BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Keterampilan

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Landasan Teori
1.
Keterampilan Bermain Drama
Berbicara tentang peningkatan keterampilan memerankan tokoh
dalam drama, semua tak lepas dari pengertian keterampilan itu sendiri,
kemudian karakteristik subjek pemeran tokoh dalam drama, sampai lebih
jauh mengenal tentang drama.
a.
Pengertian Keterampilan
Dalam rangka meningkatkan proses dan hasil pembelajaran di
sekolah dasar, maka salah satu faktor penunjang hal ini adalah
keterampilan yang dimiliki siswa. Terutama dalam kegiatan
pembelajaran yang memiliki aspek psikomotor yang tinggi. Seperti
pembelajaran tentang memerankan tokoh dalam drama yang terdapat
dalam pelajaran Bahasa Indonesia di sekolah dasar.
Dalam memerankan tokoh dalam drama yang dilakukan oleh
siswa memanglah lebih ditekankan pada sisi keterampilan. Dari
unsur sastra dalam drama seperti lafal, intonasi, kemudian dari unsur
teater (seni pementasan) seperti ekspresi, penghayatan, dan aspek
lainnya, memanglah lebih didominasi oleh unsur psikomotor
didalamnya. Meskipun aspek kognitif dan afektif ikut pula dalam hal
ini, namun peningkatan pembelajaran memerankan tokoh dalam
drama
lebih
ditekankan
pada
aspek
psikomotorik
sebagai
Peningkatan Keterampilan Bermain..., Taufan Hidayat, FKIP UMP 2012
keterampilan siswa karena pembelajaran ini dituntut adanya action
di atas panggung.
Terampil
menyelesaikan
itu
tugas,
sendiri
memilki
keterampilan
makna
berarti
cakap
kecakapan
dalam
untuk
menyelesaikan tugas.
Dalam hal ini, pengertian keterampilan yang dimaksud lebih
spesifik kepada siswa sekolah dasar, atau secara psikologis pada
masa sekolah (6,0 – 12,0 tahun). Tingkatan keterampilan maupun
perkembangan pada masa sekolah berbeda dengan orang dewasa.
Aspek yang menjadikan ciri khusus pada perkembangan masa
sekolah adalah sebagai berikut:
a.
Belajar memperoleh keterampilan fisik untuk melakukan
permainan. Melalui pertumbuhan fisik dan otak, anak belajar
dan berlari semakin stabil, makin mantap dan cepat. Pada masa
sekolah anak sudah sampai pada taraf penguasaan otot, sehingga
sudah dapat berbaris, melakukan senam pagi, dan permainanpermainan ringan, seperti sepak bola, loncat tali, berenang, dan
sebagainya.
b.
Belajar memainkan peranan sesuai dengan jenis kelaminnya.
Apabila anak sudah masuk sekolah, perbedaan jenis kelamin
akan semakin tampak. Dari segi permainan umpamanya akan
tampak bahwa anak laki-laki tidak akan memperbolehkan anak
Peningkatan Keterampilan Bermain..., Taufan Hidayat, FKIP UMP 2012
perempuan mengikuti permainannya yang khas laki-laki, seperti
main kelereng, main bola, dan layang-layang.
c.
Belajar mengembangkan konsep sehari-hari. Apabila kita telah
melihat
sesuatu,
mendengar,
mengecap,
mencium,
dan
mengalami, tinggallah suatu ingatan pada kita. Ingatan
mengenai pengamatan yang telah lalu itu disebut konsep
(tanggapan).
Dari ciri khusus dari perkembangan pada masa sekolah di atas,
berhubungan dengan adanya pembelajaran tentang memerankan
tokoh dalam drama, maka jenis drama yang akan diaplikasikan
terhadap siswa pun memperhatikan ciri dan karakter siswa. Seperti
halnya ekspresi dalam aspek drama yang mampu menunjang
perkembangan
siswa,
pemilihan
tokoh
dalam
drama
yang
berkesesuaian dengan gender siswa, dan pemilihan skenario drama
yang sederhana dan jelas memberikan nilai moral yang baik.
b.
Pembelajaran Drama di Sekolah Dasar
Pembelajaran merupakan proses komunikasi dua arah,
mengajar dilakukan oleh pihak guru sebagai pendidik, sedangkan
belajar dilakukan oleh peserta didik atau murid (Syaiful Sagala,
2011: 61). Sering dikatakan mengajar adalah mengorganisasikan
aktivitas siswa dalam arti yang luas. Peranan guru bukan sematamata memberikan informasi, melainkan juga mengarahkan dan
memberi fasilitas belajar (directing and facilitating the learning)
Peningkatan Keterampilan Bermain..., Taufan Hidayat, FKIP UMP 2012
agar proses belajar lebih memadai. Hal ini juga akan terjadi dalam
pembelajaran drama di sekolah dasar, karena dalam pembelajaran ini
guru tidak hanya menyampaikan materi, tapi juga memfasilitasi,
bahkan lebih dalam memahami karakter siswa tiap individu. Dalam
pembelajaran memerankan tokoh dalam drama, selain guru menjadi
fasilitator dan pembingbing, siswa juga memiliki peranan aktif yang
besar karena siswa akan perform secara aktif memerankan drama.
Drama pada sekolah dasar, yang ada dalam sub materi di
pelajaran Bahasa Indonesia, berbeda dengan drama pada umumnya
yang diperankan orang dewasa di atas panggung. Tokoh yang
bermain pada drama di sekolah dasar adalah anak-anak, yang
memiliki karakter seperti yang peneliti jelaskan sebelumnya. Dalam
dunia drama, drama di sekolah dasar ini disebut drama anak-anak
dan creative dramatic.
Drama anak-anak adalah sebuah drama yang dipentaskan
untuk penonton yang terdiri dari anak-anak, dengan lakon yang
disuguhkan secara cermat oleh aktor-aktor yang memenuhi syarat
sebagai aktor.Creative dramaticadalah drama yang dimainkan oleh
anak-anak, yang dipergunakan sebagai media pendidikan anak-anak.
Menurut Sumantri Sastrowondho, yang menjadi tujuan dalam
creative dramatic bukanlah publik, tetapi adalah proses dari
penyelenggaraan drama itu sendiri bagi para peserta yang terdiri dari
anak-anak.
Peningkatan Keterampilan Bermain..., Taufan Hidayat, FKIP UMP 2012
Dari pengertian tersebut, bahwa drama dalam sub materi
memerankan tokoh dalam drama yang ada dalam pembelajaran
sekolah dasar, bahwa drama itu sendiri memiliki pengertian drama
sebagai drama anak-anak dan creative dramatic. Sebagai drama
anak-anak yang mampu memberikan tontonan kepada anak-anak,
sehingga memberikan pesan moral dan hiburan melalui pertunjukan
drama. Sebagai creative dramatic karena siswa yang memerankan
tokoh dalam drama dijadikan fokus utama dalam pengembangan
kegiatan memerankan tokoh dalam drama.
c.
Bermain Drama dalam Pementasan
Ada tiga pihak yang saling berkaitan dalam pementasan:
sutradara, pemain, dan penonton. Dalam penelitian ini sutradara bisa
diperankan guru dan peneliti, sementara pemain dan penonton adalah
seluruh siswa di dalam kelas. Mereka tidak mungkin bertemu jika
tidak ada naskah (teks). Secara praktis, pementasan bermula dari
naskah yang dipilih oleh sutradara atau guru dan peneliti, tentunya
setelah melalui proses studi. Sampai di sini, persoalan drama dalam
dimensi pementasan masih terlihat sederhana. Karena setelah ini,
penonton (terutama yang awam) menjadi tabu melihat drama telah
menjadi suatu seni pertunjukan yang siap dinikmati.
Dari semua unsur yang memungkinkan sebuah drama dapat
dipentaskan manjadi satu seni pertunjukan, maka dapat dipilah-pilah
menjadi dua bagian besar, yaitu (1) unsur utama, terdiri dari
Peningkatan Keterampilan Bermain..., Taufan Hidayat, FKIP UMP 2012
sutradara, pemain, teknisi (pekerja panggung), dan penonton, serta
(2) sarana pendukung, yang terdiri dari pentas dan komposisinya,
kostum (busana), tata rias, pencahayaan, serta tatasuara, dan ilustrasi
musik. Kesemua unsur ini, jika dilihat dari cara membaginya, yang
dikategorikan sebagai unsur utama adalah unsur manusia, sedangkan
unsur sarana pendukung adalah unsur kebendaan atau barang. Maka,
efektif tidaknya unsur sarana pendukung amat tergantung pada
bagian unsur utama mengelolanya. Harus disadari tanpa bantuan
sarana pendukung, bisa saja sebuah pementasan drama tidak menarik
untuk dinikmati. Bayangkan saja jika pementasan menuntut
tampilnya seorang tokoh raja, atau tokoh yang dituntut seorang tua
(kakek-kakek atau nenek-nenek), sementara pemain seluruhnya
muda-muda, atau tempat dan ruang yang sedang dipentaskan
menuntut menggambarkan suasana di kamar tidur, sedangkan yang
disaksikan penonton panggung masih di dekor sebagai ruang tamu,
dan lain-lain. Berdasarkan hal itu, unsur sarana pendukung tidak bisa
diabaikan, melainkan
dipelajari dan dikaji sehingga ketika
dipergunakan untuk pementasan suatu drama, unsur ini menjadi tepat
guna.
d.
Hakikat Drama
Pengertian tentang drama yang dikenal selama ini, misalnya
dengan menyebutkan bahwa drama adalah cerita atau tiruan perilaku
manusia yang dipentaskan tidaklah salah. Hal ini disebabkan jika
Peningkatan Keterampilan Bermain..., Taufan Hidayat, FKIP UMP 2012
ditinjau dari kata drama itu sendiri, pengertian drama di atas
dianggap tepat. Kata drama berasal dari Bahasa Yunani yaitu
draoma yang berarti berbuat, berlaku, bertindak, bereaksi, dan
sebagainya. Jadi dramaberarti perbuatan atau tindakan. Berdasarkan
kenyataan ini memang drama sebagai suatu pengertian lebih
difokuskan kepada dimensi seni pertunjukannya dibanding dimensi
genre sastranya. Beberapa pengertian tentang drama yang akan
diungkapkan berikut ini akan menunjukan bahwa dimensi drama
sebagai seni pertunjukan lebih mendominasi dibanding dimensi
genre sastranya.
Menurut Ferdinan Brunetiere dan Balthazar Verhagen, drama
adalah kesenian yang melukiskan sifat dan sikap manusia dan harus
melahirkan kehendak manusia dengan action dan perilaku. Adapun
pengertian drama menurut Moulton adalah hidup yang dilukiskan
dengan gerak, drama adalah menyaksikan kehidupan manusia yang
diekspresikan secara langsung. Dari beberapa pengertian yang telah
diungkapkan tersebut tidak terlihat perumusan yang mengarahkan
pengertian drama kepada pengertian drama ke dimensi sastranya.
Padahal meskipun drama ditulis dengan tujuan untuk dipentaskan,
tidaklah berarti bahwa semua karya drama yang ditulis oleh
pengarang haruslah dipentaskan. Tanpa dipentaskan sekalipun karya
drama tetap dipahami, dimengerti dan dinikmati. Tentulah
pemahaman dan penikmatan atas karya drama tersebut lebih pada
Peningkatan Keterampilan Bermain..., Taufan Hidayat, FKIP UMP 2012
aspek cerita sebagai genre sastra, dan bukan sebagai karya seni
lakon. Oleh sebab itu dengan mengabaikan aspek sastra di dalam
drama hanya akan memberikan gambaran yang tidak menyeluruh
terhadap suatu bentuk seni yang disebut drama.
Pengertian drama yang dikenal selama ini, yang hanya
diarahkan pada dimensi seni pertunjukan atau seni lakon, ternyata
memberikan cerita yang kurang baik terhadap drama, khususnya
bagi masyarakan Indonesia. Konsepsi drama adalah peniruan atau
tindakan yang tidak sebenarnya, berpura-pura di atas pentas,
menghasilkan idiom-idiom yang menunjukan bahwa drama bukanlah
drama dianggap “sesuatu” yang serius dan berwibawa. Pernyataan
seperti “Janganlah kamu bersandiwara!”atau “Pemilihan pimpinan
organisasi merupakan panggung drama saja!”,menujukan istilah
drama atau sandiwara dipakai untuk ejekan ketidakseriusan. Harus
diluruskan pengertian “peniruan” di dalam drama agar tidak
disalahartikan oleh masyarakat. Di samping itu, kenyataan ini
tentulah amat bertentangan dengan hakikat sastra bahwa kebenaran,
keseriusan merupakan hal-hal yang dibicarakan di dalam sastra.
Dengan demikian, drama sebagai salah satu genre sastra seharusnya
dipahami bahwa di dalamnya terkandung nilai-nilai kebenaran dan
keseriusan, bukan sekedar “permainan” belaka.
Seperti yang diketahui, bahwa dalam kehidupan masyarakat,
sastra mempunyai beberapa fungsi yaitu; (1) Fungsi rekreatif, yaitu
Peningkatan Keterampilan Bermain..., Taufan Hidayat, FKIP UMP 2012
sastra dapat memberikan hiburan yang menyenangkan bagi penikmat
atau pembacanya, (2) Fungsi didaktif, yaitu sastra mampu
mengarahkan
atau
mendidik
pembacanya
karena
nilai-nilai
kebenaran dan kebaikan yang terkandung di dalamnya, (3) Fungsi
estetis,
yaitu
sastra
mampu
memberikan
keindahan
bagi
penikmat/pembaca karena sifat keindahannya, (4) Fungsi moralitas,
yaitu
sastra
mampu
memberikan
pengetahuan
kepada
pembaca/peminatnya sehingga tahu moral yang baik dan buruk,
karena sastra yang baik selalu mengandung moral yang tinggi, dan
(5) Fungsi religius, yaitu sastra mampu menghasilkan karya-karya
yang mengandung ajaran agama yang dapat diteladani para
penikmat/pembaca sastra.
Sebagai salah satu karya yang mempunyai dua dimensi, maka
pementasan harus dianggap sebagai penafsiran lain dari penafsiran
yang telah ada yang dapat ditarik dari suatu karya drama. Dengan
kata lain penafsiran ini memberikan kepada drama sebagai
penafsiran kedua. Maksud dari pernyataan ini adalah, pementasan
baru dimungkinkan terjadi jika teks drama telah ditelaah dan
ditafsirkan oleh sutradara dan (pemain untuk kepentingan suatu seni
peran yang didukung oleh perangkat panggung, seperti dekor,
kostum, tata rias, pencahayaan, dan lain-lainnya). Sesuatu yang
terjadi di atas panggung tidak termasuk pada teori drama sebagai
genre sastra, melainkan pada ilmu drama sebagai suatu seni
Peningkatan Keterampilan Bermain..., Taufan Hidayat, FKIP UMP 2012
pertunjukan, yang oleh banyak pihak pada saat ini disebut dengan
istilah teater. Dengan demikian, hasil penafsiran sutradara dan
pemain yang kemudian menjadi seni pertunjukan dari suatu teks
drama memberikan pemahaman lain bagi peneliti atau mereka yang
sedang mengkaji teks drama, disamping peneliti atau mereka yang
sedang mengkaji teks drama, disamping pemahaman yang telah
dimiliki dari pembacaan teks drama. Sehingga, bukan sebaliknyalah
yang harus terjadi, yaitu menempatkan hasil penafsiran sutradara dan
para pemain teks drama yang kemudian menjadi seni pertunjukan
sebagai dasar untuk memahami teks drama dari sudut dimensi sastra.
Demikianlah, pengertian terhadap drama sebaiknya memang
dengan menempatkan kesadaran bahwa drama adalah karya yang
memiliki dua dimensi karakteristik, yaitu (1) dimensi sastradan (2)
dimensi seni pertunjukan. Pemahaman terhadap masing-masing
dimensi wajar jika berbeda karena unsur-unsur yang membangun
dan membentuk drama pada masing-masing memang berbeda.
Meskipun berbeda, pemahaman drama pada satu dimensi akan
memberikan bantuan bagi pemahaman dimensi lainnya. Pada
akhirnya, pemahaman itu akan mengeras pada pemahaman yang
menyeluruh terhadap drama sebagai karya dua dimensi tersebut.
Berdasarkan
karakteristik
drama
yang
demikian
dapat
diketahui secara lebih terperinci hal-hal yang khusus terdapat pada
drama tetapi tidak ditemukan genre sastra lainnya, misalnya pada
Peningkatan Keterampilan Bermain..., Taufan Hidayat, FKIP UMP 2012
fiksi maupun pada puisi. Dan hasil perbandingan antara genre sastra
drama dengan genre sastra fiksi dan puisi didapatkan kekhususan
karakteristik drama sebagi berikut.
1.
Drama, karena karakteristiknya, penggambaran unsur-unsur
pembangunnya dari segi genre sastra terasa lebih lugas, lebih
tajam, dan lebih detil, terutama unsur perwatakan dan
penokohan. Hal ini pulalah yang menyebabkan penerjemahan
teks drama ke dalam unsur visualisasi terasa lebih intens.
Perhatikan unsur ujaran, gerak dan perilaku para tokoh, jauh
lebih hidup, dan berkarakter tegas dibanding dengan ujaran,
gerak, dan perilaku tokoh dalam genre fiksi.
2.
Pengarang
tidak
dapat
secara
leluasa
mengembangkan
kemampuan imajinasinya di dalam drama. Artinya jika
pengarang ingin melukiskan suatu kehidupan di alam tertentu
yang secara konfensional belum dapat diterima logika umum
amatlah sulit. Paparan menjadi terbatas dikarenakan hal tersebut
harus mempertimbangkan penyampaiannya dalam bentuk
dialog.
3.
Dalam dimensi sebagai seni pertunjukan, drama dapat memberi
pengaruh emosional yang lebih besar dan terarah kepada
penikmat (audiens) jika dibandingkan dengan genre sastra
lainnya.
Peningkatan Keterampilan Bermain..., Taufan Hidayat, FKIP UMP 2012
4.
Keterkaitan dimensi sastra dengan dimensi seni pertunjukan
mengharuskan para aktor dan pemain “menghidupkan” tokohtokoh yang digambarkan pengarangnya lewat apa yang di apa
yang diucapkan tokoh-tokoh tersebut dalam bentuk dialogdialog.
5.
Unsur panggung memang membatasi pengarang drama dalam
menuangkan imajinasinya. Namun demikian panggung juga
memberi kesempatan sepenughnya kepada pengarang untuk
dapat mempergunakannya supaya menarik dan memuaskan
perhatian penikmat dan penonton pada suatu situasi tertentu,
yaitu situasi panggung.
6.
Bentuk yang khusus dari drama ialah keseluruhan peristiwa
yang disampaikan melalui dialog.
7.
Konflik kemanusiaan menjadi syarat mutlak. Bentuk dialoglah
yang menuntun adanya konflik tersebut di dalam drama.
8.
Ada anggapan bahwa drama tidaklah dapat dianggap sebagai
suatu genre murni sebagaimana genre fiksi dan puisi.
9.
Sebagaimana kemungkinan pemberi penafsiran kedua, dimensi
seni pertunjukan pada drama, disamping memiliki nilai
keunggulan memiliki pula nilai kekurangan. Keunggulannya
adalah peristiwa dapat disaksikan langsung secara konkret,
sedangkan kelemahannya drama tidak dapat dinikmati kedua
kalinya seperti genre sastra dalam fiksi dan puisi.
Peningkatan Keterampilan Bermain..., Taufan Hidayat, FKIP UMP 2012
10. Sutradara, aktor, dan pendukung pementasan harus secara arif
menafsirkan
dan
berusaha
setuntas
mungkinuntuk
memfisualisasikan tuntutan teks drama.
Di dalam drama dialog memilki fungsi sebagai sarana primer
yang dijabarkan ke dalam satuan-satuan pikiran, akan di dapatkan
rumusan-rumusan sederhana sebagaimana yang diuraikan pada
pembahasan berikut ini.
1.
Sarana universal, dialog sebagai sarana primer di dalam drama
berfungsi sebagai wadah bagi pengarang untuk menyampaikan
informasi, menjelaskan fakta atau ide-ide utama.
2.
Alur adalah rentetan peristiwa yang satu dengan peristiwa yang
lain dalam hubungan sebab akiat.
3.
Dialog memberikan kejelasan watak dan perasaan tokoh atau
pelaku.
4.
Menciptakan serta melukiskan suasana merupakan fungsi
lainnya dari dialog di dalam drama.
5.
Dialog juga menentukan dan dapat mengatur tempo permainan.
6.
Sebagai suatu genre sastra ada unsur yang baru dapat ditemukan
setelah unsur-unsur intrinsik lainnya dipahami oleh pembaca
dan atau penonton.
e.
Unsur Intrinsik Drama
Jika dibandingkan dengan fiksi, maka unsur intrinsik drama
dapat dikatakan “kurang sempurna”. Di dalam drama tidak
Peningkatan Keterampilan Bermain..., Taufan Hidayat, FKIP UMP 2012
ditemukan unsur adanya unsur pencerita, sebagaimana terdapat di
dalam fiksi. Alur di dalam drama lebih dapat ditelusuri melalui
motivasi yang merupakan alasan untuk munculnya suatu peristiwa.
Motivasi di dalam menjadi penting karena aspek ini sudah menjadi
perhatian pengarang sewaktu karya drama ditulis. Meskipun dalam
menulis pengarang dapat menggunakan kebebasan daya cipta yang
dimilikinya, ia tetap harus memikirkan kemungkinan dapat
terjadinya laku (action) di pentas. Faktor laku merupakan wujud
lakon, dan motivasilah yang merupakan landasannya. Aspek inilah
yang menyebabkan drama mempunyai sedikit “keterbatasan”
dibanding fiksi.
1) Tokoh, Peran, dan Karakter
Dalam hal penokohan, di dalamnya termasuk hal-hal yang
berkaitan dengan penamaan, pemeranan, keadaan fisik tokoh,
(aspek
fisiologis),keadaan
kejiwaan
tokoh
(aspek
sosiologi),serta karakter tokoh. Hal-hal yang termasuk di dalam
permasalahan penokohan ini saling berhubungan dalam upaya
membangun permasalahan-permasalahan atau konflik-konflik
kemanusiaan yang merupakan persyaratan utama drama. Bahkan
di dalam drama, unsur penokohan merupakan aspek penting.
Selain melalui aspek inilah aspek-aspek lain di dalam drama
dimungkinkan berkembang, unsur penokohan di dalam drama
Peningkatan Keterampilan Bermain..., Taufan Hidayat, FKIP UMP 2012
terkesan lebih tegas dan jelas pengungkapannya dibanding
dengan fiksi.
2) Motivasi, Konflik, Peristiwa, dan Alur
Permasalahan-permasalah
drama,
disamping
dapat
dibangun melalui pertemuan dua tokoh atau sekelompok tokoh
yang memerankan peran yang berbeda, juga dapat dibangun
melalui laku. Pada segi pementasan, unsur laku terasa lebih jelas
dan konkret, dibanding pada teksnya. Hal ini menjadi jelas
karena unsur laku di atas pentas merupakan tindakan
pemvisualisasian.
Laku dapat dipahami sebagai gerakan atau tindakan tokohtokoh. Gerakan atau tindakan-tindakan tokoh berikutnya dapat
membentuk suatu peristiwa. Pada hakikatnya pun, gerakan atau
tindakan para tokoh itu sendiri merupakan suatu kejadian yang
dapat dikaitkan telah berlangsung jika seseorang tokoh atau
sekelompok tokoh melakukan kegiatan pada suatu tempat dan
pada suatu waktu tertentu. Peristiwa-peristiwa atau pada
kejadiannya membentuk permasalahan-permasalahan drama.
Peristiwa di dalam drama, merupakan salah satu unsurnya,
sulitlah dibayangkan sebuah karya fiksional disampaikan tanpa
adanya peristiwa atau kejadian. Dalam memahami peristiwa di
dalam drama harus disadari sepenuhnya bahwa peristiwa
tidaklah terjadi begitu saja, secara tiba-tiba tau serta-merta.
Peningkatan Keterampilan Bermain..., Taufan Hidayat, FKIP UMP 2012
Setiap peristiwa yang berlaku atau yang terjadi selalu
mempunyai hubungan sebab akibat. Sesuatu peristiwa akan
terjadi jika disebabkan oleh suatu hal atau hal yang menjadi
alasan peristiwa itu terjadi. Di samping itu, setiap peristiwa yang
berlaku akan menimbulkan akibat tertentu yang mungkin saja
berupa munculnya peristiwa-peristiwa baru.
Suatu tindakan, perbuatan atau laku tidak mungkin
dilakukan begitu saja dan tiba-tiba oleh para tokoh. Harus ada
alasan (logika imajinatif) tentang laku tersebut dilakukan oleh
tokoh. Alasan tentang suatu laku atau juga suatu peristiwa
terjadi dapat disebutkan dengan istilah motivasi.
Laku
merupakan perwujudan drama, maka laku atau satuan peristiwa
harus dijelaskan melalui kerangka unsur dan totalitas tentang hal
tersebut terjadi. Oleh sebab itu, motivasi merupakan dasar laku,
keseluruhan stimulus yang menjadi sebab pelaku (seorang atau
sekelompok orang) mengadakan respons-respons. Motivasidapat
muncul dari berbagai sumber, antara lain sebagai berikut.
(a) Kecenderungan-kecenderungan dasar (basic instinct) yang
dimilki manusia, misalnya kecenderungan untuk dikenal,
untuk memperoleh suatu pengalaman tertentu, suatu
pemuasan libido tertentu.
(b) Situasi yang melingkupi manusia, yaitu keadaan fisik dan
keadaan sosial.
Peningkatan Keterampilan Bermain..., Taufan Hidayat, FKIP UMP 2012
(c) Interaksi sosial, yaitu rangsangan yang ditimbulkan karena
hubungan sesama manusia.
(d) Watak manusia itu sendiri, sifat-sifat intelektualnya,
emosionalnya, persepsi dan resepsinya, dan ekspresif serta
sosial kulturalnya.
3) Latar dan Ruang
Latar merupakan identitas permasalahan drama sebagai
karya fiksionalitas yang secara samar diperlihatkan penokohan
dan alur. Jika permasalahan drama sudah diketahui melalui alur
atau penokohan, maka latar dan ruang memperjelas suasana,
tempat, serta waktu peristiwa itu berlaku. Latar dan ruang di
dalam drama memperjelas pembaca untuk mengidentifikasikan
permasalahan drama.
Secara langsung latar berkaitan dengan penokohan dan
alur. Sehubungan dengan itu, latar harus saling menunjang
dengan alur dan penokohan dalam membangun permasalahan
dan konflik. Latar yang konkret biasanya berhubungan dengan
tokoh-tokoh yang konkret dan peristiwa-peristiwa yang konkret.
Sebaliknya latar yang abstrak akan berhunungan dengan
peristiwa yang abstrak dengan tokoh-tokoh yang abstrak pula.
4) Penggarapan Bahasa
Di dalam sebuah drama, dialog merupakan situasi bahasa
utama, namun pengertian penggarapan bahasa di sini bukanlah
Peningkatan Keterampilan Bermain..., Taufan Hidayat, FKIP UMP 2012
tentang dialog itu sendiri, melainkan bagaimana bahasa
dipergunakan pengarang sehingga terjadi situasi bahasa.
Tentang bahasa dipergunakan barangkali menyangkut tentang
gaya. Mungkin lebih tepat jika yang dimaksudkan dengan
penggarapan bahasa adalah yang biasa disebut dengan style.
Ada tujuh ciri bahasa tulis. Di dalam ketujuh ciri bahasa
tulis itu terkandung keunggulan dan kelemahannya. Bahasa tulis
jika dibandingkan dengan bahasa lisan, telah kehilangan unsur
penunjang, seperti isyarat, ekspresi, intonasi, serta peragaan.
Sebenarnya di dalam kekurangan itu terdapat celah untuk
pengarang yang kreatif dapat menyampaikan permasalahanpermasalahan
drama.
Pengarang
diharapkan
harus
mengungkapkan permasalahan secermat dan teliti mungkin,
sehingga tersusunlah bahasa yang rapi dan indah sebagai salah
satu ciri karya sastra. Dengan kreatifitasnya, pengarang
memanfaatkan kekurangan bahasa tulis untuk menciptakan
situasi sastra yang ambigu yang juga menjadi ciri khas karya
sastra.
5) Tema (Premisse) dan Amanat
Tema dan amanat dapat dirumuskan dari berbagai
peristiwa, penokohan, dan latar. Tema adalah inti permasalahan
yang hendak dikemukakan pengarang dalam karyanya. Oleh
sebab itu, terra merupakan hasil konklusi dari berbagai peristiwa
Peningkatan Keterampilan Bermain..., Taufan Hidayat, FKIP UMP 2012
yang terkait dengan penokohan dan latar. Dalam sebuah drama
terdapat banyak peristiwa yang masing-masingnya mengemban
permasalahan, tetapi hanya ada sebuah tema sebagai intisari dari
permasalahan-permasalahan tersebut. Permasalahan ini juga
dapat muncul melalui perilaku-perilaku para tokoh ceritanya
yang terkait dengan latar dan ruang. Amanat di dalam drama
dapat terjadi lebih dari satu, asal semua itu terkait dengan tema.
Pencarian amanat pada dasarnya identik atau sejalan dengan
teknik pencarian tema. Oleh sebab itu, amanat juga merupakan
kristalistik dari berbagai peristiwa, perilaku tokoh, latar, dan
ruang cerita.
2.
Model Pembelajaran Kolaborasi dan Scaffolding Learning dalam
Pembelajaran Bermain Drama
Kolaborasi dan scaffolding learning adalah gabungan dua unsur
atau lebih yang dipadukan secara intensif. Model kolaborasi dan
scaffolding learning merupakan dua hal yang saling menunjang. Titik
berat kolaborasi adalah pada masalah penyatuan dua unsur, yaitu sastra
dan seni. Sementara scaffolding learning cenderung ke arah langkah
pemanfaatan dua unsur sastra dan seni itu disajikan. Melalui kolaborasi
dan scaffolding learning pembelajaran bermain drama berupaya
mencampur dengan tahap dan langkah tertentu antara ragam genre dalam
sastra dengan seni pertunjukan atau teater secara padu. Percampuran
unsur itu bukan tanpa alasan, melainkan untuk menemukan keindahan
Peningkatan Keterampilan Bermain..., Taufan Hidayat, FKIP UMP 2012
dan sekaligus kedalaman rasa. Dalam kaitan ini, sekaligus untuk
meyakinkan gagasan Carter, bahwa sastra itu tidak sekedar masalah
“pengejaran” tetapi cenderung “pengajaran”. Bermain drama adalah
genre dalam dimensi sastra yang tidak sekedar mengejar materi
melimpah, tetapi harus diupayakan untuk menanamkan pendidikan
akhlak tertentu.
Endaswara menyatakan bahwa scaffolding learning adalah metode
pembelajaran
dengan
tahap-tahapan
tertentu.
Scaffolding
berarti
membangun tahapan. Tahapan itu dalam bidang bermain drama berupa
perangkap atau pancingan. Biasanya mengajar sering melakukan metode
ini dengan menyebutkan potongan kata, potongan bacaan, potongan
akting, lalu diteruskan oleh subjek didik, sehingga pengertian menjadi
jelas. Sesungguhnya konsep ini juga tidak hanya dilakukan sekolah
tingkat rendah, tetapi jenjang apapun dapat melakukannya.
Asumsi dasar hadirnya model kolaborasi dan scaffolding learning
dalam pembelajaran bermain drama adalah drama merupakan bentuk
karya yang kaya akan nilai seni dan pesan pendidikan serta nilai sosial.
Sebagai karya seni, telah sepantasnya apabila orang yang belajar drama
menciptakan aneka perubahan yang signifikan agar karya itu dapat
memiliki daya tarik khusus, terutama untuk siswa sekolah dasar yang hal
semacam ini masihlah asing dan merupakan hal yang baru. Melalui aneka
tampilan pembelajaran, pesan nilai pendidikan dalam bermain drama
justru mudah tertanam. Akar-akar estetika justru mudah meresap ketika
Peningkatan Keterampilan Bermain..., Taufan Hidayat, FKIP UMP 2012
sebuah drama ditampilkan atau diapresiasi menurut nuansa seni,
khususnya pada siswa sekolah dasar. Dalam kaitan ini, perspektif sastra
yang dikaitkan adalah (1) sebuah ekspresi superfisial dari fenomena
tertentu dan (2) sebagai simbol pandangan sastrawan. Dari kedua hal
tersebut, sebenarnya nilai drama akan mudah ditangkap maknanya
melalui suatu model kolaborasi dan scaffolding learning pada siswa
sekolah dasar.
Prinsip dasar model kolaborasi dan scaffolding learning adalah
hadirnya pembelajaran bermain drama pada siswa sekolah dasar yang tak
lain sebagai sebuah pengalaman dalam aktifitas mengeksplor jiwa
dengan
nilai-nilai
tertentu.
Bermain
drama
akan
menawarkan
pengalaman hidup yang beragam. Untuk itu bermain drama pada siswa
kelas V SD Negeri 1 Dukuhwaluh yang semula hanya sekedar diformat
sebagai kegiatan sekedar membaca skenario di depan kelas, akan berubah
menjadi konsumsi di atas panggung.
Secara teknis, tentang upaya peningkatan keterampilan bermain
drama melalui penerapan model kolaborsi dan scaffolding learning ini
adalah dengan memadukan dua unsur antara sastra dengan seni teater
secara padu dan untuh yang dilakukan melalui tahapan-tahapan tertentu.
Adapun tahapan-tahapan tersebut melalui beberapa langkah. Langkah
pertama adalah pengenalan tentang bermain drama pada siswa.
Pengenalan di sini adalah kegiatan transfer knowledge dan transfer
values tentang drama yang dilakukan secara mendalam. Kemudian
Peningkatan Keterampilan Bermain..., Taufan Hidayat, FKIP UMP 2012
penggunaan media video dianggap efektif untuk mengenalkan drama
secara lebih konkret kepada siswa. Termasuk tentang memerankan tokoh
tertentu semua dilakukan dalam tahapan pengenalan drama pada siswa.
Langkah selanjutnya adalah penugasan, dilakukan dengan membentuk
kelompok dan masing-masing kelompok dibagi skanario drama yang
akan mereka pentaskan nantinya. Selanjutnya adalah sesi latihan sebelum
pementasan, yang dilakukan seluruh kelompok di luar jam pelajaran
dengan bimbingan intensif. Langkah yang terakhir adalah pementasan.
Event puncak dari pembelajaran bermain drama ini adalah ketika
pementasan berlangsung. Siswa diberi kesempatan untuk menunjukan
keterampilannya (perform) secara totalitas. Kegiatan perform ini bisa
menggunakan kostum sederhana yang mereka pilih serta konsep
panggung sederhana yang dirancang di dalam kelas. Sedangkan metode
penilaiannya mengaplikasikan sistem perlombaan. Jadi ada juara di
pementasan ini, dengan demikian antusiasme siswa dalam melakukan
pementasan drama tinggi.
Upaya peningkatan keterampilan bermain drama melalui model
kolaborasi dan scaffolding learning dengan penggunaan media video ini
akan mampu membangkitkan minat, bakat, kreatifitas, eksplorasi
penjiwaan, serta nilai berupa pesan moral yang terkandung di dalamnya.
Pembelajaran kolaborasi dan scaffolding learning pada dasarnya
merupakan sebuah bentuk penyajian integrated method. Kolaborasi dan
scaffolding learning diartikan sebagai percampuran dua unsur atau lebih
Peningkatan Keterampilan Bermain..., Taufan Hidayat, FKIP UMP 2012
dalam pembelajaran, yang disatukan sehingga membentuk kepaduan
strukturan dan fungsional, melalui tahapan estetis. Kepaduan strukturan
artinya adanya penataan yang sinkron dari awal sampai akhir
pembelajaran. Penataan struktur itu cukup beralasan guna mencapai
keberhasilan pembelajaran. Kepaduan fungsional yang berarti terkait
dengan makna dari perpaduan itu, diupayakan agar menarik, lebih efektif
dan efisien, dan menggunakan pancingan jitu.
Dengan demikian pembelajaran bermain drama pada siswa kelas V
SD Negeri 1 Dukuhwaluh dengan menerapkan model kolaborasi dan
scaffolding learning pada dasarnya adalah proses pembelajaran tentang
bermain drama dengan penyajian yang utuh dan sesuai pada hakikat
tentang nilai dalam drama. Pembelajaran tentang memerankan tokoh
dalam drama dengan lafal, intonasi, dan ekspresi yang tepat di SD Negeri
1 Dukuhwaluh belumlah mencapai pembelajaran tentang bermain drama
dengan utuh dan sesuai hakikatnya. Sebab kegiatan yang dilakukan
hanya sekedar membacakan teks skenario drama di depan kelas,
selebihnya tak ada lagi unsur lain yang dimasukan. Dengan demikian
penerapan pembelajaran bermain peran dengan model kolaborasi dan
scaffolding learning pada siswa kelas V SD Negeri 1 Dukuhwaluh
berpaya membelajarkan drama seutuhnya pada siswa.
Penerapan
model
kolaborasi
memanglah
sesuai
dengan
karakteristik drama. Sebab drama memang memiliki dua unsur yang
menjadi ciri khasnya. Bahwa drama memilki dimensi sastra sekaligus
Peningkatan Keterampilan Bermain..., Taufan Hidayat, FKIP UMP 2012
dimensi seni pementasan atau teater. Sehingga pendekatan yang
dilakukan
tepat
dilakukan
dengan
model
kolaborasi.
Sedangkanscaffolding learning adalah upaya langkah dan tahapan yang
ditempuh selama pembelajaran berlangsung untuk mencapai kompetensi
siswa yang diinginkan.
3.
Penggunaan Media Video dalam Pembelajaran
Menurut Kamus Bahasa Indonesia, video adalah bagian yang
memancarkan gambar pada pesawat televisi; rekaman gambar hidup atau
program televisi untuk ditayangkan lewat pesawat televisi. Dari
pengertian tersebut video memiliki sifat audio dan visual. Sehingga
mampu menunjukan gambar hidup lengkap dengan suara yang
mengiringinya.
Penggunaan media video dalam pembelajaran merupakan alat-alat
peraga yang diproyeksikan, yaitu alat peraga yang menggunakan
proyektor sehingga gambar nampak pada layar, dan video maupun film
adalah contoh alat peraga yang diproyeksikan.
Dalam penelitian yang dilaksanakan, peneliti pun menggunakan
media video yang di dalamnya berupa film singkat tentang permainan
drama yang dimainkan oleh beberapa siswa sekolah dasar. Film pada
hakikatnya merupakan penemuan baru dalam interaksi belajar-mengajar
yang mengkombinasikan dua macam indera pada saat yang sama. Film
adalah serangkaian gambar yang diproyeksikan ke layar pada kecepatan
tertentu sehingga menjadikan urutan tingkatan yang berjalan terus
Peningkatan Keterampilan Bermain..., Taufan Hidayat, FKIP UMP 2012
sehingga menggambarkan pergerakan yang nampak normal, (Sudjana,
2010: 102).
Menurut fungsinya, film itu dapat berbentuk film dokumentasi,
sponsor (advertensi perusahaan), hiburan, pendidikan, keagamaan, darma
wisata, propaganda, dan episode.
Menggunakan film dalam pendidikan dan pengajaran di kelas
berguna terutama untuk;
a) Mengembangkan pikiran dan pendapat siswa.
b) Menambah daya ingat pada pelajaran.
c) Mengembangkan daya fantasi anak didik.
d) Menumbuhkan minat dan motivasi belajar.
e) Mengatasi pembatasan dalam jarak waktu.
f)
Memperjelas hal-hal yang abstrak.
g) Memberikan gambaran pengalaman yang lebih realistis.
Untuk
memperoleh
hasil
yang
sebesar-besarnya
dalam
menggunakan film di kelas perlu diperhatikan langkah-langkah berikut:
a) Langkah pesiapan guru
Pada langkah ini guru menetapkan tujuan yang akan dicapai dari
penggunaan film sehubungan dengan pelajaran yang akan dijelaskan
melalui film tersebut.
b) Langkah persiapan kelas
Pada langkah ini bukan hanya menyiapkan perlengkapan yang
dibutuhkan untuk pemutaran film saja, tetapi juga persiapan siswa
Peningkatan Keterampilan Bermain..., Taufan Hidayat, FKIP UMP 2012
agar dapat mengikuti, mencatat, menganalisis, mengkritik, dan lainlain dari isi film pendidikan tersebut.
c) Langkah penyajian film
Penyajian film bisa diputar ulang, bisa pula diputar dengan
kecepatan rendah bila ada hal-hal yang sangat penting untuk
dianalisis.
d) Langkah lanjutan dan aplikasi
Sesudah pemutaran film perlu ada kegiatan belajar sebagai tindak
lanjut dari penggunaan film tersebut. Misalnya diskusi, laporan, dan
tugas lain.
Suatu film pendidikan dikatakan baik bila memenuhi beberapa
syarat, di antaranya adalah sangat menarik minat siswa dan autenti, up to
date, sesuai dengan tingkat kematangan anak, bahasanya baik dan tepat,
mendorong keaktifan siswa sejalan dengan isi pelajaran dan memuaskan
dari segi teknik.
B. Hasil Penelitian Yang Relevan
Dalam buku Bunga Rampai, model-model pembelajaran bahasa, sastra
dan seni. Penelitian tentang upaya peningkatan pembelajaran khususnya
tentang pertunjukan di atas panggung pernah dilakukan oleh Suwardi
Endraswara, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FBS
Universitas Negeri Yogyakarta, melalui model kolaborasi dan scaffolding
learning. Sedikit berbeda, namun esensinya masihlah sama. Dalam penelitian
yang dilakukan oleh Suwardi Endraswara adalah tentang pertunjukan dalam
Peningkatan Keterampilan Bermain..., Taufan Hidayat, FKIP UMP 2012
membaca puisi jawa yang dikolaborasi dan di scaffolding learningkan dengan
unsur seni lain seperti gamelan, tari, dan lain sebagainya. Sehingga menjadi
sebuah pertunjukan di atas panggung yang utuh dan dapat dinikmati
penonton. Sedangkan yang peneliti kaji dalam skripsi ini adalah tentang
bermain peran yang pada hakikatnya memiliki dua unsur yaitu sastra dan seni
teater.
Berikut adalah hasil penelitian yang relevan yang pernah dilakukan oleh
Suwardi Endraswara, pada tahun 2003 dengan judul “Pembelajaran Sastra
Berbasis Kompetensi.”
Hasil penelitian menggambarkan bahwa model kolaborasi dan
scaffolding learning
sastra dan seni dalam mata kuliah sanggar sastra
membutuhkan beberapa siklus. Dalam siklus I, subjek didik belajar vokal,
akting, melagukan macapat. Pada siklus ini mereka bermain puisi Jawa
modern dan macapat dengan iringan instrumen gamelan. Instrumen gamelan
dirancang dalam bentuk gecul. Subjek didik membaca dan bermain gamelan
yang lebih kompleks karena mengolaborasi dan scaffolding learning-kan
dalam bentuk seni pertunjukan. Siklus II, dilakukan sama seperti pada siklus I
dengan berbagai perbaikan setelah dilakukan evaluasi pada siklus I. Hasil
evaluasi siklus II ternyata subjek didik telah menguasai model kolaboratif.
Setelah melakukan berbagai tahapan, namun mereka masih merasa kurang
terutama dalam hubungannya dengan rasa (ngeng).
Peningkatan Keterampilan Bermain..., Taufan Hidayat, FKIP UMP 2012
C. Kerangka Berpikir
Memerankan tokoh dalam drama memanglah terdapat dalam salah satu
kompetensi dasar yang telah ditentukan dalam pelajaran Bahasa Indonesia di
Sekolah Dasar. Dengan adanya drama di pendidikan sekolah dasar, sudah
pasti guru dituntut untuk mencapai proses dan hasil dari bermain drama, dan
siswa berkewajiban untuk mengenal dan mempraktekan drama itu sendiri.
Kenyataanya hal ini tidaklah seperti yang peneliti asumsikan.
Pembelajaran drama di sekolah dasar kebanyakan belumlah memenuhi proses
dan hasil dari bermain drama yang sesungguhnya. Hal ini memanglah wajar,
mengingat kebanyakan bermain drama hanya dikenalkan dengan ruang dan
waktu yang lebih luas di tingkat sekolah lanjutan tingkat pertama hingga
perguruan tinggi dan di sanggar-sanggar saja. Tidaklah suatu yang umum
drama diajarkan sebagai keterampilan khusus yang diajarkan pada siswa
sekolah dasar dalam muatan lokal maupun ekstra kulikuler. Karena hal inilah
guru menganggap biasa dan bukanlah prioritas utama untuk diajarkan secara
total dalam pembelajaran.
Jika kita kembali pada hakikat dan tujuan pendidikan seperti yang
ditentukan dalam kurikulum maupun oleh pakar pendidikan dengan teoriteori mereka, secara umum pembelajaran mestilah membangkitkan minat,
bakat, kreatifitas, serta penuh makna yang mampu membentuk karakter
peserta didik. Jika pembelajaran tentang bermain drama hanya seremonial
untuk sekedar menggugurkan kewajiban, seperti yang pernah peneliti
observasi dan melakukan wawancara dengan pihak pelaksana pembelajaran
Peningkatan Keterampilan Bermain..., Taufan Hidayat, FKIP UMP 2012
tentang bermain drama, maka hasil dari pembelajaran tidaklah mampu
mencapai tujuan yang diharapkan.
Pembelajaran yang mampu membangkitkan minat, bakat, kreatifitas,
serta penuh makna yang mampu membentuk karakter peserta didik semua
aspek ini bisa kita gali hanya dengan melakukan totalitas dengan bermain
drama. Minat siswa mampu terbangkit dengan memerankan tokoh dalam
drama, sebab drama menyajikan dunia imaginatif, inspiratif, serta ruang dan
waktu yang menyenangkan penuh tantangan kepada mereka, drama juga
memberikan dunia yang jauh dari membosankan seperti dunia yang mereka
jalani dalam kesehariannya. Kedua, bakat siswa mampu tergali sebab mereka
diberi kesempatan dan tanggung jawab untuk mengeksplor diri. Ketiga,
kreatifitas siswapun mampu terasah, sebab mereka mestilah mampu
menciptakan watak dan bahasa tubuh maupun lisan yang mereka ciptakan
sendiri hingga sejalan dengan tokoh yang mereka perankan. Terakhir yaitu
penuh makna dan miliki nilai pendidikan karakter, sebab semua drama dalam
karya sastra adalah cerita-cerita mengesankan yang berupa nilai, pesan,
nasehat, moral yang baik yang disajikan dengan luar biasa.
Berdasarkan argumen peneliti di atas, dapat digeneralisasikan bahwa
pembelajaran memerankan tokoh dalam drama memanglah sangat penting.
Disayangkan sekali jika pembelajaran memerankan tokoh dalam drama tidak
dilakukan secara total. Untuk itulah maka peneliti hendak melakukan upaya
untuk meningkatkan keterampilan bermain drama pada siswa sekolah dasar.
Peningkatan Keterampilan Bermain..., Taufan Hidayat, FKIP UMP 2012
Upaya peningkatan itu peneliti tempuh melalui model pembelajaran
kolaborasi dan scaffolding learning dengan menggunakan media video.
Menggunakan kolaborasi, sebab drama terdiri dari dua unsur yaitu
unsur sastra dan unsur teater (seni pementasan). Kedua unsur ini adalah
kesatuan yang padu, oleh sebab itu penting untuk mengenalkan drama pada
siswa dengan keutuhan dua unsur ini. Intonasi, lafal, gaya bahasa dan
sebagainya adalah bagian drama dari segi sastra, sedangkan ekspresi,
penghayatan, gesture, adalah bagian drama dari unsur teater (seni
pementasan). Pengenalan drama sebagi dua unsur yang padu ini dikenalkan
dengan media audio visual (video). Mengapa media video, sebab video
dikenal media paling tepat untuk memahamkan siswa secara konkret dan
langsung.
Menggunakan scaffolding learning sebab untuk mencapai tingkatan
siswa mampu mementaskan drama secara baik, dibutuhkan langkah dan
tahapan tertentu. Selama ini yang dikeluhkan pihak pendidik di sekolah dasar
mengapa pembelajaran drama tidaklah maksimal, karena terbatasnya waktu.
Berdasarkan hal ini salah satu tahapan dalam model scaffolding learning yang
peneliti solusikan adalah pembelajaran drama itu dijadikan salah satu
kegiatan ekstra kulikuler. Sebab dalam kegiatan yang secara khusus
membahas tentang drama, siswa akan lebih fokus dan total dalam belajar
tentang drama.
Dari rangkain proses untuk mencapai hasil siswa mampu memerankan
tokoh dalam drama dengan baik, yang peneliti tempuh melalui penerapan
Peningkatan Keterampilan Bermain..., Taufan Hidayat, FKIP UMP 2012
model kolaborasi dan scaffolding learning dengan menggunakan media
video, adalah sebuah harapan agar keterampilan siswa dalam bermain drama
bisa meningkat.
D. Hipotesis Tindakan
Berdasarkan kerangka berpikir di atas, maka dapat dikemukakan
hipotesis tindakan sebagai berikut: dengan menggunakan model kolaborasi
dan
scaffolding
learning
dengan
penggunaan
media
video
dalam
pembelajaran Bahasa Indonesia khususnya tentang memerankan tokoh dalam
drama dapat meningkatkan keterampilan bermain peran dengan lafal, intonasi
dan ekspresi yang tepat pada siswa Kelas V Sekolah Dasar Negeri 1
Dukuhwaluh.
Peningkatan Keterampilan Bermain..., Taufan Hidayat, FKIP UMP 2012
Download