385 BAB IX KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Dalam

advertisement
BAB IX
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Dalam bab ini akan dijelaskan beberapa kesimpulan, saran dan
rekomendasi, serta temuan baru (novelty). Kesimpulan penelitian meliputi
kesimpulan umum yang merupakan respon hasil penelitian terhadap tujuan
umum penelitian, dan kesimpulan khusus yang merupakan jawaban dari
pertanyaan-pertanyaan penelitian. Kesimpulan umum dan khusus tersebut
selanjutnya dielaborasi dalam rekomendasi penelitian. Sub bab temuan baru
akan menguraikan tentang temuan-temuan baru (novelty) dari hasil penelitian ini.
9.1.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis dalam penelitian ini dapat dijabarkan beberapa
kesimpulan umum penelitian sebagai berikut.
(1) Kota Yogyakarta telah melewati proses panjang perkembangan daerah
perkotaan dan kekotaan mulai dari kota kerajaan hingga menjadi kota
modern yang bercirikan post-industrial city. Proses perembetan daerah
KeKotaan Yogyakarta berlangsung stabil dalam intensitas rendah pada
periode hingga tahun 1985, mengalami peningkatan intensitas pada periode
1985-1990, meningkat sangat tajam pada periode 1990-1995 dan periode
1995-2000, dan sedikit mengalami pelandaian laju pada periode 2000-2005
dan periode 2005-2010. Tingginya intensitas perluasan lahan kekotaan pada
periode 1990-2000 terjadi terutama dipicu oleh pembangunan infrastruktur
transportasi (ringroad) yang diikuti oleh merebaknya beberapa kawasan
perdagangan di sepanjang jalur utama transportasi tersebut. Secara spasial
arah proses perembetan didominasi ke arah utara dan timur laut.
385 386 (2) Faktor-faktor yang berpengaruh kuat terhadap proses perembetan spasial
kota yang terjadi di daerah penelitian adalah faktor keberadaan pelayanan
publik sebagai faktor paling menonjol, faktor aksesibilitas, faktor karakteristik
pemilik lahan, dan karakteristik lahan. Tidak sebagaimana yang terjadi di
negara maju, faktor kebijakan rencana tata ruang dan inisiatif pengembang
perumahan
tidak
cukup
meyakinkan
sebagai determinan
fenomena
perembetan daerah kekotaan.
(3) Proses perembetan daerah kekotaan yang terjadi di daerah penelitian
menghasilkan dampak negatif terhadap lingkungan fisik, ekonomi, dan sosial
yang dapat nyata dirasakan oleh penduduk yang tinggal di daerah
berlangsungnya perembetan. Semakin tinggi intensitas perembetan tipe
lompat katak dan tipe linier berlangsung di suatu tempat, semakin signifikan
dampak negatif yang ditimbulkan terhadap lingkungan fisik, ekonomi, dan
sosial.
(4) Penelitian ini menghasilkan formulasi indeks spasial perembetan daerah
kekotaan dalam bentuk rumus matematika sederhana. Kelas dari indeks
spasial perembetan daerah kekotaan sebagai indikator tingkat pengendalian
perkembangan fisik kota, dan ambang batas toleransi perembetan daerah
kekotaan ditentukan secara simultan dari nilai ISPK dengan kepadatan
bangunan dan jarak jangkauan lahan terbangun kekotaan.
Disamping kesimpulan umum berisi poin-poin penting temuan dari hasil
analisis dalam penelitian ini, perlu kiranya diuraikan juga kesimpulan khusus
yang merupakan jawaban dari beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut.
(1) a. Kota Yogyakarta mengalami perembetan spasial daerah kekotaan dalam
lime tipe perembetan, yaitu tipe memadat (infill), tipe ekspansi, tipe
387 mengelompok (clustered branch), tipe linier, dan tipe lompat katak atau
terisolasi (isolated branch). Secara umum tipe perembetan daerah
kekotaan memadat dan linier lebih mendominasi proses perkembangan
fisik kekotaan ke arah luar, dengan intensitas merambat terbesar ke arah
timur laut.
b. Variasi tipe perembetan terjadi menurut variasi arah dan waktu. Arah
perembetan paling intensif dari waktu ke waktu terjadi ke arah timur laut
dengan pemicunya adalah tipe perembetan lompat katak, sedangkan arah
perembetan dengan intensitas terendah ke arah barat daya dengan
dominasi tipe perembetan mengelompok. Intensitas terbesar pertambahan
lahan terbangun kekotaan di semua arah perembetan berlangsung pada
periode 1990-1995 dan periode 1995-2000.
(2) a. Keberadaan pelayanan publik merupakan determinan paling menonjol
terhadap fenomena perembetan daerah kekotaan secara spasial yang
terjadi secara intensif, sedangkan perangkat peraturan tata ruang tidak
signifikan mendeterminasi
proses perembetan daerah kekotaan karena
kelemahan dalam implementasinya di lapangan.
b. Karakteristik lahan merupakan determinan cukup penting dalam tingkat
perembetan daerah kekotaan secara spasial, terutama dalam aspek
kemudahan mengakses air tanah untuk pemenuhan kebutuhan air bersih,
ketersediaan lahan yang luas, dan relatif rendahnya harga lahan sesuai
tingkat ekonomi pendatang.
c. Peran pemilik lahan cukup menentukan tingkat perembetan fisik daerah
kekotaan secara spasial, terutama para petani yang paling berperan
terhadap laju pertambahan lahan terbangun kekotaan. Daya tawar sektor
388 pertanian yang rendah menyebabkan petani merupakan aktor paling
menentukan dalam terjadinya konversi lahan agraris menjadi lahan
terbangun.
d. Aksesibilitas lokasi dalam menjangkau berbagai infrastruktur kekotaan
merupakan
determinan
penting
terhadap
fenomena
percepatan
perembetan daerah kekotaan secara spasial. Dominasi moda transportasi
pribadi, terutama sepeda motor, secara nyata telah mengakselerasi
peningkatan perembetan daerah kekotaan secara tidak terkendali.
e. Rendahnya proporsi perumahan yang dibangun oleh pengembang swasta
dan
pemerintah
(developers)
tidak
menyebabkan
begitu
peran
meyakinkan
pengembang
sebagai
perumahan
determinan
dalam
perembetan spasial kota.
f. Interaksi antara Kota Yogyakarta dengan kota-kota tetangga, baik kota
besar maupun kota-kota kecil dan menengah cukup mempengaruhi proses
menggejalanya perembetan spasial kota secara acak. Fenomena komuter
serta persepsi dan preferensi penduduk mengenai kenyamanan tinggal di
Kota Yogyakarta telah mengakselerasi maraknya transaksi jual beli tanah
di pinggiran kota.
(3) a. Perembetan spasial Kota Yogyakarta sangat berdampak negatif terhadap
menurunnya persentase luas lahan pertanian di daerah pemekaran.
Semakin besar dominasi tipe perembetan lompat katak dan linier, semakin
besar intensitas penurunan persentase luas lahan pertanian. Perembetan
lompat katak dan linier memicu para petani untuk mengambil untung
menjual lahan pertanian mereka dengan kurang mempertimbangkan
dampak sosial dan ekonomi rumah tangga mereka dalam jangka panjang.
389 b. Dominasi tipe perembetan daerah kekotaan lompat katak dan linier memicu
peningkatan jumlah kendaraan bermotor yang memberikan dampak negatif
berupa peningkatan polusi udara dan suara, meningkatnya kemacetan di
jalur-jalur utama menuju pusat kota, serta meningkatnya tekanan psikologis
dan kejadian kecelakaan lalu lintas. Perembetan tipe lompat katak dan
linier menyebabkan semakin menjauhnya jarak tempat tinggal dengan
tempat kerja dan memicu peningkatan kepemilikan kendaraan pribadi
untuk mengatasi kendala jarak tersebut.
c. Perembetan daerah kekotaan secara spasial secara tidak terkendali yang
disebabkan oleh maraknya tipe perembetan lompat katak sangat
berpengaruh terhadap melambungnya harga lahan di pinggiran kota,
berdampak negatif pada keinginan petani untuk melepas lahan pertanian
kepada para pendatang untuk dikonversi menjadi lahan terbangun
kekotaan.
d. Perembetan spasial kota yang terjadi dalam ekskalasi besar berdampak
negatif terhadap disparitas status ekonomi, terutama kesenjangan
pendapatan antara penduduk asli dengan para pendatang. Pada umumnya
para pendatang di daerah perembetan daerah kekotaan berstatus ekonomi
menengah ke atas, sedangkan penduduk asli berstatus ekonomi
menengah ke bawah yang mengalami marginalisasi aset ekonomi karena
sumber mata pencaharian mereka (lahan pertanian) terkonversi menjadi
lahan kekotaan.
e. Disparitas status ekonomi penduduk asli dan pendatang sebagai akibat
dari perembetan spasial kota yang jauh menjangkau lahan kedesaan di
pinggiran kota memberikan dampak terhadap karakteristik sosial budaya di
390 daerah perembetan, terutama dalam konteks segregasi sosial antara
pribumi dengan pendatang. Kesenjangan sosial terjadi sebagai akibat
perbedaan kultural antara penduduk pendatang yang berciri gaya hidup
modern dengan penduduk asli yang masih berciri gaya hidup agraris.
(4).
Berdasarkan analisis faktor dan dampak dapat diformulasikan indeks
spasial perembetan daerah kekotaan yang dapat dijadikan sebagai tolok
ukur apakah fenomena perembetan daerah kekotaan terjadi secara
terkendali atau tidak. Berdasarkan hasil perhitungan angka indeks spasial
perembetan daerah kekotaan, perembetan spasial daerah kekotaan
Yogyakarta termasuk ke dalam kelas sedang. Perlu upaya serius untuk
menurunkan angka indeks tersebut agar tidak mencapai kelas tinggi
melalui pengendalian pemanfaatan ruang di daerah pinggiran Kota
Yogyakarta.
Secara umum tujuan maupun pertanyaan-pertanyaan penelitian ini telah
terjawab. Mulai dari proses perembetan daerah kekotaan, faktor-faktor yang
berpengaruh, dampak yang ditimbulkan, sampai dengan formulasi indeks.
9.2.
Rekomendasi
9.2.1. Rekomendasi Penelitian
Berdasarkan penelitian ini dapat dirumuskan beberapa rekomendasi
terkait dengan penelitian lebih lanjut, yaitu:
1)
Penelitian ini menggunakan citra satelit Landsat multiwaktu. Terdapat
kelemahan
dalam
penelitian
ini
yaitu
peneliti
menggunakan
teknik
391 pengolahan digital dengan mendasarkan pada nilai digital citra Landsat.
Meskipun citra Landsat yang digunakan telah melalui proses koreksi
radiometrik, tetapi satu obyek yang terekam oleh citra pada waktu
perekaman berbeda menghasilkan nilai digital yang berbeda. Semestinya
perlu dilakukan
transformasi nilai digital menjadi nilai reflektan sensor.
Dalam penelitian ini, peneliti belum melakukan proses transformasi ini
karena keterbatasan pemahaman yang dimiliki. Berdasarkan pengalaman
tersebut,
peneliti
menggunakan
menyarankan
teknik
pengolahan
untuk
citra
penelitian
satelit
sejenis
Landsat,
dengan
sebaiknya
menggunakan nilai reflectant of censor (RC) atau reflectant at surface (RS),
bukan digital number (DN) dari data satelit. Penggunaan DN menyebabkan
terjadinya inkonsistensi nilai spektral obyek pada perekaman yang berbeda.
2)
Kondisi geografis setiap kota sangat beragam, dan sebagai konsekuensinya
faktor-faktor yang bekerja pada setiap kota pun juga sangat variatif. Formula
ISPK pada penelitian ini masih sangat sederhana karena baru melibatkan
tiga faktor saja. Ketiga faktor tersebut memang sesuai dengan fakta di Kota
Yogyakarta, tetapi apabila formula tersebut diaplikasikan pada kota-kota lain
di Indonesia yang memiliki karakteristik geografis yang berbeda, terdapat
kemungkinan kurang aplikatif. Untuk penelitian sejenis di kota-kota lain di
Indonesia perlu dipertimbangkan penambahan faktor-faktor lain.
3)
Formula indeks spasial perembetan daerah kekotaan yang dihasilkan dari
penelitian ini belum divalidasi dengan mengaplikasikannya pada kota-kota
lain. Masih banyak peluang bagi penelitian lain untuk mengaplikasikan
formula ini di kota-kota lain sebagai upaya validasi model, maupun
mengembangkan formula ini menjadi lebih baik.
392 9.2.2. Rekomendasi Kebijakan
Perkembangan
wilayah
kekotaan
Yogyakarta
sangat
cepat
dan
merambah ke wilayah Kabupaten Bantul di Selatan dan Sleman di Utara. Luas
Kota Yogyakarta yang hanya 32,5 Km2 merupakan wilayah tersempit karena
setara 1,02% dari luas wilayah DIY. Batas wilayah menjadi nisbi karena sulit
untuk dibedakan apabila tidak mengetahui secara tepat tanda batas kota yang
memisahkan
secara
administratif.
Pembangunan
perumahan
dan
infrastrukturnya, termasuk jalan dan fasilitas publik banyak melampaui batas
wilayah administratif.
Berdasarkan hasil penelitian ini diperoleh fakta bahwa keberadaan
pelayanan publik merupakan determinan paling menonjol terhadap tingginya
intensitas perembetan spasial kota. Keberadaan pelayanan publik dalam bentuk
fasilitas maupun utilitas umum menjadi daya tarik sangat kuat bagi penduduk
pendatang, developer dan investor untuk memanfaatkan lahan di sekitar fasilitas
dan utilitas umum tersebut untuk kepentingan mereka. Pemerintah perlu memiliki
mekanisme yang akurat untuk menyeleksi keberadaan pelayanan publik untuk
mengontrol pertambahan lahan terbangun.
Utilitas umum dalam bentuk jaringan listrik, air minum, maupun
telekomunikasi sering dihadapkan pada masalah akibat perbedaan wilayah dan
pola pengembangan. Ketiga jenis pelayanan tersebut memiliki lokasi pelayanan
yang tersebar dan pengelolaannya berbeda-beda tapi sumber daya yang dimiliki
dan besarnya pasokan terbatas. Pengelolaan persebaran spasial utilitas umum
tersebut, termasuk juga fasilitas umum, perlu dilakukan secara bijaksana
sehingga disparitas akses pelayanan publik antar ruang kota tidak terjadi.
393 Sektor pelayanan publik yang juga sering menghadapi kesulitan dalam
pengembangan adalah sektor pertanahan. Otonomi dari tiap-tiap daerah
membuat koordinasi untuk pengelolaan lahan sulit dilakukan. Terlebih lagi
disparitas harga tanah yang cenderung tinggi pada daerah yang berbeda
membuat banyak kebijakan pertanahan sulit berjalan. Perlu dibuat kebijakan
yang lebih jelas mengenai pengendalian pertanahan sebagaimana yang telah
dirintis oleh Kabupaten Sleman melalui lembaga Dinas Pengendalian Pertanahan
Daerah (DPPD). Koordinasi antara kota dengan kabupaten tetangga perlu lebih
diintensifkan.
Instrumen pajak juga bisa dilakukan untuk memperketat aturan tentang
pemanfaatan tanah. Perubahan dari tanah pertanian menjadi pekarangan
membutuhkan waktu lebih lama dan prosesnya pun dikenai pajak relatif tinggi.
Pembelian lahan dengan nilai dengan nilai jual tinggi dikenai pajak lebih tinggi.
Badan Pertanahan Nasional (BPN) harus mempertegas penegakan aturan
tentang Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) dengan melarang pembangunan rumah
sebelum IMB keluar dengan sanksi yang tegas. Perlu juga dilakukan terobosan
dalam mengendalikan tingginya daya beli masyarakat dari luar DIY, khususnya
luar Jawa
untuk membeli tanah di Kota Yogyakarta dan sekitarnya.
Pengembang-pengembang perumahan harus memiliki integritas moral untuk
tidak cenderung membidik pasar pada masyarakat yang memiliki daya beli kuat
di luar DIY.
Penelitian ini juga mendapati fakta bahwa aksesibilitas lokasi dalam
menjangkau berbagai infrastruktur kekotaan merupakan determinan penting
terhadap percepatan intensitas perembetan spasial kota. Kemudahan akses
lokasi tersebut terutama dipicu oleh dominasi moda transportasi pribadi, terutama
394 sepeda motor, sehingga mengakselerasi tidak terkendalinya perembetan daerah
kekotaan.
Tingginya angka pertumbuhan kendaraan bermotor dan perubahan status
lahan untuk permukimam harus dikendalikan. Namun pengendalian yang
dilakukan bukan dengan menghentikannya karena pertumbuhan di dua sektor
tersebut menjadi bagian dari indikator pertumbuhan ekonomi masyarakat. Pajak
dan implementasi rencana tata ruang secara konsisten adalah instrumen yang
bisa dipilih untuk mengendalikan laju pertumbuhan kedua sektor tersebut.
Instrumen pajak tidak menghentikan tapi mengalihkan kemampuan daya beli
masyarakat untuk dibelanjakan dalam sektor lain.
Laju pertumbuhan kendaraan bermotor harus dikendalikan misalnya
dengan menggunakan pajak progresif terhadap pemilikan kendaraan dengan
jumlah tertentu, memperketat mekanisme kredit pembelian kendaraan, dan
pembatasan usia pakai kendaraan bermotor. Hal ini akan berimplikasi pada
pengendalian kepemilikan kendaraan. Pajak progresif akan mengurangi laju
pertumbuhan sekaligus efisiensi dalam pemanfaatan bahan bakar. Ketentuan
tentang jumlah penumpang kendaraan roda empat dan penerapan biaya parkir
yang tinggi perlu juga diterapkan pada wilayah-wilayah tertentu. Pemerintah perlu
menginisiasi secara serius penetapan dan realisasi kawasan pedestrian serta
pemakaian kendaraan tidak bermotor.
Model zoning yang diterapkan oleh Pemerintah Kota menjadi kurang
berhasil pada daerah-daerah perbatasan. Hal ini disebabkan oleh perbedaan
arah pengembangan yang dimiliki oleh daerah yang berbatasan langsung.
Program peningkatan kualitas akses jalan menuju perkotaan tidak selaras
dengan banyaknya jumlah perumahan di perbatasan dan volume trayek
395 kendaraan umum. Jalan yang seharusnya untuk mempercepat waktu tempuh
sehingga menjadi efisien dan sedikit mengeluarkan ongkos justru cepat rusak
dan macet karena laju pertumbuhan jalan tidak sebanding dengan laju
pertumbuhan kendaraan dan kapasitas jalan terhadap beban kendaraan.
Koordinasi
lintas sektoral, wilayah, dan pelaku diperlukan dalam
penegakan aturan. Sektor-sektor seperti pertanahan, transportasi dan jalan, air
minum, energi, maupun telekomunikasi sangat strategis dalam pengembangan
wilayah. Peran Kantor BPN, Dinas Pekerjaan Umum (PU), PLN dan PAM di
lingkungan Pemerintah Kota Yogyakarta, Pemerintah Kabupaten Sleman dan
Bantul perlu mengkoordinasikan wilayah-wilayah yang dijadikan sasaran bagi
pertumbuhan
pemukiman
sehingga
peraturan
pertanahan,
akses
jalan,
penerangan, dan air minum tidak menghadapi kendala dan calon pemukim
menjadi selektif dan terkendali. Calon pemukim maupun pengembang sebagai
pelaku hendaknya memahami peruntukan tanah dimana akan membangun
properti karena ketidaktahuan atau pelanggaran terhadap peruntukan lahan akan
mengganggu Rencana Umum Tata Ruang (RUTR).
Kurang berhasilnya kebijakan pembangunan perkotaan yang selama ini
dijalankan lebih banyak disebabkan oleh lemahnya penegakan disiplin aparatur
pelaksana di lapangan. Street level bureaucrat memang menghadapi masalah
yang sangat beragam dan berbeda dengan pejabat di birokrasi. Program aksi
harus diawali dengan memperkuat komitmen aparatur di tingkat birokrasi terlebih
dahulu baru kemudian penegakan disiplin terhadap aturan. Aparatur yang
berkomitmen tinggi dan disiplin terhadap aturan akan memudahkan jalan bagi
berbagai program untuk memperbaiki pembangunan di wilayah perkotaan.
396 Penerapan mekanisme bagi hasil antar daerah harus dilakukan sehingga
sumber daya seperti air, telekomunikasi, dan energi menjadi lebih bermanfaat
secara
merata.
Penyesuaian
tarif
dan
retribusi
sangat
penting
untuk
dikoodinasikan, karena disparitas dapat mengakibatkan kecemburuan dalam
masyarakat. Penerapan pajak yang cukup tinggi bagi pengalihan status lahan
harus menjadi terobosan penting dalam rangka mengendalikan laju konversi
lahan pertanian subur. Kawasan lindung harus dijaga sehingga tetap tidak
tersentuh oleh modernisasi pembangunan.
Pengembang perumahan sebaiknya diberi insentif pengurangan pajak
pada daerah-daerah yang menjadi lokasi rencana pembangunan perkotaan dan
ditingkatkan pajaknya pada daerah yang tidak menjadi rencana pengembangan
perumahan. Pendisiplinan pengurusan Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) sangat
penting mengingat kecenderungan tingginya masyarakat untuk membangun
rumah sendiri sehingga sulit dikontrol. Pembangunan model perumahan alternatif
seperti rumah susun perlu disosialisasikan lebih intensif kepada masyarakat di
perkotaan.
Perkembangan ke arah timur laut dan tenggara perlu dipantau secara
intensif untuk mengendalikan laju kemerosotan lahan pertanian sebagai
pengampu ketahanan pangan dan daya dukung lingkungan. Daerah pinggiran
kota Yogyakarta pada arah perkembangan utara, timur dan tenggara yang
didominasi lahan pertanian harus segera dikendalikan pertumbuhan lahan
terbangun kekotaannya. Pemerintah Kota Yogyakarta perlu meninjau ulang
perumusan kebijakan keruangan lokal dengan cara sinkronisasi dengan
kebijakan
keruangan
regional
dan
nasional.
Proteksi
terhadap
daerah
persawahan produktif di bagian pinggiran kota ke arah selatan, barat daya, barat,
397 dan barat laut yang memiliki sistem jaringan irigasi baik perlu menjadi prioritas.
Luas terbuka dan pertanian di Kota Yogyakarta hanya 0,48% dari luas total
wilayah, sehingga Kota Yogyakarta beresiko menghadapi krisis terhadap daya
dukung lingkungan apabila Rencana Umum Tata Ruang tidak mengakomodasi
pertumbuhan perkotaan yang sangat cepat.
Rekomendasi penting dalam aspek kebijakan dapat dirangkum dalam dua
hal, yaitu (1) Pola insentif dan dis-insentif dalam implementasi kesesuaian
pemanfaatan lahan dengan rencana tata ruang maupun penggunaan moda
transportasi puiblik; dan (2) Penciptaan transportasi masal yang efisien sehingga
menekan pemborosan energi dan mengendalikan perembetan spasial kota agar
tidak semakin jauh masuk ke daerah perdesaan.
9.3.
Temuan Baru (Novelty)
Penelitian ini menghasilkan beberapa temuan penting, baik dalam bentuk
fakta lapangan maupun terkait dengan metode yang digunakan. Pada bagian
akhir dari bab ini akan diuraikan tentang temuan-temuan yang belum pernah
diungkapkan oleh peneliti lain yang ditemukan dalam penelitian ini. Uraian
tentang temuan baru
(novelty)
ini diharapkan dapat menjadi acuan dalam
aplikasi praktis dari hasil penelitian ini maupun sebagai referensi bagi peneliti lain
yang tertarik untuk mengelaborasi lebih lanjut dalam penelitian perembetan
daerah kekotaan, khususnya di Indonesia, maupun di negara-negara lain.
Pembahasan tentang temuan baru hasil penelitian ini diawali dengan
temuan dalam metode yang digunakan dalam penelitian, terutama menyangkut
pemanfaatan data multi temporal citra satelit Landsat. Sebagaimana telah
diuraikan pada Bab III, bahwa salah satu sumber data dalam penelitian ini adalah
398 citra Landsat multi waktu. Terkait dengan penggunaan data Landsat multi waktu
tersebut terdapat permasalahan penting terkait dengan variasi resolusi spektral
pada beberapa waktu perekaman data.
Berdasarkan pengalaman empirik pada penelitian ini diperoleh fakta
bahwa penggunaan beberapa teknik pengolahan citra secara digital dapat
memberikan kepastian tentang konsistensi validitas data yang dihasilkan dari
berbagai resolusi spektral yang berbeda-beda. Aplikasi model V-I-S untuk
membantu kemudahan dan kecepatan dalam identifikasi obyek lahan terbangun
kekotaan memiliki keandalan dalam menghasilkan tingkat ketelitian cukup. Angka
ketelitian hasil interpretasi sebesar 86% pada citra TM dan ETM mengindikasikan
bahwa aplikasi kedua teknik interpretasi digital tersebut menghasilkan kualitas
data yang cukup baik dan konsisten.
Pembahasan kedua terkait temuan baru berdasarkan hasil penelitian ini
adalah temuan mengenai model perkembangan lahan terbangun kekotaan di
kota-kota di Indonesia dengan mangacu dari fakta yang terjadi di Daerah
Kekotaan Yogyakarta. Tentu saja model berupa diagram tersebut tidak dapat
digunakan di seluruh kota di Indonesia karena alasan latar belakang sosial
ekonomi dan kondisi fisik yang beragam di masing-masing kota, tetapi pola
perkembangannya kurang lebih dapat dijelaskan dengan menggunakan model
tersebut.
Model
tersebut
paling
aplikatif
digunakan
untuk
menjelaskan
perkembangan kota-kota menengah dan besar di Indonesia, walaupun tidak
menutup kemungkinan untuk kota-kota metropolitan dan megapolitan pun bisa
didekati dengan model tersebut. Berdasarkan fakta yang terjadi di Kota
Yogyakarta, penulis mengajukan gagasan tentang model pertumbuhan lahan
terbangun di kota-kota di Indonesia (Gambar 9.1).
399 Gambar 9.1. Kurva Model Pertumbuhan Lahan Terbangun Kota-kota di
Indonesia
Di dalam model tersebut terdapat 4 Fase, yaitu fase pra-industrialisasi,
fase industrialisasi, fase paska-industrialisasi, dan fase lanjut. Fase praindustrialisasi merupakan fase dimana suatu kota masih dalam tahap sebagai
pusat pasar dari komoditas pertanian daerah hinterland-nya. Pada fase ini
ditandai dengan kepadatan penduduk di dalam kota jauh lebih tinggi daripada
daerah pinggiran kota, proporsi lahan terbangun kekotaan di pusat kota lebih
tinggi daripada pinggiran kota, dan laju pertumbuhan lahan kekotaan total relatif
kecil (garis kurva landai).
Pada fase pra-industrialisasi ini, belum banyak dijumpai aktivitas
penduduk dalam sektor industri manufaktur maupun industri jasa. Kota masih
lebih banyak digunakan sebagai pusat pengumpulan berbagai komoditas
pertanian
yang
berasal
dari
daerah
hinterland-nya,
untuk
selanjutnya
400 ditransportasikan ke kota yang lebih besar atau dipertukarkan (trade-off) dengan
komoditas lain ke kota-kota lain yang saling membutuhkan (complementarity).
Pusat kota juga berperan sebagai simpul distribusi komoditas dari daerah lain,
barang-barang teknologi pertanian, maupun modal bagi daerah hinterland.
Proses perluasan lahan terbangun kekotaan lebih didominasi tipe memadat
(infilling) dan ekspansif.
Fase industrialisasi ditandai dengan semakin besarnya peran sektor
industri manufaktur (baik industri kecil, menengah, maupun besar) dan atau
sektor jasa dalam aktivitas perekonomian di dalam kota, walaupun kepadatan
penduduk daerah perkotaan masih lebih tinggi tetapi kesenjangannya dengan
pinggiran kota mulai mengecil, proporsi luas lahan terbangun di pinggiran kota
mulai seimbang dengan di daerah perkotaannya. Kota yang tadinya hanya
sebagai pusat pasar mulai berubah menjadi pusat kegiatan pengolahan dari
komoditas pertanian dan pertambangan menjadi barang jadi bernilai jual lebih
tinggi (value added) untuk selanjutnya dipasarkan ke kota-kota lain atau dijual
kembali ke daerah hinterland-nya.
Fase paska-industrialisasi adalah fase yang ditandai dengan menurunnya
peran sektor industri terhadap ekonomi nasional maupun lokal dan regional.
Peran sektor industri mulai diambil alih oleh sektor tersier dan kuarter (jasa dan
teknologi) yang tidak banyak membutuhkan bangunan fisik sebagaimana sektor
industri manufaktur. Sebagai dampaknya adalah menurunnya perkembangan
lahan terbangun kekotaan. Fase lanjut adalah fase dimana sektor tersier dan
kuarter menjadi dominan dalam perekonomian lokal, regional, dan nasional,
sehingga kota-kota menengah dan besar mengalami perkembangan fisik
kekotaan yang relatif kecil.
401 Gagasan lain adalah terkait dengan kenyataan bahwa sebagian besar
kota-kota di negara sedang berkembang termasuk Indonesia cenerung gagal
dalam proses industrialisasi. Kegagalan tersebut ternyata berimplikasi terhadap
bergesernya kurva nilai lahan sebagaimana teori distance decay (Gambar 5.2).
Gambar 9.2. Kurva Model Nilai Lahan Kota-kota di Indonesia
Sesuai konsep distance decay bahwa nilai lahan, yang lazimnya juga diikuti oleh
harga lahan, akan menurun sejalan dengan jarak dari pusat kota. Dalam
beberapa penelitian terkait dengan harga lahan memang terjadi anomali
terhadap garis kurva (sebagaimana ditunjukkan oleh garis putus-putus dalam
Gambar 9.2) disebabkan keberadaan persimpangan jalan utama dalam wujud
puncak-puncak kurva kecil (mini peak).
Hasil observasi terhadap preferensi responden terhadap lahan hunian
ternyata sedikit berbeda dengan konsep-konsep tersebut. Deindustrialisasi telah
402 menyebabkan preferensi penduduk terhadap daerah pinggiran kota lebih tinggi
daripada daerah selaput inti kota. Kondisi tersebut menyebabkan nilai lahan di
pinggiran kota sedikit meningkat dan menjadikan kurva nilai lahan menjadi
seperti pada Gambar 9.2 tersebut yang ditunjukkan oleh garis tidak putus-putus.
Gagasan baru lain tentu saja terkait dengan formulasi indeks spasial
perembetan daerah kekotaan. Untuk menandaskan pemahaman mengenai
indeks tersebut, berikut ini dicantumkan lagi formula matematis dari indeks
tersebut.
[(%LTK) / KBT] + %(LF + Lin) + %TSTR + ... + Vn
ISPK =
____________________________________________________________
3
Dimana:
ISPK
= Indeks Spasial Perembetan Daerah Kekotaan
%LTK
= Persentase Lahan Terbangun Kekotaan
KBT
= Kepadatan Bangunan Total
%(LF + LN)
= Persentase Perkembangan Leapfrog ditambah Perkembangan
Linier
%TSTR
= Persentase Luas Lahan Terbangun yang Tidak Sesuai Tata
Ruang
Vn
= Faktor atau Variabel lain yang berpengaruh (Faktor yang tidak
berpengaruh signifikan pada kasus di Daerah kekotaan
Yogyakarta, tetapi mungkin berpengaruh signifikan di Kota-kota
lain)
Validasi dari gagasan tersebut perlu dilakukan dalam penelitian lebih lanjut untuk
memastikan bahwa model tersebut bisa diaplikasikan pada kota-kota menengah
dan besar di Indonesia.
Download