ARTIKEL PENELITIAN FUNDAMENTAL TA 2009 ISOLASI DAN IDENTIFIKASI BAKTERI PENGHASIL ENZIM FITASE DARI SUMBER AIR PANAS DI SUMATERA BARAT Neni Gusmanizar1 dan Mohd Yunus Abd Shukor2 ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengisolasi bakteri penghasil enzym fitase baru yang stabil pada suhu tinggi dari sumber air panas di Sumatera Barat. Pengambilan sampel air panas dilakukan di Rimbo Panti Kabupaten Pasaman, di Solok Kab Solok, di Maninjau Kab. Agam dan di Lintau Buo dan Desa Padang Ganting Kab. Tanah Datar. Enam isolat bakteri yang mempunyai kemampuan menghasilkan enzim fitase berhasil diisolasi. Isolat bakteri dipilih berdasarkan kemampuannya untuk tumbuh dan berkembang dalam media yang mengandung Sodium fitat. Enzim yang dihasilkan oleh bakteri yang isolasi ada yang ekstraseluler dan intraseluler. Lokasi yang banyak ditemukan bakteri penghasil ekstraseluler fitase adalah pada daerah Sangir, Arara dan Tandikek. Sedangkan pada daerah lain ditemukan bakteri penghasil enzim yang bersifat intraseluler. Bakteri isolate 1.1 merupakan isolate terbaik yang memiliki aktivitas enzim tertinggi. Bakteri isolat 1.1 merupakan bakteri gram-positif, berspora dan berbentuk batang. Kondisi optimum untuk aktivitas enzim dan stabilitas fitase adalah pada suhu 90°C, sedangkan pH optimum untuk aktivitas enzim dan stabilitas sesuai adalah pH diatas 7. Enzim fitase isolat 1.1 yang berasal dari sumber air panas Sangir mempunyai stabilitas temperatur dan pH yang sesuai untuk dijadikan sebagi feed aditif baik ternak unggas maupun ruminansia. PENDAHULUAN Pada umumnya biji-bijian dan polong-polongan mengandung asam fitat (Myo-inositol Hexakisphospat), yaitu senyawa antinutrisi yang mengikat protein dan mineral dan unsur fosfor yang ada dalam bahan itu. Ikatan yang kuat menurunkan kelarutan, daya cerna dan penyerapan protein dan mineral seperti Ca, Fe, Zn dan Mg. Komplek asam fitat dengan protein enzim pencernaan menyebabkan penurunan aktivitas enzim pencernaan itu. Ternak monogastrik seperti babi dan unggas, ikan tidak mampu mendegradasi asam fitat, karena alat pencernaannya sedikit menghasilkan enzim fitase untuk menghidrolisis asam fitat sehingga menyebabkan sangat rendahnya ketersediaan unsur fosfor dan zat makanan lain tidak dapat dimanfaatkan secara maksimal oleh ternak. Fosfor yang tidak dicerna akan 1 2 Dosen Fakultas Peternakan Universitas Andalas Dosen Fakulti Bioteknologi dan Sains Biomolekul Universiti Putra Malaysia dikeluarkan melalui feces sehingga menyebabkan terjadinya pencemaran tanah, air sungai, dan danau karena eutrophication yaitu terjadinya penyuburan perairan berlebihan yang akan menyuburkan alga beracun dan dapat membunuh ikan. Enzim fitase telah ditemukan pada tanaman, kapang namun dalam penggunaan enzim ini terkendala pada tidak stabilnya saat penyimpanan dan tidak tahannya terhadap pemanasan selama proses pelleting ransum yang dapat mencapai suhu >85°C. Enzim fitase yang berasal dari tanaman, kapang dan ragi punya keterbatasan pada beberapa sifat seperti daya tahan terhadap proteolisis, efisiensi katalitik, spesifitas substrat, stabilitas pada temperatur tinggi dan kondisi keasaman rendah. Enzym fitase sebagai pendegradasi fitat yang digunakan sebagai pakan tambahan harus efektif dalam menghidrolisis fitat dalam saluran pencernaan, stabil terhadap pemanasan yang berasal dari pembuatan pakan dan penyimpanan serta biayanya murah untuk memproduksinya. Oleh karena itu maka enzim fitase yang berasal dari bakteri sumber air panas merupakan alternatif nyata karena lebih stabil dan produksi yang tinggi sehingga dapat dikembangkan pada industri peternakan. METODOLOGI PENELITIAN Lokasi Penelitian Pengambilan sampel air panas diambil di di Rimbo Panti Kabupaten Pasaman, di Solok Kab Solok, di Maninjau Kab. Agam dan di Lintau Buo dan Desa Padang Ganting Kab. Tanah Datar Sumatera Barat. Air diambil secara acak pada kedalaman 50-100 cm. Sampel air diletakan di dalam botol steril dan disimpan di dalam es selama pemindahan dari lokasi ke laboratorium lalu disimpan pada suhu -20°C. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sampel air panas, asam fitat dan gliserol. 2 Pelaksanaan Penelitian Tahap I: Isolasi dan Identifikasi Bakteri Penghasil Enzim Fitase. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan bakteri penghasil enzim fitase termostabil pada medium yang mengandung asam fitat sebagai sumber fosfor. Satu mL sampel air panas dimasukkan kedalam 14 ml medium yang steril yang mengandung asam fitat, diinkubasi pada temperatur 60°C selama 48 jam. Bakteri terpilih disimpan dalam medium yang mengandung 15% gliserol pada suhu -20 °C. Beberapa bakteri terpilih diinokulasi kedalam medium yang sama untuk menentukan isolat yang punya kemampuan tertinggi dalam menghasilkan enzim fitase. Peubah yang diamati: Aktifitas enzim fitase (µM P/mL/menit) Tahap II. Identifikasi Bakteri. Tahap pertama identifikasi bakteri penghasil enzim fitase adalah melakukan Gram staining dan tes oksidase untuk bakteri gram negatif untuk menentukan bakteri enterik dan non enterik. Hasil oksidase tes positif menunjukan bahwa bakteri itu adalah non enterik yaitu bakteri yang bukan berasal dari alat pencernaan. Tahap III: Kondisi Optimum untuk Pengukuran Aktifitas Enzim Fitase Pada tahap ketiga dilakukan optimasi kondisi pengukuran dan stabilitas enzim fitase untuk mendapatkan aktifitas enzim tertinggi. Parameter yang diuji pada semua perlakuan adalah aktifitas enzim fitase (unit/gram protein ). HASIL DAN PEMBAHASAN Isolasi Bakteri Penghasil Enzim Fitase. Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan bakteri penghasil enzim fitase termostabil dari sumber air panas di Sumatera Bara pada medium yang mengandung asam fitat sebagai sumber fosfor. Beberapa bakteri terpilih diinokulasi kedalam medium yang sama untuk menentukan isolat yang punya kemampuan tertinggi dalam menghasilkan enzim fitase. Enam isolat bakteri yang mempunyai kemampuan menghasilkan enzim fitase berhasil diisolasi dari sampel air panas pada berbagai lokasi. Isolasi ini 3 menggunakan medium pengayaan yang mengandung sodium fitat sebagai satusatunya sumber fosfor dan dilakukan pada kondisi aerobik. Isolat bakteri dipilih berdasarkan kemampuannya untuk tumbuh dan berkembang dalam media yang mengandung Sodium fitat ini. Ketika bakteri diisolasi dari sampel air panas pertama kali dalam medium pengayaan, bakteri masih punya kemampuan tumbuh dalam bentuk kultur campuran. Setelah ditransfer beberapa kali dan dikultur beberapa kali secara individu kedalam media pengayaan maka diperoleh isolat murni yang mampu menghasilkan enzim fitase. Lokasi yang banyak ditemukan bakteri penghasil ekstraseluler fitase adalah pada daerah Sangir, Arara dan Tandikek . Hal ini ditunjukan dengan terbentuknya zona bening disekitar koloni bakteri yang diuji menandakan kemampuannya dalam menghasilkan enzin ekstraseluler (Gambar 1). Beberapa isolat juga ditemukan pada sampel dari daerah lain namun enzim yang dihasilkan adalah intraseluler. Karakteristik morfologi bakteri yang dipilih dapat dilihat pada Tabel 1. Gambar 1. Pertumbuhan dan zona bening bakteri penghasil fitase isolate 1,3 dan 4 pada medium skrining padat mengandung Na-Fitat 4 Tabel 1. Isolat Bakteri Penghasil Enzim Ekstraseluler Fitase dan Bentuk Morfologinya. No. Lokasi Sampel No. Morfologi Isolat Bentuk Sel Gram Stain 1 Sangir 1.1 Batang kecil Positif 2 2.1 Bulat Negatif 206.49 3 Batu bajanjang Arara Bulat Positif 198.94 4 Arara 3.2 Batang kecil Negatif 282.32 5 Tandikek 4.1 Batang Positif 243.45 3.1 Putih terang, Melengkung mengkilat, Bulat, Tepi Rata Krem, Bulat, Lengkung, tepi rata Orange muda, Bulat kecil , Suram, Tepi Tidak rata Orange muda, mengkilat, lengkung, Bulat, Rata Krem, suram, Bulat, Tepi Tidak Rata Spesifik activity 246.48 Berdasarkan bentuk morfologinya sel bakteri ada yang berbentuk batang, bulat dengan warna yang berbeda, namun pada hasil penelitian ini yang jadi pertimbangan dalam memilih isolat yang baik untuk dipelajari dan dikembangkan selanjutnya adalah adalah bakteri dengan Gram stain positif, karena isolat bakteri dengan Gram stain negatif ada kemungkinan berupa enterobacteria. Untuk penelitian selanjutnya dipilih isolat bakteri 1.1 karena mempunyai Gram Stain positif. Kondisi Optimum Aktifitas dan Stabilitas Enzim Fitase Pada tahap ini dilakukan optimasi kondisi pengukuran aktifitas enzim fitase untuk mendapatkan aktifitas enzim tertinggi. Parameter yang diuji pada semua perlakuan adalah aktifitas enzim fitase (µM P/mL/menit). Temperature Optimum and Thermal Stability Pada gambar 2 dapat dilihat bahwa aktivitas enzim fitase yang diperoleh pada penelitian ini berkisar antara 5113.,63 sampai 6420,45 U/ml pada variasi suhu inkubasi 30, 40, 50, 60, 70, 80, 90, 1000 C. 5 7000 uM P/mL/menit 6000 5000 4000 3000 20 30 40 50 60 70 80 90 100 110 Temperatur (oC) Gambar 2. Pengaruh temperatur berbeda terhadap aktifitas enzim fitase. Atifitas enzim diukur pada temperatur 30-100°C. Enzim ini mempunyai temperature optimum pada 70-90°C dimana aktifitas enzim meningkat dengan meningkatnya temperatur dan aktifitas menurun dibawah dan diatas range suhu itu namun dalam jumlah yang masih sangat sedikit, hal ini disebabkan karena protein enzim masih belum mengalami denaturasi. Walau bagaimanapun aktifitas enzim fitase pada penelitian ini turun sangat cepat pada temperatur 100°C akibat terjadinya denaturasi protein enzim. Termostabilitas merupakan hal yang perlu diukur dari suatu enzim karena pada proses pelleting ransum terjadi peningkatan temperatur antara 65-95 ºC, sehingga perlu enzim yang tahan panas sebagai feed aditif agar aktifitas enzim tidak rusak selama pelleting. Untuk menentukan stabilitas temperatur, enzim diinkubasi pada temperatur berbeda selama 30 menit lalu didinginkan dan aktifitas diukur. Aktifitas enzim meningkat apabila terekspos pada suhu tinggi selama 30 menit dengan meningkatnya temperatur. Aktifitas enzim tertinggi diperoleh pada temperatur 90°C yaitu 135 % dibandingkan dengan yang diinkubasi pada temperatur ruang (28°C) yaitu 100% (Gambar 3). Hasil ini menunjukan bahwa enzim fitase 6 yang diperoleh dari Isolat 1.1 yang berasal dari sumber air panas Sangir adalah enzim yang tahan panas dan sangat cocok digunakan dalam industri peternakan. 160 140 Sisa Aktifitas (%) 120 100 80 60 40 20 0 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 110 Temperatur (oC) Gambar 3. Pengaruh temperatur berbeda terhadap stabilitas enzim fitase. Enzim diinkubasi pada temperatur 30-100°Cselama 30 menit lalu diukur sisa aktifitasnya. Stabilitas panas enzim fitase dari Isolat 1.1 ini ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan fitase yang berasal dari Apergilus niger tersedia komersil (Garet et al., 2004) yaitu aktifitas hanya tinggal 40% setelah terekspos selama 10 menit pada temperatur 70°C. Umumnya penelitian tentang mikroorganisme penghasil fitase stabil pada suhu 40-70 oC. Kim et al. (1998) melaporkan bahwa Bacillus sp. strain DS11 stabil pada suhu 70oC yang diinkubasi selama 10 menit dengan menambahkan mineral CaCl2. Enzim fitase tahan pada temperatur tinggi yang telah di laporkan sejauh ini telah diisolasi dari Pichia anomala (Vohra and Satyanarayana, 2002), Schwanniomyces castellii (Segueilha et al., 1992) and Lactobacillus sanfranciscensis (De Angelis et al., 2003). 7 Pengaruh pH Terhadap aktifitas dan Stabilitas Enzim Fitase Pada Gambar 4, dapat dilihat bahwa aktivitas enzim fitase yang diperoleh pada penelitian ini berkisar 522.72 - 693.19 U/mL pada berbagai variasi pH yaitu 4, 5, 5, 6, 7, 8, 9 dan 10. Enzim mempunyai aktifitas optimum pada pH pH 7- 10, sedangkan aktifitas enzim sampai 25% pada pH dibawah 7 dan cukup stabil sampai 4. Menurut Wang et al (1979), bahwa pH sangat berpengaruh terhadap reaksi enzimatis dimana perubahan pH berakibat langsung terhadap gugus ionik enzim, sehingga mempengaruhi bagian aktif dan konformasi enzim. Pada pH optimum aktivitas kerja enzim tersebut juga maksimum. Pengaruh stabilitas enzim di diteliti pada pH 4-10 pada temperatur 5ºC selama 1 jam. Enzim kehilangan aktifitas dengan menurunnya pH, namun penurunan ini tidak terlalu tinggi bahkan sampai pH 4 sisa aktifitas enzim masih 84 % dari 100% pada pH 7 dan aktifitas tertinggi adalah pada pH 10 yaitu 105% (Gambar 5). 800 700 uM P/mL/memit 600 500 400 300 200 100 0 3 4 5 6 7 8 9 10 pH Gambar 4. Pengaruh pH berbeda terhadap aktifitas enzim fitase. Aktifitas Enzim diukur pada buffer dengan pH 4-10. 8 11 Kemampuan enzim fitase menghidrolisa fitat dalam alat pencernaan ditentukan oleh sifat enzim ini. Suatu enzim dengan pH optimum nya asam sangat diinginkan karena enzim ini sangat tahan terhadap pH asam seperti pada alat pencernaan unggas. Berdasarkan karakter yang diperoleh menunjukan bahwa enzim fitase potensial sebagai feed aditif dan stabil pada proses pelleting. 120 110 Sisa Aktifitas (%) 100 90 80 70 60 50 40 3 4 5 6 7 8 9 10 11 pH Gambar 5. Pengaruh pH berbeda terhadap stabilitas enzim fitase. Enzim diinkubasi pada buffer dengan pH 30-100°C selama 30 menit lalu diukur sisa aktifitasnya. 9 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa dari bakteri isolate 1.1 merupakan isolate terbaik yang memiliki aktivitas enzim tertinggi. Bakteri isolat 1.1 merupakan bakteri gram-positif, berspora dan berbentuk batang. Kondisi optimum untuk aktivitas enzim dan stabilitas fitase adalah pada suhu 90°C, sedangkan pH optimum untuk aktivitas enzim dan stabilitas sesuai adalah pH diatas 7. Enzim fitase isolat 1.1 yang berasal dari sumber air panas Sangir mempunyai stabilitas temperatur dan pH yang sesuai untuk dijadikan sebagi feed aditif baik ternak unggas maupun ruminansia. Saran Untuk penelitian selanjutnya agar dilakukan optimasi produksi enzim dan pemurnian enzim fitase dari bakteri isolate 1.1. UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih kami ucapkan kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional yang telah mendanai kegiatan ini. Ucapan terima kasih juga kami sampaikan kepada Rektor dan Lembaga Penelitian Universitas Andalas yang telah memberi fasilitas kepada kami sehingga kegiatan penelitian bisa dilaksanakan. DAFTAR PUSTAKA Cao, L., W. Wang., C. Yang., J. Diana., A. Yakupitiyage., Z. Luo and D. Li. 2007. Application of Microbial Phytase in Fish Feed. J. Enzyme and Microbial Tecnology 40: 497-507. Choi, Y.M., H.J. Suh and J.M. Kim. 2001. Purification and properties of extracellular phytase from Bacillus sp. KHU-10. Journal of Protein Chemistry 20: 287-292. De Angelis, M., Gallo, G., Corbo, M. R., McSweeney, P. L. H., Faccia, M., Giovine, M., and Gobbetti, M. (2003). Phytase activity in sourdough lactic acid bacteria: 10 Purification and characterization of a phytase from Lactobacillus sanfranciscensis CBI. Int. J. Food Microbiol. 87: 259–270. Friedman, S. M. 1992. Termofilik Microorganisme. In Encyclopedia of Mikrobiology. Academic Press. Inc. New York. Garrett, J. B., Kretz, K. A., O_Donoghue, E., Kerovuo, J., Kim, W., Barton, N. R., Hazlewood, G. P., Short, J. M., Robertson, D. E., and Gray, K. A. 2004. Enhancing the Thermal Tolerance and Gastric Performance of a Microbial Phytase for Use as a Phosphate-Mobilizing Monogastric-Feed Supplement. Appl. Environ. Microbiol. 70: 3041–3046. Gargova, S., Z. Roshkova and G. Vancheva. 1997. Screening of fungi for phytase Production. Biotechnology Techniques 11(4):221–224. Greiner, R., Konietzny, U. and Jany, K. D. 1993.Purification and characterization of two phytases from Escherichia coli. Archives of Biochemistry and Biophysics 303: 107-113. Greiner, R. and U. Konietzny. 2006. Phytase for food Aplication. Food Tecnol: Biotecnol. 44: 201-206. Irving, G. C. J. and D. J. Cosgrove, 1971. Inositol phosphate phosphatase of microbial origin. Observations on the nature of the active center of a bacterial (Pseudomonas sp.) phytase. Journal of Biologycal Science. 24: 547- 557. Jongbloed.A. W. and P. A. Kemme. 1990. Effect of pelleting mixed feeds on phytase activity and the apparent absorbability of phosphorus and calcium in pigs. Animal Feed Science and Technology 28:233–242. Kerovuo, J., M. Lauraeus., P. Nurminen., N. Kalkinnen and J. Apajalahti. 1998. Isolation, characterization, molecular gene cloning and sequencing of a novel phytase from Bacillus subtilis. Applied Environmental Microbilogy 64: 2079-2085. Kim, Y. O., H. K. Kim, K. S. Bae, J. H. Yu and T. K.Oh. 1998. Purification and properties of a thermostable phytase from Bacillus sp. DS11. Enzyme and Microbial Technoology 22: 2-7, 1998. Konietzny, U., and R. Greiner. 2002. Molecular and catalytic properties of phytate degrading enzymes (phytases). International Journal of Food Science and Technology 37: 791-812. Lehninger.A.L, 1995. Dasar-Dasar Biokimia. Erlangga, Jakarta Lei, X. G., and J. M. Porres. 2003. Phytase enzymology, applications, and biotechnology. Biotechnology Letters 25: 1787-1794. 11 Powar, V. K. and V. Jagannathan. 1982. Purification and properties of fitate-specific phosphatase from Bacillus subtilis. J. Bacteriol. 151: 1102-1108. Segueilha, L., Lambrechts, C., Boze, H., Moulin, G. & Galzy, P. 1992. Purification and properties of the phytase from Schwanniomyces castellii. Jouml of Fermentation and Bioengineering 74: 7-1 1. Selle, P.H and V. Ravindran. 2007. Microbial phytase in poultry nutrition. Animal Feed Science and Technology 135 (1-2):1-41 Shah, V. and L. J. Parekh. 1990. Phytase from Klebsiella sp. No. PG-2: purification and properties. Indian Journal of Biochemistry and Biophysics 27: 98-102. Shimizu, M. 1993. Purification and characterization of phytase and acid phosphatase by Aspergillus oryzae K1. Biosci. Biotech. Biochem. 57, 1364-1365 Simons, P.C., H.A.J. Versteegh., A. W. Jongbloed., P. A. Kemme., P. Slump., K. D Bos., M. G. E. Wolters., R. F. Beudeker and G. J. Verschoor. 1990. Improvement of P availability by microbial phytase in broilers and pigs. British Journal of Nutrition 64: 525-540. Ullah, A. H. J. 1988. Aspergillus ficuum phytase – partial primary structure, substrate selectivity, and kinetic characterization. Preparative Biochemistry 18: 459–471. Van der Klis, J.D., H.A.J. Versteegh and P.C.M. Simons, 1996. Natuphos in laying hen nutrition. Pages 71-82 in: BASF Technical Symposium Phosphorus and Calcium Management in layers, Atlanta, GA, January, 23, 1996. Vohra, A., and Satyanarayana, T. 2002. Purification and characterization of a thermostable and acid-stable phytase from Pichia anomala. World J. Microbiol. Biotechnol. 18: 687–691. Volk , W. A & Wheeler. M. F. 1993. Mikrobiologi Dasar Jilid 1 Edisi ke 5. Erlangga, Jakarta. Wyss, M., R. Brugger., A. Kronberger,, R. Remy., R. Fimbel., G. Osterhelt., M. Lehmann, and A. P. G. M. Van Loon. 1999. Biochemical characterization of fungal phytases (myo-inositol hexakisphophate phosphohydrolases): catalytic properties. Applied and Environmental microbiology 65 (2):367-373. . Yoon, S. J., Y. J. Choi, H. K. Min., , K. K. Cho., J. W. Kim., S. C. Lee and Y. H. Jung. 1996. Isolation and identification of phytase-producing bacterium, Enterobacter sp. 4, and enzymatic properties of phytase enzyme. Enzyme Microbiol. Technol. 18, 449-454. 12