BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Diabetes

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Diabetes melitus (DM) adalah penyakit gangguan metabolik kronis yang
dikenal sebagai sillent killer atau pembunuh manusia secara diam-diam.
Manusia seringkali tidak menyadari dirinya telah menyandang diabetes dan
ketika mengetahuinya telah terjadi komplikasi. Diabetes juga dikenal sebagai
Mother of Disease yang merupakan induk penyakit-penyakit lain seperti
hipertensi, penyakit kardiovaskular, gagal ginjal, dan kebutaan (Depkes RI,
2008a).
Pada tahun 2000, WHO menyatakan bahwa dari statistik kematian di
dunia, 3,2 juta jiwa per tahun penduduk dunia meninggal akibat DM.
Selanjutnya, pada tahun 2003 WHO memperkirakan 194 juta jiwa atau 5,1%
dari 3,8 miliar penduduk dunia yang berusia 20-79 tahun menderita DM dan
pada tahun 2015 akan meningkat menjadi 333 juta jiwa. WHO memprediksi di
Indonesia terdapat kenaikan dari 8,4 juta diabetisi (orang yang mengidap
diabetes) pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta jiwa pada tahun 2030. Hal
ini akan menjadikan Indonesia menduduki peringkat keempat dunia setelah
Amerika Serikat, China, dan India dalam prevalensi diabetes (ADA, 2006).
Menurut PERKENI tahun 2006, tujuan pengobatan jangka pendek adalah
hilangnya keluhan dan tanda DM, mempertahankan rasa nyaman, dan
tercapainya target pengendalian glukosa darah. Sedangkan untuk jangka panjang
antara lain mencegah dan menghambat progresivitas penyulit mikroangiopati,
1
2
makroangiopati dan neuropati. Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya
morbiditas dan mortalitas akibat DM. Pilar penatalaksanaan Diabetes Melitus
antara lain dilakukan dengan edukasi, terapi gizi medis, latihan jasmani, dan
intervensi farmakologis. Hal penting dalam penatalaksanaan DM agar mencapai
tujuan tersebut adalah perlu dilakukannya pengendalian glukosa darah, tekanan
darah, berat badan dan profil lipid, melalui pengelolaan pasien secara holistik
dengan mengajarkan perawatan mandiri dan perubahan perilaku (PERKENI,
2006).
Terdapat banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan pengobatan
DM sehingga sampai saat ini masih banyak pasien DM yang sulit mencapai
target kadar gula darah secara berkelanjutan. Berdasarkan penelitian yang
dilakukan oleh Purnomo pada tahun 2001 dari 60 pasien DM tipe 2 rawat jalan
yang mendapatkan terapi Obat Hipoglikemik Oral (OHO) pencapaian terapi
kendali glikemik berdasarkan kriteria hasil pemeriksaan A1C yang terkendali
baik, yang terkendali sedang, dan yang terkendali buruk masing-masing adalah
sepertiga. Sedangkan pada pasien rawat jalan yang mendapatkan terapi insulin
dari 55 orang hanya 2 orang yang mencapai target kendali gula darahnya.
Padahal, insulin dinilai mampu meniru pola sekresi hormon insulin fisiologis
dan ditujukan untuk mengoreksi defisiensi yang terjadi sehingga lebih mampu
untuk mencapai dan mempertahankan target terapi setelah penggunaan OHO
(Purnomo, 2002). Berdasarkan studi yang dilakukan di RSUP Fatmawati
Jakarta, beberapa faktor yang menyebabkan pasien DM memiliki kontrol
3
glukosa yang buruk adalah ketidakpatuhan dalam minum obat, tidak berolahraga
secara teratur, serta tidak melakukan diet sesuai anjuran (Qurratuaeni, 2009).
Dengan melihat fakta bahwa masih banyak pasien DM yang belum
mencapai target terapi meski telah mendapat OHO dan/atau insulin maka
menarik untuk mengkaji pola penggunaan obat antidiabetik berdasarkan standar
acuan dan faktor-faktor resiko yang mempengaruhi capaian target gula darah
pada pasien diabets melitus. Pengendalian kadar glukosa darah yang baik sesuai
target diperlukan untuk mencegah komplikasi jangka pendek maupun jangka
panjang. Dalam hal ini penelitian difokuskan kepada kendali kadar glukosa
darah yang berhubungan dengan umur, adanya penyakit penyerta dan interaksi
obat.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, rumusan masalah penelitian ini
adalah:
1.
Seperti apa pola penggunaan obat antidiabetik pada pasien DM rawat
jalan di Rumah Sakit UGM Yogyakarta?
2.
Berapa persentase pasien DM rawat jalan di Rumah Sakit UGM yang
mencapai target kendali glukosa darah?
3.
Apa saja faktor resiko yang mempengaruhi capaian target kadar glukosa
darah pada pasien DM rawat jalan di Rumah Sakit UGM Yogyakarta?
4
C.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah:
1.
Mengetahui pola penggunaan obat antiidiabetik pada pasien DM rawat
jalan di Rumah Sakit UGM Yogyakarta.
2.
Mengetahui presentase pasien DM rawat jalan di Rumah Sakit UGM
Yogyakarta yang mencapai target kendali glukosa darah.
3.
Mengetahui faktor resiko yang mempengaruhi capaian kendali kadar
glukosa darah pada pasien DM rawat jalan di Rumah Sakit UGM
Yogyakarta.
D.
Hasil
Manfaat Penelitian
penelitian ini diharapkan
dapat
memberi
masukan bagi
perkembangan pelayanan farmasi yang berorientasi kepada pasien terutama
dalam pengobatan diabetes melitus. Bagi instansi pelayannan kesehatan
diharapkan penelitian ini dapat memberikan informasi yang bermanfaat untuk
mengidentifikasi masalah yang timbul dalam pengobatan diabetes melitus serta
menyempurnakan pemilihan intervensi pengobatan sehingga terapi pada pasien
lebih optimal dan masalah-masalah terkait pengobatan dapat dicegah atau
diminimalkan.
E. Tinjauan Pustaka
I.
Diabetes Melitus
Diabetes melitus (DM) merupakan suatu kelompok metabolik dengan
karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja
insulin, atau keduanya (ADA, 2003). Sedangkan menurut Black & Hawks pada
5
tahun 2009, Diabetes Melitus dikatakan merupakan suatu penyakit kronis yang
ditandai
oleh
ketidakmampuan
tubuh
untuk
melakukan
metabolisme
karbohidrat, lemak, dan protein sehingga menyebabkan peningkatan kadar
glukosa darah (Black & Hawks, 2009).
Faktor resiko terjadinya DM meliputi beberapa faktor, seperti riwayat
penyakit keluarga, obesitas (Indeks Massa Tubuh/ IMT > 25 kg/m2), kurangnya
aktivitas fisik, adanya riwayat toleransi glukosa yang terganggu, hipertensi,
dislipidemia (kadar HDL <35 mg/dL dan/atau kadar Trigliserida >250 mg/dL),
riwayat diabetes melitus gestasional atau melahirkan bayi yang beratnya > 9 Ibs,
serta memiliki riwayat penyakit kardiovaskuler dan polycisticovary syndrome
(ADA, 2013; PERKENI, 2011)
Pada umumnya pasien DM diklasifikasikan menjadi dua kategori besar,
antara lain DM tipe 1, yaitu DM yang disebabkan karena terjadi defisiensi
Insulin absolut karena obstruksi sel beta yang disebabkan oleh autoimun atau
ideopatik (PERKENI, 2006); atau DM tipe 2, yang penyebabnya bervariasi
mulai yang dominan resistensi insulin disertai defisiensi insulin relatif sampai
yang dominan defek sekresi insulin disertai resistensi insulin (PERKENI, 2006).
Selain itu terdapat juga tipe DM yang penyebabnya spesifik dan DM gestasional.
a.
Diabetes Melitus Tipe 1
Diabetes tipe ini merupakan diabetes akibat kerusakan autoimun dari selsel β pankreas. Penanda kerusakan imun sel β terdapat pada saat diagnosis pada
90% individu dan termasuk antibodi sel islet, antibodi untuk dekarboksilase
asam glutamat, dan antibodi terhadap insulin. Meskipun DM tipe 1 biasanya
6
terjadi pada anak-anak dan remaja, dapat pula terjadi pada semua usia. Individu
yang lebih muda biasanya memiliki kecepatan kerusakan sel beta yang tinggi
dengan ketoasidosis, sedangkan orang dewasa harus mempertahankan sekresi
insulin yang cukup untuk mencegah ketoasidosis selama bertahun-tahun (Dipiro
et al., 2008).
b.
Diabetes Melitus Tipe 2
Diabetes tipe ini ditandai dengan resistensi insulin dan relatif kurangnya
sekresii nsulin, dengan sekresi insulin semakin rendah dari waktu ke waktu.
Kebanyakan individu dengan diabetes tipe 2 mengidap obesitas, yang dengan
sendirinya menyebabkan resistensi insulin. Selain obesitas, faktor resiko lainnya
adalah hipertensi, dislipidemia, dan level plasminogen activator inhibitor tipe 1
(PAI-1) tinggi. Karena kelainan ini, pasien dengan diabetes tipe 2 beresiko tinggi
terkena komplikasi penyakit makrovaskuler dan berada pada peningkatan risiko
mengembangkan komplikasi makrovaskuler (Dipiro et al., 2008).
c.
Diabetes Melitus Tipe Lain
Antara lain defek genetik sel beta, defek genetik kerja insulin, penyakit
eksokrin pankreas, endokrinopati, karena obat/zat kimia, infeksi, imunologi
(jarang), dan sindrom genetik lain. Defek genetik sel beta ditandai dengan
terganggunya sekresi insulin dengan resistensi insulin minimal atau tidak ada.
Pasien biasanya menunjukkan hiperglikemia ringan pada usia dini. Penyakit ini
diwariskan dalam pola autosomal dominan dengan setidaknya enam lokus
berbeda yang telah diidentifikasi sampai saat ini. Ketidakmampuan genetik
untuk mengkonversi proinsulin menjadi insulin menyebabkan hiperglikemia
7
ringan dan diwariskan secara autosomal pola dominan. Demikian pula, produksi
insulin mutan telah teridentifikasi dalam beberapa keluarga dan menyebabkan
intoleransi glukosa ringan (Dipiro et al., 2008).
d.
Diabetes Melitus Gestasional (Kehamilan)
Diabetes Melitus Gestasional didefinisikan sebagai intoleransi glukosa
yang baru dialami pertama kali selama kehamilan. Diabetes gestasional
mempersulit sekitar 7% semua kehamilan. Tujuan terapi diabetes gestasional
adalah mengurangi morbiditas dan mortalitas perinatal (Dipiro et al, 2008).
Kurang lebih 5% sampai 10% orang yang terdiagnosa diabetes
merupakan DM tipe 1. Diabetes tipe ini merupakan insidensi yang jarang atau
sedikit populasinya dari keseluruhan populasi penderita diabetes. Gangguan
produksi insulin pada diabetes tipe ini umumnya terjadi karena kerusakan sel-sel
beta pada Langerheans yang disebabkan oleh reaksi autoimun. DM tipe 2 terdiri
dari 90% sampai 95% dari seluruh kasus diabetes yang diderita, umumnya
berusia di atas 45 tahun (Depkes RI, 2005).
2.
Gejala dan diagnosis diabetes melitus
Penyakit diabetes melitus ditandai dengan gejala poliuria (banyak
berkernih), polidipsia (banyak minum), dan polifagi (banyak makan). Glukosa
difiltrasi oleh glomerulus dan hampir semuanya direabsorpsi pada tubulus.
Ginjal hanya mampu mereabsorpsi dalam jumlah tertentu. Jika kadar gula darah
berlebihan maka glukosa akan dibuang bersama urin sehingga energi banyak
yang terbuang. Hal tersebut menyebabkan pasien merasa haus dan lapar. Hal ini
8
juga dapat dijelaskan dengan adanya gula dalam kernih (glukosuria) dan banyak
berkernih karena glukosa yang diekskresikan mengikat banyak air. Akibatnya
akan timbul rasa sangat haus, kehilangan energi, dan turunnya berat badan serta
rasa letih. Tubuh mulai membakar lemak untuk memenuhi kebutuhan energinya,
yang disertai pembentukan zat-zat perombakan, antara lain aseton, asam
hidroksilat, dan diasetat, yang membuat darah menjadi asam. Keadaan ini yang
disebut ketoasidosis. Hal ini sangat berbahaya karena dapat menyebabkan
pingsan (coma diabeticum). Nafas pasien yang sudah sangat kurus seringkali
berbau aseton. Gejala lain yang mungkin timbul adalah kesemutan, gatal,
pandangan kabur, impotensi pada pria, serta gatal pada vulva vagina (Triplit et
al., 2009).
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah.
Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga cara. Pertama, jika keluhan klasik
ditemukan, maka pemeriksaan glukosa plasma sewaktu >200 mg/dL sudah
cukup untuk menegakkan diagnosis DM. Kedua, dengan pemeriksaan glukosa
plasma puasa yang lebih mudah dilakukan, mudah diterima oleh pasien serta
murah, sehingga pemeriksaan ini dianjurkan untuk diagnosis DM. Ketiga dengan
TTGO (Tes Toleransi Glukosa Oral). Meskipun TTGO dengan beban 75 gram
glukosa lebih sensitif dan spesifik dibanding dengan pemeriksaan glukosa
plasma puasa, namun TTGO sulit untuk dilakukan berulang-ulang dan dalam
praktek sangat jarang dilakukan (PERKENI, 2006). TTGO perlu dilaksanakan
pada orang dengan glukosa plasma puasa >5,6 mmol/L (>100 mg/dL) dan <7,0
mmol/L (<126 mg/dL) (IDF, 2005).
9
Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau DM,
maka dapat digolongkan ke dalam kelompok TGT (Toleransi Glukosa
Terganggu) atau GDPT (Glukosa Darah Puasa Terganggu) tergantung dari hasil
yang diperoleh. Dikatakan TGT jika setelah pemeriksaan TTGO didapatkan
glukosa plasma 2 jam setelah beban antara 140 – 199 mg/dL (7,8-11,0 mmol/L).
Sementara itu, dikatakan GDPT bila setelah pemeriksaan glukosa plasma puasa
didapatkan hasil antara 100 – 125 mg/dL (5,6 – 6,9 mmol/L) (PERKENI, 2006).
Kadar Glukosa darah sewaktu dan kadar glukosa darah puasa dalam
diagnosa DM dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel I. Kadar Glukosa Darah Sewaktu & Kadar Glukosa Darah Puasa dalam diagnosa
DM (Depkes RI, 2008b)
Kadar glukosa darah
sewaktu (mg/dL)
Kadar glukosa darah
puasa (mg/dL)
Plasma Veena
Darah Kapiler
Plasma Veena
Darah Kapiler
Bukan
DM
<100
<90
<100
<90
Belum Pasti
DM
100-199
90-199
100-125
90-99
DM
>200
>200
>126
>100
Untuk kelompok risiko tinggi yang tidak menunjukkan kelainan hasil,
dilakukan ulangan tiap tahun. Usia >45 tahun tanpa faktor resiko lain,
pemeriksaan penyaring dapat dilakukan setiap 3 tahun (PERKENI, 2006).
3.
Penatalaksanaan diabetes melitus
Penatalaksanaan DM terdiri dari empat pilar sebagai berikut.
a.
Edukasi
Diabetes tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku
telah terbentuk dengan mapan. Pemberdayaan penyandang diabetes memerlukan
10
partisipasi aktif pasien, keluarga dan masyarakat. Untuk mencapai keberhasilan
perubahan perilaku, dibutuhkan edukasi oleh Tim Kesehatan yang komprehensif
dan upaya peningkatan motivasi. Edukasi dapat dilakukan secara individual
dengan pendekatan berdasarkan penyelesaian masalah. Seperti halnya dengan
proses edukasi, perubahan perilaku memerlukan perencanaan yang baik,
implementasi, evaluasi, dan dokumentasi. Materi edukasi terdiri dari materi
edukasi tingkat awal dan materi edukasi tingkat lanjutan. Contoh materi edukasi
tingkat awal antara lain perjalanan penyakit DM, intervensi farmakologis dan
non-farmakologis serta target perawatan, cara pemantauan glukosa darah dan
pemahaman hasil glukosa darah atau urin mandiri, mengatasi sementara keadaan
gawat darurat seperti rasa sakit, atau hipoglikemia, serta pentingnya latihan
jasmani yang teratur. Contoh materi edukasi pada tingkat lanjut antara lain
mengenal dan mencegah penyulit akut dan menahun DM, penatalaksanaan DM
selama menderita penyakit lain, makan di luar rumah, serta rencana untuk
kegiatan khusus (PERKENI, 2011).
b.
Terapi Gizi Medis
Kunci keberhasilan TGM adalah keterlibatan secara menyeluruh dari
anggota tim (dokter, ahli gizi, petugas kesehatan yang lain dan pasien itu
sendiri). Setiap pasien diabetes sebaiknya mendapat TGM sesuai dengan
kebutuhannya guna mencapai sasaran terapi. Prinsip pengaturan makan pada
penyandang diabetes hampir sama dengan anjuran makan untuk masyarakat
umum yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori dan
zat gizi masing-masing individu. Pasien diabetes perlu ditekankan pentingnya
11
keteraturan makan dalam hal jadwal makan, jenis dan jumlah makanan, terutama
pada mereka yang menggunakan obat penurun glukosa darah atau insulin
(PERKENI, 2011)
Diet yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang seimbang
dalam hal karbohidrat, protein dan lemak, sesuai dengan kecukupan gizi antara
lain karbohidrat 60-70%, protein 10-15%, dan lemak 20-25% (Depkes RI,
2005).
c.
Latihan Jasmani
Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani secara teratur
dianjurkan 3-4 kali seminggu selama kurang lebih 30 menit. Kegiatan sehari-hari
seperti berjalan kaki, menggunakan tangga, berkebun harus tetap dilakukan.
Latihan jasmani selain untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat
badan dan memperbaiki sensitivitas insulin, sehingga akan memperbaiki kendali
glukosa darah. Latihan jasmani yang dianjurkan berupa latihan jasmani yang
bersifat aerobik seperti jalan kaki, bersepeda santai, jogging, dan berenang.
Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan dengan umur dan status kesegaran
jasmani (PERKENI, 2011). Hal yang perlu diperhatikan adalah bila kadar
glukosa darah 250 mg% dianjurkan untuk tidak melakukan latihan berat,
misalnya latihan beban, olahraga kontak tinju, bulu tangkis, sepak bola, dan
olahraga permainan lain (Depkes RI, 2008b).
d.
Intervensi Farmakologis
Pengelolaan DM dimulai dengan pengaturan makan dan latihan jasmani
selama beberapa waktu (2-4 minggu). Apabila kadar glukosa darah belum
12
mencapai sasaran, dilakukan intervensi farmakologis dengan obat hipoglikemik
oral (OHO) dan atau suntikan insulin (PERKENI, 2006).
1)
Obat Hipoglikemik Oral
OHO umumnya diklasifikasikan menjadi 5 golongan, antara lain:
a)
Pemicu Sekresi Insulin
Termasuk pemicu sekresi insulin adalah Sulfonilurea dan Glinid.
Sulfonilurea mempunyai efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta
pankreas, dan merupakan pilihan utama untuk pasien dengan berat badan
normal dan kurang, namun masih boleh diberikan kepada pasien dengan berat
badan lebih (PERKENI, 2011). Golongan Sulfonilurea dibagi menjadi 2 yaitu
generasi 1 dan generasi 2. Generasi 1 meliputi klorpropamid, tolbutamid, dan
tolazamid. Generasi 2 meliputi glimepirid, gliburida, dan glipizid. Generasi 1
mempunyai potensi yang lebih rendah dari generasi 2 (Triplit et al., 2009).
Sulfonilurea tidak dianjurkan untuk penggunaan jangka panjang untuk
menghindari hipoglikemia berkepanjangan pada berbagai keadaaan seperti
orang tua, gangguan faal ginjal dan hati, kurang nutrisi serta penyakit
kardiovaskular (PERKENI, 2011). Glinid merupakan obat yang cara kerjanya
sama dengan sulfonilurea, dengan penekanan pada meningkatkan sekresi
insulin fase pertama. Golongan ini terdiri dari 2 macam obat yaitu: Repaglinid
(derivat asam benzoat) dan Nateglinid (derivat fenilalanin) (PERKENI, 2011).
Repaglinid hampir sama efektifnya dengan metformin dan sulfonilurea dalam
mengurangi level A1C. Nateglinid agak kurang efektif dibandingkan
13
Repaglinid bila digunakan sebagai monoterapi atau terapi kombinasi (Nathan
et al., 2009).
b)
Penambah Sensitivitas Terhadap Insulin
Obat golongan ini adalah Tiazolidindion yang mempunyai efek
menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah protein
pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan ambilan glukosa di perifer.
Tiazolidindion dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung kelas IIV karena dapat memperberat edema/ retensi cairan dan juga pada gangguan
faal hati. Pada pasien yang menggunakan tiazolidindion perlu dilakukan
pemantauan faal hati secara berkala (PERKENI, 2011). Dua macam obat
yang termasuk golongan ini antara lain Rosiglitazon dan Pioglitazon. Rentang
terapetik untuk pioglitazon adalah 15-45 mg/hari dalam satu dosis, dan
rosiglitazon mempunyai dosis harian total 2-8 mg/hari dalam satu atau dua
kali sehari (Powers, 2012).
c)
Penghambat glukoneogenesis.
Obat golongan ini antara lain Metformin. Obat ini mempunyai efek
utama mengurangi produksi glukosa hati (glukoneogenesis), di samping juga
memperbaiki ambilan glukosa perifer. Terutama dipakai pada penyandang
diabetes yang gemuk (PERKENI, 2011). Metformin dapat mengurangi gula
darah puasa, meningkatkan profil lipid, dan dapat menurunkan berat badan
(Powers, 2012). Metformin dikontraindikasikan pada pasien dengan
gangguan fungsi ginjal (serum kreatinin > 1,5 mg/dL) dan hati, serta pasienpasien dengan kecenderungan hipoksemia (misalnya penyakit serebro-
14
vaskular, sepsis, renjatan, gagal jantung). Metformin dapat memberikan efek
samping mual. Untuk mengurangi keluhan tersebut dapat diberikan pada saat
atau sesudah makan (PERKENI, 2011).
d)
Penghambat Glukosidase Alfa (Acarbose)
Obat ini bekerja dengan mengurangi absorpsi glukosa di usus halus,
sehingga menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan. Acarbose tidak
menimbulkan efek samping hipoglikemia. Efek samping yang paling sering
ditemukan ialah kembung dan flatulens (PERKENI, 2011). Acarbose
dikontraindikasikan
pada
penderita
Inflammatory
Bowel
Disease,
gastroparesis, dan serum kreatinin yang mencapai >2 mg/dL (Powers, 2012).
e)
Penghambat DPP-4
Obat golongan baru ini mempunyai cara kerja menghambat suatu enzim
yang mendegradasi hormin inkretin endogen, hormon GLP-1 dan GLP yang
berasal dari usus sehingga dapat meningkatkan sekresi insulin, mengurangi
sekresi glukagon, dan memperlambat pengosongan lambung. GLP-1 secara
cepat diubah oleh enzim dipeptidyl peptidase-4 (DPP-4) menjadi metabolit
tidak aktif. Pada DM tipe 2, sekresi GLP menurun sehingga diberikan obat
yang menghambat kerja enzim DPP-4. Obat golongan ini mempunyai profil
keamanan yang cukup tinggi tanpa efek samping yang berat, walaupun
pernah dilaporkan adanya urtikaria dan angioedema. Contoh obat golongan
ini adalah sitagliptin dan vildabliptin (PERKENI, 2011).
15
2)
Insulin
Sekresi insulin fisiologis terdiri dari sekresi basal dan sekresi prandial.
Defisiensi insulin mungkin berupa defisiensi insulin basal, insulin prandial atau
keduanya. Defisiensi insulin basal menyebabkan timbulnya hiperglikemia pada
keadaan puasa, sedangkan defisiensi insulin prandial akan menimbulkan
hiperglikemia setelah makan. Terapi insulin untuk substitusi ditujukan untuk
melakukan koreksi terhadap defisiensi yang terjadi. Terapi insulin dapat
diberikan secara tunggal berupa: insulin kerja cepat (rapid acting), kerja pendek
(short acting), kerja menengah (intermediate acting), kerja panjang (long acting)
atau insulin campuran tetap (premixed insulin). Pemberian dapat pula kombinasi
antara jenis insulin kerja cepat atau insulin kerja pendek untuk koreksi defisiensi
insulin prandial, dengan kerja menengah atau kerja panjang untuk koreksi
defisiensi insulin basal, juga dapat dilakukan kombinasi dengan OHO. Terapi
insulin tunggal atau kombinasi disesuaikan dengan kebutuhan pasien dan respon
individu terhadap insulin, yang dinilai dari hasil pemeriksaan kadar glukosa
darah harian. Penyesuaian dosis insulin dapat dilakukan dengan menambah 2-4
unit setiap 3-4 hari bila sasaran terapi belum tercapai (PERKENI, 2006).
3)
Terapi Kombinasi
Terapi dengan OHO kombinasi, harus dipilih dua macam obat dari
kelompok yang mempunyai mekanisme kerja berbeda. Bila sasaran kadar
glukosa darah belum tercapai, dapat pula diberikan kombinasi tiga OHO dari
kelompok yang berbeda atau kombinasi OHO dengan insulin. Pada pasien yang
disertai dengan alasan klinik dimana insulin tidak memungkinkan untuk dipakai,
16
dipilih terapi dengan kombinasi tiga OHO. Untuk kombinasi OHO dan insulin,
yang banyak dipergunakan adalah kombinasi OHO dan insulin basal (insulin
kerja menengah atau insulin kerja panjang) yang diberikan pada malam hari
menjelang tidur. Dengan pendekatan terapi tersebut pada umumnya dapat
diperoleh kendali glukosa darah yang baik dengan dosis insulin yang cukup
kecil. Dosis awal insulin kerja menengah adalah 5-10 unit yang diberikan sekitar
jam 22.00, kemudian dilakukan evaluasi dosis tersebut dengan menilai kadar
glukosa darah puasa keesokan harinya. Bila dengan cara seperti di atas kadar
glukosa
darah
sepanjang
hari
masih
tidak
terkendali,
maka
obat
hipoglikemikoral dihentikan dan diberikan insulin saja (PERKENI, 2006).
Bila perlu, setelah hari ke 3-4 dilakukan penyesuaian dosis 2-4 unit
insulin. Apabila jumlah insulin >30 U per hari OHO dapat dihentikan sehingga
dapat digunakan insulin premixed atau insulin menengah atau insulin basal
bolus. Dosis insulin menengah dibagi 2, yaitu pagi hari dua per tiga (2/3) dari
dosis insulin total dan malam hari satu per tiga (1/3) dari dosis insulin total
(Soegondo et al., 2011).
4.
Pengandalian kadar glukosa darah
Pengendalian kadar glukosa darah yang baik dan optimal diperlukan
untuk mencegah terjadinya komplikasi kronik. DM yang terkendali dengan baik
tidak hanya kadar glukosa darahnya saja yang baik, tetapi meliputi pula status
gizi, tekanan darah, kadar lipid, maupun HbA1C (Soegondo, 2011).
17
Dalam praktek sehari-hari, hasil pengobatan DM Tipe 2 harus dipantau
secara terencana dengan melakukan anamnesis, pemeriksaan jasmani, dan
pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan
kadar glukosa darah, A1C, glukosa urin, pemantauan glukosa darah mandiri, dan
pemantauan benda keton (PERKENI, 2006). Kriteria pengendalian DM
berdasarkan aturan terbaru dari American Diabetes Association tahun 2015
dapat dilihat pada tabel II.
Tabel II. Kriteria Pengendalian Diabetes Melitus (ADA, 2015)
Indikator
Target Terapi
Glukosa darah puasa (mg/dL)
Glukosa darah postpradial (mg/dL)
A1C (%)
80- <130
<180
<7%
Monitoring hasil terapi, pengendalian glukosa darah jangka panjang
diukur lebih stabil dan akurat dibandingkan dengan kadar glukosa darah puasa
dengan HbA1C (Hemoglobin terglikasi). Hemoglobin terglikasi dibentuk karena
proses non-enzimatis, interaksi antara glukosa dengan kelompok amino terdiri
dari valin dan lisin pada hemoglobin. Ikatan glukosa dan hemoglobin
irreversibel dan kadar dalam darah tergantung kadar gula darah. Indikator rerata
glukosa darah digunakan kadar A1C. Pemeriksaan A1C merupakan gold
standard kontrol glikemik. A1C merupakan hasil kenaikan glukosa puasa dan
glukosa postpradial. Kontribusi glukosa puasa dan postpradial tergantung pada
tingkat A1C. Semakin rendah A1C, semakin besar kontribusi glukosa
postpradial. Semakin tinggi A1C, semakin besar kontribusi glukosa puasa (ACE,
2005). Pemeriksaan A1C digunakan untuk menilai efek perubahan terapi 8-12
18
minggu sebelumnya, hasil pengobatan jangka pendek tidak dapat dinilai dengan
ini (Stott et al., 2001).
5.
Faktor yang mempengaruhi terapi diabetes melitus
Terdapat banyak faktor yang mempengaruhi efektivitas terapi DM. Hal
tersebut berdampak terhadap kendali glukosa darah pasien.
a.
1)
Fisiologis Pasien
Usia
Menurut WHO setelah mencapai usia 30 tahun, akan terjadi peningkatan
kadar glukosa darah sebanyak 1-2 mg% (puasa) dan meningkat hingga 5,6-13
mg% 2 jam setelah makan (Aditama, 2011). Hal ini sesuai dengan pernyataan
ADA yaitu pada usia di atas 45 tahun faktor resiko menderita Diabetes Melitus
meningkat (ADA, 2006). Dalam kaitannya dengan pengobatan, umur yang
semakin tua khususnya pada geriatrik, terjadi perubahan fisiologis yang dapat
mempengaruhi keberhasilan terapi yaitu:
a) Penyakit pada usia lanjut cenderung terjadi pada banyak organ
sehingga pemberian obat juga cenderung bersifat polifarmasi.
b) Polifarmasi menyangkut resiko lebih banyak terjadi interaksi obat,
efek samping obat, dan reaksi obat yang tidak diinginkan.
c) Proses
menua
menyebabkan
perubahan
farmakokinetik
dan
farmakodinamik obat, juga penurunan fungsi dari berbagai organ,
sehingga tingkat keamanan obat dan efektivitasnya dapat berubah
(Darmojo & Martono, 2004).
19
2)
Jenis Kelamin
Penelitian yang dilakukan Trief et al. (2009) menyatakan bahwa pasien
DM laki-laki mempunyai kontrol glikemik yang lebih buruk dibandingkan
perempuan. Perbedaan level gula darah antara laki-laki dan perempuan
berhubungan dengan kepatuhan dalam melaksanakan diet, namun pada
umumnya perempuan lebih memperhatikan kesehatan dan menjalani perawatan
lebih sering dibandigkan laki-laki (Aditama, 2011).
3)
Kehamilan
Selama kehamilan terjadi hipertropi dan hiperplasis sel beta pankreas
yang dipengaruhi oleh hormon estrogen dan progesteron (Costrini, 1991). Pada
awal kehamilan terjadi hipersekresi insulin sebagai respon terhadap asupan
makanan yang meningkat. Pada pertengahan kehamilan terjadi peningkatan
hormon glukokortikoid dan progesteron yang mengakibatkan terjadinya
resistensi insulin (Lain, 2007). Kondisi pada kehamilan tersebut menyebabkan
Diabetes melitus gestasional, dan mempengaruhi kontrol glikemik dan jenis
terapi (OHO tunggal, OHO kombinasi, atau kombinasi OHO dan Insulin).
b.
Adanya Komorbid
1)
Obesitas
Obesitas merupakan peningkatan total lemak tubuh, yaitu apabila ditemui
kelebihan berat badan >20% pada pria dan >25% pada wanita karena lemak
biasanya diukur menggunakan Indeks Massa Tubuh (IMT), lingkar pinggang,
dan rasio lingkar pinggang dengan lingkar panggul (Suastika, 2006).
20
Kejadian DM 4 kali lebih besar pada mereka yang obesitas dibandingkan
orang yang tidak obesitas. Individu dengan DM diketahui sebanyak 80%
diantaranya adalah obesitas. Obesitas sentral secara bermakna berhubungan
dengan sindrom dismetabolik (dislipidemia, hiperglikemia, hipertensi), yang
didasari oleh resistensi insulin (PERKENI, 2011). Obesitas menyebabkan
reseptor insulin pada target sel di seluruh tubuh kurang sensitif dan jumlahnya
berkurang sehingga insulin dalam darah tidak dapat dimanfaatkan (Ilyas, 2007).
2)
Dislipidemia
Gambaran dislipidemia yang didapatkan oleh para penderita diabetes
adalah peningkatan trigliserida, penurunan kolesterol HDL, sedangkan kolesterol
LDL normal atau meningkat. Dislipidemia pada penyandang diabetes lebih
meningkatkan resiko terjadinya penyakit kardiovaskuler Bagi para penderita
diabetes dengan dislipidemia perlu dipertimbangkan untuk mendapatkan terapi
farmakologi. Target terapi bagi penderita DM adalah penurunan kadar kolesterol
LDL (PERKENI, 2011). Target profil lipid berdasarkan kriteria ADA 2015 yaitu
kadar LDL untuk pasien tanpa penyakit kardiovaskuler <100 mg/dL (2,6
mmol/L) dan untuk pasien dengan penyakit ACS atau mempunyai banyak faktor
resiko kadar LDL sebesar <70 mg/dL (1,8 mmol/L), kadar trigliserida <150
mg/dL (1,7 mmol/dL), kadar HDL >40 mg/dL (1,0 mmol/L) untuk pria dan <50
mg/dL (1,3 mmol/L) untuk wanita (ADA, 2015).
3)
Hipertensi
Hipertensi merupakan salah satu faktor resiko DM. Hipertensi dan DM
adalah kedua penyakit yang saling mempengaruhi, jika kedua penyakit ini tidak
21
terkendali dengan baik akan saling memperburuk kondisi. Pada penelitian yang
dilakukan oleh Gress et al. (2000), diperoleh hasil bahwa orang dengan
hipertensi mempinyai kemungkinan 2,5 kali lebih besar menderita diabetes
melitus tipe 2 dengan orang yang mempunyai tekanan darah normal. Pada pasien
DM, hipertensi dapat ditemukan sebelum, saat didiagnosis, maupun setelah
pasien menderita DM. Hipertensi yang tidak terkontrol saat menderita DM
menyebabkan kadar glukosa darah target sulit tercapai dan meningkatkan resiko
komplikasi DM jangka panjang. Peningkatan tekanan darah juga bervariasi
tergantung oleh faktor resistensi insulin dan hiperinsulinemia. Terjadinya
hipertensi pada resistensi insulin bisa disebabkan beberapa mekanisme, antara
lain:
a) Peningkatan reabsorpsi natrium dan air oleh ginjal.
b) Hiperinsulinemia meningkatkan aktivitas fisik sistem syaraf simpatis
yang menimbulkan vasokonstriksi, meningkatkan curah jantung dan
gangguan homeostatik garam dan volume darah.
c) Kerja dari pompa natrium menigkat dan dilanjutkan peningkatan
vasokonstriksi.
d) Merangsang insulin pertumbuhan pada otot polos pembuluh darah
dari jantung yang berakibat lumen pembuluh darah mengecil dan
hipertrofi jantung (Puspita et al., 2009).
Pasien DM yang tekanan darah sistoliknya >140 mmHg dan tekanan
darah diastoliknya >90 mmHg harus diberikan terapi farmakologis secara
langsung, serta perubahan gaya hidup (PERKENI, 2011). Target tekanan darah
22
bagi penderita hipertensi dengan DM menurut kriteria JNC VIII adalah tekanan
sistolik <140 mmHg dan tekanan diastolik <90 mmHg (James et al., 2014).
4)
Sirosis Hati
Kelainan homeostasis glukosa sering terjadi pada sirosis. Hiperglikemia
dan intoleransi glukosa adalah yang paling sering terjadi. Intoleransi glukosa
karena kadar Insulin yang normal atau meningkat, mengesankan bahwa
resistensi insulin lebih mungkin bertanggung jawab dibandingkan defisiensi
insulin. Salah satu faktor yang mungkin memainkan peranan dalam resistensi
insulin yang nyata adalah penurunan absolut pada kemampuan hati untuk
memetabolisis beban glukosa karena penurunan dalam memfungsikan massa
hepatoselular. Terdapat juga bukti bahwa respon terhadap insulin dikurangi
karena cacat reseptor dan pascareseptor dalam hepatosit pasien dengan sirosis.
Faktor-faktor
yang menyebabkan hiperglikemia antara lain penurunan
pengambilan glukosa hati, penurunan sintesis glikogen hati, resistensi hati
terhadap insulin, pintas glukosa portal sistemik, resistensi insulin perifer, serta
kelainan hormonal yang ditandai dengan glukagon dan insulin meningkat
(Harrison, 1995).
c.
Interaksi Obat
Terkait dengan adanya komorbid, pasien DM dapat menggunakan obat
lain untuk mengatasi penyakit tersebut, dan obat-obat yang digunakan pasien
dapat berakibat pada tidak terkendalinya kadar glukosa darah baik hiperglikemia
maupun hipoglikemia karena adanya interaksi. Interaksi obat dengan
antidiabetik
dapat
terjadi
baik
interaksi
farmakokinetik
maupun
23
farmakodinamik. Interaksi farmakodinamik terjadi apabila obat presipitan
mempengaruhi kadar glukosa darah sehingga kemungkinan memerlukan
penyesuaian dosis antidiabetik sedangkan interaksi farmakokinetik terjadi
melalui mekanisme yang lebih bervariasi yang berkaitan dengan proses absorbsi,
distribusi, metabolisme, dan eliminasi (Shenfield, 2001).
Terdapat obat-obat yang dapat meningkatkan kadar glukosa darah
sehingga memungkinkan adanya kebutuhan peningkatan dosis insulin maupun
OHO yang diberikan (Depkes RI, 2005). Obat-obat yang menyebabkan
hiperglikemia dapat dilihat pada tabel III.
Tabel III. Obat-obat yang menyebabkan hiperglikemia (Depkes RI, 2005)
No.
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
Nama Obat
Alkohol (kronis)
Asparaginase
Antipsikotik atipikal
Beta agonis
Kafein
Penyekat kanal Kalsium
Kortikosteroid
Siklosporin
Diazoxida
Fentanil
Alfa-interferon
Amiodaron
Laktulosa
Lithium
Diuretik tiazida
Niasin & Asam nikotinat
Fenotiazin
Fenitoin
Amina simpatomimetik
Teofilin
Estrogen
Preparat Tiroid
Antidepresan trisiklik
Kontrasepsi oral
Keparahan
+++
++
Tidak diketahui
++
Tidak diketahui
Tidak diketahui
+++
++
+++
Tidak diketahui
Tidak diketahui
Tidak diketahui
Tidak diketahui
+
+++
++
+
+
++
Tidak diketahui
+++
+
Tidak diketahui
++
Keterangan:
+ Kemungkinan bermakna secara klinis, studi/laporan terbatas atau bertentangan
++ Bermakna secara klinis. Sangat penting pada kondisi tertentu
+++ Berpengaruh bermakna secara klinis
24
Selain interaksi obat dengan penyakit, interaksi obat juga dapat terjadi
dengan
OHO
maupun
Insulin,
terutama
farmakokinetik
antidiabetes.
Sulfonilurea dan repaglinid mengalami metabolissme di dalam hati. Konsentrasi
obat dalam plasma serta aktivitasnya dapat berkurang dengan adanya obat-obat
yang menginduksi enzim hepatik ataupun bertambah dengan adanya obat-obat
yang menghambat enzim hepatik. Methformin mengalami ekskresi di ginjal
sehingga dapat dipengaruhi oleh obat-obat yang menurunkan fungsi ginjal atau
melalui mekanisme lainnya menjadikan Methformin menjadi lebih toksik.
Akarbosa sangat sedikit diabsorpsi melalui usus sehingga sangat jarang
menimbulkan
interaksi
yang
signifikan.
Pada
obat-obat
golongan
Thiazolidinedon (Glitazone) belum banyak dilaporkan, tetapi karena obat ini
mengalami metabolisme oleh enzim CYP3A4 maka obat-obat yang menghambat
atau menginduksi enzim tersebut diperkirakan akan mempengaruhi efek
Glitiazone (Shenfield, 2001).
F.
Landasan Teori
Diabetes melitus merupakan salah satu penyakit metabolik yang
prevalensinya semakin meningkat dari tahun ke tahun. Berbagai penelitian
epidemiologi menunjukkan insidensi dan prevalensi DM diseluruh penjuru dunia
mengalami peningkatan. Pencapaian target kendali glukosa darah adalah upaya
pemantauan untuk menilai maanfaat penatalaksanaan DM. Kadar glukosa darah
yang tidak terkendali dapat menyebabkan terjadinya berbagai komplikasi, yaitu
berupa komplikasi makrovaskuler dan mikrovaskuler (Depkes RI, 2008b).
25
Kondisi fisiologis yang memiliki pengaruh terhadap kontrol glikemik
darah antara lain umur, jenis kelamin, serta kehamilan dan menyusui. Semakin
meningkatnya umur, maka kadar glukosa darah semakin meningkat sehingga
prevalensi DM pada usia lanjut pun meningkat (Rochmah, 2006). Usia lanjut
secara klinis berhubungan dengam perubahan metabolisme, jumlah protein dan
lemak,
dan
kepekaan
reseptor
terhadap
obat
sehingga
kemungkinan
mempengaruhi terapi (Mangoni & Jackson, 2004).
Penderita DM tidak hanya menderita DM, namun mempunyai penyakit
penyerta baik yang menimbulkan DM maupun yang timbul karena DM.
Hipertensi, dislipidemia, dan obesitas adalah penyakit yang paing banyak
dijumpai pada penderita DM (PERKENI, 2011). Penelitian oleh Sanal et al.
(2011) menyatakan bahwa kontrol diabetes yang buruk berhubungan dengan
adanya komorbid seperti penyakit jantung koroner, neuropati, retinopati, gagal
ginjal, dan gangguan neurologi.
Adanya
berbagai
penyakit
penyerta
dan/atau
komplikasi
juga
menyebabkan pasien DM juga diharuskan mengonsumsi obat-obat lain selain
selain terapi DM untuk mengatasi dan mencegah progresivitas penyakit.
Penggunaan obat-obat lain dapat menyebabkan interaksi obat dengan obat
antidiabetik yang dapat mempengaruhi efektivitas terapi (Muchid et al., 2005).
Interaksi obat antidiabetik dengan obat lain secara farmakokinetik maupun
farmakodinamik dapat mempengaruhi pengendalian kadar glukosa darah. Pasien
akan mengalami fluktuasi kadar glukosa darah yang akan berdampak pada
26
keberhasilan terapinya. Efek yang ditimbulkan dapat berupa hiperglikemia atau
hipoglikemia.
G.
Kerangka Konsep
Gambaran kerangka konsep penelitian ini ditunjukkan pada Gambar 1..
Pasien diabetes melitus
Terapi dengan antidiabetik
Capaian target glukosa darah
Faktor-faktor yang mempengaruhi:
- Umur
- Adanya penyakit penyerta
Diteliti
- Interaksi obat
- Kepatuhan pengobatan
- Aktivitas fisik/olahraga
Tidak diteliti
- Diet
Gambar 1. Kerangka Konsep Penelitian
H.
Hipotesis
Berdasarkan tinjauan pustaka dan landasan teori, hipotesis penelitian ini
adalah terdapat hubungan antara faktor resiko yang meliputi umur, penyakit
penyerta, dan interaksi obat dengan capaian target kadar glukosa darah pada
pasien diabetes melitus.
Download