
b. Para pendidik harus mampu menjadikan tujuan pembentukan karakter muridnya sebagai
suatu yang prioritas dan merupakan bagian terpenting dari pekerjaan profesionalnya.
c. Para pendidik harus senantiasa mengadakan diskusi tentang isu-isu moral dengan muridmuridnya, tentang bagaimana seharusnya menjalanan hidup serta menjelakamn apa yang
baik dan apa yang buruk.
d. Para pendidik harus dapat menyampaikan secara diplomasi (bijak) mengenai posisinya pada
isu-isu etika, tanpa harus membebani mereka dengan pendapat dan opini pribadi.
e. Para pendidik harus dapat mengajarkan empati terhadap orang lain yaitu mengajaknya untuk
keluar dari diri mereka dan melihat dari perspektif orang lain.
f. Para pendidik harus dapat menciptakan suasana kelas yang bernuansa karate, yang
menerapkan standar etika tinggi dan penghormatan untuk semua.
g. Para pendidik harus dapat membuat serangkaian aktivitas untuk mempraktikkan nilai-nilai
karakter di rumah, di sekolah dan di komunitas lingkungan, agar mereka bisa tumbuh
menjadi manusia yang peduli untuk selalu melakukan kebajikan.
C. Kesimpulan
Pada dasarnya manusia adalah makhluk dengan berbagai karakter, baik karakter buruk maupun
karakter baik. Pembentukan karakter dapat dimulai sejak anak usia dini, sehingga karakter anak
mudah terbentuk. Sebenarnya pembentukan bukan hanya tugas guru tetapi tugas orangtua juga
sangat berperan.
Pada zaman sekarang ini, pembangunan karakter di sekolah/madrasah adalah sebuah kebutuhan.
Sekolah/madrasah tidak lagi hanya tempat untuk belajar bidang akademik tetapi juga sebagai
tempat pembangunan karakter siswa. Dengan demikian diharapkan nantinya, sekolah/madrasah
dapat menghasilkan lulusan yang berkualitas yaitu lulusan yang tidak hanya cerdas tetapi juga
berkarakter. Karakter yang dimaksud tentunya tidak terlepas dari nilai-nilai moral dan agama
yang menjadi bekal dalam hidup bermasyarakat dan bernegara.
Daftar Pustaka
Amri, Sofan, dkk. 2011. Implementasi Pendidikan Karakter dalam Pembelajaran. Jakarta : PT.
Prestasi Pustakaraya.
Mulyana, Rahmat. 2004. Mengartikulasikan Pendidikan Nilai. Bandung : Alfabeta.
Muslich, Masnur. 2011. Pendidikan Karakter Menjawab Tantangan Krisis Multidimensional.
Jakarta : Bumi Aksara.
Raka, Gede, dkk. 2011. Pendidikan Karakter di Sekolah. Jakarta : PT. Elex Media Komputindo.
Sanjaya, Wina. 2007. Kurikulum dan Pembelajaran Sekolah Dasar. Bandung : SPs UPI.
Sauri, Sofyan. 2009. Implementasi Pendidikan Nilai dalam Paedagogik dan Penyusunan Unsurunsurnya. Bandung : SPs PU UPI.
Soedarsono, Soemarno H. 2002. Character Building. Jakarta : PT. Elex Media Computindo.
Sumaatmadja, Nursid. 2005. Konsep Dasar IPS. Jakarta : Pusat Penerbitan Universitas Terbuka.
92
Download