BAB IX KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Dalam bab ini akan dijelaskan beberapa kesimpulan, saran dan rekomendasi, serta temuan baru (novelty). Kesimpulan penelitian meliputi kesimpulan umum yang merupakan respon hasil penelitian terhadap tujuan umum penelitian, dan kesimpulan khusus yang merupakan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan penelitian. Kesimpulan umum dan khusus tersebut selanjutnya dielaborasi dalam rekomendasi penelitian. Sub bab temuan baru akan menguraikan tentang temuan-temuan baru (novelty) dari hasil penelitian ini. 9.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis dalam penelitian ini dapat dijabarkan beberapa kesimpulan umum penelitian sebagai berikut. (1) Kota Yogyakarta telah melewati proses panjang perkembangan daerah perkotaan dan kekotaan mulai dari kota kerajaan hingga menjadi kota modern yang bercirikan post-industrial city. Proses perembetan daerah KeKotaan Yogyakarta berlangsung stabil dalam intensitas rendah pada periode hingga tahun 1985, mengalami peningkatan intensitas pada periode 1985-1990, meningkat sangat tajam pada periode 1990-1995 dan periode 1995-2000, dan sedikit mengalami pelandaian laju pada periode 2000-2005 dan periode 2005-2010. Tingginya intensitas perluasan lahan kekotaan pada periode 1990-2000 terjadi terutama dipicu oleh pembangunan infrastruktur transportasi (ringroad) yang diikuti oleh merebaknya beberapa kawasan perdagangan di sepanjang jalur utama transportasi tersebut. Secara spasial arah proses perembetan didominasi ke arah utara dan timur laut. 385 386 (2) Faktor-faktor yang berpengaruh kuat terhadap proses perembetan spasial kota yang terjadi di daerah penelitian adalah faktor keberadaan pelayanan publik sebagai faktor paling menonjol, faktor aksesibilitas, faktor karakteristik pemilik lahan, dan karakteristik lahan. Tidak sebagaimana yang terjadi di negara maju, faktor kebijakan rencana tata ruang dan inisiatif pengembang perumahan tidak cukup meyakinkan sebagai determinan fenomena perembetan daerah kekotaan. (3) Proses perembetan daerah kekotaan yang terjadi di daerah penelitian menghasilkan dampak negatif terhadap lingkungan fisik, ekonomi, dan sosial yang dapat nyata dirasakan oleh penduduk yang tinggal di daerah berlangsungnya perembetan. Semakin tinggi intensitas perembetan tipe lompat katak dan tipe linier berlangsung di suatu tempat, semakin signifikan dampak negatif yang ditimbulkan terhadap lingkungan fisik, ekonomi, dan sosial. (4) Penelitian ini menghasilkan formulasi indeks spasial perembetan daerah kekotaan dalam bentuk rumus matematika sederhana. Kelas dari indeks spasial perembetan daerah kekotaan sebagai indikator tingkat pengendalian perkembangan fisik kota, dan ambang batas toleransi perembetan daerah kekotaan ditentukan secara simultan dari nilai ISPK dengan kepadatan bangunan dan jarak jangkauan lahan terbangun kekotaan. Disamping kesimpulan umum berisi poin-poin penting temuan dari hasil analisis dalam penelitian ini, perlu kiranya diuraikan juga kesimpulan khusus yang merupakan jawaban dari beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut. (1) a. Kota Yogyakarta mengalami perembetan spasial daerah kekotaan dalam lime tipe perembetan, yaitu tipe memadat (infill), tipe ekspansi, tipe 387 mengelompok (clustered branch), tipe linier, dan tipe lompat katak atau terisolasi (isolated branch). Secara umum tipe perembetan daerah kekotaan memadat dan linier lebih mendominasi proses perkembangan fisik kekotaan ke arah luar, dengan intensitas merambat terbesar ke arah timur laut. b. Variasi tipe perembetan terjadi menurut variasi arah dan waktu. Arah perembetan paling intensif dari waktu ke waktu terjadi ke arah timur laut dengan pemicunya adalah tipe perembetan lompat katak, sedangkan arah perembetan dengan intensitas terendah ke arah barat daya dengan dominasi tipe perembetan mengelompok. Intensitas terbesar pertambahan lahan terbangun kekotaan di semua arah perembetan berlangsung pada periode 1990-1995 dan periode 1995-2000. (2) a. Keberadaan pelayanan publik merupakan determinan paling menonjol terhadap fenomena perembetan daerah kekotaan secara spasial yang terjadi secara intensif, sedangkan perangkat peraturan tata ruang tidak signifikan mendeterminasi proses perembetan daerah kekotaan karena kelemahan dalam implementasinya di lapangan. b. Karakteristik lahan merupakan determinan cukup penting dalam tingkat perembetan daerah kekotaan secara spasial, terutama dalam aspek kemudahan mengakses air tanah untuk pemenuhan kebutuhan air bersih, ketersediaan lahan yang luas, dan relatif rendahnya harga lahan sesuai tingkat ekonomi pendatang. c. Peran pemilik lahan cukup menentukan tingkat perembetan fisik daerah kekotaan secara spasial, terutama para petani yang paling berperan terhadap laju pertambahan lahan terbangun kekotaan. Daya tawar sektor 388 pertanian yang rendah menyebabkan petani merupakan aktor paling menentukan dalam terjadinya konversi lahan agraris menjadi lahan terbangun. d. Aksesibilitas lokasi dalam menjangkau berbagai infrastruktur kekotaan merupakan determinan penting terhadap fenomena percepatan perembetan daerah kekotaan secara spasial. Dominasi moda transportasi pribadi, terutama sepeda motor, secara nyata telah mengakselerasi peningkatan perembetan daerah kekotaan secara tidak terkendali. e. Rendahnya proporsi perumahan yang dibangun oleh pengembang swasta dan pemerintah (developers) tidak menyebabkan begitu peran meyakinkan pengembang sebagai perumahan determinan dalam perembetan spasial kota. f. Interaksi antara Kota Yogyakarta dengan kota-kota tetangga, baik kota besar maupun kota-kota kecil dan menengah cukup mempengaruhi proses menggejalanya perembetan spasial kota secara acak. Fenomena komuter serta persepsi dan preferensi penduduk mengenai kenyamanan tinggal di Kota Yogyakarta telah mengakselerasi maraknya transaksi jual beli tanah di pinggiran kota. (3) a. Perembetan spasial Kota Yogyakarta sangat berdampak negatif terhadap menurunnya persentase luas lahan pertanian di daerah pemekaran. Semakin besar dominasi tipe perembetan lompat katak dan linier, semakin besar intensitas penurunan persentase luas lahan pertanian. Perembetan lompat katak dan linier memicu para petani untuk mengambil untung menjual lahan pertanian mereka dengan kurang mempertimbangkan dampak sosial dan ekonomi rumah tangga mereka dalam jangka panjang. 389 b. Dominasi tipe perembetan daerah kekotaan lompat katak dan linier memicu peningkatan jumlah kendaraan bermotor yang memberikan dampak negatif berupa peningkatan polusi udara dan suara, meningkatnya kemacetan di jalur-jalur utama menuju pusat kota, serta meningkatnya tekanan psikologis dan kejadian kecelakaan lalu lintas. Perembetan tipe lompat katak dan linier menyebabkan semakin menjauhnya jarak tempat tinggal dengan tempat kerja dan memicu peningkatan kepemilikan kendaraan pribadi untuk mengatasi kendala jarak tersebut. c. Perembetan daerah kekotaan secara spasial secara tidak terkendali yang disebabkan oleh maraknya tipe perembetan lompat katak sangat berpengaruh terhadap melambungnya harga lahan di pinggiran kota, berdampak negatif pada keinginan petani untuk melepas lahan pertanian kepada para pendatang untuk dikonversi menjadi lahan terbangun kekotaan. d. Perembetan spasial kota yang terjadi dalam ekskalasi besar berdampak negatif terhadap disparitas status ekonomi, terutama kesenjangan pendapatan antara penduduk asli dengan para pendatang. Pada umumnya para pendatang di daerah perembetan daerah kekotaan berstatus ekonomi menengah ke atas, sedangkan penduduk asli berstatus ekonomi menengah ke bawah yang mengalami marginalisasi aset ekonomi karena sumber mata pencaharian mereka (lahan pertanian) terkonversi menjadi lahan kekotaan. e. Disparitas status ekonomi penduduk asli dan pendatang sebagai akibat dari perembetan spasial kota yang jauh menjangkau lahan kedesaan di pinggiran kota memberikan dampak terhadap karakteristik sosial budaya di 390 daerah perembetan, terutama dalam konteks segregasi sosial antara pribumi dengan pendatang. Kesenjangan sosial terjadi sebagai akibat perbedaan kultural antara penduduk pendatang yang berciri gaya hidup modern dengan penduduk asli yang masih berciri gaya hidup agraris. (4). Berdasarkan analisis faktor dan dampak dapat diformulasikan indeks spasial perembetan daerah kekotaan yang dapat dijadikan sebagai tolok ukur apakah fenomena perembetan daerah kekotaan terjadi secara terkendali atau tidak. Berdasarkan hasil perhitungan angka indeks spasial perembetan daerah kekotaan, perembetan spasial daerah kekotaan Yogyakarta termasuk ke dalam kelas sedang. Perlu upaya serius untuk menurunkan angka indeks tersebut agar tidak mencapai kelas tinggi melalui pengendalian pemanfaatan ruang di daerah pinggiran Kota Yogyakarta. Secara umum tujuan maupun pertanyaan-pertanyaan penelitian ini telah terjawab. Mulai dari proses perembetan daerah kekotaan, faktor-faktor yang berpengaruh, dampak yang ditimbulkan, sampai dengan formulasi indeks. 9.2. Rekomendasi 9.2.1. Rekomendasi Penelitian Berdasarkan penelitian ini dapat dirumuskan beberapa rekomendasi terkait dengan penelitian lebih lanjut, yaitu: 1) Penelitian ini menggunakan citra satelit Landsat multiwaktu. Terdapat kelemahan dalam penelitian ini yaitu peneliti menggunakan teknik 391 pengolahan digital dengan mendasarkan pada nilai digital citra Landsat. Meskipun citra Landsat yang digunakan telah melalui proses koreksi radiometrik, tetapi satu obyek yang terekam oleh citra pada waktu perekaman berbeda menghasilkan nilai digital yang berbeda. Semestinya perlu dilakukan transformasi nilai digital menjadi nilai reflektan sensor. Dalam penelitian ini, peneliti belum melakukan proses transformasi ini karena keterbatasan pemahaman yang dimiliki. Berdasarkan pengalaman tersebut, peneliti menggunakan menyarankan teknik pengolahan untuk citra penelitian satelit sejenis Landsat, dengan sebaiknya menggunakan nilai reflectant of censor (RC) atau reflectant at surface (RS), bukan digital number (DN) dari data satelit. Penggunaan DN menyebabkan terjadinya inkonsistensi nilai spektral obyek pada perekaman yang berbeda. 2) Kondisi geografis setiap kota sangat beragam, dan sebagai konsekuensinya faktor-faktor yang bekerja pada setiap kota pun juga sangat variatif. Formula ISPK pada penelitian ini masih sangat sederhana karena baru melibatkan tiga faktor saja. Ketiga faktor tersebut memang sesuai dengan fakta di Kota Yogyakarta, tetapi apabila formula tersebut diaplikasikan pada kota-kota lain di Indonesia yang memiliki karakteristik geografis yang berbeda, terdapat kemungkinan kurang aplikatif. Untuk penelitian sejenis di kota-kota lain di Indonesia perlu dipertimbangkan penambahan faktor-faktor lain. 3) Formula indeks spasial perembetan daerah kekotaan yang dihasilkan dari penelitian ini belum divalidasi dengan mengaplikasikannya pada kota-kota lain. Masih banyak peluang bagi penelitian lain untuk mengaplikasikan formula ini di kota-kota lain sebagai upaya validasi model, maupun mengembangkan formula ini menjadi lebih baik. 392 9.2.2. Rekomendasi Kebijakan Perkembangan wilayah kekotaan Yogyakarta sangat cepat dan merambah ke wilayah Kabupaten Bantul di Selatan dan Sleman di Utara. Luas Kota Yogyakarta yang hanya 32,5 Km2 merupakan wilayah tersempit karena setara 1,02% dari luas wilayah DIY. Batas wilayah menjadi nisbi karena sulit untuk dibedakan apabila tidak mengetahui secara tepat tanda batas kota yang memisahkan secara administratif. Pembangunan perumahan dan infrastrukturnya, termasuk jalan dan fasilitas publik banyak melampaui batas wilayah administratif. Berdasarkan hasil penelitian ini diperoleh fakta bahwa keberadaan pelayanan publik merupakan determinan paling menonjol terhadap tingginya intensitas perembetan spasial kota. Keberadaan pelayanan publik dalam bentuk fasilitas maupun utilitas umum menjadi daya tarik sangat kuat bagi penduduk pendatang, developer dan investor untuk memanfaatkan lahan di sekitar fasilitas dan utilitas umum tersebut untuk kepentingan mereka. Pemerintah perlu memiliki mekanisme yang akurat untuk menyeleksi keberadaan pelayanan publik untuk mengontrol pertambahan lahan terbangun. Utilitas umum dalam bentuk jaringan listrik, air minum, maupun telekomunikasi sering dihadapkan pada masalah akibat perbedaan wilayah dan pola pengembangan. Ketiga jenis pelayanan tersebut memiliki lokasi pelayanan yang tersebar dan pengelolaannya berbeda-beda tapi sumber daya yang dimiliki dan besarnya pasokan terbatas. Pengelolaan persebaran spasial utilitas umum tersebut, termasuk juga fasilitas umum, perlu dilakukan secara bijaksana sehingga disparitas akses pelayanan publik antar ruang kota tidak terjadi. 393 Sektor pelayanan publik yang juga sering menghadapi kesulitan dalam pengembangan adalah sektor pertanahan. Otonomi dari tiap-tiap daerah membuat koordinasi untuk pengelolaan lahan sulit dilakukan. Terlebih lagi disparitas harga tanah yang cenderung tinggi pada daerah yang berbeda membuat banyak kebijakan pertanahan sulit berjalan. Perlu dibuat kebijakan yang lebih jelas mengenai pengendalian pertanahan sebagaimana yang telah dirintis oleh Kabupaten Sleman melalui lembaga Dinas Pengendalian Pertanahan Daerah (DPPD). Koordinasi antara kota dengan kabupaten tetangga perlu lebih diintensifkan. Instrumen pajak juga bisa dilakukan untuk memperketat aturan tentang pemanfaatan tanah. Perubahan dari tanah pertanian menjadi pekarangan membutuhkan waktu lebih lama dan prosesnya pun dikenai pajak relatif tinggi. Pembelian lahan dengan nilai dengan nilai jual tinggi dikenai pajak lebih tinggi. Badan Pertanahan Nasional (BPN) harus mempertegas penegakan aturan tentang Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) dengan melarang pembangunan rumah sebelum IMB keluar dengan sanksi yang tegas. Perlu juga dilakukan terobosan dalam mengendalikan tingginya daya beli masyarakat dari luar DIY, khususnya luar Jawa untuk membeli tanah di Kota Yogyakarta dan sekitarnya. Pengembang-pengembang perumahan harus memiliki integritas moral untuk tidak cenderung membidik pasar pada masyarakat yang memiliki daya beli kuat di luar DIY. Penelitian ini juga mendapati fakta bahwa aksesibilitas lokasi dalam menjangkau berbagai infrastruktur kekotaan merupakan determinan penting terhadap percepatan intensitas perembetan spasial kota. Kemudahan akses lokasi tersebut terutama dipicu oleh dominasi moda transportasi pribadi, terutama 394 sepeda motor, sehingga mengakselerasi tidak terkendalinya perembetan daerah kekotaan. Tingginya angka pertumbuhan kendaraan bermotor dan perubahan status lahan untuk permukimam harus dikendalikan. Namun pengendalian yang dilakukan bukan dengan menghentikannya karena pertumbuhan di dua sektor tersebut menjadi bagian dari indikator pertumbuhan ekonomi masyarakat. Pajak dan implementasi rencana tata ruang secara konsisten adalah instrumen yang bisa dipilih untuk mengendalikan laju pertumbuhan kedua sektor tersebut. Instrumen pajak tidak menghentikan tapi mengalihkan kemampuan daya beli masyarakat untuk dibelanjakan dalam sektor lain. Laju pertumbuhan kendaraan bermotor harus dikendalikan misalnya dengan menggunakan pajak progresif terhadap pemilikan kendaraan dengan jumlah tertentu, memperketat mekanisme kredit pembelian kendaraan, dan pembatasan usia pakai kendaraan bermotor. Hal ini akan berimplikasi pada pengendalian kepemilikan kendaraan. Pajak progresif akan mengurangi laju pertumbuhan sekaligus efisiensi dalam pemanfaatan bahan bakar. Ketentuan tentang jumlah penumpang kendaraan roda empat dan penerapan biaya parkir yang tinggi perlu juga diterapkan pada wilayah-wilayah tertentu. Pemerintah perlu menginisiasi secara serius penetapan dan realisasi kawasan pedestrian serta pemakaian kendaraan tidak bermotor. Model zoning yang diterapkan oleh Pemerintah Kota menjadi kurang berhasil pada daerah-daerah perbatasan. Hal ini disebabkan oleh perbedaan arah pengembangan yang dimiliki oleh daerah yang berbatasan langsung. Program peningkatan kualitas akses jalan menuju perkotaan tidak selaras dengan banyaknya jumlah perumahan di perbatasan dan volume trayek 395 kendaraan umum. Jalan yang seharusnya untuk mempercepat waktu tempuh sehingga menjadi efisien dan sedikit mengeluarkan ongkos justru cepat rusak dan macet karena laju pertumbuhan jalan tidak sebanding dengan laju pertumbuhan kendaraan dan kapasitas jalan terhadap beban kendaraan. Koordinasi lintas sektoral, wilayah, dan pelaku diperlukan dalam penegakan aturan. Sektor-sektor seperti pertanahan, transportasi dan jalan, air minum, energi, maupun telekomunikasi sangat strategis dalam pengembangan wilayah. Peran Kantor BPN, Dinas Pekerjaan Umum (PU), PLN dan PAM di lingkungan Pemerintah Kota Yogyakarta, Pemerintah Kabupaten Sleman dan Bantul perlu mengkoordinasikan wilayah-wilayah yang dijadikan sasaran bagi pertumbuhan pemukiman sehingga peraturan pertanahan, akses jalan, penerangan, dan air minum tidak menghadapi kendala dan calon pemukim menjadi selektif dan terkendali. Calon pemukim maupun pengembang sebagai pelaku hendaknya memahami peruntukan tanah dimana akan membangun properti karena ketidaktahuan atau pelanggaran terhadap peruntukan lahan akan mengganggu Rencana Umum Tata Ruang (RUTR). Kurang berhasilnya kebijakan pembangunan perkotaan yang selama ini dijalankan lebih banyak disebabkan oleh lemahnya penegakan disiplin aparatur pelaksana di lapangan. Street level bureaucrat memang menghadapi masalah yang sangat beragam dan berbeda dengan pejabat di birokrasi. Program aksi harus diawali dengan memperkuat komitmen aparatur di tingkat birokrasi terlebih dahulu baru kemudian penegakan disiplin terhadap aturan. Aparatur yang berkomitmen tinggi dan disiplin terhadap aturan akan memudahkan jalan bagi berbagai program untuk memperbaiki pembangunan di wilayah perkotaan. 396 Penerapan mekanisme bagi hasil antar daerah harus dilakukan sehingga sumber daya seperti air, telekomunikasi, dan energi menjadi lebih bermanfaat secara merata. Penyesuaian tarif dan retribusi sangat penting untuk dikoodinasikan, karena disparitas dapat mengakibatkan kecemburuan dalam masyarakat. Penerapan pajak yang cukup tinggi bagi pengalihan status lahan harus menjadi terobosan penting dalam rangka mengendalikan laju konversi lahan pertanian subur. Kawasan lindung harus dijaga sehingga tetap tidak tersentuh oleh modernisasi pembangunan. Pengembang perumahan sebaiknya diberi insentif pengurangan pajak pada daerah-daerah yang menjadi lokasi rencana pembangunan perkotaan dan ditingkatkan pajaknya pada daerah yang tidak menjadi rencana pengembangan perumahan. Pendisiplinan pengurusan Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) sangat penting mengingat kecenderungan tingginya masyarakat untuk membangun rumah sendiri sehingga sulit dikontrol. Pembangunan model perumahan alternatif seperti rumah susun perlu disosialisasikan lebih intensif kepada masyarakat di perkotaan. Perkembangan ke arah timur laut dan tenggara perlu dipantau secara intensif untuk mengendalikan laju kemerosotan lahan pertanian sebagai pengampu ketahanan pangan dan daya dukung lingkungan. Daerah pinggiran kota Yogyakarta pada arah perkembangan utara, timur dan tenggara yang didominasi lahan pertanian harus segera dikendalikan pertumbuhan lahan terbangun kekotaannya. Pemerintah Kota Yogyakarta perlu meninjau ulang perumusan kebijakan keruangan lokal dengan cara sinkronisasi dengan kebijakan keruangan regional dan nasional. Proteksi terhadap daerah persawahan produktif di bagian pinggiran kota ke arah selatan, barat daya, barat, 397 dan barat laut yang memiliki sistem jaringan irigasi baik perlu menjadi prioritas. Luas terbuka dan pertanian di Kota Yogyakarta hanya 0,48% dari luas total wilayah, sehingga Kota Yogyakarta beresiko menghadapi krisis terhadap daya dukung lingkungan apabila Rencana Umum Tata Ruang tidak mengakomodasi pertumbuhan perkotaan yang sangat cepat. Rekomendasi penting dalam aspek kebijakan dapat dirangkum dalam dua hal, yaitu (1) Pola insentif dan dis-insentif dalam implementasi kesesuaian pemanfaatan lahan dengan rencana tata ruang maupun penggunaan moda transportasi puiblik; dan (2) Penciptaan transportasi masal yang efisien sehingga menekan pemborosan energi dan mengendalikan perembetan spasial kota agar tidak semakin jauh masuk ke daerah perdesaan. 9.3. Temuan Baru (Novelty) Penelitian ini menghasilkan beberapa temuan penting, baik dalam bentuk fakta lapangan maupun terkait dengan metode yang digunakan. Pada bagian akhir dari bab ini akan diuraikan tentang temuan-temuan yang belum pernah diungkapkan oleh peneliti lain yang ditemukan dalam penelitian ini. Uraian tentang temuan baru (novelty) ini diharapkan dapat menjadi acuan dalam aplikasi praktis dari hasil penelitian ini maupun sebagai referensi bagi peneliti lain yang tertarik untuk mengelaborasi lebih lanjut dalam penelitian perembetan daerah kekotaan, khususnya di Indonesia, maupun di negara-negara lain. Pembahasan tentang temuan baru hasil penelitian ini diawali dengan temuan dalam metode yang digunakan dalam penelitian, terutama menyangkut pemanfaatan data multi temporal citra satelit Landsat. Sebagaimana telah diuraikan pada Bab III, bahwa salah satu sumber data dalam penelitian ini adalah 398 citra Landsat multi waktu. Terkait dengan penggunaan data Landsat multi waktu tersebut terdapat permasalahan penting terkait dengan variasi resolusi spektral pada beberapa waktu perekaman data. Berdasarkan pengalaman empirik pada penelitian ini diperoleh fakta bahwa penggunaan beberapa teknik pengolahan citra secara digital dapat memberikan kepastian tentang konsistensi validitas data yang dihasilkan dari berbagai resolusi spektral yang berbeda-beda. Aplikasi model V-I-S untuk membantu kemudahan dan kecepatan dalam identifikasi obyek lahan terbangun kekotaan memiliki keandalan dalam menghasilkan tingkat ketelitian cukup. Angka ketelitian hasil interpretasi sebesar 86% pada citra TM dan ETM mengindikasikan bahwa aplikasi kedua teknik interpretasi digital tersebut menghasilkan kualitas data yang cukup baik dan konsisten. Pembahasan kedua terkait temuan baru berdasarkan hasil penelitian ini adalah temuan mengenai model perkembangan lahan terbangun kekotaan di kota-kota di Indonesia dengan mangacu dari fakta yang terjadi di Daerah Kekotaan Yogyakarta. Tentu saja model berupa diagram tersebut tidak dapat digunakan di seluruh kota di Indonesia karena alasan latar belakang sosial ekonomi dan kondisi fisik yang beragam di masing-masing kota, tetapi pola perkembangannya kurang lebih dapat dijelaskan dengan menggunakan model tersebut. Model tersebut paling aplikatif digunakan untuk menjelaskan perkembangan kota-kota menengah dan besar di Indonesia, walaupun tidak menutup kemungkinan untuk kota-kota metropolitan dan megapolitan pun bisa didekati dengan model tersebut. Berdasarkan fakta yang terjadi di Kota Yogyakarta, penulis mengajukan gagasan tentang model pertumbuhan lahan terbangun di kota-kota di Indonesia (Gambar 9.1). 399 Gambar 9.1. Kurva Model Pertumbuhan Lahan Terbangun Kota-kota di Indonesia Di dalam model tersebut terdapat 4 Fase, yaitu fase pra-industrialisasi, fase industrialisasi, fase paska-industrialisasi, dan fase lanjut. Fase praindustrialisasi merupakan fase dimana suatu kota masih dalam tahap sebagai pusat pasar dari komoditas pertanian daerah hinterland-nya. Pada fase ini ditandai dengan kepadatan penduduk di dalam kota jauh lebih tinggi daripada daerah pinggiran kota, proporsi lahan terbangun kekotaan di pusat kota lebih tinggi daripada pinggiran kota, dan laju pertumbuhan lahan kekotaan total relatif kecil (garis kurva landai). Pada fase pra-industrialisasi ini, belum banyak dijumpai aktivitas penduduk dalam sektor industri manufaktur maupun industri jasa. Kota masih lebih banyak digunakan sebagai pusat pengumpulan berbagai komoditas pertanian yang berasal dari daerah hinterland-nya, untuk selanjutnya 400 ditransportasikan ke kota yang lebih besar atau dipertukarkan (trade-off) dengan komoditas lain ke kota-kota lain yang saling membutuhkan (complementarity). Pusat kota juga berperan sebagai simpul distribusi komoditas dari daerah lain, barang-barang teknologi pertanian, maupun modal bagi daerah hinterland. Proses perluasan lahan terbangun kekotaan lebih didominasi tipe memadat (infilling) dan ekspansif. Fase industrialisasi ditandai dengan semakin besarnya peran sektor industri manufaktur (baik industri kecil, menengah, maupun besar) dan atau sektor jasa dalam aktivitas perekonomian di dalam kota, walaupun kepadatan penduduk daerah perkotaan masih lebih tinggi tetapi kesenjangannya dengan pinggiran kota mulai mengecil, proporsi luas lahan terbangun di pinggiran kota mulai seimbang dengan di daerah perkotaannya. Kota yang tadinya hanya sebagai pusat pasar mulai berubah menjadi pusat kegiatan pengolahan dari komoditas pertanian dan pertambangan menjadi barang jadi bernilai jual lebih tinggi (value added) untuk selanjutnya dipasarkan ke kota-kota lain atau dijual kembali ke daerah hinterland-nya. Fase paska-industrialisasi adalah fase yang ditandai dengan menurunnya peran sektor industri terhadap ekonomi nasional maupun lokal dan regional. Peran sektor industri mulai diambil alih oleh sektor tersier dan kuarter (jasa dan teknologi) yang tidak banyak membutuhkan bangunan fisik sebagaimana sektor industri manufaktur. Sebagai dampaknya adalah menurunnya perkembangan lahan terbangun kekotaan. Fase lanjut adalah fase dimana sektor tersier dan kuarter menjadi dominan dalam perekonomian lokal, regional, dan nasional, sehingga kota-kota menengah dan besar mengalami perkembangan fisik kekotaan yang relatif kecil. 401 Gagasan lain adalah terkait dengan kenyataan bahwa sebagian besar kota-kota di negara sedang berkembang termasuk Indonesia cenerung gagal dalam proses industrialisasi. Kegagalan tersebut ternyata berimplikasi terhadap bergesernya kurva nilai lahan sebagaimana teori distance decay (Gambar 5.2). Gambar 9.2. Kurva Model Nilai Lahan Kota-kota di Indonesia Sesuai konsep distance decay bahwa nilai lahan, yang lazimnya juga diikuti oleh harga lahan, akan menurun sejalan dengan jarak dari pusat kota. Dalam beberapa penelitian terkait dengan harga lahan memang terjadi anomali terhadap garis kurva (sebagaimana ditunjukkan oleh garis putus-putus dalam Gambar 9.2) disebabkan keberadaan persimpangan jalan utama dalam wujud puncak-puncak kurva kecil (mini peak). Hasil observasi terhadap preferensi responden terhadap lahan hunian ternyata sedikit berbeda dengan konsep-konsep tersebut. Deindustrialisasi telah 402 menyebabkan preferensi penduduk terhadap daerah pinggiran kota lebih tinggi daripada daerah selaput inti kota. Kondisi tersebut menyebabkan nilai lahan di pinggiran kota sedikit meningkat dan menjadikan kurva nilai lahan menjadi seperti pada Gambar 9.2 tersebut yang ditunjukkan oleh garis tidak putus-putus. Gagasan baru lain tentu saja terkait dengan formulasi indeks spasial perembetan daerah kekotaan. Untuk menandaskan pemahaman mengenai indeks tersebut, berikut ini dicantumkan lagi formula matematis dari indeks tersebut. [(%LTK) / KBT] + %(LF + Lin) + %TSTR + ... + Vn ISPK = ____________________________________________________________ 3 Dimana: ISPK = Indeks Spasial Perembetan Daerah Kekotaan %LTK = Persentase Lahan Terbangun Kekotaan KBT = Kepadatan Bangunan Total %(LF + LN) = Persentase Perkembangan Leapfrog ditambah Perkembangan Linier %TSTR = Persentase Luas Lahan Terbangun yang Tidak Sesuai Tata Ruang Vn = Faktor atau Variabel lain yang berpengaruh (Faktor yang tidak berpengaruh signifikan pada kasus di Daerah kekotaan Yogyakarta, tetapi mungkin berpengaruh signifikan di Kota-kota lain) Validasi dari gagasan tersebut perlu dilakukan dalam penelitian lebih lanjut untuk memastikan bahwa model tersebut bisa diaplikasikan pada kota-kota menengah dan besar di Indonesia.