SKRIPSI Octira Daniaty - Universitas Sumatera Utara

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Typhus Abdominalis
2.1.1 Definisi Typhus Abdominalis
Tipes atau Typhus adalah penyakit infeksi bakteri pada usus halus dan
terkadang pada aliran darah yang disebabkan oleh bakteri Salmonella Typhosa
atau Salmonella Paratyphi A, B dan C. Selain itu dapat juga menyebabkan
gastroenteritis (radang lambung). Dalam masyarakat penyakit ini dikenal dengan
nama tipes atau Typhus Abdominalis karena berhubungan dengan usus didalam
perut(Zulkoni, 2011).
Sejarah tifoid dimulai saat ilmuan Perancis bernama Piere Lois
memperkenalkan istilah Typoid pada tahun 1829. Typhoid atau Typhus berasal
dari bahasa Yunani yaitu Typhos yang berarti penderita demam dengan gangguan
kesadaran. Kemudian Gaffky menyatakan bahwa penularan penyakit ini melalui
air dan bukan udara. Gaffky juga berhasil membiakkan Salmonella Typhi dalam
media kultur pada tahun 1986. Widal akhirnya menemui pemeriksaan tifoid yang
masih digunakan sampai saat ini. Selanjutnya, pada tahun 1948 Woodward dkk
melaporkan untuk pertama kalinya bahwa obat yang efektif untuk demam tifoid
adalah Kloramfenikol (Kunoli,2013).
2.1.2 Sistem Pencernaan
Sistem pencernaan terdiri atas saluran cerna yang dimulai dari mulut
sampai anus. Fungsi utama sistem pencernaan adalah menyediakan zat nutrisi
Universitas Sumatera Utara
yang sudah dicerna secara berkesinambungan untuk di distribusikan ke dalam sel
melalui sirkulasi dengan unsur-unsur air, elektrolit, dan zat gizi.
Gambar 2.1 Sistem Pencernaan
1. Mulut
Mulut merupakan jalan masuk untuk sistem pencernaan. Bagian dalam
mulut dilapisi oleh selaput lendir. Saliva atau liur yang dihasilkan oleh mulut
bersifat alkali (basa) yang disekresikan oleh kelenjar parotis, submaksilaris,
sublingualis dan kelenjar mukosa pipi. Saliva atau liur berfungsi :
a. Sebagai pelumas (lubrikasi) pada waktu mengunyah dan menelan
makanan.
b. Mencerna karbohidrat dengan amilase saliva.
Universitas Sumatera Utara
c. Mengandung lisozyme yang berperan sebagai anti bakteri.
d. Sebagai palarut molekul yang dapat memacu reseptor rasa.
e. Membantu proses bicara dengan mempermudah gerakan bibir dan
lidah.
f. Buffer karbohidrat di dalam saliva akan menetralkan asam dari
makanan.
2. Gigi
Gigi berfungsi melakukan proses pencernaan secara mekanik. Gigi akan
memotong-motong makanan yang masuk ke dalam mulut, fungsi inidilakukan
oleh gigi depan (incisivus), setelah dipotong makanan akan dikunyah oleh gigi
belakang (molar, geraham), dengan tujuan makanan menjadi bagian –bagian kecil
yang lebih mudah dicerna.
3. Tenggorokan (faring)
Adalah organ yang menghubungkan rongga mulut dengan kerongkongan.
Organ yang penting didalam faring adalah tonsil yaitu kumpulan kelenjar limfe
yang banyak mengandung limfosit untuk mempertahankan tubuh terhadap infeksi,
menyaring, dan mematikan bakteri atau mikrorganisme yang masuk melalui jalan
pencernaan dan pernafasan.
4. Kerongkongan (esofagus)
Esofagus merupakan saluran pencernaan setelah mulut dan faring.
Makanan berjalan melalui kerongkongan dengan menggunakan gerakan
peristaltik. Esofagus dibagi menjadi tiga bagian :
a. Bagian superior (sebagian besar adalah otot rangka)
Universitas Sumatera Utara
b. Bagian tengah (campuran otot rangka dan otot halus)
c. Bagian inferior (terutama terdiri dari otot halus)
5. Lambung
Lambung adalah kantong maskular yang letaknya antara esofagus dan
usus halus. Fungsi lambung adalah menghancurkan dan menghaluskan makanan
oleh peristaltik lambung dan getah lambung. Selain itu dilambung hanya terjadi
absorbsi nutrien sedikit.
6. Usus halus
Usus halus atau intestinum minor adalah bagian dari saluran pencernaan
yang berpangkal pada pilorus dan berakhir pada secum. Usus halus terdiri dari
tiga bagian yaitu usus dua belas jari (duodenum), usus kosong (jejunum), usus
penyerapan (ileum).
Fungsi usus halus :
a. Mensekresi cairan usus untuk menyempurnakan pengolahan zat
makanan di usus halus.
b. Menerima cairan empedu dan pankreas melalui duktus koleduktus dan
pankreatikus.
c. Mencerna makanan.
d. Mengabsorbsi air garam, dan vitamin.
7. Usus Besar
Usus besar merupakan saluran pencernaan berupa usus berpenampungan
luas atau berdiameter besar dengan panjangnya lebih kurang 1,5 – 1,7 m dan
penampang 5-6 cm. Fungsi usus besar :
Universitas Sumatera Utara
a. Menyerap air dan elektrolit kemudian mensisakan massa yang disebut
feses.
b. Menyimpan feses sampai saat defekasi.
8. Rektum
Bagian ini merupakan lanjutan dari kolon sigmoid yang menghubungkan
intestinum mayor dengan anus sepanjang 12 cm yang dimulai dari pertengahan
sakrum dan berakhir pada kanalis anus.
9. Anus
Merupakan bagian dari saluran pencernaan yang berhubungan dengan
dunia luar terletak di dasar pelvis/dindingnya diperkuat oleh spinchter ani (Niman,
2013).
2.1.3 Masa Inkubasi
Menurut Zulkoni (2011), masa inkubasi dihitung mulai saat pertama kali
kuman ini masuk kemudian “tidur” sebentar untuk kemudian menyerang tubuh,
masa ini berlangsung 7 – 12 hari, walaupun pada umumnya adalah 10-12 hari.
Pada awal penyakit ini penderita mengalami keluhan berupa :
1. Anoreksia
2. Rasa malas
3. Sakit Kepala bagian belakang
4. Nyeri Otot
5. Lidah kotor
6. Gangguan Perut (mulas dan sakit)
Universitas Sumatera Utara
Sedangkan menurut Kunoli (2013), masa inkubasi tergantung pada
besarnya jumlah bakteri yang menginfeksi : masa inkubasi berlangsung dari 3 hari
sampai dengan 1 bulan dengan rata-rata antara 8-14 hari.
2.1.4 Etiologi
Menurut
Zulkoni
(2013),penyebab
demam
tifoid
adalah
bakteri
Salmonella Typhosa. Penyakit tipes (typhus Abdominalis) merupakan penyakit
yang ditularkan melalui makanan dan minuman yang tercemar oleh bakteri
Salmonella Typhosa(food and water borne disease). Seseorang yang sering
menderita penyakit tipes menandakan bahwa ia mengkonsumsi makanan atau
minuman yang terkontaminasi bakteri ini.
Salmonella Typhosa sebagai suatu spesies, termasuk dalam kingdom
bakteria,
phylum
proteobacteria,
classis
gamma
proteobacteria,
ordo
enterobacteriales, famili enterobacteriakceae, genus salmonella. Salmonella
Typhosa adalah bakteri gram negatif yang bergerak dengan bulu getar, tidak
berspora mempunyai sekurang-kurangnya tiga macam antigen yaitu : antigen O
(somatic, terdiri dari zat komplek lipopolisakarida), antigen H (flagella) dan
antigen V1(hyalin, protein membrane).
2.1.5
Patofisiologi
Transmisi terjadi melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi
urin/ feses dari penderita tifus akut dan para pembawa kuman / karier. Empat F
(Finger, Files, Fomites, Fluids) dapat menyebarkan kuman ke makanan, susu,
Universitas Sumatera Utara
buah, dan sayuran yang sering dimakan tanpa dicuci/ dimasak sehingga dapat
terjadi penularan penyakit terutama negara- negara yang sedang berkembang.
Penularan terjadi melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi
oleh tinja dan urin dari penderita atau carrier. Dibeberapa negara penularan
terjadi karena mengkonsumsi kerang-kerangan yang berasal dari air yang
tercemar, buah-buahan, sayur-sayuran mentah yang dipupuk dengan kotoran
manusia, susu dan produk susu yang terkontaminasi oleh carrier atau penderita
yang tidak teridentifikasi. Lalat juga berperan sebagai perantara penularan
memindahkan mikrorganisme dari tinja ke makanan (Kunoli, 2013).
2.1.6 Gejala Klinis
Gejala klinis demam tifoid yaitu dapat terjadi ulserasi plaques peyeri pada
ileum yang dapat menyebabkan terjadinya perdarahan atau perforasi (sekitar 1%
dari kasus), hal ini sering terjadi pada penderita yang terlambat diobati. Dapat
juga timbul demam tanpa disertai keringat, gangguan berfikir, pendengaran
berkurang dan parotitis (Kunoli,2013).
Secara rinci, gejala klinis dijelaskan oleh Zulkoni (2011), yaitu :
1.
Minggu Pertama
Setelah melewati masa inkubasi 10-14 hari, gejala penyakit itu pada
awalnya sama dengan penyakit infeksi akut lain seperti demam tinggi yang
berkepanjangan yaitu setinggi 39oc hingga 40oc, sakit kepala, pusing, pegal-pegal,
anoreksia, mual, muntah, batuk dengan nadi antara 80-100 kali permenit, denyut
lemah, pernafasan semakin cepat dengan gambaran bronkitis, perut kembung, dan
merasa tidak enak, serta diare dan sembelit silih berganti. Lidah pada penderita
Universitas Sumatera Utara
putih kotor ditengah, tepi dan ujung merah serta bergetar atau tremor,
tenggorokan terasa kering dan meradang.
2.
Minggu kedua
Jika pada minggu pertama, suhu tubuh berangsur-angsur meningkat setiap
hari, yang biasanya menurun pada pagi hari kemudian meningkat pada sore atau
malam hari. Karena itu, pada minggu kedua suhu tubuh penderita terus menerus
dalam keadaan tinggi (demam).
Gejala toksemia (ketika kuman sudah masuk aliran darah), semakin berat
ditandai dengan gangguan pendengaran. Lidah tampak kering, merah mengkilat.
Nadi semakin cepat sedangkan tekanan darah menurun, diare menjadi lebih sering
dan terkadang bewarna gelap akibat perdarahan. Pembesaran hati atau limpa.
Perut kembung dan sering berbunyi, gangguan kesadaran, mengantuk terus
menerus, mulai kacau jika berkomunikasi.
3. Minggu ketiga
Suhu tubuh berangsur turundan normal kembali di akhir minggu. Hal itu
jika terjadi tanpa komplikasi atau berhasil diobati. Bila keadaan membaik, gejalagejala akan berkurang dan temperatur mulai turun. Meskipun demikian
komplikasi perdarahan dan perforasi cenderung terjadi, akibat lepasnya kerak dari
ulkus.
Sebaliknya jika keadaan makin memburuk, dimana toksemia memberat
dengan terjadinya tanda-tanda khas berupa otot-otot yang bergerak terus,
inkontinensia alvi dan inkontinensia urin. Penderita kemudian mengalami kolaps.
Jika denyut nadi sangat meningkat disertai peritonitis lokal atau umum, maka hal
Universitas Sumatera Utara
ini menunjukkan telah terjadinya perforasi usus sedangkan keringat dingin,
gelisah, sukar bernafas dan kolaps dari nadi yang teraba denyutnya memberi
gambaran adanya perdarahan. Degenerasi miokardial toksik merupakan penyebab
umum dari terjadinya kematian penderita demam tifoid pada minggu ketiga.
4. Minggu keempat
Merupakan stadium penyembuhan meskipun sering dijumpai sisa gejala
yang terjadi sebelumnya.
2.1.7 Pengobatan
Menurut KEPMENKES No 364 tahun 2006 dipaparkan bahwa pengobatan
penderita demam tifoid meliputi :
1. Perawatan Umum dan Nutrisi
Penderita demam tifoid dengan gambaran klinis jelas sebaiknya dirawat di
rumah sakit atau sarana kesehatan lain yang ada fasilitas perawatan, seperti:
a. Tirah baring
Penderita yang dirawat harus tirah baring dengan sempurna untuk
mencegah komplikasi, terutama perdarahan perforasi.
b. Nutrisi
- Cairan : penderita harus mendapat cairan yang cukup, baik secara oral
maupun parental. Cairan parental diindifikasikan pada penderita sakit
berat, ada komplikasi, penurunan kesadaran serta yang sulit makan.
- Diet : harus mengandung kalori dan protein yang cukup. Rendah
selulose (rendah serat) untuk mencegah perdarahan dan perforasi.
Universitas Sumatera Utara
c.
Terapi Simptomatik
terapi simptomatik dapat diberikan dengan pertimbangan untuk perbaikan
keadaan umum penderita :
- Roboransia
- Antipiretik ( untuk kenyamanan penderita)
- Antiemetik (jika penderita muntah hebat)
d.
Kontrol dan Monitor dalam perawatan
- Suhu tubuh, serta tanda vital lain seperti nadi, nafas, tekanan darah).
- Keseimbangan cairan : cairan masuk (minum dan infus) dan cairan
tubuh yang keluar (urin, feses) harus seimbang.
- Deteksi dini terhadap timbulnya komplikasi.
- Adanya koinfeksi dan atau komorbid dengan penyakit lain.
- Efek samping dan atau efek toksik obat.
- Resistensi anti mikroba
- Kemajuan pengobatan secara umum.
2. Antimikroba
Antimikroba diberikan segera bila diagnosis klinis demam tifoid telah
ditegakkan, baik dalam bentuk diagnosis konfirmasi, probable maupun suspek.
Sebelum antimikroba diberikan harus diambil spesimen darah atau sumsum tulang
lebih dulu, untuk pemeriksaan biakan kuman salmonella, kecuali fasilitas biakan
ini tidak ada dan tidak bisa dilaksanakan.
Antimikroba yang dikenal sensitif dan efektif untuk demam tifoid adalah :
- Kloramfenikol
Universitas Sumatera Utara
- Seftriakson
- Ampisilin & amoksilin
- TMP – SMX (kotrimoksasol)
- Quinolone
- Cefixime
- Tiamfenikol
3. Pengobatan dan Perawatan Komplikasi
Terapi komplikasi tifoid :
a. Tifoid toksik
Antimikroba yang dipilih adalah parentral dan dapat ganda seperti
kombinasi ampisilin dan kloramfenikol. Pemberian kortikosteroid
seperti deksametason dengan dosis 4x10mg intravena. Dosis untuk
anak 1-3mg/kg BB/hr selama 3-5 hari.
b. Syok septik
-
Penderita dirawat intensif
-
Kegagalan hemodinamik yang terjadi diatasi secara optimal
-
Obat-obatan vasokatif (seperti dopamin) dipertimbangkan bila syok
mengarah irreversible.
c. Perdarahan perforasi
-
Penderita dirawat intensif
-
Transfusi darah jika ada indikasi
Universitas Sumatera Utara
-
Bila perforasi : rawat bersama dengan dokter bedah, operasi,
antibiotik spektrum luas, diet parenta dan monitor keseimbangan
cairan.
d. Komplikasi lain
Komplikasi lain diobati sesuai dengan kondisi, obat- obatan dan
prosedur perawatan defenitif untuk tifoid tetap diberikan.
4. Perawatan Mandiri di rumah
Syarat penderita dapat dirawat dirumah :
-
Penderita dengan gejala klinis ringan
-
Penderita dengan kesadaran baik
-
Penderita dengan keluarganya cukup mengerti cara-cara merawat serta
paham dengan tanda bahaya dari tifoid.
-
Rumah tangga penderita memiliki atau dapat melaksanakan sistem
pembuangan ekskreta yang memenuhi syarat kesehatan.
Menurut Abata (2013), demam tifoid umumnya berlangsung selama 10-20
hari dengan rentang 3-60 hari, tergantung jumlah kuman yang masuk ke dalam
tubuh penderita. Semakin banyak kuman yang masuk maka gejalanya akan
semakin cepat muncul. Pada suhu yang tinggi penderita bisa sampai mengigau
dan apatis.
Universitas Sumatera Utara
2.1.8 Pencegahan
Pencegahan adalah segala upaya yang dilakukan agar setiap anggota
masyarakat tidak tertular oleh basil salmonella. Ada 3 pilar strategis yang menjadi
program pencegahan menurut KEPMENKES No 364 tahun 2006, yakni :
1. Mengobati secara sempurna pasien dan karier tifoid
2. Mengatasi faktor-faktor yang berperan terhadap rantai penularan
3. Perlindungan dini agar tidak tertular.
Aspek-aspek yang harus diperhatikan dalam upaya pencegahan adalah :
1. Langkah–langkah strategis pencegahan carrier, relaps dan resistensi
tifoid.Bila ada kasus karier maka diterapi dengan quinolone selama 4
minggu (siprofloksasin 2x 750mg atau norfloksasin 2 x 400mg).
2. Perbaikan Sanitasi Lingkungan
Perbaikan sanitasi lingkungan, meliputi :
- Penyediaan air bersih untuk seluruh warga, untuk air minum
masyarakat membiasakan dengan memasak sampai mendidih.
- Jamban keluarga yang memenuhi syarat kesehatan.
- Pengolahan limbah, kotoran, dan sampah harus benar sehingga tidak
mencemari lingkungan.
3. Peningkatan Higiene Makanan dan Minuman
- Pilih hati-hati makanan yang sudah diproses, demi keamanan.
- Panaskan kembali secara benar makanan yang sudah dimasak
- Hindari kontak antara makanan mentah dengan yang sudah masak.
- Permukaan dapur dibersihkan dengan cermat.
Universitas Sumatera Utara
- Lindungi makanan dari serangga, binatang mengerat dll.
- Gunakan air bersih untuk dikonsumsi.
4. Peningkatan Higiene Perorangan
Setiap tangan yang dipergunakan unruk memegang makanan, maka
tangan harus bersih, cuci tangan pakai sabun.
5. Pencegahan dengan imunisasi
Immunisasi, sampai saat ini vaksin tiroid baru diprioritaskan untuk
traveler
6. Surveilens
Pengumpulan yang sistematik, analisis dan interpretasi yang terus
menerus dari data kesehatan yang penting. Untuk digunakan dalam
perencanaan, penerapan dan evaluasi suatu tindakan yang berhubungan
dengan kesehatan masyarakat.
7. Definisi Kasus
Dalam hal pengumpulan data, diperlukan petugas yang memiliki
kemampuan memadai dalam hal menentukan seorang pasien menderita
tifoid atau bukan.
8. Sistim Pencatatan dan Pelaporan
9. Penanggulangan KLB
Bila ada dugaan KLB disuatu daerah, maka diperlukan serangkaian
kegiatan yang berpola dengan baik untuk menanggulanginya. Pihak unit
pelayanan kesehatan (rumah sakit / puskesmas) segera melaporkan ke
Dinas Kesehatan Kabupaten atau Kota.
Universitas Sumatera Utara
2.2
Faktor-Faktor
yang
Memengaruhi
Laju
Kesembuhan
PenderitaTyphus Abdominalis.
2.2.1 Umur
Umur merupakan salah satu faktor yang penting pada proses terjadinya
penyakit. Sebagian penyakit timbul hampir secara eksklusif pada suatu kelompok
usia tertentu saja. Angka kesakitan dan kematian dalam hampir semua keadaan itu
berkaitan dengan fungsi dari proses umur, perkembangan, imunitas dan keadaan
fisiologi, perubahan kebiasaan makan dari tiap golongan umur, perubahan daya
tahan tubuh dan penyakit tertentu yang menyerang umur tertentu (Friedman,1993
dan Kunoli, 2013).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Herawati(2009) yang berjudul
“Hubungan Faktor Determinan dengan Kejadian Tifoid Di Indonesia Tahun
2007”mengatakan bahwa kelompok umur 1-14 tahun merupakan usia yang
berisiko terbesar terkena tifoid yaitu 1,449 kali daripada kelompok umur
responden yang lain, makin tua kelompok umur makin rendah risiko yang terjadi.
Penelitian lain dilakukan oleh Rinni (2014) yang berjudul “Permodelan
Laju Kesembuhan Pasien Rawat Inap Typhus Abdominalis (Demam Tifoid)
Menggunakan Model Regresi Kegagalan Proporsional Dari Cox (Studi Kasus di
RSUD Kota Semarang)”,menyatakan hasil bahwa pasien dengan usia kurang dari
15 tahun memiliki laju kesembuhan lebih cepat dibandingkan dengan pasien lebih
dari sama dengan 15 tahun.
Universitas Sumatera Utara
2.2.2 Jenis Kelamin
Sebagian penyakit lebih sering dijumpai pada kaum pria dan sebagian
lainnya pada wanita. Jika faktor pewarisan yang mempunyai kaitan seksual dapat
disingkirkan, maka perbedaan seks dalam insidensi penyakit akan menimbulkan
pemikiran awal tentang kemungkinan adanya faktor-faktor hormonal atau
reproduktif yang menjadi faktor predisposisi (pencetus) atau pelindung
(Friedman,1993).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Herawati(2009) yang berjudul
“Hubungan Faktor Determinan dengan Kejadian Tifoid Di Indonesia Tahun
2007”mengatakan bahwa kelompok laki-laki lebih dominan terkena tifoid (OR =
1,142) daripada kelompok perempuan. Ada perbedaan hasil penelitian antara
Herawati (2009) dan penelitian yang dilakukan oleh Ja’afar(2013)yang berjudul
“Epidemiological analysis of typhoid fever in Kelantan from a retrieved registry”
yang menyatakan hasil penelitiannya bahwa demam tifoid didominasi oleh lakilaki dalam kelompok usia 5-14 tahun dan perempuan dalam kelompok usia 20– 35
dan 45-60 tahun.
Laju kesembuhannya sendiri dibuktikan dengan penelitian yang dilakukan
oleh Rinni (2014) yang berjudul “Permodelan Laju Kesembuhan Pasien Rawat
Inap Typhus Abdominalis (Demam Tifoid) Menggunakan Model Regresi
Kegagalan
Proporsional
Dari
Cox
(Studi
Kasus
di
RSUD
Kota
Semarang)”,menyatakan hasil bahwa pasien dengan jenis kelamin perempuan
memiliki laju kesembuhan lebih cepat dibandingkan dengan pasien berjenis
kelamin laki-laki.
Universitas Sumatera Utara
2.2.3 Titer Uji Widal
Menurut KEPMENKES No. 364 tahun 2006 tentang Pedoman
Pengendalian Demam Tifoid. Tes serologi widal adalah reaksi antara antigen
(suspensi salmonella yang telah dimatikan) dengan aglutinin yang merupakan
antibodi spesifik terhadap komponen basil salmonella didalam darah manusia
(saat sakit, karier, atau pasca vaksinasi). Prinsip test adalah terjadinya reaksi
aglutinasi antara antigen dan aglutinin yang dideteksi yakni aglutinin O dan H.
Aglutinin O mulai dibentuk pada akhir minggu pertama demam sampai
puncaknya pada minggu ke-3 sampai ke-5. Aglutinin ini dapat bertahan sampai
lama 6-12 bulan. Aglutinin H mencapai puncak lebih lambat minggu ke 4-6 dan
menetap dalam waktu lama, sampai 2 tahun kemudian.
Peneliti beranggapan bahwa nilai titer berpengaruh terhadap derajat klinis
penderita Typhus Abdominalis sehingga sedikit banyaknya dapat memengaruhi
laju kesembuhan penderita. Pernyataan ini didukung oleh penelitian yang
dilakukan oleh Syafrani (2013)yang berjudul “Korelasi Titer Uji Widal Dengan
Derajat Klinis Pada Pasien Demam Tifoid Di RSUD Panglima Sebaya Kabupaten
Paser Periode Tahun 2012”, menyatakan hasil penelitian yang menunjukkan
bahwa kadar titer uji widal memiliki hubungan dengan derajat klinis pasien yang
dapat diketahui dari nilai P.value= 0,002 atau < 0,05 dan nilai korelasi r = 0,767.
Interpretasi Reaksi widal :
Universitas Sumatera Utara
•
Belum ada kesepakatan tentang nilai titer patokan. Tidak sama masingmasing daerah tergantung endemisitas daerah masing-masing dan
tergantung hasil penelitiannya.
•
Batas titer yang dijadikan diagnosis, hanya berdasarkan kesepakatan atau
perjanjian pada satu daerah, dan berlaku untuk daerah tersebut.
Kebanyakan pendapat bahwa titer O 1/320 sudah menyokong kuat
diagnosis demam tifoid.
•
Reaksi widal negatif tidak menyingkirkan diagnosis tifoid.
•
Diagnosis demam tifoid dianggap diagnosis pasti bila didapatkan kenaikan
titer 4 kali lipat pada pemeriksaan ulang dengan interval 5-7 hari. Perlu
diingat bahwa banyak faktor yang mempengaruhi reaksi widal sehingga
mendatangkan hasil yang keliru baik negatif palsu atau positif palsu. Hasil
test negatif palsu seperti pada keadaan pembentukan anti bodi yang rendah
yang dapat ditemukan pada keadaan- keadaan gizi jelek, konsumsi obatobat imunosuspresif, penyakit agammaglobulinemia, leukemia, karsinoma
lanjut, dll. Hasil test positif palsu dapat dijumpai pada keadaan pasca
vaksinasi, mengalami infeksi subklinis beberapa waktu yang lalu,
aglutinasi silang, dll.
2.2.4 Komplikasi
Adanya komplikasi yang menyertai penyakit Typhoid Fever dapat
mempengaruhi kesembuhan seseorang, karena tubuh menjadi lebih ekstra dalam
melawan penyakit. Kematian karena Typhoid umumnya disebabkan oleh
Universitas Sumatera Utara
komplikasi typhoid antara lain radang paru paru, perdarahan usus, dan kebocoran
usus. Tidak jarang jika operasi menjadi salah satu penatalaksanaan yang diambil
oleh pihak tenaga medis jika komplikasi yang dialami pasien Typhus Abdominalis
cukup parah seperti adanya perforasi usus.
Penggunaan obat-obatan antibiotika sendiri bertujuan untuk mencegah
terjadinya komplikasi penyakit. Perlubangan usus (perforasi usus ) merupakan
salah satu bentuk komplikasi serius akibat typhoid yang dapat menyebabkan
kematian. Pada minggu kedua atau lebih, sering timbul komplikasi demam tifoid
mulai yang ringan sampai berat bahkan kematian. Beberapa komplikasi yang
sering terjadi menurut KEPMENKES No 364 tahun 2006,diantaranya:
a. Tifoid Toksik (Tifoid Ensefalopati)
Didapatkan gangguan atau penurunan kesadaran akut dengan gejala
delirium sampai koma yang disertai atau tanpa kelainan neurologis
lainnya. Analisa cairan otak biasanya dalam batas-batas normal.
b. Syok Septik
Adalah akibat lanjut dari respon inflamasi sistemik, karena bakteremia
salmonella. Disamping gejala-gejala tifoid diatas, penderita jatuh ke
dalam fase kegagalan vaskular (syok). Tensi turun, nadi cepat dan
halus, berkeringat serta akral dingin. Berbahaya jika syok menjadi
irreversible.
1. Perdarahan dan Perforasi Intestinal
Perdarahan dan perforasi terjadi pada minggu ke dua demam atau
setelah itu. Perdarahan dengan gejala berak berdarah (hematoskhezia)
Universitas Sumatera Utara
atau dideteksi dengan tes perdarahan tersembunyi (occult blood test).
Perforasi intestinal ditandai dengan nyeri abdomen akut, tegang, dan
nyeri tekan yang paling nyata di kuadran kanan bawah abdomen. Suhu
tubuh tiba-tiba menurun dengan peningkatan frekuensi nadi dan
berakhir syok. Pada pemeriksaan perut didapatkan tanda-tanda ileus,
bising usus melemah dan pekak hati menghilang, perforasi intestinal
adalah komplikasi tifoid yang serius karena sering menimbulkan
kematian.
2. Peritonitis
Biasanya menyertai perforasi, tetapi dapat terjadi tanpa perforasi.
Ditemukan gejala-gejala abdomen akut yakni nyeri perut hebat,
kembung serta nyeri pada penekanan. Nyeri lepas khas untuk
peritonitis.
3. Hepatitis Tifosa
Demam tifoid yang disertai gejal-gejala ikterus, hepatomegali dan
kelainan test fungsi hati dimana didapatkan peningkatan SGPT, SGOT
dan bilirubin darah. Pada histopatologi hati didapatkan nodul tifoid
dan hiperplasi sel-sel kuffer.
4. Pankreatitis Tifosa
Merupakan komplikasi yang jarang terjadi, gejala-gejalanya adalah
sama dengan gejala pankreatitis. Penderita nyeri perut hebat yang
disertai mual dan muntah warna kehijauan, meteorismus dan bisisng
usus menurun. Enzim amilase dan lipase meningkat.
Universitas Sumatera Utara
5. Pneumonia
Dapat disebabkan oleh basil salmonella atau koinfeksi dengan
mikroba lain yang sering menyebabkan pneumonia. Pada pemeriksaan
didapatkan gejal-gejala klinis pneumonia serta gambaran khas
pneumonia pada foto polos toraks.
6. Komplikasi Lain
Karena basil salmonella bersifat intra makrofag, dan dapat beredar
keseluruh bagian tubuh, maka dapat mengenai banyak organ yang
menimbulkan infeksi yang bersifat lokal diantaranya :
-
Osteomielitis, artritis
-
Miokarditis, perikarditis, endokarditis
-
Pielonefritis, orkhitis
-
Serta peradangan- peradangan ditempat lain.
2.2.5 Kadar Trombosit
Trombosit merupakan bagian dari sel darah yang berfungsi membantu
dalam proses pembekuan darah untuk menghentikan perdarah aktif yang terjadi
pada luka, Selain itu, trombosit juga mempunyai peran dalam melawan infeksi
virus dan bakteri dengan memakan virus dan bakteri yang masuk dalam tubuh
kemudian dengan bantuan sel-sel kekebalan tubuh lainnya menghancurkan virus
dan bakteri di dalam trombosit tersebut. Nilai normal trombosit berkisar antara
150.000 - 400.000 sel/µl darah.
Universitas Sumatera Utara
Pada pemeriksaan trombosit penderita Typhus Abdominalis terdapat
gambaran trombositopenia ringan (Penurunan Kadar trombosit dibawah nilai
normal). Kejadian trombositopenia sehubungan dengan produksi yang menurun
dan secara tidak langsung dapat berpengaruh terhadap proses kesembuhan
penderita Typhus Abdominalis.
2.2.6 Kadar Leukosit
Leukosit merupakan komponen darah yang berperanan dalam memerangi
infeksi yang disebabkan oleh virus, bakteri, ataupun proses metabolik toksin, dll.
Nilai normal leukosit berkisar 4.000 - 10.000 sel/µl darah. Penurunan kadar
leukosit bisa ditemukan pada kasus penyakit akibat infeksi virus, penyakit
sumsum tulang, dll, sedangkan peningkatannya bisa ditemukan pada penyakit
infeksi bakteri, penyakit inflamasi kronis, perdarahan akut, leukemia, gagal ginjal,
gangguan dari sistem kekebalan tubuh.
Pada
pemeriksaan
hitung
leukosit
total
penderita
Typhus
Abdominalisterdapat gambaran leukopenia dengan jumlah lekosit antara 3000 –
4000 /mm3 ditemukan pada fase demam. Hal ini diakibatkan oleh penghancuran
lekosit oleh endotoksin. Terjadi leukopenia akibat depresi sumsum tulang oleh
endotoksin dan mediator endogen yang ada. Diperkirakan kejadian leukopenia
25%. Namun sekarang hitung leukosit kebanyakan dalam batas normal atau
leukositosis ringan.
2.2.7 Anemia
Universitas Sumatera Utara
Anemia disebabkan produksi haemoglobin yang menurun serta kejadian
perdarahan intestinal yang tak nyata (occult bleeding). Perlu diwaspadai bila pada
penderita Typhus Abdominalis terjadi penurunan haemoglobin secara akut pada
minggu ke 3-4 yang biasanya disebabkan oleh perdarahan hebat dalam
abdomen.Hasil penelitian yang dilakukan oleh Okafor (2007) yang berjudul
Haematological alterations due to typhoid fever in Enugu Urban- Nigeria.Dapat
disimpulkan bahwa perbedaan rata-rata antara nilai hematologis diperoleh untuk
pasien tifoid dibandingkan dengan pasien bukan tifoid, ditemukan bahwa demam
tifoid menyebabkan leukopenia dan dalam kasus yang lebih berat dan kronis,
dapat menimbulkan terjadinya anemia.
Nilai normal Hb :
Wanita
: 12 – 16 gr/dL
Pria
: 14 – 18 gr/dL
Anak
: 10- 16 gr/dL
Bayi baru lahir
: 12-24 gr/dL
2.2.8 Tingkat Kesadaran
Pada penderita Typhus Abdominalis, umumnya terdapat gangguan
kesadaran yang kebanyakan berupa penurunan kesadaran ringan. Sering
didapatkan kesadaran apatis dengan kesadaran seperti berkabut (tiroid). Bila klinis
berat, tak jarang penderita sampai samnolen dan koma atau dengan gejala-gejala
psychosis (organic Brain Syndrome). Pada penderita dengan toksik, gejala
delirium lebih menonjol.
Universitas Sumatera Utara
Tingkat kesadaran adalah ukuran dari kesadaran dan respon seseorang
terhadap rangsangan dari lingkungan, tingkat kesadaran dibedakan menjadi :
1. Compos Mentis (conscious) : yaitu kesadaran normal, sadar sepenuhnya,
dapat menjawab semua pertanyaan tentang keadaan sekelilingnya.
2. Apatis : yaitu keadaan kesadaran yang segan untuk berhubungan dengan
sekitarnya, sikapnya acuh tak acuh.
3. Delirium
:
yaitu
gelisah,
disorientasi
(orang,
tempat,
waktu),
memberontak, berteriak-teriak, berhalusinasi, kadang berhayal.
4. Somnolen (Obtundasi, Letargi) : yaitu kesadaran menurun, respon
psikomotor yang lambat, mudah tertidur, namun kesadaran dapat pulih
bila dirangsang (mudah dibangunkan) tetapi jatuh tertidur lagi, mampu
memberi jawaban verbal.
5. Stupor (soporo koma): yaitu keadaan seperti tertidur lelap, tetapi ada
respon terhadap nyeri.
6. Coma (comatose) : yaitu tidak bisa dibangunkan, tidak ada respon
terhadap rangsangan apapun.
2.3
Analisis Survival
2.3.1 Pengertian Analisis Survival
Menurut Yasril(2009),survival berasal dari kata to survive yang berarti
ketahanan/ kelangsungan hidup. Sedangkan analisis survival disebut juga analisis
kelangsungan hidup atau analisis kesintasan. Analisis survival adalah kumpulan
dari prosedur statistik untuk menganalisis data dimana variabel outcome yang
diteliti adalah waktu (time) sampai suatu kejadian (event) muncul. Time adalah
Universitas Sumatera Utara
tahun, bulan, minggu, atau hari dimulai dari awal pengamatan kejadian sampai
kejadian itu muncul. Kejadian(event) itu sendiri dapat berupa kematian, insiden
penyakit, kakambuhan, kesembuhan, kembali bekerja atau kejadian lain sesuai
dengan kepentingan peneliti.
Dalam analisis survival, variabel waktu sebagai survival time, karena
variabel ini menunjukkan waktu dari seseorang untuk “survived” dalam periode
waktu tertentu. Pada analisis survival ada problem yang terjadi pada waktu
pengamatan, bahwa kita tidak mengetahui time yang kita ukur secara pasti
(sensor), hal ini terjadi karena :
1. Orang yang kita amati tidak mengalami event.
2. Orang yang kita amati hilang dalam pengamatan (lost to follow up).
3. Orang yang kita amati meninggal yang terjadi bukan karena event
(withdrawn).
2.3.2 Tujuan Analisis Survival
Menurut Yasril (2009), analisis survival bertujuan untuk :
1. Mengestimasi/ memperkirakan dan menginterpretasikan fungsi survivor
atau hazard dari data survival, misalnya kanker, mati, post operasi dan
lain-lain.
2. Membandingkan fungsi survivor dan fungsi hazard pada dua atau lebih
kelompok.
3. Menilai hubungan variabel – variabel explanatory dengan survival
time/waktu ketahanan misalnya dengan menggunakan “cox proportional
hazard”.
Universitas Sumatera Utara
2.3.3 Metode Analisis Survival
Metode analisis survival yang sering dipakai adalah :
1. Metode Tabel Kehidupan (life table)/ Aktuarial (cutler-ederer)
2. Metode Kaplan Meier (product limit)
3. Regresi Cox
Ketiga metode ini memiliki kelebihan dan kekurangan, oleh karena itu
dibutuhkan setidaknya 2 metode pengujian. Dalam penelitian ini, metode analisis
survival yang dipilih oleh peneliti adalah metode Kaplan Meier dan Regresi Cox.
A. Metode Kaplan Meier (product limit)
Metode Kaplan Meier disebut sebagai product limitmethod, pada cara ini
tidak dibuat interval tertentu, dan efek dihitung tepat pada saat ia terjadi.
Lama pengamatan disusun dari yang terpendek sampai yang terpanjang,
dengan catatan subyek yang tersensor diikut sertakan. Metode Kaplan Meier
ini berdasarkan pada dua konsep sederhana, yakni :
1. Pasien yang tersensor dihitung sebagai pasien at risk hanya sampai pada
saat ia tersensor.
2. Peluang untuk hidup 2 bulan sama dengan peluang hidup pada 1 bulan 1
dikali dengan peluang hidup pada bulan II, dan seterusnya.
B. Regresi cox
Apabila terdapat variabel-variabel kovariat yang ingin dikontrol maka kita
dapat menggunakan regresi cox. Regresi cox dapat digunakan untuk membuat
model yang menggambarkan hubungan antara survival time sebagai variabel
Universitas Sumatera Utara
dependen dengan satu set variabel independen. Variabel independen bisa
kontinyu maupun kategorik.Regresi cox menggunakan hazard function
sebagai dasar untuk memperkirakan Relative Risk untuk gagal. Fungsi
hazard“h(t)” adalah sebuah rate yang merupakan estimasi potensi untuk mati
pada satu unit waktu pada suatu saat tertentu, dengan catatan bahwa kasus
tersebut masih hidup ketika menginjak interval waktu tersebut.
Tujuan dari penggunaan Regresi Cox adalah untuk :
1. Mengestimasi Hazard Ratio
2. Menguji Hipotesa
3. Melihat confident interval dari Hazard Ratio
Model Regresi Cox :
H(t.x) = ho(t).e –(b1x1+ b2x2 + .............+ bixi)
2.4.4 Terminologi Penting
1. Sumbu y, sumbu x, dan garis survival
Sumbu y pada kurva survival menunjukkan persentase survival, yaitu
persentase subyek yang masih bertahan / bebas dari kejadian yang sedang
diamati. Sumbu x pada kurva survival menunjukkan waktu. Garis
“berkelok-kelok” adalah garis survival.
2. Survival rate untuk waktu-waktu tertentu
Survival rate untuk waktu tertentu dapat diketahui dengan cara menarik
garis vertikal pada waktu tertentu pada sumbu x sampai memotong garis
survival.
Universitas Sumatera Utara
3. Median Survival
Median survival adalah waktu dimana 50% subyek mengalami event.
Median survival bisa diketahui dengan menarik garis horizontal dari
sumbu y pada titik 50% sampai memotong garis survival.
4. Asumsi Proporsional Hazard
Proporsional Hazard (PH) artinya perbandingan kecepatan terjadinya
suatu kejadian antar kelompok setiap saat adalah sama. Ciri suatu kurva
survival yang memenuhi asumsi PH adalah garis survival antar kelompok
tidak saling berpotongan. Asumsi PH dianalogkan dengan asumsi
normalitas data pada analisis parametrik. Analisis yang dilakukan pada
suatu fungsi survival yang memenuhi asumsi PH berbeda dengan analisis
yang dilakukan pada fungsi survival yang tidak memenuhi asumsi PH.
Survival yang memenuhi asumsi PH akan dianalisis dengan time
independent analisys sementara survival yang tidak memenuhi asumsi PH
akan dianalisis dengan analisis model interaksi dan analisis model
stratifikasi.
5. Hazard Rasio
Insident Rate adalah kecepatan terjadinya suatu peristiwa yang secara
matematis merupakan perbandingan antara insiden dengan waktu (person
Time). Nama lain dari insident rate adalah hazard. Apabila kita
membandingkan dua hazard, maka yang diperoleh adalah hazard Ratio.
Sedangkan bila kita membandingkan dua insiden maka yang akan kita
peroleh Risiko Relatif (RR).
Universitas Sumatera Utara
2.3.5 Langkah-Langkah Analisis Survival
Analisis survival terdiri dari tiga langkah utama yaitu pengecekan asumsi
proporsional hazard (PH), analisis bivariat dan multivariat.
Berikut adalah rincian dari langkah-langkah tersebut :
1. Pengecekan asumsi PH
Asumsi PH
dapat diketahui dengan membuat kurva Kaplan Meier.
Metode lain untuk menguji asumsi PH adalah dengan membuat kurva –ln
ln survival dan global test. Asumsi PH terpenuhi apabila :
a. Garis survival pada kurva Kaplan Meier tidak saling berpotongan.
b. Garis survival pada kurva –ln ln survival tidak saling berpotongan.
c. Nilai P dapat uji global test lebih besar dari 0,05.
Mungkin terdapat beberapa variabel yang memenuhi asumsi PH dan
beberapa variabel tidak memenuhi asumsi PH.
2. Bivariat dan penilaian
Untuk variabel yang memenuhi asumsi PH, analisis bivariat dilakukan
dengan analisis cox regression. Untuk variabel yang tidak memenuhi
asumsi PH, analisis cox regression tidak bisa dilakukan.
3. Analisis Multivariat
Variabel yang masuk analisis multivariat adalah variabel yang pada
analisis bivariat mempunyai nilai p<0,25. Selain itu, variabel yang tidak
memenuhi asumsi PH dan secara teoritis penting, harus dimasukkan ke
dalam analisis multivariat. Bila semua variabel memenuhi asumsi PH,
maka analisis multivariat yang dipilih adalah analisis time independen cox
Universitas Sumatera Utara
regression. Apabila terdapat variabel yang tidak memenuhi asumsi PH,
maka dapat dilakukan analisis cox regression model interaksi atau cox
regression model stratifikasi.
4. Interpretasi Hasil
Setelah menyelesaikan analisis survival, kita melakukan interpretasi hasil.
Beberapa hal yang dapat kita simpulkan dari analisis survival adalah
sebagai berikut :
a. Variabel yang berhubungan dengan variabel tergantung dengan
melihat nilai p dan interval kepercayaan dari HR pada masing-masing
variabel.dikatakan berhubungan jika nilai p kurang dari 0,05 dan pada
interval kepercayaan tidak ada angka 0.
b. Urutan kekuatan dari variabel-variabel yang berhubungan dengan
variabel tergantung. Pada analisis survival, urutan kekuatan dilihat
dari besarnya nilai HR.
c. Model atau rumus untuk memprediksikan hazard function dan
survival function.
Untuk hazard function, rumusnya adalah :
H(t)
= H0(t)ey
H(t)
= Hazard pada waktu tertentu
H0(t)
= Baseline hazard pada waktu tertentu
Y = b1x1 + b2x2 + b3x3 + ...........+ bnxn
Untuk Survival function, rumusnya adalah :
S(t)
= S0(t)(e^y)
Universitas Sumatera Utara
S(t)
= Survival pada waktu tertentu
S0(t)
= Baseline survival pada waktu tertentu
Y = b1x1 + b2x2 + b3x3 + ...........+ bnxn
5. Mengaplikasikan persamaan yang diperoleh untuk menghitung hazard
dan probabilitas pasien.
Langkah-langkah analisis survival dapat diringkaskan dengan alur pada
Gambar 2.1.
Universitas Sumatera Utara
Pengujian asumsi PH
Semua variabel
memenuhi asumsi PH
Analisis bivariat :
Analisis cox regression
Analisis Multivariat :
Variabel yang pada analisis
bivariat mempunyai nilai p<
0,25 : analisis cox regression
time independen
Sebagian variabel tidak
memenuhi asumsi PH
Analisis bivarat:
Analisis cox regression untuk
variabel yang memenuhi asumsi PH
Analisis multivariat :
Variabel yang pada analisis bivariat
mempunyai nilai p < 0,25 dan
variabel yang tidak memenuhi asumsi
PH yang secara klinis penting
Analisis regresi
cox model
interaksi
Interpretasi :
1. Variabel yang
berhubungan dengan
variabel tergantung
2. Urutan kekuatan
hubungan
3. Hazard function dan
survival function
Analisis regresi
cox model
stratifikasi
Pilih mana analisis
yang lebih baik
Aplikasi
Gambar 2.2 Alur Analisis Survival
Universitas Sumatera Utara
2.3.6 Time Independen Cox Regression
Langkah – langkah Time Independen Cox Regression adalah :
1. Pengecekan asumsi proporsional hazard (PH)
Asumsi PH diketahui dengan membuat kurva kaplan meier. Asumsi PH
terpenuhi jika garis survival tidak saling berpotongan.
2. Analisis Bivariat
Untuk variabel yang memenuhi asumsi PH, analisis bivariat dilakukan
dengan analisis cox.
3. Analisis Multivariat
Variabel yang masuk analisis multivariat adalah variabel yang pada
analisis bivariat mempunyai nilai p < 0,25.
4. Interpretasi
Beberapa hal yang dapat disimpulkan dari analisis survival adalah
sebagai berikut :
- Diketahuinya variabel yang berhubungan dengan variabel tergantung
dengan melihat nilai p dan interval kepercayaan dari HR pada
masing- masing variabel.
- Diketahuinya
urutan
kekuatan
dari
variabel-variabel
yang
berhubungan dengan variabel tergantung berdasarkan nilai HR-nya.
- Diketahuinya model atau rumus untuk memprediksikan hazard
function dan survival function.
Universitas Sumatera Utara
2.3.7 Cox Regression Model Interaksi
Langkah-langkah analisis survival denganCox Regression model interaksi
adalah :
1.
Pengecekan asumsi proporsional hazard (PH)
Asumsi PH diketahui dengan membuat kurva Kaplan Meier. Asumsi
PH terpenuhi jika garis survival tidak saling berpotongan.
2.
Analisis Bivariat
Untuk variabel yang memenuhi asumsi PH, analisis bivariat dilakukan
dengan analisis cox.
3.
Analisis Multivariat
Variabel yang masuk analisis multivariat adalah variabel yang pada
analisis bivariat mempunyai nilai p < 0,25.
Beberapa hal yang dapat disimpulkan dari analisis survival adalah sebagai
berikut :
-
Diketahuinya variabel yang berhubungan dengan variabel tergantung
dengan melihat nilai p dan interval kepercayaan pada masing – masing
variabel. Analisis terdiri dari beberapa tahap. Pada tahap pertama
dilakukan analisis hubungan antara variabel A dan C, interaksi
variabel A dan B, dan interaksi variabel C dan B. Analisis berhenti
pada tahap dimana semua variabel memiliki nilai p < 0,05.
-
Diketahuinya
urutan
kekuatan
dari
variabel–variabel
yang
berhubungan dengan variabel tergantung. Berdasarkan nilai HR-nya
(lihat pada tahap terakhir).
Universitas Sumatera Utara
-
Diketahuinya model atau rumus untuk memprediksikan hazard
function dan survival function.
2.3.8 Cox Regression Model Stratifikasi
Langkah –langkah analisis survival
dengan Cox Regression Model
Stratifikasi adalah :
1. Pengecekan asumsi proporsional hazard (PH)
Asumsi PH diketahui dengan membuat kurva kaplan meier. Asumsi PH
terpenuhi jika garis survival tidak saling berpotongan.
2. Analisis Bivariat
Untuk variabel yang memenuhi asumsi PH, analisis bivariat dilakukan
dengan analisis cox.
3. Analisis Multivariat menggunakan model stratifikasi
Variabel yang masuk analisis multivariat adalah variabel yang pada
analisis bivariat mempunyai nilai p < 0,25. Pada analisis model
stratifikasi, variabel yang tidak memenuhi asumsi PH (contoh : jenis
kelamin) dijadikan sebagai variabel untuk menstratifikasi sampel.
Dengan demikian, pada analisis model stratifikasi sampel akan
dianalisis berdasarkan kelompok jenis kelamin laki-laki dan perempuan
akan tetapi dianalisis dalam satu kesatuan analisis. Untuk melakukan
analisis multivariat model stratifikasi.
Universitas Sumatera Utara
4. Interpretasi
Beberapa hal yang dapat disimpulkan dari analisis survival adalah sebagai
berikut :
- Diketahuinya variabel yang berhubungan dengan variabel tergantung
dengan melihat nilai p dan interval kepercayaan dari HR pada masing –
masing variabel.
- Diketahuinya urutan kekuatan dari variabel–variabel yang berhubungan
dengan variabel tergantung. Berdasarkan nilai HR-nya.
- Diketahuinya model atau rumus untuk memprediksikan hazard function
dan survival function.
2.3.9 Memilih Model Stratifikasi atau Model Interaksi
Cara pemilihan model stratifikasi atau model interaksi dilakukan dengan
dua cara, yaitu secara klinis dan secara statistik.
1.
Pemilihan Model Secara Klinis
Secara klinis, pertimbangan utamanya adalah pada manfaat dan
kepraktisan penggunaan model untuk kepentingan klinis. Apabila
secara klinis lebih bermanfaat untuk menilai survival berdasarkan
kelompok laki-laki dan perempuan, maka model stratifikasilah model
yang tepat. Akan tetapi, bila secara klinis kita ingin melihat seberapa
besar pengaruh jenis kelamin terhadap survival, maka model
interaksilah model yang tepat.
Universitas Sumatera Utara
2.
Pemilihan Model Secara Statistik
Pemilihan model secara statistik dilakukan dengan uji likelihood Ratio
(LR). Uji LR dilakukan dengan cara menghitung selisih likelihood
Ratio (LR) antara kedua model kemudian dilihat apakah selisihnya
bermakna pada degree of freedom (df) yang sesuai. Secara matematis,
uji LR adalah sebagai berikut :
LR / df =
LR / df
: Selisih LR untuk setiap degree of freedom
LRf
: LR full model( LR pada model interaksi)
LRr
: LR reduced model (LR pada model stratifikasi)
P (k – 1)
: degree of freedom
P
: Jumlah variabel interaksi pada full model
K
: Jumlah strata pada reduced model
Ho
: Reduced model tidak berbeda dengan full model
(reduced model = dapat diterima). Ho ditolak bila
nilai
Ha
LR/df > 3,8.
: Reduced model berbeda dengan full model
(reduced model = tidak dapat diterima)
Untuk mengetahui berapa besar LR untuk masing- masing model, kita
dapat melihatnya pada output SPSS dari prosedur yang telah
dilakukan (pada omnibus Test of Model coefficients, pada nilai
chisquare kolom change from previous block).
Universitas Sumatera Utara
2.4
Kerangka Konsep
UMUR
JENIS KELAMIN
TITER UJI WIDAL
KOMPLIKASI
LAJU KESEMBUHAN PENDERITA
TYPHUS ABDOMINALIS
KADAR TROMBOSIT
KADAR LEUKOSIT
ANEMIA
TINGKAT
KESADARAN
Gambar 2.3 Kerangka Konsep Faktor-Faktor yang Memengaruhi Laju
Kesembuhan Penderita Typhus Abdominalis yang Dirawat Inap di RSUD
Dr.Pirngadi Medan tahun 2014
2.5
Hipotesis Penelitian
Hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini, adalah :
1. Ada pengaruh umur terhadap laju kesembuhan penderita Typhus
Abdominalisyang dirawat inap di RSUD Dr. Pirngadi Medan tahun 2014.
2. Ada pengaruh jenis kelamin terhadap laju kesembuhan penderita Typhus
Abdominalisyang dirawat inap di RSUD Dr. Pirngadi Medan tahun 2014.
Universitas Sumatera Utara
3. Ada pengaruh titer uji widal terhadap laju kesembuhan penderita Thypus
Abdominalisyang dirawat inap di RSUD Dr. Pirngadi Medan tahun 2014.
4. Ada pengaruh komplikasi terhadap laju kesembuhan penderita Typhus
Abdominalisyang dirawat inap di RSUD Dr. Pirngadi Medan tahun 2014.
5. Ada pengaruh kadar trombosit terhadap laju kesembuhan penderita Typhus
Abdominalisyang dirawat inap di RSUD Dr. Pirngadi Medan tahun 2014.
6. Ada pengaruh kadar leukosit terhadap laju kesembuhan penderita Typhus
Abdominalisyang dirawat inap di RSUD Dr. Pirngadi Medan tahun 2014.
7. Ada pengaruh anemia terhadap laju kesembuhan penderita Typhus
Abdominalisyang dirawat inap di RSUD Dr. Pirngadi Medan tahun 2014.
8. Ada pengaruh tingkat kesadaran terhadap laju kesembuhan penderita
Typhus Abdominalisyang dirawat inap di RSUD Dr. Pirngadi Medan tahun
2014.
9. Ada pengaruh umur, jenis kelamin, titer, komplikasi, trombosit, leukosit,
anemia dan tingkat kesadaran terhadap laju kesembuhan penderita Typhus
Abdominalisyang dirawat inap di RSUD Dr. Pirngadi Medan tahun 2014.
Universitas Sumatera Utara
Download