BAB 2 LANDASAN TEORI

advertisement
BAB 2
LANDASAN TEORI
2.1. Brand (Merek)
2.1.1. Definisi Brand (Merek)
Menurut Aaker (1996), merek adalah nama dan atau simbol yang
bersifat membedakan (seperti sebuah logo, cap atau kemasan) dengan maksud
mengidentifikasi barang dan jasa dari seorang penjual atau sebuah kelompok
penjual tertentu. Dengan demikian suatu merek membedakannya dari barang
dan jasa yang dihasilkan oleh para pesaing.
American Marketing Association (AMA) dalam Kotler (2002, pp 460)
mendefinisikan merek sebagai nama, istilah, tanda, simbol, rancangan, atau
kombinasi dari hal-hal tersebut, yang dimaksudkan untuk mengidentifikasi
barang atau jasa dari seorang atau sekelompok penjual dan untuk
membedakannya dari produk pesaing. Jadi merek membedakan penjual,
produsen atau produk dari penjual, produsen atau produk lain.
Merek mengandung janji perusahaan untuk secara konsisten
memberikan ciri, manfaat, dan jasa tertentu kepada pembeli. Menurut Kotler
(2002, pp 460), merek lebih dari sekedar jaminan kualitas karena didalamnya
tercakup enam pengertian berikut :
1. Atribut Produk
Merek mengingatkan pada atribut-atribut tertentu.
12 13
2. Manfaat
Atribut perlu diterjemahkan menjadi manfaat fungsional dan emosional.
Konsumen sebenarnya membeli manfaat dari produk yang dibelinya.
3. Nilai
Merek menyatakan sesuatu tentang nilai produsen.
4. Budaya
Merek mencerminkan budaya tertentu.
5. Kepribadian
Merek mencerminkan kepribadian tertentu.
6. Pemakai
Merek menunjukan jenis konsumen yang membeli atau menggunakan
produk tersebut.
Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa merek
merupakan nama, istilah tanda, simbol disain, ataupun kombinasinya yang
mengidentifikasikan suatu produk/jasa yang dihasilkan oleh suatu perusahaan.
Identifikasi tersebut juga berfungsi untuk membedakannya dengan produk
yang ditawarkan oleh perusahaan pesaing. Lebih jauh, sebenarnya merek
merupakan nilai tangible dan intangible yang terwakili dalam sebuah
trademark (merek dagang) yang mampu menciptakan nilai dan pengaruh
tersendiri di pasar bila diatur dengan tepat. Saat ini, merek sudah menjadi
konsep yang kompleks dengan sejumlah ratifikasi teknis dan psikologis
(Durianto, Sugiarto, dan Sitinjak, 2001, pp 1).
14
2.1.2. Peranan dan Kegunaan Brand (Merek)
Saat ini , merek menjadi sangat penting karena beberapa faktor seperti:
(Durianto, Sugiarto, dan Sitinjak, 2001, pp 2-3)
1.
Emosi konsumen terkadang turun naik. Merek mampu membuat janji
emosi menjadi konsisten dan stabil.
2.
Merek mampu menembus pagar budaya dan pasar. Bisa dilihat dari
bahwa jumlah suatu merek yang kuat mampu diterima diseluruh dunia
dan budaya. Contoh yang paling fenomenal adalah Coca-Cola yang
berhasil menjadi “Global Brand”, diterima di mana saja dan kapan
saja di seluruh dunia.
3.
Merek mampu menciptakan komunikasi interaksi dengan konsumen.
Semakin kuat suatu merek, makin kuat pula interaksinya dengan
konsumen dan makin banyak brand association (asosiasi merek) yang
terbentuk dalam merek tersebut. Jika brand associations yang
terbentuk memiliki kualitas dan kuantitas yang kuat, potensi ini akan
meningkatkan brand image (citra merek).
4.
Merek sangat berpengaruh dalam membentuk perilaku konsumen.
Merek yang kuat akan sanggup merubah perilaku konsumen. Sebagai
contoh, keberhasilan Pall Mall dalam menembus perilaku konsumen
15
mampu menciptakan suatu market niche (ceruk pasar) yang spesifik
dan menguntungkan.
5.
Merek memudahkan proses pengambilan keputusan pembelian oleh
konsumen. Dengan adanya merek, konsumen dapat dengan mudah
membedakan produk yang akan dibelinya dengan produk lain
sehubungan dengan kualitas, kepuasan, kebanggaan, ataupun atribut
lain yang melekat pada merek tersebut.
6.
Merek berkembang menjadi sumber asset terbesar bagi perusahaan.
Hasil sebuah penelitian menunjukkan bahwa Coca-Cola yang memiliki
Stock Market Value (SMV) yang besar, ternyata 97% dari SMV
tersebut merupakan nilai merek. Begitu pula nilai merek Kellogs
berkontribusi 89% dari SMV-nya dan pada IBM berkontribusi 73%
dari SMV.
Dari ilustrasi tersebut dapat disimpulkan bahwa merek mempunyai
peranan yang penting dan merupakan ‘aset prestisius’ bagi perusahaan. Dalam
kondisi pasar yang kompetitif, preferensi dan loyalitas pelanggan adalah kunci
kesuksesan. Terlebih lagi pada kondisi sekarang, nilai suatu merek yang
mapan sebanding dengan realitas makin sulitnya menciptakan suatu merek.
Pemasaran dewasa ini merupakan pertempuran persepsi konsumen, tidak
sekedar pertempuran produk. Beberapa produk dengan kualitas, model,
features (karakteristik tambahan dari produk), serta kualitas yang relatif sama,
16
dapat memiliki kinerja yang berbeda-beda di pasar karena perbedaan persepsi
dari produk tersebut di benak konsumen.
2.2. Brand Equity (Ekuitas Merek)
Suatu merek yang prestisius adalah suatu merek dengan brand equity
(ekuitas merek) yang kuat. Suatu produk atau jasa dengan brand equity yang
kuat akan membentuk landasan merek yang kuat dan mampu menjadikan
merek tersebut berkembang dalam persaingan apapun dalam jangka waktu
yang panjang.
2.2.1. Definisi Brand Equity
Definisi brand equity menurut Aaker (1996, pp 7) dalam bukunya
yang berjudul “Building Strong Brands” adalah “ a set of
assets (and
liabilities) linked to a brand’s name and symbol that adds to (or subtract
from) the value provided by a product or service to a firm and/or that firm’s
customers.”
Brand equity adalah seperangkat aset dan liabilitas merek yang terkait
dengan suatu nama dan simbol daripada merek tersebut yang mampu
menambah atau mengurangi nilai yang diberikan oleh suatu produk atau jasa
baik itu pada perusahaan maupun pelanggan. Agar aset dan liabilitas
mendasari brand equity, maka aset dan liabilitas merek harus berhubungan
dengan nama dan simbol merek, sehingga jika dilakukan perubahan terhadap
nama dan simbol merek, maka beberapa atau semua aset dan liabilitas yang
17
menjadi dasar brand equity akan berubah pula (Durianto, Sugiarto, dan
Sitinjak, 2001, pp 4).
2.2.2 Elemen-Elemen Brand Equity
Menurut David A. Aaker (Managing Brand Equity,1991), brand
equity dapat dikelompokkan ke dalam lima kategori (Durianto, Sugiarto, dan
Sitinjak, 2001, pp 4):
1. Brand Awareness (Kesadaran merek) - Menunjukkan kesanggupan
seorang calon pembeli untuk mengenali atau mengingat kembali bahwa
suatu merek merupakan bagian dari kategori produk tersebut.
2. Brand Association (Asosiasi merek) - Mencerminkan pencitraan
seseorang terhadap kesan tertentu dalam kaitannya dengan kebiasaan,
gaya hidup, manfaat, atribut produk, geografis, harga, pesaing, selebritis,
dan lain-lain.
3. Perceived Quality (Persepsi Kualitas) - Mencerminkan persepsi konsumen
terhadap keseluruhan kualitas/ keunggulan suatu produk/jasa layanan
berkenaan dengan maksud yang diharapkan.
4. Brand Loyalty (Loyalitas merek) - Mencerminkan tingkat keterikatan
konsumen dengan suatu merek produk/jasa.
5. Other Proprietary Brand Assets (Aset-aset merek lainnya)
18
Empat elemen brand equity diluar aset-aset merek lainnya dikenal
dengan elemen-elemen utama dari brand equity. Elemen brand equity yang
kelima secara langsung akan dipengaruhi oleh kualitas dari empat elemen
utama tersebut (Duriato, Sugiarto, dan Sitinjak, 2001, pp 4). Konsep brand
equity ditampilkan pada gambar 2.1, yang menggambarkan bahwa brand
equity menciptakan nilai bagi perusahaan atau pelanggan atas dasar lima
kategori yang telah disebutkan.
Perceived Quality
Brand Awareness
Brand Association
Brand Loyalty
Other Property Brand
Assets
Brand Equity
Memberikan nilai kepada Pelanggan
dengan memperkuat
Memberikan nilai kepada Perusahan
dengan memperkuat
Efesiensi dan efektifitas program pemasaran
Interpretasi proses informasi
Brand loyality
Rasa percaya diri dalam pembelian
Harga/laba
Pencapaian kepuasan dari pelanggan
Perluasan merek
Peningkatan perdagangan
Keuntungan kompetitif
Gambar 2.1
Konsep Brand Equity Menurut David A. Aaker
Sumber: Strategi Menaklukkan Pasar Melalui Riset Ekuitas dan Perilaku Merek (Durianto, Sugiarto,
dan Sitinjak, 2001, pp 5)
19
2.2.3. Peran Brand Equity
Brand equity merupakan aset yang dapat memberikan nilai tersendiri
di mata pelanggannya. Aset yang dikandungnya dapat membantu pelanggan
dalam menafsirkan, memproses, dan menyimpan informasi yang terkait
dengan produk dan merek tersebut. Brand equity dapat mempengaruhi rasa
percaya diri konsumen dalam pengambilan keputusan atas dasar pengalaman
masa lalu dalam penggunaan atau kedekatan, asosiasi dengan berbagai
karakteristik merek. Dalam kenyataannya, perceived quality dan brand
association dapat mempertinggi tingkat kepuasaan konsumen (Durianto,
Sugiarto, dan Sitinjak, 2001, pp 6)
Disamping memberi nilai bagi konsumen, brand equity juga
memberikan nilai bagi perusahaan dalam bentuk (Durianto, Sugiarto, dan
Sitinjak, 2001, pp 6-8) :
1. Ekuitas merek yang kuat dapat mempertinggi keberhasilan
program dalam memikat konsumen baru atau merangkul kembali
konsumen lama. Promosi yang dilakukan akan lebih efektif jika
merek dikenal. Brand equity yang kuat dapat menghilangkan
keraguan konsumen terhadap kualitas merek.
2. Empat dimensi brand equity: brand awareness, perceived quality,
asosiasi-asosiasi, dan asset merek lainnya dapat mempengaruhi
alasan pembelian konsumen. Bahkan seandainya brand awareness,
20
perceived quality, dan asosiasi-asosiasi tidak begitu penting dalam
proses pemilihan merek, ketiganya tetap dapat mengurangi
keinginan atau rangsangan konsumen untuk mencoba merekmerek lain.
3. Brand loyalty yang telah diperkuat merupakan hal penting dalam
merespons inovasi yang dilakukan para pesaing. Brand loyalty
adalah salah satu kategori brand equity yang dipengaruhi oleh
kategori brand equity lainnya. Kategori-kategori brand equity
lainnya juga berhubungan satu sama lain. Perceived quality dapat
dipengaruhi
oleh
brand
awareness.
Nama
merek
dapat
memberikan kesan bahwa produk dibuat dengan baik (perceived
quality), diyakinkan oleh asosiasi dan loyalitas (seorang konsumen
yang loyal tidak akan menyukai produk yang kualitasnya rendah).
4. Brand association juga sangat penting sebagai dasar strategi
positioning maupun strategi perluasan produk. Suatu analisis
terhadap portfolio merek sangat diperlukan untuk mengetahui
efektivitas dari perluasan merek yang telah dilakukan.
5. Salah satu cara memperkuat brand equity adalah dengan
melakukan promosi besar-besaran yang membutuhkan biaya besar.
Brand equity yang kuat akan memungkinkan perusahaan
memperoleh margin yang yang lebih tinggi dengan menerapkan
21
premium price (harga premium) dan mengurangi ketergantungan
pada promosi sehingga dapat diperoleh laba yang tinggi.
6. Brand equity yang kuat dapat digunakan sebagai dasar untuk
pertumbuhan dan perluasan merek kepada produk lainnya atau
menciptakan bisnis baru yang terkait yang biayanya akan jauh
lebih mahal untuk memasukinya tanpa merek yang memiliki brand
equity tersebut.
7. Brand equity yang kuat dapat meningkatkan penjualan karena
mampu
menciptakan
loyalitas
saluran
distribusi.
Toko,
supermarket, dan tempat-tempat penjualan lainnya tidak akan
ragu-ragu untuk menerima suatu produk dengan brand equity yang
kuat dan sudah dikenal untuk dijual kepada konsumen. Produk
dengan brand equity yang kuat akan dicari oleh pedagang karena
mereka
yakin
bahwa
produk
tersebut
akan
memberikan
keuntungan bagi mereka. Dengan brand equity yang kuat, saluran
distribusi dapat berkembang sehingga semakin banyak tempat
penjualan yang pada akhirnya akan memperbesar volume
penjualan produk tersebut.
8. Aset-aset brand equity lainnya dapat memberikan keuntungan
kompetitif bagi perusahaan dengan memanfaatkan celah-celah
yang tidak dimiliki pesaing. Biasanya, bila dimensi utama dari
22
brand equity yaitu brand awareness, brand associations, perceived
quality, dan brand loyalty sudah sangat kuat. Sebagai contoh
kesetiaan perantara maupun pemasar (diler, grosir, dll.) sangat
tergantung pada kekuatan empat elemen utama dari brand equity.
Pada umumnya, mereka tidak ragu lagi terhadap perusahaan yang
memiliki brand equity kuat, sehingga kepercayaan untuk
memasarkan produknya semakin meningkat. Oleh karenanya
penekanan riset brand equity diberikan pada keempat elemen
utama dari brand equity, sedangkan asset brand equity lainnya
akan secara otomatis terimbas oleh kekuatan dari keempat elemen
utama tersebut.
Berdasarkan paparan yang dikemukakan, disadari bahwa brand equity
menempati posisi yang demikian penting bagi tercapainya tujuan perusahaan.
Dengan demikian perusahaan yang ingin tetap bertahan dan melangkah lebih
maju untuk memenangkan persaingan sangat perlu mengetahui kondisi brand
equity produknya melalui riset terhadap elemen-elemen brand equity.
2.3. Brand Awareness
2.3.1. Definisi Brand Awareness
Definisi brand awareness atau kesadaran merek menurut Aaker
(1996): “Brand Awareness atau kesadaran merek adalah kesanggupan seorang
23
calon pembeli untuk mengenali atau mengingat kembali suatu merek sebagai
bagian dari suatu kategori produk tertentu.”
Brand Awareness membutuhkan continuum ranging (jangkauan
kontinum) dari perasaan yang tidak pasti bahwa merek tertentu telah dikenal
sebelumnya, sehingga konsumen yakin bahwa produk tersebut merupakan
satu-satunya merek dalam suatu kelompok produk. Kontinum ini dapat
terwakili dalam tingkatan kesadaran merek yang berbeda yang dapat
digambarkan dalam suatu piramida berikut ini (Durianto, Sugiarto, dan
Sitinjak, 2001, pp 55) :
Puncak
Pikiran
(Top of Mind)
Pengingatan
Kembali Merek
(Brand Recall)
Pengenalan merek
(Brand Recognition)
Tidak Menyadari Merek
(Brand Unaware)
Gambar 2.2
Piramida Brand Awareness
24
2.3.2. Peran Brand Awareness
Peran brand awareness dalam brand equity tergantung pada tingkatan
akan pencapaian kesadaran merek di benak konsumen. Tingkatan brand
awareness yang paling rendah adalah brand recognition (pengenalan merek)
atau disebut juga sebagai tingkatan pengingatan kembali dengan bantuan
(aided call). Tingkatan berikutnya adalah tingkatan brand recall (pengingatan
kembali merek) atau tingkatan pengingatan kembali merek tanpa bantuan
(unaided call) karena konsumen tidak perlu dibantu untuk mengingat merek.
Pengukuran pengenalan merek tanpa bantuan lebih sulit dibandingkan
pengenalan merek dengan bantuan. Tingkatan berikutnya adalah merek yang
disebutkan pertama kali pada saat pengenalan merek tanpa bantuan yaitu top
of mind (kesadaran puncak pikiran). Top of mind adalah brand awareness
tertinggi yang merupakan pimpinan dari berbagai merek yang ada dalam
pikiran konsumen (Durianto, Sugiarto, dan Sitinjak, 2001, pp 55-56).
Peran brand awareness terhadap brand equity dapat dipahami dengan
membahas bagaimana brand awareness menciptakan suatu nilai. Kesadaran
merek (brand awareness) dapat menciptakan nilai sedikitnya dalam empat
cara, yaitu (Durianto, Sugiarto, dan Sitinjak, 2001, pp 56-57):
1. Anchor to which other association can be attached, artinya suatu merek
dapat digambarkan seperti suatu jangkar dengan beberapa rantai. Rantai
menggambarkan asosiasi dari merek tersebut.
25
2. Familiarity-Liking, artinya dengan mengenal merek akan menimbulkan
rasa terbiasa terutama untuk produk-produk yang bersifat low involvement
(keterlibatan rendah) seperti pasta gigi, tissue, dan lain-lain. Suatu
kebiasaan dapat menimbulkan keterkaitan kesukaan yang kadang-kadang
dapat menjadi pendorong dalam membuat keputusan.
3. Substance/Commitment. Kesadaran akan nama dapat menandakan
keberadaan, komitmen, dan inti yang sangat penting bagi suatu
perusahaan. Secara logika, suatu nama dikenal karena beberapa alas an,
mungkin karena program iklan perusahaan yang ekstensif, jaringan
distribusi yang luas, eksistensi yang sudah lama dalam industri dll. Jika
kualitas dua merek sama, brand awareness akan menjadi factor yang
menentukan dalam keputusan pembelian konsumen.
4. Brand to consider. Langkah pertama dalam suatu proses pembelian
adalah menyeleksi dari suatu kelompok merek-merek yang dikenal untuk
dipertimbangkan merek mana yang akan diputuskan dibeli. Merek yang
memiliki Top of Mind yang tinggi mempunyai nilai yang tinggi. Jika suatu
merek
tidak
tersimpan
dalam
ingatan,
merek
tersebut
tidak
dipertimbangkan di benak konsumen. Biasanya merek-merek yang
tersimpan dalam ingatan konsumen adalah merek yang disukai atau merek
yang dibenci.
26
2.4. Brand Association
2.4.1. Definisi Brand Association
Brand association (Asosiasi merek) adalah segala kesan yang muncul
di benak seseorang yang terkait dengan ingatannya mengenai suatu merek.
Kesan-kesan yang terkait merek akan semakin meningkat dengan semakin
banyaknya pengalaman konsumen dalam mengkonsumsi suatu merek atau
dengan semakin seringnya penampakan merek tersebut dalam strategi
komunikasinya, ditambah lagi jika kaitan tersebut didukung oleh suatu
jaringan dari kaitan-kaitan lain. Suatu merek yang telah mapan akan memiliki
posisi yang menonjol dalam persaingan bila didukung oleh asosiasi yang kuat.
Berbagai asosiasi merek yang saling berhubungan akan menimbulkan suatu
rangkaian yang disebut brand image. Semakin banyak asosiasi yang saling
berhubungan semakin kuat brand image yang dimiliki oleh merek tersebut
(Durianto, Sugiarto, dan Sitinjak, 2001, pp 69).
2.4.2. Fungsi Brand Association
Pada umumnya brand association (terutama yang membentuk brand
image) menjadi pijakan konsumen dalam keputusan pembelian dan
loyalitasnya pada merek tersebut. Dalam prakteknya, didapati banyak sekali
kemungkinan asosiasi dan variasi dari brand association yang dapat
memberikan nilai bagi suatu merek, dipandang dari sisi perusahaan maupun
27
dari sisi pengguna. Berbagai fungsi asosiasi tersebut adalah (Durianto,
Sugiarto, dan Sitinjak, 2001, pp 69-70):
1. Help
process/retrieve
information
(Membantu
proses
penyusunan
informasi)
2. Differentiate (Membedakan)
Suatu asosiasi dapat memberikan landasan yang penting bagi upaya
pembedaan suatu merek dari merek lain.
3. Reason to buy (Alasan pembelian)
Brand association membangkitkan berbagai atribut produk atau manfaat
bagi konsumen (customer benefits) yang dapat memberikan alasan spesifik
bagi konsumen untuk membeli dan menggunakan merek tersebut.
4. Create positive attitude/feelings (Menciptakan sikap atau perasaan positif)
Beberapa asosiasi mampu merangsang suatu perasaan positif yang pada
gilirannya merembet ke merek yang bersangkutan. Asosiasi-asosiasi
tersebut dapat menciptakan perasaan positif atas dasar pengalaman mereka.
sebelumnya serta pengubahan pengalaman tersebut menjadi sesuatu yang
lain daripada yang lain.
5. Basis for extentions (Landasan untuk perluasan)
Suatu asosiasi dapat menghasilkan landasan bagi suatu perluasan dengan
menciptakan rasa kesesuaian (sense of fit) antara merek dan sebuah produk
baru, atau dengan menghadirkan alasan untuk membeli produk perluasan
tersebut.
28
2.4.3. Acuan Brand Association
Asosiasi-asosiasi yang terkait dengan suatu merek umumnya dihubungkan dengan berbagai hal berikut (Durianto, Sugiarto, dan Sitinjak, 2001,
pp 70-72):
1. Product attributes (Atribut produk)
Mengasosiasikan atribut atau karakteristik suatu produk merupakan strategi
positioning yang paling sering digunakan. Mengembangkan asosiasi
semacam ini efektif karena jika atribut tersebut bermakna, asosiasi dapat
secara langsung diterjemahkan dalam alasan pembelian suatu merek.
2. Intangibles atributes (Atribut tak berwujud)
Suatu faktor tak berwujud merupakan atribut umum, seperti hal-nya
persepsi
kualitas,
kemajuan
teknologi,
atau
kesan
nilai
yang
mengikhtisarkan serangkaian atribut yang objektif.
3. Customer's benefits (Manfaat bagi pelanggan)
Karena sebagian besar atribut produk memberikan manfaat bagi pelanggan,
maka biasanya terdapat hubungan antarkeduanya. suatu karakteristik
produkakan memberikan kepuasan pada pelanggan. Manfaat bagi
pelanggan dapat dibagi dua, yaitu :
a. Rational benefit (manfaat rasional) - Manfaat psikologis sering kali
merupakan konsekuensi ekstrem dalam proses pembentukan sikap,
berkaitan dengan perasaan yang ditimbulkan ketika membeli atau
menggunakan merek tersebut
29
b. psychological benefit (manfaat psikologis) - Manfaat rasional
berkaitan erat dengan atribut dari produk yang dapat menjadi bagian
dari proses pengambilan keputusan yang rasional.
4. Relative price (Harga relatif)
Evaluasi terhadap suatu merek di sebagian kelas produk ini akan diawali
dengan penentuan posisi merek tersebut dalam satu atau dua dari tingkat
harga
5. Application (Penggunaan)
Pendekatan ini adalah dengan mengasosiasikan merek tersebut dengan
suatu penggunaan atau aplikasi tertentu
6. User/customer (Pengguna/pelanggan)
Pendekatan ini adalah dengan mengasosiasikan sebuah merek dengan
sebuah tipe pengguna atau atau pelanggan dari produk tersebut.
7. Celebrity/person (Orang terkenal/khalayak)
Mengaitkan orang terkenal atau artis dengan sebuah merek dapat
mentransfer asosiasi kuat yang dimiliki oleh orang terkenal ke merek
tersebut
8. Life style/personality (Gaya hidup/kepribadian)
Asosiasi sebuah merek dengan suatu gaya hidup dapat diilhami oleh
asosiasi para pelanggan merek tersebut dengan aneka kepri-badian dan
karakteristik
gaya
hidup
yang
hampir
sama.
Misalnya
mencerminkan kepribadian yang maskulin, kuat, dan berani.
9. Product class (Kelas produk)
'Nagat'
30
Mengasosiasikan sebuah merek menurut kelas produknya. Misalnya, Volvo
mencerminkan nilai berupa prestise, perfbrma tinggi, keamanan, dan lainlain.
10. Competitors (Para pesaing)
Mengetahui pesaing dan berusaha untuk menyamai atau bahkan
mengungguli pesaing.
11. Country/geographic area (Negara/wilayah geografis)
Sebuah negara dapat menjadi simbol yang kuat asalkan memiliki hubungan
yang erat dengan produk, bahan, dan kemampuan.
Di samping beberapa acuan yang telah disebutkan, beberapa merek juga
memiliki asosiasi dengan berbagai hal lain yang belum disebutkan di atas.
Dalam kenyataannya, tidak semua merek produk memiliki semua asosiasi di
atas. Merek tertentu berasosiasi dengani beberapa hal di atas dan merek lainnya
berasosiasi dengan beberapa hal yang lain.
2.5. Brand Perceived Quality
Brand perceived quality (persepsi kualitas merek) yang dimaksud dalam
pembahasan berikut adalah persepsi pelanggan terhadap kualitas suatu merek
produk. Perceived quality ini akan membentuk persepsi kualitas dari suatu
produk di mata pelanggan. Persepsi terhadap kualitas keseluruhan dari suatu
produk atau jasa dapat menentukan nilai dari produk atau jasa tersebut dan
31
berpengaruh secara langsung kepada keputusan pembelian konsumen dan
loyalitas mereka terhadap merek. Perceived quality yang positif akan
mendorong keputusan pembelian dan menciptakan loyalitas terhadap produk
tersebut. Karena perceived quality merupakan persepsi konsumen maka dapat
diramalkan jika perceived quality pelanggan negatif, produk tidak akan disukai
dan bertahan lama di pasar. Sebaliknya, jika perceived quality pelanggan
positif, produk akan disukai (Durianto, Sugiarto, dan Sitinjak, 2001, pp 96).
2.5.1. Definisi Perceived Quality
Perceived quality dapat didefinisikan sebagai persepsi pelanggan
terhadap keseluruhan kualitas atau keunggulan suatu produk atau jasa layanan
berkaitan dengan apa yang diharapkan oleh pelanggan. Karena perceived
quality merupakan persepsi dari pelanggan maka perceived quality tidak dapat
ditentukan secara obyektif. Persepsi pelanggan akan melibatkan apa yang
penting bagi pelanggan karena setiap pelanggan memiliki kepentingan (yang
diukur secara relatif) yang berbeda-beda terhadap suatu produk atau jasa. Maka
dapat dikatakan bahwa membahas perceived quality berarti akan membahas
keterlibatan dan kepentingan pelanggan (Durianto, Sugiarto, dan Sitinjak,
2001, pp 96).
32
2.5.2. Dimensi Perceived Quality
Mengacu kepada pendapat David A.
Garvin,
dimensi perceived
quality dibagi menjadi tujuh, yaitu (Durianto, Sugiarto, dan Sitinjak, 2001, pp
98):
1. Kinerja
Melibatkan berbagai karateristik operasional utama, Karena faktor
kepentingan pelanggan berbeda satu sama lain, sering kali pelanggan
mempunyai sikap yang berbeda dalam menilai atribut-atribut kinerja ini.
2. Pelayanan
Mencerminkan kemampuan memberikan pelayanan pada produk tersebut.
Misalnya mobil merek tertentu menyediakan pelayanan kerusakan atau
service mobil 24 jam di seluruh dunia.
3. Ketahanan
Mencerminkan umur ekonomis dari produk tersebut. Yang mencerminkan
ketahanan yang diukur dengan masa pakai.
4. Keandalan
Konsistensi dari kinerja yang dihasilkan suatu produk dari satu pembelian
ke pembelian berikutnya.
5. Karakteristik produk
Bagian-bagian tambahan dari produk (feature), biasanya digunakan sebagai
pembeda yang penting ketika dua merek produk terlihat hampir sama.
Bagian-bagian tambahan ini memberi penekanan bahwa perusahaan
memahami kebutuhan pelanggannya yang dinamis sesuai perkembangan.
33
6. Kesesuaian dengan spesifikasi
Merupakan pandangan mengenai kualitas proses manufuktur (tidak ada
cacat produk) sesuai dengan spesifikasi yang telah ditentukan dan teruji.
Misalnya sebuah mobil pada kelas tertentu dengan spesifikasi yang telah
ditentukan seperti jenis dan kekuatan mesin, pintu, material untuk pintu
mobil, ban, sistem pengapian dan lainnya.
7. Hasil
Mengarah kepada kualitas yang dirasakan yang melibatkan enam dimensi
sebelumnya. Jika perusahaan tidak dapat menghasilkan "hasil akhir"
produk yang baik maka kemungkinan produk tersebut tidak akan
mempunyai atribut kualitas lain yang penting.
2.5.3. Perceived Quality Menghasilkan Nilai
Perceived quality mempunyai peranan yang penting dalam membangun
suatu merek, dalam banyak konteks perceived quality sebuah merek dapat
menjadi alasan yang penting pembelian serta merek mana yang akan
dipertimbangkan pelanggan yang pada gilirannya akan mempengaruhi
pelanggan dalam memutuskan merek yang akan dibeli (Durianto, Sugiarto, dan
Sitinjak, 2001, pp 100-101).
Secara umum perceived quality dapat menghasilkan nilai-nilai berikut:
alasan untuk membeli, differensiasi atau posisi harga premium, perluasan
saluran distribusi, perluasan merek (Durianto, Sugiarto, dan Sitinjak, 2001, pp
101-103).
34
1. Alasan untuk membeli
Keterbatasan informasi, uang dan waktu membuat keputusan pembelian
seorang pelanggan sangat dipengaruhi oleh perceived quality suatu merek
yang ada di benak konsumen, sehingga sering kali alasan keputusan
pembeliannya hanya didasarkan kepada perceived quality dari merek yang
akan dibelinya.
2. Diferensiasi atau Posisi dan Harga premium
Jika harga berperan sebagai pengarah kualitas maka premium price
cenderung memperkuat perceived quality. Peningkatan laba dapat menjadi
sumber daya dalam reinvestasi merek tersebut. Sumber daya ini dapat
digunakan dalam berbagai upaya membangun merek seperti menguatkan
dan meningkatkan kesadaran konsumen, menguatkan asosiasi, dan
meningkatkan kualitas produk yang mengarah ke penguatan perceived
quality.
3. Perluasan saluran distribusi
Perceived quality mempunyai arti penting bagi para pengecer, ditributor,
dan saluran distribusi lainnya. Para pengecer dan distributor akan
termotivasi untuk menjadi penyalur produk/merek dengan perceived
quality yang tinggi, yang berarti dapat semakin memperluas distribusi dari
merek produk tersebut. Secara umum, para distributor mempunyai
perhitungan bisnis dalam mendistri-busikan merek yang memiliki
perceived quality.
4. Perluasan merek
35
Suatu merek produk dengan perceived quality kuat dapat dieksploi-tasi ke
arah perluasan merek. Merek dengan perceived quality kuat dapat
digunakan untuk memperkenalkan kategori produk baru, yang beraneka
macam. Produk dengan merek dengan perceived quality yang kuat akan
mempunyai kemungkinan sukses yang lebih besar dibandingkan dengan
merek yang perceived quality-nya lemah, sehingga perluasan produk dari
merek dengan perceived quality yang kuat memungkinkan perolehan
pangsa pasar yang lebih besar lagi. Dalam hal ini perceived quality
merupakan jaminan yang signifikan atas perluasan-perluasan merek
tersebut.
2.5.4. Membangun Perceived Quality yang Kuat
Sedemikian pentingnya peran perceived quality bagi suatu merek sehingga upaya membangun perceived quality yang kuat perlu memperoleh
perhatian serius agar perusahaan dapat merebut dan menaklukan pasar di setiap
katagori produk. Membangun perceived quality harus diikuti dengan
peningkatan kualitas nyata dari produknya (Durianto, Sugiarto, dan Sitinjak,
2001, pp 103-104).
Jika pengalaman penggunaan dari para pelanggan tidak sesuai dengan
kualitas yang diposisikan maka citra perceived quality tidak dapat
dipertahankan. Berikut adalah berbagai hal yang perlu diperhatikan dalam
membangun perceived quality (David Aaker, Managing Brand Equity):
36
1. Komitmen terhadap kualitas
Perusahaan
harus
mempunyai
komitmen
terhadap
kualitas
serta
memelihara kualitas secara terus menerus. Upaya, memelihara kualitas
bukan hanya basa basi tetapi tercermin dalam tindakan tanpa kompromi.
2. Budaya Kualitas
Komitmen kualitas harus terefleksi dalam budaya perusahaan, norma
perilakunya, dan nilai-nilainya. Jika perusahaan dihadapkan kepada pilihan
kualitas dan biaya maka kualitas yang harus dimenangkan.
3. Informasi masukan dari pelanggan
Pada akhirnya dalam membangun perceived quality, pelangganlah yang
mendifinisikan
kualitas.
Untuk
itulah
perusahaan
perlu
secara
berkesinambungan melakukan riset terhadap pelanggannya sehingga
diperoleh informasi yang akurat, relevan, dan up to date.
4. Sasaran/Standar yang jelas
Sasaran kualitas harus jelas dan tidak terlalu umum karena sasaran kualitas
yang terlalu umum cenderung menjadi tidak bermanfaat. Kualitas juga
harus memiliki standard yang jelas, dapat dipahami dan diprioritaskan.
5. Kembangkan karyawan yang berinisiatif
Karyawan harus dimotivasi dan diizinkan untuk berinisiatif serta dilibatkan
dalam mencari solusi masalah yang dihadapi dengan pemikiran yang
kreatif dan inovatif. Karyawan juga secara aktif dilibatkan dalam
pengendalian kualitas layanan.
37
2.6. Brand Loyalty
2.6.1. Definisi Brand Loyalty
Brand loyalty merupakan suatu ukuran keterkaitan pelanggan kepada
sebuah merek. Ukuran ini mampu memberikan gambaran mengenai mungkin
tidaknya seorang pelanggan beralih ke merek lainnya, terutama jika pada
merek tersebut didapati adanya perubahan, baik menyangkut harga maupun
atribut lain (Durianto, Sugiarto, dan Sitinjak, 2001, pp 126).
2.6.2. Fungsi Brand Loyalty
Dengan pengelolaan dan pemanfaat yang benar, brand loyalty dapat
menjadi asset strategis bagi perusahaan. Berikut adalah beberapa potensi yang
dapat diberikan oleh brand loyalty kepada perusahaan (Durianto, Sugiarto,
Sitinjak, 2001) :
1. Mengurangi biaya pemasaran.
2. Meningkatkan perdagangan.
3. Menarik minat pelanggan baru.
4. Memberi waktu untuk merespon ancaman persaingan.
2.6.3. Tingkatan Brand Loyalty
Dalam kaitannya dengan brand loyalty suatu produk, didapati adanya
beberapa tingkatan brand loyalty. Masing-masing tingkatannya menunjukkan
tantangan pemasaran yang harus dihadapi sekaligus aset yang dapat
38
dimanfaatkan. Adapun tingkatan brand loyalty tersebut adalah sebagai berikut
(Durianto, Sugiarto, dan Sitinjak, 2001, pp 128-129):
1. Switcher
Pelanggan yang berada pada tingkat loyalitas ini dikatakan sebagai
pelanggan yang berada pada tingkat paling dasar. Semakin tinggi
frekuensi pelanggan untuk memindahkan pembeliannya dari suatu
merek ke merek merek yang lain mengindikasikan mereka sebagai
pembeli yang sama sekali tidak loyal atau tidak tertarik pada
merek tersebut. Pada tingkatan ini merek apapun mereka anggap
memadai serta memegang peranan yang sangat kecil dalam
keputusan pembelian. Ciri paling nampak dari jenis pelanggan ini
adalah mereka membeli suatu produk karena harganya murah.
2. Habitual buyer
Pembeli
yang
berada
dalam
tingkat
loyalitas
ini
dapat
dikategorikan sebagai pembeli yang puas dengan merek produk
yang dikonsumsinya atau setidaknya mereka tidak mengalami
ketidakpuasan dalam mengkonsumsi merek produk tersebut. Pada
tingkatan ini pada dasarnya tidak didapati alasan yang cukup untuk
menciptakan keinginan untuk membeli merek produk yang lain
atau berpindah merek terutama jika peralihan tersebut memerlukan
usaha,
biaya,
maupun
berbagai
pengorbanan
lain.
Dapat
disimpulkan bahwa pembeli ini dalam membeli suatu merek
didasarkan atas kebiasaan mereka selama ini.
39
3. Satisfied buyer
Pada tingkat ini, pembeli merek masuk dalam kategori puas bila
mereka mengkonsumsi merek tersebut, meskipin demikian
mungkin saja mereka memindahkan pembeliannya ke merek lain
dengan menanggung switching cost (biaya peralihan) yang terkait
dengan waktu, uang, atau risiko kinerja yang melekat dengan
tindakan mereka beralih merek. Untuk dapat menarik minat para
pembeli yang masuk dalam tingkatan loyalitas ini maka para
pesaing perlu mengatasi biaya peralihan yang harus ditanggung
oleh pembeli yang masuk dalam kategori ini dengan menawarkan
berbagai manfaat yang cukup besar sebagai kompensasinya
(switching cost loyal).
4. Likes the brand
Pembeli yang masuk dalam kategori loyalitas ini merupakan
pembeli yang sungguh-sungguh menyukai merek tersebut. Pada
tigkatan ini dijumpai perasaan emosional yang terkait pada merek.
Rasa suka pembeli bisa saja didasari oleh asosiasi yang terkait
dengan symbol, rangkaian pengalaman dalam penggunaan
sebelumnya baik yang dialami pribadi maupun oleh kerabatnya
ataupun disebabkan oleh perceived quality yang tinggi. Meskipun
demikian sering kali rasa suka ini merupakan suatu perasaan yang
sulit
diidentifikasi
dan
ditelusuri
dengan
dikategorikan ke dalam sesuatu yang spesifik.
cermat
untuk
40
5. Comitted buyer
Pada tahapan ini pembeli merupakan pelanggan yang setia. Mereka
memiliki suatu kebanggan sebagai pengguna suatu merek dan
bahkan merek tersebut menjadi sangat penting bagi mereka
dipandang dari segi fungsinya maupun sebagai suatu ekspresi
mengenai siapa sebenarnya mereka. Pada tingkatan ini, salah satu
aktualisasi
loyalitas
pembeli
ditunjukkan
oleh
tindakan
merekomendasikan dan mempromosikan merek tersebut kepada
pihak lain.
2.7. Perilaku Konsumen
2.7.1. Definisi Perilaku Konsumen
Menurut
Schiffman
dan
Kodak
(2004),
“Perilaku
konsumen
didefinisikan sebagai perilaku yang diperlihatkan konsumen dalam mencari,
membeli, menggunakan, mengevaluasi, dan menghabiskan produk dan jasa
yang mereka harapkan akan memuaskan kebutuhan mereka.” Perilaku
konsumen pada hakikatnya adalah untuk memahami “why do consumer do
what they do.”
Menurut Sumarwan (2004), dapat disimpulkan bahwa
perilaku konsumen adalah semua kegiatan, tindakan serta proses psikologis
yang mendorong tindakan tersebut pada saat sebelum membeli, ketika
membeli, menggunakan, menghabiskan produk dan jasa setelah melakukan
41
hal tersebut atau kegiatan mengevaluasi (Prabowo, Sari, dan Gautama, 2007,
pp 84)
Menurut Kotler, terdapat dua elemen penting dari arti perilaku
konsumen yaitu proses pengambilan keputusan dan kegiatan fisik, yang
kesemuanya itu melibatkan individu dalam menilai, mendapatkan dan
mempergunakan barang-barang dan jasa-jasa secara ekonomis. Individuindividu yang melakukan pembelian untuk memenuhi kebutuhan pribadinya
atau konsumsi rumah tangganya dapat dinamakan konsumen akhir. Tetapi
bukan berarti orang lain tidak terlibat dalam proses terjadinya pembelian,
bagaimanapun juga banyak orang yang akan terlibat dalam pengambilan
keputusan untuk membeli. Dimana masing-masing orang yang terlibat
mempunyai peranan sendiri-sendiri. Adapun macam peranan dalam perilaku
konsumen adalah sebagai berikut:
a. Pencetus ide ( Initiator )
Seseorang yang pertama kali mengusulkan ide untuk membeli suatu
produk atau jasa tertentu.
b. Pemberi pengaruh ( Influencer )
Seseorang yang pandangan atau pendapatnya mempengaruhi keputusan
pembelian.
c. Pengambil keputusan ( Decider )
Seseorang
yang
memutuskan
setiap
komponen
dalam
keputusanpembelian, apakah membeli, apa yang dibeli, bagaimana
membeli, atau di mana membeli.
42
d. Pembeli ( Buyer)
Seseorang yang melakukan pembelian yang sebenarnya.
e. Pemakai ( User )
Seseorang yang mengkonsumsi atau menggunakan produk atau jasa
tersebut.
Memahami perilaku konsumen adalah sesuatu yang sangat komplek,
kompleksitas permasalahan disebabkan banyaknya variabel yang saling
mempengaruhi dan kecenderungan untuk saling berinteraksi. Agar dapat
memahami perilaku konsumen yang baik diperlukan suatu kerangka model
yang merupakan penyederhanaan keadaan nyata serta secara jelas
menerangkan arus proses pengambilan keputusan. Menurut Kotler &
Armstrong (2001, pp 196), model perilaku konsumen digambarkan sebagai
berikut:
Pemasaran dan
rangsangan
Lainnya
pemasaran lingkungan
Produk
Ekonomi
Harga
Teknologi
Tempat
Politik
promosi
kebudayaan
Kotak Hitam Pembeli
Karakteristik Keputusan
konsumen
pembelian
Budaya
Pengenalan
Sosial
masalah
Pribadi
Pencarian informasi
pisikologis
Evaluasi alternatif
Keputusan
pembelian
Prilaku paska
pembelian
Jawaban Jawaban
Pilihan produk
Pilihan merk
Pilihan penyalur
Penentuan waktu
pembelian
Jumlah pembelian
Gambar 2.3
Model Perilaku Konsumen
Sumber: Prinsip-Prinsip Pemasaran (Kotler & Armstrong, 2001, pp 196 )
43
Berdasarkan gambar tersebut dapat ditarik suatu permasalahan
mengenai bagaimana konsumen memberi jawaban terhadap berbagai
rangsangan pemasaran yang diatur oleh perusahaan. Rangsangan dari luar
yang terdiri dari pemasaran yang meliputi produk, harga, tempat, promosi dan
lingkungan yang meliputi ekonomi, teknologi, politik dan budaya ini
melewati kotak hitam pembeli mengandung dua komponen, yaitu:
1. Ciri-ciri pembeli yang mempunyai pengaruh utama bagaimana seorang
pembeli bereaksi terhadap rangsangan itu.
2. Proses keputusan membeli yang mempengaruhi hasil keputusan.
Perilaku konsumen memiliki kepentingan khusus bagi orang-orang
yang berhasrat mempengaruhi atau mengubah perilaku tersebut, terutama
yang kepentingan umumnya adalah pemasaran, pendidikan, perlindungan
konsumen dan kebijakan umum.
2.7.2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Konsumen.
Menurut Kotler & Armstrong (2008, pp 123-137), ada empat faktor
yang mempengaruhi perilaku konsumen yaitu, budaya, sosial, pribadi dan
psikologis. Faktor-faktor ini memberi pengaruh yang cukup signifikan
terhadap konsumen dalam memilih produk yang akan dibelinya:
a. Faktor Budaya.
Faktor budaya mempunyai pengaruh yang luas dan mendalam terhadap
perilaku, mencakup budaya (kultur, sub budaya, dan kelas sosial). Budaya
44
adalah susunan nilai-nilai dasar, persepsi, keinginan, dan perilaku yang
dipelajari anggota suatu masyarakat dari keluarga dan institusi penting
lainnya. Setiap perilaku konsumen dikendalikan oleh berbagai system nilai
dan norma budaya yang berlaku pada suatu daerah, untuk itu perusahaan
harus
tahu
produknya
itu
dipasarkan
pada
suatu
daerah
yang
berkebudayaan bagaimana. Sub budaya (sub culture) adalah sekelompok
orang dengan sistem nilai bersama berdasarkan pengalaman dan situasi
hidup yang sama (Kotler & Armstrong, 2008, pp 123). Sub kebudayaan
meliputi kewarganegaraan, agama, kelompok ras, dan daerah geografis.
Bagian pemasaran harus merancang produk dan program pemasaran yang
disesuaikan dengan kebutuhan mereka. Kelas sosial (social classes) adalah
bagian-bagian masyarakat yang relatif permanen dan tersusun rapi dan
anggota-anggotanya memiliki nilai-nilai, kepentingan dan perilaku yang
sama (Kotler & Armstrong, 2008, pp 126). Kelas sosial tidak ditentukan
oleh satu faktor saja, misalnya pendapatan, tetapi ditentukan sebagai suatu
kombinasi pekerjaan, pendapatan, pendidikan dan kesejahteraan.
b. Faktor Sosial
Selain faktor budaya, perilaku konsumen juga dipengaruhi oleh faktorfaktor sosial seperti kelompok acuan, keluarga, serta peran dan status.
Kelompok acuan adalah kelompok yang memiliki pengaruh langsung atau
tidak langsung terhadap perilaku seseorang. Keluarga adalah organisasi
pembelian konsumen yang paling penting dalam masyarakat, dan anggota
keluarga sangat mempengaruhi perilaku pembeli. Sedangkan peran status
45
seseorang yang berpartisipasi diberbagai kelompok akan membawa pada
posisi tertentu. Setiap orang akan menjalankan peran tertentu yang akan
mempengaruhi perilakunya, sehingga dimungkinkan adanya perilaku yang
berbeda dalam setiap peran. Setiap peran membawa status yang
mencerminkan penghargaan yang diberikan oleh masyarakat.
c. Faktor Pribadi.
Keputusan seorang pembeli juga dipengaruhi oleh karakteristik pribadi
seperti umur pembeli dan tahap siklus hidup, pekerjaan, keadaan ekonomi,
gaya hidup dan kepribadian. Usia berhubungan erat dengan perilaku dan
selera seseorang, dengan bertambahnya usia seseorang diikuti pula dengan
berubahnya selera terhadap produk begitu juga dengan faktor pekerjaan
dan keadaan ekonominya. Gaya hidup menggambarkan keseluruhan dari
seseorang dalam berinteraksi dengan lingkungan sedangkan kepribadian
merupakan karakteristik psikologis yang berbeda dari setiap orang.
d. Faktor Psikologis.
Faktor psikologis yang mempengaruhi pilihan pembelian yaitu motivasi,
persepsi, pengetahuan serta keyakinan dan sikap. Motivasi adalah
kebutuhan yang cukup mendorong seseorang untuk bertindak, sedangkan
persepsi adalah proses bagaimana seseorang memilih, mengatur dan
menginterpretasikan masukan informasi untuk menciptakan gambaran yang
berarti. Pengetahuan atau pembelajaran diartikan sebagai perubahan dalam
perilaku seseorang yang timbul dari pengalaman. Keyakinan adalah
pemikiran diskriptif yang dianut seseorang tentang suatu hal, sedangkan
46
sikap diartikan sebagai evaluasi, perasaan, emosional, dan tindakan
seseorang terhadap suatu objek atau gagasan. Dalam perilaku konsumen
yang dipengaruhi faktor budaya, sosial, pribadi dan psikologis dalam
pengambilan keputusan.
2.8. Purchase Decision
2.8.1. Definisi Purchase Decision
Menurut Kotler & Armstrong (2001, pp 226) keputusan pembelian
(purchase decision) adalah tahap dalam proses pengambilan keputusan
pembeli di mana konsumen benar-benar membeli. Pengambilan keputusan
merupakan suatu kegiatan individu yang secara langsung terlibat dalam
mendapatkan dan mempergunakan barang yang ditawarkan.
2.8.2. Tahap-Tahap Proses Keputusan Pembelian
Tahap-tahap proses keputusan pembelian dapat digambarkan dalam
sebuah model di bawah ini:
Need
recognition
Information
search
Evaluation of
alternatives
Purchase
decision
Postpurchase
behavior
Gambar 2.4
Proses Keputusan Pembelian
Sumber : Principles of Marketing (Kotler & Armstrong, 2008, pp 139)
47
Model ini mempunyai anggapan bahwa para konsumen melakukan lima
tahap dalam melakukan pembelian. Kelima tahap diatas tidak selalu terjadi,
khususnya dalam pembelian yang tidak memerlukan keterlibatan yang tinggi
dalam pembelian. Para konsumen dapat melewati beberapa tahap dan
urutannya tidak sesuai.
a. Pengenalan masalah
Proses membeli dengan pengenalan masalah atau kebutuhan pembeli
menyadari suatu perbedaan antara keadaan yang sebenarnya dan keadaan
yang diinginkanya. Kebutuhan itu dapat digerakkan oleh rangsangan dari
dalam diri pembeli atau dari luar. Seseorang telah belajar bagaimana
mengatasi dorongan itu dan dia didorong kearah satu jenis objek yang
diketahui akan memuaskan dorongan itu.
b. Pencarian informasi
Konsumen mungkin tidak berusaha secara aktif dalam mencari informasi
sehubungan dengan kebutuhannya. Seberapa jauh orang tersebut mencari
informasi tergantung pada kuat lemahnya dorongan kebutuhan, banyaknya
informasi yang dimiliki, kemudahan memperoleh informasi, tambahan dan
kepuasan yang diperoleh dari kegiatan mencari informasi. Biasanya jumlah
kegiatan mencari informasi meningkat tatkala konsumen bergerak dari
keputusan situasi pemecahan masalah yang terbatas kepemecahan masalah
yang maksimal.
48
c. Evaluasi alternatif
Informasi yang didapat dari calon pembeli digunakan untuk memperoleh
gambaran yang lebih jelas mengenai alternatif-alternatif yang dihadapinya
serta daya tarik masing-masing alternatif. Produsen harus berusaha
memahami cara konsumen mengenal informasi yang diperolehnya dan
sampai pada sikap tertentu mengenai produk merek dan keputusan untuk
membeli.
d. Keputusan pembelian
Produsen harus memahami bahwa konsumen mempunyai cara sendiri
dalam menangani informasi yang diperolehnya dengan membatasi
alternatif-alternatif yang harus dipilih atau dievaluasi untuk menentukan
produk mana yang akan dibeli.
e. Perilaku setelah pembelian
Apabila barang yang dibeli tidak memberikan kepuasan yang diharapkan,
maka pembeli akan merubah sikapnya terhadap merek barang tersebut
menjadi sikap negatif, bahkan mungkin akan menolak dari daftar pilihan.
Sebaliknya bila konsumen mendapat kepuasan dari barang yang dibelinya
maka keinginan untuk membeli terhadap merek barang tersebut cenderung
untuk menjadi lebih kuat. Produsen harus mengurangi perasaan tidak
senang atau perasaan negatif terhadap suatu produk dengan cara membantu
konsumen menemukan informasi yang membenarkan pilihan konsumen
melalui komunikasi yang diarahkan pada orang-orang yang baru saja
membeli produknya.
49
2.9 Customer-Based Brand Equity
Customer-Based Brand Equity (CBBE) merupakan suatu model untuk
mengerti dan mempengaruhi perilaku konsumen. Model ini akan menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang sedang berkembang di dunia pemasaran saat ini
seperti “what makes a brand strong?” dan “how do you build a strong
brand?” Keller (2008, pp 48) menyatakan Customer-Based Brand Equity
(CBBE) sebagai “the differential effect that brand knowledge has on
consumer response to the marketing of that brand.”
Suatu merek dikatakan mempunyai customer-based brand equity yang
positif apabila konsumen bereaksi lebih baik terhadap suatu produk dan caracara produk tersebut dipasarkan jika merek produk tersebut dikenali daripada
tidak dikenali. Selain itu, konsumen akan lebih mudah menerima ekstensi
merek dari suatu merek yang mempunyai customer-based brand equity yang
positif karena mereka cenderung tidak sensitif terhadap kenaikan harga. Disisi
lain, suatu merek dikatakan mempunyai customer-based brand equity yang
negatif jika konsumen cenderung tidak bereaksi atau merespon aktivitas
pemasaran setelah mengenali merek dari suatu produk yang ditawarkan. Tiga
kunci penting yang perlu diperhatikan oleh seorang pemasar dalam
membangun customer-based brand equity yang positif antara lain; (1)
differential effect, (2) brand knowledge, (3) consumer response to marketing.
50
2.10 Keller - Strategic Brand Management
Keller (2002) mengembangkan suatu model yang bisa dijadikan acuan
untuk mendesain dan mengimplementasikan program-program pemasaran
dalam membangun, mengukur, ataupun mengelola merek. Strategi tersebut
terbagi menjadi empat langkah sebagai berikut:
1. Mengidentifikasi serta membangun brand positioning dan nilai-nilai.
2. Rencana dan implementasi program-program pemasaran merek.
3. Mengukur dan interpretasi brand performance.
4. Pertumbuhan dan kesinambungan dari brand equity
Langkah pertama dari proses ini adalah mengklarifikasi merek yang
akan dipresentasikan dan bagaimana merek tersebut akan diposisikan dalam
persaingan. Mengacu pada Keller (2002), sebuah tujuan dengan positioning
adalah untuk menempatkan merek di benak konsumen sehingga potensi
pendapatan perusahaan dapat dimaksimalkan. Apabila strategi positioning
telah ditentukan, program-program pemasaran telah dibuat, maka perawatan
brand equity dapat dilaksanakan.
Langkah kedua saat membangun brand equity adalah membuat merek
yang cukup dikenal, disukai, dan memiliki asosiasi merek yang unik. Saat
merencanakan dan mengimplementasikan program pemasaran, proses ini akan
bergantung pada 3 faktor kunci:
51
-
Pemilihan brand elements, elemen-elemen dari merek (nama,
logo, simbol, karakter, kemasan, dan slogan) dipilih untuk
meningkatkan kesadaran merek.
-
Integrasi merek ke dalam aktivitas pemasaran dan pendukung
program-program pemasaran.
-
Memanfaatkan asosiasi kedua, yaitu menghubungkan merek
dengan entitas lain yang memiliki asosiasi tersendiri untuk
menciptakan asosiasi merek yang baru dan kuat.
Langkah ketiga adalah mengukur dan menginterpretasi performa
merek. Ini adalah langkah untuk mengerti pengaruh dari program pemasaran
merek. Profitable brand management memerlukan perancangan yang matang
dan implementasi
dari sistem pengukuran ekuitas merek (brand equity
measurement system). Brand equity measurement system adalah rangkaian
prosedur penelitian yang dirancang untuk memberikan informasi yang akurat
dan actual kepada marketer sehingga mereka bisa memberikan keputusan
taktis yang terbaik untuk jangka pendek dan keputusan strategis terbaik untuk
jangka panjang.
Langkah terakhir adalah mengenai bagaimana membangun dan
mempertahankan brand equity. Pengukuran pertama dapat dilakukan dengan
menggunakan “brand product matrix” yang merupakan ilustrasi grafik dari
semua merek dan produk yang telah terjual oleh perusahaan. Kedua adalah
melakukan analisa brand hierarchy. Langkah-langkah ini memerlukan suatu
52
pengamatan jangka panjang terhadap keputusan-keputusan pemasaran.
Perspektif jangka panjang dari brand management adalah menyadari bahwa
setiap perubahan dari program-program pendukung pemasaran akan
mempengaruhi keberhasilan program pemasaran di masa yang akan datang.
Ketika melakukan brand management, sangat penting untuk mengingat
bahwa semua konsumen tidak mempunyai perasaan dan persepsi yang sama
akan suatu merek, terutama jika perusahaan memutuskan untuk menuju pasar
global atau internasional.
Download