Liberalisasi perdagangan sudah merupakan fenomena dunia yang

advertisement
ABSTRAK
Sejak disepakatinya GATT pada tahun 1947 sampai dengan berdirinya WTO
pada tahun 1995, liberalisasi perdagangan internasional terus diupayakan melalui
kesepakatan-kesepakatan yang pada intinya bertujuan mereduksi hambatan tarif
(Tariff Barriers) dan menghapuskan secara progresif hambatan non-tarif (Non-Tariff
Barriers). Pada tataran regional kebijakan itu dilanjutkan oleh negara-negara
sekawasan. Keadaan ini mendesak negara-negara tidak terkecuali Indonesia untuk
melakukan penyesuaian-pennyesuaian termasuk harmonisasi tarif tentunya dalam
konteks AFTA Indonesia harus memperhatikan CEPT.
Penelitian ini mencoba menganalisis kebijakan pemerintah Indonesia
sehubungan dengan harmonisasi tarif di lingkungan AFTA dan secara khusus ingin
melihat peran dan kedudukan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dalam penunjukan
tarif bea masuk. Penelitian ini juga menggunakan metode penelitian hukum normatif
dengan pendekatan yuridis normatif. Data penelitian berupa bahan hukum primer dan
sekunder dianalisis dengan menggunakan metode kualitatif-interpretatif-abstraktif
dengan penarikan kesimpulan secara deduktif.
Pada prinsipnya tarif merupakan satu-satunya instrumen hambatan
perdagangan (Tariff Barriers) yang diijinkan dalam hukum perdagangan
internasional. Hambatan tarif selain dapat melindungi industri dalam negeri melalui
hambatan perdagangan yang diciptakannya juga menghasilkan pemasukan bagi
negara. Inilah yang membedakan hambatan tarif dan hambatan non-tarif, namun
untuk menghindari kebijakan tarif antar negara yang dapat menimbulkan distorsi
dalam perdagangan internasional maka diperlukan harmonisasi tarif. Pemerintah
indonesia telah ikut serta dalam menandatangani Framework Agreement on
Enhancing ASEAN Economic Cooperation sekaligus menandai dicanangkannya
ASEAN Free Trade Area (AFTA) pada tanggal 1 Januari 1993 dengan Common
Effective Preferential Tariff (CEPT) sebagai mekanisme utamanya. Sebagai salah
satu negara ASEAN, Indonesia telah memberlakukan sistem klasifikasi barang
berdasarkan ASEAN Harmonised Tariff Nomenclature (AHTN) berdasarkan Protocol
Governing the Implementation of the ASEAN Harmonised Tariff Nomenclature
(AHTN).
Peran dan kedudukan Direktorat Jenderal Bea Cukai merekomendasikan agar
pemerintah Indonesia turut serta berperan aktif dalam perundingan WTO dan dalam
penetapan tarif diharapkan selain memperhatikan ketentuan tarif, juga memperhatikan
kepentingan-kepentingan industri dalam negeri agar jangan sampai penetapan tarif
menyulitkan perkembangan industri dalam negeri, oleh karena itu disarankan
penetapan tarif melibatkan seluruh pihak terkait dalam hal ini stake holder.
Kata Kunci : Harmonisasi Tarif Bea Masuk, Perdagangan Bebas Regional,
Kepabeanan
Universitas Sumatera Utara
ABSTRACT
Since GATT agreement in 1947 up to the establishment of WTO in 1995, the
international trade liberalization has been attempted through agreements in order to
reduce the tariff barriers and progressively eliminate the non-tariff barriers. On the
original level, this policy was carried out by the neighboring countries. This situation
prompted these countries, including Indonesia, to make adjustments and to
harmonize the tariffs. Indonesia, according to AFTA, must pay its attention to CEPT.
This research attempts to analyze the Indonesian policy, concerning the
harmonization of tariffs in AFTA, especially to observe the role and status of
Directorate General of Customs and Excises in setting the import duty tariffs. It
applies the normative-law research method by using the normative legal approach.
The data were derived from the primary and secondary laws and analyzed with the
abstractive-interpretative-qualitative method by drawing conclusions deductively.
Basically, tariff is the only trade barrier which is permitted in the
international trade law. The tariff barriers can protect the domestic industry and
create income for the country. This is the difference between the tariff barriers and
the non-tariff barriers. However, the harmonization of the tariff is needed in order to
avoid the tariff policy among nations so that they do not bring about distortion in the
international trade. Indonesian government participated in signing the Framework
Agreement on Enhancing ASEAN Economic Cooperation and proclaimed the ASEAN
Free Trade Area (AFTA) on January 1, 1993 with Common Effrective Preferential
Tariff (ECPT) as its primary mechanism. As the member of the ASEAN countries,
Indonesia has applied the commodity classification system, based on the ASEAN
Harmonized Tariff Nomenclature(AHTN) and on the Protocol Governing the
Implementation of the ASEAN Hormonized Tariff Nomenclature (AHTN).
Directorate General of Customs and Excises, in its role and status,
recommends that the Indonesian government participate actively in WTO and, in
setting the tariffs, pay much attention to the tariff provision and the interest of the
domestic industry so that the tariff provison does not impede the development of the
domestic industry, as well as involve stakeholders in the tariff provison.
Key words: Harmonization of Import Duty Tariffs, Regional Free Trade, Customs
Universitas Sumatera Utara
Download