POTENSI PEMANFAATAN TEMPE KEDELAI DALAM PEMBUATAN BUBUR INSTAN UNTUK DIABETESI DENGAN KOMPLIKASI GANGREN DEWI KUSUMAH PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 RINGKASAN Dewi Kusumah. A54104036. Potensi Pemanfaatan Tempe Kedelai dalam Pembuatan Bubur Instan untuk Diabetesi dengan Komplikasi Gangren. Di bawah bimbingan Rimbawan dan Lilik Kustiyah Diabetes melitus menjadi salah satu penyakit yang paling ditakuti oleh masyarakat belakangan ini. Jumlah penderitanya juga semakin bertambah dari tahun ke tahun. Penyakit yang tidak dapat disembuhkan ini memerlukan penanganan lebih dalam pengaturan makan, sehingga tidak menimbulkan komplikasi yang lebih parah. Tempe merupakan bahan pangan kaya asam amino yang dapat dijadikan alternatif bahan pangan untuk diabetesi (orang dengan diabetes melitus). Perkembangan zaman menuntut segala sesuatu serba cepat, termasuk didalamnya makanan yang dikonsumsi manusia. Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mempelajari proses pembuatan bubur instan dari bahan tempe kedelai sebagai alternatif menu diet diabetesi dengan komplikasi gangren, adapun tujuan khususnya adalah mempelajari proses pembuatan tempe kedelai, menentukan formula yang tepat dari bubur instan dari bahan tempe kedelai, mempelajari proses pembuatan bubur instan dari bahan tempe kedelai, mempelajari proses pengeringan dalam pembuatan bubur instan dari bahan tempe kedelai, menguji mutu organoleptik dari produk bubur instan dari tempe kedelai, menganalisis kandungan gizi bubur instan dari tempe kedelai, dan menganalisis kaitan antara komposisi gizi bubur instan dengan diabetes melitus. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari sampai dengan Mei 2008 di pabrik tempe Sindangbarang II untuk pembuatan tempe kedelai, Pilot Plan Seafast Centre untuk proses pengeringan, Laboratorium Pengolahan Pangan Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor untuk pembuatan produk serta Laboratorium Analisis Zat Gizi, Departemen Gizi Masyarakat, dan Laboratorium Kimia Terpadu, Institut Pertanian Bogor, Baranangsiang untuk analisis produk. Bahan yang digunakan dalam pembuatan tempe untuk penelitian ini adalah kedelai kuning jenis Americana yang diperoleh dari Balai Penelitian Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian (Balitbiogen) Cimanggu, Bogor; inokulum tempe Rhizopus oligosporus murni (yang selanjutnya disebut ragi tempe) yang diperoleh dari Laboratorium Mikrobiologi, Institut Teknologi Bandung; air dan pembungkus plastik yang telah dilubangi. Sedangkan bahan yang digunakan untuk pembuatan produk bubur instan adalah tempe, tepung tapioka, maltodekstrin, CMC (carboxy methyl celulose), sukralosa, air dan essen vanilin. Bahan yang digunakan untuk analisis kandungan zat gizi terdiri atas bahan kimia untuk analisis protein, larutan multienzim (tripsin, kimotripsin dan peptidase), bahan kimia untuk analisis lemak serta bahan kimia standar HPLC untuk analisis asam amino. Alat yang digunakan untuk pembuatan tempe meliputi adalah timbangan, panci, kompor, mesin penggiling kedelai dan ember, sedangkan alat yang digunakan untuk pembuatan produk meliputi pisau, talenan, panci, kompor, termometer, blender, brabender amilograph, freeze dryer, drum dryer dan vacuum evaporator. Analisis kandungan gizi menggunakan seperangkat alat analisis lemak, seperangkat alat ekstraksi protein, seperangkat alat standar HPLC, pH meter, penangas air dan stirer. Proses pembuatan tempe memerlukan kondisi khusus, baik kelembaban, pH maupun temperatur. Hal ini terkait dengan pertumbuhan kapang tempe. Jenis kapang yang digunakan dalam pembuatan tempe akan menentukan kandungan gizi tempe. Hasil analisis kandungan gizi menyebutkan bahwa, terjadi peningkatan kandungan lemak dan protein dan terjadi penurunan kadar abu pada saat fermentasi kedelai menjadi tempe. Formula terbaik pada pembuatan produk bubur instan terdiri dari tempe 100 gram, maltodekstrin 2,5 persen, tapioka 2,5 persen, CMC 0,1 persen, air 350 mL, perisa 0,7 persen dan sukralosa 25 persen tingkat kemanisan gula. Produk yang dihasilkan dari penggunaan formula ini mempunyai tekstur yang halus dan kekentalan yang disukai oleh lebih dari separuh panelis. Pembuatan bubur instan diawali dengan pencampuran bahan yang telah terpilih (tempe 100 gram, maltodekstrin 2,5 persen, tapioka 2,5 persen, CMC 0,1 persen, air 350 mL dan sukralosa 25 persen) sampai merata kemudian dilanjutkan dengan pemasakan. Pemasakan dilakukan dengan menggunakan tiga perlakuan suhu yaitu (73,5oC, 81oC dan 88,5 oC). Setelah dimasak, kemudian dilanjutkan pada proses pengeringan dengan beberapa jenis pengering. Pada beberapa jenis pengeringan baik freeze dryer, drum dryer maupun vacuum evaporator tidak memberikan pengaruh yang jauh berbeda terhadap daya terima panelis terhadap produk dari aspek rasa, warna, aroma, tekstur dan keseluruhan produk. Rasa pahit masih menjadi salah satu kelemahan produk. Hal ini mengakibatkan penerimaan secara keseluruhan produk masih rendah. Pada aspek aroma, warna, tekstur menunjukkan tingkat penerimaan yang baik dari panelis. Pada beberapa jenis pengeringan baik freeze dryer, drum dryer maupun vacuum evaporator tidak memberikan pengaruh yang jauh berbeda terhadap mutu gizi produk yang dihasilkan. Pada penggunaan sistem pengering drum, mutu cerna yang dihasilkan paling tinggi diantara pengering freeze dryer dan vacuum evaporator meskipun kadar protein yang dihasilkan jauh lebih rendah. Pemberian suhu pemasakan yang berbeda memberikan perbedaan yang berarti pada kadar air produk, sedangkan untuk kadar protein, lemak, asam amino tidak memperlihatkan perbedaan yang terlalu jauh antar suhu pemasakan. Berdasarkan perhitungan biaya yang diperlukan untuk pembuatan bubur instan dari bahan tempe kedelai, drum dryer lebih efisien dan cocok digunakan dalam proses pengeringan. Produk makanan diet dari bahan tempe kedelai dapat menyumbang sekitar 10 persen dari total kebutuhan energi diabetesi dalam sehari dan menyumbang 3,1 persen kebutuhan arginin diabetesi. POTENSI PEMANFAATAN TEMPE KEDELAI DALAM PEMBUATAN BUBUR INSTAN UNTUK DIABETESI DENGAN KOMPLIKASI GANGREN Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga Institut Pertanian Bogor DEWI KUSUMAH A54104036 PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 Judul Nama : Potensi Pemanfaatan Tempe Kedelai dalam Pembuatan Bubur Instan untuk Diabetesi dengan Komplikasi Gangren : Dewi Kusumah NIM : A54103036 Disetujui : Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II Dr.Rimbawan NIP.131 629 744 Dr. Ir. Lilik Kustiyah, MSi NIP. 131 669 945 Diketahui, Dekan Fakultas Pertanian Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr. NIP.131 124 019 Tanggal Lulus : RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Rembang, Jawa tengah pada tanggal 17 Juni 1986. Penulis merupakan anak pertama dari keluarga Bapak Kusbiyanto dan Ibu Mahmudah. Pendidikan dasar ditempuh pada tahun 1992 sampai 1998 di SD Negeri Sumbergirang 3, kemudian penulis melanjutkan pendidikan sekolah di SLTP Negeri 1 Lasem pada tahun 1998 sampai 2001 dan SMU Negeri 2 Rembang pada tahun 2001 sampai 2004. Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) pada tahun 2004 pada Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian. Selama perkuliahan penulis aktif dalam berbagai organisasi kemahasiswaan seperti Badan Eksekutif Mahasiswa Tingkat Persiapan Bersama (BEM TPB) pada masa kepengurusan 2004-2005, Himpunan Mahasiswa Peminat Ilmu Gizi Pertanian (HIMAGITA) pada masa kepengurusan 2005-2006. Pada tahun 2006, penulis mengikuti program pengiriman relawan untuk penanganan trauma anak pasca gempa Jogjakarta. Penulis juga aktif mengikuti perlombaan karya tulis seperti Program Kreativitas Mahasiswa (PKM), Kompetisi Pemikiran Kritis Mahasiswa (KPKM) dan Kompetisi Karya Tulis Mahasiswa (KKTM). Pada tahun 2008 penulis menjadi asisten praktikum mata kuliah Ilmu Bahan Makanan untuk program S1 Gizi Masyarakat dan Metabolisme Zat Gizi pada program Ekstensi S1 Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia. Selain itu, penulis juga pernah menjadi enumerator pada penelitian yang berjudul “Pengembangan Model Kelembagaan Berbasis Komunitas Lokal yang Ramah Terhadap Perkembangan Anak pada Masyarakat Pedesaan Di Bogor”. Bersama dengan Dr. Rimbawan dan Dr. Ir. Lilik Kustiyah, M.Si, penulis menyajikan makalah poster yang berjudul “Potensi Pemanfaatan Tempe Kedelai dalam Pembuatan Bubur Instan untuk Diabetesi dengan Komplikasi Gangren” pada acara Seminar dan Lokakarya mengenai Perkembangan Terkini tentang Tempe: Teknologi, Standardisasi dan Potensinya dalam Perbaikan Gizi serta Kesehatan. PRAKATA Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan segenap rahmat, karunia dan segala keindahan hidup sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir yang berjudul “Potensi Pemanfaatan Tempe Kedelai dalam Pembuatan Bubur Instan untuk Diabetesi dengan Komplikasi Gangren”. Shalawat serta salam senantiasa tercurah pada nabi Allah, Muhammad SAW yang telah memberikan suri tauladan hidup kepada umatnya hingga akhir jaman. Terima kasih yang tak terhingga penulis sampaikan kepada: 1. Bapak Dr. Rimbawan sebagai pembimbing I yang telah memberikan arahan, masukan, saran, motivasi, semangat dan nasihat sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tugas akhir ini. 2. Ibu Dr. Ir. Lilik Kustiyah, M.Si selaku pembimbing II yang telah dengan sabar membimbing dan mengarahkan penulis dalam penyelesaian tugas akhir. 3. Dr.Ir. Sri Anna Marliyati,M.Si selaku dosen penguji atas masukan, saran dan perbaikan dalam penulisan karya tulis ini. 4. Ibu Dr. Ir. Evy Damayanthi, MS selaku pembimbing akademik yang telah memberikan bimbingan. 5. Rekan rekan pembahas seminar, Alfinda, Firdaus dan Devita Kusuma. 6. Bapak (alm) dan Ibu atas semua kasih sayang, cinta, didikan dan semangat yang tiada henti yang mungkin sampai kapanpun tiada kan terbalaskan, serta kesabaran dan pengertiannya selama ini. Adik Joko Kusumah atas semua keceriaan dan dukungan yang diberikan. 7. Bapak Dian S. Ghozali selaku teman sekaligus kakak yang menyenangkan, Bapak Mashudi, Bu Rizky, Bu Titi dan Bu Nina atas semua bantuan baik teknis maupun non teknis. Kak Sigit GMSK 35, Pak Rolas, Pak Nurwanto, Pak Iyas dan Pak Cahyo atas semua bantuan dan kerjasama dalam penyelesaian tugas akhir ini. 8. Rekan rekan sesama penelitian di Laboratorium (Rizka Riyana, Rika Yulianti, Edo Ryzki, Astri Dwi, Handaru Tri, Aini Aqsa) atas semua keceriaan, tawa dan tangis selama penelitian. 9. Quantumers (Marissa, Ari, Yulia dan Nova), Teman-teman GMSK 41 (Nur Laela, Novita Nining, Eka Septiani, Febriana Ira, Ida Hildawati, Kartika Wandini, Sri Adriyani, Aklesta), sahabat sahabatku (Fitriardi , Maulana, Ayudya), GMSK 40, GM 42, GM 43 atas semua kenangan dan kebersamaan selama empat tahun ini. 10. Teman-teman Tim KKP Desa Sukamandi, Subang (Dhimas Ario, Siti Nurul Qoriah, Srikandi Puspa, Prakarsa dan Kurnia). Terima kasih untuk kebersamaan dan kenangan indah selama 2 bulan. 11. Bloboers (Masrochatun, Faridah Nafiati, Nurul Isnaeni, Septina, Nuraeni, Andhika, Dian Rahmawati, Ustri Yustina, Nurwanita Putri, Isnaeni Farida, Arum atas semua dukungan dan semangat yang tak henti. 12. Reisi Nurdiani, SP, Venny A. Mahardikawati, Sanya Andalusiana, SP, Khaerunnisa, SP, Anita Karina SP serta praktikan Ilmu Bahan Makanan yang mewarnai kehidupan penulis. 13. Dosen dan Staf GMSK yang telah memberikan didikan, ajaran, dukungan dan bantuan kepada penulis selama 4 tahun masa studi. 14. Pandu Canggih Dewanata (Alm) atas semua inspirasi dan kenangan yang tidak terlupakan. 15. Teman teman seperjuanganku “Rembang 41” Endah, Syadid, Tyas Trianto, Tyas, Hanif, Niam, Fuad, Wiwik, Teny, Dhita, Pipin, Klori dan Vida, terima kasih atas persaudaraan yang telah terjalin. Yogi Purno Yudho atas nasihat dan dukungannya selama ini. 16. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Semoga karya tulis ini bermanfaat. Bogor, 11 September 2008 Penulis PENDAHULUAN Latar Belakang Diabetes melitus menjadi salah satu penyakit yang paling ditakuti oleh masyarakat belakangan ini. Penyakit yang menjadi ciri negatif dari kemakmuran (Khomsan 2006) ini merupakan salah satu dari 4 jenis penyakit pembunuh mematikan di Amerika Serikat dengan jumlah penderita yang semakin bertambah tiap tahunnya. Perubahan konsumsi pangan yang mengarah pada tingginya lemak dan kalori serta aktivitas fisik yang rendah menjadi pemicu awal timbulnya penyakit ini. Penyakit yang ditandai dengan penurunan berat badan secara drastis, rasa haus (polidipsi) dan lapar (polifagi) yang berlebih ini mengakibatkan kerugian yang tidak sedikit pada negara maju seperti Amerika Serikat. Tidak hanya beban ekonomi yang harus ditanggung pemerintah berkaitan dengan perawatan dan penyembuhan, namun juga produktivitas kerja masyarakat yang kurang optimal menjadi masalah besar karena penyakit ini. Penyakit diabetes merupakan manifestasi dari kesalahan pola makan. Makanan yang tinggi karbohidrat dan lemak banyak memicu naiknya kadar gula darah. Kenaikan kadar gula darah yang tidak terkendali dalam waktu yang lama akan mengakibatkan ketidakmampuan insulin untuk mengontrolnya. Ketidakmampuan insulin dalam mengatur keseimbangan gula darah dalam tubuh ini dinamakan diabetes melitus. Diabetes melitus merupakan jenis penyakit yang tidak dapat disembuhkan sehingga dibutuhkan perawatan dan manajemen yang baik berkaitan dengan pengaturan makan dan gaya hidup. Pengaturan konsumsi yang buruk akan mengakibatkan pada tingginya kadar gula darah yang mengarah pada komplikasi yang lebih serius semisal retinophati, nefropati, hipertensi, jantung dan gangren. Diabetic foot merupakan salah satu komplikasi kronik diabetes melitus yang paling buruk hasil pengelolaannya. Angka kematian dan angka amputasi masih tinggi dan biaya pengelolaanya sangat mahal. Meningkatnya prevalensi DM akibat tidak dikelola dengan baiknya diabetes akan mengakibatkan berbagai komplikasi yang akan menjadi problem di kemudian hari (Waspadji 2000). Pengaturan diet yang benar akan membantu diabetesi untuk menjaga kondisi agar tidak terjadi komplikasi yang memperparah kondisi diabetesi. Berbagai penelitian membuktikan bahwa kedelai menyimpan potensi gizi yang baik. Menurut Anderson, Blake, Turner & Smith (1998), kedelai bermanfaat bagi penderita diabetes dengan komplikasi ginjal. Protein kedelai mempunyai sifat yang berbeda dengan protein daging. Protein hewani merupakan salah satu pantangan bagi penderita gagal ginjal. Beberapa penelitian juga membuktikan bahwa, pemberian ransum kedelai pada tikus bermanfaat untuk menurunkan kadar gula darah. Tempe merupakan salah satu makanan fermentasi tradisional warisan nenek moyang yang terbukti mempunyai nilai gizi tinggi dan dapat digunakan sebagai sumber protein yang murah (Syafrina, Sibarani, Julita & Pawiroharsono 1997). Tempe banyak digunakan sebagai sumber protein masyarakat ditengah sulitnya kondisi perekonomian yang berakibat pada keterbatasan daya beli. Tempe juga mempunyai aktivitas antioksidan yang tinggi yang bermanfaat untuk menangkal radikal bebas sehingga dapat menghambat penuaan dan mencegah penyakit degeneratif (aterosklerosis, jantung koroner, diabetes melitus, dan lain lain). Proses fermentasi yang diberikan pada kedelai untuk menghasilkan tempe dapat meningkatkan kualitas gizi. Beberapa zat gizi seperti protein, lemak, vitamin B meningkat jumlahnya karena adanya kapang yang memotong ikatan. Pemotongan ikatan kimia kompleks menjadi lebih sederhana ini bermenfaat pada saat penyerapan oleh tubuh. Selain beberapa potensi yang telah disebutkan, tempe mempunyai aktivitas antimikrobial yang bermanfaat untuk pencegahan diare. Begitu banyak potensi gizi yang dimiliki tempe, namun belum banyak teknologi yang menyentuh aspek pengolahan, sehingga tempe hanya sebatas menjadi lauk di meja makan. Berbagai potensi yang dimiliki tempe terkadang tertutupi oleh image tempe sebagai makanan kelas bawah. Teknologi pangan yang tepat disamping dapat meningkatkan image tempe sebagai super food juga bermanfaat untuk efisiensi produk seperti pengangkutan dan penyimpanan. Membanjirnya produk makanan instan merupakan salah satu tuntutan di masa yang semakin maju ini. Setiap orang menginginkan makanan yang dapat dengan mudah dan cepat disajikan dan dinikmati, sehingga perkembangan serta prospek makanan instan masih sangatlah tinggi. Pengolahan lebih lanjut pada bahan pangan mempunyai dampak negatif berupa kerusakan atau penurunan beberapa komponen gizi, namun disatu sisi manfaat kepraktisan dan kemudahan diperoleh mengiringi proses berlanjut dari pangan. Melihat potensi yang besar dari tempe kedelai bagi diabetesi serta tuntutan akan pangan instan, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai pembuatan bubur instan dari tempe kedelai. Tujuan Tujuan Umum: Mempelajari proses pembuatan bubur instan dari bahan tempe kedelai sebagai alternatif menu diet diabetesi dengan komplikasi gangren. Tujuan Khusus: 1. Mempelajari proses pembuatan tempe kedelai. 2. Menentukan formula yang tepat dari bubur instan dari bahan tempe kedelai. 3. Mempelajari proses pembuatan bubur instan dari bahan tempe kedelai. 4. Menguji mutu organoleptik dari produk bubur instan dari tempe kedelai 5. Menganalisis kandungan gizi bubur instan dari tempe kedelai. 6. Menganalisis kaitan antara komposisi gizi bubur instan dengan diabetes melitus. Manfaat • Menyediakan informasi mengenai kandungan gizi bubur instan dari tempe kedelai. • Menyediakan informasi mengenai metode pembuatan bubur instan dari tempe kedelai. • Meningkatkan nilai tambah tempe dan produk olahannya. • Menyediakan informasi mengenai kandungan arginin dan glutamat sebagai bahan aktif yang terkandung dalam bubur instan dari tempe kedelai. TINJAUAN PUSTAKA Diabetes Melitus Diabetes melitus merupakan kumpulan penyakit yang ditandai dengan tingginya kadar gula darah. Abnormalitas metabolisme karbohidrat, lemak dan protein juga terjadi. Secara umum tubuh orang dengan diabetes tidak memproduksi atau tidak memberikan respon terhadap insulin. Kondisi ketiadaan insulin ini memicu hiperglikemia yang berujung pada komplikasi waktu singkat dan komplikasi waktu lama (Mahan & Stump 2004). Menurut Rimbawan dan Siagian (2004) diabetes melitus adalah penyakit yang dicirikan dengan peningkatan kadar gula secara tidak terkendali (126 mg/dl untuk kadar gula darah puasa dan 200 mg/dl untuk kadar gula darah sewaktu). Diabetes seringkali disebabkan oleh asupan karbohidrat dan lemak yang berlebih, namun tidak diimbangi kemampuan tubuh untuk mengaturnya. Diabetes melitus adalah salah satu masalah kesehatan utama yang dihadapi oleh banyak negara. Di Amerika Serikat sekitar 11 sampai 15 juta orang terdiagnosa dan tidak terdiagnosa menderita diabetes melitus. Diabetes menduduki 6 besar penyakit pembunuh mematikan di amerika serikat, dan jika memperhitungkan komplikasi yang diakibatkan, estimasi kerugian negara yang ditimbulkan oleh diabetes ini juga tidak sedikit. Setidaknya Sekitar 20 milyar dolar per tahunnya harus dikeluarkan pemerintah Amerika Serikat berkaitan dengan penyakit diabetes ini (Anderson & Geil 1994). Menurut Expert Commitee on Diagnosis an Classification of Diabetes Melitus (ECDCDM) diacu dalam Rimbawan & Siagian (2004), diabetes diklasifikasikan menjadi 3 yaitu diabetes tipe 1, diabetes melitus tipe 2 dan diabetes melitus gestasional. Klasifikasi baru inilah yang digunakan sekarang, menggantikan terminologi insulin dependent diabetes mellitus (IDDM) dan non insulin dependent diabetes mellitus (NIDDM). Diabetes tipe 1 terhitung 5-10 persen dari semua kasus diagnosa diabetes. Kerusakan sel β pankreas secara permanen memicu defisiensi insulin secara absolut (insulinopenia) yang berujung pada hiperglikemia, poliuria, polidipsia, kehilangan berat badan, dehidrasi, ketidakseimbangan elektrolit dan ketoasidosis. Kerusakan sel β pankreas dapat disebabkan oleh infeksi virus, respon autoimun dan kemungkinan kelemahan genetis (Bender 2002). Kemampuan pankreas untuk sekresi insulin sangat jauh dari normal, sehingga diabetesi tipe 1 membutuhkan insulin tambahan dari luar untuk mencegah asidosis dan kematian. Meskipun diabetes tipe 1 dapat terjadi pada tahapan usia manapun, namun pasien lebih banyak didiagnosa pada usia kurang dari 30 tahun dengan puncak insiden antara usia 10-12 tahun pada wanita dan 12-14 tahun pada pria (Franz dan Havas 2003). Diabetes tipe 1 merupakan manivestasi gabungan dari kecenderungan genetik dan kerusakan sistem imun dari sel beta pankreas. Berdasarkan diagnosis, sekitar 85-90 persen orang dengan diabetes mempunyai lebih dari 1 sirkulasi autoantibodi, endogenous insulin dan antibodi lain yang konstituen ke sel islet. Antibodi yang diduga berperan dalam kerusakan sel beta pankreas adalah 1) Sel islet autoantibody (ICAs) 2) Insulin Autoantibody (IAAs), yang mungkin terjadi pada sesesorang yang tidak pernah menerima terapi insulin 3) auto antibody pada asam glutamat decarboxilase (GAD), yaitu protein yang ada pada permukaan sel beta. GAD antibodies tampak sebagai sesuatu yang harus diserang oleh T sel (Killer T lyphosit) (Franz dan Havas 2003). Diabetes tipe 2 disebabkan oleh kegagalan respon insulin sebagai akibat dari penurunan sensitivitas reseptor insulin. Diabetes tipe 2 ini diderita oleh hampir 90 persen sampai 95 persen dari total populasi diabetes yang ada. Faktor risiko diabetes tipe 2 meliputi faktor genetik dan lingkungan termasuk riwayat diabetes keluarga, usia tua, obesitas, kegemukan daerah perut, aktivitas fisik yang rendah, sejarah diabetes gestasional, homeostasis glukosa yang buruk seta suku atau ras. Meskipun total lemak tubuh dan obesitas merupakan salah satu faktor risiko diabetes tipe 2, namun diabetes tipe 2 juga ditemukan pada orang non obese (Mahan & Stump 2004). Diabetes gestasional didefinisikan sebagai derajat intoleransi gula yang gejala awalnya diketahui pada saat kehamilan. Diabetes gestasional terjadi pada ± 7 persen seluruh kehamilan di dunia dengan total kasus lebih dari 200.000 per tahunnya. Diabetes gestasional biasanya terdeteksi pada trimester kedua atau ketiga dari usia kehamilan. Pada waktu tersebut, kadar hormon antagonis-insulin meningkat, sehingga terjadilah resistensi insulin (Mahan & Stump 2004). Diebetes gestasional merupakan bentuk diabetes sementara selama kehamilan dengan pencapaian kadar glukosa normal setelah kelahiran. Wanita yang terdeteksi diabetes sebelum konsepsi tergolong sebagai diabetes pregestasional, namun tidak dapat digolongkan sebagai diabetes gestasional selama kehamilannya. Diabetes gestasional dapat mengakibatkan komplikasi pada ibu dan bayi jika tidak dikontrol dengan baik (Mahan & Stump 2004). Prevalensi Diabetes Melitus Pada tahun 1994, diabetesi di dunia dinyatakan berjumlah 110,4 juta jiwa dan dilaporkan meningkat pada tahun 2000 menjadi 175,4 juta jiwa. Tahun 2010 diperkirakan akan mencapai 239,3 juta penderita ( McCarty & Zimmet 1994 diacu dalam Tjookroprawiro 2006). Di Indonesia jumlah diabetesi pada tahun 2000 adalah sekitar empat juta dan diperkirakan akan mengalami peningkatan menjadi lima juta penderita pada tahun 2010 (Tjokroprawiro 2006). Menurut Mokdad et al (2001) diacu dalam Mahan & Stump (2004), antara tahun 1990 sampai 1998 prevalensi diabetes meningkat sebanyak 76 persen pada orang yang berusia 30 tahunan. Pada anak-anak prevalensi diabetes tipe 2 juga meningkat secara dramatis, yaitu hanya sekitar 4 persen pada tahun 1990 menjadi 45 persen pada beberapa tahun belakangan ini. Komplikasi Diabetes Melitus Penyakit diabetes melitus yang tidak tertangani akan mengakibatkan berbagai komplikasi makrovasikuler dan mikrovasikuler. Komplikasi makrovasikuler bisa berupa gagal jantung kongestif, stroke, amputasi serta dapat mengakibatkan kematian, sedangkan komplikasi mikrovasikuler berupa retinophaty, nephrophaty dan neurophaty (Franz & Havas 2003). Banyak kelainan klinis yang menyerang diabetesi. Beberapa daerah yang sering terkena komplikasi adalah pankreas, pembuluh darah, ginjal, syaraf dan mata. Glukosa merupakan bahan bakar atau sumber energi bagi tubuh. Homeostatis glukosa darah diatur oleh hormon insulin dan glukagon untuk menjaga kadar normal gula darah (55-140 mg/dl). Konsentrasi minimum 40-60 mg/dl diperlukan untuk menyediakan bahan bakar yang cukup bagi syaraf utama di otak. Pada diabetesi, glukosa tidak dapat dengan mudah diambil dan diutilisasi oleh jaringan karena keterbatasan dan ketiadaan insulin. Ketidakmampuan tubuh membersihkan darah dari glukosa juga merupakan salah satu ciri dari diabetes melitus. Kondisi tingginya kadar glukagon serta rendahnya kadar insulin sering dialami oleh diabetesi untuk memenuhi kebutuhan tubuh. Oleh karena itu glikolisis dihambat dan glukoneogenesis distimulasi (Sardesai 2003). Tingginya rasio glukagon dan insulin terkadang memicu terjadinya pemecahan glikogen, sehingga terjadi hiperglikemia berat. Kadar glukosa darah yang tinggi ini sering melampaui batas kemampuan ginjal untuk menyaring (180 mg/dl) sehingga glukosa dibuang bersama urin. Energi potensial bagi tubuh yang terbuang bersama urin ini menuai konsekuensi kelaparan, penurunan berat badan dan kelelahan yang amat. Rasa haus yang teramat merupakan hasil dari air tubuh yang digunakan untuk ekskresi glukosa (Sardesai 2003). Tingginya kadar glukosa darah pada diabetesi juga mempengaruhi beberapa jaringan yang tidak memerlukan insulin seperti lensa okuler, saraf periver dan glomerulus ginjal. Komplikasi umum yang terjadi adalah kelainan ginjal, gangren, penyakit jantung, retinopati serta kerusakan pembuluh darah dan pembuluh syaraf. Kelainan ginjal 17 kali lebih tinggi kemungkinannya diderita oleh diabetesi dari pada orang normal, penyakit jantung dan stroke 2 kali lebih sering dan kebutaan 25 kali lebih tinggi kejadiaannya pada orang diabetes dari pada orang normal, sehingga harapan hidup diabetesi 3 kali diperkirakan lebih rendah dari pada orang normal (Sardesai 2003). Penatalaksanaan Diet Diabetes Melitus Diabetes merupakan penyakit kronis, sehingga diperlukan perubahan gaya hidup untuk seumur hidup untuk menghindari terjadinya komplikasi berkelanjutan (Frans & Havaz 2003). Tujuan pokok panatalaksanaan diet penyakit diabetes melitus adalah mengurangi hiperglikemia, mencegah hipoglikemia pada pasien yang diberi terapi insulin serta mencegah komplikasi yang terjadi terutama penyakit kardiovasikuler (Willet et al diacu dalam Rimbawan & Siagian 2005). Pengontrolan optimum untuk diabetes membutuhkan perbaikan dari metabolisme karbohidrat, lemak dan protein. Diabetes merupakan penyakit dengan banyak komplikasi, sekitar 50 persen kasus amputasi yang terjadi pada orang dewasa dan 25 persen kegagalan ginjal dan penyebab utama kebutaan di Amerika Serikat disebabkan oleh diabetes melitus. Penanganan dan manajemen pengaturan yang baik diperlukan mengingat tidak ada yang dapat memprediksi komplikasi-komplikasi yang akan terjadi akibat penyakit ini (Anderson & Geil 1994). Pengaturan diabetes terdiri dari terapi gizi medis, aktivitas fisik, pemantauan glukosa darah (Mahan & Stump 2004). Komunikasi dan edukasi menjadi bagian yang penting dalam penatalaksanaan diet diabetes melitus karena perawatan kesehatan pribadi harus dimulai dari diri sendiri (Anderson & Geil 1994). Konsep indeks glikemiks yang berbasis konsep perbedaan pengaruh glukosa darah yang akan terjadi akibat perbedaan jenis karbohidrat pada jumlah yang sama menjadi dasar penatalaksanaan diet diabetes melitus baru (Rimbawan & Siagian 2005). Konsep indeks glikemik tidak hanya bermanfaat untuk penanganan diabetes melitus, namun bermanfaat juga untuk mencegah komplikasi yang dapat terjadi akibat diabetes. Konsep perbedaan respon glukosa darah akibat perbedaan jenis karbohidrat ini tidak dijelaskan oleh panjang rantai molekul glukosa (Schulze, Liu, Rimm, Manson, Willett & Hu 2004). Secara umum pengaturan diabetes melitus bersifat spesifik dan berdasarkan pada kondisi metabolik individu. Berdasarkan rekomendasi ADA (American Diabetes Association), tujuan yang harus dicapai pada penatalaksanaan diabetes melitus adalah sebagai berikut: Tujuan terapi medis yang dapat diberikan pada semua orang dengan diabetes melitus meliputi pencapaian dan pemeliharaan outcome metabolisme yang meliputi: Kadar glukosa darah berada pada range normal (cukup aman untuk mengurangi risiko atau komplikasi akibat diabetes), profil lipid atau lipoprotein yang dapat mengurangi risiko penyakit jantung, kondisi tekanan darah yang dapat mengurangi risiko penyakit vasikuler; mencegah dan merawat komplikasi kronis: memodifikasi intik gizi yang sesuai untuk pencegahan dan treatment obesitas, penyakit jantung, hipertensi dan nefrophaty; meningkatkan kualitas kesehatan dengan memberikan pilihan makanan sehat dan aktivitas fisik; memenuhi kebutuhan gizi individu, mempertimbangkan preferensi budaya, pribadi dan gaya hidup dengan menghormati kebutuhan pribadi dan keinginan untuk berubah. Tujuan terapi gizi yang dapat diaplikasikan untuk kondisi tertentu terbagi atas: Kaum muda dengan diabetes tipe 1 berupa menyediakan energi yang cukup untuk masa pertumbuhan dan perkembangan, pemberian insulin menggunakan cara yang terintegrasi dengan perilaku makan dan kebiasaan olahraga; Kaum muda dengan diabetes tipe 2 berupa memfasilitasi perubahan makan dan olahraga yang dapat mengurangi resistensi insulin dan memperbaiki status metabolik; Wanita hamil dan menyusui berupa menyediakan energi dan zat gizi yang cukup untuk kelancaran kelahiran; Orang dewasa meliputi menyediakan energi yang cukup untuk individu yang mengalami proses penuaan; Individu yang mendapatkan perlakuan insulin ; menyediakan informasi untuk pencegahan dan treatment hipoglikemi dan olahraga yang terkait dengan masalah kadar glukosa darah dan bagaimana cara untuk mengatasinya; Individu dengan risiko diabetes; Mengurangi risiko dengan meningkatkan aktivitas fisik dan mengenalkan pilihan makanan yang mendukung penurunan berat badan secara ringan atau paling tidak mencegah kenaikan berat badan. American Diabetes Association (2002) diacu dalam Mahan & Stump (2004). Repon Imunitas Arginin adalah asam amino non esensial bagi manusia yang dibutuhkan untuk sintesa protein, urea, nukleotida dan ATP. Arginin juga merupakan prekursor dari nitric oxide (pengatur imunitas yang menjadi racun bagi sel tumor dan beberapa mikroorganisme). Arginin menjadi prekursor untuk sintesa poliamine (bahan yang menjadi kunci pada replikasi DNA, mengatur pembelahan dan siklus sel). Arginin berperan dalam penyembuhan luka, pertahanan terhadap pembedahan dan luka bakar serta meningkatkan resistensi terhadap infeksi bakteri. Pada kondisi normal, dosis 30 gram/hari menunjukkan respon yang baik pada peningkatan proliferasi limfosit darah dan membantu proses penyembuhan luka (Redmond dan daly 1993 diacu dalam Evoy et al 1998 diacu dalam Zempleni dan Daniel 2003). Arginin secara aktif diserap oleh usus melalui mekanisme sodiumdependent transport. Aktivitas yang tinggi dari arginase dalam enterocytes mengubah 40 persen dietari arginin menjadi sitrulin yang dilepaskan dalam peredaran darah. Dietari glutamin dan glutamat dapat juga digunakan untuk menghasilkan sitrulin dalam enterocites. Arginin dapat disintesis dari sitrulin yang mayoritas dihasilkan di ginjal untuk kemudian diedarkan ke seluruh tubuh. Nitric oxide atau NO merupakan salah satu molekul yang berperan dalam fungsi imunitas tubuh. Nitric oxide terbentuk bersama citrullin dari arginin yang dalam prosesnya dikatalisis oleh nitric oxide synthase. Nitric oxide juga berperan dalam pengaturan laju darah dan elastisitas pembuluh darah. Secara invitro dan invivo penelitian menunjukkan peran nitric oxide dalam proses penyembuhan luka (Cynober 2004). Glutamin adalah jenis asam amino yang berlimpah jumlahnya dalam tubuh. Otot skeletal merupakan tempat potensial untuk produksi glutamin dan sebagai penyupli glutamin yang bertindak sebagai pembawa nitrogen dalam organ tubuh. Respon imun tubuh tergantung salah satunya oleh kadar glutamin. Konsentrasi glutamin dalam tubuh menurun pada saat stres serta luka termasuk luka bakar. Penelitian pada tikus, menyebutkan bahwa penambahan glutamin pada diet tikus menyebabkan peningkatan proliferasi limfosit dan pembentukan IL-2 serta meningkatkan kemampuan tikus untuk bertahan dari infeksi (Wilmore dan Shabet diacu dalam Calder dan Jaqoob 1999, diacu dalam Zempleni dan Daniel 2003). Menurut Cynober (2004), pemberian diet 30 gram/hari glutamin selama 28 hari mampu meningkatkan jumlah limfosit pada pasien kanker yang mendapatkan kemoterapi. Kedelai Bau langu yang terdapat pada kedelai disebabkan oleh kerja enzim lipoksigenase yang bercampur dengan lemak kedelai. Reaksi ini menghasilkan sekitar 8 senyawa volatil. Dari hasil penelitian, senyawa etil venil ketonlah yang paling banyak menghasilkan bau langu. Lipoksigenase mempunyai sifat labil terhadap pemanasan, perlakuan perendaman pada suhu 80oC selama 10-15 menit dapat menginaktivasi enzim ini (Winarno 1993). Pada kedelai mentah terdapat zat anti gizi anti tripsin dan kimotripsin, antivitamin, goitrogen, hemaglutinin atau lektin, asam fitat, saponin serta oligosakarida faktor flatulensi. Kandungan zat anti gizi yang ada pada kedelai menjadi tolok ukur indikasi peringkat mutu kedelai sebagai bahan pangan, terutama sumber protein. Penghambat tripsin dan kimotripsin mengurangi efektivitas mencerna protein yang dilakukan enzim tripsin, sedangkan hemaglutinin atau lektin dapat mengikat molekul gula sehingga mengurangi efisiensi karbohidrat dalam metabolisme energi, sedangkan asam fitat dapat membentuk senyawa kompleks dengan mineral utama yang ada dalam tubuh seperti besi, kalsium, magnesium, seng dan beberapa protein tertentu sehingga mineral tidak dapat terserap baik oleh tubuh (Winarno 1993). Anderson, Blake, Turner & Smith (1998) mengatakan bahwa diabetesi dengan komplikasi penyakit ginjal harus membatasi konsumsi protein dalam diet hariannya. Hal ini dikarenakan konsumsi protein yang tinggi akan mengakibatkan hiperfiltrasi dan hipertensi glomerulus. Manfaat protein kedelai telah diketahui sejak lama. Pada diabetesi dengan komplikasi penyakit ginjal, konsumsi protein kedelai dapat menurunkan hiperfiltration dan glomerular hipertensi. Saponin berasal dari kata Soap yang berarti sabun. Pada saat proses pembuatan tahu atau perebusan susu kedelai mentah, terdapat busa gelembung yang terdeteksi sebagai komponen saponin. Pada pemasakan biasa saponin terasa pahit, namun pada pembuatan tahu di jepang komponen ini tidak dihilangkan. Penggunaan anti buih digunakan untuk mencegah busa yang berlebihan (Hui 2004). Tempe kedelai Pembuatan tempe diawali dengan pembersihan dan pengupasan kulit. Pencucian akan membantu menghilangkan kacang yang rusak dan benda-benda asing. Pengupasan menjadi hal yang penting, karena kapang Rhizophus tidak dapat tumbuh pada kedelai yang masih utuh. Pengupasan kulit metode basah dapat dilakukan dengan kaki atau tangan setelah pemasakan kedelai, sedangkan pengupasan metode kering biasa dilakukan dengan memecah biji kedelai kering dengan batu yang diikuti dengan pencucian di air mengalir (Hui 2004). Pengasaman dengan pH rendah biasa dilakukan normalnya antara 4,8-5,0. Pada pH 4,8-5,0 jamur yang menguntungkan akan tumbuh, namun bakteri pembusuk yang merugikan akan terhambat pertumbuhannya. Pada pembuatan tempe secara tradisional, kedelai direndam pada suhu 100 derajat celcius atau suhu kamar selama 8-22 jam agar bakteri dapat memfermentasi sehingga menghasilkan pH asam. Pada pembuatan tempe modern, pengasaman kedelai dapat dilakukan dengan penambahan cuka, asam laktat maupun asam asetat pada air saat pemasakan (Hui 2004). Ragi tempe optimum yang ditambahkan pada proses pembuatan tempe adalah 1 sampai 3 gram/1 kg berat kedelai matang. Untuk menghasilkan tempe dengan kualitas baik, dalam 1 gram harus terdapat sekitar 107-109 spora hidup (Rahman 1992). Nilai pH tempe semakin meningkat seiring dengan lama waktu fermentasi. Hal ini dikarenakan senyawa amonia yang merupakan hasil pemecahan protein memberikan reaksi basa. Tingginya kadar amonia akibat fermentasi yang terlalu lama juga terasa pada aroma yang dihasilkan (Hermana, Mahmud & Karyadi 2001). Beberapa komponen pada tempe belum dapat teridentifikasi, namun menurut penelitian bahwa mengkonsumsi tempe dapat menurunkan kadar kolesterol darah. Tempe juga terkenal dengan aktivitas antioksidan yang tinggi. Kemampuan menurunkan kadar kolesterol darah pada tempe disebabkan adanya kandungan 6,7,4 trihidroksi isoflavon yang berperan sebagai flavonoid. Konsentrasi yang tinggi dari aglycon termasuk di dalamnya daidzein dan genistein dapat memberikan efek perawatan kecantikan dan pencegahan osteoporosis pada wanita ( Sugano 2005). Antioksidan bereaksi dengan radikal bebas yang ada sehingga reaksi berantai tidak terus terjadi. Banyak perubahan yang terjadi selama proses fermentasi tempe, seperti aroma, rasa, tekstur dan kandungan gizi (Hermana, Mahmud, Karyadi 2001). Fermentasi yang terjadi pada saat pembuatan tempe mengakibatkan peningkatan daya cerna sehingga zat gizi yang ada lebih mudah terserap. Kualitas protein dan lemak yang terkandung juga semakin baik. Dari 18-20 persen kadar asam lemak yang ada, sekitar 85 persen merupakan asam lemak tak jenuh yang bersifat esensial (Koswara 1992 diacu dalam Syafrina et al 1997). Vitamin B12 yang biasa terdapat pada pangan hewani juga tinggi pada produk pangan hasil fermentasi seperti tempe. Menurut Syafrina et al 1992, kualitas gizi yang ada pada tempe tergantung pula pada inokulum atau starter yang digunakan. Pada penggunaan inokulum tunggal, kadar isoflavon lebih rendah jika dibandingkan dengan penggunaan inokulum kombinasi dua kapang. Pada saat fermentasi, kandungan isoflavon juga meningkat. Hal ini disebabkan oleh adanya enzim beta glukosidase yang dihasilkan oleh kapang Rhizopus (Barz, papendorf dan rehm 1990 diacu dalam Syafrina et al 1997). Pada proses pembuatan tempe, pemanasan yang dilakukan pada kedelai dapat mendegradasi senyawa anti gizi yang bersifat tidak tahan panas seperti anti tripsin dan kimotripsin, saponin, hemaglutinin dan antivitamin. Asam fitat yang bersifat larut air akan berkurang keberadaannya dengan perendaman selama sehari semalam. Asam fitat banyak terdapat pada bagian kulit dan lapisan bawah kulit. Penghilangan lapisan ini dapat mengurangi 30 persen keberadaan asam fitat pada kedelai. Bakteri asam laktat yang timbul pada saat perendaman mampu mengurangi efektivitas asam fitat (Winarno 1993). Rhizophus oligosporus yang ditambahkan pada saat fermentasi tempe dapat menghasilkan enzim fitase yang dapat merusak kompleks asam fitat (Sudarmaji dan Makakis diacu dalam Winarno 1993). Bahan Penyusun Sukralosa (Trichlorogalactosucrose) Sukralosa merupakan jenis pemanis low kalori baru yang beredar dipasaran. Sukralosa menghasilkan 600 kali kemanisan dari pada gula biasa (sukrosa) tanpa mengakibatkan dampak peningkatan kalori. Menurut FDA penggunaan sukralosa aman bagi manusia baik pada anak anak maupun pada ibu hamil (American Diabetes Association 2008). Baru baru ini Joint FAO/WHO Expert Committee on Food Additives (JECFA) telah menaikkan batas toleransi sukralosa dari 0-3,5 miligram/kg berat badan menjadi 0-15 mg/kg berat badan. Penggunaan sukralosa secara luas telah diijinkan mulai tahun 1988. sukralosa tidak diserap dengan baik oleh tubuh dan dikeluarkan bersama urin hampir tanpa perubahan. Berdasarkan penelitian terhadap 100 orang dan manusia, maka FDA (Food and Drug Administration) menyimpulkan bahwa penggunaan sukralosa tidak menyebabkan risiko neurologik, gangguan reproduksi maupun efek karsinogenik. Adapun keunggulan dari sukralosa adalah relatif stabil terhadap panas, sehingga tingkat kemanisan tidak banyak berubah. Dengan tingkat kemanisan yang cukup tinggi, maka untuk mendapatkan tingkat kemanisan yang diinginkan tidak membutuhkan banyak sukralosa (Anonymous 2008). Sukralosa mempunyai rumus kimia C12H19Cl3O8. berbentuk kristal putih, tidak berbau, tidak meninggalkan after taste, mudah larut air, metanol dan alkohol sukralosa juga telah teruji tidak mengakibatkan karies gigi dan tidak mempengaruhi metabolisme karbohidrat, sehingga sangat bermanfaat bagi diabetesi tipe 1 dan diabetesi tipe 2. CAC (Codex Alimentarius Committee) sendiri mengatur batas penggunaan sukralosa pada produk adalah 120-5000 mg/ kg produk (Anonymous 2008). Maltodekstrin Maltodekstrin merupakan bentuk modifikasi pati yang banyak digunakan sebagai penstabil maupun emulsifier pada pengolahan pangan. Keunggulan dari maltodekstrin adalah dapat larut dalam air dingin, dan merupakan jenis oligosakarida yang tergolong probiotik sehingga baik untuk sistem pencernaan tubuh (Shofianto 2008). Maltodekstrin merupakan komponen yang dihasilkan dari proses modifikasi pati melalui proses modifikasi pati melalui proses hidrolisis. Dekstrin mempunyai rumus kimia C6H10O5 dan memiliki sifat mudah larut dalam air. Dekstrin secara alami terbentuk dalam jagung, garut, singkong dan sebagainya. Secara umum dekstrin dihasilkan dengan memanaskan pati kering bersama dengan sejumlah katalis Pati Pati adalah jenis polisakarida yang disimpan dalam akar, umbi, dan biji dari tanaman serta pada endosperm biji bijian. Pati dapat dihidrolisis menjadi glukosa yang menyediakan energi serta nutrisi bagi otak dan tubuh. Pati dari biji bijian terdiri dari cincin panjang polimer glukosa dan bersifat tidak larut air. Tidak seperti molekul kecil dari gula atau garam, polimer pati yang lebih besar tidak dapat membentuk larutan yang stabil, sementara granula pati membentuk suspensi temporary ketika diaduk dalam air. Granula yang tidak dimasak dapat sedikit membengkak ketika menyerap air, namun ketika dipanaskan pembengkakan menjadi signifikan dan granula melepaskan pati sehingga memungkinkan digunakan sebagai pengeras tekstur (Vaclavik & Christian 2003). Secara umum, kualitas dari produk akhir dipengaruhi oleh jenis pati, temperatur pemasakan, konsentrasi pati yang digunakan dalam formula serta bahan pendukung lain seperti gula dan asam. Fraksi terlarut dalam pati disebut amilosa, sedangkan fraksi tidak terlarut disebut amilopektin. Amilosa berbentuk rantai lurus dengan ikatan α-(1-4)- d glukosa, sedangkan amilopektin mempunyai cabang dengan ikatan α-(1-4)- d glukosa sebanyak 4-5persen dari berat total (Winarno 1992). Vaclavik & Christian (2003) mengatakan bahwa granula pati mempunyai bentuk dan ukuran yang berbeda yaitu berkisar dari 2-150 µm. Pati tersusun dari 2 molekul yaitu amilosa dan amilopektin yang dihubungkan oleh ikatan glikosidik. Molekul amilosa menyusun sekitar 1/4 dari struktur pati (meskipun terdapat jenis pati yang tidak mempunyai amilosa). Strukturnya cincin linear yang panjang yang tersusun dari ribuan unit glukosa yang dihubungkan oleh ikatan α-1,4 glikosidik. Amilosa membentuk jaringan 3 dimensi ketika molekul didinginkan, bertanggung jawab terhadap gelatinisasi ketika pemasakan pasta pati yang didinginkan, oleh karenanya pati dengan amilosa tinggi mempunyai bantuk yang padat ketika terbentuk gel. Amilopektin menyusun sekitar ¾ bagian dari polimer granula pati. Pati dengan perbandingan amilopektin yang tinggi akan mengentalkan campuran namun tidak akan membentuk gel karena tidak seperti amilosa, molekul amilopektin tidak menggabungkan dan membentuk ikatan kimia pada cara yang sama pada saat pendinginan. Pati akan mengalami pembengkakan jika ditambah dengan air. Jumlah air yang terserap hanya akan mencapai 30 persen, peningkatan volume granula pati akan terjadi pada suhu 55 sampai 65oC. Granula pati dapat dibuat membesar dengan penambahan suhu, suhu pada saat granula pati pecah dinamakan suhu gelatinisasi. Pati yang sudah mengalami gelatinisasi dapat dikeringkan, namun kondisi granula tidak dapat kembali lagi seperti saat sebelum tergelatinisasi. Sifat inilah yang dimanfaatkan pada pembuatan pangan instan (Winarno 1992). Pati mempunyai kemampuan menyerap air yang tinggi. Hal ini dikarenakan tingginya gugus hidroksil dalam molekul pati. Pati mempunyai suhu gelatinisasi yang bervariasi tergantung salah satunya oleh konsentrasi pati, pH dan penambahan gula. Semakin tinggi konsentrasi pati, semakin tinggi suhu yang harus diberikan. Perubahan pH juga berpengaruh terhadap suhu gelatinisasi. Bila pH semakin tinggi, gel akan cepat terbentuk, namun akan segera turun lagi, pada pH terlalu rendah pembentukan gel berlangsung lambat dan jika pemanasan diteruskan viskositas akan turun. Penambahan gula berpengaruh terhadap kekentalan gel yang terbentuk. Gula akan menurunkan tingkat kekentalan, karena gula akan mengikat air sehingga pembengkakan air berlangsung lebih lambat (Winarno 1992). CMC (Carboxy Methyl Cellulose) CMC merupakan jenis polisakarida linier dengan rantai panjang anionik yang larut air. CMC merupakan turunan dari selulosa (Furia 1975 diacu dalam Nurjanah 2003). Kelebihan CMC dibandingkan stabilizer lain adalah tidak memerlukan waktu aging yang lama, mudah larut dalam adonan, mempunyai kapasitas mengikat air yang baik dan harganya lebih rendah dibandingkan dengan stabilizer lain (Arbuckle 1986 diacu dalam Nurjanah 2003). CMC yang sudah dimurnikan berwarna putih sampai krem, mengalir bebas, tidak berasa dan tidak berbau (Glicksman 1984 diacu dalam Nurjanah 2003). CMC banyak digunakan sebagai bahan penstabil pada es krim, sherbet, susu, roti, bahan pengoles kue, salad dressing, mayonise, jelly dan jam. selain itu, CMC juga digunakan sebagai bahan tambahan pada industri farmasi, kertas, tekstil, kosmetika, cat, insektisida dan deterjen (Klose & Gliksman 1975 diacu dalam Nurjanah 2003) CMC merupakan gum yang larut dalam air panas, air dingin, namun tidak larut dalam pelarut organik. CMC merupakan gum yang diperoleh dari reaksi natrium monoklor asetat dengan selulosa alkali menjadi bentuk sodium karboksil metil selulose. CMC mengandung gugus karboksil yang menyebabkan mudahnya larut dalam air (Whistler & Daniels 1985 diacu dalam Nurjanah 2003). Kekentalan CMC dipengaruhi oleh pH, suhu, konsentrasi, garam dan gelatin. Larutan CMC mempunyai kekentalan maksimum pada pH 7-9. pada pH dibawah 5 akan terjadi penutunan kekentalan, sedangkan pada pH di bawah 3 dapat terjadi penegendapan asam karboksimetil selulosa bebas (Gliksman 1969 diacu dalam Nurjanah 2003). Peningkatan suhu akan mengakibatkan penurunan kekentalan, hal ini disebabkan oleh kenaikan energi yang mengakibatkan pecahnya ikatan hidrogen yang berakibat pada sedikitnya kandungan air pada rantai polimer. Sedangkan kenaikan konsentrasi CMC dalam larutan dapat menyebabkan kenaikan kekentalan (Ganz 1977 diacu dalam Nurjanah 2003). Alat Pengering Freeze dryer Freeze dryer merupakan jenis pengeringan yang dapat digunakan untuk bahan yang bersifat sensitif. Prinsip kerja freeze dryer adalah pada kondisi tekanan penguapan yang rendah, air dapat diuapkan dari fase es tanpa membuat es mencair. Prinsip penyubliman menjadi dasar freeze dryer ini. Air akan tersublimasi pada suhu 0 derajat atau lebih rendah dan diletakkan pada wadah dengan tekanan 4,7 mmHg atau kurang dari itu. Pada wadah vacuum, panas diberikan untuk mempercepat proses sublimasi. Jika kondisi vacuum dipertahankan pada range 0,1-2 mmhg dan panas dikontrol, bahan akan menyublim pada laju yang maksimum. Penguapan dimulai pada permukaan sampai pada bagian paling dalam bahan. Kelembaban akhir yang dihasilkan adalah sekitar 5 persen. Bahan pangan yang di freeze dry harus segera dikemas untuk menghindari penyerapan air dari atmosfir dan oksigen yang ada. Bahan pangan hasil pengeringan freeze mempunyai kelemahan yaitu porositas yang tinggi (Potter dan Hotchkiss 1997). Drum Dryer Pada alat pengering drum, bahan makanan cair, pure ataupun pasta diaplikasikan pada bentuk yang tipis pada permukaan pemanas drum. Drum secara umum memperoleh energi panas dari uap atau steam. Pengering bisa mempunyai single atau sepasang drum (roller). Bahan makanan diaplikasikan antara sela sela drum yang sedang beroperasi. Bahan pangan diaplikasikan secara kontinu pada drum sehingga bahan pangan kehilangan kelembabannya. Pada satu titik di drum dryer, dipasang pisau tajam untuk mengikis lapisan kering bahan pangan dari drum. Kecepatan putaran drum dapat diatur sehingga permukaan bahan pangan menjadi kering ketika mendekati pisau pengikis. Dengan menggunakan uap panas tekanan rendah, suhu di permukaan drum diperkirakan dapat mencapai lebih dari 100oC, bahkan pada beberapa aplikasi produk dapat mencapai 150oC. Dengan ketebalan bahan pangan kurang dari 2 mm, maka proses pengeringan hanya memakan waktu kurang lebih satu menit, bahkan bisa kurang tergantung pada jenis bahan (Potter dan Hotchkiss 1997). Jenis pengering Drum mempunyai beberapa kelemahan, diantaranya, untuk melakukan pengeringan yang cepat dibutuhkan suhu lebih dari 120 derajat, kondisi ini membuat produk mempunyai rasa dan warna lebih matang dari pada produk yang dikeringkan dengan suhu lebih rendah. Suhu pengeringan dapat diatur dengan merubah konstruksi mesin. Hal ini akan meningkatkan biaya produksi. Kelemahan yang kedua adalah sulit untuk menentukan zona atau perbedaan daerah panas (Potter dan Hotchkiss 1997). Bahan dengan kadar air sebesar 80 persen, dapat dikurangi kadar airnya menjadi ± 5 persen hanya dalam waktu 20 detik. Udara disekitar drum terdiri dari banyak uap air, biasanya bergerak ke bagian pembuangan dengan ventilasi normal, namun kadang kadang dibuang secara otomatis sehingga kelembaban pada titik ini dapat diatur sesuai dengan kebutuhan (Copley & Arsdel 1963). Vacuum evaporator Metode pengeringan vacuum dapat menghasilkan produk kering dengan kualitas tinggi, namun hal ini juga berimbas pada biaya yang dikeluarkan. Pada metode ini suhu atau panas pada makanan dan laju penguapan air dari bahan pangan dapat diatur. Panas merambat pada bahan pangan melalui proses radiasi dan konduksi. Setiap alat yang bekerja dengan prinsip vacuum mepunyai 4 bagian alat yang penting yaitu: wadah vacuum dengan konstruksi berat untuk menahan tekanan air dari luar yang mungkin melabihi tekanan di dalam, penyuply panas, sebuah alat untuk menghasilkan dan menjaga kondisi vacuum dan sebuah komponen untuk mengumpulkan uap air yang diuapkan dari bahan pangan (Potter dan Hotchkiss 1997). HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian Pendahuluan Pembuatan Tempe Kedelai Pembuatan tempe kedelai dilakukan dengan menggunakan metode tradisional. Metode ini dipilih karena banyak digunakan di masyarakat dan lebih mudah untuk dilakukan. Kedelai yang digunakan berasal dari varietas Americana karena merupakan varietas yang mudah didapatkan di pasaran serta banyak digunakan oleh para pengrajin tempe. Kedelai Americana berwarna kuning dan mempunyai ukuran biji yang relatif lebih besar daripada kedelai varietas lokal. Kedelai Americana yang digunakan pada penelitian ini diperoleh dari dari Balai Penelitian Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian (Balitbiogen), Cimanggu, Bogor. Hal ini bertujuan menjamin kemurnian varietas kedelai yang digunakan. Pembuatan tempe diawali dengan pencucian kedelai hingga bersih, kemudian pemasakan sampai matang dan tekstur menjadi lunak. Pemasakan dan pengupasan kulit bertujuan untuk mempermudah proses fermentasi, karena kapang Rhizophus tidak dapat tumbuh pada kedelai yang masih utuh, sehingga pemasakan dan pengupasan kulit menjadi suatu hal yang penting pada proses pembuatan tempe (Hui 2004). Setelah dimasak sampai lunak, kedelai direndam dengan air dengan suhu ruang selama 1 malam (24 jam). Menurut Hui (2004) perendaman kedelai selama semalam hingga mencapai pH 4,8-5,0 pada proses pembuatan tempe bermanfaat untuk membantu proses fermentasi, menghambat pertumbuhan bakteri yang tidak diinginkan, serta mendukung pertumbuhan bakteri yang menguntungkan. Berdasarkan hasil pengukuran, pH air rendaman kedelai setelah diasamkan selama 24 jam adalah 3,8. Perendaman juga bertujuan untuk meningkatkan kemampuan kapang Rhizophus dalam membentuk miselium. Kondisi asam juga akan menetralisir amonia yang terbentuk saat fermentasi. Kondisi pH di atas 7 (basa) akan menghambat pertumbuhan kapang Rhizophus. Hasil pengukuran pH pada proses pembuatan tempe lebih rendah (3,8) daripada yang disampaikan Hui (2004) (4,8-5,0), namun pada kondisi tersebut syarat tumbuh bakteri asam laktat tetap tercapai. Perbedaan pH yang dihasilkan akibat perendaman ini diduga karena perbedaan varietas yang digunakan serta kondisi lingkungan tempat pembuatan seperti kelembaban dan temperatur. Kondisi asam hasil fermentasi ini juga menguntungkan pertumbuhan kapang Rhizophus oligosporus sebagai kultur yang ditambahkan untuk memfermentasi kedelai. Pembuatan tempe pada penelitian ini menggunakan kultur murni Rhizophus oligosporus yang diperoleh dari Laboratorium Mikrobiologi, Institut Teknologi Bandung. Hal ini dilakukan untuk menjamin kemurnian kultur yang digunakan. Ragi yang ditambahkan adalah sebanyak satu gram per satu kilogram kedelai matang (Rahman 1992). Rhizophus oligosporus merupakan jenis kapang yang menghasilkan enzim protease yang tinggi, sehingga kualitas tempe yang dihasilkan diharapkan mempunyai kandungan dan mutu protein yang tinggi. Kedelai yang sudah ditambahkan ragi, kemudian difermentasi selama 2 x 24 jam dengan menggunakan pembungkus plastik yang telah dilubangi. Penggunaan plastik yang telah dilubangi bertujuan untuk menghindari kelembaban yang berlebih karena produksi H2O selama proses fermentasi. Jumlah H2O akan mengakibatkan kualitas tempe yang cepat menurun yang ditandai dengan cepatnya proses pembusukan. Fermentasi selama 2 X 24 jam merupakan kondisi ideal untuk fermentasi tempe karena pada tahapan ini zat gizi yang dihasilkan lebih mudah dicerna dan diserap oleh tubuh (Hermana, Karmini & Karyadi 1996 diacu dalam Amaliah 2002). Fermentasi dilakukan pada temperatur kamar (25oC). Menurut Hui (2004) temperatur optimal untuk melakukan fermentasi adalah 25-37oC dengan kelembaban relatif terbaik pada 70-80 persen. Pada temperatur sedang (31oC) dan temperatur tinggi (37oC) lebih dianjurkan untuk proses fermentasi, karena pada temperatur tersebut, kadar vitamin B12 lebih tinggi daripada fermentasi pada temperatur rendah (25oC). Kontrol suhu yang baik diperlukan apabila fermentasi dilakukan pada temperatur sedang dan tinggi, karena pada temperatur tersebut masa hidup kapang lebih pendek (Hui 2004). Tempe mengalami peningkatan pH seiring dengan bertambahnya waktu fermentasi. Hal ini dikarenakan, terbentuknya senyawa amonia yang memberikan sifat basa (Subranti 1996). Hasil dari fermentasi selama 2 X 24 jam ditandai dengan tertutupinya permukaan kedelai oleh hifa atau miselium kapang. Perubahan penampakan kedelai sebelum dan sesudah fermentasi dapat dilihat pada Gambar 4: Kedelai mentah Kedelai sesudah ditambah ragi Tempe Gambar 4 Perubahan penampakan kedelai sebelum dan sesudah menjadi tempe Tempe yang dihasilkan kemudian dianalisis kandungan gizinya yang meliputi kandungan protein, air, abu, lemak dan karbohidrat. Berdasarkan hasil analisis proksimat diperoleh data sebagai berikut: Tabel 2 Kandungan gizi kedelai mentah dan tempe segar Zat Gizi Protein Lemak Abu Air Karbohidrat Protein Lemak Abu Air Karbohidrat Sumber: 1 : Ghozali (2007) Kandungan Gizi Kedelai mentah Tempe segar (%)1 (%) Basis basah 36,42 15,17 11,5 6,67 5 0,82 10,4 65,48 36,68 11,86 Basis kering 40,65 43,94 12,83 19,33 5,58 2,39 0 0 40,94 34,34 Hasil analisis basis kering menunjukkan bahwa kadar protein tempe segar adalah sebesar 43,94 persen, kadar lemak sebesar 19,33 persen, kadar air adalah 65,48 persen dan kadar abu sebesar 0,824 persen. Tabel 2 menunjukkan bahwa komponen protein dan lemak tempe mengalami peningkatan jika dibandingkan dengan kedelai mentah. Menurut Koswara (1992) diacu dalam Syafrina et al. (1997), fermentasi yang terjadi pada tempe mengakibatkan peningkatan daya cerna sehingga zat gizi yang ada lebih mudah terserap. Kualitas protein dan lemak yang terkandung juga semakin baik. Liu (1997), mengatakan bahwa, fermentasi yang terjadi pada saat pembuatan tempe meningkatkan jumlah nitrogen larut air. Jumlah nitrogen larut air yang semakin meningkat ini, identik dengan peningkatan kadar protein bebas pada bahan pangan. Komponen abu dan karbohidrat mengalami penurunan akibat fermentasi. Karbohidrat yang menurun jumlahnya ini diduga karena adanya pemotongan ikatan kimia menjadi beberapa komponen yang lebih sederhana. Komponen oligosakarida seperti rafinosa, stakiosa yang mengakibatkan flatulensi juga menurun jumlahnya akibat adanya proses fermentasi (Hui 2004). Pemilihan Formula Suatu produk dapat disebut instan apabila memenuhi persyaratan mudah larut dan mudah terdispersi dalam media cair (Susanto & Saneto, 1994 diacu dalam Fadilah, 2003). Proses instan sempurna tampak pada urutan kejadian yaitu butiran yang terkena air menjadi basah kemudian tenggelam dalam beberapa saat. Produk pangan instan merupakan produk yang cepat dan mudah dikonsumsi. Salah satu syarat produk dapat dikonsumsi adalah matang, sehingga pemasakan merupakan hal yang penting pada produk instan. Pemilihan formula terdiri atas penentuan jenis dan proporsi bahan, penentuan kadar sukralosa dan penentuan kadar perisa yang akan digunakan. Penentuan jenis dan proporsi bahan dilakukan dengan trial and error. Penentuan Jenis dan Proporsi Bahan. Produk bubur yang dibuat adalah jenis pangan instan, sehingga prinsip kematangan produk menjadi hal yang penting. Formula produk terdiri atas tempe, tapioka, maltodekstrin dan air. Tapioka dipilih karena mempunyai kemampuan yang baik untuk membentuk gel, sedangkan maltodekstrin dipilih karena mempunyai sifat dapat mengisi yang baik. Bahan bahan seperti tapioka dan maltodekstrin tidak dipertimbangkan efek glikemiksnya karena jumlah yang digunakan sangat sedikit dan hanya berfungsi sebagai bahan tambahan saja. Bahan-bahan yang akan digunakan sebagai campuran bubur instan adalah tempe, CMC, tapioka, maltodekstrin dan sukralosa. Trial and error digunakan untuk penentuan proporsi bahan pengisi dan penstabil yang sesuai. Tapioka dipilih sebagai bahan pengisi karena mempunyai sifat fisik dapat membentuk gel dengan tingkat kekentalan yang baik. CMC dipilih sebagai bahan penstabil karena sering digunakan pada produk bubur instan. Kestabilan CMC tidak berubah akibat pemasakan maupun pengeringan. Bahan yang sudah membentuk bubur encer kemudian diuji kemampuan membentuk gel (gelatinisasi) dengan menggunakan brabender amilopraph. Terdapat 8 Formula yang diujikan. Berdasarkan hasil pengujian, diperoleh 4 formula yang dapat membentuk gel. Hasil pengujian formula berguna untuk menentukan formula yang akan digunakan dan suhu pemasakan yang digunakan sebagai perlakuan. Data hasil pengujian brabender amilopraph, terlihat pada Tabel 3 berikut: Tabel 3 Komposisi bahan penyusun produk dan kemampuan membentuk gel produk Jenis bahan Tempe (g) CMC (%) Maltodekstrin (%) 100 0,1 5 100 0,1 100 0,1 2,5 100 0,1 100 100 5 100 100 2,5 Keterangan TTG: Tidak terbentuk gel TG : Terbentuk gel Formula A B C D E F G H Tapioka (%) 5 2,5 5 2,5 Air (ml) 350 350 350 350 350 350 350 350 Ket TTG TG TG TTG TTG TTG TG TG Pemilihan formula dilakukan dengan menggunakan brabender amilopraph, yaitu formula yang dapat membentuk gel akan dilanjutkan pada tahap pengeringan. Dari delapan formula yang diujikan dengan brabender amilograph, hanya empat formula yang dapat membentuk gel, yaitu formula B, C, G dan H. Hasil pengujian terhadap empat formula secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Suhu gelatinisasi dan tingkat kekentalan formula produk Formula t awal (oC) t tengah (oC) B 70,5 80,2 C 73,5 81 G 71,2 79,8 H 74,7 81,1 Keterangan BU: Brabender Unit t puncak (oC) 90 88,5 88,5 87,5 Kekentalan max (BU) 290 80 480 79 Suhu gelatinisasi adalah suhu pada saat granula pati pecah (Winarno 1992). Berdasarkan hasil pengujian dengan brabender amilopraph diperoleh data bahwa formula G yang terdiri dari tempe, tapioka 5% dan air 350 ml menunjukkan tingkat kekekentalan paling tinggi (480 BU) diantara formula yang ada, sedangkan kekentalan paling rendah diperoleh dari formula H yang terdiri dari tempe 50 gram, maltodekstrin 2,5 %, tapioka 2,5 % dan air 350 ml (79 BU). Tapioka mempunyai kemampuan dalam membentuk struktur gel yang kuat. Dari beberapa formula yang diujikan, formula yang dapat membentuk gel adalah formula yang mengandung tapioka. Berdasarkan hasil pengujian, formula membentuk gel pada suhu yang bervariasi, dengan suhu awal, tengah dan puncak yang bervariasi pula. Menurut Winarno (1992), suhu gelatinisasi bagi pati berbeda menurut jenisnya, tapioka mengalami gelatinisasi pada suhu 52-64oC. Hasil pengujian menunjukkan, terjadi kenaikan suhu awal gelatinisasi pada tapioka, hal ini diduga karena penambahan bahan pendukung lain seperti CMC, maltodekstrin dan tempe. Menurut Glicksman (1984) diacu dalam Nurjanah (2003), CMC mempunyai kapasitas mengikat air yang baik, sehingga penambahan CMC pada suatu formula atau produk pangan dapat membantu mengikat air dan mengentalkan tekstur. Pada saat penelitian, tidak terdapat standar baku yang digunakan untuk menetapkan suhu gelatinisasi, karena pengujian dilakukan pada formula, dan bukan pada bahan pangan tunggal. Tempe diduga tidak berpengaruh pada suhu gelatinisasi, karena tempe merupakan bahan pangan yang berasal dari kedelai yang sudah mengalami pemasakan, sehingga pati yang ada pada kedelai sudah tergelatinisasi. Menurut Winarno (1992), pati yang telah tergelatinisasi tidak akan kembali ke bentuk semula (irreversible). Gelatinisasi formula diduga karena pengaruh penambahan tapioka. Penambahan tapioka sebanyak lima persen menghasilkan tekstur yang sangat kental dan kaku, sedangkan formula yang tidak dapat membentuk gel (A,D,E,F) tidak terdapat tapioka. Penambahan tapioka sebanyak 2,5 persen menghasilkan kekentalan yang lebih baik dari pada penambahan lima persen tapioka. Penambahan CMC dapat menurunkan kekentalan bubur. Hal ini terlihat pada formula B dan G, yaitu kekentalan formula dengan CMC (290 BU) lebih rendah daripada formula tanpa CMC (480 BU). CMC dapat mempengaruhi suhu gelatinisasi formula karena CMC merupakan jenis polisakarida linier dengan rantai panjang yang bersifat larut air. Adanya gugus karboksil menyebabkan CMC mudah larut dalam air (Nurjanah 2003). CMC banyak digunakan pada produk ice cream ataupun produk instan. Form mula yang dapat mem mbentuk geel, dilanjutkkan ke proses pengeringan dengan menggunakan m n alat pengeringan dru um. Pengeriingan drum m merupakan n alat pengeringg dengan menggunakann uap panas tekanan rendah. r Suhhu di permu ukaan drum diperkirakan dapat d menccapai lebih h dari 100oC, bahkann pada beberapa aplikasi produk dapaat mencapaii 150oC. Deengan ketebbalan bahann pangan ku urang dari 2 mm m, maka prooses pengerringan hany ya memerluukan waktu sekitar 1 menit, m bahkan bisa kurang tergantung pada p jenis bahan b (Potteer & Hotchkkiss 1997). Suhu pemasakann yang diggunakan addalah suhu u tengah gelatinisasi g pada tiap hasil perlakuan. Penggunaan suhu tenngah gelatin nisasi bertujjuan untuk efektivitas biaya dan prosess yang dilakkukan.. Darii masing masing m form mula yang ada kemuudian diuji kemampuaannya dalam mem mbentuk geel dengan menggunaka m an Brabendeer amilograpph. Dari deelapan formula yang diujicobakan (Tabbel 2), terny yata hanya empat e formuula (B, C, G dan H) saja yaang mampuu membentuuk gel. Kek kentalan daan tekstur bbeberapa forrmula yang dapaat membenttuk gel (B, C, G dan H) H kemudiaan diuji seccara organolleptik untuk meenentukan produk yang paling g disukai. Adapun hasil peng gujian Persen Panelis organoleptik tersaji pada p Gambaar 5 berikut: Foormula Buburr Gambaar 5 Hasil pengujian p orrganoleptik terhadap teekstur dan kkekentalan produk p Gam mbar 5 menuunjukkan baahwa formu ula C yang tersusun t ataas tempe (10 00 g), CMC (0,11%), maltoddekstrin (2,55%), tapiok ka (2,5%) daan air (250 g) mendapatkan penerimaaan terbaik dari panelis berdasarkan b n aspek kekentalan dann tekstur. Krriteria penerimaan terbaik ditentukan dari pengambilan persentase panelis terbanyak pada tingkat suka dan sangat suka. Berdasarkan perhitungan pemilihan panelis pada aspek suka dan sangat suka terlihat bahwa sebanyak lebih dari separuh panelis (66,6% dan 57,14%) menyatakan tingkat kesukaannya pada aspek tekstur dan kekentalan produk. Sedangkan produk yang mempunyai penerimaan terendah adalah formula H yaitu 4,76% untuk tekstur dan 0% untuk kekentalan. Menurut Furia (1975) diacu dalam Nurjanah (2003), CMC mempunyai kemampuan mengikat air yang baik. Kemampuan mengikat air inilah yang diduga dapat memperbaiki tekstur dan kekentalan produk. Tapioka juga merupakan bahan penting dalam pembentukan tekstur produk. Kemampuan membentuk gel yang baik dimiliki oleh tapioka merupakan hal yang diduga dapat memperbaiki tekstur produk. Perbandingan tapioka sebesar 2,5% dirasakan sesuai untuk panelis pada aspek kekentalan dan tekstur jika dibandingkan dengan jumlah yang lebih besar (5%). Adapun perbedaan kekentalan dan tekstur pada beberapa formula yang berbeda dapat dilihat pada Gambar 6 berikut: Gambar 6 Perbedaan tingkat kekentalan dan tekstur beberapa formula bubur Gambar 6 menunjukkan bahwa formula C mempunyai tekstur yang halus, mudah diambil dengan sendok dengan tingkat kekentalan yang baik. Formula dengan penambahan tapioka sebanyak 5 persen mempunyai kekentalan yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan produk dengan penambahan 2,5 persen tapioka. CMC yang ditambahkan pada formula memberi pengaruh terhadap penurunan tingkat kekentalan dan perbaikan tekstur produk. Formula G mempunyai tingkat kekentalan paling tinggi dibandingkan produk lain. Kekentalan yang tinggi ini mengakibatkan bubur agak sukar untuk disendok dan terasa liat. Penambahan maltodekstrin juga dapat memperbaiki tektur dan kekentalan. Formula H mempunyai kekentalan yang lebih rendah dengan tektur yang lebih baik jika dibandingkan dengan formula G. Penentuan Jumlah Perisa. Perisa yang digunakan adalah vanilin yang diperoleh dari PT Halim Sakti Pratama. Perisa vanilin dipilih karena aksen manis yang dimiliki produk. Pada beberapa jenis perisa, aroma akan berkurang seiring dengan penambahan suhu yang diberikan. Menurut Winarno (1992), vanilin mempunyai titik didih sebesar 81,5oC sehingga pemberian perlakuan panas yang melebihi suhu 81,5oC diduga akan menurunkan tingkat aroma perisa. Suhu pemasakan dan pengeringan yang akan diberikan kepada produk dikhawatirkan akan mengurangi tingkat aroma perisa, sehingga penggunaan perisa jenis powder lebih dipilih dari pada jenis cair. Penggunaan perisa cair tidak dilakukan karena sebagian besar produk perisa yang ada di pasaran menggunakan pewarna. Warna merupakan visual faktor yang menentukan pada penerimaan suatu produk (Winarno 1992). Dengan menggunakan formula terpilih dari tahap pemilihan formula yaitu formula C, penentuan jumlah perisa yang akan digunakan dilakukan melalui trial and error. Berdasarkan spesifikasi produk perisa yang ada, 1 persen perisa per berat bahan merupakan batasan aman penggunaan, sehingga pengujian produk dilakukan dengan taraf 0,1 persen sampai 1 persen per berat produk dengan selang 0,1 persen. Penerimaan dari produk diambil dari persentase terbanyak panelis pada taraf suka dan sangat suka. A merupakan kode yang menunjukkan taraf terendah perisa atau (0,1%), sedangkan J menunjukkan taraf tertinggi perisa (1%). Hasil pengujian organoleptik jumlah perisa oleh panelis dapat dilihat pada Gambar 7. Gambar 7 menunjukkan bahwa taraf perisa 0,7%, 0,8% dan 1% mendapatkan penerimaan terbaik (skala 1-4) dari panelis yaitu sekitar 82,35 %. Berdasarkan taraf terendah dengan penerimaan yang sama, maka taraf perisa 0,7% yang akan digunakan pada penelitian selanjutnya. Perisa ditambahkan pada produk dengan metode dry mixing untuk menjaga intensitas terbaik dari perisa. Persen panelis Taraff Perisa Gambar 7 Hasil pengujiaan tingkat keesukaan pannelis terhaddap perisa Penentuan Jumlah Pem manis. Rasaa manis meerupakan seensasi rasa yang penting baagi manusiaa. Komponeen rasa manis hampir seecara umum m mempeng garuhi penerimaaan positif dari penggujian hedo onik (Brannen, Daviddson, Salm minen, Thorngatee, 2002). Suukralosa dippilih sebagaai jenis pem manis yang ddigunakan dalam d penelitian karena menurut BPOM B (2 2002), pennggunaan ssukralosa tidak mempengaaruhi metaabolisme karbohidratt sehinggaa aman uuntuk diab betesi. Penggunaaan sukralosa juga tiddak menyebabkan ressiko neurollogik, gang gguan reproduksi maupun efek e karsinoogenik. Meenurut Brannen et al (22004) rasa manis m yang ada pada prodduk pangann seringkali dipengaruuhi oleh fakktor lain seeperti milihan jenis pemanis yaang tepat m menjadi salah h satu tekstur dann aroma sehhingga pem faktor yanng penting dalam d penggolahan bahan pangan. Sukralosa merupakan jenis pemanis non n nutritif turunan sukkrosa, berassa seperti gula dengan 600 kali tingkat kemanisann gula biasaa. Darii segi pengoolahan panggan, sukralo osa adalah relatif r stabill terhadap panas, p sehingga tingkat kem manisan tiddak banyak k berubah. Dengan tinngkat kemaanisan yang cukuup tinggi, maka m untuk mendapatk kan tingkat kemanisan k yang diinginkan tidak mem mbutuhkan banyak b sukrralosa (Ano onymous 20008). Retenssi terhadap panas p yang tingggi merupakkan salah saatu pertimbaangan pengggunaan meetode wet mixing m menjadi pilihan p dalaam pencam mpuran pem manis ke daalam produuk. Homogeenitas produk akhir a yang akan diddapat jugaa menjadi salah satuu pertimbaangan penggunaaan wet miixing untukk mencamp purkan sukkralosa. Peengujian tin ngkat kemanisann yang paling diterim ma oleh pan nelis dilakuukan dengaan menggun nakan konversi kemanisann gula (suukrosa) seb besar 20% %, 25% 330% dan 35%. Penghitunngan konveersi sukrossa dengan jumlah suukralosa yang dibutu uhkan mengikutii pertimbanngan bahwaa 1 mg suk kralosa mem mpunyai tinngkat kemaanisan sebesar 6000 kali kemaanisan sukrrosa. Taraaf sukralosaa diujikan kepada k pan nelis secara terbatas unntuk mengeetahui taraf atauu penerimaaan terbaik. Penerimaaan terbaik dari d paneliss diperoleh h dari gabungan antara pennerimaan suuka dan saangat suka dari paneliis. Adapun hasil s pada p paneliis terlihat ppada Gamb bar 8 pengujian tingkat keemanisan sukralosa Persen Panelis berikut beerikut: T Taraf Sukralosa Gam mbar 8 Hasiil pengujiann tingkat kessukaan paneelis terhadapp kadar suk kralosa G 8, terlihat bahwa b tingkkat kemannisan 25 persen p Berddasarkan Gambar mendapatkkan penerim maan terbaiik dari paneelis (80%), sedangkann taraf 30 persen p sama sekaali tidak meenadapatkann penerimaaan dari paneelis (0%). JJumlah sukrralosa yang diguunakan berddasarkan paada berat baahan yang digunakan d dengan kon nversi perhitungaan sebagai berikut: b Miisal : jumlahh bubur insttan: 20 gram m Tinngkat kemaanisan : 25 persen p 25 20 0 100 1 600 0,0 0083 dapatkan peenerimaan terbaik. Haal ini Tinggkat kemannisan 25 peersen mend diduga kaarena pada taraf t kemannisan 25 perrsen rasa manis m dirasakkan sesuai, tidak terlalu maanis maupun kurang manis. m Padaa tingkat keemanisan 200 %, rasa manis m kurang terasa, namun pada taraf 30 dan 35 persen, rasa manis dirasakan terlalu berlebih. Sukralosa merupakan jenis pemanis yang tidak meninggalkan after taste produk karena terbuat dari turunan sukrosa. Sukralosa tidak mempengaruhi metabolisme karbohidrat serta tidak menimbulkan kenaikan gula darah. Penelitian Utama Penelitian utama terdiri dari proses pembuatan bubur instan, penggunaan 3 jenis alat pengeringan (Drum dryer, vacuum evaporator dan freeze dryer) pada produk bubur instan dan analisis kandungan gizi produk untuk mengetahui pengaruh alat pengering terhadap perubahan kandungan zat gizi yang ada pada bubur instan. Pada penelitian pendahuluan telah dicoba untuk menerapkan jenis pengeringan drum dryer kepada produk bubur instan. Menurut Potter dan Hotchkiss (1997), drum dryer mempunyai suhu di permukaan mencapai lebih dari 100oC, bahkan pada beberapa aplikasi produk dapat mencapai 150oC. Seperti yang kita tahu, bahwa kondisi panas tinggi akan merusak beberapa komponen gizi pada bahan pangan, sehingga penulis ingin mencoba untuk melihat penggunaan alat yang berbeda terhadap kualitas gizi yang dihasilkan pada produk bubur instan. Proses Pembuatan Bubur Instan dari Bahan Tempe Kedelai Proses pembuatan bubur instan diawali dengan pemotongan dan penimbangan tempe. Tempe yang sudah dipotong dan ditimbang kemudian dicampur dengan bahan lain yang sudah ditentukan beratnya sesuai dengan proporsi bahan pada penelitian pendahuluan. Bahan yang ada kemudian dicampur sampai rata dengan menggunakan blender. Tujuan dari proses ini adalah agar semua bahan tercampur rata dan menjadi homogen. Sukralosa dicampurkan ke dalam air yang digunakan untuk mencampurkan bahan. Hal ini bertujuan agar homogenisasi produk dapat tercapai. Sesudah semua bahan tercampur dan menjadi bubur encer, proses pemasakan dilakukan. Pemasakan bubur sebelum pengeringan dilakukan agar bubur instan menjadi bahan makanan yang cepat untuk dikonsumsi setelah proses pengeringan. Bubur encer dimasak dengan api kecil sambil terus diaduk untuk menghindari gosong. Suhu yang digunakan pada pemasakan bervariasi menurut hasil pengukuran suhu gelatinisasi dengan metode brabender amilograph. Suhu awal, tengah dan akhir gelatinisasi diujikan untuk melihat pengaruhnya terhadap daya terima dan nilai gizi produk. Setelah mencapai suhu gelatinisasi, baik awal, tengah maupun akhir, kekentalan bubur bertambah. Bertambahnya kekentalan bubur ini dikarenakan proses masuknya air pada granula pati yang mengakibatkan struktur pati pecah (gelatinisasi). Setelah bubur mengental, bubur didiamkan untuk beberapa saat sampai suhunya turun. Penurunan suhu mengakibatkan kekentalan bubur bertambah. Kondisi ini diduga karena pengaruh penambahan CMC yang bersifat stabil pada panas sehingga dapat mempertahankan tekstur dan kekentalan bubur. Proses pengeringan dilakukan di Pilot Project, Seafast Centre, Institut Pertanian Bogor. Aplikasi Alat Pengering Jenis pengeringan yang digunakan adalah drum dryer, vacuum evaporator dan freeze dryer. Penerapan alat pengeringan ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh jenis pengering yang berbeda terhadap kualitas gizi dan penerimaan panelis. Pada penelitian pendahuluan telah dicoba jenis pengering drum dryer kepada produk. Seperti yang telah diketahui, suhu yang tinggi pada permukaan drum diduga dapat mengurangi kandungan gizi pada bahan pangan, sehingga penulis ingin mengetahui pengaruh perbedaan alat pengering terhadap kualitas gizi dan penerimaan produk. Setelah didiamkan beberapa saat sampai suhu turun, bubur yang sudah dimasak kemudian dikeringkan dengan freeze dryer, drum dryer dan vacuum evaporator. Drum Dryer. Drum dryer merupakan metode pengeringan dengan memanfaatkan teknologi uap sebagai sumber energi panas (Potter dan Hotchkiss 1997). Metode pengering drum dryer dipilih untuk mewakili jenis pengeringan sederhana. Bahan-bahan yang sudah di homogenisasi dan diberi perlakuan pemasakan dengan berbagai suhu kemudian dikeringkan. Metode pengeringan drum dryer merupakan metode sederhana namun masih memungkinkan banyak kehilangan zat gizi. Bahan makanan dipipihkan diantara dua buah drum suhu tinggi hingga bahan pangan kering. Bahan pangan kering yang menempel pada permukaan drum kemudian dikikis dengan pisau serut yang ada di ujung drum. Suhu permukaan drum yang mencapai lebih dari 100oC memungkinkan proses oksidasi terjadi pada produk pangan yang dikeringkan. Zat gizi yang rentan seperti vitamin C, vitamin B, asam amino, protein dan isoflavon akan mudah rusak dengan pemberian panas yang tinggi dengan metode ini. Vacuum Evaporator. Vacuum evaporator dipilih untuk mewakili teknologi menengah pengeringan. Prinsip dari alat ini adalah menghilangkan kadar air yang ada di permukaan bahan dengan suhu rendah (di bawah 60oC) dan dalam kondisi vacuum. Kondisi vacuum diperlukan untuk mencegah terjadinya oksidasi komponen gizi terutama lemak dan komponen yang mudah teroksidasi oleh oksigen. Seperti halnya hasil pengeringan drum dryer, hasil pengeringan vacuum evaporator diblender untuk menyeragamkan partikel dan diujikan tingkat kesukaan dan mutunya oleh panelis semi terlatih. Freeze Dryer. Freeze dryer merupakan jenis alat pengering yang biasa digunakan untuk produk produk yang bersifat sensitif (Potter dan Hotchkiss 1997). Metode pengeringan ini menggunakan prinsip penyubliman, yaitu menguapkan kandungan air bahan dengan mengubah fase zat dari beku menjadi uap tanpa melewati fase cairnya didalam kondisi vacuum. Penggunaan freeze dryer ini dipilih untuk menyelamatkan kandungan asam anmino terutama arginin dan glutamin pada tempe yang bermanfaat untuk menyembuhkan luka gangren diabetesi. Pengujian Organoleptik Beberapa produk yang telah mengalami proses pengeringan kemudian diujikan tingkat penerimaannya dengan pengujian organoleptik oleh panelis semi terlatih. Pengujian tingkat penerimaan panelis dilakukan dengan menguji tingkat kesukaan produk pada aspek warna, rasa, aroma, tekstur dan keseluruhan produk, sedangkan pengujian kualitas produk dilakukan untuk menguji mutu hedonik. Berdasarkan hasil pengujian organoleptik, penerimaan dan kualitas produk adalah sebagai berikut: Warna. Warna, rasa, aroma dan tekstur merupakan aspek penting dalam penilaian terhadap sebuah produk. Secara umum produk bubur instan hasil pengeringan drum dryer lebih gelap dibandingkan dengan hasil pengeringan vacuum evaporator dan freeze dryer. Berdasarkan perhitungan persentase panelis terbanyak (Penjumlahan dari poin agak suka, suka dan sangat suka) yang terlihat pada Gambar 9, produk freeze dryer mempunyai tingkat penerimaan warna sebesar 788,6 persen, vacuum evvaporator sebesar 80,,3 persen, ssedangkan drum dryer mem mpunyai tinngkat peneriimaan produ uk terhadapp warna sebeesar 65,0 peersen. Tingkat penerimaan panelis p terhhadap produ uk hasil penngeringan ddrum dryer lebih orator rendah jikka dibandinngkan dengaan produk hasil pengeeringan vaccuum evapo dan freezee dryer. Haal ini didugga karena pengaruh p peemberian paanas yang tinggi t pada perm mukaan druum yang mengakibatk m kan reaksi maillard ((Winarno 1992). Reaksi maaillard ini menimbulka m an warna co oklat yang kurang k disuukai oleh paanelis. Warna prooduk bubur instan yangg cerah lebih disukai paanelis dari ppada warna yang gelap. Gaambar 9 meenunjukkan bahwa, produk dengaan suhu pemasakan 88,5oC pada jeniis pengerinngan freezee dryer daan vacuum evaporatoor menunju ukkan kecenderuungan menddapatkan penerimaan yang lebihh tinggi jikka dibandin ngkan produk paada suhu peemasakan 73,3oC dan 81 8 oC, namuun hal ini tiidak terjadi pada produk haasil pengerinngan drum dryer. d 60 Persen Panelis 50 40 sanggat tidak suka 30 tidakk suka 20 agakk tidak suka 10 agakk suka sukaa 0 o o o o 7 oC 81oC 888,5oC 73,,5oC 81oC 888,5 C 73,5 C 881 C 88,5 C 73,5 Drum dryerr Vaacuum evapporator sanggat suka Freeze dryer d Jenis pen ngeringan Gambar 9 Tingkat penerimaan p hadap warnna produk buubur instan pada panelis terh beberapa jenis pengeeringan dan suhu pemasakan Berddasarkan haasil pengujiaan mutu heedonik (Tabbel 5) terlihaat bahwa prroduk hasil penggeringan druum dryer meempunyai warna w yang dinilai kuraang menarik k oleh panelis, seedangkan prroduk hasil pengeringaan vacuum evaporator e dan freeze dryer mempunyyai penilaiaan terbanyaak pada ra ange menarrik. Tabel 5 menunju ukkan bahwa perrsentase penilaian pannelis pada ra ange tidak menarik paada produk hasil pengeringan drum dryer lebih tinggi jika dibanding dengan produk hasil pengeringan vacuum evaporator dan freeze dryer. Hal ini tidak terjadi pada produk hasil pengeringan vacuum evaporator dan freeze dryer, karena lebih dari separuh panelis menilai produk pada range menarik dan agak menarik. Perlakuan panas tinggi yang mengakibatkan reaksi Maillard diduga sebagai penyebab rendahnya penerimaan panelis terhadap produk hasil pengeringan drum dryer. Tabel 5 Penilaian produk bubur instan pada beberapa jenis pengeringan dan suhu pemasakan terhadap aspek warna produk Jenis Pengeringan Drum dryer Vacuum evaporator Freeze dryer Suhu Pemasakan 73,5oC 81oC 88,5oC 73,5oC 81oC 88,5oC 73,5oC 81oC 88,5oC STM (%) 2,5 2,5 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 TM (%) 15,0 22,5 32,5 4,3 6,5 4,3 8,3 8,3 4,2 Keterangan: STM : Sangat tidak menarik : ATM : Agak tidak menarik :M : Menarik ATM (%) 27,5 25,0 27,5 17,4 28,3 17,4 12,5 10,4 10,4 AM (%) 20,0 20,0 17,5 34,8 28,3 37,0 31,3 25,0 33,3 M (%) 30,0 25,0 20,0 43,5 32,6 39,1 43,8 47,9 45,8 SM (%) 5,0 5,0 2,5 0,0 4,3 2,2 4,2 8,3 6,3 TM : Tidak menarik AM : Agak menarik SM : Sangat menarik Aroma. Aroma merupakan salah satu aspek penting dalam penilaian terhadap makanan. Berdasarkan hasil pengujian penerimaan panelis terhadap aspek aroma (Gambar 10) yaitu dengan menjumlahkan penilaian dari poin agak suka, suka dan sangat suka terlihat bahwa, baik produk bubur instan hasil pengeringan vacuum evaporator, freeze dryer maupun drum dryer mempunyai penerimaan yang baik pada aspek aroma yaitu sebesar 73 persen, 65 persen dan 68 persen. Komponen lain pada produk bubur instan diduga tidak terlalu berperan terhadap pembentukan aroma produk sehingga pemberian kadar perisa yang sama akan mengakibatkan penerimaan yang sama pada produk bubur instan. 70 Persen Panelis 60 50 saangat tidak su uka 40 tidak suka 30 aggak tidak sukaa aggak suka 20 su uka 10 0 saangat suka 733,5oC 81oC 888,5oC 73,5oC 81oC 88,5oC 73,5oC 81oC 88,5oC Drum dryer Vaacuum evapporator Jenis pen ngeringan Freeze dryer d Gambar 10 Tingkat penerimaan p n panelis terrhadap arom ma produk bbubur instan n pada beberapa jenis penggeringan daan suhu pem masakan ur instan yang terlihaat pada Tab bel 6 Hasiil pengujiaan mutu prroduk bubu menunjukkkan bahwa aroma prodduk berada pada p kisarann agak berbbau vanila. Perisa P yang ditam mbahkan diduga belum m mampu menutupi m a aroma khas tempe. Am monia yang terbeentuk seirinng dengan proses p ferm mentasi (Huii 2004) jugaa diduga seebagai faktor yaang memppengaruhi pembentuk kan arom ma pada pproduk. Enzim E lipoksigennase yang bercampur b dengan lem mak juga diduga d sebaagai faktor yang menyumbang bau lanngu pada prooduk buburr instan. Suhhu pemasakkan yang berrbeda diduga tiddak memberrikan pengarruh yang terrlalu jauh teerhadap asppek aroma. Tabeel 6 Penilaiian produk bubur b instan pada bebeerapa jenis ppengeringan n dan suhu pemasakan p t terhadap asp pek aroma produk p Jenis Pengeringan Drum dryer d Vacuuum evaporrator Freeeze dryeer Suhu Pemaasakan 73,5oC 81oC 88,5oC 73,5oC 81oC 88,5oC 73,5oC 81oC 88,5oC Ketterangan: SBL BL ABL SBL (%) 0,0 0,0 0,0 0,0 2,2 2,2 0,0 2,1 2,1 BL (%) 2,5 7,5 5,0 6,5 13,0 6,5 10,4 4,2 8,3 : Sangat berrbau langu : Berbau lanngu : Agak berbbau langu ABL (%) 30,0 25,0 32,5 23,9 30,4 19,6 29,2 12,5 14,6 ABV (%) 32,5 32,5 37,5 45,7 30,4 43,5 33,3 37,5 45,8 BV V (% %) 300,0 300,0 155,0 177,4 155,2 266,1 255,0 31,3 277,1 V SBV (%) 5,0 5,0 10,0 6,5 8,7 2,2 2,1 12,5 2,1 ABV V : Agak berbauu vanila BV : Berbau vaniila SBV V : Sangat berbau vanila Raasa. Hampiir semua haasil pengujiian organolleptik menuunjukkan bahwa b rasa manis pada prodduk bubur instan meninggalkan after a taste ppahit. Penen ntuan penerimaaan terbaik dilakukan d deengan menjumlahkan poin p penerim maan agak suka, suka dan sangat sukaa. Berdasarrkan perhitu ungan perseentase penerrimaan (Gaambar 11) paneliis terbanyakk, produk haasil pengeringan vacuuum evaporattor mendap patkan penerimaaan rasa terbbaik, yaitu 56 5 persen. Produk hassil pengerinngan drum dryer diterima sekitar 36,5 persen pada aspek rasaa, sedangkaan produk hhasil pengeringan freeze dryyer mendapaat penerimaaan sebanyaak 26,8 perssen. Rendahhnya peneriimaan panelis inni diduga kaarena adanyya after tasste pahit paada produkk. Pada beb berapa suhu pem masakan yanng digunakaan, tidak meemberikan pengaruh yyang terlalu u jauh terhadap penerimaan p n panelis teerhadap asp pek rasa. Hal H ini diduuga karena tidak terdegradaasi dengan baiknya seenyawa pah hit (saponinn) yang adda pada kedelai, meskipun dengan pem masakan pada suhu yan ng berbeda. 50 45 Persen Panelis 40 35 30 s sangat tidak su uka 25 tidak suka 20 a agak tidak suk ka 15 a agak suka 10 s suka 5 0 s sangat suka 73,55oC 81oC 88,5oC 73,5oC 81oC 88,5oC 73,5oC 81oC D Drum dryer Vaccuum evaporator 88,5oC Freeze drryer Jenis pengeringan p Gambar 11 Tingkat penerimaann panelis teerhadap rasaa produk buubur instan pada beberapa jenis penggeringan daan suhu pem masakan unyai Penilaian terhhadap mutu produk meenunjukkan bahwa prooduk mempu s resp ponden mennilai manis agak pahitt pada rasa maniss agak pahiit. Hampir separuh seluruh produk p denngan berbaagai jenis pengeringaan dan suuhu pemassakan. Berdasarkkan hasil peengujian koomponen penyusun prroduk secarra terpisah yaitu sukralosa, perisa daan bubur instan i tanpa penambaahan sukralosa dan perisa p diperoleh hasil bahwa rasa pahit berasal dari produk bubur instan. Rasa pahit ini diduga karena keberadaan senyawa saponin yang ada pada tempe. Senyawa ini tidak hilang, meskipun sudah diberi perlakuan pemanasan (Hui 2004). Menurut BPOM (2002), sukralosa tidak meninggalkan after taste pahit ketika dikonsumsi. Tabel 7 Penilaian produk bubur instan pada beberapa jenis pengeringan dan suhu pemasakan terhadap aspek rasa produk Jenis Pengeringan Drum dryer Vacuum evaporator Freeze dryer Suhu Pemasakan 73,5oC 81oC 88,5oC 73,5oC 81oC 88,5oC 73,5oC 81oC 88,5oC Keterangan: MPS MP MAP MPS (%) 15,0 10,0 7,5 8,7 10,9 4,3 16,7 12,5 12,5 MP (%) 27,5 30,0 20,0 30,4 28,3 26,1 20,8 18,8 18,8 : Manis pahit sekali : Manis pahit : Manis agak pahit MAP (%) 40,0 42,5 37,5 39,1 43,5 43,5 33,3 35,4 39,6 M (%) 10,0 12,5 20,0 10,9 6,5 15,2 8,3 14,6 4,2 AM (%) 0,0 0,0 10,0 6,5 8,7 6,5 14,6 10,4 22,9 MS (%) 7,5 5,0 5,0 4,3 2,2 4,3 6,3 8,3 2,1 M : Manis AM : Agak manis MS : Manis sekali Tekstur. Tekstur didefinisikan sebagai kondisi kasar atau halus produk. Berdasarkan hasil pengujian tingkat penerimaan panelis (perhitungan penilaian agak suka, suka dan sangat suka) terhadap tekstur diperoleh data bahwa produk hasil pengeringan drum dryer (73,0 %) mendapatkan penerimaan terbaik jika dibandingkan produk hasil pengeringan vacuum evaporator (69,7 %) dan freeze dryer (66,7%). Gambar 12 memperlihatkan bahwa produk bubur instan hasil pengeringan vacuum evaporator dengan suhu pemasakan sebesar 73oC memperoleh penerimaan terbaik dari panelis (86,4%), sedangkan produk hasil pengeringan vacuum evaporator dengan suhu pemasakan sebesar 81oC mempunyai penerimaan terendah dari penelis (54,5%). Produk hasil pengeringan drum dryer tingkat penerimaan panelis terhadap tekstur tidak berbeda jauh. 60 Persen Panelis 50 40 sangat tidak su uka 30 tiidak suka agak tidak sukaa 20 agak suka suka 10 sangat suka 0 73,5oC 81oC 88,5oC 73,5oC 81oC 88,5oC 73,5oC 81oC 88,5oC Drum dryerr V Vacuum evaaporator Freeze dryer Jeniss pengeringan n Gambar 12 Tingkaat penerimaaan panelis terhadap tekstur prodduk bubur instan i pada beberapa b jennis pengerin ngan dan suhhu pemasakkan bel 8, Berddasarkan hasil pengujjian mutu produk yaang terlihatt pada Tab diperoleh bahwa lebbih dari separuh paneelis menilai halus padda produk hasil pengeringgan drum dryer d (55% %, 52,5% dan 50%), sedangkaan produk hasil pengeringgan vacuum m evaporatoor dan freeze dryer dinilai hallus oleh haampir separuh paanelis. Perbbedaan yangg ada antar produk hassil pengerinngan drum dryer, d vacuum evvaporator dan d freeze dryer. d Tidak klah terlalu jauh. Hal inni diduga karena k penggunaaan formulaa yang sam ma antar prroduk dan proses hom mogenisasi yang seragam pula. p Pada produk p hasill pengeringan drum dry ryer dan vaccuum evapo orator penambahhan suhu pemasakaan menunjjukkan keecenderungaan pening gkatan penerimaaan panelis terhadap t teekstur produ uk, namun hal ini tidak berlaku pada produk haasil pengeriingan freezze dryer. Produk hasill pengeringgan freeze dryer cenderungg menunjukkkan penuruunan peneriimaan terhaadap teksturr dengan ad danya penambahhan suhu pem masakan. Tabel 8 Penilaian produk bubur instan pada beberapa jenis pengeringan dan suhu pemasakan terhadap aspek tekstur produk Jenis Pengeringan Drum dryer Vacuum evaporator Freeze dryer Suhu Pemasakan 73,5oC 81oC 88,5oC 73,5oC 81oC 88,5oC 73,5oC 81oC 88,5oC Keterangan: KS K AK KS (%) 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 K (%) 5,0 5,0 2,5 2,2 6,5 2,2 22,9 14,6 2,1 : Kasar sekali : Kasar : Agak kasar AK (%) 5,0 0,0 5,0 17,4 21,7 23,9 31,3 29,2 29,8 AH (%) 20,0 25,0 12,5 34,8 30,4 32,6 18,8 18,8 19,1 H (%) 55,0 52,5 50,0 37,0 34,8 28,3 16,7 35,4 38,3 HS (%) 12,5 15,0 30,0 8,7 4,3 10,9 10,4 2,1 10,6 AH : Agak kasar H : Halus HS : Halus sekali Berdasarkan hasil pengujian tingkat kesukaan dan mutu produk bahwa produk dengan suhu pemasakan 88,5oC pada masing-masing alat pengering mendapatkan penerimaan terbaik dari panelis. Produk dengan suhu pemasakan pada puncak gelatinisasi ini (88,5oC) akan digunakan pada tahap penelitian selanjutnya yaitu analisis kandungan gizi. Adapun penampakan produk bubur instan dari beberapa jenis pengeringan dengan suhu pemasakan yang berbeda dapat dilihat pada Gambar 13. Produk hasil pengeringan drum dryer 73,5oC 81 oC 88,5oC Produk hasil pengeringan vacuum evaporator 73,5oC 81 oC 88,5oC 73,5oC 81 oC 88,5oC Gambar 13 Produk bubur instan dari bahan tempe kedelai dari beberapa jenis pengeringan dan suhu pemasakan Hasil Analisis Densitas kamba dan Kandungan Gizi Berdasarkan hasil pengujian organoleptik, produk dengan suhu pemasakan 88,5oC (suhu gelatinisasi puncak) terpilih sebagai produk yang paling disukai dari tiap jenis pengeringan (drum dryer, vacuum evaporator dan freeze dryer). Produk dengan suhu pemasakan 88,5oC inilah yang akan dilanjutkan pada tahap akhir penelitian yaitu analisis produk. Produk yang telah terpilih akan dianalisis densitas kamba dan kandungan gizi (air, abu, protein, lemak, mutu cerna dan asam amino). Densitas Kamba. Pada industri pangan, komponen densitas kamba berfungsi sebagai salah satu indikator mudah atau tidaknya bahan pangan instan untuk dikemas secara otomatis dan indikator besar atau kecilnya kemasan yang diperlukan untuk membungkus produk pangan. Pada produk makanan bayi densitas kamba penting untuk diketahui berkaitan dengan volume bahan pangan setelah masuk perut. Densitas kamba yang besar akan memberikan rasa cepat kenyang dari pada bahan makanan dengan densitas kamba yang rendah. Hasil pengukuran densitas kamba pada produk bubur instan dari bahan tempe kedelai terlihat pada Tabel 9: Tabel 9 Densitas kamba produk bubur instan Jenis pengeringan Drum dryer Vacuum evaporator Freeze dryer Densitas kamba 0,62802 0,49912 0,566805 Dari hasil pengukuran densitas kamba diperoleh hasil bahwa produk bubur instan hasil pengeringan drum dryer mempunyai densitas kamba terbesar (0,62802) jika dibandingkan dengan produk hasil pengeringan vacuum evaporator ( 0,49912) dan freeze dryer (0,566805), sedangkan densitas kamba terkecil dipunyai oleh produk hasil pengeringan vacuum evaporator. Dari segi pengolahan dan teknologi pangan, semakin besar nilai densitas kamba, maka kemasan yang dibutuhkan untuk membungkus produk akan semakin besar. Nilai densitas kamba dikatakan besar apabila mendekati nilai 1. Densitas kamba yang besar merupakan salah satu indikator kemampuan bahan pangan untuk menyerap air yang besar. Kemampuan menyerap air yang besar ini akan membuat rasa cepat kenyang pada saat mengkonsumsi produk, sehingga intik yang masuk akan berkurang. Kadar Air. Pengukuran kadar air produk dilakukan dengan metode Direct Heating (Lampiran 3b). Pengukuran kadar air dilakukan pada seluruh produk dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh suhu pemasakan terhadap kadar air. Hasil pengukuran kadar air produk dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10 Kadar air produk pada beberapa jenis pengeringan dan suhu pemasakan Jenis Pengeringan Drum dryer Vacuum evaporator Freeze dryer Suhu pemasakan(oC) Kadar air (%) 73,5 81 88,5 73,5 81 88,5 73,5 81 88,5 5,17 3,38 3,29 6,91 4,64 3,69 9,50 7,03 5,15 Kadar air rata rata (%) 3,94 5,08 7,22 Dari hasil pengujian diperoleh data bahwa kadar air tertinggi adalah 9,50 (hasil pengeringan freeze dengan suhu pemasakan sebesar 73,5oC) dan kadar air terendah adalah 3,29 (hasil pengeringan drum dengan suhu pemasakan sebesar 88,5oC). Pada suhu pemasakan yang sama, perlakuan jenis pengeringan drum dryer menghasilkan kadar air yang paling rendah diantara jenis pengeringan vacuum evaporator dan freeze dryer . Hal ini dikarenakan penggunaan suhu yang tinggi pada pengeringan drum dryer yang tidak digunakan pada jenis pengeringan lain seperti vacuum evaporator dan freeze dryer . Pada jenis pengeringan yang berbeda, semakin tinggi suhu pemasakan yang digunakan akan menghasilkan kadar air yang semakin rendah. Hal ini dikarenakan panas yang diberikan pada produk pangan akan menguapkan air yang digunakan untuk proses pemasakan, sehingga semakin tinggi suhu yang diberikan, maka akan semakin banyak pula air yang teruapkan. Kadar air merupakan komponen penting dalam menentukan mutu suatu produk pangan. Hal ini terkait dengan daya tahan bahan makanan terhadap serangan mikroba (Winarno 1992). Bahan pangan dengan kadar air tinggi akan lebih mudah mengalami kerusakan dibanding dengan bahan pangan dengan kadar air rendah. Berkurangnya kadar air pada bahan pangan memiliki beberapa keunggulan, seperti bahan pangan lebih awet, lebih mudah dikemas dari pada kondisi kadar air tinggi, namun pada beberapa jenis zat gizi yang larut air seperti vitamin B dan Vitamin C, pemberian perlakuan panas akan menurunkan jumlah maupun efektivitas dari zat gizi ini. Kadar Abu. Pengukuran kadar abu dilakukan dengan menggunakan metode yang terlampir pada bagian Lampiran 3e. Pengukuran kadar abu hanya dilakukan pada produk terbaik saja. Adapun hasil dari pengukuran kadar abu dapat dilihat pada Tabel 11 berikut ini: Tabel 11 Kadar abu produk bubur instan Alat pengeringan Drum dryer Vacuum evaporator Freeze dryer Suhu pemasakan (oC) 88,5 88,5 88,5 Kadar abu ( % basis basah) 1,49 1,99 1,78 Kadar abu (% basis kering) 1,54 2,06 1,87 Berdasarkan konversi produk ke dalam basis kering, hasil pengukuran menunjukkan bahwa jenis pengeringan vacuum evaporator menghasilkan kadar abu paling tinggi (2,06%) dibandingkan dengan jenis pengeringan drum dryer (1,54) dan freeze dryer (1,87), namun perbedaan yang terjadi tidaklah terlalu jauh. Kadar abu mencerminkan jumlah mineral yang terkandung dalam bahan pangan yang jumlahnya relatif stabil. Kadar abu dapat digunakan untuk mendeteksi pamalsuan mineral yang ada dalam bahan pangan (Nielsen 2003). Kadar Protein. Pengukuran kadar protein produk menggunakan metode Titrimetri Kjedahl yang terlampir pada bagian Lampiran 3d, sedangkan analisis mutu cerna menggunakan metode Hsu (Larutan multi enzim) yang terpapar pada Lampiran 3g. Analisis dilakukan pada produk terbaik dari masing masing jenis pengeringan. Kadar protein yang ada di bandingkan dengan hasil analisis mutu cerna untuk mengertahui seberapa besar protein yang dapat diserap oleh tubuh. Adapun hasil analisis kadar protein terlihat pada Tabel 12: Tabel 12 Kadar protein dan mutu cerna produk bubur instan Alat pengeringan Drum dryer Vacuum evaporator Freeze dryer Suhu pemasakan (oC) 88,5 88,5 88,5 Kadar protein (% basis basah) 29,63 31,36 30,13 Kadar protein (% basis kering ) 30,64 32,56 31,77 Mutu cerna ( %) 79,03 77,95 75,11 Tabel 12 menunjukkan bahwa produk hasil pengeringan drum dryer, mempunyai kadar protein sebesar 30,64 persen berat kering dengan mutu cerna sebesar 79,03 persen. Produk hasil pengeringan drum dryer menghasilkan kadar protein paling rendah jika dibandingkan dengan produk hasil pengeringan freeze dryer (75,11 %) dan vacuum evaporator (77,95 %), namun mempunyai mutu cerna yang paling tinggi diantara jenis pengeringan lain. Kadar protein hasil pengeringan vacuum evaporator paling tinggi dibandingkan kadar protein produk hasil pengeringan drum dryer dan freeze dryer. Kondisi vacuum dapat menyelamatkan zat gizi yang rentan terhadap proses oksidasi. Pada pengeringan vacuum evaporator suhu yang digunakan adalah 60oC, hal ini didasari oleh pertimbangan bahwa protein secara umum akan mengalami denaturasi pada suhu 60oC (Lehninger 1982). Denaturasi protein pada tahap awal akan mengakibatkan protein kehilangan kemampuannya sebagai enzim maupun emulsifier, namun denaturasi protein tidak selalu identik dengan kerusakan protein yang tidak dapat dimanfaatkan (Lehninger 1982). Menurut Hui (2004), pemberian panas dan pengawetan pangan mengakibatkan denaturasi pada protein dan biasanya denaturasi protein sejalan dengan peningkatan suhu. Hui (2004) juga mengatakan bahwa stabilitas protein berbeda, bergantung pada jenis dan struktur, untuk protein kedelai sendri mempunyai kestabilan terhadap panas mencapai 70-80oC. Pada penelitian pendahuluan, kadar protein tempe yang dihasilkan adalah 43,94% sedangkan hasil analisis produk hasil pengeringan drum dryer, vacuum evaporator dan freeze dryer berturut turut adalah 30,64 %, 32,56 % dan 31,77%. Proses pengeringan ternyata tidak terlalu mempengaruhi kadar protein yang ada dalam bahan pangan. Secara umum produk hasil pengeringan drum dryer, vacuum evaporator maupun freeze dryer mempunyai kadar protein yang hampir sama yang berarti bahwa perbedaan proses pengeringan tidak berpengaruh banyak terhadap kadar protein bahan. Mutu cerna merupakan salah satu pendekatan biologis yang digunakan untuk mengetahui seberapa banyak protein dapat dimanfaatkan oleh tubuh. Berdasarkan pengukuran, produk hasil pengeringan drum dryer mempunyai mutu cerna paling tinggi diantara produk hasil pengeringan vacuum evaporator dan freeze dryer . Mutu cerna yang tinggi dari hasil pengeringan drum dryer diduga karena penggunaan suhu yang tinggi pada saat pengeringan. Penggunaan suhu yang tinggi ini mengakibatkan terpotongnya ikatan protein. Terpotongnya struktur protein ini mengakibatkan protein lebih mudah dicerna dan diserap oleh tubuh. Secara umum menurut Heldman & Lund (2007), kerusakan protein akibat proses pengeringan bukanlah menjadi masalah gizi utama. Kadar Lemak. Lemak merupakan salah satu komponen makro penting dari bahan pangan. Analisis lemak dilakukan dengan metode Soxhlet dengan modifikasi Weibull (Lampiran 3c). Adapun hasil analisis lemak pada beberapa produk bubur instan dapat dilihat pada Tabel 13 Tabel 13 Kadar lemak bubur instan dari bahan tempe kedelai Alat pengeringan Drum dryer Vacuum evaporator Freeze dryer Suhu pemasakan (oC) 88,5 88,5 88,5 Kadar lemak (% basis basah ) 10,73 10,65 9,27 Kadar lemak (% basis kering ) 11,10 11,06 9,27 Lemak dan minyak termasuk dalam golongan trigliserida (komponen utama penyusun lipida). Lemak dan minyak bersifat tidak larut dalam air. Dalam pengolahan pangan, lemak memegang peranan penting dalam menetukan tekstur, rasa, aroma dan palatabilitas (Vaclavik & Christian 2003). Lemak juga merupakan komponen penting zat gizi. Tabel 13 menunjukkan bahwa produk hasil pengeringan drum dryer mempunyai kadar lemak paling tinggi jika dibandingkan produk hasil pengeringan vacuum evaporator dan freeze dryer. Kadar lemak hasil pengeringan drum dryer adalah 10,73%, sedangkan produk hasil pengeringan vacuum evaporator adalah 10,63% dan produk hasil pengeringan freeze dryer adalah 9,27%. Jenis pengeringan dengan sistem vacuum diharapkan dapat menyelamatkan komponen penting bahan pangan. Beberapa senyawa yang rentan terhadap pemanasan dan oksidasi seperti lemak dapat diselamatkan. Produk hasil pengeringan freeze dryer mempunyai porositas yang tinggi. Kondisi porositas tinggi memicu masuknya oksigen pada bahan pangan. Oksigen adalah faktor penting yang mempengaruhi tingkat oksidasi lemak (Heldman & Lund 2007). Oksidasi yang terjadi pada lemak memicu rusaknya komponen lemak, sehingga tidak dapat dimanfaatkan tubuh. Kadar air dalam produk merupakan hal penting dalam pengolahan pangan. Kadar air yang tinggi akan meningkatkan oksidasi lemak. Dari hasil pengujian kadar air, metode pengeringan freeze dryer menghasilkan kadar air yang paling tinggi (5,15%) diantara pengeringan vacuum evaporator (3,69%) dan drum dryer (3,295). Kondisi kadar air yang tinggi inilah yang diduga memicu tingginya oksidasi lemak. Heldman & Lund (2007) mengatakan bahwa beberapa faktor yang mempengaruhi oksidasi lemak adalah kelembaban, tipe atau jenis lemak, lama reaksi, keberadaan oksigen, suhu, keberadaan logam, keberadaan antioksidan alami, aktivitas enzim, sinar matahari, protein, asam amino dan bahan kimia lain. Hasil pengujian kadar lemak pada produk tempe segar menunjukkan bahwa pada kondisi kadar air 0% (basis kering) secara umum kadar lemak produk bubur instan mengalami penurunan, baik jika dibandingkan dengan kedelai mentah (12,83%) maupun jika dibandingkan dengan tempe segar (19,33%). Proses pengolahan pangan berupa pemberian panas merupakan salah satu hal yang diduga menjadi penyebab penurunan kadar lemak pada bahan. Kadar Asam Amino. Pengujian asam amino produk bubur instan dilakukan dengan metode HPLC (High Performance Liquid Chromatography) yang dapat dilihat pada Lampiran 3f. Asam amino merupakan unit penyusun komponen protein yang penting. Asam amino inilah merupakan salah satu komponen penyusun profil imunitas tubuh. Data hasil pengujian asam amino dengan HPLC dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14 Kadar asam amino bubur instan pada beberapa jenis pengeringan Parameter Asam aspartat Asam glutamat Serin Histidin Glisin Treonin Arginin Alanin Tirosin Metionin Valin Fenilalanin Iso leusin Leusin Lisin Freeze dryer (%b/b) Hasil Vacuum evaporator (%b/b) Drum dryer (%b/b) 3,24 3,32 3,33 4,53 1,33 0,66 1,07 1,05 2,09 1,33 1,40 0,42 1,37 1,66 1,41 2,36 1,50 4,65 1,36 0,68 1,12 1,07 2,08 1,40 1,36 0,56 1,42 1,71 1,46 2,43 1,63 4,69 1,36 0,66 1,11 1,07 2,06 1,39 1,45 0,40 1,41 1,70 1,44 2,42 1,50 Berdasarkan Tabel 14, terlihat bahwa dalam 100 gram produk terdapat kadar arginin sebesar 2,09 gram, 2,08 gram dan 2,06 gram masing-masing untuk jenis pengeringan freeze dryer, vacuum evaporator dan drum dryer. Sedangkan untuk kadar asam glutamat adalah sebesar 4,53 gram untuk produk hasil pengeringan freeze dryer, 4,65 gram untuk produk hasil pengeringan vacuum evaporator dan 4,69 gram untuk produk hasil pengeringan drum dryer. Secara umum pengeringan vacuum evaporator menghasilkan produk dengan kadar asam amino paling tinggi meskipun perbedaannya tidak terlalu besar. Pada jenis asam amino arginin terlihat bahwa produk hasil pengeringan freeze dryer mempunyai kadar asam amino paling tinggi, sedangkan untuk komponen tertinggi asam aspartat, asam glutamat dan tirosin terdapat pada produk hasil pengeringan drum dryer. Data hasil analisis kedelai mentah dan tempe pada Tabel 15 menunjukkan bahwa secara umum kadar asam amino tempe adalah lebih tinggi jika dibandingkan dengan kedelai mentah. Tingginya kadar asam amino tempe ini karena proses fermentasi yang terjadi pada kedelai telah meningkatkan kadar amino bebas. Proses fermentasi juga memotong rantai protein sehingga protein lebih mudah dicerna oleh tubuh. Data asam amino kedelai mentah dan tempe segar ini diperoleh dari penelitian sebelumnya (Ghozali 2007). Secara umum produk bubur instan mempunyai kadar asam amino yang lebih rendah jika dibanding dengan kedelai mentah dan tempe segar. Kondisi ini karena proses pengolahan yang diberikan kepada tempe seperti pemasakan dan pengeringan menyebabkan hilangnya beberapa komponen gizi seperti asam amino. Selain itu adanya penambahan bahan lain (selain tempe) dalam pembuatan bubur instan dapat mengurangi proporsi tempe dan lebih lanjut akan mengurangi proporsi asam aminonya. Bahan lain yang ditambahkan pada pembuatan bubur tersebut, bukanlah sumber protein yang potensial. Adapun bahan yang ditambahkan adalah tepung tapioka, maltodekstrin, CMC, sukralosa dan perisa vanilin. Tabel 15 Kadar asam amino kedelai mentah dan tempe segar Parameter Asam aspartat Asam glutamat Serin Histidin Glisin Treonin Arginin Alanin Tirosin Metionin Valin Fenilalanin Iso leusin Leusin Lisin Hasil Kedelai (%b/b) 4,73 Tempe (%b/b) 5,43 7,21 1,60 1,05 1,84 1,43 2,78 1,62 1,32 0,17 2,00 1,96 1,95 2,94 2,56 7,78 2,30 1,18 2,17 1,86 4,96 1,62 1,71 0,30 2,43 2,27 2,41 3,59 2,66 Sumber: Ghozali (2007) Kandungan Energi Produk. Pengaturan jumlah energi yang masuk ke tubuh merupakan salah satu hal yang penting bagi penatalaksanaan diet diabetes melitus disamping jenis bahan pangan yang dikonsumsi dan kandungan gizi lain. Berdasarkan hasil analisis proksimat pada produk bubur instan, maka dapat diperkirakan kandungan energinya seperti yang disajikan pada Tabel 16. Tabel 16 Kandungan energi produk bubur instan Jenis pengering Drum dryer Vacuum evaporator Freeze dryer Protein (% b/b) 29,63 31,36 30,13 Lemak (% b/b) 10,73 10,63 9,27 Karbohidrat (% b/b) 54,86 52,59 54,84 Energi (Kal) 434,53 430,45 423,31 Berdasarkan Tabel 16, terlihat bahwa jumlah energi yang dihasilkan produk bubur instan dari beberapa pengeringan tidak berbeda banyak. Produk dari hasil pengeringan drum dryer mempunyai energi yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan produk hasil pengeringan vacuum evaporator dan freeze dryer. Kaitan antara Komposisi Gizi Bubur Instan dengan Diabetes Melitus Produk bubur instan dari bahan tempe kedelai dapat digunakan sebagai makanan tambahan bagi diabetesi. Pada pagi hari, seseorang cenderung membutuhkan makanan yang cepat dan mudah disiapkan sehingga bubur instan dari bahan tempe kedelai dapat dijadikan sebagai alternatif. Berdasarkan hasil analisis zat gizi pada produk, dalam satu kali penyajian atau serving size (45 gram), produk bubur instan dari bahan tempe kedelai mengandung zat gizi seperti yang disajikan pada Tabel 17. Tabel 17 Perhitungan kandungan gizi produk per serving size Jenis pengering Drum dryer Vacuum evaporator Freeze dryer Protein (g) 13,33 14,11 13,55 Lemak (g) 4,82 4,78 4,17 Karbohidrat (g) 24,68 23,66 24,67 Energi (Kal) 195,42 194,10 190,41 Arginin (g) 0,94 0,93 0,92 Glutamat (g) 2,11 2,09 2,03 Berdasarkan Tabel 17, dapat dilihat bahwa dalam satu kali penyajian (45 gram) dengan penambahan air sebanyak 1:3, maka bubur tersebut dapat menyumbang sekitar 10 persen kebutuhan energi diabetesi dengan IMT normal (kebutuhan sehari 1900 Kal). Jumlah energi yang dapat disumbang oleh produk bubur instan ini tidak jauh berbeda dengan beberapa produk makanan instan sarapan yang beredar di pasaran yaitu sekitar 130 sampai 133 Kalori per serving size nya. Sedangkan untuk kebutuhan asam amino arginin yang dapat membantu proses penyembuhan luka diabetesi dengan komplikasi gangren adalah sekitar 30 gram/hari. Jumlah arginin sebesar 30 gram/hari ini dapat mempercepat proliferasi sel limfosit dalam darah. Dalam satu kali penyajian (45 gram), produk bubur instan dari bahan tempe kedelai dapat menyumbang sekitar 3,1% kebutuhan arginin diabetesi dalam sehari. Dengan demikian, kekurangannya dapat diperoleh dari konsumsi pangan lain. Kadar glutamat atau glutamin dalam satu kali penyajian atau serving size adalah 2,11 gram untuk produk hasil pengeringan drum dryer, 2,09 gram untuk produk hasil pengeringan vacuum evaporator dan 2,03 gram untuk produk hasil pengeringan freeze dryer. Menurut Cynober (2004), pemberian diet glutamin sebesar 30 gram per hari selama 20 hari dapat meningkatkan jumlah limfosit dalam darah yang berarti dapat meningkatkan respon imunitas tubuh. Dalam satu kali penyajian atau serving size, produk bubur instan dari bahan tempe kedelai ini dapat menyumbang sekitar 7 persen kebutuhan glutamat dalam sehari. Kadar glutamin dalam plasma darah cenderung mengalami penurunan saat terjadi infeksi atau sepsis sehingga ketersediaan dari makanan merupakan hal yang penting untuk menjaga kadar plasma dalam keadaan normal. Perhitungan biaya pembuatan bubur instan dari bahan tempe kedelai Biaya merupakan faktor penting dalam produksi suatu produk. Perhitungan biaya juga berfungsi untuk menentukan keuntungan yang ingin diperoleh dari produksi suatu produk pangan. Berdasarkan Tabel 18 terlihat bahwa produk hasil pengeringan drum dryer memerlukan biaya pembuatan yang paling rendah jika dibandingkan dengan produk hasil pengeringan vacuum evaporator dan freeze dryer. Tabel 18 memperlihatkan bahwa perhitungan dilakukan dengan menggunakan konversi 100 gram tempe segar. Berdasarkan perhitungan rendemen rata rata dari alat pengeringan adalah sekitar 11,58 % dari berat basah total, sehingga dari 500 gram formula basah akan menghasilkan sekitar 59,25 gram produk bubur instan kering. Hal ini yang digunakan sebagai dasar dalam perhitungan biaya per serving size ( 1 kali penyajian). Produk hasil pengeringan drum dryer ,vacuum evaporator maupun freeze dryer mempunyai nilai gizi yang tidak jauh berbeda. Sehingga efisiensi biayalah yang menjadi salah satu pertimbangan pemilihan sistem pengeringan terbaik dari produk. Drum dryer terpilih sebagai sistem yang paling efisien jika dibandingkan dengan vacuum evaporator dan freeze dryer dengan nilai gizi yang tidak jauh berbeda. Tabel 18 Perhitungan biaya dalam pembuatan bubur instan dari bahan tempe kedelai dengan beberapa alat pengeringan Bahan Essens Kedelai CMC Tapioka Sukralosa Air Maltodekstrin Upah Bahan bakar Jumlah 0,7 persen 50 gram 0,1 persen 12,5 persen 25 persen 350 ml 12,5 persen satu bulan 12 kilo gas harga satuan satuan harga per gram perhitungan per 100 gram tempe (formula) 750000 1000 750 311,0625 10000 1000 10 500 8000 1000 8 4 4000 1000 4 250 3000000 1000 3000 625 10000 19000 0,526315789 184,2105263 15000 1000 15 937,5 873231 22 39692,31818 1240,384943 70000 12000 5,833333333 5,555555556 Pengeringan 50000 50000 2000 25 1481,25 Drum dryer 48 jam 5000 2000 120 7110 Freeze dryer 5000 2000 60 3555 Vacuum evaporator 24 jam 5538,963525 drum dryer 11167,71353 freeze dryer Total Harga per 100 gram tempe basah 7612,713525 vacuum 4206,807741 drum dryer Harga per serving size 8481,807741 freeze dryer 5781,807741 vacuum KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Proses pembuatan tempe memerlukan kondisi khusus, baik kelembaban, pH maupun temperatur. Hal ini terkait dengan pertumbuhan kapang tempe. Jenis kapang yang digunakan dalam pembuatan tempe akan menentukan kandungan gizi tempe. Hasil analisis kandungan gizi menyebutkan bahwa, terjadi peningkatan kandungan lemak dan protein dan terjadi penurunan kadar abu pada saat fermentasi kedelai menjadi tempe. Formula terbaik pada pembuatan produk bubur instan terdiri dari tempe 100 gram, maltodekstrin 2,5 persen, tapioka 2,5 persen, CMC 0,1 persen, air 350 mL, perisa 0,7 persen dan sukralosa 25 persen tingkat kemanisan gula. Produk yang dihasilkan dari penggunaan formula ini mempunyai tekstur yang halus dan kekentalan yang disukai oleh lebih dari separuh panelis. Pembuatan bubur instan diawali dengan pencampuran bahan yang telah terpilih (tempe 100 gram, maltodekstrin 2,5 persen, tapioka 2,5 persen, CMC 0,1 persen, air 350 mL dan sukralosa 25 persen) sampai merata kemudian dilanjutkan dengan pemasakan. Pemasakan dilakukan dengan menggunakan tiga perlakuan suhu yaitu (73,5oC, 81oC dan 88,5 oC). Setelah dimasak, kemudian dilanjutkan pada proses pengeringan dengan beberapa jenis pengering. Pada beberapa jenis pengeringan baik freeze dryer, drum dryer maupun vacuum evaporator tidak memberikan pengaruh yang jauh berbeda terhadap daya terima panelis terhadap produk dari aspek rasa, warna, aroma, tekstur dan keseluruhan produk. Rasa pahit masih menjadi salah satu kelemahan produk. Hal ini mengakibatkan penerimaan secara keseluruhan produk masih rendah. Pada aspek aroma, warna, tekstur menunjukkan tingkat penerimaan yang baik dari panelis. Pada beberapa jenis pengeringan baik freeze dryer, drum dryer maupun vacuum evaporator tidak memberikan pengaruh yang jauh berbeda terhadap mutu gizi produk yang dihasilkan. Pada penggunaan sistem pengering drum dryer, mutu cerna yang dihasilkan paling tinggi diantara pengering freeze dryer dan vacuum evaporator meskipun kadar protein yang dihasilkan jauh lebih rendah. Pemberian suhu pemasakan yang berbeda memberikan perbedaan yang berarti pada kadar air produk, sedangkan untuk kadar protein, lemak, asam amino tidak memperlihatkan perbedaan yang terlalu jauh antar suhu pemasakan. Berdasarkan perhitungan biaya yang diperlukan untuk pembuatan bubur instan dari bahan tempe kedelai, drum dryer lebih efisien dan cocok digunakan dalam proses pengeringan. Produk bubur instan dari bahan tempe kedelai dapat menyumbang sekitar 10 persen dari total kebutuhan energi diabetesi dalam sehari dan menyumbang 3,1 persen kebutuhan arginin diabetesi serta menyumbang sekitar 7 persen kebutuhan glutamat pada diabetesi dengan komplikasi gangren untuk satu kali penyajiannya (serving size). Saran Jenis pengeringan drum dryer sebaiknya digunakan dalam pembuatan bubur instan dari bahan tempe kedelai. Rasa pahit yang ditinggalkan produk (aftertaste) akibat adanya senyawa saponin masih terasa. Perlunya perlakuan tambahan untuk menghilangkan senyawa tersebut, sehingga produk dapat lebih diterima. Penyajian bubur instan dengan garnish dapat dilakukan untuk menambah selera bagi diabetesi. Perlu adanya penelitian lanjutan untuk melihat aspek gizi lain (asam lemak, mineral seng, vitamin B6, vitamin B12) yang bermanfaat bagi penatalaksanaan makanan diabetesi yang mengalami komplikasi gangren. Selain itu perlu alternatif pengolahan lain, seperti bubur ayam yang mempunyai kesan rasa gurih, sehingga dalam penyajiannya dapat ditambahkan bawang goreng, kerupuk, dll yang diharapkan dapat mengurangi after taste. Data hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai dasar untuk melakukan penelitian terapan lainnya. 64 Lampiran 1 Formulir pengujian tingkat kesukaan (hedonik) produk bubur instan dari tempe kedelai : Jenis Kelamin : Asal Daerah : Program Studi/angkt : No Hp : Instruksi: Dihadapan saudara disajikan beberapa contoh makanan diet dari bahan tempe kedelai. Berikan penilaian saudara dengan penuliskan angka sesuai dengan keterangan yang ada di bawah tabel terhadap warna, aroma, tekstur dan rasa dari masingmasing produk makanan diet. Saudara diharapkan untuk tidak membandingkan diantara 3 produk yang disajikan. Minumlah terlebih dahulu setiap memulai menilai contoh. Kode 673 774 843 Warna Aroma Rasa Tekstur Keseluruhan Komentar/Saran: ....................................................................................................... .................................................................................................................................... .................................................................................................................................... .................................................................................................................................... Keterangan Tingkat Kesukaan: 1. Sangat Tidak Suka 2. Tidak Suka 3. Agak Tidak Suka 4. Agak Suka 5. Suka 6. Sangat Suka Terimakasih 65 Lampiran 2 Formulir pengujian mutu hedonik produk bubur instan dari tempe kedelai PENGUJIAN MUTU HEDONIK PRODUK BUBUR INSTAN Nama : Instruksi: Dihadapan saudara disajikan beberapa contoh makanan diet dari bahan tempe kedelai. Berikan penilaian saudara terhadap warna, aroma, rasa dan tekstur dengan memberikan tanda cek (V) pada pernyataan yang sesuai dengan penilaian saudara. Lakukan penilaian secara bertahap (satu per satu untuk semua faktor penilaian, baru dilanjutkan ke contoh berikutnya). Saudara diharapkan tidak membandingkan antar contoh yang disajikan. Minumlah terlebih dahulu setiap memulai penilaian. Penilaian Warna Kode Makanan Diet Tempe 743 613 353 Sangat Menarik Menarik Agak Menarik Agak Tidak Menarik Tidak Menarik Sangat Tidak Menarik Penilaian Rasa Kode Makanan Diet Tempe 743 613 353 Manis Sekali Agak Manis Manis Manis Agak pahit Manis Pahit Manis Pahit Sekali Penilaian Tekstur Kode Makanan Diet Tempe 743 613 353 Halus sekali Agak halus Halus Agak Kasar Kasar Kasar Sekali Penilaian Aroma Kode Makanan Diet Tempe 743 613 353 Sangat Berbau vanila Agak Berbau vanila Berbau vanila Agak Berbau langu Berbau langu Sangat Berbau langu Komentar/saran: 66 Lampiran 3 Prosedur analisis kandungan gizi a. Kadar Karbohidrat by different (Winarno 1992) Analisis kadar karbohidrat dilakukan dengan cara perhitungan kasar (proximate analysis) atau disebut juga Carbohydrate by Different. Kadar karbohidrat termasuk serat kasar ditentukan dengan rumus sebagai berikut: % karbohidrat = 100% - % (air + protein + lemak + abu) b. Analisis Kadar Air, metode Oven Biasa (Sulaeman, Anwar, Rimbawan & Marliyati 1995) Pada metode ini bahan dipanaskan pada suhu tertentu sehingga semua air menguap yang ditunjukkan oleh berat bahan yang konstan setelah periode pemanasan tertentu. Prosedurnya yaitu : sebanyak 2 gram sampel yang telah dihomogenkan ditimbang dimasukkan ke dalam cawan porselin yang telah dikeringkan dan diketahui beratnya. Contoh dikeringkan dalam oven pada suhu 100-1050C sampai tercapai berat tetap yaitu sekitar 3-4 jam, kemudian dinginkan dalam desikator (sekitar 30 menit) dan segera ditimbang. Perhitungannya adalah sebagai berikut : % Kadar air (bb) = B1 – B2 x 100% B Keterangan : B = berat contoh (gram) B1 = berat (contoh+cawan) sebelum dikeringkan B2 = berat (contoh+cawan) setelah dikeringkan c. Analisis Kadar Lemak, Metode Soxhlet dengan modifikasi Weibull (AOAC 1990 diacu dalam Nielsen 2003) Pada metode ini sebanyak 5 gram contoh yang telah dihilangkan kadar airnya (S), dibungkus dengan kertas saring. Masukkan pelarut lemak ke dalam labu lemak yang telah diketahui beratnya (A). Kemudian masukkan timbel ke dalam alat ekstraksi soxhlet dan panaskan selama 3-4 jam. Setelah selesai pelarutnya disuling kembali dan labu lemak diangkat dan dikeringkan dalam oven pada suhu 1050C sampai beratnya konstan. Kemudian didinginkan dalam desikator selama 20-30 menit dan timbang (B). Perhitungannya adalah sebagai berikut : % kadar lemak = B – A x 100% S 67 d. Analisis Kadar Protein, Metode Semi Mikro Kjedahl (AOAC 1990 diacu dalam Nielsen 2003) Pada metode ini sebanyak 0,2 gram contoh yang telah dihomogenkan, dimasukkan ke dalam labu Kjedahl 150 ml, lalu ditambahkan selenium mix, serta 7 ml H2SO4 pekat. Kemudian dilakukan destruksi sampai berwarna jernih. Setelah itu labu didiamkan sampai dingin. Ditambahkan 110-120 ml aquades ke dalam labu. Sebanyak 5 ml larutan tersebut ditambahkan 10 ml NaOH dan didestilasi. Selanjutnya destilat ditampung di dalam erlenmeyer yang berisi 10 ml asam borat dan metil merah sebagai indikator. Selanjutnya dititrasi dengan 0,01 N HCl. Perhitungannya adalah sebagai berikut : % total nitrogen = (ml contoh) x N HCl x 14 x 100% mg berat contoh % protein = % total N x faktor konversi e. Kadar abu (AOAC 1990 diacu dalam Nielsen 2003) Pada metode ini sebanyak 5 gram contoh yang telah dihomogenkan dimasukkan ke dalam cawan porselen yang telah diketahui beratnya. Contoh kemudian dibakar di atas api bunsen. Setelah tidak berasap dimasukkan ke dalam tanur sampai didapatkan abu putih. Pengabuan dilakukan sampai berat cawan konstan, umumnya selama 12 jam. Sebelum ditimbang, cawan didinginkan di dalam desikator selama 30 menit. % kadar abu = berat abu (g) X 100% berat contoh (g) f. Kadar asam amino (Metode High Performance Chromathography) Alat dan bahan (untuk 10 sampel) Alat: - Membran milipore 0,45 mikron (10 buah) - Perangkat HPLC (HPLC Type ICI dan Column ODS) - Syringe 100 µL (2 buah) - Vial (1 mL) - Neraca analitik (1 buah) - Pipet 1 mL (2 buah) - Labu takar 100mL (4 buah) - Ampul 68 Bahan: - Produk bubur instan - Asam Borat (10 g) - Ortoftaladehida (50 mg) - Natrium hidroksida (10 g) - Larutan brij-30 30% (1 mL) - 2-merkatoetanol (1mL) - Larutan standar asam amino 0,5 µmol/mL (1 mL) - Na-EDTA (5 g) - Metanol (200 mL) - Tetrahidofuran (THF) (10 mL) - Na-asetat (5 g) - Air destilata bebas ion (2 L) Prosedur Analisis 1. Preparasi sampel Sampel yang ada, dianalisis kadar proteinnya dengan metode Kjedahl. Sampel yang mengandung 3 mg protein dimasukkan ke dalam ampul kemudian ditambahkan 1 ml HCl 6N. Setelah ditambahkan HCl, campuran tersebut dibekukan dalam es kering aseton. Gunakan freeze dryer yang dihubungkan dengan pompa vacuum untuk mengeringbekukan sampel Setelah sampel dikeringbekukan, udara dikeluarkan dari dalam sampel, kemudian divacuum kembali bersama ampul selama 20 menit. Tutup bagian tengah tabung dengan memanaskannya diatas api. Masukkan ampul yang telah ditutup ke dalam oven (suhu 110oC) selama 24 jam kemudian dinginkan sampel yang telah dihidrolisis pada suhu kamar. Setelah dihidrolisis pindahkan isinya ke dalam labu evaporator 50 mL kemudian bilas dengan 2 mL HCl 0,01 N. Masukkan cairan bilasan dalam labu evaporator. Ulangi 2-3 kali. Keringkan sampel dalam freeze dryer, kemudian tambahkan 10-20 mL air ke dalam sampel untuk mengubah sistein menjadi sistin. Keringkan dengan freeze dryer. Ulangi pengeringan 2-3 kali. Tambahkan 5 mL HCl 0,01 N ke dalam sampel yang telah dikeringkan. Larutan sampel siap untuk dianalis 69 2. Pembuatan Pereaksi OPA Bahan - OPA (50 mL) - Metanol (4 mL) - Merkaptoetanol (0,025 mL) - Brij-30 30% (0,050 mL) - Buffer Borat 1 M, pH = 10,4 - Kalium Borat pH 10,4 Larutan stok pereaksi OPA Prosedur percobaan Sebanyak 50 mg OPA dilarutkan dalam 4 mL metanol kemudian ditambahkan merkaptoetanol. Kocok dengan hati hati. Tambahkan brij-30 30% dan buffer borat. Simpan larutan dalam botol berwarna gelap pada suhu 4oC Catatan: Pereaksi derivatisasi, diperoleh dari pencampuran satu bagian larutan stok dengan dua bagian larutan buffer kalium borat pH 10,4. Larutan buffer ini harus dibuat segar. 3. Fase Mobil Buffer A : Na-asetat pH 6,5 (0,025 M) Na-EDTA (0,05%) Metanol (9%) THF (1%) Buffer A terdiri dari komposisi di atas yang dilarutkan dalam 1 liter air HP. Buffer ini harus disaring dengan kertas milipore 0,45 µm dan akan stabil selama 5 hari pada suhu kamar bila disimpan dalam botol berwarna gelap yang diisi dengan He atau Nitrogen. Buffer B terdiri atas metanol 95% dan air HP. Lakukan penyaringan dengan kertas saring milipore 0,45 mikron. Larutan ini akan stabil dalam waktu tak terbatas. 70 4. Kondisi alat Atur kondisi alat HPLC seperti berikut: Kolom : Ultra Techspere Laju aliran fase mobil : 1 mL/menit Detektor : Fluoresensi Fase mobil : Buffer A dan Buffer B dengan gradien sebagai berikut: Waktu (menit) Laju aliran fase mobil (mL/menit) % Buffer B 0 1 0 1 1 0 2 1 15 5 1 15 13 1 42 15 1 42 20 1 70 22 1 100 26 1 100 28 1 0 38 1 0 Buatlah grafik hubungan antara waktu (menit0 sebagai absis dan % B sebagai ordinat 5. Analisis asam amino Sampel yang telah dihidrolisis (B-9) dilarutkan dalam 5 mL HCl 0,01N, kemudian saring dengan kertas milipore. Tambahkan buffer kalium borat pH 10,4 dengan perbandingan 1:1 kemudian masukkan 10 µL sampel ke dalam vial kosong. Tambahkan 25 µL pereaksi OPA dan biarkan selama 1 menit agar derivatisasi berlangsung sempurna. Lakukan injeksi 5 µL campuran ke dalam kolom HPLC kemudian tunggu sampai terjadi pemisahan semua asam amino. Hitung konsentrasi asam aminonya. 6. Perhitungan Konsentrasi asam amino Luas Puncak sampel Luas Puncak standar Konsentrasi Standar 0,5μmol mL % asam amino dalam sampel: µmol Asam amino Mr Asam amino µg sampel 100 5mL 71 g. Mutu Cerna protein (metode Invitro) Pada metode ini sampel disuspensikan dalam larutan hingga mencapai konsentrasi protein sebesar 6,25 mg/mL air. Larutan kemudian diambil sebanyak 50 mL dan diatur pHnya pada kondisi normal dengan penambahan NaOH 0,1N dan HCl. Larutan terus diaduk dengan magnetic stirer untuk memastikan bahan yang ditambahkan tercampur dengan sempurna sambil diatur suhunya sebesar 37oC. Ditambahkan 5 mL larutan multi enzim (campuran 1,6 mg tripsin, 3,1 mg kimotripsin dan 1,3 mg peptidase) sambil terus diaduk. Dicatat pH larutan pada menit ke-10. Dihitung mutu cerna proteinnya. 210,464 18,103 y = Daya cerna protein (dalam %) x = pH suspensi sampel pada menit ke 10 Lampiran 4 Prosedur pengujian Brabender Amilograph Tempe, CMC, maltodekstrin, tapioka dan air dihomogenisasi basah dengan menggunakan blender. Kemudian bahan dimasukkan dalam Brabender Amilograph dan diatur suhunya pada 30oC. Pena indikator diletakkan pada garis yang tepat kemudian bersihkan indikator kaca dengan lap basah. Dinyalakan alat dengan menekan tombol on kemudian diamati grafik yang terbentuk karena kenaikan suhu. 72 Lampiran 5 Rendemen Produk Bubur Instan dari Bahan Tempe Kedelai Jenis pengeringan Drum dryer Vacuum evaporator Freeze dryer Suhu pengeringan 73,5 81 88,5 73,5 81 88,5 73,5 81 88,5 Berat Berat hasil Berat padatan padatan+air pengeringan 735,25 2639,25 735,25 2639,25 1011,53 3832,53 690,25 2615,25 690,25 2615,25 690,25 2615,25 878,5 3328,5 878,5 3328,5 878,5 3328,5 Rendemen padatan 370 354 391 316 281 332 396 386 333 50,32 48,15 38,65 45,78 40,71 48,10 45,08 43,94 37,91 Rendemen padatan dan air 14,02 13,41 10,20 12,08 10,74 12,69 11,90 11,60 10,00