BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Infeksi Saluran

advertisement
1 BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) adalah pembunuh utama
balita di dunia, lebih banyak dibandingkan dengan penyakit lain seperti
AIDS, malaria, dan campak. Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) adalah
penyakit infeksi akut yang menyerang salah satu bagian atau lebih dari
saluran napas mulai dari hidung hingga kantong paru (alveoli) termasuk
jaringan adneksanya seperti sinus/rongga disekitar hidung (sinus para nasal),
rongga telinga tengah, dan pleura (Departemen Kesehatan RI, 2009).
Terjadinya Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) dipengaruhi atau
ditimbulkan oleh tiga hal yaitu adanya kuman (terdiri dari lebih dari 300
jenis bakteri, virus, dan riketsia), keadaan daya tahan tubuh (status nutrisi,
imunisasi), dan keadaan lingkungan (rumah yang kurang ventilasi, lembab,
basah, dan kepadatan penghuni). Selain itu faktor risiko yang secara umum
dapat menyebabkan terjadinya ISPA adalah keadaan sosial ekonomi
menurun gizi buruk, pencemaran udara, dan asap rokok (Departemen
Kesehatan RI, 2002).
Menurut Yusari (2014) Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA)
merupakan salah satu penyebab kesakitan dan kematian pada balita.
Menurut World Health Organization (WHO) dalam Yusari (2014), penyakit
ISPA merupakan penyakit yang paling sering menyebabkan kematian pada
anak balita, sehingga ISPA masih merupakan penyakit yang mengakibatkan
kematian cukup tinggi.
1 2 World Health Organization (WHO) memperkirakan insidens ISPA
di negara berkembang dengan angka kematian balita di atas 40 per 1000
kelahiran hidup adalah 15% - 20% per tahun pada golongan usia balita.
Menurut WHO ± 13 juta anak balita di dunia meninggal setiap tahun dan
sebagian besar kematian tersebut terdapat di negara berkembang, di mana
pneumonia merupakan salah satu penyebab utama kematian dengan
membunuh ± 4 juta anak balita setiap tahun (Rismawati, dkk, 2012).
Di Indonesia, ISPA menempati urutan pertama penyebab kematian
pada kelompok bayi dan balita. ISPA juga berada pada daftar 10 penyakit
terbanyak di rumah sakit. Survey mortalitas yang dilakukan oleh Sub dit
ISPA tahun 2010 menempatkan ISPA sebagai penyebab kematian bayi
terbesar di Indonesia dengan presentase 22,30% dari seluruh kematian balita
(Sudrajad, 2010).
Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) merupakan
penyakit yang sering terjadi pada anak. Episode penyakit batuk-pilek pada
balita di Indonesia diperkirakan 3 – 6 kali per tahun. Infeksi Saluran
Pernafasan Akut (ISPA) juga merupakan salah satu penyebab utama
kunjungan pasien di sarana kesehatan. Sebanyak 40% – 60% kunjungan
berobat di Puskesmas dan 15% – 30% kunjungan berobat di bagian rawat
jalan dan rawat inap Rumah Sakit disebabkan oleh ISPA. (Departemen
Kesehatan RI, 2009).
Berdasarkan data Riskesdas (2013), period prevalence ISPA
penduduk DKI Jakarta yang terdiagnosis (D) ISPA oleh tenaga kesehatan
adalah sebesar 12,5% dan yang mengalami gejala (G) ISPA adalah sebesar
25,2%. Khusus untuk penduduk wilayah Jakarta Utara, period prevalence
3 ISPA yang terdiagnosis (D) oleh tenaga kesehatan adalah sebesar 14,5% dan
yang mengalami gejala (G) ISPA adalah sebesar 24,3%. Hal ini
menunjukkan perlu ditingkatkannya program pengendalian penyakit Infeksi
Saluran Pernafasan Akut (P2 ISPA) karena penyakit tersebut berhubungan
dengan Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM) di Indonesia.
Perilaku merokok di dalam rumah dapat berdampak negatif bagi
anggota keluarga lainnya terutama balita. Asap rokok mengandung ribuan
bahan kimia beracun dan bahan-bahan yang dapat menimbulkan kanker
(karsinogen). Bahkan bahan berbahaya dan racun dalam rokok tidak hanya
mengakibatkan gangguan kesehatan pada orang yang merokok, namun juga
dapat mengganggu kesehatan orang-orang yang berada di sekitarnya yang
tidak merokok yang sebagian besar adalah bayi dan anak-anak yang
terpaksa menjadi perokok pasif oleh karena ayah, ibu, atau anggota keluarga
lainnya yang merokok di rumah. Padahal perokok pasif mempunyai risiko
yang lebih tinggi untuk menderita penyakit ISPA, kanker paru-paru, dan
penyakit jantung ishkemia. Sedangkan pada janin, bayi, dan anak-anak
mempunyai risiko yang lebih besar untuk menderita kejadian berat badan
lahir rendah, bronchitis, pneumonia, infeksi rongga telinga, dan asma
(Departemen Kesehatan RI, 2008).
Dari hasil data penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Yusari
pada tahun 2013 diketahui bahwa presentase balita yang tinggal serumah
dengan orang yang mempunyai kebiasaan merokok dalam rumah lebih
banyak menderita ISPA (84,4%) dibandingkan dengan balita yang tinggal
serumah dengan orang yang tidak mempunyai kebiasaan merokok dalam
4 rumah (31,2%), maka dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang
signifikan antara paparan rokok dengan kejadian ISPA.
Nikotin dengan ribuan bahaya beracun asap rokok lainnya masuk ke
saluran pernapasan bayi atau balita. Nikotin yang terhirup melalui saluran
pernafasan dan masuk ke tubuh melalui ASI ibunya akan berakumulasi di
tubuh bayi atau balita dan membahayakan kesehatan si kecil. Paparan asap
rokok berpengaruh terhadap kejadian ISPA pada balita, dimana balita yang
terpapar asap rokok beresiko lebih besar untuk terkena ISPA dibanding
balita yang tidak terpapar asap rokok (Nurmi, 2009).
Penelitian ini dilakukan di Kampung Nelayan Muara Angke
Kelurahan Pluit Jakarta Utara dengan letak geografis yang berada di daerah
perkotaan dan dengan kondisi lingkungan yang padat penduduk, sebagian
besar penduduk di Kampung Nelayan memiliki perilaku merokok dan pada
masing-masing rumah memiliki minimum 2 anggota kepala keluarga di
dalamnya. Dari hasil observasi dan wawancara pendahuluan yang dilakukan
secara acak terhadap 15 responden ibu yang memiliki balita di Kampung
Nelayan Muara Angke, Kelurahan Pluit-Jakarta Utara diperoleh informasi
bahwa 6 diantaranya orang tuanya adalah perokok dan 9 diantaranya ada
yang tinggal dengan anggota keluarga yang lain yang merokok. Diketahui,
15 balita yang tinggal dengan keluarga tersebut mengalami period
prevalence ISPA (diagnosis (D) penyakit ISPA dan gejala (G) penyakit
ISPA) dalam kurun waktu sebulan terakhir.
Berdasarkan penjelasan yang telah dijabarkan di atas, maka penulis
tertarik untuk melakukan penelitian lebih lanjut mengenai Hubungan
5 Perilaku Merokok Anggota Keluarga Dengan Kejadian ISPA Pada Balita di
Kampung Nelayan Muara Angke, Jakarta Utara.
1.2 Identifikasi Masalah
Menurut Prabu dalam Yuli (2012) Beberapa faktor yang
mempengaruhi terjadinya penyakit ISPA pada balita, yaitu terdiri dari :
1. Faktor Lingkungan,
Faktor lingkungan yaitu meliputi pencemaran udara dalam
rumah terdiri dari :
a. Asap Rokok dan Asap Hasil Pembakaran Bahan Bakar
Untuk Memasak.
Asap rokok dan asap hasil pembakaran bahan
bakar untuk memasak dengan konsentrasi tinggi dapat
merusak mekanisme pertahanan paru sehingga akan
memudahkan timbulnya ISPA.
b. Ventilasi Rumah
Ventilasi yang baik akan menunjang sirkulasi
udara yang baik di dalam rumah, jika ventilasi rumah
kurang baik maka sirkulasi udara di dalam rumah akan
buruk. Kualitas udara yang buruk akan mengakibatkan
gangguan pada pernapasan, jika kualitas udara buruk
tersebut terhirup oleh balita, maka balita akan rentan
terhadap penyakit ISPA.
c. Kepadatan Hunian
6 Kepadatan
keputusan
hunian
dalam
menteri
829/MENKES/SKVII/1999
rumah
kesehatan
tentang
menurut
nomor
persayaratan
kesehatan rumah satu orang minimal menempati luas
rumah 8m2. Dengan kriteria tersebut diharapkan dapat
mencegah penularan penyakit dan melancarkan aktivitas.
Keadaan tempat tinggal yang padat dapat meningkatkan
faktor polusi dalam rumah sehingga dapat menyebabkan
gangguan pernapasan seperti penyakit ISPA.
2. Faktor Individu Anak
Faktor individu anak yaitu meliputi:
a. Berat Badan Lahir
Berat badan lahir menentukan pertumbuhan dan
perkembangan fisik dan mental pada masa balita. Bayi
dengan berat badan lahir rendah (BBLR) mempunyai
resiko kematian yang lebih besar dibandingkan dengan
berat badan lahir normal, terutama pada bulan-bulan
pertama kelahiran karena pembentukan zat anti kekebalan
kurang sempurna sehingga lebih mudah terkena penyakit
infeksi,
terutama
pneumonia,
dan
sakit
saluran
pernapasan lainnya.
b. Status Gizi
Balita dengan gizi kurang akan lebih mudah
terserang ISPA dibandingkan balita dengan gizi normal
karena faktor daya tahan tubuh yang kurang. Penyakit
7 infeksi
sendiri
akan
menyebabkan
balita
tidak
mempunyai nafsu makan dan mengakibatkan kekurangan
gizi. Pada keadaan gizi kurang balita lebih mudah
terserang ISPA.
c. Kelengkapan Imunisasi.
Peningkatan cakupan imunisasi akan berperan
besar
dalm
upaya
pemberantasan
ISPA.
Untuk
mengurangi faktor yang meningkatkan mortalitas ISPA,
diupayakan imunisasi lengkap. Bayi dan balita yang
mempunyai status imunisasi lengkap bila menderita ISPA
dapat diharapkan perkembangan penyakitnya tidak akan
menjadi lebih berat.
3. Faktor Perilaku Keluarga Balita.
Keluarga merupakan unit terkecil dari masyarakat yang
berkumpul dan tinggal dalam suatu rumah tangga, satu dengan
yang lainnya saling tergantung dan berinteraksi. Faktor perilaku
keluarga meliputi perilaku pencegahan dan penanggulangan
ISPA atau peran aktif keluarga dalam menangani penyakit ISPA.
Perilaku orang tua balita sangat menentukan faktor
penyakit ISPA pada balita di mana terdapat anggota keluarga
yang merokok yang menyebabkan pencemaran udara dengan
asap hasil pembakaran rokok.
Asap rokok yang terhirup dan masuk ke dalam
pernafasan secara terus menerus dapat mengiritasi mukosa yang
ada di saluran pernafasan sehingga akan menyebabkan penyakit
8 ISPA. ISPA yang berlanjut akan menjadi pneumonia yang dapat
menyebakan kematian pada balita.
1.3 Pembatasan Masalah
Di dalam penelitian ini penulis memberikan batasan ruang lingkup
penelitian, yaitu yang menjadi subjek penelitian di dalam penelitian ini
adalah para ibu yang memiliki balita yang menderita penyakit ISPA di
Kampung Nelayan Muara Angke dengan judul yang diambil yaitu
“Hubungan Perilaku Merokok Anggota Keluarga Dengan Kejadian ISPA
Pada Balita di Kampung Nelayan Muara Angke, Kelurahan Pluit-Jakarta
Utara”.
1.4 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang, identifikasi masalah, dan pembatasan
masalah di atas, maka rumusan masalah penelitian adalah “apakah ada
Hubungan Perilaku Merokok Anggota Keluarga Dengan Kejadian ISPA
Pada Balita di Kampung Nelayan Muara Angke, Kelurahan Pluit-Jakarta
Utara?”
1.5 Tujuan Penelitian
1.5.1
Tujuan Umum
Mengetahui Hubungan Perilaku Merokok Anggota Keluarga
Dengan Kejadian ISPA Pada Balita di Kampung Nelayan Muara
Angke, Kelurahan Pluit-Jakarta Utara.
9 1.5.2
Tujuan Khusus
a. Mengidentifikasi
perilaku
merokok
anggota
keluarga
di
Kampung Nelayan Muara Angke, Kelurahan Pluit-Jakarta
Utara.
b. Mengidentifikasi kejadian ISPA pada balita di Kampung
Nelayan Muara Angke, Kelurahan pluit-Jakarta Utara.
c. Menganalisis hubungan antara perilaku merokok anggota
keluarga dengan kejadian ISPA pada balita Nelayan Muara
Angke, Kelurahan Pluit-Jakarta Utara.
1.6 Manfaat Penelitian
1.6.1
Bagi Peneliti
a. Dapat mengetahui hubungan antara perilaku merokok anggota
keluarga dengan kejadian ISPA pada balita.
b. Dapat mengaplikasikan keilmuan yang telah didapatkan selama
menjalankan pendidikan di bangku kuliah
1.6.2
Bagi Dinas Kesehatan
a. Memberikan masukan untuk meningkatkan program penyuluhan
tentang bahaya merokok di masyarakat
b. Memberikan masukan untuk meningkatkan program pencegahan
primer penyakit ISPA pada balita
1.6.3
Bagi Masyarakat
Manfaat yang bisa diperoleh bagi masyarakat adalah mereka dapat
mengetahui dampak buruk dari perilaku merokok terhadap kejadian
10 ISPA pada balita sehingga diharapkan dapat mengurangi kebiasaan
merokok
1.6.4
Bagi Keluarga
Hasil penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan
dan dapat mencari pemecahan yang lebih baik dan efektif untuk
membatasi dan mengatasi perilaku merokok dalam keluarga.
1.6.5
Bagi Institusi Pendidikan
Dapat menambah dan melengkapi kepustaan khususnya mengenai
hubungan perilaku merokok anggota keluarga dengan kejadian
ISPA pada balita.
Download