BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengeringan Rangkaian proses

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Pengeringan
Rangkaian proses pengeringan secara garis besar merupakan metoda
penguapan yang dapat dilakukan untuk melepas air dalam fasa uapnya dari dalam
objek yang dikeringkan. Penguapan ini dapat dilakukan dengan dua cara yakni,
cara pertama adalah dengan memberikan panas kedalam bahan tersebut sehingga
terjadi kenaikan temperaturnya untuk keperluan memanaskan dan selanjutnya
untuk menguapkan sejumlah air. Ataupun dengan cara menangkap uang air oleh
udara yang telah dikondisikan (dipanaskan atau didinginkan).
Setiap operasi dalam rantai produksi memanfaatkan sumber daya dan
meningkatkan biaya, maka pemahaman yang tinggi tentang proses pengeringan
dalam kaitannya dengan produk tertentu adalah penting. Proses pengeringan
meliputi perpindahan panas dan massa. Uap air yang dihilangkan dapat berada
dipermukaan dan juga didalam produk; sehingga pengeringan secara normal
mengeluarkan air dari dua level ini ( Garg and Bhargava, 1989).
Kandungan air yang lebih rendah pada permukaan akan memaksa keluar
air dari dalam produk. Migrasi kandungan air keluar diperlambat oleh daya tarik
molekul air. Tingkatan daya tarik ini dan karenanya tahanan internal terhadap
kehilangan uap air tergantung pada sifat higroskopis dan koloid serta ukurang pori
yang membangun gerakan kapiler fulida ( Karel et al. 1975).
Perpindahan kandungan air ke permukaan padatan selama pengeringan
terjadi melalui berbagai mekanisme termasuk diffuse, kapilaritas dan tekanan
internal disebabkan oleh pengkerutan selama pengeringan, faktor-faktor ini
mungkin terjadi secara kombinasi (Menon and Mujumdar, 1987). Tingkat dan
sifat dari proses ini serta efisiensi mereka dalam memindahkan uap air keluar
tergantung pada perpindahan panas internal, derajak porositas dan higroskopisitas
dari bahan serta sifat dasar dari batas uap air-padatan (Keey 1978, Menon and
Mujumdar, 1987).
Universitas Sumatera Utara
Faktor-faktor yang berpengaruh dalam proses pengeringan adalah suhu,
kelembaban udara, laju aliran udara, kadar air awal bahan dan kadar air akhir
bahan.
a. Proses perpindahan panas
Proses perpindahan panas terjadi karena adanya perbedaan suhu udara pengering
dengan suhu bahan yang dikeringkan, dimana suhu udara pengering lebih tinggi
dari suhu bahan. Panas yang dialirkan melalui udara pengering akan
meningkatkan suhu bahan, sehingga air dalam bahan berubah menjadi uap air.
b. Proses perpindahan Massa Uap Air
Peningkatan suhu bahan karena proses perpindahan panas akan menyebabkan
tekanan uap air di dalam bahan lebih tinggi dari tekanan uap air pada udara
pengering, sehingga terjadi perpindahan uap air bahan ke udara.
Kelembaban relatif udara pengering akan turun dengan adanya
peningkatan suhu udara pengering, Hal ini menyebabkan kelembaban relatif udara
pengering lebih rendah dari kelembaban relatif bahan. Selanjutnya panas yang
dialirkan ke permukaaan bahan akan meningkatkan tekanan uap air bahan
sehingga tekanan uap air bahan lebih tinggi dari tekanan uap air udara pengering.
Dengan kondisi demikian akan terjadi perpindahan massa uap air dari
bahan ke udara pengering dan disebut sebagai proses penguapan. Proses
penguapan air dari bahan akan terus berlangsung sampai terjadi kesetimbangan
tekanan uap air antara bahan dengan pengering.
Pengaruh temperature dan humiditas udara pengeringan terhadap
pelepasan uap air adalah saling berhubungan. Semakin tinggi temperature duara
diikuti dengan humiditas udara yang lebih rendah pada volume udara tertentu
akan meningkatkan kapasitasnya dalam mengikat uap air.
Temperatur udara yang lebih tinggi menambah kemungkinan perpindahan
panas pada produk. Ketika yang terakhir ini terjadi, tekanan uap didalam produk
meningkat dan evaporasi uap air dari permukaan menjadi lebih mudah (Menon
and Mujumdar, 1987).
Ketika penguapan berlangsung dan kandungan uap air pada volume tetap
terus bertambah, kapasitas udara untuk mengakomodir lebih banyak uap semakin
Universitas Sumatera Utara
berkurang. Oleh karenanya udara jenuh disekitar produk harus segera digantikan
dengan menetapkan kondisi tertentu untuk temperature dan humiditas udara, maka
jumlah uap air yang dihilangkan tergantung pada volume udara yang dibawa pada
kontak dengan produk. Ketika evaporasi uap air tidak terbatas, menjaga atau
meningkatkan laju aliran udara dapat menjamin keberlangsungan proses
pengeringan.
2.2.
Mekanisme Perpindahan Panas
Mekanisme Perpindahan Panas dibagi menjadi tiga , yaitu :
a. Perpindahan Panas Konduksi
b. Perpindahan Panas Konveksi
c. Perpindahan Panas Radiasi
2.2.1.
Perpindahan Panas Konduksi
Konduksi adalah proses perpindahan panas dari suatu bagian benda padat
atau material ke bagian lainnya. Perpindahan panas secara konduksi dapat
berlangsung pada benda padat, umumnya logam. Jika salah satu ujung sebuah
batang logam diletakkan di atas nyala api, sedangkan ujung yang satu lagi
dipegang, bagian batang yang dipegang ini suhunya akan naik, walaupun tidak
kontak secara langsung dengan nyala api.
Pada perpindahan panas secara konduksi tidak ada bahan dari logam yang
berpindah. Yang terjadi adalah molekul-molekul logam yang diletakkan di atas
nyala api membentur molekul-molekul yang berada di dekatnya dan memberikan
sebagian panasnya. Molekul-molekul terdekat kembali membentur molekulmolekul terdekat lainnya dan memberikan sebagian panasnya, dan begitu
seterusnya di sepanjang bahan sehingga suhu logam naik.
Jika pada suatu logam terdapat perbedaan suhu, maka pada pada logam
tersebut akan terjadi perpindahan panas dari bagian bersuhu tinggi ke bagian
bersuhu rendah. Besarnya laju perpindahan panas (q) berbanding lurus dengan
luas bidang (A) dan perbedaan suhu
pada logam tersebut seperti
ditunjukkan pada Gambar 2-1.
Universitas Sumatera Utara
Secara matematis dinyatakan sebagai :
=− (2.1)
Keterangan :
q = laju perpindahan panas
k = konduktifitas termal
A = Luas Penampang
Tanda minus (-) menunjukkan arah perpindahan panas terjadi dari bagian yang
bersuhu tinggi ke bagian yang bersuhu rendah.
Gambar 2.1 Perpindahan Panas konduksi
Nilai kondukitivitas thermal suatu bahan menunjukkan laju perpindahan
panas yang mengalir dalam suatu bahan. Konduktivitas thermal kebanyakan
bahan merupakan fungsi suhu, dan bertambah sedikit kalau suhu naik, akan tetapi
variasinya kecil dan sering kali diabaikan. Jika nilai konduktivitas thermal suatu
bahan makin besar, maka makin besar juga panas yang mengalir melalui benda
tersebut. Karena itu, bahan yang harga k-nya besar adalah penghantar panas yang
baik, sedangkan bila k-nya kecil bahan itu kurang menghantar atau merupakan
isolator.
Apabila dalam sistem itu terdapat lebih dari satu macam bahan, misalnya dinding
berlapis rangkap seperti pada Gambar 2.2, maka aliran panas dapat dituliskan
sebagai :
= −∆
(
−
)=−
∆
(
−
)=−
∆
(
−
)
(2.2)
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.2 Konduksi Berlapis
Persamaan tersebut mirip dengan hukum Ohm dalam aliran listrik. Dengan
demikian perpindahan panas dapat dianalogikan dengan aliran arus listrik seperti
ditunjukkan pada Gambar 2.3.
Gambar 2.3 Analogi Tahanan Termal Konduksi
Menurut analogi diatas, perpindahan panas sama dengan :
=
∆
(2.3)
∑
Jika ketiga persamaan diatas dipecahkan serentak, maka aliran panasnya adalah :
=
(
∆
) (
(
∆
)
) (
∆
(2.4)
)
Sehingga persamaan Fourier dapat dituliskan sebagai berikut :
Harga tahan thermal total
=
ℎ
tergantung pada susunan dinding penyusunnya,
apakah bersusun seri atau parallel atau gabungan.
Universitas Sumatera Utara
2.2.2. Konduksi pada Silinder
Arah perpindahan panas pada benda berbentuk silinder seperti tabung atau
pipa adalah radial. Pada Gambar 2.4 ditunjukkan suatu pipa logam dengan jari-jari
dalam ri, jari-jari luar ro, dan panjang L, perbedaan suhu permukaan dalam
dengan permukaan luar adalah ∆ =
−
Gambar 2.4 Konduksi Pada Silinder
Aliran perpindahan panas pada elemen dr yang jaraknya r dari titik pusat adalah
=−
(2.5)
Luas bidang permukaan silinder berjari-jari r adalah
=2
(2.6)
Sehingga
=2
(2.7)
Dan Perpindahan panas dari permukaan dalam ke permukaan luar silinder adalah :
=
(
)
(2.8)
Maka tahanan termal silinder adalah :
=
(2.9)
Dengan demikian, analogi listrik aliran panas pada silinder dapat dibuat seperti
gambar 2.5
Gambar 2.5 Analogi Tahanan Termal Pada Silinder
Universitas Sumatera Utara
2.2.3. Perpindahan Panas Konveksi
Perpindahan panas terjadi secara konveksi dari pelat ke sekeliling atau
sebaliknya. Perpindahan panas konveksi dibedakan menjadi dua yaitu konveksi
bebas dan konveksi paksa.
Gambar 2.6 Perpindahan Panas Konveksi
Pada konveksi pelat akan mendingin lebih cepat
Gambar 2.7 Konveksi Paksa
Adapun persamaan dasar konveksi, adalah :
= ℎ (
−
)
(2.10)
Keterangan :
q = laju perpindahan panas
h = koefisien perpindahan panas konveksi
A = luas permukaan
Universitas Sumatera Utara
Tw = temperatur dinding
T∞ = temperatur sekeliling
Prinsip Perpindahan Panas Secara Konveksi
Panas yang dipindahkan pada peristiwa konveksi dapat berupa panas laten
dan panas sensible. Panas laten adalah panas yang menyertai proses perubahan
fasa, sedang panas sensible adalah panas yang berkaitan dengan kenaikan atau
penurunan temperatur tanpa perubahan fasa.
2.2.4. Perpindahan Panas Radiasi
Perpindahan Panas radiasi adalah panas yang dipindahkan dengan cara
memancarkan gelombang elektromagnetik. Berbeda dengan mekanisme konduksi
dan konveksi, radiasi tidak membutuhkan medium perpindahan panas. Sampainya
sinar matahari ke permukaan bumi adalah contoh yang paling jelas dari
perpindahan panas radiasi.
.
4
4
Qr   . . A.(T1  T2 )
dimana:
(2.11)
Qr
= laju perpindahan panas radiasi (W)

= emisivitas panas permukaan (0    1)

= konstanta Stefan Boltzmann (5,67 x 10-8 W/m2K4)
A
= luas permukaan (m2)
Karakteristik Radiasi dari Permukaan Benda Hitam:
1. Emisi Permukaan
Sifat
dari
permukaan
radiasi
(emisivitas)
didefinisikan
sebagai
perbandingan radiasi yang dihasilkan oleh permukaan benda hitam pada
temperatur yang sama. Emisivitas mempunyai nilai yang berbeda tergantung
kepada panjang gelombang dan arahnya. Nilai emisivitas bervariasi dari 0-1, di
mana benda hitam mempunyai nilai emisivitas 1.
Universitas Sumatera Utara
2. Absorbsivitas (Penyerapan)
Absorbsi adalah proses pada saat suatu permukaan menerima radiasi.
Akibat langsung dari proses penyerapan ini adalah terjadinya peningkatan energi
dari dalam medium yang terkena panas tersebut.
3. Transmisivitas
Transmisivitas
adalah
fraksi
dari
jumlah
energi
radiasi
yang
ditransmisikan perjumlah total energi radiasi yang diterima suatu permukaan.
Gambar 2.8 Perpindahan Panas Radiasi
Gabungan Konduksi, Konveksi & Radiasi
qkonv = hA (Tw - T∞)
Aliran, T∞
Gambar 2.9 Gabungan Konveksi, Konduksi, Dan Radiasi
Universitas Sumatera Utara
2.3.
Siklus Kompresi Uap
SKU mempunyai komponen utama, yaitu kompresor, kondensor, katup
ekspansi, dan evaporator, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.10
Gambar 2.10 Siklus Kompresi Uap Sederhana
Diagram T-s ( T adalah temperature dan s adalah entropi [kJ/kgK]
ditampilkan pada gambar 2.11(a). ). Diagram P-h (P adalah tekanan dan h adalah
entalpi) ditampilkan pada grafik pada Gambar 2.11(b).
Proses-proses termodinamika yang terjadi pada SKU ini dapat dibagi atas 4 proses
ideal, yaitu:
1) 1-2s: adalah proses kompresi isentropik dari tekanan evaporator ke
tekanan kondensor. Pada titik 1, idealnya refrigeran berada pada fasa cair
jenuh setelah menyerap panas pada suhu rendah dari evaporator.
2) 2s-3: adalah perpindahan panas yang diikuti kondensasi dari kondensor
pada tekanan konstan. Pada bagian awal sisi masuk kondensor refrigeran
mash dalam kondisi superheat dan akibat pendingin akan turun suhunya
hingga mencapai temperature kondensasi, dan akhirnya menjadi cair
jenuh pada sisi keluar kondensor.
3) 3-4: adalah ekspansi adiabatik dari tekanan kondensor ke tekanan
evaporator. Akibat penurunan tekanan, temperatur akan turun. Pada sisi
Universitas Sumatera Utara
masuk evaporator sebagian fluida berada pada fasa cair dan sebagian lagi
menjadi uap.
4) 4-1: adalah penguapan pada tekanan konstan. Di sini fluida menyerap
panas dari medium agar dapat menguap. Refrigeran akan, seluruhnya
menguap di sisi keluar evaporator dan siklus akan berulang ke langkah 1.
(a)
(b)
Gambar 2.11 (a) Diagram T-s dan (b) Diagram P-h SKU sederhana
2.4.
Jenis-Jenis Pengeringan
Jenis-jenis pengeringan berdasarkan karakteristik umum dari beberapa
pengering konvensional dibagi atas 8 bagian, yaitu: (Arun S. Mujumdar, Chung
Lim Law, 2009)
a) Baki atau wadah
Pengeringan jenis baki atau wadah adalah dengan meletakkan material yang
akan dikeringkan pada baki yang lansung berhubungan dengan media
pengering. Cara perpindahan panas yang umum digunakan adalah konveksi
dan perpindahan panas secara konduksi juga dimungkinkan dengan
memanaskan baki tersebut.
b) Rotary
Pada jenis ini ruang pengering berbentuk silinder berputar sementara material
yang dikeringkan jaruh di dalam ruang pengering. Medium pengering,
umumnya udara panas, dimasukkan ke ruang pengering dan bersentuhan
dengan material yang dikeringkan dengan arah menyilang. Alat penukar
Universitas Sumatera Utara
panas yang dipasang di dalam ruang pengering untuk memungkinkan
terjadinya konduksi.
c) Flash
Pengering dengan flash (flash dryer) digunakan untuk mengeringkan
kandungan air yang ada di permukaan produk yang akan dikeringkan. Materi
yang dikeringkan dimasukkan dan mengalir bersama medium pengering dan
proses pengeringan terjadi saat aliran medium pengering ikut membawa
produk yang dikeringkan. Setelah proses pengeringan selesai, produk yang
dikeringkan akan dipisahkan dengan menggunakan hydrocyclone.
d) Spray
Teknik pengeringan spray umumnya digunakan untuk mengeringkan produk
yang berbentuk cair atau larutan suspensi menjadi produk padat. Contohnya,
proses pengeringan susu cair menjadi susu bubuk dan pengeringan produkproduk farmasi. Cara kerjanya adalah cairan yang akan dikeringkan dibuat
dalam bentuk tetesan oleh atomizer dan dijatuhkan dari bagian atas. Medium
pengering (umumnya udara panas) dialirkan dengan arah berlawanan atau
searah dengan jatuhnya tetesan. Produk yang dikeringkan akan berbentuk
padatan dan terbawa bersama medium pengering dan selanjutnya dipisahkan
dengan hydrocyclone.
e) Fluidized bed
Pengeringan dengan menggunakan kecepatan aliran udara yang relatif tinggi
menjamin
medium
yang
dikeringkan
terjangkau
oleh
udara.
Jika
dibandingkan dengan jenis wadah, jenis ini mempunyai luas kontak yang
lebih besar.
f) Vacum
Pengeringan dengan memanfaatkan ruangan bertekanan udara rendah.
Dimana pada ruangan tersebut tidak terjadi perpindahan panas, tetapi yang
terjadi adalah perpindahan massa pada suhu rendah.
Universitas Sumatera Utara
g) Membekukan
Pengeringan dengan menggunakan suhu yang sangat rendah. Biasanya
digunakan pada produk-produk yang bernilai sangat tinggi, seperti produk
farmasi dan zat-zat kimia lainnya.
h) Batch dryer
Pengeringan jenis ini hanya baik digunakan pada jumlah material yang sangat
sedikit, seperti penggunaan pompa panas termasuk pompa panas kimia.
Pada Tugas Skripsi ini akan dilakukan simulasi pengeringan tipe wadah dengan
menggunakan pompa kalor sebagai sumber energi pemanas udara pengering.
Gambar 2.12 Pengering Menggunakan Sistem Pompa Kalor
2.5.
Pengering Sistem Pompa Kalor
Pompa kalor merupakan salah satu sistem yang dapat dimanfaatkan pada
teknologi pengeringan. Teknologi ini telah banyak di manfaatkan di Australia dan
Eropa.
Pompa
kalor
sebagai
pengering
berpotensi
menghemat
energi
Universitas Sumatera Utara
(Denkenberberg, et al. 2013). Pompa kalor untuk pengeringan pakaian atau Heat
Pump Clothes Dryers (HPCDs) dapat menghemat energi sebesar 50% dibanding
sistem pengering pakaian listrik konvensional, dan karenanya memiliki potensi
menyimpan energi yang besar (Meyers, et al. 2010).
Pada penelitian ini, panas buangan kondensor yang akan dimanfaatkan
sebagai sumber energi untuk melakukan pengeringan. Prinsip kerja pengering
pompa kalor diilustrasikan seperti Gambar 2.13.
Pompa kalor melalui kondensor memberikan panas kepada aliran udara
luar. Proses ini akan menghasilkan udara panas dan kering. Udara ini akan
dimasukkan ke dalam ruang pengering dan berinteraksi dengan bahan yang akan
dikeringkan. Seperti yang ditunjukkan gambar, panas yang dikeluarkan oleh
kondensor dimanfaatkan untuk menguapkan air dari suatu bahan. Udara panas
dari kondensor dialirkan ke ruang pengeringan, selanjutnya udara hasil
pengeringan menjadi lembab (basah). Udara sisa ini akan dibuang ke lingkungan.
Sementara sisi evaporator tidak akan diganggu atau tetap melakukan fungsi
refrigerasi.
Gambar 2.13 Siklus Pengering Dengan Sistem Pompa Kalor
Karakteristik penting dari sebuah pompa kalor adalah bahwa jumlah panas
yang dapat ditransfer lebih besar daripada energi yang diperlukan untuk
menggerakkan siklus. Perbandingan antara panas yang dapat diserap dan energi
yang dibutuhkan dikenal dengan Coefficient of Performance (COP).
Universitas Sumatera Utara
Energi Listrik yang digunakan untuk menggerakkan pompa kalor yang
digunakan untuk memanaskan lingkungan beriklim sedang biasanya memiliki
COP 3,5 pada kondisi desain. Ini berarti bahwa untuk setiap1 kWh listrik yang
digunakan untuk menggerakkan pompa kalor akan dapat ditarik panas di
evaporator sebesar 3,5 kWh (Brown 2009). Kemudian gabungan panas ini,
sebesara 4,5 kWh, akan dibuang di kondensor berupa panas sisa atau buangan.
Beberapa peneliti telah melaporkan penelitian yang berhubungan dengan
pompa kalor untuk pengeringan beberapa produk. Hii, dkk (2010) melakukan
pengeringan biji kakao menggunakan sistem pompa kalor yang beroperasi pada
temperatur dan humiditas rendah. Hasil pengeringan ini mampu meningkatkan
mutu (pH, warna dan aroma) dibanding sampel komersial dari negara-negara
produsen kakao.
P.Suntivarakorn dkk (2010) melakukan penelitian kajian pengering
pakaian dengan menggunakan panas sisa dari Air Conditioner (AC) dengan
kapasitas 12.648 Btu/h. Luas ruang pengeringan 0,5 x 1,0 m2. Percobaan
dilakukan dalam 2 aspek yaitu pengeringan pakaian dengan dan tanpa kipas
tambahan dan. hasilnya adalah laju pengeringan 2,26 kg/jam dan 1,1 kg/jam.
2.6.
Analisis Performansi Pengering Pompa Kalor
Kajian tentang performansi suatu unit pengering system pompa kalor
dapat dianalisis dengan cara menghitung beberapa parameter performansi, seperti:
efisiensi pengeringan, nilai laju ekstraksi air spesifik, konsumsi energi spesifik,
laju pengeringan, kinerja dari pompa kalor (COP) dan kinerja dari sistem
kompresi uap hibrid.
2.6.1
Efisiensi Pengeringan (EP)
Efisiensi Pengeringan dihitung dengan cara membandingkan jumlah energi
yang digunakan untuk menguapkan kandungan air bahan dengan jumlah energi
yang digunakan untuk memanaskan udara pengering, dinyatakan dalam persen.
Semakin tinggi nilai efisiensi pengeringan maka performansi alat pengering
tersebut semakin baik.
Perhitungan efisiensi pengeringan dapat dilakukan dengan menggunakan
persamaan sebagai berikut :
Universitas Sumatera Utara
x100%
η=
(2.12)
dimana, Qp adalah energi yang digunakan untuk pengeringan (kJ) dan Q adalah
energi untuk memanaskan udara pengering (kJ).
2.6.2
Nilai Laju Ekstraksi Uap Spesifik atau Spesific Moisture Extraction
Rate (SMER)
SMER merupakan perbandingan jumlah air yang dapat diuapkan dari
bahan dengan energi listrik yang digunakan tiap jam atau energi yang dibutuhkan
untuk menghilangkan 1 kg air (Mehdi Torki Harchegani, 2012), dinyatakan dalam
kg/kWh. Perhitungan SMER menggunakan persamaan sebagai berikut : (Mahlia,
Hor and Masjuki, 2010)
=
2.6.3
̇
(
(2.13)
)
Konsumsi Energi Spesifik atau Specific Energy Consumption (SEC)
SEC adalah perbandingan antara energi yang dikonsumsi dengan
kandungan air yang hilang, dinyatakan dalam kWh/kg dan dihitung dengan
menggunakan persamaan sebagai berikut : (Mahlia, Hor dan Masjuki, 2010) :
=
̇
(
) (2.14)
dimana X adalah kandungan air yang hilang.
2.6.4
Laju Pengeringan (Drying Rate)
Laju pengeringan adalah perbandingan antara jumlah air yang dihilangkan
dengan waktu yang diperlukan, dinyatakan dalam kg/jam, dihitung dengan
menggunakan persamaan sebagai berikut : (Suntivarakorn, et al. 2010)
̇
=
(2.15)
dimana w0 adalah berat bahan sebelum pengeringan (kg), wf adalah berat bahan
setelah pengeringan (kg), dan t adalah waktu pengeringan (jam).
2.6.5
Kinerja dari Pompa Kalor
Kinerja dari suatu pompa kalor dapat dinyatakan dalam coefficient of
performance (COP), yang didefinisikan sebagai perbandingan antara kalor yang
dilepaskan oleh kondensor dengan kerja yang dibutuhkan untuk menggerakkan
kompressor. (Oktary and Hepbasli 2003) :
Universitas Sumatera Utara
=
,
̇
̇
(2.16)
̇
(
= ̇
−
)
(2.17)
̇ = ̇ (ℎ − ℎ )
Dimana ̇
(2.18)
adalah kalor yang dilepaskan oleh kondensor (kJ),
yang masuk dalam kompressor (kJ),
adalah panas spesifik udara,
dan
̇
̇ adalah kerja
adalah laju aliran massa udara,
masing-masing adalah suhu rata-rata
udara keluar dan masuk kondensor. Dan ℎ dan ℎ adalah entalpi pada tekanan
evaporator dan kondensor.
2.6.6
Total Performance (TP)
Sebuah system kompresi uap dengan memanfaatkan evaporator dan
kondensor sekaligus disebut dengan system kompresi uap hibrid. Kinerja dari
sebuah system kompresi uap hibrid dinyatakan dengan Total Performance (TP),
yang dirumuskan sebagai berikut :
=
(2.19)
dimana
adalah kalor yang diserap oleh evaporator,
dilepaskan oleh kondensor, dan
adalah kalor yang
adalah kerja Kompressor. Kalor yang diserap
oleh evaporator dihitung dengan menggunakan persamaan berikut :
= ̇ (ℎ − ℎ )
2.6.7
(2.20)
Faktor Prestasi (FP)
Faktor Prestasi adalah perbandingan jumlah kalor yang dilepaskan
kondensor dengan kerja kompressor
=
2.7.
=
(
)
(
)
(2.21)
Periode Laju Pengeringan
Menurut Henderson dan Perry (1955), proses pengeringan memiliki 2
(dua) periode utama yaitu periode pengeringan dengan laju pengeringan tetap dan
periode laju pengeringan menurun. Kedua periode utama ini dibatasi oleh kadar
air kritis (critical moisture content).
Henderson dan Perry (1955) menyatakan bahwa pada periode pengeringan
dengan laju tetap, bahan mengendung air yang cukup banyak, dimana pada
Universitas Sumatera Utara
permukaan bahan berlangsung penguapan yang lajunya dapat disamakan dengan
laju penguapan pada permukaan air bebas. Laju penguapan sebagian besar
tergantung pada keadaan sekeliling bahan, sedangkan pengaruh bahannya sendiri
relative kecil.
Laju pengeringan akan menurun seiring dengan penurunan kadar air
selama pengeringan. Jumlah air terikat makin lama semakin berkurang. Perubahan
dari laju pengeringan tetap menjadi laju pengeringan menurun untuk bahan yang
berbeda akan terjadi pada kadar air yang berbeda pula.
Pada periode laju pengeringan menurun permukaan partikel bahan yang
dikeringkan tidak lagi ditutupi oleh lapisan air. Selama periode laju pengeringan
menurun, energi panas yang diperoleh bahan digunakan untuk menguapkan sisa
air bebas yang sedikit sekali jumlahnya.
Laju pengeringan menurun terjadi setelah laju pengeringan konstan
dimana kadar air bahan lebih kecil daripada kadar air kritis (Gambar 2.14).
Periode laju pengeringan menurun meliputi dua proses, yaitu: perpindahan dari
dalam ke permukaan dan permindahan uap air dari permukaan bahan ke udara
sekitarnya.
Gambar 2.14 Grafik Hubungan Kadar Air Dengan Waktu.
Universitas Sumatera Utara
Keterangan :
AB = Periode pemanasan
BC = Periode laju pengeringan menurun pertama
CD = Periode laju pengeringan menurun pertama
DE = Periode laju pengeringan menurun kedua
2.8.
Kadar Air
Kadar air merupakan salah satu sifat fisik dari bahan yang menunjukan
banyaknya air yang terkandung di dalam bahan. Kadar air biasanya dinyatakan
dengan persentase berat air terhadap bahan basah atau dalam gram air untuk setiap
100 gram bahan yang disebut dengan kadar air basis basah (bb). Berat bahan
kering atau padatan adalah berat bahan setelah mengalami pemanasan beberapa
waktu tertentu sehingga beratnya tetap atau konstan.
Kadar air bahan menunjukkan banyaknya kandungan air persatuan bobot
bahan. Dalam hal ini terdapat dua metode untuk menentukan kadar air bahan
tersebut yaitu berdasarkan bobot kering (dry basis) dan berdasarkan bobot basah
(wet basis).
Kadar air basis basah dapat ditentukan dengan persamaan berikut:
Kabb =
Wa
Wt
x 100%=
Wt-Wk
Wt
x 100%
(2.22)
Dimana:
Kabb
= Kadar air basis basah (%)
Wa
= Berat air dalam bahan (gram)
Wk
= Berat kering mutlak bahan (gram)
Wt
= Berat total (gram) = Wa + Wk
Universitas Sumatera Utara
Kadar air basis kering adalah perbandingan antara berat air yang ada
dalam bahan dengan berat padatan yang ada dalam bahan. Kadar air berat kering
dapat ditentukan dengan persamaan berikut:
Kabk =
Wa
Wk
x 100%=
Wt-Wk
Wt-Wa
x 100%
(2.23)
Dimana:
Kabk
= Kadar air basis kering (%)
Wa
= Berat air dalam bahan (g)
Wk
= Berat kering mutlak bahan (g)
Wt
= Berat total (g) = Wa + Wk
Kadar air basis kering adalah berat bahan setelah mengalami pengeringan
dalam waktu tertentu sehingga beratnya konstan. Pada proses pengeringan, air
yang terkandung dalam bahan tidak dapat seluruhnya diuapkan meskipun
demikian yang diperoleh disebut juga sebagai berat bahan kering.
2.9.
Moisture Ratio (Rasio Kelembaban)
Sama halnya dengan laju kadar air, rasio kelembaban juga mengalami
penurunan selama proses pengeringan. kenaikan suhu udara pengeringan
mengurangi waktu yang diperlukan untuk mencapai setiap tingkat rasio
kelembaban sejak proses transfer panas dalam ruang pengeringan meningkat.
Sedangkan, pada suhu tinggi, perpindahan panas dan massa juga meningkat dan
kadar air bahan akan semakin berkurang [7].
Rasio kelembaban (moisture ratio) pada pakaian selama pengeringan
dihitung dengan menggunakan persamaan berikut:
MR=
Mt -Me
Mo -Me
(2.24)
Dimana MR merupakan moisture ratio (rasio kelembaban), Mt merupakan
kadar air pada saat t (waktu selama pengeringan, menit), Mo merupakan kadar air
awal bahan, dan Me merupakan kadar air yang diperoleh setelah berat bahan
Universitas Sumatera Utara
konstan. Nilai satuan Mt, Mo dan Me merupakan persentase dari kadar air basis
kering bahan.
2.10.
Perhitungan Analisis Titik Impas (Break Even Point)
Analisis titik impas digunakan untuk mengetahui keterkaitan antara
volume produksi, volume penjualan, harga jual, biaya produksi, serta laba dan
rugi. Dengan
kata
lain
analisis
titik
impas
merupakan teknik
untuk
mengetahui besarnya volume pendapatan dari pengeringan pakaian sehingga
produk pengeringan tidak mengalami kerugian.
- Nilai BEP dalam jumlah pengeringan dapat dihitung dengan :
BEP =
–
(2.25)
Universitas Sumatera Utara
Download