5 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 HIV 2.1.1 Epidemiologi 1.Situasi

advertisement
5
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 HIV
2.1.1 Epidemiologi
1.Situasi Global
Secara global, sejak kasus pertama AIDS diidentifikasi pada tahun 1981,
diperkirakan 60 juta orang telah terinfeksi HIV dan 25 juta meninggal karena
AIDS. Saat ini, ada sekitar 35 juta orang yang hidup dengan HIV. Diperkirakan
bahwa 7.400 infeksi HIV baru terjadi setiap hari. Pada tahun 2007, ada 2,7 juta
infeksi HIV baru dan 2 juta orang meninggal karena penyebab terkait AIDS. Pada
akhir tahun 2007 diperkirakan 4,9 juta orang telah terinfeksi HIV di Asia. dari
jumlah ini, 440.000 adalah orang-orang dengan infeksi HIV baru, 300.000 sudah
meninggal dunia.Walaupun penularan HIV berbeda-beda di Asia, epidemi
umumnya didorong oleh (i) hubungan seksual dengan pasangan yang terinfeksi
HIV dan tanpa menggunakan kondom (ii ) berbagi terkontaminasi jarum / jarum
suntik (UNAIDS,2008).
2.Situasi di Indonesia
Sejak kasus pertama AIDS dilaporkan di Indonesia di Bali (1987), jumlah
kasus meningkat terus mencapai total 225 di 2000.Sejak itu kasus AIDS telah
meningkat pesat didorong oleh penggunaan narkoba suntikan . Pada tahun 2006 ,
8.194 kasus AIDS telah dilaporkan . Pada akhir Juni 2009 jumlah itu telah
meningkat menjadi 17.699 dengan 15.608 dari mereka ( 88 % ) penduduk usia
produktif (15 - 49 tahun ).Sejak tahun 2000 , prevalensi HIV telah secara
konsisten lebih dari 5 % dalam beberapa populasi seperti pengguna narkoba
suntik , pekerja seks , waria , dan MSM yang mengarah ke klasifikasi epidemi di
Indonesia sebagai epidemi terkonsentrasi . Secara khusus , Integrated Bio
Behavioral Surveillance on HIV ( STBP ) yang dilakukan oleh Departemen
Kesehatan dan Badan Pusat Statistik pada tahun 2007 di antara populasi tertentu,
Universitas Sumatera Utara
6
menemukan prevalensi HIV sebagai berikut : Pekerja Seks Tidak Langsung
10,4% ; Pekerja Seks langsung 4,6 % ; Waria 24,4 % ; Klien Pekerja Seks 0,8 % ;
MSM 5.2 % ; dan Pengguna Narkoba Suntik 52,4 % . Di kedua provinsi Papua
dan Papua Barat , epidemi , didorong hampir seluruhnya oleh hubungan seksual
yang tidak aman dikategorikan sebagai tingkat rendah umum epidemi dengan
prevalensi HIV 2,4 % di antara usia 15-49 pada populasi umum . Pada tahun
2006 diperkirakan bahwa ada 193.000 orang dewasa yang hidup dengan HIV di
Indonesia , 21 % di antaranya adalah perempuan . Pada tahun 2009 perkiraan
jumlah ODHA meningkat menjadi 333.200 , 25 % di antaranya adalah
perempuan. Angka-angka ini menunjukkan feminisasi epidemi AIDS di Indonesia
(Laksono, 2009).
2.1.2 Definisi
HIV merupakan singkatan dari ‘human immunodeficiency virus’. HIV
merupakan retrovirus yang menjangkiti sel-sel sistem kekebalan tubuh manusia
(terutama CD4 positive T-sel dan macrophages– komponen-komponen utama
sistem kekebalan sel), dan menghancurkan atau mengganggu fungsinya. Infeksi
virus ini mengakibatkan terjadinya penurunan sistem kekebalan yang terusmenerus,
yang
akan
mengakibatkan
defisiensi
kekebalan
tubuh
(AVERT.Org,2005).
Asal dari HIV tidak jelas, penemuan kasus awal adalah dari sampel darah
yang dikumpulkan tahun1959 dari seorang laki–laki dari Kinshasa di Republik
Demokrat Congo. Tidak diketahui bagaimana ia terinfeksi (AVERT.Org,2005).
2.1.3 Etiologi
HIV termasuk keluarga retrovirus manusia dan subfamili lentiviruses.Empat
retrovirus manusia yang diakui milik dua kelompok yang berbeda: human T
lymphotropic virus, HTLV-I dan II, dan human immunodeficiency virus, HIV-I
dan II .Penyebab paling umum dari penyakit HIV di seluruh dunia dan tentunya di
Amerika Syarikat adalah HIV-1.HIV-2 ini pertama kali diidentifikasi pada tahun
1986 pada pasien Afrika Barat dan pada awalnya terbatas pada Barat
Universitas Sumatera Utara
7
Africa.Namun, sejumlah kasus HIV -2 telah dilaporkan di Eropah, Amerika
Selatan, Kanada, dan Amerika Syarikat.Walaupun HIV-2 memiliki sekitar 40
persen homologi urutan nukleotida dengan HIV-1 ia jauh lebih erat terkait dengan
simian immunodeficiency virus (SIV) yang ditemukan di pada chimpanzee
(Kumar,2005).
1.Struktur
Sebuah partikel virus HIV adalah bulat dan memiliki diameter sekitar 1/10, 000
mm. Seperti virus lainnya, HIV tidak memiliki dinding sel atau inti.Struktur dasar
virus adalah sebagai berikut:
•
Amplop virus, lapisan luar virus, terdiri dari dua lapisan lipid; protein
yang berbeda tertanam dalam amplop virus, membentuk "paku" yang
terdiri dari glikoprotein luar (gp) 120 dan transmembran gp41. Membran
lipid dipinjam dari sel inang selama proses budding (pembentukan partikel
baru). gp120 diperlukan untuk mencantum ke sel inang, dan gp41 sangat
penting untuk proses fusi sel.
•
Protein matriks HIV (terdiri dari protein p17), terletak antara amplop dan
inti.
•
Inti viral, beris kapsul virus protein p24 yang mengelilingi dua untai
tunggal RNA HIV dan enzim yang diperlukan untuk replikasi HIV, seperti
reverse transkriptase, protease, ribonuklease, dan integrase; dari sembilan
gen virus, ada tiga, yaitu gag, pol dan env, yang berisi informasi yang
dibutuhkan untuk membuat protein struktural untuk partikel virus baru
(Prof Luc Kestens,2005).
Universitas Sumatera Utara
8
Gambar 2.1 Struktur HIV
(Sumber AIDS gov, 2014)
2. Siklus hidup
HIV dapat menginfeksi beberapa sel dalam tubuh, termasuk sel-sel otak, tetapi
target utamanya adalah limfosit CD4, juga disebut T-sel atau CD4. Ketika sel
CD4 yang terinfeksi HIV, virus berjalan melalui beberapa langkah untuk
mereproduksi dirinya sendiri dan menciptakan banyak partikel virus lebih (AIDS
gov,2014).
Proses ini dipecah menjadi langkah-langkah berikut:
Universitas Sumatera Utara
9
1. Binding dan Fusion: Ini adalah proses dimana HIV mengikat jenis tertentu
reseptor CD4 dan co-reseptor pada permukaan sel CD4.Ini mirip dengan
anak kunci memasuki kunci. Setelah dibuka, HIV dapat menyatu dengan
sel inang (sel CD4) dan melepaskan materi genetik ke dalam sel.
2. Reverse Transkripsi: Sebuah enzim khusus yang disebut reverse
transcriptase mengubah materi genetik dari virus, sehingga dapat
diintegrasikan ke dalam DNA inang.
3. Integrasi: Materi genetik Virus baru memasuki inti sel CD4 dan
menggunakan enzim yang disebut integrase untuk mengintegrasikan
dirinya
ke
dalam
bahan
genetik
sendiri,di
mana
mungkin
"menyembunyikan" dan tetap tidak aktif selama beberapa tahun.
4. Transkripsi: Ketika sel inang telah diaktifkan, dan virus menggunakan
enzim sendiri untuk membuat yang lebih dari genetik bahan-bersama
dengan materi genetik yang lebih khusus yang memungkinkan membuat
protein lebih lama.
5. Assembli: Sebuah enzim khusus yang disebut protease memotong protein
HIV lagi menjadi protein individu. Ketika ini datang bersama-sama
dengan materi genetik virus', virus baru telah dirakit.
6. Budding: Ini adalah tahap akhir dari siklus hidup virus.Dalam tahap ini,
virus mendorong dirinya keluar dari sel inang, mengambil dengan itu
bagian dari membran sel. Bagian luar ini meliputi virus dan berisi semua
struktur yang diperlukan untuk mengikat ke sel CD4 baru dan reseptor dan
memulai proses lagi (AIDS gov,2014).
2.1.4 Faktor Resiko
1. Umur
Terdapat 19.973 jumlah kumulatif kasus AIDS dengan 49,07% terdapat
pada kelompok umur 20-29 tahun, 30,14% pada kelompok umur 30-39 tahun,
8,82% pada kelompok umur 40-49 tahun, 3,05% pada kelompok umur 15-19
tahun, 2,49% pada kelompok umur 50-59 tahun, 0,51% pada kelompok umur > 60
Universitas Sumatera Utara
10
tahun, 2,65% pada kelompok umur < 15 tahun dan 3,27% tidak diketahui (Ditjen
PP & PL Depkes RI, 2009).
2. Jenis Kelamin
Rasio kasus AIDS antara laki-laki dan perempuan adalah 3:1. Laki-laki
mudah terinfeksi HIV berbanding dengan perempuan (Ditjen PP & PL Depkes RI,
2009).
3. Status Pekerjaan
Masyarakat yang beresiko untuk penyebaran infeksi HIV cukup beragam,
seperti mahasiswa, lingkungan gay, militer, penjaraan, pemandian, pelacuran dan
lingkungan tunawisma. Ada variasi tingkat resiko dalam masyarakat tergantung
dari masing-masing pekerjaannya, tetapi ketika HIV menyebar dalam diri mereka,
biasanya menyebar dengan cepat karena adanya jaringan terkait erat yang
terhubung melalui seks dan narkoba ( Lubis, 2012).
4. Faktor Infeksi
a. Faktor risiko perilaku, yaitu perilaku seksual yang berisiko terhadap
penularan HIV/AIDS, yang meliputi partner hubungan seks lebih dari 1, seks anal,
pemakaian kondom.
b. Faktor risiko parenteral, yaitu faktor risiko penularan HIV/AIDS yang
berkaitan dengan pemberian cairan ke dalam tubuh melalui pembuluh darah
vena. Faktor ini meliputi riwayat transfusi darah, pemakaian narkotika
dan obat-obatan terlarang (narkoba) secara suntik (injecting drug users).
c. Faktor risiko infeksi menular seksual (IMS), yaitu riwayat penyakit
infeksi bakteri atau virus yang ditularkan melalui hubungan seksual yang pernah
diderita responden, seperti sifilis, condiloma acuminata, dan gonorrhoea
(Saprasetya, 2010).
Universitas Sumatera Utara
11
2.1.5 Patogenesis
HIV menggunakan molekul CD4 untuk menempel pada sel T; molekul CD4
diekspresikan pada permukaan sel subset sel T (sel T-helper) tetapi juga pada
monosit, makrofag, sel dendritik, dan sistem-sistem. Namun, monosit, misalnya,
memiliki 10 kali reseptor CD4 kurang dari sel T CD4 (sel T-helper). Satu atau
lebih molekul gp120 virus mengikat erat molekul CD4 pada permukaan sel.
Pengikatan gp120 hasil CD4 dalam perubahan konformasi dalam molekul gp120.
Perubahan konformasi ini memungkinkan gp120 untuk mengikat molekul kedua
pada permukaan sel, yang dikenal sebagai co-reseptor HIV. Dua koreseptor utama
untuk HIV-1 adalah CCR5 dan CXCR4. Setelah pengikatan virus ke sel inang,
fusi berlangsung di bawah pengaruh molekul virus gp41(Prof Luc Kestens,2005).
HIV dapat masuk melalui beberapa selaput sistem basah seperti dalam
sistem, saluran kelamin wanita, glans penis (terutama pada pria yang tidak
disunat), dan uretra. Darah, cairan berdarah, cairan kelamin, dan air susu ibu
adalah cairan menular dari orang-orang dengan infeksi HIV (Prof Luc
Kestens,2005).
Selama infeksi HIV akut, virus transmisi sistem selalu virus R5 (virus Mtropik), yang dominan selama tahap awal infeksi (Prof Luc Kestens,2005).
Setelah masuk, HIV mungkin terperangkap oleh sel dendritik (DC) dan
makrofag dan dibawa ke kelenjar getah bening terdekat, di mana itu disajikan ke
sel-sel T dan B yang hadir dalam jumlah tinggi dalam kelenjar getah bening. Di
bawah kendali sel T sel B memproduksi klon sel plasma, yang dapat melepaskan
sistem yang secara khusus menyerang HIV dalam aliran darah. Munculnya sistem
ini terhadap antigen HIV dalam darah disebut serokonversi (Prof Luc
Kestens,2005).
Selama infeksi awal, HIV masih terkonsentrasi di kelenjar getah bening, di
mana ia bereplikasi dalam jumlah besar dan menginfeksi banyak sel CD4 T.
Pembengkakan kelenjar getah bening seringkali satu-satunya fitur klinis yang
Universitas Sumatera Utara
12
terlihat pada orang dengan infeksi HIV untuk bulan pertama atau tahun infeksi
(Prof Luc Kestens,2005).
Gambar 2.2 Patogenesis HIV
(Sumber: Bennet N.J,2010)
2.1.6 Gejala Klinis
HIV adalah retrovirus yang biasanya menyerang organ vital system
kekebalan manusia seperti sel T CD4+ (sejenis sel T), makrofag, dan sel
dendritik. HIV secara langsung dan tidak langsung merusak sel T CD4+, padahal
sel T CD4+ dibutuhkan agar sistem kekebalan tubuh berfungsi baik. Jika HIV
membunuh sel T CD4+ sampai terdapat kurang dari 200 sel T CD4+ per
mikroliter (µL) darah, kekebalan selular hilang, dan akibatnya ialah kondisi yang
Universitas Sumatera Utara
13
disebut AIDS. Infeksi akut HIV dilanjutkan dengan infeksi HIV laten klinis
sampai terjadinya gejala infeksi HIV awal dan kemudian AIDS, yang
diidentifikasi berdasarkan jumlah sel T CD4+ di dalam darah dan adanya infeksi
tertentu (AIDS.gov,2014).
Infeksi HIV secara umum dapat dibagi dalam empat stadium yang berbeda,
yaitu:
Stadium 1: Infeksi Akut (CD4 = 500 – 1000 /ml)
Stadium ini terjadi setelah masa inkubasi 3-6 minggu. Gejala berlangsung
selama 1- 2 minggu. Pada stadium ini timbul gejala-gejala mirip flu termasuk
demam, artralgia, malaise, dan anoreksia. Timbul juga gejala kulit (bercak-bercak
merah, urtikaria), gejala saraf
(sakit kepala, kaku kuduk) dan gangguan
gastrointestinal (nausea, vomitus, diare, nyeri perut). Gejala-gejala ini bersesuaian
dengan pembentukan awal antibodi terhadap virus. Gejala akan menghilang
setelah respon imun awal menurunkan jumlah partikel virus, walaupun virus tetap
dapat bertahan pada sel-sel lain yang terinfeksi. Pada 20% orang, gejala-gejala
tersebut cukup serius untuk dikonsultasikan pada dokter, tetapi diagnosis infeksi
HIV sering tidak ditemukan. Fase ini sangat menular karena terjadi viremia
(AIDS.gov,2014).
Selama stadium ini, ada sejumlah besar HIV pada darah perifer dan sistem
imun pun mulai berrespon terhadap virus dengan memproduksi antibodi HIV dan
limfosit sitotoksik. Serokonversi terjadi pada fase ini dan antibodi virus mulai
dapat dideteksi 3 – 6 bulan setelah infeksi (AIDS.gov,2014).
Stadium 2: Stadium Asimtomatik Klinis (CD4 = 500 – 750 /ml)
Stadium ini dapat berlangsung lebih dari 10 tahun. Stadium ini, seperti
namanya, bebas dari gejala-gejala mayor, meskipun sebenarnya terjadi replikasi
virus secara lambat di dalam tubuh. Dapat juga terjadi Limfadenopati Generalisata
Persisten (LGP). Pada fase ini sudah mulai terjadi penurunan jumlah sel CD4,
tetapi masih berada pada tingkat 500/ml. Jumlah HIV dalam darah perifer turun
Universitas Sumatera Utara
14
hingga tingkat yang sangat rendah tetapi orang tetap terinfeksi dan antibodi HIV
dapat dideteksi di dalam darah, sehingga tes antibodi akan menunjukkan hasil
positif (AIDS.gov,2014).
Hasil penelitian telah menunjukkan bahwa HIV tidak dalam masa dorman
selama stadium ini, melainkan sangat aktif di kelenjar limfa. Ada sebuah tes untuk
mengukur sejumlah kecil virus yang lolos dari kelenjar limfa. Tes yang mengukur
HIV RNA ini merupakan suatu tes viral load. Tes ini memiliki peran penting
dalam pengobatan infeksi HIV (AIDS.gov,2014).
Stadium 3: Infeksi HIV Simtomatik (CD4 = 100 – 500 /ml)
Pada stadium ini terjadi penurunan CD4 yang progresif. Terjadi penyakitpenyakit infeksi kronis tapi tidak mengancam kehidupan.Seiring dengan
berjalannya waktu sistem imun menjadi sangat rusak oleh HIV. Hal ini
disebabkan oleh tiga alasan utama:
● Kelenjar limfe dan jaringan menjadi rusak akibat aktivitas bertahun-tahun
● HIV bermutasi dan menjadi lebih patogen, dengan kata lain lebih kuat dan
lebih bervariasi
● Tubuh gagal untuk mengganti sel-sel T penolong yang hilang
Karena kegagalan sistem imun, gejala-gejala pun berkembang. Kebanyakan
gejala-gejala tersebut tidak terlalu berat, tetapi karena sistem imun makin rusak,
gejala-gejalanya pun semakin memburuk (WHO,2007).
Infeksi HIV simtomatik terutama disebabkan oleh kanker dan infeksi
oportunistik yang secara normal dicegah oleh sistem imun. Ini dapat terjadi di
seluruh sistem tubuh, tetapi contoh-contoh yang umum terjadi dapat dilihat pada
tabel di bawah ini.
Universitas Sumatera Utara
15
Sistem
Contoh Infeksi/Kanker
Sistem Pernapasan
Sistem Gastro-Intestinal
Sistem saraf Pusat/Perifer
Kulit
●
Pneumocystis jirovecii Pneumonia (PCP)
●
Tuberculosis (TB)
●
Kaposi’s Sarcoma (KS)
●
Cryptosporidiosis
●
Candida
●
Cytomegolavirus (CMV)
●
Isosporiasis
●
Kaposi’s Sarcoma
●
HIV
●
Cytomegolavirus
●
Toxoplasmosis
●
Cryptococcosis
●
Non Hodgkin’s lymphoma
●
Varicella Zoster
●
Herpes simplex
●
Herpes simplex
●
Kaposi’s sarcoma
●
Varicella Zoster
Tabel 2.1 Contoh infeksi pada pasien HIV
(Sumber Alfred P.Fishman,2008)
Stadium 4: Perkembangan dari HIV ke AIDS
AIDS merupakan stadium akhir dari infeksi HIV. Penderita dinyatakan
mengidap AIDS bila dalam perkembangan infeksi selanjutnya menunjukkan
infeksi-infeksi dan kanker oportunistik yang mengancam jiwa penderita. Hitung
CD4 mencapai <200/ml (AIDS.gov,2014)
Universitas Sumatera Utara
16
Karena sistem imun menjadi semakin rusak, penyakit-penyakit yang terjadi
menjadi semakin menuju kepada diagnosis AIDS. Di Inggris, suatu diagnosis
AIDS dikonfirmasi apabila seseorang dengan HIV mengalami satu atau lebih
infeksi oportunistik atau kanker yang spesifik. Di Amerika, seseorang juga
didiagnosis mengidap AIDS apabila ia memiliki sedikit sekali sel T penolong
dalam darahnya. Bisa saja seseorang menjadi sangat sakit karena HIV tanpa harus
didiagnosis AIDS (AIDS.gov,2014).
World Health Organization (WHO) telah mengembangkan suatu sistem
tingkatan untuk penyakit HIV berdasarkan gejala-gejala klinis, di antaranya:
1. Stadium klinis I yang merupakan stadium asimptomatik. Pada stadium ini
ditandai adanya limfadenopati generalisata.
2. Stadium Klinis II, ditandai adanya penurunan berat badan < 10%, lesi kulit
dan mukosa ringan (dermatitis seboroik, ulkus oral rekuren, kheilitis
angularis), herpes zooster dalam 5 tahun terakhir, ISPA bakterial.
3. Stadium klinis III, ditandai penurunan BB > 10%, diare kronis > 1 bulan,
demam lama > 1 bulan, kandidiasis orofaringeal, oral hairy leukoplakia,
tuberkulosis paru dalam tahun-tahun terakhir, dan infeksi bakterial berat
(pneumonia, piomiositis).
4. Stadium klinis IV, ditandai munculnya HIV Wasting Syndrome, pneumonia
pneumositis Carina (PCP), toxoplasmosis otak, diare kriptosporridiosis > 1
bulan,
rinitis
CMV,
herpes
simpleks
mukokutan
>
1
bulan,
leukoenchephalopati multifokal progresif, mikosis diseminata kandidiasis,
kandidiasis di esofagus, trakhea, bronkus, dan paru, tuberkulosis ekstra paru,
limfoma, sarkoma kaposi dan enchephalopati HIV (WHO,2005).
2.1.7 Diagnosis
Skrining untuk human immunodeficiency virus (HIV) adalah yang
terpenting, karena orang yang terinfeksi dapat tetap asimtomatik selama bertahun-
Universitas Sumatera Utara
17
tahun sementara infeksi berlangsung. Tes serologi adalah studi paling penting
dalam evaluasi untuk infeksi HIV (Prof Luc Kestens,2005).
1. Pemeriksaan
ELISA
(Enzyme-Linked
Immunosorbent
Assay)/EIA
(Enzyme Immunosorbent Assay)
Tes skrining standar untuk HIV adalah enzyme-linked immunosorbent
assay(ELISA). Uji ini merupakan tes skrining yang sangat baik, dengan
sensitivitas lebih 99,5 persen.ELISA umumnya dinilai sebagai positif (sangat
reaktif), negatif (nonreaktif) atau tak tentu (reaktif parsial).Sementara ELISA
adalah tes yang sangat sensitif, tidak opsional berkaitan dengan spesifisitas.
Bahkan, dalam studi tentang individu yang berisiko rendah, seperti donor darah
sukarela, hanya 13 persen dari ELISA individu-positif benar-benar memiliki
infeksi HIV.Untuk alasan ini, siapa saja yang dicurigai mengalami infeksi HIV
berdasarkan tes ELISA tidak meyakinkan atau positif harus memiliki hasil yang
dikonfirmasi dengan tes yang lebih spesifik(Prof Luc Kestens,2005).
2. Western Blot
Western Blot adalah sebuah metode untuk mendeteksi protein pada sampel
jaringan. Imunoblot menggunakan elektroforesis gel untuk memisahkan protein
asli atau perubahan oleh jarak polipeptida atau oleh struktur 3-D protein. Protein
tersebut dikirim ke membran, di mana mereka dideteksi menggunakan antibodi
untuk menargetkan protein.Cara kerja test Western Blot yaitu dengan meletakkan
HIV murni pada polyacrylamide gel yang diberi arus elektroforesis sehingga
terurai menurut berat protein yang berbeda-beda, kemudian dipindahkan ke
nitrocellulose. Nitrocellulose ini diinkubasikan dengan serum penderita. Antibodi
HIV dideteksi dengan memberikan antlbodi anti-human yang sudah dikonjugasi
dengan enzim yang menghasilkan wama bila diberi suatu substrat. Test ini
dilakukan bersama dengan suatu bahan dengan profil berat molekul standar,
kontrol positif dan negatif. Gambaran band dari bermacam-macam protein
envelope dan core dapat mengidentifikasi macam antigen HIV. Antibodi terhadap
protein core HIV (gag) misalnya p24 dan protein precursor (p25) timbul pada
Universitas Sumatera Utara
18
stadium awal kemudian menurun pada saat penderita mengalami deteriorasi.
Antibodi terhadap envelope (env) penghasil gen (gp160) dan precursor-nya
(gp120) dan protein transmembran (gp4l) selalu ditemukan pada penderita AIDS
pada stadium apa saja. Secara singkat dapat dikatakan bahwa bila serum
mengandung antibodi HIV yang lengkap maka Western blot akan memberi
gambaran profil berbagai macam band protein dari HIV antigen cetakannya.
Definisi hasil pemeriksaan Western Blot menurut profit dari band protein dapat
bermacam-macam, pada umumnya adalah :
1) Positif :a.Envelope : gp4l, gpl2O, gp160
b.Salah satu dari band : p15, p17, p24, p31, gp4l, p51, p55, p66.
2) Negatif : Bila tidak ditemukan band protein.
3) Indeterminate (Kumar.V,2005)
3. Kultur Direk
Kultur langsung HIV dari plasma atau sel mononuklear darah perifer adalah
teknik yang digunakan di banyak laboratorium penelitian dan telah terbukti sangat
berguna untuk memantau efek eksperimental ARV dan menghasilkan isolasi dari
HIV untuk studi tentang resistensi ARV dan analisis genom drift.Kultur
umumnya perlu dipertahankan sampai 28 hari, selama waktu yang diamati secara
periodik muntuk pembentukan syncytia atau sel raksasa, dan supernatan adalah
sampel untuk presensi dari p24 HIV, dengan menggunakan tes antigen captur
(Kumar.V,2005).
4. Polymerase chain reaction(PCR)
Reaksi PCR adalah teknik diagnostik yang telah memperoleh penerimaan di
banyak klinik mikrobiologi.Walaupun sensitivitas teknik ini menyebabkan positif
palsu dalam banyak kasus,dalam pengaturan PCR yang terkendali dengan baik
menjadi nilai yang luar biasa dalam memajukan pemahaman kita tentang
patogenesis HIV dan telah memberikan gold standar yang benar untuk diagnosis
Universitas Sumatera Utara
19
infeksi HIV.Dua tipe PCR yang digunakan dalam studi infeksi HIV , PCR DNA
dan RNA PCR.DNA PCR digunakan untuk membuat diagnosis infeksi HIV
dengan memperkuat proviral DNA. Ketersediaan primer untuk subtipe HIV
memungkinkan para peneliti untuk memakai PCR DNA HIV untuk meneliti dan
melacak subtipe HIV untuk pengembangan vaksin dan penelitian epidemiologi.
PCR DNA HIV pertama kali dipakai untuk mendiagnosis HIV pada bayi pada
1990. Penelitian yang men-tes sel mononuklear darah perifer (peripheral blood
mononuclear cells/ PBMC) dari bayi pada berbagai titik waktu setelah kelahiran.
Diharapkan bahwa akan sespesifik seperti biakan virus pada bayi yang baru lahir
tetapi lebih mudah dilakukan, membutuhkan jumlah darah yang lebih sedikit.
Walaupun PCR DNA berhasil dengan baik, penelitian selanjutnya terhadap bayi
yang baru lahir oleh Delamare dkk34 dan Dunn dkk35 menemukan bahwa PCR
DNA HIV terdeteksi <50% infeksi HIV dalam lima hari pertama kehidupannya.
Sensitivitasnya meningkat hingga 90% setelah berusia 14 hari. Dalam usaha untuk
menemukan sebuah metode yang dapat mendiagnosis bayi lebih dini, para peneliti
beralih ke PCR RNA HIV, yang dapat mendeteksi HIV dalam darah. Berbeda
dengan PCR DNA HIV, yang adalah tes kualitatif (yaitu, tes memberikan
diagnosis HIV ya/tidak), deteksi RNA HIV menyediakan informasi tambahan
informasi kuantitatif tentang status virologis, menghitung jumlah virus yang
beredar (juga dikenal sebagai “viral load” dan dinyatakan dalam copies/mL) pada
pasien. Oleh karena itu, viral load dapat dipakai untuk mendiagnosis pasien,
menuntun permulaan memakai ART, dan memantau tanggapan pengobatan.
Diharapkan HIV RNA akan sensitif dalam mendeteksi virus dan tetap sangat
spesifik terhadap HIV, dan akan mengganti teknik biakan virus yang lebih rumit
dan mahal untuk mendiagnosis bayi (Prof Luc Kestens,2005).
5. Pemeriksaan laboratoruim
Hubungan erat antara manifestasi klinis infeksi HIV dan jumlah CD4+ T telah
membuat tes imunologi ini merupakan bagian penting dari evaluasi rutin individu
yang terinfeksi HIV.Penghitungan sel CD4+ T satu-satunya uji laboratorium
umum yang diterima sebagai indikator yang reliabel dari perkembangan infeksi
Universitas Sumatera Utara
20
HIV.Ukuran ini,yang merupakan produk dari persentase sel CD4+ T ( ditentukan
oleh aliran cytometry) dan jumlah limfosit total (ditentukan oleh WBC dan
diferensial) telah terbukti berkorelasi sangat baik dengan progresi klinis . Pasien
dengan diagnosis awal infeksi HIV harus memiliki pengukuran jumlah CD4+ T
yang dilakukan kira-kira setiap 6 bulan.Antiretroviral diindikasikan ketika jumlah
sel CD4+ T turun di bawah 500 per mikroliter ,dan penurunan dari kadar CD4
dapat memberikan indikasi untuk mengubah terapi.Semua bentuk terapi
antiretoviral yang efektif sampai saat ini telah dikaitkan dengan penyebab
peningkatan sementara dalam jumlah CD4+ T atau kehadiran CD4 (Prof Luc
Kestens,2005).
2.1.8 Penatalaksanaan
Ketika HIV pertama kali diidentifikasi pada awal tahun 1980, ada
beberapa obat yang digunakan untuk mengobati virus dan infeksi opurtunistik
yang
terkait
dengannya.
Sebuah panel ahli AIDS terkemuka telah
mengembangkan rekomendasi untuk penggunaan obat anti-retroviral pada orang
dengan HIV. Tujuan ART (Anti-Retroviral Theraphy) adalah untuk mengurangi
jumlah virus dalam darah meskipun hal ini tidak berarti bahwa virus akan hilang.
Hal ini biasanya dicapai dengan kombinasi tiga atau lebih obat-obatan.
Meskipun tidak ada obat untuk memerangi AIDS, obat telah sangat efektif
dalam memerangi HIV dan komplikasinya. Pengobatan membantu mengurangi
virus HIV dalam tubuh, menjaga sistem kekebalan tubuh sesehat mungkin dan
menurunkan komplikasi. Berikut adalah beberapa obat yang disetujui oleh US
Food and Drug Administration (FDA) untuk mengobati HIV dan AIDS:
Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors (NRTI)
Obat ini menghambat kerja virus dari duplikasi, yang dapat memperlambat
penyebaran HIV dalam tubuh.
Antaranya adalah, Abacavir (Ziagen, ABC),
Didanosine (V idex, dideoxyinosine, ddI), Emtricitabine (Emtriva, FTC),
Lamivudine (Epivir, 3T C), Stavudine (Zerit, d4T), Tenofovir (V iread, TDF),
Zalcitabine (Hivid, ddC) dan Zidovudine (Retrovir, ZDV or AZT). Kombinasi
Universitas Sumatera Utara
21
NRTI
disarankan untuk
diambil pada dosis
yang
lebih
rendah dan
mempertahankan efektivitasnya.
Protease Inhibitor (PI)
Obat-obat yang disetujui FDA ini menghambat replikasi virus pada tahap
lanjut dalam siklus hidup virus.
Protease Inhibitors meliputi Amprenavir
(Lexiva, FOS), Indinavir (Crixivan, IDV), Lopinavir (Kaletra, LPV/r), Ritonavir
(Norvir, RIT) dan Saquinavir (Fortovase, Invirase, SQV).
Pengobatan lain:
Fusion Inhibitors
Fusion inhibitor adalah obat dari kelas baru yang bertindak melawn HIV
dengan mencegah virus dari bergabung dengan bagian dalam sel sekaligus
mencegah dari replikasi.
Kelompok obat-obatan termasuk Enfivirtide yang
dikenal juga sebagai Fuzeon atau T-20.
Highly Active Antiretroviral Therapy (HAART)
Pada tahun 1996, terapi antiretroviral (ART) diperkenalkan untuk orang
dengan HIV dan AIDS. ART sering disebut sebagai anti-HIV cocktail yaitu
kombinasi dari tiga atau lebih obat-obatan, seperti Protease Inhibitors dan obat
anti-retroviral yang lain.
Pengobatan ini sangat efektif dalam memperlambat
virus HIV bereplika sendiri. Tujuan ART adalah untuk mengurangi jumlah virus
dalam tubuh atau viral load ke tingkat yang tidak bisa lagi dideteksi dengan tes
darah.
Non-Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors (NNRTI)
Non-Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors (NNRTI) memblok
infeksi sel baru HIV. Obat-obat ini dapat ditentukan dalam kombinasi dengan
obat anti-retroviral yang lainnya.
NNRTIs meliputi Delvadirine (Resccriptor,
DLV), Efravirenz (Sustiva, EFV) dan Nevirapine (V iramune, NV P) (Mary,
1997).
Universitas Sumatera Utara
22
2.1.9 Prognosa dan Pencegahan
Pada peneliti telah mengamati dua pola umum penyakit pada anak yang
terinfeksi HIV. Sekitar 20 persen dari anak-anak mengembangkan penyakit serius
pada tahun pertama kehidupan, sebagian besar anak-anak ini meninggal pada usia
4 tahun. Perempuan yang terinfeksi HIV dan terdeteksi dini serta menerima
pengobatan yang tepat, bertahan lebih lama daripada pria.
Orang tua yang
didiagnosis HIV tidak hidup selama orang muda yang memiliki virus ini.
Meskipun ada upaya yang signifikan, namun tidak ada vaksin yang efektif
terhadap HIV. Satu-satunya cara untuk mencegah infeksi oleh virus ini adalah
untuk menghindari perilaku yang membuat kita beresiko, seperti berbagi jarum,
berhubungan seks tanpa kondom dan menjauhkan diri dari seks. Berhubungan
seks dengan mitra tunggal yang tidak terinfeksi dan hubungan monogamy antara
pasangan yang tidak terinfeksi menghilangkan resiko penularan secara HIV secara
seksual. Kondom menawarkan perlindungan jika digunakan dengan benar dan
konsisten.
Jika bekerja di bidang kesehatan, ikuti panduan nasional untuk
melindungi diri terhadap jarum tongkat dan paparan cairan terkontaminasi.
Resiko penularan HIV dari wanita hamil kepada bayinya secara signifikan akan
berkurang jika ibu mengambil obat selama kehamilan dan persalinan serta
bayinya diberi obat untuk enam minggu pertama kehidupan (Hubley, 1990).
2.2 Sistem Imun
2.2.1 Definisi
Sistem kekebalan adalah suatu sistem pada semua vertebra (hewan dengan
tulang belakang) yang dalam istilah umum, terdiri dari dua jenis sel penting yaitu
sel-B dan sel-T. Sel-B bertanggung jawab untuk produksi antibody (protein yang
dapat mengikat bentuk molekul tertentu), dan sel-T bertanggung jawab dalam
membantu sel-B untuk membuat antibody, atau atas pemusnahan sel asing kecuali
bakteri di dalam tubuh. Dua jenis utama dari sel-T adalah sel-T “pembantu” dan
Universitas Sumatera Utara
23
sel-T sitotoksik. Setiap kali ada zat asing atau agen memasuki tubuh kita, sistem
kekebalan tubuh diaktifkan. Sel-B dan sel-T menemui ancaman dan akhirnya
menghasilkan substansi penghapusan dari tubuh kita (Stine, 2000).
Sistem imun ini melibatkan semua mekanisme yang digunakan oleh tubuh
untuk mempertahankan keutuhan tubuh sebagai perlindungan terhadap bahaya
yang dapat ditimbulkan berbagai bahan dalam lingkungan hidup. Pertahanan
tersebut terdiri atas sistem imun alamiah atau non-spesifik (natural/innate) dan
didapat atau spesifik (adaptive/acquired) (Hubley, 1990).
2.2.2 Defisiensi Imun
Kehadiran defisiensi imun harus dicurigai bila ditemukan tanda-tanda dari
peningkatan kerentanan terhadap infeksi. Defisiensi imun primer atau congenital
diturunkan, tetapi defisiensi imun sekunder atau didapat ditimbulkan berbagai
faktor telah lahir. Penyakit defisiensi imun terbahagi kepada dua, yaitu Defisiensi
Imun Non-Spesifik dan Defisiensi Imun Spesifik. HIV digolongkan dalm
Defisiensi Imun Spesifik (Stine, 2000).
1. Pemeriksaan Laboratorium untuk Uji Penurunan Imunitas Tubuh
Untuk mendeteksi adanya penurunan imunitas tubuh dilakukan pemeriksaan
yang meliputi pemeriksaan darah tepi, jumlah dan fungsi limfosit. Pemeriksaan
darah tepi meliputi pemeriksaan kadar haemoglobin, jumlah leukosit, jumlah
limfosit dan jumlah trombosit. Pada AIDS dapat dijumpai anemia, leukopenia
dan atau trombositopenia. Penetapan jumlah limfosit meliputi limfosit T total, T4,
T8 dan limfosit B, yang dapat dilakukan dengan cara imunofluoresensi
menggunakan antibody monoclonal yang mengenal surface marker dari berbagai
jenis limfosit.
Uji fungsi limfosit terhadap rangsangan berbagai antigen dan
mitogen dapat dilakukan secara invitro maupun invivo.
Secara invitro diuji
respon limfosit terhadap rangsangan mitogen misalnya Phytohemaglutinin. Secara
invivo, dilakukan tes kulit terhadap tuberculin dan candida. Pada infeksi HIV
Universitas Sumatera Utara
24
dijumpai adanya hipergamaglobimenia poliklonal (IgA dan IgG), hal ini
menggambarkan adanya rangsangan non-spesifik terhadap sel B dalam
membentuk antibody terhadap berbagai antigen yang pernah dijumpai (Matatula,
1994).
2. Uji yang Memperlihatkan Keganasan atau Infeksi Oportunistik
Adanya keganasan seperti Sarkoma Kaposi atau keganasan lain umumnya
dibuktikan dengan pemeriksaan histopatologi dan adanya infeksi oportunistik
dengan bakteri, virus, jamur dan protozoa dapat diperiksa dengan cara biakan atau
serologi (Matatula, 1994).
2.3 Tuberkulosis
2.3.1 Epidemiologi
Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit yang telah lama dikenal
dan sampai saat ini masih menjadi penyebab utama kematian di dunia. Prevalensi
TB di Indonesia dan Negara-negara sedang berkembang lainnya cukup tinggi.
Pada tahun 2006, kasus baru di Indonesia berjumlah >600.000 dan sebagian besar
diderita oleh masyarakat yang berada dalam usia produktif (15–55 tahun). Angka
kematian karena infeksi TB berjumlah sekitar 300 orang per hari dan terjadi
>100.000 kematian per tahun (PPTI, 2012).
2.3.2 Definisi
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri
yang nama ilmiah adalah Mycobacterium tuberculosis. TB paling sering
mempengaruhi paru-paru, tetapi juga dapat melibatkan hampir semuah organ
tubuh (NSW Health, 2005).
Universitas Sumatera Utara
25
2.3.3 Faktor Resiko
1. Umur
Penyakit TB paling sering ditemukan pada usia muda atau usia produktif 1550 tahun . Dengan terjadinya transisi demografi saat ini menyebabkan usia
harapan hidup lansia menjadi lebih tinggi. Pada usia lanjut lebih dari 55 tahun
sistem imunolosis seseorang menurun, sehingga sangat rentan terhadap berbagai
penyakit, termasuk penyakit TB ( Manalu, 2010).
2. Jenis kelamin
Penderita TB cenderung lebih, tinggi pada laki-laki dibandingkan perempuan.
Menurut Hiswani yang dikutip dari WHO, sedikitnya dalam periode setahun ada
sekitar 1 juta perempuan yang meninggal aicibat TB, dapat disimpulkan bahwa
pada kaum perempuan lebih banyak terjadi kematian yang disebabkan oleh TB
dibandingkan dengan akibat proses kehamilan dan persalinan. Pada jenis kelamin
laki-laki penyakit ini lebih tinggi karena merokok tembakau dan minum alkohol
sehingga dapat menurunkan sistem pertahanan tubuh, sehingga lebih mudah
terpapar dengan agent penyebab TB. Terdapat proporsi menurut jenis kelamin,
laki-laki sebesar 54,5 % dan perempuan sebesar 45,5 % yang menderita TB,
sebagian besar mereka tidak bekerja 34,9 % dan berpendidikan rendah (tidak
sekolah, tidak tamat SD, dan tamat SD) sebesar 62,9 %. ( Manalu, 2010).
3. Pekerjaan
Status pekerjaan adalah salah satu faktor resiko TB.
Orang yang
berpendapatan tinggi selalu berada dalam keadaan yang bersih. Maka, kurang
resiko orang berpendapatan tinggi menghidapi TB berbanding dengan orang yang
berpendapatan rendah.
Misalnya, pekerja di rumah sakit, pekerja di penjara,
pengatur rumah tangga, pekerja di pusat pemulihan dadah, guru dan wiraswasta
(Jai Narain et.al., 2002).
Universitas Sumatera Utara
26
4. Faktor Infeksi
Beberapa faktor resiko infeksi tentu saja termasuk riwayat kontak pasien
dengan TB menular, misalnya dalam pengaturan rumah tangga, penjara dan
pekerjaan tertentu, seperti kerja di rumah sakit. Perkembangan penyakit dapat
difasilitasi oleh co-morbiditas, seperti:
•
HIV/AIDS
•
Diabetes atau silikosis
•
Kekurangan gizi
•
Merokok.
•
Alkoholisme
•
Penggunaan obat intravena
•
Kemiskinan (Jai Narain et.al., 2002)
2.3.4 Patogenesis
1. Tuberkulosis Primer
Mycobacterium tuberculosis yang masuk melalui saluran napas akan
bersarang di jaringan paru, dimana ia akan membentuk suatu sarang pneumonik
yang disebut sarang primer ini mungkin timbul di bagian mana saja dalam paru,
berbeda dengan sarang reaktivitas. Dari sarang primer akan kelihatan peradangan
saluran getah bening menuju hilus (limfangitis regional). Peradangan tersebut
diikuti oleh pembesaran kelenjar getah bening di hilus (limfadenitis regional).
Sarang primer limfangitis local dan limfadenitis regional dikenal sebagai
kompleks primer (Ranke).
Semua proses ini memakan waktu 3-8 minggu.
Kompleks primer ini selanjutnya dapat sembuh sama sekali tanpa meninggalkan
sedikit bekas berupa garis-garis fibrotik dan klasifikasi di hilus.
2. Tuberkulosis Sekunder (Post-Primer)
Kuman yang dormant pada TB primer akan muncul bertahun-tahun
kemudian sebagai infeksi endogen menjadi TB dewasa.
Mayoritas reinfeksi
mencapai 90%. TB sekunder terjadi karena imunitas menurun yang disebabkan
Universitas Sumatera Utara
27
malnutrisi, pengambilan alcohol, penyakit maligna, diabetes, AIDS dan gagal
ginjal. TB post-primer ini dimulai dengan sarang dini yang berlokasi di region
atas paru (bagian apikalposterior lobus superior atau inferior). Invasinya adalah
ke daerah parenkim paru. Terjadinya perkijuan dan kavitas adalh karena hidrlisis
protein lipid dan asam nukleat oleh enzim yang diproduksioleh makrofag, dan
proses yang berlebihan antara sitokin dengan TNF-nya (PDPI, 2006)
2.3.5 Gejala Klinis
Gejala Klinis TB dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala lokal dan
gejala-gejala respirotarik dan gejala-gejala sistemik :
1. Gejala Respiratorik
•
Batuk ≥ 2 minggu
•
Batuk Darah
•
Sesak nafas
•
Nyeri dada
2. Gejala Sistemik
•
Demam
•
Malaise
•
Keringat malam
•
Anorexia
•
Berat badan menurun (PDPI, 2006)
2.3.6 Diagnosa
Apabila dicurigai seseorang tertular penyakit TB, maka beberapa hal yang
perlu dilakukan untuk menegakkan diagnosis adalah anamnesis yang baik
terhadap
pasien
maupun
keluarganya,
pemeriksaan
fisik,
pemeriksaan
Universitas Sumatera Utara
28
laboratorium (darah, dahak, cairan otak), pemeriksaan patologi anatomi (PA),
Rontgen dada dan Uji tuberkulin (Werdhani, 2008).
2.3.7 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium melibatkan darah, sputum, tes tuberculin,
serologi, Enzymlinked immunosorbent assay (ELISA), Mycodot dan Uji
peroksidase anti peroksidase (PAP)
1. Darah
Pada saat TB baru aktif akan didapatkan jumlah leukosit yang sedikit
meninggi dengan hitung jenis pergeseran ke kiri. Jumlah limfosit masih di bawah
normal. Laju endap darah mulai meningkat. Bila penyakit mulai sembuh, jumlah
leukosit kembali normal dan jumlah limfosit masih tinggi. Laju endap darah
mulai turun kea rah normal lagi (Israr, 2009).
2. Sputum
Pemeriksaan sputum adalah penting karena dengan ditemukannya kuman basil
tahan asam (BTA), diagnosis TB sudah dapat dipastikan.
Di samping itu,
pemeriksaan sputum juga dapat memberikan evaluasi terhadap pengobatan yang
sudah diberikan. Kriteria sputum BTA positif adalah bila sekurang-kurangnya
ditemukan 3 batang kuman BTA pada satu sediaan. Dengan kata lain diperlukan
5.000 kuman dalam 1 ml sputum. Kadang-kadang dari hasil pemeriksaan
mikroskopis biasa terdapat kuman BTA tetapi pada biakan hasilnya negative. Ini
terjadi pada fenomen dead bacilli atau non culturable bacilli yang disebabkan
keampuhan panduan obat anti TB (OAT) jangka pendek yang cepat mematikan
kuman BTA dalam waktu pendek.
Pembacaan hasil pemeriksaan sediaan dahak dilakukan dengan menggunakan
skala IUATLD (International Union Against Tuberculosis and Lung Disease).
a. Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapangan pandang, disebut 1+
b. Ada 1 - 9 BTA dalam 100 lapangan pandang, ditulis jumlah kuman
yang ditemukan.
c. Ada 1 – 99 BTA per 100 lapangan pandang, disebut 2+
Universitas Sumatera Utara
29
d. Ada 1 – 10 BTA per lapangan pandang, disebut 3+
Penulisan gradasi hasil bacaan penting untuk menunjukkan keparahan penyakit,
derajat penularan dan evaluasi pengobatan (Israr, 2009).
3. Tes Tuberkulin
Pemeriksaan ini masih banyak dipakai untuk membantu menegakkan
diagnosis TB terutama pada anak-anak (balita). Biasanya dipakai tes Mantoux
yakni dengan menyuntikkan 0,1 cc teberkulin P.P.D (Purified Protein Derivative)
intrakutan berkekuatan 5 T.U (Intermediate Strength). Hasil tes Mantoux ini
dibagi dalam :
a. Indurasi 0-5 mm (diameternya): Mantoux negative = golongan non
sensitivity.
b. Indurasi 6-9 mm: hasil meragukan = golongan low grade sensitivity.
c. Indurasi 10-15 mm: Mantoux positif kuat = golongan hypersensitivity
Untuk penderita dengan HIV positif, test Mantoux ± 5 mm, dinilai positif (Israr,
2009).
4. Serologi
Pemeriksaan serologi, dengan berbagai metoda antara lain :
a. Enzym linked immunosorbent assay (ELISA)
Teknik ini merupakan salah satu uji serologi yang dapat mendeteksi
respon humoral berupa proses antigen-antibodi yang terjadi.
b. Mycodot
Uji ini mendeteksi antibody antimikobakterial di dalam tubuh manusia.
Uji ini menggunakan antigen lipoarabinomannan (LAM) yang
direkatkan pada suatu alat yang yang berbentuk sisir plastik.
Sisir
plastik ini kemudian dicelupkan ke dalam serum penderita, bila di
dalam serum tersebut terdapat antibody spesifik anti LAM dalam
jumlah yang memadai yang sesuai dengan aktivitas penyakit maka akan
timbul perubahan warna pada sisir yang dapat dideteksi dengan mudah.
c. Uji Peroksidase Anti Peroksidase (PAP)
Universitas Sumatera Utara
30
Uji ini merupakan salah satu jenis uji yang mendeteksi reaksi serologi
yang terjadi (Israr, 2009).
2.3.8 Penatalaksanaan
Penyakit tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit infeksi yang
menjadi masalah kesehatan yang cukup memprihatinkan. Dari penelitian yang
dilakukan oleh Departemen Kesehatan (Depkes RI), tercatat bahwa tuberkulosis
merupakan penyebab kematian ketiga setelah penyakit kardiovaskuler (jantung
dan pembuluh darah) dan penyakit saluran pernapasan pada semua golongan usia;
dan merupakan penyebab kematian nomor satu dari golongan penyakit infeksi.
Masalah yang timbul pada penyakit ini disebabkan jumlahnya penderitanya
yang banyak dan penyebaran penyakitnya yang mudah (melalui kuman yang
dibatukkan oleh penderita ke udara – lihat topik terkait). Selain itu masalah yang
terpenting adalah tingkat kepatuhan penderita terhadap pengobatan yang rendah.
Hal ini timbul karena umumnya penderita menghentikan pengobatannya ketika
mereka sudah tidak merasakan gejala penyakitnya dan menganggap bahwa
penyakitnya telah sembuh, padahal penyakit ini memerlukan pengobatan jangka
panjang yang teratur. Jangka waktu pengobatannnya tergantung kepada kategori
penyakit yang dideritanya (sesuai anjuran dokter yang memeriksa).
Menurut Program Pemberantasan TB paru , tujuan pengobatan tuberkulosis
dengan Obat anti TB (OAT) jangka pendek adalah memutuskan rantai penularan
dengan menyembuhkan penderita tuberkulosis paling sedikit 85 % dari seluruh
kasus tuberkulosis BTA positif yang ditemukan dan mencegah resistensi (kuman
yang kebal terhadap (OAT).
Obat anti TB (OAT) harus diberikan dalam
kombinasi sedikitnya dua obat yang bersifat bakterisid (membunuh kuman)
dengan atau tanpa obat ketiga. Dasar pemberian obat ganda adalah karena selalu
didapatkan kuman yang sejak semula resisten (kebal) terhadap salah satu obat
pada kuman yang sensitif.
Universitas Sumatera Utara
31
Tujuan pemberian OAT antara lain membuat konversi sputum BTA positif
menjadi negatif (lihat topik mengenai pemeriksaan penunjang TB) secepat
mungkin melalui efek bakterisid, mencegah kekambuhan dalam tahun pertama
setelah pengobatan dengan kegiatan sterilisasi (kemampuan membunuh kuman
khusus yang tumbuhnya lambat.), menghilangkan atau mengurangi gejala dan lesi
melalui
perbaikan
daya
tahan
imunologis
(kekebalan
tubuh).
Panduan obat yang digunakan terdiri dari panduan obat utama dan tambahan.
Jenis obat utama yang digunakan adalah Rifampisin (R), INH (H), Pirazinamid
(Z), Streptomisin (S), dan Etambutol (E). Obat – obat tersebut bersifat bakterisid
kecuali untuk etambutol yang bersifat bakteriostatik (menekan pertumbuhan
kuman). Jangka waktu pengobatan minimal dilakukan selama 6 (enam bulan).
Pemberian OAT jangka panjang terkadang dapat memberikan efek samping
dari obat yang diminum. OAT golongan pertama dan efek sampingnya, antara
lain:
1. Isoniazid (INH) : efek sampingnya berupa neuritis perifer (radang saraf
tepi) untuk pencegahan harus diberikan suplemen vitamin B6, gangguan
fungsi hati, alergi obat
2. Rifampisin : efek sampingnya berupa hepatitis drug induced (radang hati
yang dipicu oleh obat). Masalah yang paling menonjol dan dapat
menyebabkan kematian. Hepatitis jarang terjadi pada pasien dengan fungsi
hati normal, tetapi penyakit-penyakit hati kronik, alkoholisme dan usia
lanjut dapat meningkatkan angka kejadiannya. Flu-like Syndrome,
Sindrom Redman (disebabkan dosis yang berlebihan, terdapat kerusakan
hati yang berat, warna merah terang pada urin, air mata, ludah dan kulit).
3. Etambutol : efek sampingnya berupa Neuritis optic (peradangan pada saraf
mata), merupakan efek samping terpenting, yang berupa penurunan tajam
penglihatan dan buta warna merah/hijau. Gout/pirai (meningkatnya asam
urat dalam darah). Lain-lain : gatal, nyeri sendi, nyeri epigastrik (ulu hati),
nyeri perut, malaise (lemah-lesu), sakit kepala, linglung, bingung,
halusinasi.
Universitas Sumatera Utara
32
4. Pirazinamid : efek sampingnya berupa gangguan hati (efek samping
tersering dan terserius), gout/pirai (meningkatnya kadar asam urat dalam
darah), lain-lain : artralgia (sakit pada sendi), anoreksia tidak nafsu
makan), mual-muntah, disuria (sulit berkemih), malaise, demam.
5. Streptomisin
:
efek
sampingnya
berupa
alergi
obat,
gangguan
keseimbangan (seperti sempoyongan), vertigo (sakit kepala berputar) dan
tuli, dapat menurunkan fungsi ginjal., rasa baal di muka
Kunci utama keberhasilan adalah keyakinan bahwa penderita TB minum
semua obatnya sesuai dengan anjuran yang telah ditetapkan. Artinya harus ada
seseorang yang ikut mengawasi atau memantau penderita saat dia minum obatnya.
Inilah dasar strategi DOTS.
Strategi DOTS (Direct Observed Treatment Short-Course Chemotherapy),
terbukti efektif sebagai strategi penanggulangan TB. Strategi DOTS ini telah
diadopsi dan dimanfaatkan oleh banyak negara dengan hasil yang bagus, termasuk
di negara-negara maju seperti Amerika Serikat.
Strategi DOTS terdiri dari 5 komponen kunci:
1. Komitmen politis.
Dengan keterlibatan pimpinan wilayah, TB akan menjadi salah satu prioritas
utama dalam program kesehatan, dan akan tersedia dana yang sangat diperlukan
dalam pelaksanaan kegiatan strategi DOTS
2. Pemeriksaan dahak mikroskopis yang terjamin mutunya.
Mikroskop merupakan komponen utama untuk mendiagnosa penyakit TB
melalui pemeriksaan dahak lansung pada penderita tersangka TB.
3. Pengawas Minum Obat (PMO)
PMO ini yang akan ikut mengawasi penderita minum seluruh obatnya.
Keberadaan PMO ini untuk memastikan bahwa penderita betul minum obatnya
dan bisa diharapkan akan sembuh pada masa akhir pengobatannya. PMO haruslah
orang yang dikenal dan dipercaya oleh penderita maupun oleh petugas kesehatan.
Universitas Sumatera Utara
33
Mereka bisa petugas kesehatan sendiri, keluarga, tokoh masyarakat maupun tokoh
agama.
4. Jaminan ketersediaan OAT yang bermutu.
Panduan OAT jangka pendek yang benar, termasuk dosis dan jangka waktu
pengobatan yang tepat sangat penting dalam keberhasilan pengobatan penderita.
Kelangsungan persediaan panduan OAT jangka pendek harus selalu terjamin.
5. Sistem pencatatan dan pelaporan yang mampu memberikan penilaian
terhadap hasil pengobatan pasien dan kinerja program secara
keseluruhan.
Pencatatan dan pelaporan ini merupakan bagian dari sistem survailans
penyakit TB. Dengan rekam medik yang dicatat dengan baik dan benar akan bisa
dipantau kemajuan pengobatan penderita, pemeriksaan follow up, sehingga
akhirnya penderita dinyatakan sembuh atau selesai pengobatannya (Fachrial,
2008).
2.3.9 Komplikasi
Pada pasien tuberkulosis dapat terjadi beberapa komplikasi, baik sebelum
pengobatan atau dalam masa pengobatan maupun setelah selesai pengobatan.
Beberapa komplikasi yang mungikin timbul adalah :
-
Batuk darah
-
Pneumotoraks
-
Luluh paru
-
Gagal napas
-
Gagal jantung
-
Efusi pleura
2.3.10 Pencegahan
TB adalah penyakit yang dapat dicegah. Pengujian kulit (PPD) untuk TB
digunakan di populasi beresiko tinggi atau pada orang yang mungkin telah terkena
Universitas Sumatera Utara
34
TB, seperti pekerja kesehatan. Tes kulit positif menunjukkan pajanan TB dan
harus melakukan ujian lanjutan jika tes pertama negatif. Pengobatan dini sangat
penting dalam mengendalikan penyebaran TB dari orang-orang yang memiliki
penyakit TB aktif kepada mereka yang tidak pernah terinfeksi TB. Beberapa
Negara dengan tingginya insiden TBC menyediakan vaksinasi BCG untuk
masyarakat supaya mencegah TB (Youmans, 1975).
2.4 Koinfeksi TB-HIV
2.4.1 Epidemiologi
Menurut data Global Report WHO 2013 menunjukkan 1,3 juta orang
meninggal karena TB, termasuk 320 ribu kematian di antara orang dengan HIV
positif. Resiko terkena TB diperkirakan antara 12-20 kali lebih besar pada
penderita HIV dibandingkan tanpa infeksi HIV. Diperkirakan pada tahun 2012
dari 8,7 juta kasus baru TB, sebanyak 1,1 juta orang adalah HIV positif.
Di Indonesia, TB merupakan tantangan bagi pengendalian AIDS karena
merupakan infeksi penyerta yang sering terjadi pada ODHA (31,8%). WHO
memperkirakan jumlah pasien TB dengan status HIV positif di Indonesia pada
tahun 2013 sebesar 7,5%, terjadi peningkatan jika dibandingkan dengan tahun
2012 yang hanya 3,3% (Harun M et.al., 2014).
2.4.2 Definisi
HIV/AIDS dan Tuberkulosis (TB), saat ini merupakan masalah kesehatan
global. TB merupakan infeksi oportunistik paling sering terjadi pada penderita
HIV/AIDS di dunia. Mycobacterium tuberkulosis adalah agen menular yang dapat
muncul sebagai reaktivasi infeksi laten pada pasien imunokompromais atau
sebagai infeksi primer setelah penularan dari orang ke orang pada berbagai
stadium HIV. Tuberkulosis adalah penyebab kematian pada 13% orang dengan
infeksi HIV (Permitasari D.A, 2012)
Universitas Sumatera Utara
35
2.4.3 Bagaimana pasien HIV bisa terinfeksi Tuberkulosis
Mycobacterium tuberculosis, organisme penyebab tuberculosis menyebar
hampir secara eksklusif melalui jalur pernafasan. Orang dengan TB paru aktif
menularkannya melalui batuk atau bersin.
Ketika seorang individu rentan
menghirup partikel berukur <10 mikron, ia akan mencapai alveoli (kantong udara
kecil) di paru-paru, dan menetapkan infeksi TB. Dengan sistem kekebalan yang
kuat, pasien tidak akan mengembangkan penyakit TB. Orang dengan infeksi TB
laten adalah asimptomatik dan tidak menyebarkan TB ke orang lain. Satu-satunya
bukti bahwa mereka telah memiliki infeksi TB adalah hasil tes kulit tuberkulin
positif. Karena depresi sistem imunitas pada pasien dengan penyakit HIV, sistem
kekebalan tubuh tidak dapat melawan organisme yang menyerang tubuh.
Multiplikasi yang cepat terjadi pada pelbagai lokasi organ secara bersamaan.
Pasien dengan penyakit HIV mungkin tidak dapat membatasi multiplikasi
Mycobacterium tuberculosis dan dengan demikian orang yang terinfeksi HIV
mungkin memiliki kerusakan multiorgan (Alimuddin Zumla et.al., 2013).
2.4.4 Gejala klinis
Antara gejala klinis yang ditemui pada pasien HIV yang menderita
Tuberkulosis adalah seperti :
•
batuk yang berlanjutan selama tiga minggu atau lebih
•
kekurangan berat badan
•
demam selama empat minggu atau lebih
•
berkeringat di malam hari selama empat minggu atau lebih
•
indeks massa tubuh (BMI) 18 atau kurang
•
limfadenopati di bawah kulit
•
batuk berdahak
•
nyeri dadah
•
kelemahan atau kelelahan
Universitas Sumatera Utara
36
•
kurangnya nafsu makan (Crofton, 2005)
2.4.5 Diagnosis
Sepertiga
penderita
(ODHA= Orang Dengan HIV AIDS)
yang
di
dunia
terinfeksi
HIV
mempunyai
koinfeksi
dengan TB. TB pada ODHA dapat memiliki gambaran klinis tidak khas yang
menyebabkan kesulitan diagnosis (Permitasari D.A, 2012).
Gambaran radiologi TB pada pasien HIV dengan CD4 > 200 sel/µL sama
seperti gambaran TB pada umumnya, dengan predominansi adanya kelainan pada
lobus paru atas, infeksi kavitas, dan adanya efusi pleura. Pada pasien defisiensi
imun, (jumlah CD4 <200 sel/µL), pada umumnya timbul limfadenopati
mediastinum, infeksi non-kavitas, dan tuberkulosis ekstraparu. Diperkirakan
hingga 10% pasien TB dengan infeksi HIV memiliki gambaran radiologi paru
yang normal (Permitasari D.A, 2012).
Pemeriksaan spesimen sputum dengan NAA (Nucleic Acid Amplification)
dapat mendiagnosis infeksi tuberkulosis lebih cepat. Spesifitas tes NAA sangat
tinggi pada cairan tubuh lainnya, terutama dalam mendiagnosis meningitis TB dan
pleural TB. Pemeriksaan lainnya yang dapat dilakukan adalah tes tuberkulin
(TST) dan Interferon-gamma release assays. DHHS merekomendasikan tes ulang
infeksi TB laten pada pasien yang jumlah CD4-nya < 200 sel/µL ketika jumlah
tersebut telah mencapai 200 sel/µL diikuti dengan mulainya penggunaan ARV
(Permitasari D.A, 2012).
Skrining TB (paru dan ekstra paru) perlu dilakukan secara rutin untuk setiap
ODHA. Prosedur skrining harus standar dengan menggunakan alat skrining
(kuesioner) yang sederhana terhadap tanda dan gejala (penilaian risiko terhadap
TB). Skrining dikerjakan oleh konselor, manajer kasus atau para medis
Universitas Sumatera Utara
37
lainnya, dan harus dilakukan pada semua odha setelah KTS (Konseling Post Test)
dan secara berkala selama pelayanan HIV termasuk sebelum memulai ART, atau
selama pemberian ART (Permitasari D.A, 2012).
Pendekatan diagnosis TB pada ODHA tidak berbeda dengan non ODHA.
Penderita yang diduga TB berdasarkan keluhan dan pemeriksaan fisik harus
diperiksa sediaan sputum 3x di bawah mikroskop. Pemeriksaan 3x ini karena
kemungkinan menemukan BTA lebih besar dibandingkan jika hanya 2 atau 1x.
Hasil lebih baik jika diambil pada pagi dini hari. Ada 2 pemeriksaan pokok untuk
menentukan TB yaitu BTA & Kultur/biakan sputum. Kultur bakteri memerlukan
waktu yang lama (3-4 minggu) untuk menumbuhkan koloni dengan media
tradisional lowenstein jensen. (Harun M et.al., 2014).
2.4.6 Penatalaksanaan
Terapi yang efektif dan pengendalian TB merupakan prioritas utama
pengobatan penderita dengan koinfeksi HIV-TB.
Tatalaksana koinfeksi
HIV TB begitu rumit oleh karena obat ARV (Anti Retro Viral) menghasilkan
interaksi yang tidak diinginkan dengan obat TB dan atau meningkatkan
toksisitas OAT.
Universitas Sumatera Utara
38
Jumlah CD4
Regimen Terapi
CD4 ,200/mm³
Mulai dengan terapi TB. Pemberian
ART secepat mungkin setelah terapi TB
dapat
ditoleransi.
Regimen
yang
mengandung EFZ
CD4 antara 200-350/mm³
Mulai dengan terapi TB. Pemberian
ART
dimulai
setelah
8
minggu.
Regimen yang mengandung EFZ (atau
regimen yang mengandung NVP pada
saat fase bebas rifampisin)
CD4 > 350/mm³
Mulai dengan terapi TB. Menunda
ART jika tidak ada gejala non-TB
stadium III atau IV yang muncul.
Evaluasi kembali pasien pada minggu
ke-8 dan pada saat akhir terapi TB
(termasuk CD4)
CD4 tidak tersedia
Mulai terapi ART (antara 2 minggu-2
bulan)
Tabel 2.2 Pemilihan terapi ART pada pasien yang baru terdiagnosis koinfeksi TB
(Sumber : Permitasari D.A, 2012)
1. Non-nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NNRTI):
Rifampicin tidak dapat digunakan bersama NVP tetapi dapat dikombinasikan
dengan EFZ. Rifabutin dapat dikombinasikan dengan NVP. Jika pasien sedang
mendapat terapi NVP saat terdiagnosis TB, maka apabila rifabutin tersedia, pasien
diberi 2HZERifabutin/ 4 HRifabutin, atau apabila rifabutin tidak tersedia maka
NVP diganti dengan EFV 600 mg. Jika terapi TB telah tuntas maka NVP dapat
dilanjutkan.
Universitas Sumatera Utara
39
2. Nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NRTI):
Rifampicin dapat dikombinasikan dengan NRTI.
3. Protease Inhibitors (PI):
Apabila diberikan pada pasien, maka serum PI akan turun di bawah jendela
terapi, sedangkan serum rifampicin akan meningkat mencapai efek toksik.
Rifabutin merupakan obat yang kurang menginduksi enzim hepar dibandingkan
dengan rifampicin, sehingga dapat digunakan apabila tersedia (Permitasari D.A,
2012).
2.4.7 Management dan Pencegahan koinfeksi TB-HIV
TB merupakan infeksi oportunistik terbanyak dan penyebab utama kematian
pada orang dengan HIV dan AIDS (ODHA). Kolaborasi TB-HIV adalah upaya
pengendalian kedua penyakit dengan mengintegrasikan kegiatan kedua program
secara fungsional, baik pada aspek menajemen kegiatan program maupun
penyediaan pelayanan bagi pasien (USAID, 2013-2014).
Tujuan kolaborasi ini untuk mengurangi beban kedua penyakit tersebut
secara efektif dan efisien melalui pembentukan mekanisme kolaborasi program
TB dan HIV/AIDS, menurunkan beban TB pada ODHA (IPT, intensifikasi
penemuan kasus TB dan pengobatan, PPI TB di layanan kesehatan), dan
menurunkan beban HIV pada pasien TB (menyediakan tes HIV; pencegahan HIV;
pengobatan preventif dengan kotrimoksasol; dan Perawatan, dukungan dan
pengobatan HIV) (USAID, 2013-2014).
Kebijakan nasional kolaborasi TB/HIV telah dikembangkan dan survei
seroprevalensi TB/HIV sudah dilaksanakan di beberapa provinsi. Demikian pula
penguatan kolaborasi dan aktivitas koordinasi pada semua tingkatan telah
dikembangkan. Advokasi terus dilakukan ke seluruh pihak yang berkepentingan,
untuk memperoleh komitmen yang lebih tinggi dalam menjamin pelayanan
Universitas Sumatera Utara
40
TB/HIV yang optimal, terutama bagi masyarakat berisiko tinggi (Most at Risk
Populations atau MARPs).Guna meningkatkan kualitas sumber daya manusia di
kelompok kerja TB/HIV di semua tingkatan, ketersediaan tim pelatih nasional
yang kompeten dan terlatih dengan standar internasional merupakan kebutuhan
yang mendesak (Kementerian Kesehatan Repuplik Indonesia, 2011).
Di samping itu, standarisasi dan penggunaan format pencatatan dan
pelaporan dilakukan untuk memperkuat sistem monitoring dan evaluasi TB/HIV.
Pelayanan TB/HIV yang terintegrasi difokuskan kepada masyarakat berisiko
tinggi di fasilitas pelayanan kesehatan termasuk di Lapas/Rutan untuk
meningkatkan kepatuhan berobat dan kunjungan pasien, skrining TB secara aktif
bagi ODHA dan memperluas tes HIV bagi suspek TB serta segera memberikan
ART bagi pasien dengan ko-infeksi TB-HIV. Dalam hal ini, keterlibatan LSM,
organisasi berbasis keagamaan dan masyarakat umum dengan jejaringnya untuk
mendukung Lapas/Rutan dan Puskesmas yang menyediakan pelayanan DOTS
bagi masyarakat berisiko tinggi perlu ditingkatkan. Selain active-case finding dan
pengendalian infeksi TB, ujicoba Pengobatan preventif INH (IPT) akan
dilaksanakan sebagai bagian integral dari intervensi TB-HIV dengan fokus utama
pada kelompok risiko tinggi (Kementerian Kesehatan Repuplik Indonesia, 2011).
Universitas Sumatera Utara
Download